• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN NOVEL AYAT-AYAT CINTA KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY (ANALISIS STRUKTURAL DAN ASPEK RELIGIUS)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TINJAUAN NOVEL AYAT-AYAT CINTA KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY (ANALISIS STRUKTURAL DAN ASPEK RELIGIUS)"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

TINJAUAN NOVEL AYAT-AYAT CINTA KARYA

HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY

(ANALISIS STRUKTURAL DAN ASPEK RELIGIUS)

Oleh

INDAH AYU WIDIASTUTI

NIM K1204027

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

commit to user

TINJAUAN NOVEL AYAT-AYAT CINTA KARYA

HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY

(ANALISIS STRUKTURAL DAN ASPEK RELIGIUS)

Oleh

INDAH AYU WIDIASTUTI

NIM K1204027

SKRIPSI

Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan

Gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(3)
(4)
(5)

commit to user

v

ABSTRAK

INDAH AYU WIDIASTUTI. K1204027. Tinjauan Novel Ayat-Ayat Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy (Analisis Struktural dan Aspek Religius). Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Januari 2012.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: (1) struktur novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy dan (2) mendeskripsikan dan menjelaskan makna aspek religius yang terdapat dalam novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan strukturalisme. Sumber data penelitian ini adalah dokumen dan informan. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis dokumen (content analisis) dan teknik wawancara mendalam (indepth interviewing). Validitas data dilakukan dengan menggunakan triangulasi teori yaitu mengkroscekkan data hasil penelitian dengan perspektif teori yang berbeda. dan triangulasi sumber. Teknis analisis data dilakukan dengan model analisis interaktif.

(6)

commit to user

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Realita dunia sastra sekarang, terdapat fenomena bahwa karya sastra

dipandang tidak lagi mengindahkan “dulce et etille”. Setiap karya sastra baik yang

berupa puisi, cerpen, essai sastra atau novel yang bertemakan pornografi dapat

diangkat dengan mudah oleh penulis kemudian dinikmati oleh khalayak penikmat

sastra. Karya sastra yang bertemakan seks, pornografi dan hal-hal yang

sebenarnya tidak membudaya dapat kita jumpai dengan mudah di toko buku,

persewaan buku, internet dan akses lain ke dunia sastra. Hal tersebut menjadi hal

yang patut kita prihatinkan karena karya sastra dapat dinikmati siapa saja tanpa

membedakan usia. Anak-anak dapat dengan mudah mendapatkan novel atau

bacaan tanpa melalui kontrol dari orang tua. Karya sastra yang semula dapat

mendidik manusia ke arah peradaban yang humanis menjadikan manusia yang

santun dan bermoral tidak bisa terwujud karena karya sastra yang tidak bernilai

Karya sastra yang memegang teguh asas ” dulce et etille ” .menjadi

benteng dari arus pergeseran budaya yang negatif dan juga menopang sekaligus

mengembangkan kesusastraan di tanah air. Nilai keindahan dan kebermanfaatan

menjadi pertimbangan dalam menjadi karya sastra. Karya sastrawan pendahulu

dapat dijadikan acuan bagi kita untuk mengkaji sesuatu yang luhur dan mulia

yang terdapat dalam sebuah karya sastra

Nilai moral dan religius adalah nilai-nilai yang sangat diperlukan karya

sastra yang hendak di ajarkan di bangku sekolah. Untuk mendidik manusia

Indonesia supaya bermoral salah satunya adalah melalui bangku sekolah yaitu

melalui apa yang dipelajari siswa di sekolah. Pelajaran apresiasi sastra di bangku

Sekolah Menengah Atas (SMA) salah satunya adalah apresiasi terhadap novel dan

mengaitkan sesuai konteksnya baik religius, sosial budaya, maupun nilai-nilai

yang ada dalam masyarakat kita yang kebetulan juga terdapat dalam novel yang

(7)

commit to user

secara tidak langsung kita mendidik siswa agar menjadi manusia santun dan

bermoral.

Apa yang dikatakan Horacle yaitu ”Dulce et etille” menjadi hal yang

harus benar-benar diperhatikan dalam memilih karya sastra yang hendak diajarkan

di Sekolah Menengah Atas bukanlah masalah yang serta merta mudah karena kita

harus selektif , novel mana yang sesuai dengan kebiasaan dan novel mana yang di

dalamnya terdapat nilai-nilai yang mendidik serta bernilai baik tidak asal-asalan

karena sebuah novel menjadi best seller di toko buku. Jika seorang guru

menggunakan karya sastra yang merupakan karya lama dengan bahasa yang kaku

menurut anak sekarang , maska akan dianggap kuno dan menjadi sulit dipahami

oleh anak sekarang, dan seandainya pun memilih karya yang merupakan

terbitanbaru maka tidak semua novel mempunyai nilai yang sesuai dengan

harapan guru yaitu yang mempunyai nilai baik yang dapat memperhalus budi

pekerti siswa

Habiburrahman El Shirazy sebagai salah satu penyair yang masih baru di

belantika sastra Indonesia telah mampu membuat orang terkagum dengan

karyanya. Orang tertarik terhadap nilai sastra yang transenden karena dirasa dan

diyakini dapat mendidik manusia menjadi manusia yang baik karena ajaran agama

banyak tersirat di dalam karya sastra transenden. Karya Habiburrahman El

Shirazy yang religius dan mengajarkan toleransi terhadap umat lain yang berbeda

agama, kisah cinta yang dikemas agamis menarik penikmat sastra.

Kecenderungan itulah yang mengundang minat peneliti untuk mengkaji

nilai-nilai religius yang ada dalam novel novel karya Habiburrahman El Shirazy. Novel

yang tidak klise dan tak terduga pada setiap babnya. Habiburrahman El Shirazy

dengan sangat meyakinkan mengajak kita menelusuri lekuk Mesir yang eksotis itu

tanpa lelah. Tak sampai di situ, Ayat-Ayat Cintamengajak kita untuk lebih jernih,

lebih cerdasdalam memahami cakrawala keislaman, kehidupan dan juga cinta.

Habiburrahman El Shirazy dengan jempolan mendeskripsikan tempat

kuliahnya dulu, kampus al-Azhar Mesir melalui cerpen Nyanyian Cinta. Kang

Abik (panggilan akrabnya) dengan gaya bahasa lugas nan memikat menceritakan

(8)

commit to user

makna kasih sayang yang luas. Dalam Nyanyian Cinta, Kang Abik kembali

mengkampanyekan ruh cinta universal.

Karya-karya Habiburrahman El Shirazy seperti Ayat-Ayat Cinta, Di Atas

Sajadah Cinta, Ketika Cinta Bertasbih banyak memberikan renungan kepada kita

pada zaman seperti ini masih ada karya sastra yang dapat digunakan sebagai

bahan ajar karena nilai-nilai yang termuat dalam karya sastra. Karakter dan

amanat sebagai unsur pembangun novel memiliki kedudukan yang strategis dalam

pendidikan nilai. Keduanya dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengajaran dalam

perkuliahan. Hal ini dilandasi oleh pendapat klasik yang mengatakan bahwa cipta

sastra yang baik selalu memberi pesan kepada pembaca untuk berbuat baik dan

menghindari perbuatan jelek atau jahat. Dengan demikian, sangatlah cocok

apabila hasil analisis terhadap cipta sastra dijadikan sebagai media dan bahan

pengajaran karena di dalam sastra penuh dengan ajaran moral.

Pengajaran sastra pada dasarnya adalah pengajaran tentang kehidupan.

Karya sastra menyajikan para tokoh dengan latar belakang tertentu mengalami

peristiwa atau konflik. Dalam karya sastra, pengarang menampilkan bagaimana

para okoh cerita menyikapi serta keluar daru konflik tersebut. Karena itu, harga

karya sastra terletak pada cara pengarang menyampaikan tindak tanduk ,sikap,

penilaian tokoh cerita atas konflikyang dihadapi melalui berbagai tinjauan.

