• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Koordinasi Badan Pelaksana Penyuluhan Dan Ketahanan Pangan dalam Peningkatan Aksesibilitas Pangan bagi Daerah Rawan Pangan di Kabupaten Serdang Bedagai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Peran Koordinasi Badan Pelaksana Penyuluhan Dan Ketahanan Pangan dalam Peningkatan Aksesibilitas Pangan bagi Daerah Rawan Pangan di Kabupaten Serdang Bedagai"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Kebijakan Publik

II.1.1 Pengertian Kebijakan Publik

Dimulai dari pengertian kata publik menurut Wayne Parsons (2008:2) mengartikan bahwa publik itu sendiri berisi aktivitas manusia yang dipandang pelu untuk diatur dan diintervensi oleh pemerintah atau aturan sosial, atau setidaknya oleh tindakan bersama. Publik itu dianggap suatu ruang dengan domain dalam kehidupan bukan privat atau murni milik individu tetapi milik bersama atau milik umum. Dari pengertian yang digagaskan oleh ahli tersebut dapat kita lihat bahwa publik itu adalah sesuatu yang kompleks dan luas dan menyangkut kepentingan masyarakat yang tidak terbatas. Tetapi dengan dengan adanya pengertian perlu ada intervensi terhadap aktivitas manusia ini berarti bahwa publik memiliki cirri masyarakat yang mau diintervensi dari orang yang punya wewenang terhadap masyarakat atau aturan yang disepakati. Oleh karena itu dapat kita lihat bisa kita simpulkan bahwa publik itu adalah sejumlah individu yang mempunyai kesepahaman untuk membentuk kelompok dengan sistem tersendiri. Sistem dalam hal ini menyangkut apakah masyarakat itu bergerak dengan diintervensi pemerintah, aturan social yang berlaku atau hal lain. Dalam hal ini pemakalah menekankan bahwa publik itu adalah daerah kekuasaan yang diintervensi dari pemerintah

(2)

pengertian dari keputusan adalah adalah sesuatu yang disepakati secara rasional oleh setiap anggota, terserah dengan cara apa untuk memperoleh kesepakatan. Sementara itu gerakan sosial adalah suatu pola tertentu yang sudah tumbuh dibenak masyarakat dalam suatu batasan wilayah tertentu yang menjadi dasar dalam melakukan segala kegiatan. Melihat tadi, bahwa kebijakan itu ada ditengah antara keputusan dan gerkan sosial maka secara sederhana dapat kita defenisikan bahwa kebijakan itu adalah sesuatu yang dapat mengikat masyarakat yang berada lebih dari satu golongan tetapi tidak untuk semua masyarakat.

Jika kita melihat pengertian asal kata dari kebijakan publik diatas dapatlah kita simpulkan bahwa kebijakan publik itu adalah apa yang dilakukan pemerintah untuk mengikat daerah yang diintervensinya. Ini sama artinya dengan pendapat Thomas Dye (dalam Tangkilisan, 2003:1) yang mengatakan bahwa kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah, mengapa suatu kebijakan harus dilakukan dan apakah manfaat bagi kehidupan bersama harus menjadi pertimbangan yang holistik agar kebijakan tersebut mengandung manfaat yang besar bagi warganya dan berdampak kecil dan sebaiknya tidak menimbulkan persoalan yang merugikan, walaupun demikian pasti ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, disinilah letaknya pemerintah harus bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan.

(3)

mempunyai latar belakang yang beragam. Berikut kita dapat melihat pandangan ahli tersebut, Anderson (dalam Winarno 2014:21) misalnya mendefenisikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu (dalam Abidin, 2004:21). Tidak jauh berbeda, menurut Chandler dan Plano (dalam Tangkilisan, 2003:30) juga berpendapat bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya- sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Dalam kenyataaannya kebijakan tersebut telah banyak membantu para pelaksana pada tingkat birokrasi pemerintah maupun para politisi untuk memecahkan masalah-masalah publik. Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus – menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan yang luas.

Jika berpatokan pada pendapat Chandler dan Plano ini maka kita dapat menyatakan bahwa pembentukan badan pelaksana penyuluhan dan ketahanan pangan Kabupaten Serdang Bedagai yang merupakan produk kebijakan publik yang berupa Peraturan Daerah No. 3 tahun 2010 mempunyai tujuan untuk memecahkan masalah ketahanan pangan di serdang bedagai. Badan ini diberikan wewenang untuk mengintervensi persoalan pangan demi kepentingan kelompok yang kurang mampu.

