commit to user
TINJAUAN NOVEL AYAT-AYAT CINTA KARYA
HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY
(ANALISIS STRUKTURAL DAN ASPEK RELIGIUS)
Oleh
INDAH AYU WIDIASTUTI
NIM K1204027
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
commit to user
TINJAUAN NOVEL AYAT-AYAT CINTA KARYA
HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY
(ANALISIS STRUKTURAL DAN ASPEK RELIGIUS)
Oleh
INDAH AYU WIDIASTUTI
NIM K1204027
SKRIPSI
Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan
Gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
commit to user
v
ABSTRAK
INDAH AYU WIDIASTUTI. K1204027. Tinjauan Novel Ayat-Ayat Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy (Analisis Struktural dan Aspek Religius). Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Januari 2012.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: (1) struktur novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy dan (2) mendeskripsikan dan menjelaskan makna aspek religius yang terdapat dalam novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan strukturalisme. Sumber data penelitian ini adalah dokumen dan informan. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis dokumen (content analisis) dan teknik wawancara mendalam (indepth interviewing). Validitas data dilakukan dengan menggunakan triangulasi teori yaitu mengkroscekkan data hasil penelitian dengan perspektif teori yang berbeda. dan triangulasi sumber. Teknis analisis data dilakukan dengan model analisis interaktif.
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Realita dunia sastra sekarang, terdapat fenomena bahwa karya sastra
dipandang tidak lagi mengindahkan “dulce et etille”. Setiap karya sastra baik yang
berupa puisi, cerpen, essai sastra atau novel yang bertemakan pornografi dapat
diangkat dengan mudah oleh penulis kemudian dinikmati oleh khalayak penikmat
sastra. Karya sastra yang bertemakan seks, pornografi dan hal-hal yang
sebenarnya tidak membudaya dapat kita jumpai dengan mudah di toko buku,
persewaan buku, internet dan akses lain ke dunia sastra. Hal tersebut menjadi hal
yang patut kita prihatinkan karena karya sastra dapat dinikmati siapa saja tanpa
membedakan usia. Anak-anak dapat dengan mudah mendapatkan novel atau
bacaan tanpa melalui kontrol dari orang tua. Karya sastra yang semula dapat
mendidik manusia ke arah peradaban yang humanis menjadikan manusia yang
santun dan bermoral tidak bisa terwujud karena karya sastra yang tidak bernilai
Karya sastra yang memegang teguh asas ” dulce et etille ” .menjadi
benteng dari arus pergeseran budaya yang negatif dan juga menopang sekaligus
mengembangkan kesusastraan di tanah air. Nilai keindahan dan kebermanfaatan
menjadi pertimbangan dalam menjadi karya sastra. Karya sastrawan pendahulu
dapat dijadikan acuan bagi kita untuk mengkaji sesuatu yang luhur dan mulia
yang terdapat dalam sebuah karya sastra
Nilai moral dan religius adalah nilai-nilai yang sangat diperlukan karya
sastra yang hendak di ajarkan di bangku sekolah. Untuk mendidik manusia
Indonesia supaya bermoral salah satunya adalah melalui bangku sekolah yaitu
melalui apa yang dipelajari siswa di sekolah. Pelajaran apresiasi sastra di bangku
Sekolah Menengah Atas (SMA) salah satunya adalah apresiasi terhadap novel dan
mengaitkan sesuai konteksnya baik religius, sosial budaya, maupun nilai-nilai
yang ada dalam masyarakat kita yang kebetulan juga terdapat dalam novel yang
commit to user
secara tidak langsung kita mendidik siswa agar menjadi manusia santun dan
bermoral.
Apa yang dikatakan Horacle yaitu ”Dulce et etille” menjadi hal yang
harus benar-benar diperhatikan dalam memilih karya sastra yang hendak diajarkan
di Sekolah Menengah Atas bukanlah masalah yang serta merta mudah karena kita
harus selektif , novel mana yang sesuai dengan kebiasaan dan novel mana yang di
dalamnya terdapat nilai-nilai yang mendidik serta bernilai baik tidak asal-asalan
karena sebuah novel menjadi best seller di toko buku. Jika seorang guru
menggunakan karya sastra yang merupakan karya lama dengan bahasa yang kaku
menurut anak sekarang , maska akan dianggap kuno dan menjadi sulit dipahami
oleh anak sekarang, dan seandainya pun memilih karya yang merupakan
terbitanbaru maka tidak semua novel mempunyai nilai yang sesuai dengan
harapan guru yaitu yang mempunyai nilai baik yang dapat memperhalus budi
pekerti siswa
Habiburrahman El Shirazy sebagai salah satu penyair yang masih baru di
belantika sastra Indonesia telah mampu membuat orang terkagum dengan
karyanya. Orang tertarik terhadap nilai sastra yang transenden karena dirasa dan
diyakini dapat mendidik manusia menjadi manusia yang baik karena ajaran agama
banyak tersirat di dalam karya sastra transenden. Karya Habiburrahman El
Shirazy yang religius dan mengajarkan toleransi terhadap umat lain yang berbeda
agama, kisah cinta yang dikemas agamis menarik penikmat sastra.
Kecenderungan itulah yang mengundang minat peneliti untuk mengkaji
nilai-nilai religius yang ada dalam novel novel karya Habiburrahman El Shirazy. Novel
yang tidak klise dan tak terduga pada setiap babnya. Habiburrahman El Shirazy
dengan sangat meyakinkan mengajak kita menelusuri lekuk Mesir yang eksotis itu
tanpa lelah. Tak sampai di situ, Ayat-Ayat Cintamengajak kita untuk lebih jernih,
lebih cerdasdalam memahami cakrawala keislaman, kehidupan dan juga cinta.
Habiburrahman El Shirazy dengan jempolan mendeskripsikan tempat
kuliahnya dulu, kampus al-Azhar Mesir melalui cerpen Nyanyian Cinta. Kang
Abik (panggilan akrabnya) dengan gaya bahasa lugas nan memikat menceritakan
commit to user
makna kasih sayang yang luas. Dalam Nyanyian Cinta, Kang Abik kembali
mengkampanyekan ruh cinta universal.
Karya-karya Habiburrahman El Shirazy seperti Ayat-Ayat Cinta, Di Atas
Sajadah Cinta, Ketika Cinta Bertasbih banyak memberikan renungan kepada kita
pada zaman seperti ini masih ada karya sastra yang dapat digunakan sebagai
bahan ajar karena nilai-nilai yang termuat dalam karya sastra. Karakter dan
amanat sebagai unsur pembangun novel memiliki kedudukan yang strategis dalam
pendidikan nilai. Keduanya dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengajaran dalam
perkuliahan. Hal ini dilandasi oleh pendapat klasik yang mengatakan bahwa cipta
sastra yang baik selalu memberi pesan kepada pembaca untuk berbuat baik dan
menghindari perbuatan jelek atau jahat. Dengan demikian, sangatlah cocok
apabila hasil analisis terhadap cipta sastra dijadikan sebagai media dan bahan
pengajaran karena di dalam sastra penuh dengan ajaran moral.
Pengajaran sastra pada dasarnya adalah pengajaran tentang kehidupan.
Karya sastra menyajikan para tokoh dengan latar belakang tertentu mengalami
peristiwa atau konflik. Dalam karya sastra, pengarang menampilkan bagaimana
para okoh cerita menyikapi serta keluar daru konflik tersebut. Karena itu, harga
karya sastra terletak pada cara pengarang menyampaikan tindak tanduk ,sikap,
penilaian tokoh cerita atas konflikyang dihadapi melalui berbagai tinjauan.
