• Tidak ada hasil yang ditemukan

Feminisme Dalam kajian Tafsir al (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Feminisme Dalam kajian Tafsir al (1)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Kasul Munculnya Gerakan Feminisme

(Feminisme Dalam kajian Tafsir al-Qur’an klasik dan kontemporer)

ABSTRAK

Isu-isu feminism yang terdapat dalam penetian ini adalah tema-tema kajian para feminis Muslim dalam hubunganya dengan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tentang perempuan. Tidak semua ayat-ayat tentang perempuan yang dapat dimasukan ke dalam isu-isu feminisme. Yang menjadi titik perhatian mereka adalah ayat-ayat yang dinilai potensial untuk ditafsirkan menuju kepada kesimpulan supremasi laki-laki terhadap perempuan, padahal yang menjadi tema sentral feminisme adalah kesetaraan laki-laki dan perempuan. Dalam penelitian ini ada tiga isu

feminism yang diteliti : (1) konsep penciptaan perempuan(an-Nisa’ : 1), (2) konsep kepemimpinan rumah tangga(an-Nisa’ : 34), dan (3) konsep kesaksian dan kewarisan perempuan(al-Baqarah : 282 dan an-Nisa’ : 11)

Para mufassir dan feminis Muslim yang pemikiranya tentang tiga isu diatas diteliti adalah az-Zamakhsyari, al-Alusi dan Sa’id Hawwa dari kalangan mufassir; Asghar Ali Engineer, Riffat Hssan dan Amina Wadud Muhsin dari kalangan feminis Muslim.

Penelitian ini bersifat kepustakaan murni dengan menggunakan metode analisis gabungan antara deduktif –induktif-komparatif. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan teologis –filosofis.

Para mufassir sepakat memahami dari surat an-Nisa’ : 1 dan hadits riwayat Bukhari Muslim bahwa Hawa-perempuan pertama-diciptakan oleh Allah SWT dari tulang rusuk Adam. Riffat menolak pandangan para mufassir tersebut karena dinilai berlawanan denga prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Menurut Riffat, Hawa juga diciptakan dari tanah seperti penciptaan Adam.

(2)

Baik para mufassir, maupun feminis Muslim sepakat menyatakan bahwa formula

kesaksian 1:2 (satu laki-laki dua perempuan) dan formula kewarisan 2:1(bagian laki-laki dua kali bagian perempuan) tidaklah bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Menurut mereka,

formula kesaksian 1:2 berdasarkan berdasarkan pertimbangan pengalaman perempuan yang kurang dalam bidang bisnis. Sedangkan formula kewarisan 2:1 berdasarkan asas keadilan berimbang antara hak dan kewajiban.

(3)

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Dengan pengamatan sepintas saja, tanpa harus melalui penelitian yang seksama, setiap pengamat masalah-masalah perempuan dan keperempuanan dapat melihat bahwa perempuan, sepanjang sejarah peradaban manusia hanya memaikan peran sosial-ekonomi apalagi politik yang kecil kalau di bandingkan peran laki-laki. Sebaliknya peran domestik perempuanlebih menonjol, baik sebagai istri maupun ibu rumah tangga. Tentu dalam kasus-kasus individual tertentu tetap pengecualian, seperti Cory Aquino yang menjadi presiden Filipina, dan Margaret Thatrcher mantab perdana mentri Inggris yang pernah menjadi perdana mentri di negara mereka masing-masing.

Apa sebab laki-laki dominan dalam peran-peran publik, sememntara perempuan lebih banyak memainkan peran domestik di rumah tangga ? apakah memang sudah merupakan fitrah masing-masing sehingga secara alami telah terjadi konsensus pembagian tugas demikian ? atau hal itu disebabkan oleh ketidakmampuan perempuan berkompetisi secara obyektif dengan laki-laki ? atau domestikasi perempuan itu memang berangkat dari asumsi teolgis bahwa perempuan memang diciptakan lebih rendah dari laki-laki sehingga

sepantasnyalah laki-laki mendominasi kehidupan mereka ?

Bagi Asghar Ali Engineer, kemngkinan terakhirlah yang dipilahnya. Pemikir dan teolog Muslim dari India yang secara seriusmenekuni kajian tentang perempuan itu menyatakan sebagai berikut ;

“secara historis, telah terjadi dominasi laki-laki dalam semua masyarakat disepanjang zaman, kecuali dalam masyarakat-masyarakat matriarkhal, yang jumlahnya tidak seberapa. Perempuan dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Dari sini muncullah doktrin

(4)

pemimpinya dan menentukan masa depannya, dengan bertindak baik sebagai ayah, saudara laki-laki, ataupun suami. Alasanya, untuk kepentinganyalah dia harus tunduk kepada jenis kelamin yang lebih unggul. Dengan dibatasi di rumah dan di dapur, dia dianggap tidak mampumengambil keputusan diluar wilayah.”

Dominasi peran laki-laki itu, menurut Asghar di benarkan oleh norma-norma kitab suci yang ditafsirkan oleh laki-laki untuk mengekalkan dominasi mereka. Tidak terkecuali kitab suci al-Qur’an, yang secara komparatif bersikap liberal dalam perlakuanya terhadap

perempuan, juga mengalami nasib yang sama.

