BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Untuk mengembangkan perekonomian dan perdagangan diperlukan dana yang
tidak sedikit sebagai modal yang merupakan salah satu faktor penting dalam
penyelengaraan aktivitas masyarakat di bidang perekonomian, baik masyarakat
perorangan maupun badan usaha.
Transaksi perbankan di bidang perkreditan memberikan peran bagi bank
sebagai lembaga penyedia dana bagi para nasabah debitur. Hubungan interpersonal di
bidang perkreditan bertumpu pada suatu kepercayaan atau lebih lazim disebut kredit.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah
dirubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan
(selanjutnya akan disebut Undang-Undang Perbankan) memberikan panduan agar
bank dalam melaksanakan pemberian kredit senantiasa mendasarkan pada keyakinan
bahwa debitur mampu mengembalikan kredit yang diperolehnya pada waktu yang
telah diperjanjikan. Dengan perkataan lain kredit yang diberikan terjamin
pengembaliannya. Untuk memperoleh keyakinan tersebut sebelum bank memberikan
persetujuan atas kredit yang diminta, perlu dilakukan penilaian cermat terhadap
watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha debitur. Setelah memperoleh
keyakinan tersebut pihak bank dengan debitur mengadakan kesepakatan tertulis yaitu
Adanya perjanjian kredit tertuang di dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang
Perbankan yang menyebutkan bahwa kredit adalah: “Penyediaan uang atau tagihan
yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam
untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.”
Pihak bank mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan kredit sesuai dengan
kesepakatan bersama dan berhak atas pengembalian dari debitur (nasabah) beserta
bunganya. Demikian juga dengan debitur, mempunyai kewajiban untuk melunasi
utangnya beserta bunganya sesuai dengan kesepakatan bersama dan berhak atas
prestasi yaitu berupa pinjaman dari bank beserta fasilitas-fasilitas lain sesuai
perjanjian.
Langkah yang tidak kalah pentingnya yang menunjang kreditur dalam
memperoleh kepastian pengembalian atau pelunasan utangnya, perlu ditetapkan suatu
jaminan sebagai suatu syarat permohonan kredit. Agunan atau jaminan sebagai salah
satu unsur yang dinilai, dapat berupa barang, proyek, hak tagih yang dibiayai dengan
kredit.1 Penyediaan jaminan sebagai syarat pemberian kredit ini dimaksudkan apabila debitur tidak memenuhi kewajiban melunasi utangnya ataupun debitur sengaja tidak
menepati batas waktu pengembalian utangnya (wanprestasi), maka dalam hal ini
jaminan dapat dijual di muka umum dan hasil dari penjualan barang jaminan tersebut
digunakan untuk melunasi utangnya kepada debitur.
1
Untuk memberi landasan yuridis bagi kreditur dalam melaksanakan hak dan
kekuasaan atas barang jaminan yang diserahkan oleh debitur atau penjamin debitur,
maka atas barang jaminan tersebut lebih dahulu dilakukan pengikatan menurut
hukum yang berlaku, misalnya dalam hal ini gadai.2
Menurut sifatnya, lembaga jaminan dapat dibedakan dalam bentuk jaminan
perorangan (persoonlijke zekerheid) yang menimbulkan hak perseorangan;
dan jaminan kebendaan (zakelijke zekerheid) yang menimbulkan hak kebendaan.
Jaminan perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada
perorangan tertentu, selalu berupa suatu perjanjian antara seorang berpiutang
(kreditur) dengan pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban dari si
berutang (debitur), bahkan jaminan perorangan ini dapat diadakan tanpa pengetahuan
dari si berutang (debitur) tersebut sehingga jaminan perorangan menimbulkan
hubungan langsung antara perorangan yang satu dengan yang lain.
Termasuk dalam jaminan perorangan adalah: personal guarantee, coorporate
guarantee dan atau perikatan tanggung-menanggung. Sedang jaminan kebendaan
ialah jaminan yang berupa hak mutlak atas sesuatu benda dengan ciri-ciri mempunyai
hubungan langsung dengan benda tertentu dari debitur atau pihak ketiga sebagai
penjamin, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya dan
dapat diperalihkan. Jaminan kebendaan ini selain
dapat diadakan antara kreditur dengan debiturnya juga dapat diadakan antara kreditur
2
dengan pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban si berutang (debitur)
sehingga hak kebendaan ini memberikan kekuasaan yang langsung terhadap
bendanya.3 Yang termasuk dalam jaminan kebendaan adalah: hak tanggungan, hipotik, gadai dan jaminan fidusia.
Ada dua pertimbangan yang setidak nya menjadi prasyarat utama untuk
sesuatu benda dapat diterima sebagai jaminan, yaitu4 :
1. Secured, artinya benda jaminan kredit dapat diadakan pengikatan secara yuridis formal, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan. Jika di kemudian hari terjadi wanprestasi dari debitur, maka bank memiliki kekuatan yuridis untuk melakukan tindakan eksekusi.
2. Marketable, artinya benda jaminan tersebut bila hendak dieksekusi dapat segera dijual atau diuangkan untuk melunasi seluruh kewajiban debitur.
Bank menerima jaminan pokok5 maupun jaminan tambahan6, contohnya
adalah deposito berjangka yang dapat dijadikan jaminan kredit. Jika deposito
berjangka dapat dijadikan jaminan kredit tentunya deposito berjangka mempunyai
tata cara dan lembaga tertentu dalam hal pengikatan jaminannya. Dilihat dari
pengertian yang diberikan oleh Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Perbankan, deposito
adalah “simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu
berdasarkan perjanjian Nasabah Penyimpan dengan bank.” Deposito berjangka
3
Ibid.