Melalui tinjauan tersebut pembaca memperoleh pembandingan atau pelajaran
yang berharga untuk menyikapi kebutuhan sehari-hari. Karena karya sastra
bukanlah petunjuk praktis untuk menghadapi kebutuhan sehari-hari, para siswa
perlu memperoleh pemahaman tentang bagaimana membaca karya sastra. Di
sinilah pentingnya pengajaran apresiasi sastra. Pengajaran ini bermanfaat untuk
memberikan bekal teoritis kesusastraan dan latihan-latihan praktis membaca karya
sastra
Oleh karena itu, membaca langsung karya sastra tidak melalui ringkasan
cerita jauh lebih penting dan seharusnya dilakukan. Pergaulan langsung dengan
teks ini justru berguna untuk menangkap seluruh aspek estetika dan makna karya
sastra, misalnya, aspek bahasa, imajinasi, bahkan konteks psikologis dan konteks
commit to user
Peran guru adalah membawa siswa kepada proses menemukan makna
dari apa yang dibacanya. Karena itu, pengajaran sastra lebih pada menemukan
cara memandang sesuatu gejala atau peristiwa, bukan pada fakta peristiwa itu
sendiri. Karena karya sastra menampilkan penggalian-penggalian dari aspek
kejiwaan tokoh, dari sudut pandang sosial budaya, pembaca memperoleh cara
pandang relatif sekaligus menyeluruh atas suatu gejala atau peristiwa. Guru dapat
berperan dalam mengantarkan siswa pada cara pandang relatif dan komprehensif
itu. Agar tujuan tersebut tercapai, guru dan siswa sebaiknya terlibat langsung
untuk berdialog dangan karya sastra. Melalui dialog dengan karya sastra, guru dan
siswa dapat menemukan alternatif-alternatif pikiran dan tindakan atas gejala atau
peristiwa sehari-hari. Melalui dialog, memungkinkan guru dan siswa menemukan
cara pandang relatif dan alternatif
Ada beberapa perangkat yang memungkinkan penemuan cara pandang
relatif dan alternatif di atas. Perangkat itu adalah bahasa dan konteks cerita.
Bahasa menjadi unsur fundamental karena cerita disampaikan melalui bahasa.
Karenanya, bagaimana pelajaran membaca mempunyai posisi penting. Pelajaran
membaca akan sangat terbantu jika siswa punya pemahaman dan keterampilan
memadai dalam menentukan unsur terberita atau subyek dan pesan atau berita
tentang subyek, yaitu predikat. Pengenalan dan keterampilan menentukan subyek
dan predikat amat berperan bagi siswa dalam memahami pesan kalimat. Namun,
keterampilan ini saja belum cukup. Pemahaman konteks cerita ikut berperan
dalam memberikan makna kalimat-kalimat dalam teks. Pemahaman konteks ini
adalah stilistika atau cara bahasa yang dibangun oleh konvensi bahasa dan
budaya, konteks psikologi, konteks sosial budaya yang mengikat tokoh dalam
cerita. Rasa kemanusiaan dalam kaitan ini, pemahaman guru sastra akan
bidang-bidang di luar karya sastra menjadi penting. Melalui membaca dan mengapresi
karya sastra di kelas memungkinkan guru mengeksploitasi kemampuan dan
pengetahuan itu agar cerita terpahami secara menyelurh. Pengajaran sastra di
sekolah sekarang ini merupakan hal yang rentan dengan pornografi karena banyak
karya sastra yang menggunakan tema seks dan pornografi. Guru harus tau tentang
commit to user
Peran guru menjadi penting dalam membawa siswa kepada cara memandang
secara menyeluruh atas peristiwa-peristiwa dalam karya sastra. Seperti apa yang
termuat dalam Bali Post bahwa seorang murid bertanya kepada gurunya, ”Bu,
bagaimana dengan novel yang menyajikan pornografi , apakah layak untuk dibaca
padahal dari segi isi cerita cukup bagus?”(dalam www.Balipost .com) kemudian
sang guru pun bingung menjawab karena kenyataannya ada beberapa novel
seperti Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, Jalan Tak Ada Ujung karya
Mochtar Lubis, Saman karya Ayu Utami yang ditugaskan kepada siswa untuk
membacanya . Padahal ada bagian-bagian tertentu dalam novel-novel tersebut
menempatkan saya dan guru bahasa Indonesia pada posisi yang dilematis. Di satu
sisi guru bahasa Indonesia harus mengajarkan keterampilan membaca teks-teks
sastra secara benar. Di lain pihak saya khawatir dianggap sebagai penyebar
bacaan pornografi. Apalagijika dikaitkan dengan bentuk-bentuk pelarangan dalam
RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi dalam bab 2 pasal 4 dan 5, bahwa
beksploitasi daya tarik bagian tubuh tertentu yang sensual dari orang dewasa
(pasal 4), mengeksploitasi daya tarik ketelanjangan tubuh orang dewasa (pasal 5) ,
sampai kini masih menimbulkan multi tafsir.
Peran guru adalah membawa siswa kepada proses menemukan makna
dari isi bacaan. Dalam kaitan ini, pemahaman guru bahasa dan sastra Indonesia
akan bidang-bidang di luar karya sastra , jadi penting . Karena pengajaran sastra
dituntut untuk menemukan cara memandang suatu gejala atau peristiwa bukan
pada fakta peristiwa itu sendiri. Guru dapat berperan mengantarkan siswa
menemukan nilai-nilai kehidupan melalui penggalian dari aspek kejiwaan tokoh,
konteks psikologis, dan konteks sosial budaya yang mengikat para tokoh dalam
cerita. Membaca dan mengapresiasi karya sastra di kelas memungkinkan guru
mengeksploitasi kemampuan dan pengetahuan siswa agar cerita terpahami secara
menyeluruh.
Membaca sastra secara global atau secara menyeluruh untuk menemukan
nilai yang hendak disampaikan pengarang atau yang dapat digali pembaca adalah
cara mambaca yang sehat. Cara pandang yang menyeluruh ini akan membantu
commit to user
dorongan dan kesan bahwa karya-karya sastra baik puisi maupun novel yang
menggambarkan tubuh dan persetubuhan adalah pornografi. Kecuali kalau dalam
puisi atau novel itu secara keseluruhan hanya mengungkapkan eksplorasi daya
tarik ketelanjangan bagian tertentu yang sensual dari orang dewasa ( seperti yang
di ungkapkan dalam Bab 2 pasal 4 dan 5 RUU Anti pornografi dan Pornoaksi).
Karya tersebut tidak layak untuk dijadikan bahan pelajaran. Meskipun
kenyataannya tak ada seorang pun yang berhak mengamputasi imajinasi dan
kreativitas seseorang tetapi agama, norma, dan pranata yang ada harus tetap lebih
di utamakan dan menjadi landasan kreativitas dan imajinasi tersebut . Begitupun
dalam menyajikan materi sastra, landasan agama, norma, dan pranata yang ada
harus diutamakan.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat
dirumuskan permasalahannya sebagai berikut:
1. Bagaimana struktur novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy?
2. Bagaimanakah makna aspek religius yang terdapat dalam novel Ayat-ayat
Cinta karya Habiburrahman El Shirazy?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:1. Mendeskripsikan dan menjelaskan struktur novel Ayat-ayat Cinta karya
Habiburrahman El Shirazy.
2. Mendeskripsikan dan menjelaskan makna aspek religius yang terdapat dalam
novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy.
D.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan mampu memberikan manfaat sebagai
commit to user
Manfaat penelitian yang diharapkan dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah keilmuan
di bidang penelitian sastra, khususnya bidang pengkajian prosa fiksi (novel)
melalui pendekatan strukturalisme.
2. Manfaat Praktis
a. Menjadi rujukan bagi para peneliti yang berminat menganalisis lebih lanjut
karya sastra, khususnya melalui pendekatan strukturalisme.
b. Menunjukkan aspek-aspek religius pada karya sastra yang dapat diteladani
para pembaca novel.
commit to user
BAB II
KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR
A.
Landasan Teori
1.
Hakikat Novel
a. Pengertian NovelKata “novel” berasal dari kata Latin novellus yang diturunkan dari
kata novies yang berarti “baru” (Henry Guntur Tarigan, 1993: 164). Sedangkan
menurut Burhan Nurgiyantoro (2005: 9), sebutan novel dalam bahasa
Inggris-dan inilah yang kemudian masuk ke Indonesia-berasal dari bahasa Itali novella
(yang dalam bahasa Jerman: novelle). Abrams (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 9)
menyatakan bahwa secara harfiah novella berarti ‘sebuah barang baru yang
kecil’ dan kemudian diartikan sebagai ‘cerita pendek dalam bentuk prosa’.
Burhan Nurgiyantoro (2005: 4) memberikan batasan novel sebagai
sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model
kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui berbagai
unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan penokohan), latar, sudut
pandang, dan lain-lain yang kesemuanya, tentu saja, juga bersifat imajinatif.
Meskipun bersifat imajinatif, namun dunia yang ditawarkan pengarang tidak
jauh dari kehidupan sehari-hari, sehingga sangatlah tepat apabila Burhan
menyebut novel sebagai sebuah dunia yang berisi model kehidupan yang
diidealkan.
Pendapat lain tentang novel dikemukakan Goldmann (Faruk, 1994:
29) yang mendefinisikan novel sebagai cerita tentang suatu pencarian yang
terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik yang dilakukan oleh seorang hero
yang problematik dalam sebuah dunia yang juga terdegradasi. Yang dimaksud
dengan nilai-nilai yang otentik adalah totalitas kehidupan.
