• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tesis Gaya Kepemimpinan kepala sekolah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tesis Gaya Kepemimpinan kepala sekolah "

Copied!
208
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA GAYA KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DAN GAYA MANAJEMEN KONFLIK DENGAN PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU PADA SEKOLAH DASAR NEGERI

DI KECAMATAN BEJI KOTA DEPOK

TESIS

Disampaikan untuk memenuhi persyaratan

menulis tesis Program Studi Magister Administrasi Pendidikan

Oleh

IKA MULYATI NIM: 0808036197

PROGRAM STUDI MAGISTER ADMINISTRASI PENDIDIKAN PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA Jakarta

(2)

ABSTRAK

Ika Mulyati, Hubungan antara Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Gaya Manajemen Konflik dengan Peningkatan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Beji Kota Depok. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, 2011

Tesis ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis hubungan antara Gaya Kepemimpinan dan Gaya Manajemen Konflik dengan Peningkatan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Beji Kota Depok.

Hipotesis yang diuji adalah : (1) terdapat hubungan antara gaya kepemimpinan kepala sekolah dengan Peningkatan Profesionalisme Guru, (2) terdapat hubungan antara Gaya Manajemen Konflik dengan Peningkatan Profesionalisme Guru dan (3) terdapat hubungan antara gaya kepemimpinan kepala sekolah dan Gaya Manajemen Konflik secara bersama-sama dengan Peningkatan Profesionalisme Guru.

Metode yang digunakan adalah metode penelitian survey dengan desain korelasional. Instrumen penelitian berupa kuesioner, pembobotan nilai pernyataan menggunakan skala Likert 1 sampai dengan 5. Uji validitas dan reliabilitas dilakukan pada 30 orang responden, dengan sampel penelitian menggunakan rumus slovin sebanyak 81 orang yang diambil dari guru Sekolah Dasar di Kecamatan Beji Kota Depok. Hasil evaluasi dapat disimpulkan sebagai berikut :

Pertama, terdapat hubungan positif antara Gaya Kepemimpinan Kepala sekolah dengan Peningkatan Profesionalisme Guru dengan persamaan regresi Ŷ = 26,964 + 0,813 X1dengan koefisien korelasi ry1 = 0,683 pada taraf nyata a= 0,05 yang berarti

bahwa setiap kenaikan Peningkatan Profesionalisme Guru disumbang sebesar 0,813 oleh variabel Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah pada konstanta 26,964. Kontribusi Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah terhadap Peningkatan Profesionalisme Guru 46,64%.

Kedua, terdapat hubungan positif antara Gaya Manajemen Konflik dengan Peningkatan Profesionalisme Guru dengan persamaan regresi Ŷ = 55,036 + 0,665X2

dengan koefisien korelasi ry2 = 0,583 pada taraf nyata α = 0,05 yang berarti bahwa

(3)

variabel Gaya Manajemen Konflik pada konstanta 55,036. Kontribusi Gaya Manajemen Konflik terhadap Peningkatan Profesionalisme Guru 33,99%.

Ketiga, terdapat hubungan positif antara Gaya kepemimpinan Kepala sekolah dan Gaya Manajemen Konflik secara bersama-sama dengan Peningkatan Profesionalisme Guru dengan persamaan regresi Ŷ = 2,4 + 0,619 X1 + 0,338 X2 dengan

koefisien korelasi ry12 = 0,726 pada taraf nyata α = 0,05 yang berarti bahwa setiap

kenaikan Peningkatan Profesionalisme Guru disumbang sebesar 0,619 dan 0,338 oleh variabel Gaya Kepemimpinan Kepala sekolah dan Gaya Manajemen Konflik pada konstanta 2,4. Kontribusi Gaya kepemimpinan Kepala sekolah dan Gaya Manajemen Konflik secara bersama-sama terhadap Peningkatan Profesionalisme Guru sebesar 52,70%.

(4)

ABSTRACT

Ika Mulyati, Relationships between Principal Leadership Style and Conflict management style with increased professionalism of teachers of Elementary School in District Beji Depok. Thesis. Muhammadiyah University Prof. Dr.Hamka, Pascasarjana Program 2011.

This thesis aims to identify and analyze the relationship between Principal leadership style, and Conflict management style with increased professionalism of teachers of elementary school in District Beji Depok.

Hypotheses tested were: (1) there was a relationship between Principal Leadership Style with increased professionalism of teachers, (2) there was a relationship between conflict management style and increased professionalism of teachers (3) there was a relationship between principal leadership styles and Conflict management style together with increased professionalism of teachers

The method used is survey research methods with a correlational design. The instrument was a questionnaire, the weighted value of the statement using a Likert scale of up to five. Validity and reliability test conducted on 30 respondents, with the sample using the formula slovin of 81 people taken from the elementary school teacher in District Beji Depok. Evaluation results can be summarized as follows:

First, there is a positive relationship between Principal leadership style with increased professionalism of teachers with the regression equation Y = 26.964 + 0.813 X1 ry1 correlation coefficient = 0.683 at significant level a = 0.05 which means that any increase in labor increased professionalism of teachers donated by 0.813 by variables Principal leadership style the constant 26.964. Principal leadership style Contributions to increased professionalism of teachers 46.64%.

(5)

Conflict management style the constant 55.036. Conflict management style Contributions to increased professionalism of teachers 33.99%.

Third, there is a positive relationship between Principal leadership style and Conflict management style together with increased professionalism of teachers with the regression equation Y = 2.4 + 0.619 X1 + 0.338 X2 ry12 correlation coefficient = 0.726 significant at level a = 0.05 which means that any increase in employment of increased professionalism of teachers donated by 0.619 and 0.338 by the variables of Principal Leadership Style and Conflict Management Style on the constant 2.4. The contribution of Principal leadership style and Conflict management style jointly to increased professionalism of teachers at 52.70%.

(6)

Persetujuan Komisi Pembimbing

HUBUNGAN ANTARA GAYA KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DAN GAYA MANAJEMEN KONFLIK DENGAN PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU PADA SEKOLAH DASAR NEGERI

DI KECAMATAN BEJI KOTA DEPOK

TESIS

Oleh IKA MULYATI NIM: 0808036197

Disetujui

Pembimbing Tanda tangan Tanggal

1. Prof. Dr. H. Abdul Madjid Latief, MM. MPd ... ………

2. Dr. Bambang Dwi Hartono …………... ………

Jakarta, Januari 2011

Program Studi Magister Administrasi Pendidikan Ketua

(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji kepada Yang Maha Suci, puja kepada yang Maha Kuasa, serta syukur kepada yang Maha Ghofur, atas rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis diberi kesempatan untuk dapat menyelesaikan tugas terakhir penulisan tesis yang berjudul "Hubungan Antara Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Gaya Manajemen Konflik dengan Peningkatan Profesionalisme Guru pada Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Beji Kota Depok" pada Progam Pascasarjana Universitas Muhammadiyah. Prof. DR HAMKA.

Dengan segala kerendahan hati dan rasa hormat penulis mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis, diantaranya; Prof. Dr. H. Abdul Madjid Latief, MM, M.Pd, selaku Pembimbing I, Dr. Bambang Dwi Hartono Pembimbing II, yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta dorongan kepada penulis dalam penyelesaian penulisan tesis ini.

Ucapan terima kasih juga saya ucapkan kepada Prof. Dr. H. R. Santosa Murwani, Direktur Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA, Bapak Anen Tumanggung, Ph.D selaku Ketua Program Studi Magister Administrasi Pendidikan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam penulisan tesis ini. Bapak dan Ibu Dosen dan segenap staf yang telah memberikan fasilitas dan pelayanan yang baik selama penulis menempuh pendidikan di Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof . DR. HAMKA.

Tak lupa pula kepada Dr. H. Suyatno, M.Pd., Rektor Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan di Program Pascasarjana Program Studi Administrasi Pendidikan.

(8)

Rekan-rekan kelas B.20.2 Mahasiswa pada Program Magister Administrasi Pendidik Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA yang telah memberikan dorongan dukungan yang tidak pernah putus kepada penulis dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Harapan penulis semoga tesis ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi semua pembaca, dan semoga segala bantuan dan partisifasi yang telah diberikan kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini akan menjadi ladang amal ibadah dan akan mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, Amin Yaa Robbal ` Aalamiin.

Jakarta, Januari 2011 Penulis

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kualitas manusia yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia pada masa depan adalah manusia yang mampu menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan bangsa lain di dunia. Kualitas manusia Indonesia tersebut dihasilkan melalui penyelenggaraan pendidikan yang bermutu oleh pendidik profesional. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional. Oleh karena itu, guru sebagai pendidik profesional mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat strategis. Guru sebagai tenaga profesional mempunyai visi terwujudnya penyelenggaraan pembelajaran sesuai dengan prinsip-prinsip profesionalitas untuk memenuhi hak yang sama bagi setiap warga negara dalam memperoleh pendidikan yang bermutu.