4
Johannes Ibrahim (1), Cross Default Dan Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah, (Bandung : PT. Refika Aditama, 2004) hal. 71
5
Jaminan pokok adalah Jaminan Pokok adalah kepercayaan yang diberikan oleh pihak Kreditur pada debitur untuk mengangsur hutangnya. Rachmadi Usman, aspek hukum perbankan, halaman 290
6
menurut undang-undang termasuk sebagai salah satu benda bergerak yang tidak
berwujud karena dianggap surat yang berharga.7 Deposito berjangka merupakan suatu
piutang atas nama dilihat dari bukti kepemilikan bilyet deposito berjangka sehingga
jika dijadikan jaminan kredit dengan cara digadaikan.8
Bank, mengklasifikasikan deposito sebagai jaminan yang menguntungkan
karena memiliki tingkat kepastian nominal yang sudah pasti dan likuiditasnya pun
paling likuid dibanding dengan jaminan lainnya. Oleh karena itu, jika
memungkinkan, jaminan inilah yang dimintakan kepada calon debitur untuk
diserahkan. Selain faktor kepastian dan likuiditas tersebut, alasan lain bank
memberikan jaminan deposito atas kreditnya adalah proses persetujuan kreditnya
mudah, cepat, tidak berbelit-belit serta biayanya kecil. Selebihnya adalah faktor
psikologis penggunaan kredit juga turut menjadi pertimbangan nasabah dimana
dengan menggunakan kredit bank, debitur merasa lebih bertanggung jawab dalam
pengelolaan keuangannya.
Pemberi kredit khususnya bank yang berpengalaman akan sedapat mungkin
mengusahakan adanya jaminan, dengan harapan ia akan memperoleh kembali
uangnya tepat waktu. Jika pembayaran utang tidak terjadi, ia akan mencoba
memperoleh pelunasannya dari kekayaan debitur yang lalai.9 Hukum menyediakan berbagai bentuk lembaga jaminan yang dapat dimanfaatkan bank sebagai kreditur
7
Pasal 511 KUH Perdata
8
Pasal 1151 dan Pasal 1152 KUH Perdata.
9
untuk menyalurkan kredit dan juga debitur untuk memperoleh dana. Salah satu
diantaranya adalah gadai. Gadai adalah lembaga jaminan untuk benda-benda
bergerak. Karena deposito adalah benda bergerak maka lembaga jaminan untuk
deposito adalah gadai. Sehingga jika seseorang memperoleh kredit/berutang kepada
bank, ia dapat menjaminkan deposito sebagai jaminan jika utangnya untuk waktu
yang ditentukan tak dapat dibayar olehnya.
Kreditur dianggap sebagai kreditur konkuren jika hanya berpedoman pada
ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata.10 Agar menjadi kreditur preferen,
harus dibuat perjanjian jaminan, dalam hal ini perjanjian gadai deposito. Para kreditur
yang mempunyai posisi yang khusus seperti pemegang gadai, mempunyai hak parate
eksekusi (parate executie) atau menjual dengan kekuasaan sendiri seperti yang diatur
dalam Pasal 1155 Buku II KUHPerdata,11 yang menurut O.K. Brahn harus dibuat
janji terlebih dahulu.12
10Pasal 1131 KUHPerdata: “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak, baik yang
sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan”.
Pasal 1132KUHPerdata: “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan yang sah untuk didahulukan.”
11Pasal 1133 KUHPerdata: “Hak untuk didahulukan diantara orang-orang berpiutang terbit
dari hak istimewa, dari gadai dan dari hipotik”; dan Pasal 1155 KUHPerdata: “Apabila oleh para pihak tidak telah diperjanjikan lain, maka si berpiutang adalah berhak jika si berutang atau si pemberi gadai bercidera-janji, setelah tenggang waktu yang ditentukan lampau, atau jika tidak telah ditentukan suatu tenggang waktu, setelah dilakukannya suatu peringatan untuk membayar, menyuruh menjual barangnya gadai di muka umum menurut kebiasaan-kebiasaan setempat serta atas syarat-syarat yang lazim berlaku, dengan maksud untuk mengambil pelunasan jumlah piutangnya beserta bunga dan biaya dari pendapatan penjualan tersebut.”
12
Gadai (pand) diatur dalam Buku II Bab XX Pasal 1150 sampai dengan 1161
KUHPerdata. Benda yang menjadi objek gadai adalah benda bergerak baik berwujud
maupun tidak berwujud yang wujudnya adalah hak (antara lain hak tagihan).13Kata “gadai” dalam KUHPerdata digunakan dalam dua arti, pertama menunjukkan kepada
bendanya (benda gadai yaitu benda bergerak bewujud dan tak berwujud). Kedua,
tertuju kepada haknya (hak gadai),14seperti terlihat dalam rumusan Pasal 1152 dan Pasal 1155 KUHPerdata. Dengan adanya Pasal 1152 KUHPerdata, dapat disimpulkan
bahwa gadai dapat diletakkan atas barang-barang15 bergerak bertubuh (berwujud) maupun tak bertubuh. 16
Deposito sebagai jaminan utang merupakan benda bergerak dan deposito adalah
objek jaminan gadai.
Gadai (pand), merupakan hak jaminan kebendaan,17 yang timbul dari
perjanjian gadai.18 Perjanjian gadai ini tidak berdiri sendiri tetapi merupakan
13
Mariam Darus Badrulzaman (1), Bab-bab tentang Credietverband, Gadai & Fiducia, (Bandung: Alumni, 1987), hal. 55-56.
14
J. Satrio (1), Hukum Jaminan Kebendaan, ( Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 99.
15
Barang adalah sebagian dari benda berujud. Hal ini dapat disimpulkan dari Pasal 499 KUHPerdata, namun pembuat KUHPerdata dengan pasal-pasal lain juga tidak konsekuen dengan istilah tersebut.
