• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANGKAH LANGKAH yang BERPIKIR KRITIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "LANGKAH LANGKAH yang BERPIKIR KRITIS"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

LANGKAH-LANGKAH BERPIKIR

KRITIS

8 Votes

Gunakan langkah-langkah berpikir kritis sebagaimana dibahas dalam buku Critical Thinking (Kasdin Sihotang, dkk, Sinar Harapan, Jakarta: 202, hlm. 7-8) untuk membedah artikel berjudul “Menyimak Gelagat Rudi Rubiandini” di bawah ini.

Menyimak Gelagat Rudi Rubiandini

BANYAK orang mengaku terhenyak dengan ditangkapnya Rudi Rubiandini, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Tragis memang, mengingat posisinya juga sebagai mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Bahkan secara akademik, gelar guru besar juga disandang.

Lebih miris lagi, justru dia tertangkap tangan bersama dengan uang dalam valuta dolar AS senilai $400 ribu atau lebih dari Rp 4 miliar. Ada motor merek BMW pula yang ikut diangkut Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai barang bukti dugaan suap. Pupus sudah persepsi yang dibangun Rudi. Sejatinya, dari gelagat yang diperlihatkan ke publik melalui media, dia ingin tampil sebagai pejabat sederhana dengan cara menumpang kereta kelas ekonomi saat mudik. Foto keberadaannya di besi merayap itu pun disebarkan media – entah media ikut atau memang sengaja disebarkan. Selain itu, dosen teladan Institut Teknologi Bandung ini juga ingin

mencitrakan diri sebagai pejabat yang peduli terhadap pemberantasan korupsi. Ketika menjadi Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, dia mendatangi KPK dengan sesumbar ingin mencegah terjadinya korupsi di sektor migas.

Usia pencitraan Rudi tak berlangsung lama. Hijab itu terbuka sudah. Bahkan selain dana $700 ribu dolar yang Rudi terima secara langsung, KPK menemukan miliaran dananya yang lain berceceran di banyak tempat. Dari kotak deposit pada Bank Mandiri hingga brankas ruang kerjanya.

(2)

larut. Hanyut bersama medianya yang mudah takjub. Gelagat pejabat mencitrakan dirinya dengan pendekatan human interest ini sebenarnya tak hanya dilakukan Rudi. Masih ada yang lain.

Sebagai contoh, beberapa menteri merasa perlu menginap di rumah petani miskin dana demi dicitrakan sebagai pejabat peduli rakyat. Foto pun disebar lewat media, yang kemudian menyajikannya kepada pembaca. Padahal tidak ada hubungan antara tidur di rumah petani dengan tugas sebagai pejabat publik yang diemban. Begitulah memang model pengelabuan alias deception. Seperti pemain sulap. Tugasnya adalah menjajah serta menguasai pemikiran dan persepsi publik agar mempercayai peran manipulatif yang dimainkan.Dalam kerangka berpikir pengelabuan itu, para pelaku menciptakan fiksi atau dunia mimpi semacam mitologi Cinderella. Kisah inilah yang disajikan.

Model lain dalam upaya pengelabuan, ada juga melalui penyembunyian fakta sesungguhnya. Contoh paling mudah bisa dilihat pada pejabat publik yang biasa mengumumkan sudah melepas semua bisnisnya saat pertama diangkat. Padahal tidak seperti itu kebenarannya. Hanya beralih nama, tapi tidak pindah kepemilikan.

Mengapa perlu menyembunyikan jika memang tidak memiliki niat jelek? Kembali soal Rudi. Dalam gelagatnya yang terakhir diketahui ini, dia sudah memperlihatkan bukan sebagai tokoh sederhana dan lugu seperti pengelabuannya. Selera terhadap motor klasik merek BMW serta uang miliaran yang tak masuk dalam sistem keuangan rumah tangganya bisa dijadikan bukti. Selain itu, gajinya yang sekitar Rp 200 juta – dari jabatan Kepala SKK Migas dan Komisaris Bank Mandiri – terasa tak cukup. Meski bukan profesional atau eksekutif di perusahaan

mentereng berskala multinasional, pendapatan resminya itu sudah tergolong sangat besar. Untuk itu, kita memang perlu makin mawas diri oleh ulah para pejabat publik yang senang menebar kisah fiksi. Sesungguhnya mereka sedang mendesain pengelabuan dengan menjajah alam pikir audiensnya, yaitu masyarakat yang seharusnya dilayani. (Artikel diambil dari Herry

Gunawan | Newsroom Blog – Jum, 16 Agu 2013). Jawab:

Langkah pertama: mengenali masalah. Langkah ini sangat penting karena akan menentukan kemampuan seseorang dalam bersikap kritis terhadap suatu masalah. Setelah membaca artikel di atas, kita bisa mengajukan pertanyaan ini: “Apa masalah yang diangkat dalam artikel ini?”