Melalui tinjauan tersebut pembaca memperoleh pembandingan atau pelajaran

yang berharga untuk menyikapi kebutuhan sehari-hari. Karena karya sastra

bukanlah petunjuk praktis untuk menghadapi kebutuhan sehari-hari, para siswa

perlu memperoleh pemahaman tentang bagaimana membaca karya sastra. Di

sinilah pentingnya pengajaran apresiasi sastra. Pengajaran ini bermanfaat untuk

memberikan bekal teoritis kesusastraan dan latihan-latihan praktis membaca karya

sastra

Oleh karena itu, membaca langsung karya sastra tidak melalui ringkasan

cerita jauh lebih penting dan seharusnya dilakukan. Pergaulan langsung dengan

teks ini justru berguna untuk menangkap seluruh aspek estetika dan makna karya

sastra, misalnya, aspek bahasa, imajinasi, bahkan konteks psikologis dan konteks

(9)

commit to user

Peran guru adalah membawa siswa kepada proses menemukan makna

dari apa yang dibacanya. Karena itu, pengajaran sastra lebih pada menemukan

cara memandang sesuatu gejala atau peristiwa, bukan pada fakta peristiwa itu

sendiri. Karena karya sastra menampilkan penggalian-penggalian dari aspek

kejiwaan tokoh, dari sudut pandang sosial budaya, pembaca memperoleh cara

pandang relatif sekaligus menyeluruh atas suatu gejala atau peristiwa. Guru dapat

berperan dalam mengantarkan siswa pada cara pandang relatif dan komprehensif

itu. Agar tujuan tersebut tercapai, guru dan siswa sebaiknya terlibat langsung

untuk berdialog dangan karya sastra. Melalui dialog dengan karya sastra, guru dan

siswa dapat menemukan alternatif-alternatif pikiran dan tindakan atas gejala atau

peristiwa sehari-hari. Melalui dialog, memungkinkan guru dan siswa menemukan

cara pandang relatif dan alternatif

Ada beberapa perangkat yang memungkinkan penemuan cara pandang

relatif dan alternatif di atas. Perangkat itu adalah bahasa dan konteks cerita.

Bahasa menjadi unsur fundamental karena cerita disampaikan melalui bahasa.

Karenanya, bagaimana pelajaran membaca mempunyai posisi penting. Pelajaran

membaca akan sangat terbantu jika siswa punya pemahaman dan keterampilan

memadai dalam menentukan unsur terberita atau subyek dan pesan atau berita

tentang subyek, yaitu predikat. Pengenalan dan keterampilan menentukan subyek

dan predikat amat berperan bagi siswa dalam memahami pesan kalimat. Namun,

keterampilan ini saja belum cukup. Pemahaman konteks cerita ikut berperan

dalam memberikan makna kalimat-kalimat dalam teks. Pemahaman konteks ini

adalah stilistika atau cara bahasa yang dibangun oleh konvensi bahasa dan

budaya, konteks psikologi, konteks sosial budaya yang mengikat tokoh dalam

cerita. Rasa kemanusiaan dalam kaitan ini, pemahaman guru sastra akan

bidang-bidang di luar karya sastra menjadi penting. Melalui membaca dan mengapresi

karya sastra di kelas memungkinkan guru mengeksploitasi kemampuan dan

pengetahuan itu agar cerita terpahami secara menyelurh. Pengajaran sastra di

sekolah sekarang ini merupakan hal yang rentan dengan pornografi karena banyak

karya sastra yang menggunakan tema seks dan pornografi. Guru harus tau tentang

(10)

commit to user

Peran guru menjadi penting dalam membawa siswa kepada cara memandang

secara menyeluruh atas peristiwa-peristiwa dalam karya sastra. Seperti apa yang

termuat dalam Bali Post bahwa seorang murid bertanya kepada gurunya, ”Bu,

bagaimana dengan novel yang menyajikan pornografi , apakah layak untuk dibaca

padahal dari segi isi cerita cukup bagus?”(dalam www.Balipost .com) kemudian

sang guru pun bingung menjawab karena kenyataannya ada beberapa novel

seperti Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, Jalan Tak Ada Ujung karya

Mochtar Lubis, Saman karya Ayu Utami yang ditugaskan kepada siswa untuk

membacanya . Padahal ada bagian-bagian tertentu dalam novel-novel tersebut

menempatkan saya dan guru bahasa Indonesia pada posisi yang dilematis. Di satu

sisi guru bahasa Indonesia harus mengajarkan keterampilan membaca teks-teks

sastra secara benar. Di lain pihak saya khawatir dianggap sebagai penyebar

bacaan pornografi. Apalagijika dikaitkan dengan bentuk-bentuk pelarangan dalam

RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi dalam bab 2 pasal 4 dan 5, bahwa

beksploitasi daya tarik bagian tubuh tertentu yang sensual dari orang dewasa

(pasal 4), mengeksploitasi daya tarik ketelanjangan tubuh orang dewasa (pasal 5) ,

sampai kini masih menimbulkan multi tafsir.

Peran guru adalah membawa siswa kepada proses menemukan makna

dari isi bacaan. Dalam kaitan ini, pemahaman guru bahasa dan sastra Indonesia

akan bidang-bidang di luar karya sastra , jadi penting . Karena pengajaran sastra

dituntut untuk menemukan cara memandang suatu gejala atau peristiwa bukan

pada fakta peristiwa itu sendiri. Guru dapat berperan mengantarkan siswa

menemukan nilai-nilai kehidupan melalui penggalian dari aspek kejiwaan tokoh,

konteks psikologis, dan konteks sosial budaya yang mengikat para tokoh dalam

cerita. Membaca dan mengapresiasi karya sastra di kelas memungkinkan guru

mengeksploitasi kemampuan dan pengetahuan siswa agar cerita terpahami secara

menyeluruh.

Membaca sastra secara global atau secara menyeluruh untuk menemukan

nilai yang hendak disampaikan pengarang atau yang dapat digali pembaca adalah

cara mambaca yang sehat. Cara pandang yang menyeluruh ini akan membantu

(11)

commit to user

dorongan dan kesan bahwa karya-karya sastra baik puisi maupun novel yang

menggambarkan tubuh dan persetubuhan adalah pornografi. Kecuali kalau dalam

puisi atau novel itu secara keseluruhan hanya mengungkapkan eksplorasi daya

tarik ketelanjangan bagian tertentu yang sensual dari orang dewasa ( seperti yang

di ungkapkan dalam Bab 2 pasal 4 dan 5 RUU Anti pornografi dan Pornoaksi).

Karya tersebut tidak layak untuk dijadikan bahan pelajaran. Meskipun

kenyataannya tak ada seorang pun yang berhak mengamputasi imajinasi dan

kreativitas seseorang tetapi agama, norma, dan pranata yang ada harus tetap lebih

di utamakan dan menjadi landasan kreativitas dan imajinasi tersebut . Begitupun

dalam menyajikan materi sastra, landasan agama, norma, dan pranata yang ada

harus diutamakan.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat

dirumuskan permasalahannya sebagai berikut:

1. Bagaimana struktur novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy?

2. Bagaimanakah makna aspek religius yang terdapat dalam novel Ayat-ayat

Cinta karya Habiburrahman El Shirazy?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan dan menjelaskan struktur novel Ayat-ayat Cinta karya

Habiburrahman El Shirazy.

2. Mendeskripsikan dan menjelaskan makna aspek religius yang terdapat dalam

novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy.

D.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan mampu memberikan manfaat sebagai

(12)

commit to user

Manfaat penelitian yang diharapkan dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai

berikut:

1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah keilmuan

di bidang penelitian sastra, khususnya bidang pengkajian prosa fiksi (novel)

melalui pendekatan strukturalisme.

2. Manfaat Praktis

a. Menjadi rujukan bagi para peneliti yang berminat menganalisis lebih lanjut

karya sastra, khususnya melalui pendekatan strukturalisme.

b. Menunjukkan aspek-aspek religius pada karya sastra yang dapat diteladani

para pembaca novel.

(13)

commit to user

BAB II

KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

A.

Landasan Teori

1.

Hakikat Novel

a. Pengertian Novel

Kata “novel” berasal dari kata Latin novellus yang diturunkan dari

kata novies yang berarti “baru” (Henry Guntur Tarigan, 1993: 164). Sedangkan

menurut Burhan Nurgiyantoro (2005: 9), sebutan novel dalam bahasa

Inggris-dan inilah yang kemudian masuk ke Indonesia-berasal dari bahasa Itali novella

(yang dalam bahasa Jerman: novelle). Abrams (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 9)

menyatakan bahwa secara harfiah novella berarti ‘sebuah barang baru yang

kecil’ dan kemudian diartikan sebagai ‘cerita pendek dalam bentuk prosa’.

Burhan Nurgiyantoro (2005: 4) memberikan batasan novel sebagai

sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model

kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui berbagai

unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan penokohan), latar, sudut

pandang, dan lain-lain yang kesemuanya, tentu saja, juga bersifat imajinatif.

Meskipun bersifat imajinatif, namun dunia yang ditawarkan pengarang tidak

jauh dari kehidupan sehari-hari, sehingga sangatlah tepat apabila Burhan

menyebut novel sebagai sebuah dunia yang berisi model kehidupan yang

diidealkan.

Pendapat lain tentang novel dikemukakan Goldmann (Faruk, 1994:

29) yang mendefinisikan novel sebagai cerita tentang suatu pencarian yang

terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik yang dilakukan oleh seorang hero

yang problematik dalam sebuah dunia yang juga terdegradasi. Yang dimaksud

dengan nilai-nilai yang otentik adalah totalitas kehidupan.