16
Djuhaendah Hasan dalam bukunya Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal 283, menjelaskan, yang menjadi objek jaminan gadai adalah benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Benda tidak berwujud yang dapat dijadikan jaminan utang antara lain adalah surat-surat berharga, deposito-deposito, obligasi, sertifikat Bank Indonesia, surat berharga pasar uang, hak tagih.
17
Tan kamello, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan Yang didambakan, (Bandung: Alumni, 2006), hal.2. M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 2-3.
18
perjanjian ikutan atau accessoir dari perjanjian pokoknya. Perjanjian pokok tersebut
dalam hal ini adalah perjanjian kredit bank.19
Pada Pasal 1154 KUHPerdata menyatakan bahwa “dalam hal debitur
wanprestasi kreditur tak berhak untuk memiliki barang-barang yang digadaikan dan
semua perjanjian yang bertentangan dengan itu adalah batal.” Sebagai alasan praktis
untuk mengeksekusi deposito yang digadaikan, kreditur meminta debitur untuk
membuat surat kuasa mutlak terhadap kreditur untuk mencairkan deposito tersebut
secara dibawah tangan. Tentu saja kreditur memiliki wewenang untuk memutuskan
bagaimana harga yang ditentukan terhadap benda gadai tersebut. Namun apakah surat
kuasa tersebut yaitu yang merupakan hak yang diberikan debitur sebelum tenggang
waktu yang ditentukan lewat dalam pelunasan utang (sebelum terjadinya
wanprestasi), dapat dilaksanakan setelah tenggang waktu pelunasan lewat waktu.
Apabila pemberi gadai, (debitur/si berutang) tidak memenuhi kewajibannya
dan meskipun telah ditegur dan diperingatkan tetap ingkar janji, tindakan apa yang
dapat dilakukan oleh penerima gadai. Berdasarkan Pasal 1155 KUHPerdata, penerima
gadai (si berpiutang/kreditur) dapat mempergunakan haknya untuk mencairkan
deposito tersebut.
Pasal 1155 alinea 1 KUHPerdata bahwa kecuali telah diperjanjikan lain antara
para pihak, kreditur berhak menjual barang gadainya di muka umum tanpa izin
19Pasal 1151 KUHPerdata:”Persetujuan gadai dibuktikan dengan segala alat yang
pengadilan seperti pada ketentuan hipotik, jika debitur gagal membayar utang pada
tenggang waktu yang telah ditentukan.
Dalam perjanjian pemberian kredit selalu ada pernyataan bahwa bank dapat
langsung melakukan penjualan langsung (parate eksekusi) atas aset yang dijaminkan
jika debitur tidak bisa memenuhi kewajibannya (wanprestasi) sampai tenggang waktu
yang ditentukan. Sebenarnya Pasal 1155 KUHPerdata, secara Ipso Jure, memberi
parate executie dengan hak menjual atas kuasa sendiri (rechts van eigenmachtige
verkoop, the right to sale) objek barang gadai.20
Adanya sifat hak gadai yang memberikan hak preferen kepada pemegang
gadai, yaitu hak untuk menjual barang gadai, baik melalui penjualan di muka umum
maupun penjualan langsung untuk mengambil pelunasan utang yang belum dibayar
oleh debitur secara didahulukan dari kreditur lainnya. Hal ini terdapat pada Pasal
1155 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut:
“Apabila para pihak telah diperjanjikan lain, maka si berpiutang adalah berhak jika si berutang atau si pemberi gadai cidera janji, setelah tenggang waktu yang ditentukan lampau, atau jika tidak telah ditentukan suatu tenggang waktu, setelah dilakukannya suatu peringatan untuk membayar, menyuruh menjual barang gadainya di muka umum menurut kebiasaan-kebiasaan setempat serta atas syarat-syarat yang lazim berlaku, dengan maksud untuk mengambil pelunasan sejumlah piutangnya beserta bunga dan biaya dari pendapatan penjuaan tersebut.”
Berdasarkan pasal tersebut, jika debitur wanprestasi atau lalai, maka kreditur
berhak untuk menjual berdasarkan kekuasaan sendiri benda-benda debitur yang
dijaminkan. Menjual berdasarkan kekuasaan sendiri maksudnya adalah bahwa
20
penjualan tersebut tidak disyaratkan adanya titel eksekutorial. Hak penerima gadai
untuk menjual barang gadai tanpa titel eksekutorial disebut parate eksekusi. Disebut
parate eksekusi karena tak perlu suatu titel eksekutorial, tanpa perlu perantaraan
pengadilan, tanpa butuh bantuan juru sita, maka seakan-akan hak eksekusi selalu siap
(paraat) di tangan penerima gadai. Jadi penerima gadai dapat menjual atas
kekuasaannya sendiri.21
Dengan demikian parate eksekusi merupakan bentuk eksekusi yang paling
mudah dan sederhana untuk mempercepat pelunasan piutang kreditur dibandingkan
dengan bentuk eksekusi yang lain, karena kreditur pemegang hak jaminan tersebut
dapat menjual objek jaminannya atas kekuasaan sendiri.
Adanya kemudahan dan kedudukan didahulukan dalam lembaga jaminan,
maka sangat besarlah harapan pembuat undang-undang agar roda perekonomian
berjalan dengan lancar, khususnya pada bidang pembiayaan usaha (corporate
financing), dimana suatu usaha dapat dijalankan atau dapat berkembang pesat dengan
adanya pinjaman utang atau kredit. Karena bagi pihak yang memberikan pinjaman
akan tidak segan-segan untuk mengucurkan pinjaman kepada debitur, karena adanya
perasaan aman bagi kreditur bahwa piutangnya akan dilunasi di kemudian hari,
karena kreditur telah memegang hak kebendaan milik debitur yang memberikan
jaminan secara khusus, yang dapat kreditur jual suatu saat apabila debitur
wanprestasi.