(4)

perilaku atau tindakan yang serba acak. Kedua kebijaksananaan pada hakekatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling berkait dan berpola yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan yang berdiri sendiri. Ketiga kebijakan bersangkut paut dengan apa yang senyatanya dialakukan oleh pemerintah dalam bidang-bidang tertentu dengan bidang-bidang yang lainnya. Keempat kebijakan Negara kemungkinan berbentuk positif maupun negatif. Dalam bentuk posistif kebijakan Negara mungkina akan mencakup beberapatindakan pemerintah untuk mempengaruhi masalah tertentu. Sedangkan dalam bentuk negative berupa keputusan pemerintah untuk tidak bertindak, atau tidak melakukan apapun dalam masalah-masalah dimana campur tangan pemerintah justru diperlukan.

Dari penjelasan para ahli diatas bisa kita simpulkan bahwa pada dasarnya kebijakan publik adalah segala sesuatau yang dilakukan pemerintah lewat keputusan bersama aktor-aktor politik untuk pencapaian tujuan negara secara utuh. Dan berkaitan dengan penelitian ini, adanya kebijakan pembentukan Badan pelaksana penyuluhan dan ketahanan pangan di Kabupaten Serdang Bedagai, tentu merupakan hasil dari kebijakan dari pemerintah pusat hingga daerah. Dimana pemerintah pusat telah menetapkan bahwa urusan ketahanan pangan merupakan urusan pemerintah daerah melalui sebuah produk kebijakan yaitu Peraturan Pemerintah 38 tahun 2007. II.1.2 Implementasi Kebijakan Publik

(5)

keadaan-keadaan dalam organisasai saja yang bersifat enthrophi akan tetapi lebih dinamis karena bersumber dari kehidupan masyarakat.berkenan dengan itu di satu pihak kebijakan publik menekannkan pada keinginana rakyat banyak yang hidup dalam masyarakat banyak yang hidup dalam masyarakat luas publik, dan tidak hanya berdasarkan kemauan elit yang berkuasa. Sedangkan dipihak menurut pendapat yang sama lain bentuk organisasi tidak menekankan pada sistem enthrophi dan memerlukan proses pengembangan dan pembinaan organisasi yang terus menerus.

Sistem birokrasi yang menekankan pada formalitas saja, tanpa mengindahkan dan menghargai unsure manusia secara utuh akan mengakibatkan kebijakan publik relatif tidak tepat sasaran. Oleh karena itu para ahli berpendapat hal yang paling esensial dalam kebijakan publik adalah usaha melaksanakan kebijakan publik. Jika suatu kebijakan telah diputuskan kebijakan tersebut tidak berhasil dan terwujud bilamana tidak dilaksanakan

Pejabat politik harus memikirkan bagaiman memilih dan membuat kebijakan publik. Sekarang timbul pertanyaan bagaiman kebijakan itu dilakasanakan. Usaha untuk melaksanakan kebijakan tentunya membutuhkan suatu keahlian dan ketrampilan, menguasai persoalan yang hendak dikerjakan, didalam hal ini kedudukan birokrasi menempati kedudukan yang strategis karena birokrasilah yang berkewajiban melaksanakan kebijakan tersebut, sehingga birokrasi senantias dituntut untuk mempunyai keahlian dan ketrampilan yang tinggi.

(6)

mengevaluasi masalah dan kemudian menerjemahkan kedalam keputusan-keputusan yang bersifat khusus. Sedangkan menurut Pressman implementasi diartikan sebagai interaksi antara penyusunan tujuan dengan sarana-sarana tindakan dalam mencapai tujuan tersebut, atau kemampuan untuk menghubungkan dalam menghubungkan kausal antara yang diinginkan dengan cara mencapainya.

Menurut Patton dan Sawicki implementasi kebijakan adalah berbagai kegiatan yang dilakukan untuk merealisasikan program, dimana eksekutif berperan mengatur cara dalam mengorganisir, menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi (dalam Tangkilisan, 2003:20). Hal ini didasarkan pada pendapat Jones yang menganalisis masalah pelaksanaan kebijakan dengan mendasarkan pada konsepsi kegiatan-kegiatan fungsional. Beliau mengemukakan beberapa dimensi dari implementasi pemerintahan mengenai program-program yang sudah disahkan, kemudian menetukan implementasi, juga membahas actor-akto yang terlibat, dengan memfokuskan pada birokrasi yang merupakan lembaga eksekutor. Jadi implementasi merupakan suatu proses dinamis yang melibatkan secara terus-menerus usaha-usaha untuk mencari apa yang akan dan dapat dilakukan. Dengan demikian implementasi mengatur kegiatan-kegiatan yang mengarah pada penempatan suatu program pada tujuan kebijakan yang diinginkan.

