• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Hukum Pidana Atas Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Bebas Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Putusan Nomor 51/Pid. Sus.K/2013/Pn.Mdn)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Hukum Pidana Atas Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Bebas Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Putusan Nomor 51/Pid. Sus.K/2013/Pn.Mdn)"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan atau yang boleh dilakukan serta yang dilarang. Sasaran hukum yang hendak dituju bukan saja orang yang nyata-nyata berbuat melawan hukum, melainkan juga perbuatan yang juga mungkin akan terjadi, dan kepada alat kelengkapan negara agar bertindak menurut hukum. Sistem bekerjanya hukum yang demikian itu salah satu bentuk penegakan hukum.1

Hukum pidana materiil ataupun hukum pidana formal/acara hukum pidana sebagai bagian hukum publik dengan titik tolak mengatur kepentingan umum (algemen belangen) dan sifatnya apriori telah memaksa, jelaslah sudah bahwasanya tujuan dari hukum acara pidana itu adalah mencari, menemukan dan menggali “kebenaran materiil/maeriil waarheid” atau “kebenaran yang sesungguh-sungguhnya” atau “kebenaran hakiki”. Karena konsekuensi yang demikian, dalam hukum acara pidana tidaklah dikenal adanya “kebenaran formal/formeele waarheid” yang semata-mata ditujukan pada formalitas-formalitas hukum.2

1

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Ke-2 (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 1. 2

Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Prespektif, Teoritis dan Praktik,

(Bandung, PT. Alumni, 2008), hlm. 43.

Dikaji dari prespektif pandangan doktrina hakikat fundamental hukum pidana dapat diklasifikasikan menjadi hukum pidana umum (ius commune) dan hukum pidana khusus (ius singular, ius special atau bijzonder

(2)

termaktum dalam KUHP sedangangkan ketentuan hukum pidana khusus menurut Pompe, A. Nolten, Sudarto dan E.Y. Kanter diartikan sebagai ketentuan hukum pidana yang mengatur mengenai kekhususan subjeknya dan perbuatan yang khusus (bijzonderlijk).

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus di samping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti adanya penyimpangan hukum acara serta apabila ditinjau dari materi yang diatur, Tindak Pidana Korupsi secara langsung dimaksudkan menekan seminimal mungkin terjadinya kebocoran dan penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara.3 Korupsi berkaitan dengan kekuasaan karena kekuasaan itu dapat melakukan penyalahgunaan untuk kepentingan pribadi, keluarga atau kroninya.Dapat ditegaskan bahwa korupsi itu selalu bermula dan berkembang disektor pemerintahan (publik) dan perusahaan milik negara.Dengan bukti-bukti yang nyata dengan kekuasaan itulah pejabat publik dan perusahaan milik negara dapat menekan atau memeras para orang-orang yang memerlukan jasa pelayanan dari pemerintah maupun badan usaha milik negara.4

Vito Tanzi mengemukakan bahwa korupsi adalah perilaku yang tidak mematuhi prinsip, dilakukan oleh perorangan disektor swasta atau pejabat publik,

3

Ibid. hlm. 153 4

Romli Atmasasmita, Sekitar Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Ineternasional

(3)

keputusan yang dibuat berdasarkan hubungan pribadi atau keluarga akan menimbulkan korupsi,termasuk juga konflik kepentingan dan nepotisme.5

Bertitik tolak dari hal tersebut pemberantasan korupsi bukanlah perkara yang mudah diatasi, dibutuhkan kerja sama yang konkrit antara penegak hukum untuk tercapainya keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum di tengah-tengah masyarakat. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara Tipikor . Dalam bagian Penjelasan Umum UU No. 46 Tahun 2009 dinyatakan, Pengadilan Tipikor adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum dan

Dalam suatu proses penegakan hukum termasuk masalah korupsi, selain dibutuhkan perangkat peraturan perundang-undangan, dibutuhkan juga instrumen penggeraknya, yaitu institusi-institusi penegak hukum dan diimplementasikan melalui mekanisme kerja dalam sebuah sistem, yaitu sistem peradilan pidana (criminal justice system). Sebagai suatu sistem, maka mekanisme kerja suatu sistem pidana meliputi instrument atau sub-sub sistem yaitu: (1) Sub sistem kepolisian (police) yang melakukan tugas penyelidikan dan penyidikan; (2) Sub sistem kejaksaan (prosecution) dengan tugas bidang penuntutan; (3) Sub sistem pengadilan (court) yang bertugas memeriksa perkara pada persidangan dan menjatuhkan vonis; (4) Sub sistem lembaga permasyarakatan (correctional institution).