Di kelas saya, para mahasiswa mengemukakan empat masalah berikut.

 Korupsi

 Penyalahgunaan kekuasaan.

 Pembohongan publik melalui pencitraan.

(3)

Dapat ditanyakan lebih lanjut kepada setiap mahasiswa yang menjawab pertanyaan di atas, misalnya “mengapa dia menyimpulkan bahwa masalahnya adalah korupsi?” Demikian pula terhadap mahasiswa yang mengajukan jawaban “penyalahgunaan kekuasaan”, “pembohonan publik melalui pencitraan”, dan “mengejar kepentingan diri”. Pertanyaan lanjutan ini penting untuk mendalami pokok persoalan, apakah artikel di atas memang berbicara tentang hal-hal yang dikemukakan mahasiswa tersebut.

Kita juga bisa bertanya kepada mahasiswa yang lain, apakah artikel tersebut memang

membicarakan hal-hal sebagaimana diangkat oleh teman mereka. Pasti kita akan menemukan beragam pendapat dan sudut pandang yang berbeda. Di kelas saya, akhirnya – dengan bantuan pertanyaan pendalaman – mahasiswa sepakat bahwa artikel tersebut sedang berbicara mengenai pembohonan publik melalui pencitraan. Kelas sepakat bahwa kasus korupsi dijadikan sebagai “cara bernarasi” untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan politik pencitraan untuk meyakinkan publik bahwa seseorang itu baik secara moral.

Sebagaimana sudah kita pelajari, suatu masalah sebaiknya dirumuskan dalam bentuk pertanyaan. Karena itu, pertanyaan atas masalah tersebut dapat dirumuskan demikian: “Apakah dapat dibenarkan atau tidak jika seorang pejabat publik melakukan politik pencitraan dengan menampilkan diri sebagai sosok yang baik hanya demi menutupi kebobrokan dan sikap koruptifnya?”

Langkah kedua: menemukan cara-cara untuk menangani masalah tersebut. Di kelas saya ada banyak pendapat yang muncul. Ada mahasiswa yang berpendapat bahwa caranya adalah dengan menghentikan politik pencitraan. Ada juga yang mengatakan bahwa media massa tidak usah meliput dan menyiarkan sepak terjang pejabat publik yang hanya mau mencari popularitas demi kepentingan dirinya. Hal yang menarik adalah argumen yang dikemukakan oleh penulis artikel di atas. Bahwa masyarakat Indonesia menyukai hal atau pemberitaan yang berbau sensaional, yang mengangkat kehidupan orang dengan bumbu-bumbu yang cenderung dramatis. Jika potret ini benar, akan sulit menghilangkan politik pencitraan.

Menyadari hal ini, ada mahasiswa yang kemudian mengajukan jalan keluar yang menurut saya cukup tepat. Bahwa masyarakat harus dididik untuk bersikap kritis terhadap setiap pemberitaan. Ada yang dengan lugu menjawab, “Masyarakat harus belajar critical thinking”. Poin yang diangkat sebenarnya adalah pentingnya mengedukasi masyarakat untuk tidak mudah percaya pada berbagai upaya pembohongan publik, termasuk mencitrakan diri sebagai orang baik dan bermoral, padahal kenyataannya tidak demikian.

Langkah ketiga: mengumpulkan dan menyusun informasi untuk menyelesaikan masalah. Para mahasiswa diminta untuk menyebutkan berbagai fakta yang relevan yang dapat membantu kelas mencari jalan keluar pemecahan masalah. Informasi bisa saja berasal dari fakta yang ada dalam artikel tersebut, tetapi bisa juga dengan menambahkan informasi dari sumber lain, asal relevan dengan masalah yang dibicarakan.

(4)

1. Media massa Indonesia suka memanfaatkan kelemahan pembaca (sulit bersikap kritis) jika membaca atau menyimak pemberitaan yang menonjolkan sisi kemanusiaan atau sisi human interests.

2. Pejabat publik memiliki agenda tersembunyi (“rencana” korupsi) tetapi supaya masyarakat tidak mencurigainya, dia terlebih dahulu menampilkan diri sebagai orang baik (secara moral: sopan, lugu, peduli pada kepentingan publik, dsb).

3. Orang cerdas secara intelektual ternyata tidak menjadi jaminan bahwa dia akan bersikap baik secara moral.

Untuk kasus ini, mahasiswa memang tidak menyebutkan fakta-fakta lain di luar artikel tersebut. Meskipun demikian, kita bisa menarik atensi mahasiswa kepada berbagai upaya pejabat publik lainnya dalam mencitrakan diri sebagai orang baik, padahal perilakunya buruk secara moral. Fakta-fakta lain tersebut mendukung usaha menyelesaikan masalah yang diangkat di atas, yakni pentingnya mengedukasi masyarakat supaya bersikap kritis terhadap berbagai pemberitaan.