Herman J. Waluyo (2002: 36-37) menyatakan bahwa istilah novel
mewakili dua pengertian, yakni pengertian yang sama dengan roman (jadi
menggantikan istilah roman) dan pengertian yang biasa digunakan untuk
commit to user
tokoh cerita; (2) ada beberapa episode dalam kehidupan tokoh utamanya; (3)
biasanya tokoh utamanya tidak sampai mati.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa novel adalah
sebuah cerita fiksi dengan berbagai unsur intrinsik yang di dalamnya terdapat
problematik/ permasalahan hidup yang dialami tokoh-tokohnya sehingga
membuat tokoh utamanya mengalami perubahan nasib.
Novel dapat dibedakan dengan melihat karakteristik jenisnya. Herman J.
Waluyo (2002:38-39) membedakan jenis novel menjadi dua, yaitu novel serius
dan novel pop. Novel serius adalah novel yang dipandang bernilai sastra (tinggi),
sedangkan novel pop adalah novel yang nilai sastranya diragukan(rendah) karena
tidak ada unsur kreativitasnya.
Senada dengan pendapat tersebut Burhan Nurgiyantoro (1995:16-22) pun
mengklasifikasikan jenis novel menjadi novel populer dan novel serius.
Menurutnya, novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak
penggemarnya, khususnya para remaja. Novel serius adalah novel yang
memerlukan daya konsentrasi tinggi dan disertai dengan kemmauan dalam
memahaminya (membacanya). Lebih dijelaskannya memang tujuan novel populer
semata-mata menyampaikan cerita agar memuaskan pembaca, sedangkan tujuan
novel serius disamping memberikan hiburan, juga secara implisit memberikan
pengalaman yang berharga pada pembaca.
Sesuai dengan teori Lukacs,Goldmann (dalam Faruk, 2003:31) membagi
novel dalam tiga jenis, yaitu novel idealisme abstrak, novel psikologi, dan novel
pendidikan. Novel jenis pertama menampilkan sang hero yang penuh optimise
dalam peluangan tanpa menyadari kompleksitas dunia. Dalam novel jenis yang
kedua sang hero cenderung pasif karena keluasan kesadarannya tidak tertampung
oleh dunia fantasi. Dalam novel jenis ketiga sang hero telah melepaskan
pencariannya akan nilai-nilai yang otentik.
b. Unsur-unsur Novel
Secara garis besar unsur pembangun novel dibagi menjadi dua, yaitu
commit to user
membangun karya sastra itu sendiri. Unsur inilah yang secara lahir akan
dijumpai ketika membaca sebuah karya sastra. Di pihak lain, unsur ekstrinsik
adalah unsur yang berada di luar karya sastra yang secara tidak langsung
mempengaruhi bangunan karya sastra. Dalam pembahasan mengenai unsur
pembangun novel yang dibahas adalah unsur intrinsik karya sastra.
Stanton menjabarkan unsur pembangun fiksi atau cerita menjadi (1)
fakta cerita yang meliputi plot, tokoh, dan latar; (2) sarana cerita yang meliputi
judul, sudut pandang, gaya dan nada; dan (3) tema. Sementara itu, Luxemburg
dkk. membahas teks dan juru cerita, cerita, visi terhadap dunia rekaan, alur,
dan para pelaku dalam pembahasan mengenai teks naratif (Wiyatmi, 2006: 29).
Jacob Sumardjo dan Saini K.M. (Herman J. Waluyo, 2002: 140)
menyebutkan tujuh unsur pembangun cerita rekaan, yakni (1) plot; (2) tema;
(3) karakter; (4) setting; (5) point of view; (6) gaya; dan (7) suasana cerita.
Tidak berbeda jauh dengan pendapat di atas, Burhan Nurgiyantoro dalam buku
Teori Pengkajian Fiksi (2005) membahas unsur intrinsik prosa, yaitu tema,
pemplotan, pelataran, cerita, penokohan, penyudutpandangan, gaya (bahasa),
dan moral. Imbuhan pe(N)-an di atas dapat diartikan sebagai teknik
pengungkapan. Jadi, pembahasan mengenai unsur intrinsik prosa menurut
Burhan Nurgiyantoro meliputi tema, plot, latar, cerita, tokoh, sudut pandang,
bahasa, dan moral.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, unsur intrinsik prosa pada
dasarnya terdiri dari tema, latar, penokohan, plot, sudut pandang, gaya dan
(bahasa). Kehadiran moral (amanat) sebagai penyusun prosa tidak selamanya
diperhitungkan oleh para ahli, padahal setiap karya sastra pasti mempunyai
pesan moral (amanat) yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca.
1) Tema
Setiap karya sastra mengandung ide sentral yang mendasari cerita
yang ada. Ide sentral inilah yang sering disebut dengan tema. Hal ini senada
dengan pendapat Atar Semi (1993: 42) yang menyatakan bahwa tema tidak
lain dari suatu gagasan sentral yang menjadi dasar tersebut. Pengertian lain
commit to user
67) yang memberi batasan tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah
cerita. Makna yang dikandung dalam sebuah cerita kadang tidak terlepas
dari realita kehidupan manusia yang sering terjadi dalam kehidupan
sehari-hari. Pendapat demikian diungkapkan Herman J. Waluyo (2002: 142) bahwa
tema ada yang diambil dari khasanah kehidupan sehari-hari dan
dimaksudkan pengarang untuk memberikan saksi sejarah atau mungkin
sebagai reaksi terhadap praktek kehidupan masyarakat yang tidak disetujui.
Menurutnya, tema adalah masalah hakiki manusia seperti halnya cinta,
kasih, ketakutan, kebahagiaan, kesengsaraan, keterbatasan, dan sebagainya.
Panuti Sudjiman (1988: 50) juga memberikan definisi tema yang tidak jauh
berbeda dengan pendapat ahli yang lain, bahwa tema merupakan gagasan,
ide, atau pilihan utama yang mendasar suatu karya sastra. Berdasarkan
beberapa pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tema adalah
gagasan atau ide yang menjadi dasar sebuah karya sastra.
2) Latar
Gambaran alur sering digunakan untuk mengawali sebuah cerita.
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Burhan Nurgiyantoro (2005: 217)
bahwa tahap awal karya fiksi pada umumnya bersifat penyituasian,
pengenalan terhadap berbagai hal yang akan diceritakan; misalnya
pengenalan tokoh, pelukisan keadaan alam, lingkungan, suasana tempat,
mungkin juga hubungan waktu, dll.
Herman J. Waluyo (2002: 200) memaparkan bahwa setting tidak
hanya menampilkan lokasi, tempat dan waktu. Adat istiadat dan kebiasaan
hidup dapat tampil sebagai setting. Jadi, latar yang terdapat dalam sebuah
novel tidak hanya mengacu pada tempat saja.
Senada dengan pendapat di atas, Abrams (Burhan Nurgiyantoro,
2005: 216) berpendapat bahwa latar atau setting yang disebut juga sebagai
landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan
lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
Bertolak dari beberapa pendapat mengenai latar dapat disimpulkan
commit to user
yang tidak hanya mengarah pada satu segi akhirnya membentuk berbagai
macam latar.
Burhan Nurgiyantoro (2005: 27) membedakan unsur latar ke dalam
tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Latar tempat menyaran
pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
Unsur tempat yang digunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama
tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama yang jelas.
Latar waktu berhubungan dengan “kapan” terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Sedangkan latar sosial
menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial
masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara
kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah kebiasaan hidup,
adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan
bersikap, dll yang tergolong latar spiritual.
Latar dalam sebuah karya sastra memberikan fungsi tersendiri.
Montaque dan Henshan (Herman J. Waluyo, 2002: 198) menyatakan ada
tiga fungsi setting, yaitu 1) mempertegas watak para pelaku, 2) memberikan
tekanan pada tema, 3) memperjelas tema yang disampaikan.
Burhan Nurgiyantoro (2005: 40) berpendapat bahwa latar memiliki
fungsi sebagai metafor dan atmosfir. Diperjelas dengan pendapat Lakoff dan
Johnson (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 241) yang menjelaskan fungsi
pertama metafora adalah menyampaikan pengertian, pemahaman. Ekspresi
yang berupa ungkapan-ungkapan tertentu sering lebih tepat disampaikan
dengan bentuk metaphor daripada secara literal. Latar sebagai atmosfer
artinya ia berupa deskripsi kondisi latar yang mampu menciptakan suasana
tertentu, misalnya suasana ceria, romantis, sedih, muram, maut, misteri, dsb.