21
Salah satu kemudahan bagi kreditur untuk mendapatkan pelunasan hak
tagihnya, adalah dengan diakomodirnya lembaga parate eksekusi oleh
undang-undang.22 Mengenai parate eksekusi ini, dapat dilihat pendapat Hoogerrechtschof van
Nederlands Indie (HGH) yang menyatakannya sebagai ”hak untuk mengambil
pelunasan tanpa putusan pengadilan” jadi seakan-akan hal eksekusi selalu siap atau
paraat di tangan kreditur. Sejalan dengan pelaksanaan penjualan tanpa melibatkan
Pengadilan ini dikatakan oleh Maria Elisabeth Elijana, mengenai apa yang dimaksud
dengan Parate Eksekusi, yaitu: ”Eksekusi secara serta merta yang dapat dilakukan
tanpa perantara/bantuan Pengadilan.”23 Namun pada kenyataannya di dalam praktek,
tidak ada eksekusi yang dilakukan tanpa fiat eksekusi dari pengadilan.
Melihat dari penjelasan diatas, keistimewaan dari parate eksekusi ini terdapat
pada dua hal, yaitu:
1. Penjualan tanpa melibatkan debitur Hal ini terkait dengan adanya kuasa mutlak yang tidak dapat ditarik kembali atau onherroepelijk kepada kreditur, untuk menjual atas kekuasaannya sendiri. Perlu diperhatikan, bahwa wewenang parate eksekusi atas barang gadai oleh kreditur penerima gadai terjadi dengan sendirinya demi hukum, tidak harus diperjanjikan sebelumnya. Parate eksekusi dalam gadai terjadi karena undang-undang, sehingga di antara debitur dan kreditur tidak diharuskan untuk memperjanjikannya, namun boleh-boleh saja untuk mempertegas adanya wewenang parate eksekusi atas barang gadai tersebut diperjanjikan pula dalam pemberian gadainya.
2. Penjualan tanpa melalui Pengadilan. Hal ini terkait dengan kuasa mutlak sebagaimana dijelaskan diatas, dan juga doktrin “eksekusi yang disederhanakan dan murah”.
22
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 1996), hal. 211.
23
Dengan demikian hak parate eksekusi atas barang gadai ini akan berlaku bila
debitur pemberi gadai benar-benar telah wanprestasi setelah diberikan peringatan
untuk segera membayar atau melunasi hutangnya. Perlu diperhatikan, bahwa
wewenang parate eksekusi atas barang gadai oleh kreditur penerima gadai terjadi
dengan sendirinya demi hukum, tidak harus diperjanjikan sebelumnya. Parate
eksekusi dalam gadai terjadi karena undang-undang.24
Ketika sebuah bank memutuskan memberi kredit kepada nasabahnya, maka
sudah sewajarnya bagi bank tersebut meminta jaminan. Jaminan itu akan menjadi
benteng terakhir pertahanan bank.25 Kualitas jaminan itu pulalah yang menentukan
apakah bank dapat memperoleh kembali dana yang disalurkan bila debitur tersebut
dikemudian hari ternyata gagal melakukan pembayaran kembali utangnya, sesuai
dengan Pasal 8 Undang-Undang Perbankan Tahun 1998.26
Perlu dilakukan kajian yang mendalam tentang parate eksekusi terhadap gadai
deposito berjangka paling tidak karena ketentuan tentang gadai deposito belum
memadai sampai saat ini dan tidak ditemukannya ketentuan gadai deposito secara
24
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003) hal. 136.
25
Faktor yang dijadikan pedoman untuk mengabulkan permintaan kredit penilaian ditujukan terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha seperti yang dikenal dengan prinsip 5 C’s yakni Character (watak, kepribadian), Capital (modal), Collateral (jaminan, agunan), Capacity (kemampuan), dan Conditions of Economic (kondisi ekonomi) sesuai dengan penjelasan Pasal 8 UUPerbankan Tahun 1998.
26Pasal 8 UUPerbankan ayat (1):”Dalam memberikan kredit atau pmbiayaan berdasarkan
khusus dan terperinci. Selain itu pengikatan jaminan gadai deposito berjangka yang
dibuat oleh kreditur dan debitur diserahkan kepada kedua belah pihak, sehingga
mekanisme pembayaran utangnya tergantung kepada kedua belah pihak, sedangkan
pelunasannya tergantung pada perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak yang
mengikatkan diri dalam perjanjian di bawah tangan. Perjanjian di bawah tangan
tersebut dibuat oleh kedua belah pihak berdasarkan asas kebebasan berkontrak.
Penerimaan deposito sebagai jaminan kredit oleh bank tentu menjadi suatu
hal yang sangat menguntungkan, karena dari sisi ketersediaan nilai yang akan
diperoleh oleh bank ketika suatu kredit telah menjadi bermasalah (macet) dapat
dikatakan telah terjamin (kepastian penerimaan kembali kredit yang diberikan) .
Berbeda halnya jika jaminan yang diterima oleh bank hanyalah berbentuk benda
atau tagihan yang memiliki sifat fluktuatif dari segi nilai (jika dieksekusi).
Bagaimanakah bentuk pengikatan deposito sebagai jaminan dalam praktek
perbankan sehingga jika kelak kredit yang diberikan menjadi tidak perfom
(bermasalah) apakah bank dapat melakukan eksekusi sendiri atas jaminan deposito
tersebut. Namun pada sisi lain apakah bank sudah cukup aman jika kelak ada
keberata natau gugatan dari pihak debitur atau bagaimanakah kedudukan lembaga
parate eksekusi dalam gadai eksekusi ini dalam ketentuan peraturan saat ini.