5

(4)

pengadilan satu-satunya yang memiliki wewenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara Tipikor yang penuntutanya diajukan oleh penuntut umum. 6

Berkaitan tentang masalah putusan didalam sistem peradilan pemeriksaan perkara pidana, hal ini tidak terlepas dari tujuan hukum itu sendiri sebagai alat yang dipakai untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara. Sehingga bilamana suatu hukum atau Undang-undang tidak mempunyai tujuan, tentunya acara penegakan hukum dan hak-hak asasi manusiapun akan berjalan dengan suatu ketidak pastian. Oleh sebab itulah di dalam mencapai suatu tujuan tersebut kuncinya terletak pada aparat hukum itu sendiri.

Hakim Sebagaimana diketahui bahwa dalam setiap pemeriksaan melalui proses acara pidana, keputusan hakim haruslah selalu didasarkan atas surat pelimpahan perkara yang memuat seluruh dakwaan atas kesalahan terdakwa dan fakta-fakta persidangan. Selain itu keputusan hakim juga harus tidak boleh terlepas dari hasil pembuktian selama pemeriksaan dan hasil sidang pengadilan. Untuk menentukan bersalah tidaknya perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, hal ini semata-mata dibawah kekuasaan kehakiman, artinya hanya jajaran departemen inilah yang diberi wewenang untuk memeriksa dan mengadili setiap perkara yang datang untuk diadili.

7

Pada hakikatnya putusan bebas (vrijspraak) mengacu pada ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang berbunyi sebagai berikut: Jika pengdilan berpendapat

6

Ibid. hlm. 158. 7

(5)

bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka tedakwa diputus bebas.8

Peranan hakim dalam menentukan suatu kebenaran melalui proses peradilan tidak lain adalah putusannya itu sendiri. Maksudnya ada tidaknya kebenaran itu ditentukan atau diterapkan lewat putusan. Dan didalam hubungan tersebut jelaslah apa yang ditegaskan bahwa untuk menemukan kepastian, kebenaran dan keadilan antara lain akan tampak dalam apa yang diperankan oleh hakim dalam persidangan, sejak pemeriksaan sampai pada putusan pengadilan bahkan sampai eksekusinya.

Sejalan dengan tugas hakim seperti dijelaskan diatas yakni kemampuan untuk menumbuhkan putusan-putusan atau yang dapat diterima masyarakat. Apalagi terhadap penjatuhan putusan bebas yang memang banyak memerlukan argumentasi konkrit dan pasti, kiranya pantaslah status hakim sebagaimana ditentukan Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan negara hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum dan keadilan berdasarkan hukum Indonesia.

9

8

Lihat Undang-Undang Hukum Acara Pidana

9

.Op.Cit.http:www//zulfanlaw.wordpress.com/2008/07/10/dasar-pertimbangan-hakim- dalam-menjatuhkan-putusan-bebas-demi-hukum, Akses 22 Agustus 2013.

(6)

pidana korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat.10

Bertitik tolak dari uraian diatas H. Rahudman Harahap, MM. yang dituduh melakukan tindak pidana korupsi dan tidak terbukti secarah sah dan meyakinkan sehingga diputus bebas oleh Majelsi Hakim serta tidak ditemukan kerugian negara yang dilakukan Terdakwa seperti yang dituduhkan jaksa/penuntut umum dalam surat dakwaannya membuat penulis tertarik untuk menganalisis secara yuridis apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan putusan bebas tersebut.11

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan batasan permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pertimbangan yuridis hakim dalam menjatuhkan putusan yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi ?

