BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
Remaja adalah masa transisi/peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa
dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis, dan
psikososial.Secara kronologis yang tergolong remaja yakni berkisar antara
12/13-21 tahun. Penggolongan remaja menurut Tohrnburg (Dariyo, 2004:3) terbagi 3
tahap, yaitu masa remaja awal (usia 13-14 tahun), remaja tengah (usia 15-17
tahun), dan masa remaja akhir (usia 18-21 tahun). Sementara itu, Menurut data
yang diambil dari BKKBN, berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah
penduduk Indonesia mencapai 237,6 juta jiwa, sebanyak 27,6 persen atau
63.443.448 juta jiwa adalah usia remaja 10 sampai 24 tahun.
Remajasaat ini sedang mengalamiperubahan sosial yang cepat
darimasyarakat tradisionalmenujumasyarakatmodern,yangjugamengubah
norma-norma, nilai-nilai dan gayahidupmereka. Perkembangan emosi yang belum stabil
dan bekal hidup yang masih perlu dipupuk menjadikan
remajalebihrentanmengalamigejolaksosial.Banyak sekali life events yang akan terjadi yang tidak saja akan menentukan kehidupan masa dewasa tetapi juga
kualitas hidup generasi berikutnya sehingga menempatkan masa ini sebagai masa
kritis.
Masaremajajugadiartikan sebagaimasa dimana seseorang menunjukkan
tanda-tanda pubertas dan berlanjuthinggatercapainyakematanganseksual.Perubahan
organ-organ reproduksi yang makin matang pada remaja, meyebabkan dorongan dan gairah
seksual remaja makin kuat dalam dirinya.Kematangan organ reproduki tersebut, juga
mendorong individu untuk melakukan hubungan sosial, baik dengan sesama jenis
maupun dengan lawan jenis. Di satu sisi hal ini tentu baik bagi kehidupan sosial
Permasalahan remajayangadasaatinisangatkompleks, salah satunya ialah masalah
kesehatan reproduksi.Data Depkes RI (2006), menunjukkan jumlah remaja umur
10-19 tahun di Indonesia ada sekitar 43 juta (10-19.61%) dari jumlah penduduk. Sekitar satu
juta remaja pria (5%) dan 200 ribu remaja wanita (1%) secara terbuka menyatakan
bahwa mereka pernah melakukan hubungan seksual. Penelitian juga dilakukan oleh
Universitas Dipenegoro bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Jawa Tengah (2005),
dengan sampel 600.000 responden menyatakan bahwa sekitar 60.000 atau 10% siswi
SMU se-Jawa Tengah telah melakukan hubungan seksual pranikah.
Masalah kesehatan reproduksi remaja yakni masalah seksualitas, dapat berujuang
kepada penyakit menular seksual seperi HIV/AIDS bahkan sampai kepada
penyalahgunaan NAPZA. Berdasarkan data tentang penyalahgunaan narkoba di
Indonesia, dari sebanyak 3,2 juta jiwa yang mengkonsumsi narkoba, 78% diantaranya
ialah remaja. Berdasarkan data Kemenkes pada akhir Juni 2010, di Indonesia terdapat
21.770 kasus AIDS dan 47.157 kasus HIV positif, dengan persentase pengidap usia
19-29 tahun yakni sebesar 48,1% dan usia 30-35 tahun sebanyak 30,9%.
Pengaruh informasiglobal(paparanaudio
visual)yangsemakinmudahdiaksesdiakuiatautidaktelahmemancingremajauntukmen gadaptasi kebiasaan-kebiasaantidaksehatyang berhubungan dengan kesehatan
reproduksinya.Pada akhirnya secara kumulatif kebiasaan-kebiasaan tersebut akan
mempercepat usia awal seksual aktif serta mengantar mereka pada berperilaku
seksual yang berisiko tinggi.Padahal walaupun remaja telah mencapai kematangan
kognitif, namun dalam kenyataannya mereka belum mampu mengolah informasi
yang diterima tersebut secara benar.
Kesehatan reproduksi merupakan keadaan secara fisik, mental, sosial secara utuh
bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem atau fungsi proses
reproduksi pada laki-laki dan perempuan (UU Kesehatan No. 36 tahun 2009, pasal
71). Pendidikan kesehatan
reproduksimerupakanupayauntukmemberikanpengetahuantentangfungsiorganreprodukside
sertakomitmenagamaagartidakterjadi“penyalahgunaan”organreproduksitersebut.Pendidik
an kesehatan reproduksi harus dianggap sebagai bagian dan proses-proses
pendidikan, dengan demikian mempunyai tujuan untuk memperkuat dasar-dasar
pengetahuan dan pengembangan kepribadian. Dengan kata lain, pendidikan kesehatan
reproduksi adalah bagian integral dari usaha-usaha pendidikan pada umumnya
(Gunarsa, 2000: 96).