Sehubungan dengan hal di atas, maka dapat dineliti pelaksanaan pengikatan
jaminan gadai deposito berjangka pada Bank Yudha Bhakti sehingga penulis dalam
menyusun penulisan tesis ini memilih judul: Eksekusi Terhadap Gadai deposito
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, adapun yang menjadi pokok permasalahan yang
ingin diteliti dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kedudukan deposito sebagai jaminan hutang dalam sistem hukum
jaminan di Indonesia?
2. Bagaimanakah mekanisme pengikatan jaminan deposito sebagai jaminan kredit
pada Bank Yudha Bhakti Cabang Medan?
3. Bagaimanakah penerapan parate eksekusi untuk pencairan jaminan deposito pada
Bank Yudha Bhakti terhadap debitur yang wanprestasi?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan dari latar belakang dan perumusan masalah tersebut di atas, maka
tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengaturan gadai deposito dalam kerangka hukum jaminan.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan jaminan gadai deposito pada PT. Bank Yudha
Bhakti.
3. Untuk mengetahui pelaksanaan parate eksekusi terhadap deposito berjangka
terhadap debitur wanprestasi pada PT. Bank Yudha Bhakti Cabang Medan.
D. Manfaat Penelitian
Penulisan ini tentunya mempunyai manfaat bagi penulis baik secara langsung
maupun tidak langsung dikemudian hari. Adapun yang menjadi manfaat dari
1. Secara teoretis, penelitian tesis ini diharapkan mampu memperkaya khasanah
ilmu bagi peneliti, khususnya mengenai jaminan deposito berjangka.
2. Secara praktis, penelitian tesis ini diharapkan dapat menjadi kerangka acuan dan
landasan berpikir untuk pengembangan bagi penulis jika suatu saat nanti
berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan terhadap
hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dan secara khusus di
lingkungan Pascasarjana program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara
penelitian tentang gadai deposito pernah ada. Meskipun terhadap peneliti yang pernah
melakukan penelitian terkait gadai deposito, namun secara judul dan substansi
berbeda dengan penelitian ini yang berjudul: Parate Eksekusi Terhadap Gadai
deposito Berjangka Pada PT. Bank Yudha Bhakti Cabang Medan. Adapun penelitian
yang berkaitan dengan gadai deposito tersebut yang pernah dilakukan adalah:
Judul: Analisa Yuridis Terhadap Pemberian Kredit Dengan Jaminan Deposito
PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. Kantor Caban Lhokseumawe
Peneliti: Rina Nizardi
NIM : 067011126
Rumusan Masalah:
1. Bagaimanakah lembaga jaminan dalam pengikatan deposito sebagai jaminan
2. Bagaimanakah pelaksanan pengikatan deposito yang dijadikan sebagai
jaminan kredit pada PT. Bank Mandiri?
3. Bagaimanakah upaya yang dilakukan oleh PT. Bank mandiri dalam
penyelesaian pencairan kredita dengan jaminan deposito?
Penulisan tesis ini tidak terlepas dari pendapat atau kutipan baik dari buku
ataupun bahan yang berkenaan, semata-mata adalah sebagai faktor pendukung dan
pelengkap dalam penulisan yang memang sangat dibutuhkan demi menyempurnakan
penulisan ini.
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi
Teori adalah serangkaian praposisi atau keterangan yang saling berhubungan
dan tersusun dalam sistem deduksi, yang mengemukakan penjelasan atas suatu gejala.
Sedikitnya terdapat tiga unsur dalam suatu teori, yaitu:
1. penjelasan tentang hubungan antara berbagai unsur dalam suatu teori.
2. teori menganut sistem deduktif, yaitu suatu yang bertolak dari suatu yang umum dan abstrak menuju suatu yang khusus dan nyata.
3. teori memberikan penjelasan atas gejala yang dikemukakannya. Fungsi dari teori dalam suatu penelitian adalah untuk memberikan pengarahan kepada penelitian yang dilakukan.27
1. Kerangka Teori
Kegunaan teori hukum dalam penelitian adalah sebagai pisau analisis
pembahasan tentang peristiwa atau fakta hukum yang diajukan dalam masalah
27
penelitian.28 Teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teori keadilan dan teori kehendak.
a. Teori keadilan dalam perjanjian gadai deposito
Kerangka teori utama yang digunakan dalam menganalisis parate eksekusi
terhadap gadai deposito dalam perjanjian kredit berdasarkan pokok pikiran keadilan
yang ditawarkan oleh Aristoteles.
Dalam buku Nicomachean Ethics yang khusus membahas keadilan,
Aristoteles telah mengajarkan bahwa hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya
dengan keadilan dan keadilan harus dipahami dalam pengertian kesamaan yang
proporsional.29
Ada dua macam keadilan. Keadilan distributief dan keadilan commutatief.
Keadilan distributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang yang
menjadi jatahnya. Keadilan ini menguasai hukum yang mengatur hubungan antara
masyarakat, khususnya negara dengan perseorangan (khusus), yang berlaku dalam
hukum publik.30
Teori keadilan menurut Aristoteles, keadilan commutatief, yaitu semua orang
mendapat hak yang sama.
Keadilan commutatiefberlaku dalam bidang hukum perdata tepatnya wilayah
peradilan. Keadilan ini juga disebut keadilan korektif yang berfokus pada pembetulan
28
Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010), hal. 16.
29
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum, Perspektif Historis, Diterjemahkan dari The Philosophy Of Law in Historical Perspective, (The University of Chicago Press, 1969), hal. 24-25.