Akhirnya meskipun dalam suatu cerita rekaan boleh jadi latar
merupakan unsur dominan, latar itu tidak pernah berdiri sendiri. Seperti
yang sudah diungkapkan sebelumnya, ada unsur yang mendukung
keberadaan latar yaitu plot dan penokohan. Diungkapkan oleh Burhan
commit to user
hubungan yang erat dan bersifat timbal balik. Sifat-sifat latar dalam banyak
hal akan memperngaruhi sifat-sifat tokoh. Bahkan, barangkali tak
berlebihan jika dikatakan bahwa sifat seseorang akan dibentuk oleh keadaan
latarnya. Hal ini akan tercermin, misalnya sifat orang-orang desa yang hidup
di pedalaman akan berbeda dengan sifat orang-orang kota. Adanya
perbedaan tradisi, konvensi, keadaan sosial, dll yang menciri tempat-tempat
tertentu, langsung atau tidak langsung akan berpengaruh pada penduduk,
tokoh cerita.
Di pihak lain, juga dikatakan bahwa sifat-sifat dan tingkah laku
tertentu yang ditujukkan oleh seorang tokoh mencerminkan dari mana dia
berasal. Jadi, ia akan mencerminkan latar dalam kaitannya dengan hubungan
waktu, langsung tak langsung akan berpengaruh terhadap cerita dan
pengaluran, khususnya waktu yang dikaitkan dengan unsur kesejarahan.
3) Penokohan
Keadaan latar (setting) dalam sebuah karya sastra tidak akan berarti
jika tidak didukung oleh unsur yang lain. Stanton (dalam Burhan
Nurgiyantoro, 2005: 216) mengelompokkan latar bersama dengan tokoh dan
plot ke dalam fakta (cerita). Sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi dan
dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi.
Tokoh merupakan para pelaku yang menjalankan sebuah cerita.
Para tokoh ditampilkan dengan membawa peran masing-masing sesuai
dengan keinginan pengarangnya. Menurut Abram (dalam Burhan
Nurgiyantoro, 2005: 165), tokoh cerita adalah orang-orang yang
ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama, yang oleh pembaca
ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
Istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Sedangkan
“penokohan” lebih luas pengertiannya daripada “tokoh”, sebab ia sekaligus
mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakannya, dan
commit to user
sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca (Burhan
Nurgiyantoro, 2005: 166).
Sudjiman (dalam Panuti Sudjiman, 1988: 23) menyebutkan
penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Citra
tokoh digambarkan melalui ciri-ciri lahir dan sifat serta sikap batinnya agar
wataknya juga dikenal oleh pembaca.
Berdasarkan sudut pandang pengarang dalam menciptakan tokoh
dalam cerita dapat dibedakan macam-macam tokoh. Burhan Nurgiyantoro
(2005:176) mengkategorikan tokoh dalam sebuah karya sastra, yaitu
1)tokoh utama dan tokoh tambahan, 2) tokoh protagonis dan antagonis, 3)
tokoh sederhana dan tokoh bulat, 4) tokoh statis dan tokoh berkembang, 5)
tokoh tipikaldan tokoh netral.
Pendapat lain dikemukakan oleh Panuti Sudjiman (1988: 17) yaitu,
tokoh dibedakan menjadi 1) tokoh sentral dan tokoh bawahan, 2) tokoh
datar dan tokoh bulat. Berdasarkan atas pembedaan di atas, yang lebih
dikenal oleh pembaca adalah tokoh protagonis dan tokoh antagonis.
Menurut Herman J. Waluyo (2002: 168), tokoh protagonis adalah
tokoh sentral atau tokoh yang mendukung jalannya cerita. Pendapat lain
diungkapkan oleh Altenbend dan Lewis (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995:
178) yang menyatakan bahwa tokoh protagonis adalah tokoh yang kita
kagumi yang salah satu jenisnya secara popular disebut hero-tokoh yang
merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi kita.
Panuti Sudjiman (1988: 17) menyatakan tokoh protagonis yaitu
tokoh yang memegang pimpinan. Protagonis selalu menjadi tokoh yang
sentral dalam cerita. Ia bahkan menjadi pusat sorotan dalam kisahan.
Dengan kata lain, mengacu pada beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan
bahwa tokoh protagonis adalah tokoh yang dihadirkan dalam karya sastra
dengan membawa karakter yang disukai oleh kebanyakan pembaca.
Lawan dari protagonis adalah antagonis. Tokoh jenis ini biasanya
tidak disukai pembaca karena dilahirkan dengan karakter yang bertentangan
commit to user
tokoh yang menyebabkan konflik adalah antagonis. Di pihak lain Herman J.
Waluyo (2002: 168) menyatakan bahwa tokoh antagonis adalah tokoh yang
mempunyai konflik dengan protagonis.
Untuk menampilkan tokoh ke dalam sebuah cerita, ada beberapa
cara yang dilakukan pengarang. Menurut Herman J. Waluyo (2002: 165)
ada tiga cara, yaitu:
a) Metode analitis (langsung)
Dengan metode ini pengarang cecara langsung mendeskripsikan
keadaan tokoh itu dengan terinci (analitis). Pendeskripsian dimulai dari
keadaan fisik, psikis (wataknya) sampai keadaan sosial (kedudukan dan
pangkat). Menurut Suminto (1996/1997: 57), dengan metode ini
pengarang menyebutkan secara langsung masing-masing kualitas
tokohnya.
b) Metode dramatik (tidak langsung)
Metode ini, selain menampilkan tokoh secara fisik, juga
menggambarkan hubungannya dengan orang lain, cara hidup sehari-hari.
Metode dramatik lebih banyak menampilkan tokoh melalui “action” atau
lakuan tokoh itu dan dialog antara tokoh itu dengan tokoh lainnya.
Menurut Suminto (1996/1997: 58), disebut metode dramatis karena
tokoh-tokoh dinyatakan kepada kita seperti dalam drama. Pengarang
membiarkan tokoh-tokohnya untuk menyatakan dirinya sendiri melalui
kata-kata, tindakan atau perbuatan mereka sendiri.
c) Metode kontekstual
Berbeda dengan dua metode sebelumnya, metode ini dalam
menggambarkan watak tokohnya melalui konteks bahasa atau bacaan
yang digunakan pengarang untuk melukiskan tokoh tersebut. Menurut
Suminto (1996/1997: 68), metode kontekstual adalah cara menyatakan
karakter tokoh dengan melalui konteks verbal yang mengelilinginya.
4) Plot
Unsur plot yang juga mempengaruhi keberartian latar (setting)
commit to user
diartikan sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang
tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu
berdasarkan kaitan sebab akibat (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 113).
Herman J. Waluyo (2002: 145) menyebut plot sebagai alur cerita
yang berarti struktur gerak yang didapatkan dalam cerita fiksi. Boulton
mengatakan bahwa plot berarti seleksi peristiwa yang disusun dalam urutan
waktu yang menjadi penyebab mengapa seseorang tertarik untuk membaca
dan mengetahui kejadian yang akan dating (Herman J. Waluyo, 2002: 145).
Alur adalah peristiwa yang diurutkan yang menjadi tulang
punggung cerita (Panuti Sudjiman, 1988: 29). Abram (dalam Burhan
Nurgiyantoro, 2005: 113) menyebutkan bahwa plot sebuah karya fiksi
merupakan struktur peristiwa-peristiwa yaitu sebagaimana yang terlihat
dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa tersebut untuk mencapai
efek emosional dan efek artistik tertentu.
Bertolak dari beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa
plot tidak sekadar sebuah rentetan peristiwa. Dinamakan plot karena di
antara peristiwa satu dengan peristiwa lainnya memuat hubungan kausalitas.
Hal ini menjadikan pembaca terhanyut untuk menikmati jalannya cerita.
Pengaluran dalam sebuah karya sastra memilik tahap-tahapan
sebagaimana diungkapkan Herman J. Waluyo (2002: 147), alur cerita
meliputi 1) eksposisi, 2) inciting moment (saat perkenalan), 3) rising action,
4) complication, 5) climax, 6) falling action, 7) denonement (penyelesaian).
Eksposisi merupakan paparan awal cerita. Pengarang mulai
memperkenalkan tempat kejadian, waktu, topik, dan tokoh-tokoh. Inciting
moment adalah peristiwa mulai adanya problem-problem, mulai ditampilkan
oleh pengarang untuk kemudian dikembangkan atau ditingkatkan. Rising
action adalah penanjakan konflik sampai terjadi peningkatan konflik.
