• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Obituari Hamid Jabbar 132 1 10 20171017

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "View of Obituari Hamid Jabbar 132 1 10 20171017"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Obituari

Hamid Jab bar

(1949-2004)

Foto: Gatra

M

ajalah sasra Horison edisi Juli 2004 menunkan laporan khusus "In Memoriam Hamid Jabbar". Kawan dan sahabat dekanya, seperti Tauiq Ismail, Emha Ainun Nadjib, Cecep Syamsu1 Hari, Rahman Arge, Berthold Damsbauser, Wilson Nadeak, dan Slamet Sukimanto memberikan catatan obituari kepada penyair yang lahir di Koto Gadang, Bukittinggi, Sumatera Barat, 27 Juli 1949 ini. Memang agak aneh juga kalau kepenyairannya luput dari perhatian Hary Aveling yang menulis Rahasia Membutuhkan Kata: Puisi Indonesia 1966-1998 (2003) maupun Sapardi Djoko Damono yang menulis Sihir Rendra: Permainan Makna (1999). Namun, karya-karyanya dimuat dalam Harison Sastra Indonesia: Kitab Puisi (2003) dan Ketika Kata Ketika Wama ( 1995) yang dieditorinya bersama Taufiq Ismail dan kawan-kawan.

Saya tidak tahu persis kenapa puisi Hamid Jabbar tidak disinggung Harry Aveling yang membaca puisi Indonesia di zaman Orde Baru dengan perspektif politik. Padahal, pada I 998 Hamid Jabbar menerbitkan kumpulan puisi Super Hilang: Segerobak Sajak, yang mendapat pcnghargaan dari Yayasan Buku Utama dan Pusat Bahasa. Kritik sosial yang disampaikannya pun cukup tajam, misalnya dalam puisi "Proklamasi 2" atau "Indonesiaku". Ada dua kemungkinan lidak disinggungnya Hamid Jabbar dalam buku Harry Aveling yang mutakhir itu. Pertama, Harry Aveling ridak tahu atau tidak memiliki data berupa puisi-puisi Hamid Jabbar. Kedua, puisi-puisi Hamid Jabbar itu tidak memenuhi selera sastra Hary Aveling.

Apakah Hamid Jabbar bukan penyair besar? Apakah Hamid Jabbar hanya penyair sekadar? Kalau pertanyaan semacam ini ditujukan kepada K.H. A. Mustofa Bisri, mungkin sejak awal sudah tidak digubris, karena ia tidak mempedulikan ha! semacam itu. Tapi, kalau kita lihat intensitas dan totalitas Hamid Jabbar dalam berpuisi, maka bagi "Si Bola Bekel'' ini, kepenyairan menjadi sebuah pilihan hidup. Sama seperti ketika ia dan Rendra menikmati wisata kuliner di sebuah rumah makan di tepi sungai di Palangkaraya, April 2004. Saat penyakit diabetesnya kambuh, dan sempat mencemaskan kawan-kawan di sekitamya, ia mengatakan, "Jangan khawatirkan kesehatanku. Cita-citaku, kalau tidak mati di depan Ka'bah di Mekkah, ya mati di atas panggw1g."

(2)

118 SUSASTRA

Siapa pun yang mendengar akhir hayat seorang penyair seperti itu, pasti akan tajub. Sudah pasti sebagai sahabat kita akan merasakan kehilangan, namun sebagai seniman, kematian semacam itu adalah kematian yang indah, kematian yang heroik, bahkan dapat dikatakan mati syahid, karena meninggal di saat sedang menunaikan tugas mulia sebagai seorang penyair. "Betapa dahsyat! Betapa dramatis! Betapa puitis! Betapa mulia bagi seorang penyair. Mengalami saat yang mungkin merupakan saat yang paling bermakna bagi rnanusia-saat meninggalkan dunia fana menuju dunia yang baru-dalam melakukan sesuatu yang dicintai: berpuisi! Bukankah itu suatu karunia yang sangat luar biasa?" tulis Damshauser.