30
yang salah. Bahwa hukum hanya dapat diterapkan dalam kaitannya dengan keadilan
dan keadilan harus dipahami dalam pengertian kesamaan, kesamaan yang dimaksud
bukan kesamaan numerik, tapi kesamaan yang menurut Aristoteles sebagai kesamaan
yang proporsional.31
Dalam gadai deposito sebanyak mungkin harus terdapat kesamaan
proporsional antara hak dan kewajiban antara debitur pemberi gadai deposito dan
kreditur pemegang gadai deposito.
Dalam penulisan tesis ini, arah dari penelitian dimulai dari pembahasan
tentang parate eksekusi terhadap gadai deposito yang tak terpisah dari teori keadilan
dan perlindungan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang sudah lama dikenal dalam
sejarah hukum, juga analisis terhadap keadilan dengan memasukkan teori-teori
tentang kebebasan individu (freedom), persamaan (equality), dan hak-hak dasar
lainnya,32 antara lain dapat dilihat pada perlakuan yang adil33 dengan adanya kepastian hukum dalam perjanjian gadai deposito antara kreditur dan debitur dalam
perjanjian kredit bank, keseimbangan hak dan kewajiban yang proporsional antara
debitur dan kreditur dalam perjanjian gadai deposito dalam perjanjian kredit bank;
31
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, (Yokyakarta: Laks Bank Mediatama, 2008), hal. 3.
32
Edgar Bodenheimer. Treatise on Justice. (New York, USA: Philosophical Library, Inc, t.t.), hal 100.
33
serta menghormati hak milik debitur atas deposito yang digadaikan dan yang akan
dijual apabila ternyata debitur tidak dapat melunasi utangnya sampai tenggang waktu
yang ditentukan.
Adapun refleksinya di dalam gadai deposito tentang pemberlakuan prinsip
keadilan adalah adanya kepastian hukum bagi kreditur untuk memperoleh pelunasan
piutangnya, namun tak berarti harus merugikan kepentingan debitur dalam hal
debitur gagal membayar utang pada waktu yang telah ditentukan. Apabila debitur
gagal membayar utang pada waktu yang ditentukan, kemudian bank (kreditur)
berhak menjual benda yang dijaminkan dalam hal ini deposito dan mengambil
pelunasan utang dari hasil penjualan tersebut. Apabila ada sisa hasil penjualan, harus
dikembalikan kepada debitur dan apabila hasil penjualan deposito kurang untuk
melunasi utang maka debitur harus menambah pembayaran agar utang dapat dilunasi
seluruhnya.
Adalah adil apabila kreditur (bank) sebagai yang berpiutang untuk menerima
pelunasan utang dari debitur, selain untuk menjaga kesinambungan fungsi bank
sebagai penghimpun dan penyaluran dana ke masyarakat,34 namun sekali lagi tak boleh pula kreditur dalam melakukan penjualan benda jaminan deposito merugikan
debitur.
Pada dasarnya gadai baik barang bergerak secara umum ataupun deposito
secara khusus tetap harus menggunakan aturan-aturan yang tertuang dalam
34
KUHPerdata, namun seiring perkembangan zaman gadai deposito tidak selalu dapat
ditangani oleh KUHPerdata yang telah dibuat lebih 200 tahun yang lalu, sehingga
tidak adanya kepastian hukum menimbulkan ketidak adilan bagi kedua pihak
khususnya debitur pemberi gadai deposito dalam perjanjian kredit. Oleh karena itu,
diperlukan penyempurnaan atas ketentuan gadai deposito tersebut.
b. Teori Kehendak
Salah satu teori dari hukum kontrak klasik adalah teori kehendak. Menurut
teori kehendak suatu kontrak menghadirkan suatu ungkapan kehendak diantara para
pihak, yang harus dihormati dan dipaksakan oleh pengadilan. Dalam teori kehendak
terdapat asumsi bahwa kontrak melibatkan kewajiban yang dibebankan terhadap para
pihak.
Sebagai teori pendukung digunakan teori kehendak karena gadai deposito
merupakan kehendak antara si berpiutang dengan yang berutang dengan deposito
sebagai jaminannya dan menimbulkan kewajiban diantara pihak yang melakukan
kontrak tersebut.
Mengingat bahwa gadai deposito adalah juga suatu perbuatan kontraktual
maka peran pemerintah harus seminimal mungkin sesuai dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Morris Cohen:
“Hubungan kontraktual dalam hukum adalah suatu pandangan di dalam suatu
sistem yang diinginkan oleh hukum sehingga kewajiban-kewajiban akan
pengekangan. Hal yang terbaik bahwa peran pemerintah adalah seminimal
mungkin.”35
2. Konsep
Dalam rangka melakukan penelitian ini, perlu disusun serangkaian defenisi
operasional (operational defenition) dari beberapa konsep yang digunakan dalam
penulisan ini, yaitu definisi dari, parate eksekusi, gadai, deposito berjangka,
perjanjian kredit, bank.
Ke-satu, hak parate eksekusi adalah hak untuk menjual untuk mengambil
pelunasan piutang dari kekayaan debitur tanpa melalui eksekutoriale titel.36
Kedua, kata gadai dalam undang-undang digunakan dalam dua arti, satu sisi
menunjukkan kepada bendanya (benda gadai), sisi lain, tertuju kepada haknya (hak
gadai)37.
Gadai atau Pand merupakan lembaga jaminan kebendaan bagi benda bergerak
yang diatur dalam KUH Perdata. Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang
kreditur atas suatu benda bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh debitur atau oleh
orang lain atas namanya dan memberikan kekuasaan kepada kreditur untuk
mengambil pelunasan dari benda tersebut secara didahulukan daripada kreditur
35
Petter Heffey. Principles of Contract Law. (Sydney: Thomson Legal and Regulatory Limited, 2002), hal.5.
36
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan (1), Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, (Yokyakarta: Liberty, 1980), hal. 31-33.