Kualitas program pendidikan tidak saja bergantung pada konsep-konsep program yang baik tapi juga pada personil guru yang mempunyai kesanggupan dan keinginan untuk berprestasi. Tanpa personil yang cakap dan efektif, program pendidikan yang dibangun di atas konsep-konsep yang baik serta dirancang dengan teliti pun dapat tidak berhasil.

(10)

eksternal lainnya. Akan tetapi seberapa banyak siswa mengalami kemajuan dalam belajarnya, banyak tergantung kepada kepiawaian guru dalam membelajarkan siswa.

Guru ( pendidik ) menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab XI pasal 39 adalah :“Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi”1.

Tenaga guru adalah salah satu tenaga kependidikan yang mempunyai peran sebagai faktor penentu keberhasilan tujuan organisasi selain tenaga kependidikan lainnya, karena guru yang langsung bersinggungan dengan peserta didik, untuk memberikan bimbingan yang profesional, guru menjadi sangat penting karena akan menghasilkan lulusan yang diharapkan. Untuk itu kemampuan profesional guru harus selalu ditingkatkan. Upaya-upaya untuk meningkatkan kinerja itu biasanya dilakukan dengan cara memberikan motivasi, meningkatkan kerja sama tim, mengadakan supervisi, memberikan insentif, memberikan kesempatan yang baik untuk berkembang dalam karir, meningkatkan kemampuan, dan gaya kepemimpinan yang baik.

Faktor dan aktor utama dari pendidikan adalah manusia, yang di dalam prosesnya adalah manusia yang satu (pendidik) berusaha membantu dan menjadikan manusia lainnya (peserta didik) menjadi manusia yang dewasa, baik, berpengetahuan luas, berbudi pekerti luhur, dan menjadi rohmatan lil Alamin2.

Manusia memiliki daya upaya untuk membuat dirinya tahu akan segala sesuatu,

1 Depdiknas, 2003. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas. hal. 8

(11)

dengan menggunakan akal dan fikirannya, manusia mampu mengenal dan memilih mana yang baik dan mana yang tidak baik, manusia bisa melakukan latihan, penelitian dan praktik atas ilmu pengetahuan yang diajarkan. Sementara mahluk hidup lain yaitu binatang dan tumbuhan tidak dapat melakukannya. Tumbuhan tidak bisa melakukan aktifitas, tumbuhan bersifat pasif, kehidupannya ditandai dengan bertambah tinggi dan besar pada bagian-bagian tubuhnya serta pada produknya, seperti buah, daun, bunga yang hanya menjadi objek untuk dinikmati mahluk hidup lainnya. Binatang hanya memiliki naluri untuk mewujudkan keinginannya yang cenderung bersifat nafsu, binatang tidak memiliki akal budi dan fikiran untuk membedakan baik dan buruk, binatang tidak memiliki keinginan untuk belajar secara mandiri, binatang hanya menuruti naluri dalam memenuhi nafsunya.

(12)

sebagai bangsa yang tangguh dan unggul. Sejalan dengan tugas dan tuntutan guru harus berperan positif sesuai dengan profesinya di berbagai lingkungan yang secara formal di sekolah, secara nonformal di masyarakat dan secara informal di lingkungan keluarga. Sebagai sebuah jabatan/pekerjaan profesi dibidang pendidikan, guru sebagai manusia pendidik, terbelenggu oleh dua ikatan yang bersifat pribadi yaitu :

Pertama, guru sebagai seorang manusia yang mempunyai pikiran, perasaan, dan nafsu yang sama dengan manusia lainnya yang lengkap dengan kekurangan dan keunggulannya, pada umumnya, memerlukan pemenuhan kebutuhan hidup yang layak, yang pada prakteknya diatur oleh lembaga pemerintahan, dan pada kenyataannya tergantung dari kemakmuran suatu negara, serta produk aturan yang dibuat oleh manusia yang duduk di lembaga pemerintahan negara tersebut. Guru sebagai manusia mempunyai perbedaan formal dengan manusia lain dan mempunyai tanggung jawab secara moral terhadap pemerintah yang menugaskan, dan kepada Tuhan yang mentakdirkan.

(13)

diri sendiri dan korpsnya, guru sebagai pendidik adalah figur yang dilihat banyak orang dari semua sisi kehidupannya3.

Dengan demikian guru sebagai sebuah pekerjaan profesi harus dapat membuat keseimbangan dalam bertingkah laku dan berfikir terkait dengan peranannya sebagai pengajar dan pendidik, guru harus pandai menempatkan jabatan secara proporsional dengan tepat, akurasi pengambilan keputusan dalam menentukan mekanisme kebutuhan hidup dan dalam menyampaikan keinginan untuk menutupi kebutuhan tidak dengan cara yang arogansi, tapi dengan cara yang wajar dan benar dalam pandangan masyarakat umum. Menumbuhkan rasa memiliki pada pekerjaan sebagai sumber kehidupan dan sikap hidup. Melalaikan tugas dan kewajiban sama dengan tidak menghargai diri sendiri. Lebih luasnya lagi, guru merupakan sumber daya manusia yang menjadi tumpuan harapan bangsa dan negara atas hasil didikannya yakni generasi penerus berkualitas, sehingga bangsa ini dapat bangkit dari keterpurukan dan ketertinggalan oleh bangsa-bangsa lain. Inti dari pendidikan, adalah sebagai sebuah proses memberikan bantuan yang sangat berbeda dari proses memberikan sesuatu yang berbentuk kebendaan kepada orang lain, ketika suatu benda diberikan maka sipemberi benda secara langsung kehilangan benda tersebut karena sudah pindah ke tangan orang lain, sedangkan bantuan yang diberikan dalam bentuk ilmu pengetahuan tidak membuat sipemberi bantuan ilmu kehilangan ilmunya, dalam konteks pendidikan setiap orang dapat mentransfer pengetahuan kepada orang lain tanpa dia sendiri kehilangan ilmu tersebut. Dari hasil pendidikan, seseorang diharapkan menjadi lebih baik dari

(14)

sebelumnya, dalam bentuk perilaku, sikap, peningkatan pengetahuan, dan sebagainya.

Untuk menghadapi berbagai tantangan dalam reformasi pendidikan nasional, diperlukan kualitas guru yang mampu mewujudkan kinerja profesional, modern, berwawasan luas ke depan, kreatif dan inovatif, dalam nuansa pendidikan yang nyaman dan menyenangkan dengan dukungan dana dan kesejahteraan yang memadai, serta berada dalam kepastian dan lindungan hukum yang adil dan merata, adalah sebuah harapan dari para guru dalam rangka menunaikan tugas sebagai pendidik demi terwujudnya tujuan pendidikan nasional. Beratnya tantangan dimasa depan menuntut guru untuk memiliki komitmen terhadap kualitas dan kapasitas mereka sebagai seorang pendidik.

(15)

dan mengevaluasi peserta didik pada anak usia dini, jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.”4

Sesuai dengan pernyataan dalam undang-undang tersebut guru profesional akan tercermin dalam penampilan pelaksanaan pengabdian tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian baik dalam penyajian materi, maupun dalam penggunaan metode pengajaran, rasa tanggung jawab pribadi, sosial, intelektual, moral, dan spiritual serta kesejawatan di antara sesama guru. Guru adalah profesi atau pekerjaan yang memerlukan keahlian dan kemahiran sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang No 14 tahun 2005 pasal 1 ayat 4, ”Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi”5.

Guru merupakan sumber daya manusia utama yang akan menentukan maju mundurnya sekolah, sehingga kualitas guru yang rendah akan berdampak pada rendahnya mutu pendidikan.6 Begitu pentingnya peran guru dalam menbaikkan

kehidupan bangsa oleh karena itu, faktor guru harus menjadi perhatian utama bagi penyelenggaraan pendidikan, agar para guru dapat menjalankan tugasnya secara optimal dan profesional, sehingga dapat melahirkan anak-anak bangsa yang berkualitas yang sangat dibutuhkan untuk kemajuan sebuah bangsa. Namun hal ini tidak akan tercapai apabila tidak disertai usaha guru untuk meningkatkan

4 UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dengan penjelasannya. Tahun 2006. Bandung ; Citra Umbara, hal. 5

5 ibid

(16)

kemampuan profesionalnya dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengajar dan pendidik.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 tahun 2007 pasal 1 telah menegaskan bahwa Setiap guru wajib memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru yang berlaku secara nasional.7 Standar Kompetensi Guru meliputi

Kompetensi Pedagogik, Kompetensi Kepribadian, Kompetensi Sosial, dan Kompetensi Profesional.