Complication adalah konflik yang semakin ruwet. Falling action artinya
konflik yang dibangun cerita itu menurun karena telah mencapai
commit to user
Sebuah alur cerita dapat dinikmati oleh pembaca karena terkandung
beberapa hal di dalamnya. Menurut Panuti Sudjiman (1988: 37), faktor
penting yang ada dalam alur yaitu kebolehjadian, kejutan, dan kebetulan.
Kebolehjadian (plausibility)
5) Sudut pandang/Point of view
Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan siapa yang
menceritakan, atau dari posisi mana (siapa) peristiwa dan tindakan itu
dilihat. Dengan demikian, pemilihan bentuk persona yang dipergunakan di
samping mempengaruhi perkembangan cerita dan masalah yang diceritakan,
juga mempengaruhi kebebasan dan keterbatasan, ketajaman, ketelitian, dan
keobjektifan terhadap hal-hal yang diceritakan.
Sudut pandang pada intinya adalah cara atau strategi yang dengan
sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya.
Abrams (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 248) menyatakan bahwa sudut
pandang adalah cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai
sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang
membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Dengan
demikian, sudut pandang merupakan teknik atau strategi yang dipilih
pengarang untuk mengungkapkan cerita.
Tarigan (1993: 140) menyatakan bahwa sudut pandang atau point
of view adalah hubungan yang terdapat antara sang pengarang dan alam
fiktif cerita, atau antara pengarang dan pikiran serta perasaan para
pembacanya. Pengarang harus dapat menjelaskan kepada para pembaca
bahwa dia selaku narator atau pencerita mempunyai tempat berpijak tertentu
dalam hubungannya dengan cerita itu. Herman J. Waluyo mengungkapkan
bahwa point of view adalah sudut pandang dari mana pengarang bercerita,
apakah dia bertindak sebagai pencerita yang tahu segala-galanya, ataukah ia
sebagai orang yang terbatas. Point of view dapat juga berarti cara yang
digunakan pengarang dalam melibatkan dirinya dalam cerita, apakah dia
terlibat secara langsung sebagai orang pertama, ketiga atau orangn yang
commit to user
Menurut Herman J. Waluyo (2002: 184-185) point of view dibagi
menjadi tiga, yakni (1) pengarang sebagai orang pertama dan menyatakan
pelakunya sebagai “aku”, teknik ini disebut teknik aku-an; (2) pengarang
sebagai orang ketiga dan menyebut pelaku sebagai “dia”, tekniknya disebut
teknik dia-an; dan (3) teknik “omniscient narratif” atau pengarang serba
tahu. Dalam teknik ini pengarang tidak mengambil peran salah satu tokoh,
tetapi ia mengambil peran sebagai pencerita yang serba tahu. Ia bebas
memasuki segala peran tanpa batas. Kadang-kadang ketiga metode ini
dikombinasikan oleh pengarang dalam sebuah cerita agar cerita tersebut
lebih bervariatif.
Sedikit berbeda dengan Herman J. Waluyo, Burhan Nurgiyantoro
memaparkan tiga jenis sudut pandang, yaitu pertama sudut pandang persona
ketiga: “dia”. Dalam sudut pandang ini narator (pengarang) adalah
seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita
dengan menyebut nama atau kata gantinya; ia, dia, mereka. Sudut pandang
ini daapt dibedakan menjadi dua, yaitu “dia” mahatahu dan “dia” terbatas
atau sebagai pengamat. “Dia” mahatahu dalam bahasa Inggris disebut the
omniscient point of view, third person omniscent , the omniscent narrator
atau author omnisvient. Dalam sudut pandang ini narator dapat
menceritakan tokoh “dia” secara bebas, ia mengetahui segala yang
berhubungan dengan tokoh “dia”, termasuk motivasi yang melatarbelakangi
tindakannya. Kebebasannya ini tidak hanya berlaku untuk satu tokoh saja,
tetapi juga tokoh “dia” yang lain. Sementara itu, “dia” terbatas (sebagai
pengamat) merupakan teknik penceritaan dengan narator bebas
menceritakan apa saja yang berhubungna dengan tokoh “dia”, tetapi terbatas
hanay pada satu tokoh saja atau hanya pada tokoh fokusnya.
Kedua, sudut pandang persona pertama: “aku”. Dalam sudut
pandang ini narator terlibat langsung dalam cerita. Ia adalah “aku”, tokoh
yang berkisah mengenai peristiwa atau tindakan yang dialami dan
dirasakannya. Narator juga mempunyai sifat mahatahu, tapi terbatas hanya
commit to user
tokoh utama dan “aku” tokoh tambahan. “Aku” tokoh utama terjadi apabila
tokoh “aku” menduduki peran utama dalam cerita. Penggunaan sudut
pandang ini memungkinkan pembaca merasa terlibat langsung dalam cerita
sehingga akan memberikan empati secara penuh. Sementara “aku” tokoh
tambahan terjadi apabila tokoh “aku” menduduki sebagai tokoh tambahan.
Biasanya “aku” tokoh tambahan hanya tampil untuk mengantarkan dan
menutup cerita, sedangkan inti cerita diserahkan sepenuhnya kepada tokoh
utama cerita untuk mengisahkan kisahnya itu.
Ketiga, sudut pandang campuran. Dalam sebuah novel atau roman
pengarang mungkin saja menggunakan penyudutpandangan lebih dari satu.
Hal ini dilakukan agar cerita tidak membosankan dan lebih variatif.
Penggunaan sudut pandang ini tergantung pada kemauan dan kreativitas
pengarang dalam memanfaatkan teknik-teknik yang ada.
Jadi, pada dasarnya sudut pandang atau point of view adalah cara
pandang pengarang dalam menggambarkan tokoh dan menyajikannya dalam
suatu cerita fiksi.
6) Gaya/style
Bahasa dalam karya sastra merupakan unsur yang penting. Bahasa
dapat disamakan dengan baju bagi manusia. Keduanya merupakan bahan
atau sarana yang apabila dimanfaatkan dengan baik akan menimbulkan nilai
lebih. Kuntowijoyo menyatakan bahwa sastra itu berada sedikit di atas dan
sedikit di bawah kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, bahasa yang
digunakan pun harus sesuai dengan sifatnya yang bukan kesehari-harian
meskipun ia merupakan refleksi kehidupan manusia sehari-hari (Korrie
Layun Rampan, 1995: 63). Jadi, dapat dikatakan bahwa bahasa karya sastra
memang berbeda dengan bahasa sehari-hari. Umumnya bahasa dalam karya
sastra (roman) adalah bahasa yang emotif, bersifat konotatif, dan
mengandung deotomisasi (penyimpangan).
Hal yang paling menonjol dalam pembahasan bahasa karya sastra
adalah gaya atau style. Gaya merupakan cara pengungkapan yang khas dari
commit to user
(citraan), dan sintaksis. Sifat gaya dalam karya sastra adalah khas, tidak
mungkin dapat ditiru orang lain, dan bersifat individual. Dengan hanya
melihat gaya penulisan sebuah karya sastra, pembaca langsung dapat
menyimpulkan siapa pengarangnya dari berbagai bentuk linguistik yang
berlaku dalam sistem bahasa yang bersangkutan. Gaya atau style hadir
setelah mengalami seleksi oleh pengarang. Keberhasilan suatu karya juga
dipengaruhi oleh kecakapan pengarang dalam menggunakan gaya yang
serasi dalam karyanya.
Dalam penentuan atau penggunaan gaya, pengarang memiliki
kebebasan untuk mengekspresikan struktur makna ke dalam struktur lahir
yang dianggap paling efektif. Pemilihan bentuk struktur lahir dapat sampai
pada berbagai bentuk penyimpangan, bahkan mungkin “distorsi” dari
pemakaian bahasa yang wajar. Namun, pemilihan wujud struktur lahir yang
sesuai dengan selera tak selamanya dilakukan secara sadar oleh pengarang.
Hal ini terjadi karena pengungkapan gaya kadang-kadang terjadi secara
otomatis oleh pengarang, seolah-olah gaya tersebut telah menjadi bagian
dari diri pengarang.