Al-Quran, menurut Asghar secara normatif menegaskan konsep kesetaraan status antara laki-laki dan perempuan. Konsep kesetaraan itu mengisyaratkan dua hal pertama, dalam pengertian yang umum,ini berarti penerimaan martabat kedua jenis kelamin dalam ukuran yang setara. Kedua, orang harus mengetahui bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak-hak yang setara dalam bidang sosial, ekonomi dan politik; keduanya harus memiliki hak yang setara untuk mengadakan kontrak perkawinan atau memutuskanya; keduanya harus memiliki hak untuk memiliki atau mengatur harta miliknya tanpa campur tangan yang lain; keduanya harus bebas memilih profesi atau cara hidup; keduanya harus setara dalam tanggung jawab sebagaimana dalam hal kebebasan.

Seperti diungkap di atas ini, sekalipun secara normatif al-Qur’an memihak kepada kesetaraan status antara laki-laki dan perempuan, tetapi secara kontekstual al-Qur’an

memang menyatakan adanya kelebihan tertentu kaum laki-laki atas perempuan. Tetapi denga mengabaikan konteksnya, para fuqaha’, kata Asghar menyayangkan, berusaha memberikan status yang lebih unggul bagi laki-laki dalam pengertian normatif. Misalnya tentang status suami sebagai qawwamun dalam surat an-Nisa’ : 34

Asghar mengkritik dengan tajam metode para mufassir yang memahami ayat ini semata-mata bersifat teologis dengan mengabaikan pendekatan sosiologis. Seharusnya para mufassir menggunakan pandangan sosio-teologis. Tentang hal ini kita kutip Asghar secara lengkap :

“Meskipun demikian, al-Qur’an memang bicara tentang laki-laki yang memiliki

kelebihan dan keunggulan sosial atas perempuan. Ini, sebagaimana ditunjukan di atas, harus dilihat dalam konteks sosialnya yang tepat. Struktur sosial pada zaman Nabi tidaklah benar-benar mengakui kesetaraan laki-laki dan perempuan. Orang tidak dapat mengambil

(5)

pandangan sosio-teologis. Bahkan al-Qur’an pun terdiri dari ajaran yang kontekstual dan juga normatif. Tidak akan ada kitab suci yang bisa efektif, jika mengabaikan konteknya sama sekali.”

Untuk mendukung pendapatnya tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan, disamping mengkritik penafsiran para mufassir yang tidak sejalan denganya, Asghar tidak lupa

mengutip dan menggaris bawahi penafsiran para mufassir modernis (menurut istilah Asghar) yang mendukung pandanganya, termasuk penafsiran yang janggal sekalipun. Misalnya tentang makna kalimat wadhribunna dalam an-Nisa’ : 34 dalam kasus ini yang nusyus, Asghar mengutip mufassir yang mengartikan kalimat itu dengan: “ dan pergilah ketempat tidur dengan mereka”. Sebuah penafsiran yang berbeda sama sekali dengan penafsiran umum: “dan pukullah mereka”.

Di samping Asghar Ali Engineer, pemikir Muslim lain yang melakukan kajian kritis tentang perempuan, terutama dalam hubungan dengan laki-lakia dalah Fatimah Mernissi, Riffat Hasan dan Amina Wadud Muhsin. Dalam diskursus modern mereka dikenal sebaga feminis-feminis Muslim. Feminisme adalah suatu faham yang memperjuangkan kebebasan perempuan dari dominasi laki-laki. Dalam pandangan moderat, para feminis ingin

memperjuangkan kesetaraan status laki-laki dan perempuan.

Dengan latar belakang masalah diatas penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang bagaimana sebenarnya panafsiran para mufassir tentang ayat-ayat yang menyangkut

persoalan-persoalan permpuan yang menjadi tema kajian para feminis Muslim, misalnya tentang konsep pencitaan permpuanNisa’ :1), konsep kepemimpinan rumah tangga (an-Nisa’ :34), dan konsep kesaksian dan kewarisan perempuan (al-Baqarah :282 dan an-(an-Nisa’ : 11). Dengan menganalisis pemikiran para mufassir dapat diketahui bagaimana mereka menyelesaikan persolan-persolan ayat-ayat al-Qur’an yang terkesan diskriminatif tersebut, terutama dikaitkan dengan konsep kesetaraan laki-laki dan perempuan.

Setelah itu penulis ingin membandingkan pandangan para mufassir tersebut dengan pandangan para feminis Muslim dan pemikir-pemikir lain, dan pada akhirnya penulis kemukakan pandangan penulis sendiri terhadap semua diskusi tersebut.