Herman J. Waluyo (2002: 36-37) menyatakan bahwa istilah novel

mewakili dua pengertian, yakni pengertian yang sama dengan roman (jadi

menggantikan istilah roman) dan pengertian yang biasa digunakan untuk

(14)

commit to user

tokoh cerita; (2) ada beberapa episode dalam kehidupan tokoh utamanya; (3)

biasanya tokoh utamanya tidak sampai mati.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa novel adalah

sebuah cerita fiksi dengan berbagai unsur intrinsik yang di dalamnya terdapat

problematik/ permasalahan hidup yang dialami tokoh-tokohnya sehingga

membuat tokoh utamanya mengalami perubahan nasib.

Novel dapat dibedakan dengan melihat karakteristik jenisnya. Herman J.

Waluyo (2002:38-39) membedakan jenis novel menjadi dua, yaitu novel serius

dan novel pop. Novel serius adalah novel yang dipandang bernilai sastra (tinggi),

sedangkan novel pop adalah novel yang nilai sastranya diragukan(rendah) karena

tidak ada unsur kreativitasnya.

Senada dengan pendapat tersebut Burhan Nurgiyantoro (1995:16-22) pun

mengklasifikasikan jenis novel menjadi novel populer dan novel serius.

Menurutnya, novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak

penggemarnya, khususnya para remaja. Novel serius adalah novel yang

memerlukan daya konsentrasi tinggi dan disertai dengan kemmauan dalam

memahaminya (membacanya). Lebih dijelaskannya memang tujuan novel populer

semata-mata menyampaikan cerita agar memuaskan pembaca, sedangkan tujuan

novel serius disamping memberikan hiburan, juga secara implisit memberikan

pengalaman yang berharga pada pembaca.

Sesuai dengan teori Lukacs,Goldmann (dalam Faruk, 2003:31) membagi

novel dalam tiga jenis, yaitu novel idealisme abstrak, novel psikologi, dan novel

pendidikan. Novel jenis pertama menampilkan sang hero yang penuh optimise

dalam peluangan tanpa menyadari kompleksitas dunia. Dalam novel jenis yang

kedua sang hero cenderung pasif karena keluasan kesadarannya tidak tertampung

oleh dunia fantasi. Dalam novel jenis ketiga sang hero telah melepaskan

pencariannya akan nilai-nilai yang otentik.

b. Unsur-unsur Novel

Secara garis besar unsur pembangun novel dibagi menjadi dua, yaitu

(15)

commit to user

membangun karya sastra itu sendiri. Unsur inilah yang secara lahir akan

dijumpai ketika membaca sebuah karya sastra. Di pihak lain, unsur ekstrinsik

adalah unsur yang berada di luar karya sastra yang secara tidak langsung

mempengaruhi bangunan karya sastra. Dalam pembahasan mengenai unsur

pembangun novel yang dibahas adalah unsur intrinsik karya sastra.

Stanton menjabarkan unsur pembangun fiksi atau cerita menjadi (1)

fakta cerita yang meliputi plot, tokoh, dan latar; (2) sarana cerita yang meliputi

judul, sudut pandang, gaya dan nada; dan (3) tema. Sementara itu, Luxemburg

dkk. membahas teks dan juru cerita, cerita, visi terhadap dunia rekaan, alur,

dan para pelaku dalam pembahasan mengenai teks naratif (Wiyatmi, 2006: 29).

Jacob Sumardjo dan Saini K.M. (Herman J. Waluyo, 2002: 140)

menyebutkan tujuh unsur pembangun cerita rekaan, yakni (1) plot; (2) tema;

(3) karakter; (4) setting; (5) point of view; (6) gaya; dan (7) suasana cerita.

Tidak berbeda jauh dengan pendapat di atas, Burhan Nurgiyantoro dalam buku

Teori Pengkajian Fiksi (2005) membahas unsur intrinsik prosa, yaitu tema,

pemplotan, pelataran, cerita, penokohan, penyudutpandangan, gaya (bahasa),

dan moral. Imbuhan pe(N)-an di atas dapat diartikan sebagai teknik

pengungkapan. Jadi, pembahasan mengenai unsur intrinsik prosa menurut

Burhan Nurgiyantoro meliputi tema, plot, latar, cerita, tokoh, sudut pandang,

bahasa, dan moral.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, unsur intrinsik prosa pada

dasarnya terdiri dari tema, latar, penokohan, plot, sudut pandang, gaya dan

(bahasa). Kehadiran moral (amanat) sebagai penyusun prosa tidak selamanya

diperhitungkan oleh para ahli, padahal setiap karya sastra pasti mempunyai

pesan moral (amanat) yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca.

1) Tema

Setiap karya sastra mengandung ide sentral yang mendasari cerita

yang ada. Ide sentral inilah yang sering disebut dengan tema. Hal ini senada

dengan pendapat Atar Semi (1993: 42) yang menyatakan bahwa tema tidak

lain dari suatu gagasan sentral yang menjadi dasar tersebut. Pengertian lain

(16)

commit to user

67) yang memberi batasan tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah

cerita. Makna yang dikandung dalam sebuah cerita kadang tidak terlepas

dari realita kehidupan manusia yang sering terjadi dalam kehidupan

sehari-hari. Pendapat demikian diungkapkan Herman J. Waluyo (2002: 142) bahwa

tema ada yang diambil dari khasanah kehidupan sehari-hari dan

dimaksudkan pengarang untuk memberikan saksi sejarah atau mungkin

sebagai reaksi terhadap praktek kehidupan masyarakat yang tidak disetujui.

Menurutnya, tema adalah masalah hakiki manusia seperti halnya cinta,

kasih, ketakutan, kebahagiaan, kesengsaraan, keterbatasan, dan sebagainya.

Panuti Sudjiman (1988: 50) juga memberikan definisi tema yang tidak jauh

berbeda dengan pendapat ahli yang lain, bahwa tema merupakan gagasan,

ide, atau pilihan utama yang mendasar suatu karya sastra. Berdasarkan

beberapa pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tema adalah

gagasan atau ide yang menjadi dasar sebuah karya sastra.

2) Latar

Gambaran alur sering digunakan untuk mengawali sebuah cerita.

Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Burhan Nurgiyantoro (2005: 217)

bahwa tahap awal karya fiksi pada umumnya bersifat penyituasian,

pengenalan terhadap berbagai hal yang akan diceritakan; misalnya

pengenalan tokoh, pelukisan keadaan alam, lingkungan, suasana tempat,

mungkin juga hubungan waktu, dll.

Herman J. Waluyo (2002: 200) memaparkan bahwa setting tidak

hanya menampilkan lokasi, tempat dan waktu. Adat istiadat dan kebiasaan

hidup dapat tampil sebagai setting. Jadi, latar yang terdapat dalam sebuah

novel tidak hanya mengacu pada tempat saja.

Senada dengan pendapat di atas, Abrams (Burhan Nurgiyantoro,

2005: 216) berpendapat bahwa latar atau setting yang disebut juga sebagai

landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan

lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

Bertolak dari beberapa pendapat mengenai latar dapat disimpulkan

(17)

commit to user

yang tidak hanya mengarah pada satu segi akhirnya membentuk berbagai

macam latar.

Burhan Nurgiyantoro (2005: 27) membedakan unsur latar ke dalam

tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Latar tempat menyaran

pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.

Unsur tempat yang digunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama

tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama yang jelas.

Latar waktu berhubungan dengan “kapan” terjadinya

peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Sedangkan latar sosial

menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial

masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara

kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah kebiasaan hidup,

adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan

bersikap, dll yang tergolong latar spiritual.

Latar dalam sebuah karya sastra memberikan fungsi tersendiri.

Montaque dan Henshan (Herman J. Waluyo, 2002: 198) menyatakan ada

tiga fungsi setting, yaitu 1) mempertegas watak para pelaku, 2) memberikan

tekanan pada tema, 3) memperjelas tema yang disampaikan.

Burhan Nurgiyantoro (2005: 40) berpendapat bahwa latar memiliki

fungsi sebagai metafor dan atmosfir. Diperjelas dengan pendapat Lakoff dan

Johnson (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 241) yang menjelaskan fungsi

pertama metafora adalah menyampaikan pengertian, pemahaman. Ekspresi

yang berupa ungkapan-ungkapan tertentu sering lebih tepat disampaikan

dengan bentuk metaphor daripada secara literal. Latar sebagai atmosfer

artinya ia berupa deskripsi kondisi latar yang mampu menciptakan suasana

tertentu, misalnya suasana ceria, romantis, sedih, muram, maut, misteri, dsb.