Upaya meningkatkan profesionalisme antara lain melakukan identifikasi kompetensi aktual profesi guru, pendidikan dan pelatihan berbasis kebutuhan kompetensi guru, meningkatkan kemampuan dan minat baca, melakukan penelitian tindakan kelas, diskusi ilmiah, meningkatkan hubungan kesejawatan, dan membangun etos kerja guru.

Untuk meningkatkan hubungan kesejawatan dalam satu organisasi, khususnya sekolah sebagai lembaga pendidikan didalamnya terjadi interaksi antara satu dengan lainnya, memiliki kecenderungan timbulnya konflik. Dalam institusi layanan pendidikan terjadi kelompok interaksi, baik antara kelompok guru dengan guru, staf dengan guru, pimpinan dengan guru, maupun dengan lainnya yang mana situasi tersebut seringkali dapat memicu terjadinya konflik. Konflik sangat erat kaitannya dengan perasaan manusia, termasuk perasaan diabaikan, disepelekan, tidak dihargai, ditinggalkan, dan juga perasaan jengkel karena kelebihan beban kerja. Perasaan-perasaan tersebut sewaktu-waktu dapat memicu timbulnya kemarahan. Keadaan tersebut akan mempengaruhi seseorang dalam melaksanakan kegiatannya secara langsung, dan dapat menurunkan produktivitas kerja organisasi

(17)

secara tidak langsung dengan melakukan banyak kesalahan yang disengaja maupun tidak disengaja. Dalam suatu organisasi, kecenderungan terjadinya konflik, dapat disebabkan oleh suatu perubahan secara tiba-tiba, antara lain: kemajuan teknologi baru, persaingan ketat, perbedaan kebudayaan dan sistem nilai, serta berbagai macam kepribadian individu.

Konflik akan selalu menyelimuti pengalaman umat manusia. Pasti akan terjadi, bahkan dalam diri individu sekalipun; biasa disebut konflik intrapersonal (intrapersonal conflict). Konflik ini, sering muncul akibat pertentangan antara dua perasaan atau kepentingan, yang mendorong timbulnya stress. Di samping itu, konflik akan selalu muncul dalam pengalaman sosial, antar individu-individu, kelompok-kelompok, dan antara masyarakat dan kultur yang lebih luas lagi.

Konflik yang terjadi dapat berupa percekcokan, perselisihan, atau pertentangan. Konflik tersebut tidak dapat dihindari, tetapi dapat dikendalikan, dikelola bahkan disinergikan menjadi sesuatu yang dinamis, karena pada dasarnya konflik tidak selalu memberikan pengaruh yang negatif bagi tim ataupun organisasi.

Greenberg dan Baron8 justru melihat sisi positif konflik untuk membuka

penyelesaian permasalahan masa lalu, memotivasi karyawan untuk mengerti posisi mereka dalam perusahaan, memberikan ide dan inovasi baru, serta membuka perubahan organisasional, selain itu konflik akan memberikan keputusan yang lebih baik, dan menambah komitmen organisasi. Sedangkan sisi negatif konflik adalah memunculkan emosi negatif dan stress, menurunkan komunikasi yang dibutuhkan

(18)

untuk koordinasi, memberikan stereotyping negatif, dan menekankan loyalitas pada salah satu kelompok.

Konflik merupakan suatu bagian yang alamiah dari proses-proses sosial dan terjadi pada setiap organisasi, yang selalu muncul saat ada benturan kepentingan. Kondisi organisasi dan perwujudan kepemimpinan kepala sekolah sehari-hari tidak sedikit diantaranya yang menjadi penyebab terjadinya ketegangan, prosedur kerja yang terlalu sulit, persaingan dan perebutan wewenang, gaya kepemimpinan yang tidak bertanggung jawab, cara kerja yang tidak manusiawi, dan lain-lain. Kondisi seperti ini merupakan penyebab terjadinya ketegangan di lingkungan organisasi, sehingga menimbulkan konflik, karena konflik merupakan sebuah proses interaksi yang muncul dari ketidaksepakatan atas tujuan yang hendak diraih, atau ketidaksepakatan metode yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan.

Konflik merupakan suatu fenomena yang sering kali tidak bisa dihindari dan menghambat pencapaian tujuan organisasi. Konflik dapat mengganggu perhatian serta mengalihkan energi dan kemampuan anggota organisasi untuk mencapai visi, misi, dan tujuan yang strategis dari organisasinya. Jika tidak dikelola dengan baik, konflik akan berkembang menjadi konflik destruktif yang merugikan bagi pihak-pihak yang terlibat konflik.

(19)

Dalam melaksanakan tugasnya, para guru dalam suatu organisasi tidak mungkin bekerja sendiri, tetapi memerlukan bantuan rekan kerjanya. Ia harus berkomunikasi dengan baik kepada rekannya. Untuk itu ia harus memahami bahwa rekan kerjanya memiliki berbagai perbedaan pola pikir. Maka Gaya Manajemen Konflik harus diarahkan agar pihak-pihak yang terlibat konflik memahami keragaman.

Pengendalian konflik merupakan salah satu tugas pempimpin dalam kepemimpinannya, efektivitas kepemimpinan seseorang dapat dinilai dari bagaimana ia mampu mengendalikan dan mengelola konflik. Kegagalan seorang pemimpin dalam mengendalikan konflik akan menimbulkan sesuatu yang tidak bermanfaat dan menimbulkan kerusakan. Sebaliknya jika seorang pemimpin dapat mengendalikan dan mengelola konflik secara baik, maka konflik dapat bermanfaat untuk menciptakan kreativitas, perubahan sosial yang lebih maju, membangun keterpaduan kelompok dan peningkatan fungsi kebersamaan atau kekeluargaan.

Kepala sekolah sebagai pemimpin bertanggung jawab dalam pengelolaan sekolah sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam menentukan arah dan kebijakan sekolah, maka kepala sekolah mempunyai otoritas dalam menciptakan iklim kerja yang baik dan kondusif bagi proses kegiatan pendidikan di sekolah. Oleh karena itu, dalam menjalankan fungsinya kepala sekolah harus mampu menguasai tugas-tugasnya dan melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik.

(20)

aktivitas sekolah, mengelola sumber-sumber daya yang ada baik sumber daya manusia, maupun sumber daya yang bersifat materi agar semua itu dapat menunjang terciptanya efektifitas kerja dalam proses pencapaian tujuan pendidikan di sekolah. Selain itu tugas kepala sekolah adalah membantu guru mengembangkan potensi pribadi dan mempersatukan kehendak, pikiran dan tindakan antara guru, siswa, dan orang tua murid dalam kegiatan bersama secara efektif dan menciptakan iklim sekolah yang menyenangkan sehingga profesionalisme guru dapat terwujud.

Sekolah merupakan salah satu bentuk organisasi pendidikan. Kepala sekolah merupakan pemimpin pendidikan di sekolah. Jika pengertian kepemimpinan tersebut diterapkan dalam organisasi pendidikan, maka kepemimpinan pendidikan bisa diartikan sebagai suatu usaha untuk menggerakkan orang-orang yang ada dalam organisasi pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Nawawi9 yang mengemukakan bahwa kepemimpinan pendidikan

adalah proses mempengaruhi, menggerakkan, memberikan motivasi, dan mengarahkan orang-orang yang ada dalam organisasi pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan.

Salah satu prasyarat terbinanya profesionalisme adalah gaya kepemimpinan kepala sekolah. Kepala sekolah sebagai leader harus mampu memberikan petunjuk dan pengawasan, meningkatkan kemauan dan kemampuan tenaga kependidikan, membuka komunikasi dua arah dan mendelegasikan tugas.

Wahjosumijo10 mengemukakan bahwa kepala sekolah sebagai leader harus

memiliki karakter khusus yang mencakup kepribadian, keahlian dasar, pengalaman

9 Nawawi, H. 2000. Administrasi Pendidikan. Jakarta: Armas Duta Jaya. hal. 47

(21)

dan pengetahuan profesional serta pengetahuan administrasi dan pengawasan. Keberhasilan kepala sekolah dalam melaksanakan tugasnya banyak ditentukan oleh kepemimpinan kepala sekolah. Kepemimpinan merupakan faktor yang paling penting dalam menunjang tercapainya tujuan organisasi sekolah. Keberhasilan kepala sekolah dalam mengelola kantor, mengelola sarana prasarana sekolah, membina guru, atau mengelola kegiatan sekolah lainnya banyak ditentukan oleh kepemimpinan kepala sekolah. Apabila kepala sekolah mampu menggerakkan, membimbing, dan mengarahkan anggota secara tepat, segala kegiatan yang ada dalam organisasi sekolah akan bisa terlaksana secara efektif. Sebaliknya, bila tidak bisa menggerakkan anggota secara efektif, tidak akan bisa mencapai tujuan secara optimal.