Berdasarkan proses penyampaiannya, pendidikan dapat dibagai menjadi dua
bagian, yakni pendidikan formal dan pendidikan non formal. Pendidikan formal ialah
pendidikan yang dilakukan secara formal dan resmi oleh dinas pendidikan, misalnya
yang dilakukan di sekolah. Sedangkan pendidikan non formal, ialah pendidikan yang
dilakukan tidak secara formal atau resmi, namun berdasarkan kedekatan satu sama
lain, misalnya di lingkungan keluarga dan sekitar. Proses penyampaian Pendidikan
Kesehatan Reproduksi dapat dilakukan dengan dua cara, yakni formal dan non
formal. Namun saat ini sulit ditemukan sekolah yang menerapkan pendidikan
kesehatan reproduksi secara mendalam.Karena itulah peran lingkungan keluarga
disini sangat dibutuhkan.Keluargasebagailingkungan sosial pertamaremajadiharapkan
dapatmenerapkan pendidikan kesehatan reproduksi yang baik dan benar.
Peran keluarga khusunya orangtuadirasakanpenting dalam memberikan informasi
tentang materi pendidikan kesehatan reproduksi,karenaorangtua dapat
mengarahkansecarabijaksanainformasiyangbenardantepat
sesuaidengankebutuhanremaja.Menurut hasil penelitian Ida Wiendijarti (2011) dalam
judul “Komunikasi Intepersonal Orang tua dan Anak dalam Pendidikan Seksual”,
menunjukkan hasil bahwa remaja yang memiliki kesulitan berkomunikasi dengan
orangtuanya tentang masalah seksualitas, mereka cenderung memiliki sikap permisif
terhadap hubungan seksual. Namun pada kenyataannya
orangtuadipandangkurangmampumemahamijiwaremaja.Orangtuamasihterbelengguolehb
udayalamadanpandanganorangtuayangsempitterhadapperkembanganremaja
danlingkungannya.Orang tua sering sekali berpendapat bahwa pembicaraan mengenai
aneh, bahkan tabu.Selain itu mudah timbul rasa takut di kalangan orangtua bahwa
pendidikan yang menyentuh isu perkembangan organ reproduksi dan fungsinya justru
malah mendorong remaja untuk melakukan penyalahgunaan organ reproduksi
tersebut.Penelitian yang dilakukan oleh lembaga penelitian Synovate (2006) di empat
kota (Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya), menunjukkan hasil bahwa remaja yang
mendapat informasi tentang penjelasan berbagai masalah kesehatan reproduksi oleh
keluarga, yakni orang tua relatif sedikit; disebutkan pula bahwa sebanyak 42,2%
remaja menerima informasi tentang haid, dan hanya 15,5% remaja menerima
informasi hubungan suami istri, yang mendapat penjelasan tentang penyakit menuar
seksual (PMS) ada 16,9 %.
Menurut pandangan remaja melalui beberapa artikel tentang komunkasi orang tua
dan anak tentang kesehatan reproduksi (salah satunya artikel yang ditulis Murni
Manurung dalam situs BKKBN Jabar), orangtua sulit untuk dimengerti berkaitan
dengan masalah remaja.Remaja ingin dihitung keberadaannya di lingkungan
keluarga, karena itu remaja ingin pendapatnya terlebih dahulu didengar oleh
orangtua. Namun remaja menganggap orangtua cenderung menghakimi, terlalu
melindungi dan sering tidak menghormati privasi remaja dan keinginan remaja untuk
mandiri.Selain itu, remaja menganggap orangtua susah untuk dipercaya, hal ini
dikarenakanorangtua tidak memiliki cukup keahlian tentang topik yang berkaitan
dengan pendidikan kesehatan reproduksi. Karena itulah meskipun remaja memiliki
kedekatan fisik dengan orangtua, namun tidak sedikit remaja yang merasa nyaman
dan aman secara emosional untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan
kesehatan reproduksinya dengan teman sebaya atau sepermainannya.
Permasalahan
inisebenarnyabisadiatasidenganmenciptakankomunikasiinterpersonalantara
remajadenganorangtua.Komunikasiinterpersonal
disinibukansekedarmenyangkutkuantitasdari
komunikasiyangdilakukanolehremajadanorangtua,tetapikomunikasilebihdititikberatkanpad
dan kesetarandari keduabelahpihak.Pada hakekatnya komunikasi
interpersona
perilaku seseorang, karena sifatnya yang dialogis berupa percakapan.Komunikasi
interpersonal antara remaja dan orang tua di sini bersifat dua arah, disertai dengan
pemahaman bersama terhadap sesuatu hal di mana antara remaja dan orang tua
berhak menyampaikan pendapat, pikiran, informasi atau nasehat.