Sementara Sutardji Calzoum Bachri mengatakan kepada Slamet Sukimanto, "Kir, teman kita ini meninggal dengan indah. Seorang penyair meninggal ketika sedang tampil di atas panggung dalam pergelaran membaca puisi. Mungkin dalam sejarah sastra, dalam sejarah pembacaan puisi, mungkin baru sekarang ini, yang pertama kali seorang penyair meninggal ketika membaca puisi. Pahlawan puisi!" Julukan Sutardji kepada Hamid Jabbar itu menunjukkan penghargaan yang demikian besar kepada seorang sahabat. Seorang sahabat yang pada 30 Maret 1973 telah mengetikkan Kredo Puisinya yang mcnghebohkan dunia sasra Indonesia itu. Di harian Republika, Sutardji menegaskan, dalam sejarah pembacaan puisi sejak Empu Tanakung, Ronggowarsito, Abdul Kadir Munsyi, hingga Chairil Anwar, belum pemah ada penyair yang meninggal saat membacakan puisinya di panggung.

Ketika saya masih mahasiswa, sekitar 1992, saya sempat satu panggung di Auditorium Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universi­ tas Indonesia (FIB UI) dengan Hamid Jab bar, Ik:ranagara, Sapardi Djoko Damono, dan Purwadi Djunaedi. Kami membacakan puisi kami masing­ masing. Yang saya ingat, Hamid Jabbar membacakan puisi "Proklamasi 2" dan mendapat sambutan yang meriah dari mahasiswa UT. Puisi itu kemudian dimuat di majalah kampus Suara Mahasiswa Ul edisi perdana. Hingga akhir hayatnya, kalau kita perhatikan dengan seksama, ada kesadaran dalam diri Hamid Jabbar ketika menciptakan puisi. Bahwa puisi yang ditulisnya itu nantinya akan dibacakan di depan publik. Puisi semacam ini, menurut A. Teeuw, merupakan puisi oral, puisi yang

ASEP SAMBODJA 119

memerlukan pengucapan atau kelisanan. Karenanya, saya sependapat dengan Cecep Syamsul Hari, bahwa puisi-puisi Hamid Jabbar sangat memperhitungkan bunyi. Ada unsur musikal dalam puisi-puisi Hamid Jabbar.

Berthold Damshauser keberatan jika Hamid Jabbar hanya dianggap sebagai penyair parodi. Anggapan seperti itu tidak saja salah, melainkan juga membatasi kekayaan kepenyairannya. Menurut Damshauser, tema utama puisi-puisi Hamid Jabbar adalah tentang Tuhan. Selain itu, ciri yang menonjol dalam puisinya adalab adanya kontras yang tajam. Di sau sisi ia seorang manusia yang riang, di sisi lain ia menderita. Menderita karena dunia yang ganas membuat sesamanya menderita. Namun, dalam segala kesedihan yang disebabkan oleh keadaan di sekelilingnya, ia tetap merasa perlu meriangkan dunia, meriangkan sesamanya. Itulah jalan yang dipilihnya. Dan, menurut Damshauser, pilihan itu sangat bijaksana dan arif.

Ada sebuah puisi Hamid Jabbar yang memperlihatkan keseriusannya memperhatikan persoalan bangsa, yami puisi berjudul "Astagfirullah". Mcskipun menggarap tema-tema sosial, Hamid Jabbar senantiasa mengaitkannya dengan Tuhan sebagai sang Maha Pencipta. Hubungan antara sesama manusia berikut berbagai persoalan yang menggayutinya tak pemah lepas dari Sang Maha Melihat itu. Dalam pengucapannya, Hamid Jabbar sangat mempedulikan irama, yang enak untuk dibacakan atau dideklamasikan. Meskipun tampaknya ia mempermainkan kata, namun yang terjadi kemudian adalah permainan makna dari kata-kata terse but. Ini sekaligus memperlihatkan kepiawaian Hamid Jabbar dalam berpuisi.