Pada kenyataan di lapangan masih ditemukan adanya pengaruh terhadap gaya kepemimpinan bagi seseorang yang lahir dari jaman orde baru atau orde lama, dalam banyak hal seperti kepribadian dan gaya memimpin yang muncul, cenderung pada gaya feodal yang merasa paling pintar dan paling benar, merasa tidak suka jika ada bawahan yang lebih tahu, sehingga segala keputusan meskipun tidak disetujui oleh bawahan tetap harus dilaksanakan.

(22)

Konflik dengan Peningkatan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Beji Kota Depok.”

B. Identifikasi Masalah

Pada penilitian pendahuluan yang dilakukan di sekolah dasar negeri sekecamatan Beji yang ada di wilayah Kota Depok menunjukkan bahwa sekolah-sekolah tersebut menghadapi sejumlah masalah yang perlu mendapatkan perhatian khusus sebagai berikut :

1. Profesionalisme Guru, fenomena ini sangat jelas nampak pada sikap profesional guru dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Profesionalisme yang rendah akan berdampak pada rendahnya hasil pembelajaran peserta didik.

2. Kualifikasi Guru, hasil wawancara terhadap beberapa guru menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang tidak memenuhi kualifikasi mempengaruhi profesionalisme guru.

3. Standar Kompetensi, yang seharusnya dikuasai guru profesional meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional yang ditunjukkan guru selama ini terkesan rendah. Guru dalam melaksanakan tugasnya hanya sekedar menggugurkan kewajiban. Inovasi bukan merupakan suatu tantangan, kreatifitas bukan merupakan suatu prestasi. Pembaharuan dalam metode pembelajaran merupakan hal-hal membuang waktu dalam pembelajaran.

(23)

sosiologis, adanya pengakuan (recognition) terhadap suatu profesi itu pada dasarnya secara implisit mengimplikasikan adanya penghargaan, meskipun tidak selalu berarti finansial (uang) melainkan dapat juga yang mengandung makna status sosial.

5. Pembinaan dan pengembangan profesionalisasi guru, belum dilakukan berdasarkan kebutuhan institusi, kelompok, maupun individu guru itu sendiri. Dari perspektif institusi, pengembangan profesionalisme dimaksudkan untuk merangsang, memelihara, dan meningkatkan kualitas staf dalam memecahkan masalah-masalah organisasi sekolah. Karena substansi kajian dan konteks pembelajaran selalu berkembang dan berubah menurut dimensi ruang dan waktu, guru dituntut untuk selalu meningkatkan kompetensinya.

6. Keterampilan guru, sebagai agen pembelajaran, guru seharusnya dapat mengelola proses pembelajaran, besikap inovatif dan kreatif. Seperti pembuatan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan alat peraga, dimana pada kenyataannya tidak semua guru mampu membuat RPP sesuai standar proses yang merupakan salah satu dari komponen Standar Nasional Pendidikan (SNP). 7. Penelitian pendahuluan menemukan rendahnya profesionalisme guru.

(24)

8. Penilitian pendahuluan menyimpulkan kecilnya penghasilan mempengaruhi semangat dalam melaksanakan tugas.

9. Komunikasi antar personal, dari penelitian pendahuluan menunjukkan kurangnya kemampuan komunikasi antar personal merupakan penghambat bagi terciptanya iklim dan suasana kerja yang harmonis.

10.Gaya Kepemimpinan, merupakan salah satu faktor penentu bagi terciptaya profesionalisme guru di sekolah. Dari penilitian pendahuluan menunjukkan masih banyak kepala sekolah menerapkan gaya kepemimpinan yang otokratis dan birokratis.

11. Penelitian pendahuluan menemukan adanya hubungan antara gaya kepemimpinan kepala sekolah dan sikap terhadap profesi, secara bersama-sama dengan Peningkatan Profesionalisme Guru. Hal ini nampak pada beberapa sekolah yang memiliki gaya kepemimpinan partisipatif mempunyai kekuatan dinamik untuk mendorong, memotivasi dan mengkoordinasikan organisasi, serta memberdayakan bawahan agar dapat melaksanakan tugasnya dengan sungguh-sungguh.

(25)

13.Iklim Organisasi Sekolah, ilkim organisasi sekolah pada umumnya kurang kondusif. Di sejumlah sekolah terjadi konflik antara guru dengan guru dan guru dengan kepala sekolah sehingga menyebabkan suasana kerja yang tidak menyenangkan.

14.Konflik yang terjadi di lingkungan organisasi sekolah cenderung tidak dapat diselesaikan secara tepat dan akurat. Berdasarkan penelitian pendahuluan, konflik-konflik yang terjadi di lingkungan sekolah berlangsung lama tanpa ada penyelesaian sehingga berdampak pada upaya meningkatkan kemampuan profesional guru.

15.Gaya Manajemen Konflik, belum diarahkan untuk meningkatkan produktivitas organisasi, untuk mencapai peningkatan profesional guru. Banyak para kepala sekolah belum memahami Gaya Manajemen Konflik dan menerapkannya sesuai dengan situasi.

16.Kinerja Kepala Sekolah, melalui wawancara terhadap beberapa guru menunjukkan bahwa kepala sekolah kurang menunjukkan kinerja yang baik. Ditunjukkan dengan kurang adanya ide/gagasan untuk kemajuan organisasi, kurang mampu menciptakan lingkungan yang nyaman dalam bekerja, tidak dapat menyelesaikan konflik dengan tepat sehingga berakibat pada terganggunya peningkatan profesional guru.

C. Pembatasan Masalah

(26)

hubungannya dengan Peningkatan Profesionalisme Guru dengan : Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Gaya Manajemen Konflik. Oleh karena itu, peneliti membatasi permasalahan penelitian sebagai berikut : Peningkatan Profesionalisme Guru sebagai variabel dependen, Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Gaya Manajemen Konflik sebagai variabel independen.

D. Perumusan Masalah

Bertolak dari identifikasi dan pembatasan masalah seperti yang telah dikemukakan di atas, maka masalah penelitian ini dapat di rumuskan sebagai berikut:

1. Apakah terdapat hubungan Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dengan Peningkatan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Beji Kota Depok ?

2. Apakah terdapat hubungan antara Gaya Manajemen Konflik dengan Peningkatan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Beji Kota Depok ?

3. Apakah terdapat hubungan antara Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Gaya Manajemen Konflik dengan Peningkatan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Beji Kota Depok ?

(27)

Hasil penelitian hubungan gaya kepemimpinan kepala sekolah dan Gaya Manajemen Konflik dengan peningkatan profesionalisme guru, diharapkan akan dapat berguna baik secara teoritis maupun praktis.

Secara teoritis diharapkan memberikan wawasan dalam pengembangan teori dan konsep tentang gaya kepemimpinan, Gaya Manajemen Konflik dan peningkatan profesionalisme guru.

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menemukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan profesionalisme guru, jika ternyata dari penelitian ini dapat diketahui secara empirik bahwa peningkatan profesionalisme guru mempunyai hubungan yang positif dengan gaya kepemimpinan dan Gaya Manajemen Konflik maka hasil penilitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan bagi bagi pemimpin pada umumnya khususnya Kepala Sekolah untuk menentukan kebijakan yang berlaku dan dalam menerapkan pola kepemimpinan yang efektif untuk meningkatkan profesionalisme guru.

Sementara itu bagi Pimpinan Unit Pelaksana Teknis Pendidikan TK/SD Kecamatan Beji dan Kepala Dinas Pendidikan Kota Depok. Hal ini dapat dijadikan bahan masukan untuk menentukan arah kebijakan pendidikan di Kota Depok dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru.

(28)
(29)

BAB II

KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS A. Deskripsi Teori

1. Pengertian Profesionalisme Guru

Istilah profesionalisme berasal dari profession. Dalam Kamus Inggris Indonesia, “profession berarti pekerjaan”0. Arifin dalam buku Kapita Selekta

Pendidikan mengemukakan bahwa profession mengandung makna yang sama dengan kata occupation atau pekerjaan yang memerlukan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan atau latihan khusus0.

Dalam buku yang ditulis oleh Kunandar yang berjudul Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan disebutkan pula bahwa profesionalisme berasal dari kata profesi yang artinya suatu bidang pekerjaan yang ingin atau akan ditekuni oleh seseorang. Profesi juga diartikan sebagai suatu jabatan atau pekerjaan tertentu yang mensyaratkan pengetahuan dan keterampilan khusus yang diperoleh dari pendidikan akademis yang intensif. Jadi, profesi adalah suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian tertentu0.