Akhirnya meskipun dalam suatu cerita rekaan boleh jadi latar

merupakan unsur dominan, latar itu tidak pernah berdiri sendiri. Seperti

yang sudah diungkapkan sebelumnya, ada unsur yang mendukung

keberadaan latar yaitu plot dan penokohan. Diungkapkan oleh Burhan

(18)

commit to user

hubungan yang erat dan bersifat timbal balik. Sifat-sifat latar dalam banyak

hal akan memperngaruhi sifat-sifat tokoh. Bahkan, barangkali tak

berlebihan jika dikatakan bahwa sifat seseorang akan dibentuk oleh keadaan

latarnya. Hal ini akan tercermin, misalnya sifat orang-orang desa yang hidup

di pedalaman akan berbeda dengan sifat orang-orang kota. Adanya

perbedaan tradisi, konvensi, keadaan sosial, dll yang menciri tempat-tempat

tertentu, langsung atau tidak langsung akan berpengaruh pada penduduk,

tokoh cerita.

Di pihak lain, juga dikatakan bahwa sifat-sifat dan tingkah laku

tertentu yang ditujukkan oleh seorang tokoh mencerminkan dari mana dia

berasal. Jadi, ia akan mencerminkan latar dalam kaitannya dengan hubungan

waktu, langsung tak langsung akan berpengaruh terhadap cerita dan

pengaluran, khususnya waktu yang dikaitkan dengan unsur kesejarahan.

3) Penokohan

Keadaan latar (setting) dalam sebuah karya sastra tidak akan berarti

jika tidak didukung oleh unsur yang lain. Stanton (dalam Burhan

Nurgiyantoro, 2005: 216) mengelompokkan latar bersama dengan tokoh dan

plot ke dalam fakta (cerita). Sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi dan

dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi.

Tokoh merupakan para pelaku yang menjalankan sebuah cerita.

Para tokoh ditampilkan dengan membawa peran masing-masing sesuai

dengan keinginan pengarangnya. Menurut Abram (dalam Burhan

Nurgiyantoro, 2005: 165), tokoh cerita adalah orang-orang yang

ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama, yang oleh pembaca

ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang

diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Sedangkan

“penokohan” lebih luas pengertiannya daripada “tokoh”, sebab ia sekaligus

mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakannya, dan

(19)

commit to user

sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca (Burhan

Nurgiyantoro, 2005: 166).

Sudjiman (dalam Panuti Sudjiman, 1988: 23) menyebutkan

penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Citra

tokoh digambarkan melalui ciri-ciri lahir dan sifat serta sikap batinnya agar

wataknya juga dikenal oleh pembaca.

Berdasarkan sudut pandang pengarang dalam menciptakan tokoh

dalam cerita dapat dibedakan macam-macam tokoh. Burhan Nurgiyantoro

(2005:176) mengkategorikan tokoh dalam sebuah karya sastra, yaitu

1)tokoh utama dan tokoh tambahan, 2) tokoh protagonis dan antagonis, 3)

tokoh sederhana dan tokoh bulat, 4) tokoh statis dan tokoh berkembang, 5)

tokoh tipikaldan tokoh netral.

Pendapat lain dikemukakan oleh Panuti Sudjiman (1988: 17) yaitu,

tokoh dibedakan menjadi 1) tokoh sentral dan tokoh bawahan, 2) tokoh

datar dan tokoh bulat. Berdasarkan atas pembedaan di atas, yang lebih

dikenal oleh pembaca adalah tokoh protagonis dan tokoh antagonis.

Menurut Herman J. Waluyo (2002: 168), tokoh protagonis adalah

tokoh sentral atau tokoh yang mendukung jalannya cerita. Pendapat lain

diungkapkan oleh Altenbend dan Lewis (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995:

178) yang menyatakan bahwa tokoh protagonis adalah tokoh yang kita

kagumi yang salah satu jenisnya secara popular disebut hero-tokoh yang

merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi kita.

Panuti Sudjiman (1988: 17) menyatakan tokoh protagonis yaitu

tokoh yang memegang pimpinan. Protagonis selalu menjadi tokoh yang

sentral dalam cerita. Ia bahkan menjadi pusat sorotan dalam kisahan.

Dengan kata lain, mengacu pada beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan

bahwa tokoh protagonis adalah tokoh yang dihadirkan dalam karya sastra

dengan membawa karakter yang disukai oleh kebanyakan pembaca.

Lawan dari protagonis adalah antagonis. Tokoh jenis ini biasanya

tidak disukai pembaca karena dilahirkan dengan karakter yang bertentangan

(20)

commit to user

tokoh yang menyebabkan konflik adalah antagonis. Di pihak lain Herman J.

Waluyo (2002: 168) menyatakan bahwa tokoh antagonis adalah tokoh yang

mempunyai konflik dengan protagonis.

Untuk menampilkan tokoh ke dalam sebuah cerita, ada beberapa

cara yang dilakukan pengarang. Menurut Herman J. Waluyo (2002: 165)

ada tiga cara, yaitu:

a) Metode analitis (langsung)

Dengan metode ini pengarang cecara langsung mendeskripsikan

keadaan tokoh itu dengan terinci (analitis). Pendeskripsian dimulai dari

keadaan fisik, psikis (wataknya) sampai keadaan sosial (kedudukan dan

pangkat). Menurut Suminto (1996/1997: 57), dengan metode ini

pengarang menyebutkan secara langsung masing-masing kualitas

tokohnya.

b) Metode dramatik (tidak langsung)

Metode ini, selain menampilkan tokoh secara fisik, juga

menggambarkan hubungannya dengan orang lain, cara hidup sehari-hari.

Metode dramatik lebih banyak menampilkan tokoh melalui “action” atau

lakuan tokoh itu dan dialog antara tokoh itu dengan tokoh lainnya.

Menurut Suminto (1996/1997: 58), disebut metode dramatis karena

tokoh-tokoh dinyatakan kepada kita seperti dalam drama. Pengarang

membiarkan tokoh-tokohnya untuk menyatakan dirinya sendiri melalui

kata-kata, tindakan atau perbuatan mereka sendiri.

c) Metode kontekstual

Berbeda dengan dua metode sebelumnya, metode ini dalam

menggambarkan watak tokohnya melalui konteks bahasa atau bacaan

yang digunakan pengarang untuk melukiskan tokoh tersebut. Menurut

Suminto (1996/1997: 68), metode kontekstual adalah cara menyatakan

karakter tokoh dengan melalui konteks verbal yang mengelilinginya.

4) Plot

Unsur plot yang juga mempengaruhi keberartian latar (setting)

(21)

commit to user

diartikan sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang

tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu

berdasarkan kaitan sebab akibat (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 113).

Herman J. Waluyo (2002: 145) menyebut plot sebagai alur cerita

yang berarti struktur gerak yang didapatkan dalam cerita fiksi. Boulton

mengatakan bahwa plot berarti seleksi peristiwa yang disusun dalam urutan

waktu yang menjadi penyebab mengapa seseorang tertarik untuk membaca

dan mengetahui kejadian yang akan dating (Herman J. Waluyo, 2002: 145).

Alur adalah peristiwa yang diurutkan yang menjadi tulang

punggung cerita (Panuti Sudjiman, 1988: 29). Abram (dalam Burhan

Nurgiyantoro, 2005: 113) menyebutkan bahwa plot sebuah karya fiksi

merupakan struktur peristiwa-peristiwa yaitu sebagaimana yang terlihat

dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa tersebut untuk mencapai

efek emosional dan efek artistik tertentu.

Bertolak dari beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa

plot tidak sekadar sebuah rentetan peristiwa. Dinamakan plot karena di

antara peristiwa satu dengan peristiwa lainnya memuat hubungan kausalitas.

Hal ini menjadikan pembaca terhanyut untuk menikmati jalannya cerita.

Pengaluran dalam sebuah karya sastra memilik tahap-tahapan

sebagaimana diungkapkan Herman J. Waluyo (2002: 147), alur cerita

meliputi 1) eksposisi, 2) inciting moment (saat perkenalan), 3) rising action,

4) complication, 5) climax, 6) falling action, 7) denonement (penyelesaian).

Eksposisi merupakan paparan awal cerita. Pengarang mulai

memperkenalkan tempat kejadian, waktu, topik, dan tokoh-tokoh. Inciting

moment adalah peristiwa mulai adanya problem-problem, mulai ditampilkan

oleh pengarang untuk kemudian dikembangkan atau ditingkatkan. Rising

action adalah penanjakan konflik sampai terjadi peningkatan konflik.

Complication adalah konflik yang semakin ruwet. Falling action artinya

konflik yang dibangun cerita itu menurun karena telah mencapai

(22)

commit to user

Sebuah alur cerita dapat dinikmati oleh pembaca karena terkandung

beberapa hal di dalamnya. Menurut Panuti Sudjiman (1988: 37), faktor

penting yang ada dalam alur yaitu kebolehjadian, kejutan, dan kebetulan.