Astairullah

(3)

120

walau debu sudah fitrahnya hanya kelu tapi tanggungjawab tak bisa hanya bisu katakan kata-kata yang semestinya mesti walau biar hanya kepada diri sendiri

tapi justru pada diri sendiri aku tak mampu lagi sebab aku butuh tubuh utuh yang tak saling bunuh dan kini cerai-berai sudah jungkir-balik salah-kaprah astagfirullah astagfirullah astagfirullah astagfinllah

SUSASTRA

astagfirullah hari-hari huru-hara diriku duhai astagfirullah tak selesai pada sekedar caci-maki ataupun harn-simpati. astagirullah jungkir-balik salah-kaprah telah berlaku. astagfinllah, telah berlaku terbeli terjual, namun bukan sekedar salah-cetak kiranya bila tiba-tiba laba jadi bala. astagfirullah bila bala jadi bola jadi loba jadi besar jadi sebar jadi kabar jadi bakar. astagfirullah. memang ragam jadi garam, tapi astagfirullah betapa perihnya teramat parah tersebab hati tertukar tahi. maka jika padat mejadi dapat tentulah alhamdulillah, tapi apa hendak dikata bila sokong temyata kosong, bila larat tak dapat diralat, jika mahar jadi hamar, bila ramah dinyatakan marah, atau lebah menjadi belah, rekat jadi kerat, raba jadi bara, bawah jadi wabah, sahut jadi hasut, gosok jadi sogok, hingga semua hajat dan hajat semua tertukar tempat mejadi jahat maha jahat, segalanya Jagi gila, dan ini semua bukan salah ketik atau salah ketuk, hingga biar gratis pun temyata sungguh tragis muaranya, maka tak putus-putus astagfirullah kuketuk­ ketuk ke segala remuk dalam diri nisbi ini, duhai diriku tangis segala tangis!

astagfirullah, wahai diriku, diriku yang kukenal, wahai kukenal kujunjung tinggi, tapi tak kunjung kumengerti. wahai entah salah apa, salah faham atau justru saling iti-dengki bin dendam antara kalian, wahai kalian dalam diriku yang

D

ASEP SAMBODJA

mengaku bemama otak di kepala, hati di dada, lidah di mulut, hingga kaki dan tangan dan lutut terbalut-balut tersebab bertingkai-pingkai tak terlerai, tabrak-lari tabrak­ lari, baku caci-maki! otakku bilang: diabetes! mulutku bilang: dialapar! tapi lambung dan duburku koor lain Jagi: diarakus diarakus! astagfirullah, begitu biankah rakus menguras segala, rakus akan kebenaran atau memang benar diarakus atas segala hal, tak pcduli salah atau benar! astagfirullah!

astagfirullah wahai diri, diriku, urat dan nadi, darah dan gairah tumpah di arus jutaan jaringan anatomi ini, ruh dan jasad ini, astagfirullah! astagfirullah kanal-kanal salah arus menjadi anak-anak nakal dalam diri, wahai anak-anak nakal banyak lagak salah uns jadi anak-anak galak yang tumpang tindih antara timpang dan rintih, antara sayang dan sedih, petak-umpet membangun pedih, repet-merepet tak sampai­ sampai tak leth-letih, di sana dan di sini, di kamar-kamar malam di rumah diri, ekstasi saling sodomi, zalimi duhai zalim menzalimi, saling makar di kelam kamar tak terperi.

astagfiullah terbunuh sudah daku di hari-hari huru-hara diriku di duka satu koma tiga triliyun ngilu bertimbun-tinbun duhai tak usai-usai istigfarku padamu

ya Allah!

astagfirullah

laa haula wa laa quwwata illa billahil aliyil aziim

121

Cukup banyak gagasan Hamid Jabbar yang sangat berarti bagi perkembangan sasra Indonesia. Namun, yang paling penting dicatat adalah

(4)

122 SUSASTRA

gagasannya mempertemukan sasrawan dengan para pelajar dan mahasiswa, dalam acara "Siswa Bertanya, Sastrawan Bicara." Bagi pelajar, be1emu langsung dengan sasrawan adalah pengalaman yang sangat menyenangkan. Mereka tidak saja bisa bertanya mengenai bagaimana cara menulis karya sastra, tetapijuga bisa mendapat ilmu secara langsung dari para sasrawan itu bagaimana menyikapi hidup dan kehidupan, serta berbagi pengalaman tentang apa saja. Dengan mendekati pelajar, mahasiswa, dan guru-guru di sckolah-sekolah, diharapkan apresiasi sasra di dunia pendidikan semakin meningkat. Dan, cukuplah gagasan Hamid Jabbar yang mulia sepe1ti itu diteruskan oleh sahabat dan generasi di bawahnya.