Menurut Martinis Yamin profesi mempunyai pengertian seseorang yang menekuni pekerjaan berdasarkan keahlian, kemampuan, teknik, dan prosedur berlandaskan intelektualitas0. Jasin Muhammad yang dikutip oleh Yunus Namsa,

beliu menjelaskan bahwa profesi adalah “suatu lapangan pekerjaan yang dalam melakukan tugasnya memerlukan teknik dan prosedur ilmiah, memiliki dedikasi serta cara menyikapi lapangan pekerjaan yng berorientasi pada pelayanan yang ahli”. Pengertian profesi ini tersirat makna bahwa di dalam suatu pekerjaan

0 John M. Echols dan Hassan Shadili, 1996, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT.Gramedia, Cet. Ke-23, hal. 449.

0 Arifin.1995, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum). Jakarta: Bumi Aksara, Cet. Ke- 3, hal. 105.

0 Kunandar, 2007. Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. Ke-1, hal. 45.

(30)

profesional diperlukan teknik serta prosedur yang bertumpu pada landasan intelektual yang mengacu pada pelayanan yang ahli.0

Berdasarkan definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa profesi adalah suatu pekerjaan atau keahlian yang mensyaratkan kompetensi intelektualitas, sikap dan keterampilan tertentu yang diperoleh melalui proses pendidikan secara akademis.

Dengan demikian, Kunandar mengemukakan profesi guru adalah keahlian dan kewenangan khusus dalam bidang pendidikan, pengajaran, dan pelatihan yang ditekuni untuk menjadi mata pencaharian dalam memenuhi kebutuhan hidup yang bersangkutan. Guru sebagai profesi berarti guru sebagai pekerjaan yang mensyaratkan kompetensi (keahlian dan kewenangan) dalam pendidikan dan pembelajaran agar dapat melaksanakan pekerjaan tersebut secara efektif dan efisien serta berhasil guna0.

Profesi pada hakikatnya adalah suatu pernyataan atau suatu janji terbuka yang menyatakan bahwa seseorang itu mengabdikan dirinya pada suatu jabatan atau pelayanan karena orang tersebut merasa terpanggil untuk menjabat pekerjaan itu. Mulyasa0 dalam bukunya Menjadi Guru Profesional mengutip

pendapat Hughes bahwa istilah profesi merupakan simbol dari suatu pekerjaan dan selanjutnya menjadi pekerjaan itu sendiri.

Menurut Munadi0 Profesi adalah suatu pekerjaan yang memerlukan

pendidikan lebih lanjut dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang dipergunakan sebagai perangkat dasar dan diimplementasikan dalam berbagai kegiatan yang bermanfaat.

0 M.Yunus Namsa, Kiprah Baru Profesi Guru Indonesia Wawasan Metodologi Pengajaran Agama Islam, hal. 29.

0 Kunandar, opcit, h. 46

(31)

Sedangkan menurut Dedi Supriyadi dalam Munadi0 menyatakan bahwa

profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian dari para petugasnya, maksudnya pekerjaan yang disebut profesi itu tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak terlatih dan tidak disiapkan secara khusus terlebih dahulu untuk melakukan pekerjaan itu. Secara sederhana pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang secara khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak ada pekerjaan lain. Dengan demikian untuk menjadi seorang guru yang profesional harus mempersiapkan diri secara khusus baik dalam pendidikan maupun penguasaan materi.

Ornstein dan Levine dalam Sutjipto0 menyatakan bahwa profesi adalah

jabatan yang sesuai dengan pengertian profesi di bawah ini :

a) Melayani masyarakat, merupakan karier yang akan dilaksanakan sepanjang hayat (tidak berganti-ganti pekerjaan); b) Memerlukan bidang ilmu dan keterampilan tetrtentu di luar jangkauan khalayak ramai (tidak setiap orang dapat melakukannya); c) Menggunakan hasil penelitian dan aplikasi dari teori ke praktek (teori baru dikebangkan dari hasil penelitian); d) Memerlukan pelatihan khusus dengan waktu yang panjang; e) Terkendali berdasarkan lisensi baku dan atau mempunyai persyaratan masuk (untuk menduduki jabatan tersebut memerlukan izin tertentu atau ada persyaratan khusus yang ditentukan untuk mendudukinya); f) Otonomi dalam membuat keputusan tentang ruang lingkup kerja tertentu (tidak diatur oleh orang luar)....0

Tidak jauh berbeda dengan ciri-ciri di atas, Sanusi et al. Dalam Sutjipto0 mengutarakan ciri-ciri utama profesi itu sebagai :

0 ibid

0 Sutjipto 2004. Profesi Keguruan, Jakarta : PT Rineka Cipta hh.15-17 0 Ibid

(32)

a. Suatu jabatan yang memiliki fungsi dan signifikansi sosial yang menentukan.

b. Jabatan yang menuntut keterampilan/keahlian tertentu.

c. Keterampilan/keahlian yang dituntut jabatan itu didapat melalui pemecahan masalah dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.

d. Jabatan itu berdasarkan pada batang tubuh manajemen konflik ilmu yang jelas, sistematik, ekspilit, yang bukan hanya sekedar pendapat khalayak umum.

e. Jabatan itu memerlukan pendidikan tingkat perguruan tinggi dengan waktu yang cukup lama.

f. Proses pendidikan untuk jabatan itu juga merupakan aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai profesional itu sendiri.

g. Dalam memberikan layanan kepada masyarakat, anggota profesi itu berpegang teguh pada kode etik yang dikontrol oleh organisasi profesi. h. Tiap anggota profesi mempunyai kebebasan dalam memberikan judgment

terhadap permalsalahan profesi yang dihadapinya.

i. Dalam prakteknya melayani masyarakat, anggota profesi otonom dan bebas dari campur tangan orang luar.

j. Jabatan ini mempunyai prestise yang tinggi dalam masyarakat, dan oleh karenanya memperoleh imbalan yang tinggi pula.

(33)

melengkapi. Sementara itu National Education Association (NEA) dalam Sutjipto0, menyarankan kriteria berikut :

a. Jabatan yang melibatkan kegiatan intelektual.

b. Jabatan yang menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus.

c. Jabatan yang memerlukan persiapan profesional yang lama (bandingkan dengan pekerjaan yang memerlukan latihan umum belaka)

d. Jabatan yang memerlukan “latihan dalam jabatan” yang berkesinambungan. e. Jabatan yang menjanjikan karier hidup dan keanggotaan yang permanen. f. Jabatan yang menentukan bakunya (standarnya) sendiri.

g. Jabatan yang lebih mementingkan layanan di atas keuntungan pribadi. h. Jabatan yang mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.

Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa profesi adalah jabatan yang memerlukan keahlian khusus dalam memberikan layanan kepada masyarakat berpegang teguh pada kode etik profesionalnya.

Profesi keguruan mempunyai tugas utama melayani masyarakat dalam dunia pendidikan, oleh karena itu profesionalisasi dalam bidang keguruan mengandung arti peningkatan segala daya dan usaha dalam rangka pencapaian secara optimal layanan yang akan diberikan kepada masyarakat.

Ahmad Sanusi0 mengajukan enam asumsi yang melandasi perlunya

profesionalisme dalam pendidikan , yakni sebagai berikut :

a. Subjek pendidikan adalah manusia yang memiliki kemauan, pengetahuan, emosi, dan perasaan, dan dapat dikembangkan segala potensinya; sementara

0 Sutjipto, ibid.

(34)

itu pendidikan dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang menghargai martabat manusia.

b. Pendidikan dilakukan secara intensional, yakni secara sadar dan bertujuan, maka pendidikan menjadi normatif yang diikat oleh norma-norma dan nilai-nilai yang baik secara universal, nasional maupun lokal, yang merupakan acuan para pendidik, peserta didik, dan pengelola pendidikan.

c. Teori-teori pendidikan merupakan kerangka hipotesis dalam menjawab permasalahan pendidikan.

d. Pendidikan bertolak pada asumsi pokok tentang manusia, yakni manusia mempunyai potensi yang baik untuk berkembang. Oleh sebab itu, pendidikan adalah usaha untuk mengembangkan potensi unggul tersebut.

e. Inti pendidikan terjadi dalam prosesnya, yakni situasi di mana terjadi dialog antara peserta didik dengan pendidik, yang memungkinkan peserta didik tumbuh ke arah yang dikehendaki oleh pendidik dan selaras dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi masyarakat.

f. Sering terjadi dilema antara tujuan utama pendidikan, yakni menjadikan manusia sebagai manusia yang baik (dimensi intrinsik), dengan misi instrumental yakni yang merupakan alat untuk perubahan atau mencapai suatu.