2. Bagaimanakah analisis kasus tindak pidana korupsi yang diputus bebas (Putusan No. Pid.Sus.K/2013/Pn.Mdn) dalam prespektif hukum pidana ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah :

10

Lihat Penjelasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 11

(7)

1. Untuk mengetahui pertimbangan yuridis hakim dalam menjatuhkan putusan yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi.

2. Untuk Mengetahui analisis kasus tindak pidana korupsi yang diputus bebas (Putusan No. Pid.Sus.K/2013/Pn.Mdn) dalam prespektif hukum pidana.

Adapun manfaat yang diharapkan dan akan diperoleh dari penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat teoritis, kiranya kehadiran skripsi ini mampu memberikan sumbangan pemikiran dan pengembangan hukum pidana khususnya mengenai dasar pertimbangan yuridis hakim dalam menjatuhkan putusan yang berkenaan dengan perkara korupsi. Kiranya skripsi ini juga mampu memenuhi hasrat keingintahuan para pihak ataupun yang ingin sedang mendalami pengetahuan tindak pidana korupsi baik itu mahasiswa, akademisi maupun masyarakat luas.

(8)

D. Keaslian Penulisan

Penulis telah melakukan penelusuran daftar penulisan skripsi di Perpeustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan kearsipan di Departemen Hukum Pidana, tidak ditemukan kesamaan judul ataupun permasalahan yang di angkat oleh Penulis yaitu “ANALISIS YURIDIS ATAS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN BEBAS DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (PUTUSAN NOMOR 51/PID.SUS.K/2013/PN.MDN)”.Tulisan ini merupakan karya asli yang disusun berdasarkan dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan ilmiah.

Skripsi ini merupakan karya asli dari pemikiran murni penulis dan tidak meniru kepunyaan orang lain. Apabila ada ditemukan kesamaan judul dan permasalahan skripsi ini dengan skripsi yang sebelumnya di Departemen Hukum Pidana maka penulis dapat mempertanggungjawabkannya.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Definisi Tindak Pidana

Peristiwa pidana yang juga disebut tindak pidana (delict) ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbutan yang dapat dikenakan hukum pidana. Suatu peristiwa hukum yang dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau memenuhi unsur-unsur pidananya. Dan unsur-unsur itu terdiri dari :

1. Objektif

(9)

hukum. Yang dijadikan titik utama dari objektif disini adalah tindakannya.

2. Subjektif

Yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh undang-undang. Sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku (seseorang atau beberapa orang)

Dilihat dari unsur-unsur pidana ini, maka kalau ada suatu perbuatan yang dulakukan oleh seseorang harus memenuhi persyaratan supaya dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana. Dan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai suatu peristiwa pidana ialah :

1. Harus ada suatu perbuatan

2. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang ditentukan dalam ketentuan hukum

3. Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggung jawabkan 4. Harus berlawanan dengan hukum

5. Harus terdapat ancaman hukumannya12

Terwjudnya suatu tindak pidana tidak selalu dijatuhklan pidana terhadap pembuatnya Undang-undang telah memberikan dasar-dasar yang meniadakan pidana. Adanya aturan ini membuktikan bahwa Undang-undang memisahkan antara tindak pidana dengan sipembuatnya.13

12

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, cetakan ke-2 (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 18-19.

13

Adami Chzawi, Pelajaran Hukum Pidana, cetakan ke-2 (Jakarta: RajaGrafindo Persda, 2002), hlm. 15.

(10)

menggunakan istilah straafbaarfeit untuk menyebutkan nama tindak pidana, tetapi tidak memberikan penjelasan secara rinci mengenai straafbaarfeit tersebut.14Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa yang terjadi didalam hukum pidana.15

a. R. Tresna setelah mengemukakan bahwa sungguh tidak mudah memberikan suatu ketentuan atau definisi yang tepat, mengatakan bahwa : Peristiwa Pidana ialah sesuatu perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman. Beliau menerangkan bahwa perumusan tersebut jauh daripada sempurna, karena dalam uraian beliau selanjutnya diutarakan bahwa sesuatu perbuatan itu baru dapat dipandang sebagai peristiwa pidana, apabila telah memenuhi persyaratan yang diperlukan.

Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang konkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat.

Beberapa perumusan tindak pidana yang telah diperkenalkan oleh beberapa sarjana/ahli hukum sebagai berikut :

16

14

Evi Hartanti, Op.Cit. hlm. 5 15

Bambang Poernomo, Azas- Azas Hukum Pidana, (Yogyakarta: Gahlia Indonesia, 1976), hlm. 124

16

(11)

b. Wirjono Prodjodikoro merumuskan, bahwa Tindak-pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Dan pelaku itu dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana.17

c. Moeljatno setelah memilih perbuatan-pidana sebagai terjemahan dari ‘‘Strafbaar Feit”,beliau memberi suatu perumusan (pembatasan) sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barangsiapa melanggar larangan tersebut, dan perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tak boleh atau menghambat akan tercapainya tata pergaulan didalam masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat itu. Makna perbuatan pidana, secara mutlak harus unsur formil, yaitu mencocoki rumusan undang-undang (Tatbestandmaszigkeit) dan unsur materil, yaitu sifat bertentangannya dengan cita-cita mengenai pergaulan masyarakat atau dengan pendek, sifat melawan hukum (Rechtswirdigkeit).18 d. Simons telah merumuskan “strabaar feit” sebagai suatu tindakan melanggar

hukum telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.19

Sungguhpun telah banyak diperkenalkan perumusan dari tindak pidana diatas, diantara sarjana itu ada yang merasa yakin atas kelengkapan dari

17

Wirjono Prodjodikoro, Asas Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Jakarta: PT Eresco, ,1969), hlm. 27

18

Moelijatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab dalam Hukum Pidana, (Yogyakarta: Bina Aksara, 1983), hlm. 17

19

(12)

perumusannya, ada yang mengakui ketidak-sempurnaannya.Seperti telah disinggung diatas, istilah Tindak Pidana adalah merupakan singkatan dari Tindakan atau Penindak. Artinya adanya orang yang melakukan suatu Tindakan, sedangkan orang yang melakukan itu dinamakan Petindak. Mungkin sesuatu tindakan dapat dilakukan oleh siapa saja, tetap dalam banyak hal sesuatu tindakan tertentu hanya mungkin dilakukan oleh seseorang dari suatu golongan jenis kelamin saja, atau seseorang dari suatu golongan yang bekerja pada Negara/ pemerintah, atau seseorang dari golongan lainnya yang hidup didalam masyarakat. Antara penindak dengan suatu tindakan yang terjadi harus ada hubungan kejiwaan (pshycologis), selain daripada penggunaan salah satu bagian tubuh, panca indra atau alat lainnya sehingga terwujudnya sesuatu tindakan. Hubungan kejiwaan itu adalah sedemikian rupa dimana petindak dapat menilai tindakannya, dapat menentukan apakah akan dilakukan atau dihindarinya, dapat pula menginsyafi ketercelaan atas tindakannya itu, atau setidak-tidaknya, oleh kepatutan dalam masyarakat memandang bahwa tindakan itu adalah tercela.

Bentuk hubungan kejiwaan itu (dalam istilah hukum-pidana) disebut kesengajaan atau kealpaan, selain daripada itu tiada terdapat dasar-dasar atau alasan peniadaan bentuk hubungan kejiwaan tersebut.20

Tindakan yang dilakukannya itu harus bersifat melawan hukum. Dan tidak ada terdapat dasar-dasar atau alasan-alasan yang meniadakan sifat melawan hukum dari tindakan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa ditinjau dari suatu kehendak (yang bebas) dari petindak, maka kesalahan itu adalah merupakan “kata hati”

20

(13)

(bagian terdalam) dari kehendak itu, sedangan sifat melawan hukum dari tindakan itu merupakan “pernyatan “ (bagian luar) dari kehendak itu.21