Kebolehjadian (plausibility)

5) Sudut pandang/Point of view

Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan siapa yang

menceritakan, atau dari posisi mana (siapa) peristiwa dan tindakan itu

dilihat. Dengan demikian, pemilihan bentuk persona yang dipergunakan di

samping mempengaruhi perkembangan cerita dan masalah yang diceritakan,

juga mempengaruhi kebebasan dan keterbatasan, ketajaman, ketelitian, dan

keobjektifan terhadap hal-hal yang diceritakan.

Sudut pandang pada intinya adalah cara atau strategi yang dengan

sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya.

Abrams (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 248) menyatakan bahwa sudut

pandang adalah cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai

sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang

membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Dengan

demikian, sudut pandang merupakan teknik atau strategi yang dipilih

pengarang untuk mengungkapkan cerita.

Tarigan (1993: 140) menyatakan bahwa sudut pandang atau point

of view adalah hubungan yang terdapat antara sang pengarang dan alam

fiktif cerita, atau antara pengarang dan pikiran serta perasaan para

pembacanya. Pengarang harus dapat menjelaskan kepada para pembaca

bahwa dia selaku narator atau pencerita mempunyai tempat berpijak tertentu

dalam hubungannya dengan cerita itu. Herman J. Waluyo mengungkapkan

bahwa point of view adalah sudut pandang dari mana pengarang bercerita,

apakah dia bertindak sebagai pencerita yang tahu segala-galanya, ataukah ia

sebagai orang yang terbatas. Point of view dapat juga berarti cara yang

digunakan pengarang dalam melibatkan dirinya dalam cerita, apakah dia

terlibat secara langsung sebagai orang pertama, ketiga atau orangn yang

(23)

commit to user

Menurut Herman J. Waluyo (2002: 184-185) point of view dibagi

menjadi tiga, yakni (1) pengarang sebagai orang pertama dan menyatakan

pelakunya sebagai “aku”, teknik ini disebut teknik aku-an; (2) pengarang

sebagai orang ketiga dan menyebut pelaku sebagai “dia”, tekniknya disebut

teknik dia-an; dan (3) teknik “omniscient narratif” atau pengarang serba

tahu. Dalam teknik ini pengarang tidak mengambil peran salah satu tokoh,

tetapi ia mengambil peran sebagai pencerita yang serba tahu. Ia bebas

memasuki segala peran tanpa batas. Kadang-kadang ketiga metode ini

dikombinasikan oleh pengarang dalam sebuah cerita agar cerita tersebut

lebih bervariatif.

Sedikit berbeda dengan Herman J. Waluyo, Burhan Nurgiyantoro

memaparkan tiga jenis sudut pandang, yaitu pertama sudut pandang persona

ketiga: “dia”. Dalam sudut pandang ini narator (pengarang) adalah

seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita

dengan menyebut nama atau kata gantinya; ia, dia, mereka. Sudut pandang

ini daapt dibedakan menjadi dua, yaitu “dia” mahatahu dan “dia” terbatas

atau sebagai pengamat. “Dia” mahatahu dalam bahasa Inggris disebut the

omniscient point of view, third person omniscent , the omniscent narrator

atau author omnisvient. Dalam sudut pandang ini narator dapat

menceritakan tokoh “dia” secara bebas, ia mengetahui segala yang

berhubungan dengan tokoh “dia”, termasuk motivasi yang melatarbelakangi

tindakannya. Kebebasannya ini tidak hanya berlaku untuk satu tokoh saja,

tetapi juga tokoh “dia” yang lain. Sementara itu, “dia” terbatas (sebagai

pengamat) merupakan teknik penceritaan dengan narator bebas

menceritakan apa saja yang berhubungna dengan tokoh “dia”, tetapi terbatas

hanay pada satu tokoh saja atau hanya pada tokoh fokusnya.

Kedua, sudut pandang persona pertama: “aku”. Dalam sudut

pandang ini narator terlibat langsung dalam cerita. Ia adalah “aku”, tokoh

yang berkisah mengenai peristiwa atau tindakan yang dialami dan

dirasakannya. Narator juga mempunyai sifat mahatahu, tapi terbatas hanya

(24)

commit to user

tokoh utama dan “aku” tokoh tambahan. “Aku” tokoh utama terjadi apabila

tokoh “aku” menduduki peran utama dalam cerita. Penggunaan sudut

pandang ini memungkinkan pembaca merasa terlibat langsung dalam cerita

sehingga akan memberikan empati secara penuh. Sementara “aku” tokoh

tambahan terjadi apabila tokoh “aku” menduduki sebagai tokoh tambahan.

Biasanya “aku” tokoh tambahan hanya tampil untuk mengantarkan dan

menutup cerita, sedangkan inti cerita diserahkan sepenuhnya kepada tokoh

utama cerita untuk mengisahkan kisahnya itu.

Ketiga, sudut pandang campuran. Dalam sebuah novel atau roman

pengarang mungkin saja menggunakan penyudutpandangan lebih dari satu.

Hal ini dilakukan agar cerita tidak membosankan dan lebih variatif.

Penggunaan sudut pandang ini tergantung pada kemauan dan kreativitas

pengarang dalam memanfaatkan teknik-teknik yang ada.

Jadi, pada dasarnya sudut pandang atau point of view adalah cara

pandang pengarang dalam menggambarkan tokoh dan menyajikannya dalam

suatu cerita fiksi.

6) Gaya/style

Bahasa dalam karya sastra merupakan unsur yang penting. Bahasa

dapat disamakan dengan baju bagi manusia. Keduanya merupakan bahan

atau sarana yang apabila dimanfaatkan dengan baik akan menimbulkan nilai

lebih. Kuntowijoyo menyatakan bahwa sastra itu berada sedikit di atas dan

sedikit di bawah kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, bahasa yang

digunakan pun harus sesuai dengan sifatnya yang bukan kesehari-harian

meskipun ia merupakan refleksi kehidupan manusia sehari-hari (Korrie

Layun Rampan, 1995: 63). Jadi, dapat dikatakan bahwa bahasa karya sastra

memang berbeda dengan bahasa sehari-hari. Umumnya bahasa dalam karya

sastra (roman) adalah bahasa yang emotif, bersifat konotatif, dan

mengandung deotomisasi (penyimpangan).

Hal yang paling menonjol dalam pembahasan bahasa karya sastra

adalah gaya atau style. Gaya merupakan cara pengungkapan yang khas dari

(25)

commit to user

(citraan), dan sintaksis. Sifat gaya dalam karya sastra adalah khas, tidak

mungkin dapat ditiru orang lain, dan bersifat individual. Dengan hanya

melihat gaya penulisan sebuah karya sastra, pembaca langsung dapat

menyimpulkan siapa pengarangnya dari berbagai bentuk linguistik yang

berlaku dalam sistem bahasa yang bersangkutan. Gaya atau style hadir

setelah mengalami seleksi oleh pengarang. Keberhasilan suatu karya juga

dipengaruhi oleh kecakapan pengarang dalam menggunakan gaya yang

serasi dalam karyanya.

Dalam penentuan atau penggunaan gaya, pengarang memiliki

kebebasan untuk mengekspresikan struktur makna ke dalam struktur lahir

yang dianggap paling efektif. Pemilihan bentuk struktur lahir dapat sampai

pada berbagai bentuk penyimpangan, bahkan mungkin “distorsi” dari

pemakaian bahasa yang wajar. Namun, pemilihan wujud struktur lahir yang

sesuai dengan selera tak selamanya dilakukan secara sadar oleh pengarang.

Hal ini terjadi karena pengungkapan gaya kadang-kadang terjadi secara

otomatis oleh pengarang, seolah-olah gaya tersebut telah menjadi bagian

dari diri pengarang.

Burhan Nurgiyantoro (2005: 277) menganggap gaya sebagai

teknik, teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili

sesuatu yang akan diungkapkan. Bentuk ungkapan kebahasaan sendiri

dibagi menjadi dua macam bentuk, yakni sebagai sebuah fiksi dan sebagai

sebuah teks. Sebagai sebuah fiksi berarti pengarang bekerja dengan sarana

bahasa, dan sebagai sebuah teks berarti pengarang bekerja dalam bahasa.

Leech dan Short (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 277) menyatakan

bahwa gaya bahasa merupakan hal yang pada umumnya tak lagi

mengandung sifat konvensional, menyaran pada pengertian cara

penggunaan bahasa dalam konteks tertentu, oleh pengarang tertentu, untuk

tujuan tertentu, dsb. Dengan demikian, gaya tergantung pada konteks ia

digunakan, siapa pengarangnya, tujuannya ,dsb. Gaya ditandai oleh ciri-ciri

formal kebahasaan, seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk

(26)

commit to user

7) Amanat

Salah satu fungsi karya sastra adalah “dulce et utile”, indah dan

berguna. Selain memberi keindahan, juga bermanfaat bagi pembaca.