37
lainnya, dengan kekecualian untuk mendahulukan biaya lelang, biaya penyelamatan
benda setelah digadaikan.38
Ketiga, Deposito Berjangka adalah suatu piutang atas nama deposan (pemilik
uang) kepada penerbit deposito (dalam hal ini adalah Bank) karena deposito ini
merupakan suatu piutang atas nama maka tidak dapat
dipindahtangankan/diperjualbelikan. Bunga deposito berjangka dibayar setiap bulan
pada hari bayarnya atau sekaligus pada saat jatuh tempo dan dapat dijadikan jaminan
kredit39. Mengenai cara penyerahannya, maka dilakukan menurut ketentuan Pasal 613 ayat (1) dan (2) KUH Perdata, yang berbunyi sebagai berikut: “Penyerahan akan
piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan
jalan membuat sebuah akta otentik atau dibawah tangan, dengan nama hak-hak
kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain”.“Penyerahan yang demikian bagi si
berutang tiada akibatnya, melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya,
atau secara tertulis disetujui dan diakuinya”.
Ke-empat, perjanjian kredit. Sebelum sampai kepada perumusan (operational
defenition) dari perjanjian kredit maka yang dimaksud dalam tulisan ini adalah
perjanjian kredit bank. Subekti, menyebutkan bahwa “suatu perjanjian juga
dinamakan persetujuan karena dua pihak setuju untuk melakukan sesuatu.40Demikian pula dalam bukunya yang berjudul Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan
38
Pasal 1155 KUH Perdata. 39
Johannes Ibrahim (2). Bank Sebagai Lembaga Intermediasi Dalam Hukum Positif. (Bandung: CV.Utomo, 2004) Hal : 87.
40
Tertentu dipakai istilah persetujuan untuk overeenkomst.41 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, memakai istilah perjanjian untuk overeenkomst.42 Sejalan dengan uraian
tersebut di atas, maka yang dimaksud dengan persetujuan dalam perkataan
persetujuan pinjam meminjam dalam pengertian kredit menurut pasal 1 angka 11
Undang-Undang Perbankan Tahun 1998 tidak dapat diartikan lain daripada
perjanjian. Kredit (defenisi ke-tujuh) adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.43 Bank
adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk
lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.44
Pengertian tentang perjanjian kredit belum dirumuskan,45 baik dalam Undang-Undang Perbankan Tahun 1998 ataupun Rancangan Undang-Undang-undang tentang
Perkreditan, namun di dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (2) huruf (a) Undang-Undang
41
Wirjono Prodjodikoro (1), Asas-Asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Bale Bandung, 1986),hal 8 dan 10.
42
Wirdjono Prodjodikoro (2),Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Bandung: Sumur, 1981), hal. 1.
43
Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perbankan Tahun 1998.
44
Pasal 1, angka 2 Undang-Undang Perbankan Tahun 1998.
45
Oleh karenanya perlu untuk memahami pengertian perjanjian kredit yang diutarakan oleh para pakar hukum. Subekti, Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit menurut Hukum Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), hal. 13. Subekti berpendapat bahwa: “Dalam bentuk apapun juga pemberian kredit diadakan, dalam semuanya itu pada hakikatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur oleh KUHPerdata Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769 KUHPerdata.
Perbankan Tahun 1998 menjelaskan bahwa pemberian kredit dibuat dalam bentuk
perjanjian tertulis.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Mariam Darus Badrulzaman:46
“Dari rumusan yang terdapat di dalam Undang-undang Perbankan mengenai perjanjian kredit, dapat disimpulkan bahwa dasar perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam-meminjam di dalam KUHPerdata Pasal 1754. Perjanjian pinjam-meminjam ini juga mengandung makna luas yaitu objeknya adalah benda yang menghabis jika Verbruiklening termasuk di dalamnya uang. Berdasarkan perjanjian pinjam-meminjam ini, pihak penerima pinjaman menjadi pemilik benda yang dipinjam dan kemudian harus dikembalikan dengan jenis yang sama kepada pihak yang meminjamkan. Oleh karena itu perjanjian kredit ini merupakan perjanjian yang bersifat riil, yaitu bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh “penyerahan” uang oleh bank kepada nasabah.”
Kelima, Bank. Tidak ada defenisi yang pasti mengenai apa yang dimaksud
dengan sebuah bank. Hal ini karena bank terdiri dari sekumpulan aktivitas dan bukan
suatu kegiatan yang unik. Aktivitas tersebut berbeda menurut tempat dan waktu dan
belakangan ini aktivitas tersebut berubah dan bertambah luas secara tidak dapat
diduga. Aktivitas-aktivitas tersebut bukan merupakan suatu hal yang khusus bagi
perbankan tetapi juga dilakukan oleh lembaga keuangan bukan bank dan lembaga
bukan keuangan. Pengertian bank dapat diambil dari peraturan perundang-undangan
mengenai perbankan, maupun keputusan-keputusan pengadilan, namun untuk
keperluan operasional defenisi penelitian, yang dimaksud bank adalah sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UUPerbankan Tahun 1998, yaitu bank adalah
badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan
46
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman.47
G. Metode Penelitian
Penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang digunakan manusia sebagai sarana
untuk memperkuat, membina, dan mengembangkan serta menguji kebenaran ilmu
pengetahuan, baik dari segi teoritis maupun dari segi praktis yang dilakukan secara
metodologis dan sistematis dengan menggunakan metode-metode yang bersifat
ilmiah dan sistematis sesuai dengan pedoman atau aturan yang berlaku dalam
pembuatan karya tulis ilmiah.48
Metode penelitian adalah cara berpikir, berbuat yang dipersiapkan dengan
baik untuk mengadakan dan mencapai suatu tujuan penelitian. Sehingga penelitian
tidak mungkin dapat dirumuskan, ditemukan, dianalisa maupun memecahkan
masalah dalam suatu penelitian tanpa metode penelitian.