Langkah keempat: mengenal asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang tidak dinyatakan. Langkah ini penting untuk mendeteksi maksud tersembunyi di balik suatu permasalahan, kasus, asumsi, klaim atau tulisan. Langkah keempat ini bisa dijawab, misalnya dengan mengajukan pertanyaan ini: “Apakah ada kepentingan tertentu yang ada di balik pemikiran penulis ketika mengangkat masalah ini?” “Apakah penulis memang berangkat dari motivasi murni untuk menyadarkan publik tentang bahaya pembohongan publik yang dilakukan oleh pejabat publik?” “Atau, jangan-jangan penulis memiliki bias tertentu terhadap tokoh yang dia kritik?”

Artikel ini menunjukkan bahwa kalaupun penulis memiliki kepentingan tertentu yang ingin dia capai, kepentingan tersebut semata-mata adalah keinginan untuk “membebaskan” masyarakat dari berbagai pembohongan publik.

Langkah kelima: Menggunakan Bahasa Indonesia yang tepat, jelas, dan khas dalam

mendiskusikan persoalan yang diangkat oleh penulis artikel tersebut. Langkah ini tercapai ketika dosen (pengajar) memiliki kepekaan terhadap penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar supaya dia bisa langsung mengoreksi kesalahan mahasiswanya dalam mengemukakan pendapat.

Langkah keenam: Mengevaluasi data dan menilai fakta serta pernyataan-pernyataan. Mahasiswa bisa diajak untuk menyusun pernyataan mereka; bisa berupa pernyataan sikap. Mahasiswa di kelas saya mengajukan pernyataan berikut: “Kami menolak berbagai upaya pembohongan publik melalui politik pencitraan dengan maksud untuk membohongi masyarakat.” Mahasiswa juga berpendapat, “Kami memboikot media massa yang pemberitaannya menonjolkan semata-mata aspek human interest dengan maksud untuk memanfaatkan kelemahan pembaca demi kepentingan tertentu.”

(5)

diberikan? Karena kasus yang diangkat dalam artikel itu adalah pembohongan publik melalui pencitraan diri, maka kedua pernyataan yang dikemukakan mahasiswa tersebut adalah relevan dan didukung oleh data dan fakta yang memadai.

Langkah ketujuh: mencermati adanya hubungan logis antara masalah-masalah dengan jawaban-jawaban yang diberikan. Di sini kita bisa mengulang sekali lagi masalah yang sudah dirumuskan di atas, yakni “Apakah dapat dibenarkan atau tidak jika seorang pejabat publik mencitrakan dirinya sebagai orang baik, padahal motifnya adalah ingin menutupi keburukan perilakunya dalam melakukan korupsi?”

Mahasiswa menjawab bahwa sikap atau perilaku semacam itu sangat tidak dibenarkan. Dan jalan keluar yang mereka tawarkan bukan sekadar mengecam pejabat publik yang berperilaku

demikian, tetapi lebih pada bagaimana mengedukasi masyarakat supaya memiliki sikap kritis. Tentu ada hubungan logis antara masalah yang dikemukakan (dalam bentuk pertanyaan) dengan jawaban yang diberikan. Hubungan logisnya dapat diuraikan demikian:

 Bersikap kritis dapat membantu manusia untuk tidak mudah percaya pada suatu hal, termasuk berbagai politik pencitraan melalui media massa.

 Masyarakat Indonesia (pembaca) masih mudah percaya pada politik pencitraan melalui media massa.

 Karena itu, sikap kritis dapat membantu masyarakat Indonesia agar tidak mudah percaya pada politik pemberitaan melalui media massa.

 Hal ini dapat dicapai melalui edukasi atau pendidikan sikap kritis.

Referensi

Dokumen terkait

Zionism didn’t just want to negate the diaspora; it wanted to create a new idea of Jewish life: hence, a determinate negation.. But with every such negation, something of the old

Program Youth Discovery untuk Peningkatan Psychological Well-Being Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

[r]

untuk struktur modal berhubungan dengan igyarat yang diberikan kepada investor melalui keputusan suatu perusahaan untuk menggunakan utang atau saham dalam memperoleh modal

However, their frequencies are still higher than those of any outer circle varieties besides Singaporean English, allowing a general proposition that neg-raising – or at the

Hal ini berarti tidak ada pengaruh yang signifikan antara pendidikan agama Islam terhadap tingkah laku siswa di SMAN 1 Ngunut Tulungagung yang ditunjukkan dari t hitung < t tabel

Pemeriksaan variasi periode kawin pertama postpartus dikumpulkan dari data reproduksi sapi FH dara dan induk di kedua lokasi yang dikumpulkan oleh stasiun bibit BPTU

Untuk mengetahui ada atau tidak pengaruh Metode Inkuiri Berbantuan Alat Peraga terhadap Hasil Belajar Matematika Materi Luas dan Keliling Lingkaran Kelas VIII MTs Darul