Bermanfaat disebabkan di dalam karya sastra terdapat hal-hal yang dapat

dipetik oleh pembaca. Hal-hal tersebut sebenarnya adalah pesan yang ingin

disampaikan pengarang kepada pembaca. Menurut Panuti Sudjiman (1988:

57) amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh

pengarang. Sedang Zulfahnur (1996/1997: 26) memberikan batasan amanat

sebagai pesan, berupa ide, gagasan, ajaran, moral dan nilai-nilai

kemanusiaan yang ingin disampaikan atau dikemukakan pengarang lewat

cerita. Amanat pengarang ini biasanya disajikan secara implisit dan

eksplisit. Cara penyampaian implisit misalnya disiratkan dalam tingkah laku

tokoh-tokoh ceritanya. Sedangkan secara eksplisit, bila dalam tengah atau

akhir cerita pengarang menyampaikan pesan-pesan, saran, nasihat,

pemikiran, dsb.

Bertolak dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa

amanat adalah pesan-pesan moral yang hendak disampaikan pengarang

kepada pembaca, baik secara implisit maupun eksplisit.

.

2. Hakikat Nilai-nilai Pendidikan dalam Novel

Karya sastra dipakai untuk menyampaikan sesuatu yang dihayatinya

kepada orang lain. Apa yang disampaikan oleh sastrawan merupakan renungan

antara kehidupan yang dijalaninya atau yang disaksikannya. Dengan demikian,

karya sastra sangat mungkin mengandung renungan-renungan dari pengarangnya,

memuat nilai-nilai kehidupan yang direnungkannya yang sangat bermanfaat

(27)

commit to user

Renungan tentang kehidupan ini merupakan ciri khas yang senantiasa

terdapat dalam karya sastra (Tirtawijaya, 1983: 83). Lebih lanjut dikatakan oleh

Tirtawijaya (1983: 84), bahwa yang dimaksud renungan kehidupan ialah

pengalaman pengarang, hasil hasil perenungan dirinya berkat pengalaman yang

dia nukilkan dalam cerita yang ditulisnya, yang nanti akan memperkaya batin

pembacanya. Dalam arti, karya sastra sebagai alat refleksi dari pembacanya.

Renungan-renungan yang ditampilkan mengandung nilai-nilai kebenaran

yang sudah semestinya disebarluaskan, dan kebenaran ini juga tanggung jawab

moral yang merupakan bagian dari kehidupan ini. Jadi melalui bentuk sastra inilah

pembaca diajak menyelami alam batin pengarangnya yang sarat dengan

perenungan nilai-nilai kehidupan, nilai-nilai yang mampu membuka batin

pembaca

Uraian tersebut di atas mengindikasikan bahwa dalam karya sastra

terkandung nilai-nilai kehidupan yang luhur dan bersifat mendidik. Dengan kata

lain karya sastra mengandung nilai-nilai edukatif, yang nantinya juga akan

kembali kepada kehidupan. H.J. Waluyo (1990: 27) mengatakan bahwa, nilai

sastra berarti kebaikan yang ada dalam makna karya sastra bagi kehidupan.

Disebut-sebut sebagai kebaikan karena dalam karya sastra terkandung nilai-nilai

yang baik.

Lebih lanjut Baribin (1985:79) mengemukakan bahwa karya kesusastraan

selalu mengandung nilai-nilai yang luhur, sehingga dapat menggetarkan jiwa

orang-orang yang terbaik dari setiap generasi. Dalam karya kesusastraan dapat

kita temukan percikan-percikan buah pikiran atau renungan-renungan dari penulis

yang arif yang terdapat dalam setiap zaman.

a. Nilai Pendidikan Estetik (keindahan)

Sastra sebagai cabang seni akan melengkapi dengan sentuhan estetis

yang memiliki keindahan apabila terdapat keutuhan antara bentuk dan isi,

keseimbangan, serta kejelasan penampilan aspek karya seni lain. Nilai

keindahan akan tampak lebih realistis jika kita perhatikan penilaian atau

(28)

commit to user

gaya bahasa, dan unsur-unsur yang lain akan membentuk bobot keindahan

dalam sebuah karya sastra.

Nilai estetik disebut juga nilai keindahan. Manusia menjadi bahagia

dengan mengalami sesuatu yang bagus, yang indah. Adanya bermacam-macam

seni ialah untuk memenuhi kebutuhan ini. Maka sesuatu yang memenuhi

kebutuhan ini kita katakan mempunyai nilai keindahan atau nilai estetik

(Drikarya, 1980: 117). Nilai estetik ini jika diterapkan dalam karya sastra tidak

hanya tampak dalam bentuk (struktur) cipta sastra tetapi juga dalam isinya

(tema dan amanat) (Esten, 1984: 21).

b. Nilai Pendidikan Sosial

Sosial merupakan istilah yang ditujukan kepada pergaulan kelompok

manusia yang berinteraksi, berhubungan dalam kehidupan manusia di

masyarakat. Ia juga berarti mempertahankan hubungan-hubungan teratur antara

seseorang dengan yang lain (Gazalba, 1976:32). Nilai yang mengarahkan

kepada pembentukan sikap sosial ini, menyebabkan kita saling berhubungan

dan membuat bermacam-macam kesatuan dalam hidup kita (Drikarya, 1980:

72).

Nilai sosial yang terdapat dalam karya sastra mempunyai pengertian

bahwa karya sastra yang memaparkan hubungan manusia melalui

tokoh-tokohnya, dapat dijadikan refleksi bagi pembaca untuk mengadakan hubungan

sosial antara pribadi dan dengan masyarakat (Waluyo, 1990: 60).

Mengenai hubungan kemasyarakatan ini dapat pula ditemukan dalam

karya sastra yang sistematis yang mengungkapkan sifat hubungan anggota

masyarakat dengan demikian diketahuilah sebab-sebab terciptanya hubungan

dengan segala akibatnya , serbagaimana dikatakan Luxemburg (1989:24) lewat

karya sastra dapat digunakan sebagai sumber analisis sistem masyarakat, apa

yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat itu dan bersikap kritis terhadap

tata nilai masyarakat yang sedang berlaku, hal ini disebabkan karena sosial

budaya merupakan produk masyarakat.

(29)

commit to user

Dalam karya sastra terdapat nilai didik moral . Nilai didik moral dapat

diambil lewat para pelakunya . Bagaimana tingkah lakunya, bagaimana

pribadinya, sifat-sifatnya dan lain-lain. Dengan adanya nilai tersebut maka

karya sastra di samping untuk menambah pengetahuan yang dapat mendidik

moral manusia.

Moral adalah ajaran tentang baik buruk yang diterima oleh umum

mengenai perbuatan ,sikap, kewajiban, dan sebagainya. Moral adalah nilai-nilai

baik yang seharusnya ada dalam ketentuan sosial. Ia adalah pembatasan

norma-norma baik dari yang buruk (Gazalba, 1976: 31).

Nilai moral yaitu nilai yang menempatkan manusia pada

hukum-hukum kodratrnya sebagai manusia (Driyarkara,1980:118). Menurut hukum-hukum

moral itu manusia harus melaksanakan kewajiban, harus cinta sejati kepada

sesama dan harus menghormati keluhuran martabat manusia. Nilai yang

melahirkan sikap moral ini berupa kesanggupan, kemauan dasar, dan

kesiapsediaan untuk melaksanakan kesusilaan dalam tiap-tiap perbuatan

(Driyarkara,1990: 72).

d. Nilai Pendidikan Religius

Nilai religi dalam sastra mengandung arti bahwa karya sastra dapat

dijadikan sarana untuk merenungkan nasib manusia dan kemanusiaan. Pada

akhirnya renungan itu akan sampai pada kekuasaan tertentu yang mengatur

kehidupan manusia (Waluyo, 1990: 60).

Manusia tidak bisa sempurna sebagai manusia . bersikap adil terhadap

sesama, kasih sayang, menjunjung tinggi manusia, semua ini tidak mungkin

akhirnya kalau tidak berdasarkan pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Pengakuan tidak cukup hanya dalam pikiran, pengakuan itu juga harus

dilaksanakan dalam hidup (Driyarkara, !980: 119).

Dengan memahami karya sastra yang bernilai religius maka pembaca

akan mendapatkan tuntunan yang bersifat rohani. Hal ini bisa terjadi bila

pengarang mengekspresikan imajinasinya yang mempunyai tendensi dakwah

(30)

commit to user

Nilai pendidikan religius yang terkandung dalam sebuah karya sastra

memungkinkan untuk dapat dikembangkan secara positif. Karya sastra,

terutama cerpen mengajarkan tata nilai kehidupan yang berguna dalam

masyarakat yang sudah barang tentu akan menambah perbendaharaan serta

memperluas wawasan berpikir bagi pembacanya yang mau mengkaji secara

mendalam.