Metode penelitian adalah cara atau jalan atau proses pemeriksaan atau
penyelidikan yang menggunakan cara penalaran dan teori-teori yang logis-analitis
(logika), berdasarkan dalil-dalil, rumus-rumus dan teori-teori suatu ilmu (atau
beberapa cabang ilmu) tertentu, untuk menguji kebenaran (atau mengadakan
verivikasi) suatu hipotesis atau teori tentang gejala-gejala atau peristiwa alamiah,
47
Sutan Remy Syahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia,(Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hal. 12
48
peristiwa sosial atau peristiwa hukum tertentu.49 Metode penelitian hukum merupakan suatu cara yang teratur (sistematis) dalam melakukan sebuah penelitian.50
Penelitian hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penelitian hukum
normatif (doctrinal) yang condong bersifat kualitatif dan penelitian hukum empiris
atau sosiologis (non doctrinal) yang condong bersifat kuantitatif.51 Adapun untuk memperoleh bahan-bahan atau data yang diperlukan di dalam penelitian ini, penulis
melakukan penelitian hukum dengan menggunakan cara-cara atau metode-metode
tertentu sebagai berikut:
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Dalam melakukan penelitian diperlukan suatu metode yang harus tepat dan
sesuai dengan jenis penelitian yang dilakukan serta harus sistematis dan konsisten.
Adapun jenis penelitian yang dilakukan adalah metode penelitian hukum normatif
(yuridis normatif) atau disebut juga penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian
hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.52
Rony Hanitijo Soemitro menyatakan bahwa penelitian yuridis normatif teriri
atas a) penelitian inventarisasi hukum positif; b) penelitian terhadap asas-asas hukum;
c) penelitian untuk menemukan hukum in-concrito; d) penelitian terhadap sistematika
hukum; e) penelitian terhadap sinkronisasi vertical dan horizontal.
49
Sunaryati Hartono (1), Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Alumni, 1994), hal. 105.
50
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, cetakan ke-1, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 57.
51
J. Supranto, Metode penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta, Rineka Cipta, 2003), hal. 2
52
Maka dengan kata lain peneliti akan melakukan penelitian hukum dengan
melakukan abstraksi melalui proses deduksi dari hukum positif yang berlaku, yang
merupakan sistematisasi hukum dan sinkronisasi hukum secara horizontal terhadap
parate eksekusi terhadap gadai deposito berjangka pada PT. Bank Yudha Bhakti
cabang Medan.
2. Sumber Data dan Penelitian
Dalam suatu penelitian, termasuk penelitian hukum pengumpulan data
merupakan salah satu tahapan dalam proses penelitian dan sifatnya mutlak untuk
dilakukan karena dari data yang diperoleh akan mendapatkan gambaran yang jelas
tentang obyek yang diteliti sehingga akan membantu untuk menarik kesimpulan dari
obyek atau fenomena yang akan diteliti. Jenis dan sumber data yang dipergunakan
dalam penelitian ini adalah Data Sekunder.
Data sekunder adalah sejumlah keterangan atau fakta-fakta yang diperoleh
secara tidak langsung melalui studi kepustakaan yang terdiri dari dokumen-dokumen,
peraturan perundang-undangan, buku-buku dan literatur yang berhubungan dengan
objek penelitian. Data sekunder terdiri dari53:
a. Bahan hukum primer (primary law material), sumbernya adalah
perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, naskah kontrak, dokumen hukum, dan arsip
hukum.
53
b. Bahan hukum sekunder (secondary law material), sumbernya adalah buku
literatur hukum, jurnal penelitian hukum, laporan penelitian hukum, laporan
hukum media cetak atau media elektronik.
c. Bahan hukum tertier (tertiery law material), sumbernya adalah rancangan
undang-undang, kamus hukum dan ensiklopedia.
Sebagai pendukung data sekunder yang ada, peneliti juga melakukan
wawancara dengan orang yang berkompeten pada PT. Bank Yudha Bhakti sebagai
informan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan
studi pustaka, yaitu menghimpun data dari hasil penelaahan bahan pustaka atau data
sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tersier. Untuk memperoleh data sekunder yang berupa bahan hukum primer,
sekunder dan tersier, dalam penelitian ini akan menggunakan alat penelitian studi
dokumen/pustaka atau penelitian pustaka (library research) dengan cara
mengumpulkan semua peraturan perundangan, dokumen-dokumen hukum dan
buku-buku yang berkaitan dengan rumusan masalah penelitian.54
4. Analisis Data
54
Analisis data merupakan tahap yang paling penting dalam suatu penelitian.
Karena dalam penelitian ini data yang diperoleh akan diproses dan dimanfaatkan
sedemikian rupa sampai didapat suatu kesimpulan yang nantinya akan menjadi hasil
akhir dari penelitian. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis data yang bersifat kualitatif. Kegiatan ini diharapakan akan memudahkan
dalam menganalisis permasalahan yang akan dibahas, menafsirkan dan kemudian
menarik kesimpulan.55
Analisis kualitatif dilakukan terhadap paradigma hubungan dinamis antara
teori, konsep dan bahan hukum yang merupakan modifikasi yang tetap dari teori dan
konsep yang didasarkan pada bahan hukum yang dikumpulkan. Hal ini dilakukan
sehubungan bahan hukum yang dianalisi beraneka ragam, memiliki sifat dasar yang
berbeda satu dengan lainnya. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan
logika berfikir deduktif, yakni penyimpulan yang dilakukan dimulai dari yang umum
ke yang khusus.56
55
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta, Rajawali Press, 2010), hal. 281.
56