(35)

Adapun mengenai kata “Profesional”, Uzer Usman memberikan suatu kesimpulan bahwa :

“Suatu pekerjaan yang bersifat profesional memerlukan beberapa bidang ilmu yang secara sengaja harus dipelajari dan kemudian diaplikasikan bagi kepentingan umum. Kata “profesional” itu sendiri berasal dari kata sifat yang berarti pencaharian dan sebagai kata benda yang berarti orang yang mempunyai keahlian seperti guru, dokter, hakim, dan sebagainya. Dengan kata lain, pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak dapat memperoleh pekerjaan lain. Dengan bertitik tolak pada pengertian ini, maka pengertian guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan yang maksimal.0

H.A.R. Tilaar menjelaskan pula bahwa seorang profesional menjalankan pekerjaannya sesuai dengan tuntutan profesi atau dengan kata lain memiliki kemampuan dan sikap sesuai dengan tuntutan profesinya. Seorang profesional menjalankan kegiatannya berdasarkan profesionalisme, dan bukan secara amatiran. Profesionalisme bertentangan dengan amatirisme. Seorang profesional akan terus-menerus meningkatkan mutu karyanya secara sadar, melalui pendidikan dan pelatihan0.

Profesionalisme mempunyai makna yang mengacu kepada sebutan tentang orang yang menyandang suatu profesi dan sebutan tentang penampilan seseorang dalam mewujudkan unjuk kerja sesuai dengan profesinya. Penyandangan dan penampilan “profesional” ini telah mendapat pengakuan, baik secara formal maupun informal. Pengakuan secara formal diberikan oleh

0 M. Uzer Usman, 2007 Menjadi Guru Profesional, Bandung : PT Remaja Rosdakarya hh. 14-15. 0 H.A.R. Tilaar. 2002, Membenahi Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,

(36)

suatu badan atau lembaga yang mempunyai kewenangan untuk itu, yaitu pemerintah dan atau organisasi profesi. Sedangkan secara informal pengakuan itu diberikan oleh masyarakat luas dan para pengguna jasa suatu profesi.

Sebagai contoh sebutan “guru profesional” adalah guru yang telah mendapat pengakuan secara formal berdasarkan ketentuan yang berlaku, baik dalam kaitan dengan jabatan ataupun latar belakang pendidikan formalnya. Pengakuan ini dinyatakan dalam bentuk surat keputusan, ijasah, akta, sertifikat dan sebagainya, baik yang menyangkut kualifikasi maupun kompetensi. Dengan demikian, sebutan “profesional” didasarkan pada pengakuan formal terhadap kualifikasi dan kompetensi penampilan unjuk kerja suatu jabatan atau pekerjaan tertentu.

Uzer0 dalam bukunya Menjadi Guru profesional mengutip pendapat

Nana bahwa kata “profesional” berasal dari kata sifat yang berarti orang yang mempunyai keahlian seperti guru, dokter, hakim, dan sebagainya dengan kata lain pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan lain.

Dengan bertitik tolak pada pengertian di atas, maka pengertian guru profesional adalah orang yang mempunyai kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Atau dengan kata lain guru profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya. Profesionalisme guru mengandung arti

(37)

sebagai usaha menjadikan suatu jabatan sebagai pekerjaan profesional; upaya dan proses peningkatan dasar, kriteria, standar, kemampuan, keahlian, etika, dan perlindungan suatu profesi.

Menurut Supriadi0 untuk menjadi profesional, seorang guru dituntut

untuk memiliki lima hal. Pertama, guru mempunyai komitmen pada murid dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa komitmen guru adalah kepada kepentingan siswanya. Kedua, guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarkannya kepada siswanya. Ketiga, guru bertanggung jawab memantau hasil belajar murid melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam prilaku murid sampai tes hasil belajar. keempat, guru mempu bersifir sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari pengalamannya. Kelima, guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.

Dalam bidang apapun, profesionalisme seseorang ditunjang oleh tiga hal, dan tanpa ketiga hal ini dimiliki, sulit seseorang mewujudkan profesionalismenya, yaitu: keahlian, komitmen dan skiil yang relevan. Ketiga hal itu pertama-tama dikembangkan melalui pendidikan pra-jabatan, dan selanjutnya ditingkatkan melalui pengalaman dan pendidikan/latihan dalam jabatan. Karena keahliannya yang tinggi, maka seorang profesional dibayar tinggi.

Pada hakikatnya, pekerjaan guru dianggap sebagai pekerjaan yang mulia, yang sangat berperan dalam pengembangan sumber daya manusia. Sejalan dengan pemikiran tersebut, maka perlu ditekankan bahwa yang layak menjadi guru adalah orang-orang pilihan yang mampu menjadi panutan bagi anak didiknya. Hal ini sesuai dengan hakikat pekerjaan guru sebagai pekerjaan

(38)

profesional, yang menurut Darling-Hamond dan Goodwin0 paling tidak

mempunyai tiga ciri utama. Ketiga ciri tersebut adalah: (1) penerapan ilmu dalam pelaksanaan pekerjaan didasarkan pada kepentingan individu pada setiap kasus, (2) mempunyai mekanisme internal yang terstruktur, yang mengatur rekrutmen, pelatihan, pemberian lisensi (ijin kerja), dan ukuran standar untuk praktik yang ethis dan memadai; serta (3) mengemban tanggung jawab utama terhadap kebutuhan kliennya.

Di samping ketiga ciri pekerjaan profesional yang telah diungkapkan di atas, perlu dicatat bahwa keprofesionalan seseorang bukan merupakan dikotomi, tetapi merupakan satu rentangan atau kontinum, mulai dari pemula (novice) sampai kepada pakar (expert). Menurut Tilaar0. Dari segi penyiapan guru,

program pendidikan guru, sebagaimana. halnya suatu profesi, memerlukan waktu yang relatif lama dalam jenjang perguruan tinggi, yang paling tidak harus sama dengan program penyiapan profesi lain seperti sekolah kedokteran. Program tersebut haruslah memberikan kesempatan kepada calon guru untuk menimba pendidikan umum yang menantang, mendalami pengetahuan bidang studi yang mendasari praktik, menghayati latihan yang efektif untuk memangku jabatan, serta mengembangkan wawasan/filosofi profesinya.

Raka Joni0 berpendapat profesionalisme ditandai oleh dua pilar

penyangga utama, yaitu layanan ahli yang aman yang menjamin kemaslahatan

0 Darling-Hammond, L. & Goodwin1993, A. L. Progress Toward Professionalism in Teaching

Dalam: G. Cawelti (ed). Challenges and Achievements of American Education, The ASCD Year Book. Alexandria: ASCD. hal. 83

0 Tilaar, H. A. R. 1995. Pembangunan Pendidikan Nasional 1945-1995: Suatu Analisis Kebijakan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia..hal. 37

(39)

klien, serta pengakuan dan penghargaan dari masyarakat. Pilar yang pertama, yaitu layanan ahli, harus mampu ditunjukkan secara meyakinkan dengan berpegang pada kode etik profesi0 sehingga masyarakat merasa aman menerima

layanan tersebut. Di pihak lain, pengakuan dan penghargaan masyarakat terhadap layanan ahli yang diberikan akan memperkokoh kehandalan profesi tersebut. Oleh karena itu, terdapat hubungan timbal balik antara kehandalan layanan dengan pengakuan dan penghargaan masyarakat. Makin handal layanan ahli yang diberikan dan makin tinggi rasa aman yang dirasakan penerima layanan, makin tinggi pula penghargaan dan pengakuan dari masyarakat.

Seseorang disebut profesional, minimal memiliki dua ciri, yakni kompeten dan sertifikat. Berkompeten, artinya memiliki kecakapan sesuai standar kerja profesinya. Menguasai Standar Operasional Prosedur. Hal ini harus dibuktikan dalam perbuatan, dalam performansi. Jika ia seorang guru, maka kompetensi minimal harus menguasai substansi, metode dan evaluasi.

Seorang profesional juga perlu dukungan legalitas, yakni sertifikat. Sertifikat merupakan bukti yang syah yang dikeluarkan lembaga berwenang bahwa yang bersangkutan memiliki kompetensi seperti yang tertulis di sertifikat tersebut.

Berkompeten dan menunjukkan performansi sesuai predikatnya merupakan ciri utama guru profesional. Ini adalah ciri empirik yang terlihat sehari-hari.