Burhan Nurgiyantoro (2005: 277) menganggap gaya sebagai
teknik, teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili
sesuatu yang akan diungkapkan. Bentuk ungkapan kebahasaan sendiri
dibagi menjadi dua macam bentuk, yakni sebagai sebuah fiksi dan sebagai
sebuah teks. Sebagai sebuah fiksi berarti pengarang bekerja dengan sarana
bahasa, dan sebagai sebuah teks berarti pengarang bekerja dalam bahasa.
Leech dan Short (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 277) menyatakan
bahwa gaya bahasa merupakan hal yang pada umumnya tak lagi
mengandung sifat konvensional, menyaran pada pengertian cara
penggunaan bahasa dalam konteks tertentu, oleh pengarang tertentu, untuk
tujuan tertentu, dsb. Dengan demikian, gaya tergantung pada konteks ia
digunakan, siapa pengarangnya, tujuannya ,dsb. Gaya ditandai oleh ciri-ciri
formal kebahasaan, seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk
commit to user
7) Amanat
Salah satu fungsi karya sastra adalah “dulce et utile”, indah dan
berguna. Selain memberi keindahan, juga bermanfaat bagi pembaca.
Bermanfaat disebabkan di dalam karya sastra terdapat hal-hal yang dapat
dipetik oleh pembaca. Hal-hal tersebut sebenarnya adalah pesan yang ingin
disampaikan pengarang kepada pembaca. Menurut Panuti Sudjiman (1988:
57) amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh
pengarang. Sedang Zulfahnur (1996/1997: 26) memberikan batasan amanat
sebagai pesan, berupa ide, gagasan, ajaran, moral dan nilai-nilai
kemanusiaan yang ingin disampaikan atau dikemukakan pengarang lewat
cerita. Amanat pengarang ini biasanya disajikan secara implisit dan
eksplisit. Cara penyampaian implisit misalnya disiratkan dalam tingkah laku
tokoh-tokoh ceritanya. Sedangkan secara eksplisit, bila dalam tengah atau
akhir cerita pengarang menyampaikan pesan-pesan, saran, nasihat,
pemikiran, dsb.
Bertolak dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
amanat adalah pesan-pesan moral yang hendak disampaikan pengarang
kepada pembaca, baik secara implisit maupun eksplisit.
.
2. Hakikat Nilai-nilai Pendidikan dalam Novel
Karya sastra dipakai untuk menyampaikan sesuatu yang dihayatinya
kepada orang lain. Apa yang disampaikan oleh sastrawan merupakan renungan
antara kehidupan yang dijalaninya atau yang disaksikannya. Dengan demikian,
karya sastra sangat mungkin mengandung renungan-renungan dari pengarangnya,
memuat nilai-nilai kehidupan yang direnungkannya yang sangat bermanfaat
commit to user
Renungan tentang kehidupan ini merupakan ciri khas yang senantiasa
terdapat dalam karya sastra (Tirtawijaya, 1983: 83). Lebih lanjut dikatakan oleh
Tirtawijaya (1983: 84), bahwa yang dimaksud renungan kehidupan ialah
pengalaman pengarang, hasil hasil perenungan dirinya berkat pengalaman yang
dia nukilkan dalam cerita yang ditulisnya, yang nanti akan memperkaya batin
pembacanya. Dalam arti, karya sastra sebagai alat refleksi dari pembacanya.
Renungan-renungan yang ditampilkan mengandung nilai-nilai kebenaran
yang sudah semestinya disebarluaskan, dan kebenaran ini juga tanggung jawab
moral yang merupakan bagian dari kehidupan ini. Jadi melalui bentuk sastra inilah
pembaca diajak menyelami alam batin pengarangnya yang sarat dengan
perenungan nilai-nilai kehidupan, nilai-nilai yang mampu membuka batin
pembaca
Uraian tersebut di atas mengindikasikan bahwa dalam karya sastra
terkandung nilai-nilai kehidupan yang luhur dan bersifat mendidik. Dengan kata
lain karya sastra mengandung nilai-nilai edukatif, yang nantinya juga akan
kembali kepada kehidupan. H.J. Waluyo (1990: 27) mengatakan bahwa, nilai
sastra berarti kebaikan yang ada dalam makna karya sastra bagi kehidupan.
Disebut-sebut sebagai kebaikan karena dalam karya sastra terkandung nilai-nilai
yang baik.
Lebih lanjut Baribin (1985:79) mengemukakan bahwa karya kesusastraan
selalu mengandung nilai-nilai yang luhur, sehingga dapat menggetarkan jiwa
orang-orang yang terbaik dari setiap generasi. Dalam karya kesusastraan dapat
kita temukan percikan-percikan buah pikiran atau renungan-renungan dari penulis
yang arif yang terdapat dalam setiap zaman.
a. Nilai Pendidikan Estetik (keindahan)
Sastra sebagai cabang seni akan melengkapi dengan sentuhan estetis
yang memiliki keindahan apabila terdapat keutuhan antara bentuk dan isi,
keseimbangan, serta kejelasan penampilan aspek karya seni lain. Nilai
keindahan akan tampak lebih realistis jika kita perhatikan penilaian atau
commit to user
gaya bahasa, dan unsur-unsur yang lain akan membentuk bobot keindahan
dalam sebuah karya sastra.
Nilai estetik disebut juga nilai keindahan. Manusia menjadi bahagia
dengan mengalami sesuatu yang bagus, yang indah. Adanya bermacam-macam
seni ialah untuk memenuhi kebutuhan ini. Maka sesuatu yang memenuhi
kebutuhan ini kita katakan mempunyai nilai keindahan atau nilai estetik
(Drikarya, 1980: 117). Nilai estetik ini jika diterapkan dalam karya sastra tidak
hanya tampak dalam bentuk (struktur) cipta sastra tetapi juga dalam isinya
(tema dan amanat) (Esten, 1984: 21).
b. Nilai Pendidikan Sosial
Sosial merupakan istilah yang ditujukan kepada pergaulan kelompok
manusia yang berinteraksi, berhubungan dalam kehidupan manusia di
masyarakat. Ia juga berarti mempertahankan hubungan-hubungan teratur antara
seseorang dengan yang lain (Gazalba, 1976:32). Nilai yang mengarahkan
kepada pembentukan sikap sosial ini, menyebabkan kita saling berhubungan
dan membuat bermacam-macam kesatuan dalam hidup kita (Drikarya, 1980:
72).
Nilai sosial yang terdapat dalam karya sastra mempunyai pengertian
bahwa karya sastra yang memaparkan hubungan manusia melalui
tokoh-tokohnya, dapat dijadikan refleksi bagi pembaca untuk mengadakan hubungan
sosial antara pribadi dan dengan masyarakat (Waluyo, 1990: 60).
Mengenai hubungan kemasyarakatan ini dapat pula ditemukan dalam
karya sastra yang sistematis yang mengungkapkan sifat hubungan anggota
masyarakat dengan demikian diketahuilah sebab-sebab terciptanya hubungan
dengan segala akibatnya , serbagaimana dikatakan Luxemburg (1989:24) lewat
karya sastra dapat digunakan sebagai sumber analisis sistem masyarakat, apa
yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat itu dan bersikap kritis terhadap
tata nilai masyarakat yang sedang berlaku, hal ini disebabkan karena sosial
budaya merupakan produk masyarakat.
commit to user
Dalam karya sastra terdapat nilai didik moral . Nilai didik moral dapat
diambil lewat para pelakunya . Bagaimana tingkah lakunya, bagaimana
pribadinya, sifat-sifatnya dan lain-lain. Dengan adanya nilai tersebut maka
karya sastra di samping untuk menambah pengetahuan yang dapat mendidik
moral manusia.
Moral adalah ajaran tentang baik buruk yang diterima oleh umum
mengenai perbuatan ,sikap, kewajiban, dan sebagainya. Moral adalah nilai-nilai
baik yang seharusnya ada dalam ketentuan sosial. Ia adalah pembatasan
norma-norma baik dari yang buruk (Gazalba, 1976: 31).
Nilai moral yaitu nilai yang menempatkan manusia pada
hukum-hukum kodratrnya sebagai manusia (Driyarkara,1980:118). Menurut hukum-hukum
moral itu manusia harus melaksanakan kewajiban, harus cinta sejati kepada
sesama dan harus menghormati keluhuran martabat manusia. Nilai yang
melahirkan sikap moral ini berupa kesanggupan, kemauan dasar, dan
kesiapsediaan untuk melaksanakan kesusilaan dalam tiap-tiap perbuatan
(Driyarkara,1990: 72).
d. Nilai Pendidikan Religius
Nilai religi dalam sastra mengandung arti bahwa karya sastra dapat
dijadikan sarana untuk merenungkan nasib manusia dan kemanusiaan. Pada
akhirnya renungan itu akan sampai pada kekuasaan tertentu yang mengatur
kehidupan manusia (Waluyo, 1990: 60).