3. Hakikat Aspek Religius

Istilah religiusitas berasal dari bahasa Latin yaitu religare yang berarti

mengikat, religio berarti ikatan dan pengikatan diri kepada Tuhan atau lebih tepat

manusia menerima ikatan Tuhan sebagai sumber ketentraman dan kebahagiaan

(Djojosantoso, 1991: 3). Mangunwijaya (1982: 54-55) mengatakan bahwa

religiusitas adalah konsep keagamaan yang menyebabkan manusia bersikap

religius. Religius merupakan bagian dari kebudayaan dan sistem dari suatu agama

yang satu dengan agama yang lain memiliki sistem religi yang berbeda. Religius

merupakan wujud seseorang berdoa untuk yakin dan percaya kepada Tuhan

sehingga keadaan emosi mengalami ketenangan dan kedamaian. Keterkaitan

manusia terhadap Tuhan sebagai sumber ketentraman dan kebahagiaan dengan

melakukan tindakan sesuai dengan ajaran-ajaran agama. Kaitan agama dengan

masyarakat banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama dalam argumentasi

rasional tentang arti dan hakikat kehidupan, tentang kebesaran Tuhan dalam arti

mutlak, dan kebesaran manusia dalam arti relatif selaku makhluk.

Religiositas berbeda dengan keagamaan. Dalam pengertian di atas

religiositas mencakup keagamaan. Keagamaan itu sendiri merupakan sesuatu

yang berhubungan dengan agama. Sikap-sikap yang ada dalam agama, yaitu

berdiri khidmad, membungkuk dan mencium tanah selaku ekspresi bakti kepada

Tuhan, mengatupkan mata selaku konsentrasi diri pasrah sumarah dan siap

mendengarkan sabda illahi dalam hati. Semua itu solah bawa manusia religius

yang otentik, baik dalam agama Islam, Kristen, Yahudi dan agamaagama lainnya

juga (Gemeinschaff dalam Magunwijaya, 1982: 54).

Dalam sebuah pengantar bukunya, Nurcholis Madjid (1997) mengatakan

bahwa setiap manusia memiliki naluri religiusitas—naluri untuk berkepercayaan.

(31)

commit to user

dan alam raya menjadi lingkungan hidup itu sendiri. Karena setiap manusia pasti

memiliki keinsafan apa yang dianggap “makna hidup”. Makna hidup yang hakiki

dan sejati itu ada. Agama sebagai sistem keyakinan menyediakan konsep tentang

hakikat tentang makna hidup itu tetapi ia tidak terdapat pada segi-segi formal atau

bentuk lahiriah keagamaan. Ia berada di baliknya. Berdasarkan hal itu formalitas

harus “ditembus”, batas-batas lahiriah harus “diseberangi”. Kemampuan

melampaui segi-segi itu (niscaya) akan berdampak pada tumbuhnya sikap-sikap

religius individu maupun masyarakat yang lebih sejalan dengan makna dan

maksud hakiki ajaran agama.

Pokok-pokok ajaran Islam terdiri atas dua bagian yaitu (1) Akidah/iman

yang, terdiri atas enam rukun iman (iman kepada Allah, Malaikat, kitab-kitab

Allah, para nabi dan rasul, hari kiamat, qadar atau takdir) (2) Syariah, mengatur

dua aspek kehidupan manusia yang pokok, yaitu mengatur hubungan manusia

dengan Allah, disebut “Ibadah” dan mengatur human relation dan human activity

di dalam masyarakat/dunia, disebut “Muamalah” (Masjfuk Zuhdi, 1993: 6).

Akidah Islamiah itu merupakan pokok dasar Islam dan pemersatu seluruh umat

Islam di dunia ini. Seseorang yang bertentangan dengan akidah Islamiah yang

berupa rukun iman enam tersebut adalah bukan orang Islam. Akidah Islamiah

dalam Quran dirumuskan dengan kata-kata “Iman”, sedangkan syariah dirumuskan

dengan kata-kata “Amal Saleh”.

Akidah dengan syariah itu tidak dapat dipisahkan (bisa dibedakan tetapi

tidak bisa dipisahkan). Akidah sebagai akarnya dan syariah sebagai batang dan

dahan-dahannya. Seseorang yang beriman tanpa menjalankan syariah adalah fasik,

sedangkan bersyariah tetapi berakidah yang bertentangan dengan akidah Islamiah

adalah munafik. Dan seseorang yang tidak berakidah dan bersyariah Islamiah

adalah kafir. Akidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan

sedikit pun bagi orang yang meyakininya. Akidah jika dilihat dari sudut pandang

sebagai ilmu –sesuai konsep ahlus Sunnah wal Jama’ah- meliputi topik-topik:

tauhid, iman, Islam, masalah ghoibiyyat (hal-hal ghaib), kenabian, takdir,

berita-berita (tentang hal-hal yang telah lalu dan yang akan datang), dasar-dasar hukum

yang qat’i (pasti), seluruh dasar-dasar agama dan keyakinan, termasuk pula

(32)

commit to user

semua aliran dan sekte yang menyempal lagi menyesatkan serta sikap terhadap

mereka (Yazid Jawas, 2006: 27)

4.Hakikat Pendekatan Strukturalisme

Strukturalisme dapat diartikan sebagai salah satu pendekatan dalam

penelitian sastra yang menekankan kajian hubungan antarunsur pembangun karya

sastra. Penelitian ini dilakukan secara objektif, yakni menekankan aspek intrinsik

karya sastra. Hal ini seperti pernyataan Herman J. Waluyo (1994: 43) yang

mengatakan bahwa pendekatan strukturalisme memandang karya sastra bersifat

otonom seperti halnya bersifat objektif. Dalam pandangan ini, pemahaman karya

sastra dimulai dengan memahami totalitas karya itu.

Analisis struktural merupakan hal yang harus dilakukan untuk

memahami prosa (baik cerpen, novel, ataupun roman) yaitu dengan memahami

struktur fisik dan struktur batin yang terdapat di dalamnya. Struktur fisik prosa

terdiri atas plot, setting, perwatakan, penokohan, dan gaya bahasa bercerita.

Adapun struktur batin prosa terdiri atas tema, sudut pandang, suasana, dan

amanat.

Sebelum melakukan analisis karya sastra dengan pendekatan apapun

juga, haruslah menggunakan pendekatan strukturalisme. Hal ini dikatakan oleh A.

Teew (dalam Rachmat Djoko Pradopo, 2002: 46), bahwa analisis struktur

merupakan tugas utama sebelum yang lain-lain untuk memahami dan menilai

sepenuhnya karya sastra. Dengan analisis struktural, baru mungkin didapatkan

pengertian yang optimal.

Burhan Nurgiyantoro (1995: 37) berpendapat analisis struktural karya

sastra (fiksi) dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan

mendiskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur fiksi yang bersangkutan.

Pertama, unsur fiksi diidentifikaasi dan dideskripsikan bagaimana fungsi

masing-masing, kemudian dijelaskan bagaimana hubungan antar unsur tersebut dalam

(33)

commit to user

Dengan demikian, dapat disimpulkan analisis struktural bertujuan

memaparkan sedetail mungkin fungsi dan keterkaitan antarberbagai unsur karya

sastra, dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna

keseluruhan yang ingin dicapai.

B.

Kerangka Berpikir

Berbicara tentang karya sastra maka akan terlintas dalam pikiran kita

nilai apa saja yang terkandung dalam sebuah karya sastra . Karya sastra

hendaknya mempunyai nilai-nilai tertentu yang menjiwai sebuah karya sastra.

Karya sastra diciptakan bukan sekedar untuk dinikmati keindahannya tetapi juga

untuk dipahami dan diambil manfaatnya secara menyeluruh. Sastra bukanlah

sekedar benda mati yang tak berarti,namun di dalamnya termuat banyak sekali

nilai-nilai hidup, pesan yang luhur yang mampu menambah wawasan manusia

dalam memahami, menjalani dan menghayati kehidupan.

Aspek religius yang ada dalam karya sastra dibutuhkan keberadaannya

untuk menambah fungsional karya sastra sebagai alat untuk memperhalus budi

pekerti dan sebagai alat bantu mengajarkan kebajikan serta membuat kita untuk

lebih tunduk dan patuh terhadap Tuhan.Untuk mengetahui makna aspek religius

dalam novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy maka perlu untuk

dianalisis. Selain itu, dengan pendekatan struktural maka akan diketahui struktur

pembangun novel tersebut. Untuk lebih jelas alur berpikir tersebut dapat dilihat

(34)

commit to user

Gambar 1: Kerangka Berpikir Novel Ayat-Ayat Cinta

Karya Habiburrahman El Shirazy

Pendekatan Struktural

Struktur Novel Ayat-Ayat Cinta

Karya Habiburrahman El Shirazy

Aspek religius dalam Novel

Ayat-Ayat Cinta

(35)

commit to user

BAB III

METODELOGI PENELITIAN

A.