Setiap tindakan yang bertentangan dengan hukum atau tidak sesuai dengan hukum, menyerang kepentingan masyarakat atau individu yang dilindungi hukum, tidak disenangi oleh orang atau masyarakat baik yang langsung atau tidak langsung terkena dari tindakan tersebut. Pada umumnya untuk menyelesaikan setiap tindakan yang sudah dipandang merugikan kepentingan umum disamping kepentingan perseorangan, dikehendaki turun tangannya penguasa. Dan apabila penguasa tidak turun tangan maka tindakan-tindakan tersebut akan merupakan sumber kekacauan yang tak akan ada habis-habisnya. Demi menjamin keamanan, ketertiban, dan kesehjahteraan didalam masyarakat, perlu ditentukan mengenai tindakan-tindakan apa saja yang dilarang atau diharuskan.22

21

Ibid. hlm. 29. 22

Ibid. hlm. 30.

(14)

Perlu diperhatikan pula, apabila masalah waktu, tempat, dan keadaan (WTK) ini dilihat dari sudut Hukum Pidana Formal, maka ia sangat penting. Karena tanpa kehadirannya dalam surat dakwaan, maka surat dakwaan itu adalah batal demi hukum. Jadi sama dengan unsur-unsur lainnya yang harus hadir/terbukti. Dengan demikian dapat dirumuskan pengertian dari tindak-pidana sebagai : “Suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu”, yang dilarang (diharuskan ) dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, bersifat melawan hukum serta dengan kesalahan oleh seseorang (yang mampu bertanggungjawab)”.23

2. Definisi Tindak Pidana Korupsi

Secara umum atau awam, korupsi merupakan: (a) suatu tindakan mengambil, menyelewengkan, menggelapkan uang Negara/rakyat untuk kepentingan pribadi/kelompok; (b) menerima gaji tanpa kerja (dengan sengaja meninggalkan tugas).24

H.A. Brazz berpendapat bahwa suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai korupsi jika mengandung unsur-unsur berikut: (a) kekuasaan yang dialihkan; (b) kekuasaan yang dialihkan tersebut dipakai berdasarkan wewenang yang melekat pada kekuasaan itu, atau berdasarkan kemampuan-kemampuan yang formal; (c) kekuasaan tersebut dipakai untuk merugikan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan asli (d) kekuasaan tersebut dipakai untuk menguntungkan atau merugikan orang luar; (e) pemakaian wewenang dan kekuasaan formal secara tersembunyi dengan

23

E.Y Kanter dan S.R. Sianturi.Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982), hlm. 21

24

(15)

dalih menurut hukum.25 Dalam literatur mengenai korupsi, terdapat definisi yang memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan korupsi adalah:26

Menurut Fockema Andreae kata korupsi berasal dari bahasa latin Corruptio atau Corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa Corruptio itu berasal dari pula dari kata asal corrumpare, suatu kata latin yang lebih tua.

“Behaviour which deviates from the formal dutiers of a public role because of private-regarding (personal, clise family, private clique) pecuniary or

status-gains; or certain types of regarding behavior” yang dapat diterjemahkan sebagai:

“perilaku menyimpang dari kewajiban formal suatu peran publik karena private regarding (kepribadian, keluarga dekat, persengkokolan pribadi) berkenaan dengan uang atau status – keuntungan; atau melanggar aturan yang bertentangan dengan perilaku yang terhormat”.

27

Arti harfiah dari kata tersebut ialah kebusukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah seperti yang dibaca dalam The Lexicon Webster Dictionary:

Dari bahasa latin itupun turun ke banyak bahasa Eropa seperti: Corruption, corrupt (inggris), Corruption (perancis), dan Corruptie (korruptie) (Belanda). Sehingga dalam Bahasa Indonesia dapat diturtunkan sebagai “Korupsi”.

28

25

H. A. Brazz, Beberapa Catatan Mengenai Sosiologi Korupsi, dalam Mochtar Lubis dan James Scott. Ed. Bunga Rampai Korupsi, hlm.7.

26

Roberd Klitgard: Kontroling Coruption, page 23, dikutip dari Max Weber, The Protestant ethnics and Spirit of Capitalism, (1904-s), Printerd University of California Press Baekley and Los Angles, Califoprnia.