Ada satu Jagi puisi Hamid Jabbar yang menurut saya sangat indah, yang temanya sama dengan puisi "Derai-derai Cemara" karya Chairil Anwar. Ada baiknya saya kutip sajak itu secara utuh untuk melengkapi salam hormat saya kepada penyair Hamid Jabbar.

Aroma Maut

Berapakah jarak antara hidup dan mati, sayangku? Barangkali satu denyut Jepas, o satu denyut lepas tepat di saat tak jelas batas-batas, sayangku: Segalanya terhempas, o segalanya terhcmpas!

(Laut masih berombak, gelombangnya entah ke mana. Angin masih berhembus, topannya sampai ke mana. Bumi masih beredar, getamya sampai ke mana? Semesta masih belantara, sunyi sendiri ke mana?)

Berapakah jarak antara hidup dan mati, sayangku? Barangkali hilir-mudik di suatu titik

tumpang-tindih merintih dalam satu nadi, sayangku: Sampai tetes-embun pun selesai, tak menitik!

(Gelombang lain datang begitu lain. Topan lain datang begitu lain.

ASEP SAMBODJA

123

Gelap lain datang begitu lain.

Sunyi lain datang sendiri tak bisa lain!)

Pada Sabtu malam, 29 Mei 2004, Hamid Jabbar, suami Lubuk Minturun ini, meninggal di mimbar puisi. Kematiannya itu "bak panglima perang yang meninggal di titik pusat medan peperangan" sebagaimana dikatakan Emha Ainun Nadjib. Hamid Jabbar dakamkan di pemakaman Pondok Rangon, Jakarta Timur.

Acuan

Citayam, 19 Juli 2007 Asep Sambodja

Aveling, Harry. 2003. Ra1asia Membu1utkan Kata. Magelang: Indoncsiatera. Damono, Sapardi Djoko. 1999. Sihir Rendra: Permainan Makna. Jakarta: Pustaka

Firdaus.

Encstc, Pamusuk. 200 I. Buku Pintar Sastra Indonesia. Jakarta: Kompas. I/orison. Tahun XXXVffl, No. 7, Juli 2004.

Ismail, Taufiq ct.al. (ed.). 1995. Ketika Kala Ke1ika Wama. Jakarta: Yayasan Ananda.

(5)

Hamid Jabbar dan Karyanya

Uamid Jabbar lahir di Koto Gadang, Bukittinggi, Sumatra Barat, 27 ruli 1949. Ia meninggal di Jakarta, 29 Mei 2004. Bemama lengkap Abdul Hamid bin Zainal Abidin bin Abdul Jabbar. Pendidikan terakhir SMA (tahun 1970). Pada masa kecilnya ia suka mendendangkan pantun­ pantun nasihat dari ibu kandungnya, Ummi. Pada usia remaja ia merantau ke Sukabumi, Bandung, dan Jakarta. Di Bandung dan Sukabumi, ia menjadi aktivis Kesahian Aksi Pelajar Indonesia (1966-1969).

Aktivis KAPl Sukabumi dan Bandung semasa aksi demonstrasi Angkatan '66 ini mulai mcnulis puisi, cerpen, cerita anak, novel, dan esai pada 1969, namun ban disiarkan di media massa pada 1973. la mengaku berguru pada Sutardji Calzoum Bachri. Karya-karyanya tersebar di berbagai koran terbitan Jakarta, Bandung, dan Padang, serta beberapa mjalah terbitan Jakarta, tem1asuk Horison (Jakarta) dan Dewan Sastra (Malaysia). Puisi dan cerpennya dimuat di Horison, Sarinah, Ulumul Qur 'an, Menyimak, Hai, Singgalang, Sinar Harapan, dan lain-lain.

Bersama Wisran Hadi mendirikan Grup Bumi Teater di Padang, di samping aktif melakukan studi ten tang sastra dan budaya Minangkabau. Mengikuti berbagai seminar sastra dan budaya,juga membacakan puisi­ puisi di berbagai kota dan peristiwa, di Indonesia maupun di Malaysia dan Singapura.