2. Rumusan Masalah

(6)

2. Bagaimana pandangan feminis Muslim tentang ayat-ayat yang sama?

3. Kenapa terjadi perbedaan dalam penafsiran ayat-ayat yang sama antara mufassir dan para feminis Muslim? Apakah perbedaan itu semata-mata karena perbedaan metodologiatau ada bias-bias tertentu dalam pandangan masing-masing pihak? 3. Metodologi Penelitian

Penelitian ini bersifat kepustakaan murni, karena sumber datanya adalah buku-buku, baik kitab-kitab tafsir dan buku karya feminis Muslimsebagai sumber primer, maupun buku-buku tafsir lain, buku-buku-buku-buku dan artikel lain tentang permpuan sebagai sumber skunder. Di samping kitab-kitab fiqih, hadits, buku-buku teologi, filsafat, metodologi penelitian, dan kamus-kamus yang diperlukan sebagai sumber pembantu.

Metode analisis yang diggunakan dalam penelitian ini adalah gabunga antara metode deduktif-induktif-komparatif. Metode deduktif digunakandalam rangka memperoleh gambaran tentang detail-detail pemikiran ketiga mufassir yang disebutkan diatas dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang menjadi obyek penelitian, dan juga untuk memperoleh detail-detail pemikiran para feminis Muslim tentang ayat-ayat mengenai perempuan. Metode induktif digunakan dalam rangka memperoleh gambaran utuh tentang pemikiran topikal para mufassir dan para feminis Muslim tentang topik-topik yang diteliti setelah dikelompokan secara tematik. Sedangkan metode komparatif dipakai untuk membandingkan pertama, pemikiran mufassir sendiri, dan kedua, untuk membandingkan antara pemikiran mufassir dan para feminis Muslimdan juga pemikir-pemikir lain yang dinilai relevan.

Perlu disebutkan juga bahwa pendekatan yang digunakan dalam penelitian iniadalah pendekatan teologis-filosofis. Artinya doktrin-doktrin al-Qur’an tentang perempuan diberi interpretasi logis-filosofis atau dalam ungkapan lain mencari nilai-nilai obyektifitas dari subyejtifitas doktrin al-Qur’an.

4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam rangka mengungkap secara rinci pemikiran ketiga

mufassir tersebut diatas tentang ayat-ayat yang terkait dengan konsep penciptaan perempuan, konsep kepemimpina dalam rumah tangga dan beberaapa persoalan hukum yang terkesan diskriminatif terhadap permpuan.

(7)

memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka kontekstualisasi ajaran-ajaran al-Qur’an yang sesuai dengan tuntutan zaman tanpa harus meninggalkan pegangan tekstual

doktrinernya. Al-Qur’an harus di tafsirkan seimbang antara tekstual dan kontekstual agar dapat berfungsi efektif sebagai hudan bagi umat Islam umumnya dan dalam rangka pemberdayaan dan peningkatanperan kaum muslimah khususnya.

5. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini disusun sebagai berikut ; BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang menjelaskan tentang latar belakang, rumusan masalah,batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, hipotesis

awal, metodologi penelitian dan data serta sistematika penulisan. Bab pertama ini akan menjadi pengantar bagi bab-bab selanjutnya.

BAB II : STUDI PUSTAKA

Bab ini berisikan tentang landasan teori serta penelitian terdahulu. BAB III : DATA DAN METODOLOGI

Bab ini menjelaskan metodologi penelitian yang terdiri dari jenis dan data penelitian, definisi operasional variabel penelitian, serta metode analisis.

BAB IV : PEMBAHASAN

Bab ini berisi tentang hasil penelitian yang telah dilakukan penulis berikut dengan analisanya.

BAB V : PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan serta rekomendasi dari penulis.

Referensi

Dokumen terkait

Perbedaan-perbedaan hasil tafsir Al-Qur ’ an oleh para mufassir umumnya disebabkan oleh perbedaan metode yang digunakan. 23 Sebanyak apapun literatur buku tafsir

Metode tafsir Ijmali adalah metode tafsir yang telah digunakan oleh Nabi Muhammad sebagai al-Mufassir al-Awwal untuk menafsirkan al-Qur`an dengan cara singkat dan

Menurut Baljon dalam bukunya yang berjudul Modern Muslim Koran Interpretation, mengatakan bahwa yang apa yang disebut tafsir modern adalah usaha yang dilakukan para mufassir

Adapun pendekatan yang dilakukan adalah dengan menggunakan meto e mau hu‟i Yaitu menghimpun seluruh a at al- Qur‟an yang memiliki kesatuan makna atau maksud yang

Dalam Al- Qur‟an , ada beberapa indikasi yang mempunyai sinyal kuat yang menunjukkan bahwa Al- Qur‟an adalah satu kesatuan yang memiliki keserasian (Munasabah),

Dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an, dengan gaya penuturan yang sejuk dan lembut serta gambaran masalah yang inspiratif ini, al-Qur‟an menyingkap rasa kesadaran manusia

Individu yang dapat merasakan Al-Qur‟an sebagai obat adalah individu yang meyakini dan mengamalkannya dengan pemahaman dan penghayatan makna dari ayat-ayat Al-Qur`an tersebut, bahwa

Dalam Al-Qur‟an Isitilah manajemen menggunakan yudabbiru, yang berarti mengatur, mengelola, merekayasa, melaksanakan, mengurus dengan baik.10 Menurut Ramayulis, bentuk masdar dari kata