Manusia tidak bisa sempurna sebagai manusia . bersikap adil terhadap
sesama, kasih sayang, menjunjung tinggi manusia, semua ini tidak mungkin
akhirnya kalau tidak berdasarkan pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Pengakuan tidak cukup hanya dalam pikiran, pengakuan itu juga harus
dilaksanakan dalam hidup (Driyarkara, !980: 119).
Dengan memahami karya sastra yang bernilai religius maka pembaca
akan mendapatkan tuntunan yang bersifat rohani. Hal ini bisa terjadi bila
pengarang mengekspresikan imajinasinya yang mempunyai tendensi dakwah
commit to user
Nilai pendidikan religius yang terkandung dalam sebuah karya sastra
memungkinkan untuk dapat dikembangkan secara positif. Karya sastra,
terutama cerpen mengajarkan tata nilai kehidupan yang berguna dalam
masyarakat yang sudah barang tentu akan menambah perbendaharaan serta
memperluas wawasan berpikir bagi pembacanya yang mau mengkaji secara
mendalam.
3. Hakikat Aspek Religius
Istilah religiusitas berasal dari bahasa Latin yaitu religare yang berarti
mengikat, religio berarti ikatan dan pengikatan diri kepada Tuhan atau lebih tepat
manusia menerima ikatan Tuhan sebagai sumber ketentraman dan kebahagiaan
(Djojosantoso, 1991: 3). Mangunwijaya (1982: 54-55) mengatakan bahwa
religiusitas adalah konsep keagamaan yang menyebabkan manusia bersikap
religius. Religius merupakan bagian dari kebudayaan dan sistem dari suatu agama
yang satu dengan agama yang lain memiliki sistem religi yang berbeda. Religius
merupakan wujud seseorang berdoa untuk yakin dan percaya kepada Tuhan
sehingga keadaan emosi mengalami ketenangan dan kedamaian. Keterkaitan
manusia terhadap Tuhan sebagai sumber ketentraman dan kebahagiaan dengan
melakukan tindakan sesuai dengan ajaran-ajaran agama. Kaitan agama dengan
masyarakat banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama dalam argumentasi
rasional tentang arti dan hakikat kehidupan, tentang kebesaran Tuhan dalam arti
mutlak, dan kebesaran manusia dalam arti relatif selaku makhluk.
Religiositas berbeda dengan keagamaan. Dalam pengertian di atas
religiositas mencakup keagamaan. Keagamaan itu sendiri merupakan sesuatu
yang berhubungan dengan agama. Sikap-sikap yang ada dalam agama, yaitu
berdiri khidmad, membungkuk dan mencium tanah selaku ekspresi bakti kepada
Tuhan, mengatupkan mata selaku konsentrasi diri pasrah sumarah dan siap
mendengarkan sabda illahi dalam hati. Semua itu solah bawa manusia religius
yang otentik, baik dalam agama Islam, Kristen, Yahudi dan agamaagama lainnya
juga (Gemeinschaff dalam Magunwijaya, 1982: 54).
Dalam sebuah pengantar bukunya, Nurcholis Madjid (1997) mengatakan
bahwa setiap manusia memiliki naluri religiusitas—naluri untuk berkepercayaan.
commit to user
dan alam raya menjadi lingkungan hidup itu sendiri. Karena setiap manusia pasti
memiliki keinsafan apa yang dianggap “makna hidup”. Makna hidup yang hakiki
dan sejati itu ada. Agama sebagai sistem keyakinan menyediakan konsep tentang
hakikat tentang makna hidup itu tetapi ia tidak terdapat pada segi-segi formal atau
bentuk lahiriah keagamaan. Ia berada di baliknya. Berdasarkan hal itu formalitas
harus “ditembus”, batas-batas lahiriah harus “diseberangi”. Kemampuan
melampaui segi-segi itu (niscaya) akan berdampak pada tumbuhnya sikap-sikap
religius individu maupun masyarakat yang lebih sejalan dengan makna dan
maksud hakiki ajaran agama.
Pokok-pokok ajaran Islam terdiri atas dua bagian yaitu (1) Akidah/iman
yang, terdiri atas enam rukun iman (iman kepada Allah, Malaikat, kitab-kitab
Allah, para nabi dan rasul, hari kiamat, qadar atau takdir) (2) Syariah, mengatur
dua aspek kehidupan manusia yang pokok, yaitu mengatur hubungan manusia
dengan Allah, disebut “Ibadah” dan mengatur human relation dan human activity
di dalam masyarakat/dunia, disebut “Muamalah” (Masjfuk Zuhdi, 1993: 6).
Akidah Islamiah itu merupakan pokok dasar Islam dan pemersatu seluruh umat
Islam di dunia ini. Seseorang yang bertentangan dengan akidah Islamiah yang
berupa rukun iman enam tersebut adalah bukan orang Islam. Akidah Islamiah
dalam Quran dirumuskan dengan kata-kata “Iman”, sedangkan syariah dirumuskan
dengan kata-kata “Amal Saleh”.
Akidah dengan syariah itu tidak dapat dipisahkan (bisa dibedakan tetapi
tidak bisa dipisahkan). Akidah sebagai akarnya dan syariah sebagai batang dan
dahan-dahannya. Seseorang yang beriman tanpa menjalankan syariah adalah fasik,
sedangkan bersyariah tetapi berakidah yang bertentangan dengan akidah Islamiah
adalah munafik. Dan seseorang yang tidak berakidah dan bersyariah Islamiah
adalah kafir. Akidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan
sedikit pun bagi orang yang meyakininya. Akidah jika dilihat dari sudut pandang
sebagai ilmu –sesuai konsep ahlus Sunnah wal Jama’ah- meliputi topik-topik:
tauhid, iman, Islam, masalah ghoibiyyat (hal-hal ghaib), kenabian, takdir,
berita-berita (tentang hal-hal yang telah lalu dan yang akan datang), dasar-dasar hukum
yang qat’i (pasti), seluruh dasar-dasar agama dan keyakinan, termasuk pula
commit to user
semua aliran dan sekte yang menyempal lagi menyesatkan serta sikap terhadap
mereka (Yazid Jawas, 2006: 27)
4.Hakikat Pendekatan Strukturalisme
Strukturalisme dapat diartikan sebagai salah satu pendekatan dalam
penelitian sastra yang menekankan kajian hubungan antarunsur pembangun karya
sastra. Penelitian ini dilakukan secara objektif, yakni menekankan aspek intrinsik
karya sastra. Hal ini seperti pernyataan Herman J. Waluyo (1994: 43) yang
mengatakan bahwa pendekatan strukturalisme memandang karya sastra bersifat
otonom seperti halnya bersifat objektif. Dalam pandangan ini, pemahaman karya
sastra dimulai dengan memahami totalitas karya itu.
Analisis struktural merupakan hal yang harus dilakukan untuk
memahami prosa (baik cerpen, novel, ataupun roman) yaitu dengan memahami
struktur fisik dan struktur batin yang terdapat di dalamnya. Struktur fisik prosa
terdiri atas plot, setting, perwatakan, penokohan, dan gaya bahasa bercerita.
Adapun struktur batin prosa terdiri atas tema, sudut pandang, suasana, dan
amanat.
Sebelum melakukan analisis karya sastra dengan pendekatan apapun
juga, haruslah menggunakan pendekatan strukturalisme. Hal ini dikatakan oleh A.
Teew (dalam Rachmat Djoko Pradopo, 2002: 46), bahwa analisis struktur
merupakan tugas utama sebelum yang lain-lain untuk memahami dan menilai
sepenuhnya karya sastra. Dengan analisis struktural, baru mungkin didapatkan
pengertian yang optimal.
Burhan Nurgiyantoro (1995: 37) berpendapat analisis struktural karya
sastra (fiksi) dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan
mendiskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur fiksi yang bersangkutan.
Pertama, unsur fiksi diidentifikaasi dan dideskripsikan bagaimana fungsi
masing-masing, kemudian dijelaskan bagaimana hubungan antar unsur tersebut dalam
commit to user
Dengan demikian, dapat disimpulkan analisis struktural bertujuan
memaparkan sedetail mungkin fungsi dan keterkaitan antarberbagai unsur karya
sastra, dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna
keseluruhan yang ingin dicapai.
B.