Pekerjaan

Ia penah bekerja menjadi mandor perkebunan teh di Sukabumi, Kepala Gudang beras di Bandung dan Padang, malah juga menjadi Asisten Man­ ager Administrasi Keuangan sebuah perusahaan swasta di Jakarta. Selain itu juga bekerja sebagai wartawan Indonesia Ekspres (Bandung) dan Pos Kota (Malaysia), redaktur harian Singgalang (Padang), redaktur Balai

Pustaka ( 1980-1983), editor majalah Sarin ah (Jakarta), Sekretaris Dewan Kesenian Jakarta ( 1993-1996), dan terakhir ia menjadi Rcdaktur Senior majalah sastra Horison hingga akhir hayatnya. Ia pun menekuni penulisan skenario sinetron.

Hamid Jabbar juga melakukan studi mengenai pantun Minangkabau. Ia menulis puisi, cerpen, esai di berbagai media massa yang terbit di Bandung, Jakarta, Padang, dan Malaysia.

Pada Festival Istiqlal II ( I 995), ia menjadi Ketua Panitia Penyelenggara Istiqlal Intenational Poetry Reading. Di tahun yang sama ia juga mengikuti Puisi lndonesia-Belanda, yang diikuti para penyair terkemuka dari lndonesia dan Belanda (September di Jakarta dan Desembcr di Denhaag, Belanda).

Karya Fiksi:

Prosa

1973 "Dari Ruang Ini". Horiso11, 11.8, 344-345. l 974 "Suara". Harison, 9.9, 278-280.

1976 "Pada Dctik Kesekian". Harison, 10-1 I .11, 33 I. 1981 l. "Demam". Horison, 6.16, 193.

2. "Kepala Gagasan". Horison, 6.16, 214-215. 3. "Sepanjang Jalan''. Harison, 7.16, 226-228. 4. "Kabar Ular". Harison, 8.16, 273-277,287. 5.''Bulan dalam Perahu". Harison, 9.16, 309-310. 6. "Loncatan-loncatan". Harison, 9.16, 317-318. 7. "Menembus Malam". Horison, 10.16, 347-348. 8. "Meja". Harison, 11-12.16, 383, 405.

9. "Kita". Harison, 11-12.16, 404-405.

10. "Sep a tu yang Terhormat". Zaman, 42.2, 16-17. 11. "Kakek Merdeka''. Zaman, 48.2, 36-3.7.

1982 I. "Cerita Pendek yang Gaga!". Harison, 3-4.17, 78-79. 2."Mata-mata".Horison, 8.17, 218-222.

1985 "Anjing-anjing Pembuu". Horison, Tahw1 XIX, No. 6, Juni. 1986 "Engku Dahtk Yth. di Jakarta", dalam Hoerip, Satyagraha (ed.).

(6)

126

Puisi

1973 "Sejuta Panorama Suara". Horison, 10.8, 305.

SUSASTRA

I 974 1. Paco-Paco. Jakarta: Puisi Indonesia, 42 halaman. 2. "Homo Homini Lupus". Horisan, 12.9, 370.

3. "Sebelum Maut Itu Datang, Ya Allah". Horison, 12.9, 370-371.

1975 I. Dua Wana (antologi bersama Upita Agustine).

2. "Lagu Sebuah", "Sangsaiku", dan "Sebuah Mobil". Horisa11, 1.10, 14- 15.

3. "Nyaris Lupa", "Setitik Nur", dan "Seperti Kakeku Dulu". Horison, 12.10, 369.

1977 "Debu" dan "Doa I". Horison, 8. 12,238.

1978 "Beri Aku Satu yang Tetap dalam Diriku" dan "Luka Itu Aneh Sekali". Horison, 7.13, 210.

1979 I. "lndonesiaku". Horison, 11.14, 368-371. 2. "Tetapi". Zaman, 1.1, 15.

3. "Lapangan Rumput, Masa Kanak-kanak, dan Sisa Embun". Zaman, 2.1, 39.

4. "Potong BebekAngsa". Zaman, 10.1, 37. 1980 1. "Nyanyian Belum". Zaman, 17.1, 39.