27

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi di Tinjau dari Hukum Pidana, (Jakarta: Pusat Study Hukum Pidana Universitas Trisakti, 2002), hlm. 4.

(16)

Corruption (l. Corruptio: the Act of corruption; or the state of being corrupt;

putrefactive decomposition, putrid matter moral prevension; depravityperversion

of integrity; corrupt or dishonest proceedings, bribery; perversion from a state of

purity; debasment, as language; a debased from the world. 29

a. Barangsiapa dengan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara atau diketahui patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 31 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diartikan sebagai tindak pidana korupsi adalah:

Pertama:

b. Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

c. Barangsiapa melakukan kejahatan tercantum dalam Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 419, 429, 423, 425, dan 435 KUHP.

d. Barangsiapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau

(17)

wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya itu. Seperti yang tersebut dalam Pasal 418, 419 dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.

e. Barangsiapa tanpa alasan yang wajar dalam waktu yang sesingkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya.

Kedua:

Barangsiapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk tindak pidana-tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c , d, e.

Undang-Undang No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa:

“Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi”.

Sedangkan menurut Undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 ayat (1) pengertian korupsi adalah:

“setipa orang yang melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atar orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara paling singakt 4 (emapat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun”. 30

30

(18)

3. Definisi Putusan Hakim

Dalam menangani suatu perkara, Hakim diberikan kebebasan oleh undang-undang dan pihak lain tidak diperbolehkan campur tangan atau mempengaruhi Hakim. Disamping itu hakim harus diwajibkan jujur dan tidak memihak agar putusannya benar-benar memberikan keadilan.31

Perihal ‘Putusan Hakim’ atau “putusan pengadilan” merupakan aspek penting dan diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Oleh karena dapatlah dikonklusikan lebih jauh bahwasanya “putusan hakim” disatu pihak berguna bagi terdakwa memperoleh kepastian hukum (rechtszekerheid) tentang “statusnya” dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam arti berupa menerima putusan ataupun melakukan upaya hukum verzet, banding atau kasasi, melakukan grasi dan sebagainya. Sedangkan dilain pihak, apabila ditelaah melalui visi hakim yang mengadili perkara, putusan Hakim merupakan “mahkota” sekaligus “puncak” pencerminan nilai-nilai keadilan; kebenaran hakiki; hak asasi manusia; penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mempuni dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas dan moralitas dari hakim yang bersangkutan.32

Putusan menurut buku Peristilahan Hukum dan Praktik yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung RI 1985 adalah hasil atau kesimpulan dari suatu yang telah

31

Gatot Supramono, Surat Dakwaan dan Putusan Hakim Yang Batal Demi Hukum, (Jakarta: Djambatan 1991), hlm. 51.

32

(19)

dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis ataupun lisan.33

Menurut Lilik Mulyadi34

F. Metode Penelitian

dalam bukunya putusan hakim dalam hukum acara Indonesia mengatakan bahwa “putusan hakim adalah putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatanya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melakukan proses dan prosedural hukum acara pidana pada umunya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dibuat dengan tujuan penyelesaian perkaranya.

1. Jenis Penelitian

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan, oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.35

Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini merupakan metode penelitian hukum normatif.36

33

Evi Hartanti, hlm. 52. 34

Lilik Mulyadi, Op.Cit. hlm.131. 35

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 1.

36

Ibid., hlm. 13-14

(20)

untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu.37

Menurut Sumardi Suryabrata, secara harfiah, penelitian deskriptif adalah penelitian yang bermaksud untuk membuat Percandaan (deskripsi) mengenai suatu situasi suatu kejadian-kejadian. Dalam arti penelitian deskriptif itu adalah akumulasi data dasar dalam cara deskriptif semata –mata, tidak perlu mencari atau menerangkan saling hubungan, mentes hipotesis membuat ramalan atau mendapatkan makna dan implikasi, walaupun penelitian bertujuan untuk menemukan hal-hal tersebut dapat mencakup juga metode-metode deskriptif.38

Sebagai suatu penelitian hukum normatif, penelitian ini mengacu pada analisis norma hukum, dalam arti law as it is written in the books (hukum dalam Peraturan Perundang-Undangan).39

2. Jenis Data

Dengan demikian objek yang dianalisis adalah norma hukum, yaitu mengkaji Peraturan Perundang-Undangan mengenai tindak pidana korupsi dan Peraturan Perundang-Undangan mengenai kebijakan hukum pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang menggunakan data sekunder40

37

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press, 2006), hlm. 10. 38

Soejono dan H. Abdurrahman, Merode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003), hlm. 22-23.