Lokasi Penelitian

Penelitian ini meupakan penelitian yang menganalisis data dokumenter

berupa novel Ayat-ayat Cinta sebagai objek penelitiannya. Terkait hal tersebut

maka penelitian ini tidak terpancang pada waktu dan tempat, adapun rincian

waktu dan pelaksanaan jenis kegiatan dalam penelitian ini dapat dijelaskankan

dengan tabel berikut:

Tabel 1: Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian

No Waktu

Jenis Kegiatan

Desember Januari Februari Maret April

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1. Pembuatan

proposal

x X x x

2. Perizinan x x x x

3. Pengumpulan

data

x x x x

4. Analisis data x x x x

5. Penyusun-an

laporan

x x x x

B.

Bentuk Penelitian

Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yaitu data yang

dikumpulkan akan berwujud kata-kata dalam kalimat yang mempunyai arti lebih

dari sekedar angka atau jumlah. Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis

isi (content analysis) karena sumber data utamanya merupakan karya sastra yang

berupa naskah tertulis dengan mempertimbangkan pendapat dari pakar sastra dan

guru mata pelajaran bahasa Indonesia untuk mengetahui nilai religius dan

(36)

commit to user

C.

Sumber Data

Sumber yang dipakai dalam penelitian ini adalah: (1) dokumen, yakni

novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy dan berbagai tulisan atau

artikel yang menunjang penelitian; dan (2) informan, yakni peneliti dapat

mengamnbil data dengan wawancara kepada sejumlah tokoh pengamat sastra,

pendidik/pakar pendidikan.

D.

Teknik Pengumpulan Data

Berdasarkan data yang digunakan , maka teknik pengumpulan data yang

digunakan adalah sebagai berikut:

1. Wawancara

Wawancara dilakukan pada orang-orang yang dianggap kompeten

dalam dunia sastra untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan dalam novel-novel

karya Habiburrahman El Shirazy. Wawancara yang telah dilakukan peneliti

yaitudengan Drs. Yant Mujianto selaku salah satu sastrawan di Solo serta

dengan Noor Alfiyah, S.Pd. (guru mata pelajaran bahasa Indonesia).

2. Pengumpulan Dokumen

Mengumpulkan segenap dokumen yang berkaitan dengan karya

Habiburrahman El Shirazy akan menjadi bahan untuk mendapatkan data.

E.

Teknik Sampling

Teknik sampling dalam penelitian ini adalah purposive sampling, yaitu

melakukan pengambilan data baik dengan wawancara dengan orang tertentu yang

kompeten terhadap karya sdastra , orang yang dianggap kompeten dalah hal ini

adalah Drs. Mujiyanto serlaku salah satu sastrawan di Solo serta Noor Alfiyah,

S.Pd. Dan juga mengambil dokumen tentang novel-novel karya Habiburrahman

yang dapat mendukung data penelitian.

F.

Validitas Data

Guna menjamin validitas data yang akan diperoleh dalam penelitian ini ,

(37)

commit to user

triangulasi. Peneliti ini menggunakan triangulasi data atau sumber artinya peneliti

membandingkan data dari observasi atau pengamatan dengan hasil wawancara.

Sedangkan triangulasi metode adalah peneliti menggunakan metode yang berbeda

untuk mendapatkan data sejenis yaitu wawancara dan analisis naskah.

G.

Teknik Analisis Data

Teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis interaktif yaitu

analisis bergerak dalam tiga komponen yaitu reduksi dalam sajian data dan

simpulan data.

1. Reduksi Data

Komponen ini mengandung proses seleksi , pemfokusan ,

penyederhanaan , dan abtraksi data kasar yang ada dalam catatan lapangan.

Proses ini berlangsung terus sepanjang pelaksanaan riset yang meliputi

keramgka kerja konseptual, pemilihan kasus, menyusun pertanyaan dan cara

pengumpulan data

2. Penyajian Data

Penyajian data adalah suatu rakitan organisasiinformasi yang

memungkinkan kesimpulan riset dapat dilakukan. Susunan penyajian data

harus jelas sistematikannya dengan sajian data , peneliti akan lebih mudah

memahami hal-hal yang terjadi dan memungkinkan untuk mengerjakan usaha

yang akan dilaksanakan setelah pengumpulan data

3. Penyimpulan Data

Penarikan kesimpulan dilaksanakan berdasarkan semua hal yang

terdapat dalam reduksi data dan penyajian data. Setelah data diseleksi,

diklasifikasi dan dianalisis, data tersebut diinterpretasikan dalam cerita rakyat

(38)

commit to user Berikut bagan analisis model interaktif :

Gambar 2. Model analisis interaktif

(H. B. Sutopo, 2002: 96)

Keterangan :

Tiga komponen analisis reduksi data, penyajian data, dan penyimpulan

data aktifitasnya berbentuk interaksi dengan proses pengumpulan data sebagai

siklus. Peneliti tetep bergerak diantara ketiga komponen tersebut dengan

komponen pengumpulan data selama pengumpulan data. Pengumpulan

data

Penarikan simpulan/ verifikasi Reduksi

data

(39)

commit to user

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A.

Hasil Penelitian

1.Deskripsi Novel Ayat-ayat Cinta

Ayat-ayat cinta merupakan sebuah novel yang ditulis oleh seorang

novelis muda Indonesia kelahiran 30 September 1976 yang bernama

Habiburrahman El-Shirazy. Ia adalah seorang sarjana lulusan Mesir dan sekarang

sudah kembali ke tanah air. Sepintas lalu, novel ini seperti novel-novel Islami

kebanyakan yang mencoba menebarkan dakwah melalui sebuah karya seni,

namun setelah ditelaah lebih lanjut ternyata novel ini merupakan gabungan dari

novel Islami, budaya dan juga novel cinta yang banyak disukai anak muda.

Dengan kata lain, novel ini merupakan sarana yang tepat sebagai media

penyaluran dakwah kepada siapa saja yang ingin mengetahui lebih banyak tentang

Islam, khususnya buat para kawula muda yang kelak akan menjadi penerus

bangsa.

Novel ini bercerita tentang perjalanan cinta dua anak manusia yang

berbeda latar berbeda, yang satu adalah mahasiswa Indonesia yang sedang studi

Universitas Al-Azhar Mesir, dan yang satunya lagi adalah mahasiswi asal Jerman

yang kebetulan juga sedang studi di Mesir. Kisah percintaan ini berawal ketika

mereka secara tak sengaja bertemu dalam sebuah perdebatan sengit dalam sebuah

metro.

Salah seorang penulis terkenal berpendapat terhadap novel tersebut,

“Novel yang tidak klise dan tak terduga pada setiap babnya. Habiburrahman El

Shirazy dengan sangat menyakinkan mengajak kita menyelusuri lekuk Mesir yang

eksotis itu, tanpa lelah. Tak sampai di situ, Ayat-Ayat Cinta mengajak kita untuk

lebih jernih, lebih cerdas dalam memahami cakrawala keislaman, kehidupan dan

juga cinta.”

Pendapat lain dari seorang mantan pragawati dan aktris muslimah

mengatakan bahwa membaca Ayat-Ayat Cinta membuat angan kita

Gambar

Gambar 1: Kerangka Berpikir
Tabel 1: Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian
Gambar 2. Model analisis interaktif

Referensi

Dokumen terkait

Adapun tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun, bahwa di dalam Muqaddimahnya ia tidak merumuskan tujuan pendidikan secara jelas, akan tetapi dari uraian yang

pengembangan asesmen kegiatan laboratorium berbasis kompetensi diarahkan pada empat hal utama: a) merancang asesmen yang dapat meningkatkan kemampuan sesuai dengan kompetensi

Kondisi ini terjadi karena suhu di dalam RK lebih tinggi dari pada suhu di lingkungan, selama proses pengeringan RH akan mengalami fluktuasi seiring dengan fluktuasi yang trejadi pada

Dengan kemudahan dalam mengukur IC pada model Pulic maka penelitian ini bertujuan untuk mengukur IC perusahaan sektor pertambangan yang terdaftar di Indeks LQ45

Berdasarkan hasil perhitungan diatas didapatkan nilai Thitung < Ttabel atau sebesar ,990 < 1,683 dan nilai signifikan sebesar ,329 > 0,05 maka dapat

Berdasarkan hasil angket siswa yang dianalisis oleh peneliti, guru dan teman sejawat, menunjukan bahwa siswa sangat merespon dengan baik penggunaan Metode

Berdasarkan latar belakang diasumsikan terdapat hubungan yang bermakna antara kadar CA 15-3 serum dengan derajat histopatologi kanker payudara, bahwa peningkatan

Setelah berdiskusi melalui Zoom Meeting/ Google Meet, siswa dapat menyusun pendapat pribadi tentang tokoh cerpen “ Semut dan Belalang“ dengan benarF. Setelah berdiskusi melalui