2, "Nyanyian Purba". Zaman, 46.1, 35. 1981 1. Wajah Kita. Jakarta: Balai Pustaka.

2. "Perjamuan". Pandji Ma:,jarakat, 326.22, 35.

3. "Beri Aku Satu yang Tetap dalam Diriku" dan "Temyata". Pandji Masjarakat, 329.23, 35.

4. "Eksekusi", "Slogan", "UUUUU", dan "Telegram". Aktui/, 15.13, 57.

5. "Jakarta l ". Zaman, 6.3, 26.

6. "Luka ltuAnch Sekali". Zaman, 46.2, 27.

1983 1. "Lapangan Rumput, Masa Kanak-kanak, dan Sisa Embun". Harison, 4.18, 194.

2. "Banyak Orang Menangis, Kekasih" dan "Di Taman Bunga, Luka Tercinta". Harison, 4.18, 195.

1992 "Jangan Tangisi" dan "nasrAllahi qariib". Bosnia Kita.

ASEP SAMBO0JA 127

1993 Parade Puisi Indonesia (editor, bersama Slamel Sukimanto). Jakarta: Global Citra Media Nusantara, 78 halaman (berisi puisi­ puisi 17 penyair Indonesia dan diberi kata pengantar oleh Sutardji Calzoum Bachri).

1995 Ketika Kata Ketika Warna (editor, bersama Tauiq Ismail, Sutardji Calzoum Bacbri, Anu·i Yahya, danAgus Dermawan T.). Jakarta: Yayasan Ananda.

I 998 Super Hilang: Segerobak Sajak. Jakarta: Balai Pustaka, 397 halaman (berisi 143 sajak yang ditulis sejak 1971 hingga 1998). (t.t.) Zikrullah.

200 l "Assalamu 'Alaikum l ", "Doa Terakhir Musa fir', "Homo Homini Lupus", "Indonesiaku", dan "Proklamasi 2". Horison Sastra In­ donesia: Kitab Puisi. Jakarta: Horison.

2002 "Nyanyian Negeri Jajahan", "Sapi [KJ Emas", dan "Selamat Tinggal Manusia Budak Indonesia". Harison, Tahw1 XXXV, No. 4, Edisi Khusus April.

2004 Indonesiaku. Jakarta: Horison.

Skcnario

I. "Malin Kundang, Legenda Masa Lalu -Parodi Masa Kini". 2. ""War-Teg-Bes, Warga 'The Best'.

Cerita Anak

1978 1.Raja Berak Menangis. 2. Siapa Mau Jadi Rcu·a.

Karya Non-fiksi:

( t. l.) I. Editor buku biograi I Ierlina, Pending Emas dan Bangkit dari Dunia Sakit.

2. Transmigrasi di Indonesia (bersama Ramadhan K.H.). 1997 Panorama Sastra Nusantara (bersama Taufiq Ismail). Jakarta:

(7)

2003 "Pidato Miring". Horison, Tahun XXXVI, No. 8, Agustus.

Pcnghargaan

1998 1. Yayasan Buku Utama (Super Hilang: Segerobak Sjak, buku puisi terbaik).

2. Pusat Pcmbinaan dan Pengembangan Bahasa (Super Hilang: Segerobak Sajak, buku puisi terbaik).

Artikel lan Tulisan tentang Hamid Jabbar

1991 Waluyo, Herman J. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta:

2001 2002

2003

Erlangga.

"Puisi Bcsar". Kompas, Jumat, 1 Juni.

Sarjono,Agus R. "Laut, Komodo, lan Sastra". Kompas Cyber Media, Minggu, 10 November.

Waluyo, He1111an J. Apresiasi Puisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

2004 1. Benke, Benny. ''Hamid Jabbar, Meninggal Ketika Berpuisi".

2.

"Dimakamkan di Jakarta". Suara Pembaruan, 31 Mei. "Mcnjemput Maut di Pentas Sjak". Republika.co.id, Senin, 31 Mei.

"Pembukaan FSS Diawali Bening Cipta untuk Hamid Jabbar". Kompas Cyber Media, Scnin, 31 Mei.

"Ilamid Jabbar dan Kcpcrihan dari Dalam". Kompas Cyher Media, Sclasa I Juni.