(40)

Tentu saja masih banyak ciri profesionalitas di luar yang dijelaskan di atas. Surachmad0 mengidentifikasi sejumlah ciri yang mendasar yang diperlukan

bagi guru profesional, yang dapat diakronimkan dengan lima huruf berbunyi HADITS. Guru disebut profesional jika memiliki hasrat, amanah, dewasa, interpersonal, teladan, dan setia.

a. Hasrat. Guru profesional jika memiliki hasrat terus berkembang. Manusia ini adalah pembelajar. Ia gemar ilmu pengetahuan dan mampu menerima perubahan sebagai syarat kemajuan. Dengan jiwa terbuka dan obyektif, guru lebih mudah melibatkan diri dalam proses inovatif dan pembaharuan pada umumnya.

b. Amanah. Guru profesional amanah pada tugas. Ia menerima tanggung jawab mengajar sebagai pengabdian. Berbeda dari sekedar pencari kerja, guru lebih dari sekedar pegawai atau pencari nafkah. Mengajar bukan sekedar pekerjaan, tetapi lebih bernilai ibadah.

c. Dewasa. Guru profesional berpandangan hidup dewasa. Ia memiliki prinsip dan pola hidup yang jelas serta konsisten. Dalam sikap dan pembawaan serta dalam pergaulan dan pekerjaan guru menjadikan prinsip dan nilai hidup sebagai rujukan.

d. Interpersonal. Guru profesional memiliki sifat interpersonal yang kuat. Ia memiliki empati, hangat, dan mudah bergaul dengan sesama manusia. Khususnya dengan anak didiknya. Dalam sikap dan tingkah lakunya ia senantiasa melahirkan suasana ramah dan bersahabat.

(41)

e. Teladan. Guru profesional berperangai teladan. Ia hidup dengan moral yang bersih, jujur, teratur dan efisien. Ia menunjukkan kebiasaan hidup terencana. f. Setia. Guru profesional setia pada tugas. Bangga dengan profesinya.

Membela kepentingan anak didiknya demi masa depan yang lebih baik. Tidak menyesal menjalani profesi guru, apa pun resikonya. Fide la morte! Setia sampai mati!

Untuk memiliki ciri HADITS tersebut bukan hal yang mudah, tetapi juga bukan hal yang tidak mungkin. Semua tergantung kepada kemauan.

Searah dengan ciri yang harus dimiliki guru seperti tersebut di atas, Soetjipto dan Raflis Kosasi0 menetapkan perlunya 7 (tujuh) sikap guru yang

mengarah kepada sikap profesional. Tujuh sikap dimaksud ialah: (1) sikap terhadap peraturan perundang-undangan; (2) sikap terhadap organisasi profesi; (3) sikap terhadap teman sejawat; (4) sikap terhadap anak didik; (5) sikap terhadap tempat kerja (6) sikap terhadap pemimpin; (7) sikap terhadap pekerjaan.

Secara umum, sebagaimana diungkapkan oleh Tilaar0 pada masa

Pembangunan Jangka Panjang (PJP) II, masyarakat tidak dapat lagi menerima guru yang tidak profesional. Hal ini sesuai dengan rekomendasi Unesco, yang ditekankan pada tiga tuntutan yaitu: (1) guru harus dianggap sebagai pekerja profesional yang memberi layanan kepada masyarakat, (2) guru dipersyaratkan menguasai ilmu dan keterampilan spesialis, serta (3) ilmu dan keterampilan tersebut diperoleh dari pendidikan yang mendalam dan berkelanjutan0.

0 Soetjipto dan Raflis Kosasih, 2004. Profesi Keguruan, Jakarta : Rineka Cipta h. 43-52 0 H.A.R. Tilaar, loc.cit.

(42)

Conny Semiawan dalam Sutomo0 mengisyaratkan bahwa untuk menjadi

tenaga yang profesional guru harus meningkatkan kemampuannya yaitu ia harus dapat mengantisipasi berbagai perubahan dan perkembangan, mampu merancang dan melaksanakan kegiatan belajar mengajar yang mengacu pada proses belajar mengajar yang lebih baik. Selanjutnya Ia mengemukakan bahwa profesionalisme yang berkenaan dengan suatu keahlian, ketrampilan dan sikap untuk bertindak yang terbaik bagi lingkungannya. Seorang yang profesional senantiasa berpandangan melakukan sesuatu yang benar dan baik.

Bertitik tolak dari rekomendasi tersebut serta profil guru pada saat ini, seyogyanya guru pada abad 21 benar-benar merupakan guru yang profesional, agar mampu menghadapi tantangan abad 21. Untuk itu, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial seorang guru perlu dikembangkan sehingga mampu mendidik siswa yang mempunyai kemampuan memprediksi dan menanggulangi. Kompetensi kepribadian menuntut guru agar mampu menjadi panutan bagi siswa dan masyarakat. Manusia yang takwa, berbudi luhur, bersikap kritis, menjunjung tinggi kode etik guru, mampu bekerja sama, menghormati sesama, mengembangkan diri, dan sejumlah ciri-ciri kepribadian lain perlu dimodelkan oleh guru bagi para siswanya.

Kemampuan profesional yang terutama berlandaskan pada penguasaan bahan ajaran, pemahaman karakteristik peserta didik, landasan kependidikan, serta belajar dan pembelajaran, ditunjukkan guru ketika merencanakan dan melaksanakan pembelajaran. Dalam melaksanakan pembelajaran, guru dituntut agar mampu menciptakan suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan

(43)

karena suasana seperti itu merupakan sugesti positif yang mampu membuat "pemercepatan belajar" atau yang disebut sebagai accelerated learning, yang didefinisikan sebagai hal yang memungkinkan siswa belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal, serta dibarengi kegembiraan.

Dalam Soetjipto, Gilley dan Eggland dalam bukunya Principles of Human Resourches Development, menyatakan bahwa profesi diukur berdasarkan kepentingan dan tingkat kesulitan yang dimiliki. Dalam dunia keprofesian kita mengenal berbagai terminologi kualifikasi profesi yaitu: profesi, semi profesi, terampil, tidak terampil, dan quasi profesi, mendefinisikan profesi sebagai bidang usaha manusia berdasarkan pengetahuan, dimana keahlian dan pengalaman pelakunya diperlukan oleh masyarakat. Definisi ini meliputi aspek yaitu :

a. Ilmu pengetahuan tertentu

b. Aplikasi kemampuan/kecakapan, dan c. Berkaitan dengan kepentingan umum

Proses profesional adalah proses evolusi yang menggunakan pendekatan organisasi dan sistemastis untuk mengembangkan profesi ke arah status profesional (peningkatan status). Secara teoritis menurut Gilley dan Eggland dalam Soetjipto0 pengertian profesional dapat didekati dengan empat

prespektif pendekatan yaitu orientasi filosofis, perkembangan bertahap, orientasi karakteristik, dan orientasi non-tradisional.

(44)

Orientasi filosofis yang dimaksud adalah Ada tiga pendekatan dalam orientasi filosofis, yaitu pertama lambang keprofesionalan adalah adanya sertifikat, lissensi, dan akreditasi. Akan tetapi penggunaan lambang ini tidak diminati karena berkaitan dengan aturan-aturan formal. Pendekatan kedua yang digunakan untuk tingkat keprofesionalan adalah pendekatan sikap individu, yaitu pengembangan sikap individual, kebebasan personal, pelayanan umum dan aturan yang bersifat pribadi. Yang penting bahwa layanan individu pemegang profesi diakui oleh dan bermanfaat bagi penggunanya. Pendekatan ketiga: electic, yaitu pendekatan yang menggunakan prosedur, teknik, metode dan konsep dari berbagai sumber, sistim, dan pemikiran akademis. Proses profesionalisasi dianggap merupakan kesatuan dari kemampuan, hasil kesepakatan dan standar tertentu. Pendekatan ini berpandangan bahwa pandangan individu tidak akan lebih baik dari pandangan kolektif yang disepakati bersama. Sertifikasi profesi memang diperlukan, tetapi tergantung pada tuntutan penggunanya.

Orientasi perkembangan menekankan pada enam langkah pengembangan profesionalisasi, yaitu:

a. Dimulai dari adanya asosiasi informal individu-individu yang memiliki minat terhadap profesi.

b. Identifikasi dan adopsi pengetahuan tertentu.

c. Para praktisi biasanya lalu terorganisasi secara formal pada suatu lembaga. d. Penyepakatan adanya persyaratan profesi berdasarkan pengalaman atau

(45)

e. Penentuan kode etik.

f. Revisi persyaratan berdasarkan kualifikasi tertentu (termasuk syarat akademis) dan pengalaman di lapangan.

Profesionalisasi juga dapat ditinjau dari karakteristik profesi/pekerjaan. Ada delapan karakteristik pengembangan profesionalisasi, satu dengan yang lain saling terkait:

a. Kode etik

b. Pengetahuan yang terorganisir

c. Keahlian dan kompetensi yang bersifat khusus d. Tingkat pendidikan minimal yang dipersyaratkan e. Sertifikat keahlian

f. Proses tertentu sebelum memangku profesi untuk bisa memangku tugas dan tanggung jawab

g. Kesempatan untuk penyebarluasan dan pertukaran ide di antara anggota profesi

h. Adanya tindakan manajemen konflik dan batasan tertentu jika terjadi malpraktek oleh anggota profesi.