Pendidikan kesehatan reproduksi di dalam keluarga, disebut juga dengan sistem
pendidikan non formal, dapat dilakukan melalui komunikasi interpersonal (antar
pribadi) antara orang tua dan remaja.Pendidikan kesehatan reproduksi di dalam
keluarga dapat dilakukan dalam suasana yang santai dan menyenangkan, tidak tegang
atau kaku, dan tetap dengan pandangan dewasa, juga perlu memerhatikan
penyesuaian bahasa yang digunakan oleh remaja.
Meskipun orang tua dianggap memegang peranan penting
untukmemberikanpendidikan kesehatan reproduksipadaremaja, namun jika dilihat
melalui permasalahan kesehatan reproduksi yang terjadi saat ini, yang menjadi fokus
dalam penelitian ini ialah remaja.Orang tua tentu berupaya untuk memberikan
pendidikan yang baik untuk anaknya, namun semua kembali kepada diri anak itu
sendiri.Karena itulah peneliti tertarik untuk meneliti tentang bagaiman komunikasi
interpersonal remaja kepada orang tua tentang pendidikan kesehatan reproduksi, dan
tentang bagaimana orangtua berkomunikasi tentang pendidikan kesehatan reproduksi
melalui sudut pandang remaja itu sendiri.
SMA Negeri 12 merupakansalahsatusekolahnegeri
yangadadikotaMedan.Siswa-siswinya berasaldaridaerah yangberbeda-beda, dengan kebiasaan yang
berbedapula.Pendidikan kesehatan reporduksi biasanya menjadi bagian dari mata
pelajaran biologi ataupun pendidikan kesehatan jasmani, karena itu pendidikan
kesehatan reproduksi belum terlalu mendalam diajarkan di sekolah ini.Selain itu,
disekolah ini jugabelumpernah dilakukan penelitian tentang bagaimana komunikasi
lah yang menjadi objek dalam penelitian ini ialah siswa-siswi SMA Negeri 12
MEDAN.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti
“Komunikasi Interpersonal Orang Tua dan Anak Tentang Pendidikan Kesehatan
Reproduksi pada Siswa SMA NEGERI 12 MEDAN”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat
dikemukakan perumusan masalah dalam penelitian ini adalah
“BagaimanaKomunikasi Interpersonal Orang Tua dan Anak tentang Pendidikan
Kesehatan Reproduksi pada Siswa SMA NEGERI 12 MEDAN?”
1.3 Pembatasan Masalah
Untuk lebih memperjelas ruang lingkup permasalahan yang akan diteliti agar
penelitian tidak terlalu luas dan fokus terhadap permasalahan yang sedang diteliti,
maka peneliti membatasi masalah sebagai berikut:
1. Pendidikan Kesehatan Reproduksi yang dimaksud dalam penelitian ini
merupakan
upayauntukmemberikanpengetahuantentangfungsiorganreproduksidenganmenanamk
anmoral,etika, agartidakterjadipenyalahgunaanorganreproduksi.
2. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif, untuk
mengetahuikomunikasi interpersonal orang tua dan anak tentang pendidikan
kesehatan reproduksi pada remaja.
3. Objek Penelitian ini adalah siswa kelas I (I-VII) dan II (IPA I-VI dan IPS I-III)
di SMA NEGERI 12 MEDAN.
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun Tujuan Penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui komunikasi interpersonal orang tua dan anak tentang
Pendidikan Kesehatan Reproduksi pada SMA NEGERI 12 MEDAN.
2. Untuk mengetahui pengetahuan remaja tentang Kesehatan Reproduksi
1.5 Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah:
1. Secara Teoritis, penelitian ini berguna bagi pengembangan ilmu komunikasi.
Temuan-temuan empiris dari hasil penelitian ini juga menjadi sumbangan
berharga sekaligus sebagai pengkayaan materi dalam pengembangan khazanah
keilmuan komunikasi.
2. Secara Akademis, penelitian ini diharapkan bisa memperluas ruang lingkup
peneltian dalam bidang komunikasi interpersonal khususnya komunikasi
interpersonal orang tua dengan anak.
3. Secara Praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi
SMA NEGERI 12 MEDAN dan pihak-pihak yang membutuhkan pengetahuan