"Obituari: Memahami Jarak dan Aroma AJal". Garra, Edisi 30, 4 Juni.

7. "Doa dan Tahlil untuk Penyair Hamid Jabbar". Tempointeraktif com, Selasa, 15 Juni.

8. Arge, Rahman. "Hamid Jabbar, Sckali Tempo ... ". Hori.wn, Tahun XXXVIII, No. 7, Juli.

9. Damshauscr, Berthold. "Sang Pcriang yang Arif'. Harison, Tahun XXXVIII, No. 7, Juli.

l 0. Hari, Cecep Syamsul. "Telah Pulang, Abang Disayang". -/oriso11, Tahun XXXVlll, No. 7, Juli.

11. Ismail, Tauiq. "Memahami Jarak dan Aroma Aja!". Harison, Tahun XXXVIII, No. 7, Juli.

12. Nadeak, Wilson. "Hamid Jabbar, Sebuah Kenangan." Horiso11, Tahun XXXVIII, No. 7, Juli.

13. Nadjib, EnhaAinun. "Kalau Hanya Penyair, Ia Hanya Mati". Horison, Tahun XXXVllI, No. 7, Juli.

14. Sukimanto, Slamet. "Mengenang Penyair Hamid Jabbar". Horison, Tahun XXXVIII, No. 7, Juli.

15. Sarjono,AgusR. "Integritas". Kompas Cyber Media, Minggu, I 1 Juli.

Buku-buku yang Membicarakan Karya Hamid Jabbar

1987 Suryadi Ag., Linus (ed.). Tonggak: Antologi Puisi Indonesia Moden 4. Jakarta: Gramedia.

1988 I. Eneste, Pamusuk. lkhtisar Kesusastraan Indonesia Modern. Jakarta: Djambatan.

2. Kratz, Enst Ulrich. Bibliograi Karya Sastra Indonesia da!am Maja/al,: Drama, Prosa, Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

1990 Eneste, Pamusuk. leksikon Kesusastraan Indonesia Moden. Jakarta: Djambatan.

1991 Waluyo, Herman J. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga. 2000 Rampan, Kon-ie Layun. leksikon Susastra Indonesia. Jakarta:

Balai Pustaka.

2001 I. Eneste, Pamusuk. Bibliograi Sastra Indonesia. Magelang: Indonesia Tera.

2. Eneste, Pamusuk. Buku Pintar Sastra Indonesia. Jakarta:

Kompas.

3. Ismail, Tauiq dkk. Harison Sastra Indonesia: Kitab Puisi.

Jakarta: Harison.

2003 1. Herfanda, Ahmadun Y. dkk. (ed.). leksikon Sastra Jakarta:

Sastrawan Jakarta dan Sekitanya. Jakarta: Dewan Kesenian

Jakarta dan Bcntang.

2. Waluyo, Hem1an J. Apresiasi Puisi. Jaka1ta: Gamcdia Pustaka Utama.

Referensi

Dokumen terkait

dikalangan suatu masyarakat. Tampaknya hal ini sangat berkait dengan banyak hal, seperti keyakinan agama, aliran falsafat yang dianut. Dengan kata lain, sanksi ini

Dari hasil kesimpulan diatas, diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan hasil belajar yang signifikan antara siswa yang mempunyai minat tinggi dengan siswa yang

Sesuai dengan tema pelayanan KAJ tahun 2014 “Dipilih untuk Melayani” maka Gereja mengajak seluruh umat Paroki SanMaRe untuk semakin beriman, semakin besaudara, dan semakin berbela

Peran bone marrow mesenchymal stem cells (BMMSC) terhadap perubahan seluler hyperplasia pada organ kelenjar adrenal tikus hipertensi adalah meregenerasi sel yang

Program Peningkatan Jalan dan Penggantian Jembatan, dengan sasaran terlaksananya peningkatan jalan provinsi sepanjang 220 km dan penggantian jembatan

Rataan tekstur telur asin dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 5, hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi perlakuan dan faktor tunggal lama

Ketika mereka memegang peranan sebagai sebuah kelas dan menentukan keseluruhannya dalam sebuah kurun waktu, hal tersebut adalah bukti diri bahwa mereka melakukan tersebut

[r]