39

Ronald Dworkin, Legal Research (Daedalus: Spring, 1973), hlm. 250 40

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Op. cit, hal. 13-14.

(21)

Korupsi beserta Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, karya dari ahli hukum di bidang pemberantasan korupsi. Penelitian ini juga menggunakan bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan sebagainya.41

Di samping sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum, peneliti juga menggunakan bahan-bahan non hukum yang mempunyai relevansi dengan topik penelitian, misalnya berupa buku, hasil penelitian, dan jurnal-jurnal mengenai penegakan hukum dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi. Penggunaan bahan-bahan non hukum ini dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan peneliti.42

3. Teknik pengumpulan data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini ialah melalui study dokumen atau study pustaka.43

41

Soerjono Soekanto, Op. cit, hlm. 52. 42

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 143, 163, dan 164.

43

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2006), hlm. 66.

(22)

4. Analisis Data

Pada penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder, maka biasanya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya44

a. Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang relevan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.

. Metode analisis data yang dilakukan penulis adalah analisa kualitatif, yaitu dengan:

b. Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di atas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas.

c. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari permasalahan.

d. Memaparkan kesimpulan, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan menjadi salah satu metode yang dipakai dalam melakukan penulisan skripsi. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam melakukan penulisan skripsi ini. Hal ini juga bertujuan untuk mempermudah dalam menyusun serta mempermudah pembaca untuk memahami dan mengerti isi dari skripsi ini. Keseluruhan skripsi ini meliputi 4 (empat) bab yang secara garis besar isi dari bab perbab diuraikan sebagai berikut :

44

(23)

BAB I Bab ini merupakan pendahuluan yang memberikan ilustrasi guna memberikan informasi yang bersifat umum dan menyeluruh secara sistematis terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, metode penelitian, manfaat dan tujuan peneletian, keaslian penulisan dan menguraikan tentang definisi tindak pidana, tindak pidana korupsi dan definsis putusan hakim.

BAB II Bab ini akan membahas tentang dasar yuridis pertimbangan hakim dalam menjatukahkan putusan dalam perkara tindak pidana korupsi, korupsi menurut prespektif hukum dan putusan hakim yang berkenaan dengan tindak pidana korupsi.

BAB III Bab ini akan membahas tentang kasus posisi dalam perkara tindak pidana korupsi dalam Putusan No. 51/Pid.Sus.K/2013/Pn.Mdn dalam prespektif hukum pidana.

Referensi

Dokumen terkait

BULU ATAU RAMBUT ??.. VARIATION

Penelitian ini menggunakan Raw Material atau Baja ST 60 berupa bantalan poros kereta yang dikarburising dengan Soda Ash atau Sodium Carbonat yang sudah

[r]

terhadap hasil heading kaki sejajar dan 4) untuk mengetahu hasil yang signifikan, antara kelentukan togok, kekuatan otot leher dan kekuatan otot perut terhadap hasil heading

Five of them ( single letters can replace words, single digits can replace words, a single letter or digit can replace a syllable, combinations, and abbreviations ) were the

Judul Tesis Analisis Pemanfaatan Ruang Kawasan Pesisir Teluk Lampung Propinsi Lampung.. Aminudin 98426

Tahapan suksesi yang dialami Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang dan Hutan Dusun Air Pasir yang telah mengalami masa suksesi lebih lanjut, karena nilai keanekaragaman,

Hasil penelitian menunjukan bahwa: (1) pengelolaan kursus keterampilan berbasis life skill di Sanggar Kegiatan Belajar selama ini masih lemah yang terkait dengan