Kerangka Berpikir
Berbicara tentang karya sastra maka akan terlintas dalam pikiran kita
nilai apa saja yang terkandung dalam sebuah karya sastra . Karya sastra
hendaknya mempunyai nilai-nilai tertentu yang menjiwai sebuah karya sastra.
Karya sastra diciptakan bukan sekedar untuk dinikmati keindahannya tetapi juga
untuk dipahami dan diambil manfaatnya secara menyeluruh. Sastra bukanlah
sekedar benda mati yang tak berarti,namun di dalamnya termuat banyak sekali
nilai-nilai hidup, pesan yang luhur yang mampu menambah wawasan manusia
dalam memahami, menjalani dan menghayati kehidupan.
Aspek religius yang ada dalam karya sastra dibutuhkan keberadaannya
untuk menambah fungsional karya sastra sebagai alat untuk memperhalus budi
pekerti dan sebagai alat bantu mengajarkan kebajikan serta membuat kita untuk
lebih tunduk dan patuh terhadap Tuhan.Untuk mengetahui makna aspek religius
dalam novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy maka perlu untuk
dianalisis. Selain itu, dengan pendekatan struktural maka akan diketahui struktur
pembangun novel tersebut. Untuk lebih jelas alur berpikir tersebut dapat dilihat
commit to user
Gambar 1: Kerangka Berpikir Novel Ayat-Ayat Cinta
Karya Habiburrahman El Shirazy
Pendekatan Struktural
Struktur Novel Ayat-Ayat Cinta
Karya Habiburrahman El Shirazy
Aspek religius dalam Novel
Ayat-Ayat Cinta
commit to user
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
A.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini meupakan penelitian yang menganalisis data dokumenter
berupa novel Ayat-ayat Cinta sebagai objek penelitiannya. Terkait hal tersebut
maka penelitian ini tidak terpancang pada waktu dan tempat, adapun rincian
waktu dan pelaksanaan jenis kegiatan dalam penelitian ini dapat dijelaskankan
dengan tabel berikut:
Tabel 1: Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian
No Waktu
Jenis Kegiatan
Desember Januari Februari Maret April
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1. Pembuatan
proposal
x X x x
2. Perizinan x x x x
3. Pengumpulan
data
x x x x
4. Analisis data x x x x
5. Penyusun-an
laporan
x x x x
B.
Bentuk Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yaitu data yang
dikumpulkan akan berwujud kata-kata dalam kalimat yang mempunyai arti lebih
dari sekedar angka atau jumlah. Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis
isi (content analysis) karena sumber data utamanya merupakan karya sastra yang
berupa naskah tertulis dengan mempertimbangkan pendapat dari pakar sastra dan
guru mata pelajaran bahasa Indonesia untuk mengetahui nilai religius dan
commit to user
C.
Sumber Data
Sumber yang dipakai dalam penelitian ini adalah: (1) dokumen, yakni
novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy dan berbagai tulisan atau
artikel yang menunjang penelitian; dan (2) informan, yakni peneliti dapat
mengamnbil data dengan wawancara kepada sejumlah tokoh pengamat sastra,
pendidik/pakar pendidikan.
D.
Teknik Pengumpulan Data
Berdasarkan data yang digunakan , maka teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah sebagai berikut:
1. Wawancara
Wawancara dilakukan pada orang-orang yang dianggap kompeten
dalam dunia sastra untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan dalam novel-novel
karya Habiburrahman El Shirazy. Wawancara yang telah dilakukan peneliti
yaitudengan Drs. Yant Mujianto selaku salah satu sastrawan di Solo serta
dengan Noor Alfiyah, S.Pd. (guru mata pelajaran bahasa Indonesia).
2. Pengumpulan Dokumen
Mengumpulkan segenap dokumen yang berkaitan dengan karya
Habiburrahman El Shirazy akan menjadi bahan untuk mendapatkan data.
E.
Teknik Sampling
Teknik sampling dalam penelitian ini adalah purposive sampling, yaitu
melakukan pengambilan data baik dengan wawancara dengan orang tertentu yang
kompeten terhadap karya sdastra , orang yang dianggap kompeten dalah hal ini
adalah Drs. Mujiyanto serlaku salah satu sastrawan di Solo serta Noor Alfiyah,
S.Pd. Dan juga mengambil dokumen tentang novel-novel karya Habiburrahman
yang dapat mendukung data penelitian.
F.
Validitas Data
Guna menjamin validitas data yang akan diperoleh dalam penelitian ini ,
commit to user
triangulasi. Peneliti ini menggunakan triangulasi data atau sumber artinya peneliti
membandingkan data dari observasi atau pengamatan dengan hasil wawancara.
Sedangkan triangulasi metode adalah peneliti menggunakan metode yang berbeda
untuk mendapatkan data sejenis yaitu wawancara dan analisis naskah.
G.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis interaktif yaitu
analisis bergerak dalam tiga komponen yaitu reduksi dalam sajian data dan
simpulan data.
1. Reduksi Data
Komponen ini mengandung proses seleksi , pemfokusan ,
penyederhanaan , dan abtraksi data kasar yang ada dalam catatan lapangan.
Proses ini berlangsung terus sepanjang pelaksanaan riset yang meliputi
keramgka kerja konseptual, pemilihan kasus, menyusun pertanyaan dan cara
pengumpulan data
2. Penyajian Data
Penyajian data adalah suatu rakitan organisasiinformasi yang
memungkinkan kesimpulan riset dapat dilakukan. Susunan penyajian data
harus jelas sistematikannya dengan sajian data , peneliti akan lebih mudah
memahami hal-hal yang terjadi dan memungkinkan untuk mengerjakan usaha
yang akan dilaksanakan setelah pengumpulan data
3. Penyimpulan Data
Penarikan kesimpulan dilaksanakan berdasarkan semua hal yang
terdapat dalam reduksi data dan penyajian data. Setelah data diseleksi,
diklasifikasi dan dianalisis, data tersebut diinterpretasikan dalam cerita rakyat
commit to user Berikut bagan analisis model interaktif :
Gambar 2. Model analisis interaktif
(H. B. Sutopo, 2002: 96)
Keterangan :
Tiga komponen analisis reduksi data, penyajian data, dan penyimpulan
data aktifitasnya berbentuk interaksi dengan proses pengumpulan data sebagai
siklus. Peneliti tetep bergerak diantara ketiga komponen tersebut dengan
komponen pengumpulan data selama pengumpulan data. Pengumpulan
data
Penarikan simpulan/ verifikasi Reduksi
data
commit to user
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A.
Hasil Penelitian
1.Deskripsi Novel Ayat-ayat CintaAyat-ayat cinta merupakan sebuah novel yang ditulis oleh seorang
novelis muda Indonesia kelahiran 30 September 1976 yang bernama
Habiburrahman El-Shirazy. Ia adalah seorang sarjana lulusan Mesir dan sekarang
sudah kembali ke tanah air. Sepintas lalu, novel ini seperti novel-novel Islami
kebanyakan yang mencoba menebarkan dakwah melalui sebuah karya seni,
namun setelah ditelaah lebih lanjut ternyata novel ini merupakan gabungan dari
novel Islami, budaya dan juga novel cinta yang banyak disukai anak muda.
Dengan kata lain, novel ini merupakan sarana yang tepat sebagai media
penyaluran dakwah kepada siapa saja yang ingin mengetahui lebih banyak tentang
Islam, khususnya buat para kawula muda yang kelak akan menjadi penerus
bangsa.
Novel ini bercerita tentang perjalanan cinta dua anak manusia yang
berbeda latar berbeda, yang satu adalah mahasiswa Indonesia yang sedang studi
Universitas Al-Azhar Mesir, dan yang satunya lagi adalah mahasiswi asal Jerman
yang kebetulan juga sedang studi di Mesir. Kisah percintaan ini berawal ketika
mereka secara tak sengaja bertemu dalam sebuah perdebatan sengit dalam sebuah
metro.
Salah seorang penulis terkenal berpendapat terhadap novel tersebut,
“Novel yang tidak klise dan tak terduga pada setiap babnya. Habiburrahman El
Shirazy dengan sangat menyakinkan mengajak kita menyelusuri lekuk Mesir yang
eksotis itu, tanpa lelah. Tak sampai di situ, Ayat-Ayat Cinta mengajak kita untuk
lebih jernih, lebih cerdas dalam memahami cakrawala keislaman, kehidupan dan
juga cinta.”
Pendapat lain dari seorang mantan pragawati dan aktris muslimah
mengatakan bahwa membaca Ayat-Ayat Cinta membuat angan kita