(46)

termasuk pentingnya sertifikasi profesional dan perlunya standarisasi profesi untuk menguji kelayakannya dengan kebutuhan lapangan.

Kemampuan guru sering disebut dengan kompetensi, yaitu seperangkat kemampuan yang harus dikuasai guru dalam proses belajar mengajar. Raka Joni0

seperti dikutip Trimo menyatakan bahwa kompetensi guru meliputi kompetensi profesional, personal, dan kemasyarakatan. Secara garis besar, konsep kompetensi yang harus dimiliki tenaga pendidik adalah sebagai berikut:

a. Kompetensi profesional ialah kompetensi menguasai bidang akademik yang terpadu dengan penguasaan metodologi pengajaran, yang meliputi:

b. Memiliki daya pengertian, pengetahuan, pemahaman dan penghayatan yang luas dan mendalam tentang anak didik baik melalui ilmu teoritis maupun pengalaman;

c. Mantap ilmu pengetahuannya;

d. Mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

e. Mampu mendidik yang berarti harus menguasai materi, metode kondisi anak, tujuan pendidikan, mampu memotivasi anak, menilai hasil belajar dan membimbingnya;

Aspek-aspek yang terkandung dalam profesi tersebut juga merupakan standar pengukuran profesi guru. Proses profesional adalah proses evolusi yang menggunakan pendekatan organisasi dan sistemastis untuk mengembangkan profesi ke arah status profesional (peningkatan status).

(47)

Tentu saja, pekerjaan guru tidak diragukan untuk dapat dikatakan sebagai profesi pendidikan dan pengajaran. Namun, hingga kini “pekerjaan untuk melakukan pendidikan dan pengajaran” ini masih sering dianggap dapat dilakukan oleh siapa saja. Inilah tantangan bagi profesi guru. Paling tidak hal ini masih sering terjadi di lapangan.

Profesionalisme guru harus didukung oleh kompetensi yang standar yang harus dikuasai oleh para guru profesional. Kompetensi tersebut adalah pemilikan kemampuan atau keahlian yang bersifat khusus, tingkat pendidikan minimal, dan sertifikasi keahlian haruslah dipandang perlu sebagai prasarat untuk menjadi guru profesional. Menurut Surya0 guru yang profesional harus

menguasai keahlian dalam kemampuan materi keilmuan dan ketrampilan metodologi. Guru juga harus memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi atas pekerjaannya baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bangsa dan negara, lembaga dan organisasi profesi. Selain itu, guru juga harus mengembangkan rasa kesejawatan yang tinggi dengan sesama guru.

Dalam pekerjaan keguruan, siapa saja bisa trampil mengajar orang lain, tetapi hanya mereka yang berbekal pendidikan profesional keguruan yang bisa menegaskan dirinya memiliki pemahaman teoretik bidang keahlian kependidikan. Kualifikasi pendidikan ini hanya bisa diperoleh melalui pendidikan formal bidang dan jenjang tertentu.

Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi pedagogik menunjuk pada kemampuan

(48)

mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi kepribadian menunjuk pada kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Kompetensi profesional menunjuk pada kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi sosial menunjuk kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.

Tampaknya, kendati syarat kualifikasi pendidikan terpenuhi, tak berarti dengan sendirinya seseorang bisa bekerja profesional, sebab juga harus ada cukup bukti bahwa dia memiliki keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu. Karena itu, belakangan ditetapkan bahwa sertifikasi pendidik merupakan pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional.

(49)

Bila tolak ukur ini dikenakan pada pekerjaan keguruan, jelas kemantapan guru sebagai profesi belum sampai tahapan ini. Banyak guru masih bekerja dalam pengawasan ketat para atasan serta tidak memiliki derajat otonomi dan kemandirian sebagaimana layaknya profesi. Nyaris tanpa sanksi bagi siapa saja yang berpraktik keguruan meskipun tanpa sertifikasi kependidikan. Sistem konvensional teramat jelas tidak mendukung pemantapan profesi keguruan. Keputusan penilaian seorang guru bidang studi, misalnya, sama sekali tidak bersifat final karena untuk menentukan kelulusan, atau kenaikan kelas, masih ada rapat dewan guru. Tak jarang, dalam rapat demikian, seorang guru bidang studi harus “mengubah” nilai yang telah ditetapkan agar sesuai dengan keputusan rapat dewan guru.

Dalam konteks otoritas profesional tersebut, tampak berbeda antara otonomi profesi dosen dengan otonomi profesi guru. Dengan sistem kredit semester, seorang dosen bisa membuat keputusan profesional secara mandiri dan bertanggung jawab. Keputusan seorang dosen profesional memiliki bobot mengikat sebagaimana keputusan seorang dokter untuk memberikan atau tidak memberikan obat tertentu. Tak siapapun, termasuk ketua jurusan, Dekan, dan bahkan Rektor, yang bisa melakukan intervensi langsung terhadap penilaian yang telah dilakukan oleh seorang dosen terhadap mahasiswanya. Tentu saja, di balik otoritas demikian, juga dituntut adanya tanggung-jawab dan keberanian moral seorang tenaga profesional.

(50)

keuntungan bagi dirinya. Prinsip pembeli adalah raja, tidak berlaku dalam pekerjaan profesional keguruan. Ini terkait dengan syarat profesi ketiga, yaitu: kewenangan atas klien (authority over clients).

Karena memiliki pendidikan formal dan nonformal ekstensif, para profesional mengakui dan diakui memilik pengetahuan di luar profesi yang bersangkutan dapat memahami secara penuh pengetahuan tersebut. Karena pengakuan demikian, maka seorang profesional melakukan sendiri proses asesmen kebutuhan, diagnosis masalah, hingga pengambilan tindakan yang diperlukan beserta tanggung-jawab moral dan hukumnya. Seperti seorang dokter yang tidak bisa didikte oleh seorang pasien untuk memberikan jenis perlakuan dan obat apa, demikian pula tak seorang peserta didik atau bahkan orangtua mereka yang berhak mendikte materi, metode dan penilaian seorang guru.

(51)

etika, tetapi ada juga anggota-anggota yang tidak mengindahkan sama sekali norma-norma etika. Dengan demikian profesionalisme guru, adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.

Berdasarkan analisis konsep dan teori-teori di atas khususnya berkenaan dengan profesionalisme guru maka sintesa menurut penulis dapat disimpulkan bahwa, profesi adalah suatu jabatan, profesional adalah kemampuan atau keahlian dalam memegang suatu jabatan tertentu, sedangkan profesionalisme adalah jiwa dari suatu profesi dan profesional. Dengan demikian, profesionalisme guru dalam penelitian ini adalah seorang guru yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan serta memiliki kualifikasi dan kompetensi yang bersifat holistik meliputi pedagogik, kepribadian, sosial, dan kompetensi profesional sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan yang maksimal dengan kriteria guru profesional, dan profesinya itu telah menjadi sumber mata pencaharian.

Gambar

Gambar. 2.5. Kerangka Gaya Manajemen Konflik Thomas dan Kilmann
Gambar. 2.6. Kerangka Gaya Manajemen Konflik Rahim (1983)
Gambar 3.1 : Konstelasi Penelitian
Tabel 3.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian Dea (2009) dalam Arif et al (2016), menunjukkan bahwa pemberian ekstrak rebung bambu betung dengan dosis 50 ml/bibit menunjukkan hasil yang

Butil Akrilat merupakan salah satu bahan dasar yang digunakan dalam pembuatan polimer, dan butil akrilat telah banyak digunakan secara luas pada industri sebagai

Jika dilihat dari sisi input Kota Surabaya merupakan daerah dengan input tertinggi akan tetapi output yang dihasilkan tidak sebanding dengan inputnya sehingga nilai

Metode purposive sampling digunakan untuk menetukan jumlah sampel dengan kriteria sebagai berikut; (1) perusahaan sektor non keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia

pembelajaran mengacu pada prinsip belajar Blended learning berbasis proyek dengan harapan membantu mahasiswa mewujudkan karya kreatif mereka dalam bentuk rancangan

Berdasarkan Peraturan Bupati Trenggalek Nomor 130 Tahun 2011 tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, Pemukiman dan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa hasil yang diperoleh dari pengukuran keadaan monoton, kualitas tidur, keadaan psikofisiologi,

Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h.. tetapi mereka berselisih mengenai jenis barang yang dipakai untuk menyewa. Sekelompok fuqaha