Menurut jones (dalam Tangkilisan, 2003:18) tiga kegiatan utama yang paling penting dalam implementasi keputusan adalah

(7)

2. organisasi merupakan unit atau wadah untuk menempatkan program kedalam tujuan kebijakan

3. penerapan yang berhubungan denga perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah dan lain-lainnya

Dengan penjelasan tersebut implementasi kebijakan dapat dipandang sebagi suatu proses melaksankan keputusan kebijaksanaan, biasanya dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Peradilan, Pemerintah Eksekutif,atau Instruksi Presiden

Menurut wibawa implementasi kebijakan merupakan pengejawantahan keputusan mengenai kebijakan yang mendasar, biasanya tertuang dalam suatu Undang-Undang namun juga dapat berbentuk instruksi-instruksi eksekutif yang penting atau keputusan perundang- undangan. Idealnya keputusan-keputusan tersebut menjelaskan masalah-masalah yang hendak ditangani, menetukan tujuan yang hendak dicapai dan dalam berbagai cara menggambarkan struktur proses implementasi tersebut. Tujuan implementasi kebijakan adalah untuk menetapkan arah agar kebijakan publik dapat direalisasikan sebagai hasil dari kegiatan pemerintah.

(8)

Gambar 1: Gambaran implementasi kebijakan

II.1.3. Model-model Implementasi Kebijakan

(9)

Model Van Meter dan Van Horn (dalam Solichin, 2004:78) menyatakan perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan dipengaruhi sifat kebijaksanaan yang akan dilaksanakan. Ahli tersebut menawarkan suatu pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan antara isu kebijaksanaan dengan implementasi dan suatu model keonseptual yang mempertalikan kebijaksanaan dengan prestasi kerja. Karena Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara liniear dari kebijakan publik, implementor, dan kinerja kebijakan publik. Kedua ahli ini menegaskan bahwa perubahan, control dan kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep penting dalam prosedur-prosedur implementasi. Atas dasar pandangan ini kedua ahli ini berusaha membuat tipologi kebijakan menurut 1. Jumlah masing-masing yang akan dihasilkan

2. Jangkauan atau lingkup kesepaktan taerhadap tujuan diatara pihak-pihak yang terlibat dalam proses implemetasi

Alasan dikemukakannya hal ini adalah bahwa proses implemetasi akan dipengaruhi dimensi-dimensi kebijaksanaan semacam itu, dalam artian bahwa implemetasi kebanyakan berhasil apabila perubahan yang dikehendaki relative sedikit, sementara kesepakatan terhadap tujuan terutama dari mereka yang mengoperasikan program dilapangan relative tinggi.

Model implementasi kebijakan oleh Van Meter dan Van Horn ini dipengaruhi oleh enam faktor yaitu :

1. Standar dan Sasaran Kebijakan

(10)

kabur, maka akan terjadi multi interpretasi dan mudah menimbulkan konflik diantara para agen implementasi.

2. Sumber Daya

Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non manusia misalnya dana yang dingunakan untuk mendukung implementasi kebijakan.

3. Komunikasi dan Penguatan Aktivitas

Dalam implementasi program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu diperlukan koordinasi dan kerja sama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.

4. Karakteristik agen pelaksana

Karakteristik Agen pelaksana mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semua hal tersebut akan mempengaruhi implementasi suatu program.

5. Kondisi sosial, ekonomi dan politik

Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi, lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana kelompok -kelompok kepentingan dapat memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan yakni mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan dan apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan.

(11)

Ini mencakup tiga hal, yakni: (a) respon implementor terhadap kebijakan yang akan dipengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan, (b) kognisi, pemahaman para agen pelaksana terhadap kebijakan, dan (c) intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.

Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada gambar berikut

Gambar 2. Model Van meter Horn

(12)

dikemukannya. Dalam menganalisis implementasi suatu kebijakan model ini dapat menjadi acuan yang tentunya harus juga disesuaikan dengan kondisi yang ada. Dengan model ini, akan menolong dan menuntun peneliti dalam mengupas masalah penelitian yang akan diteliti.

II.1.4 Aktor-aktor Implementasi

Suatu kebijakan yang telah dirumuskan oleh Pembuat Kebijakan (Decision Making) menuntut agar segera dieksekusi. Untuk mengeksekusi kebijakan tersebut maka perlu adanya organisasi pelaksana yang menjadi aktor kesuksesan suatu kebijakan. Secara tradisonal, aktor implementasi kebijakan adalah birokrat sebagai tangan pemerintah. Nugroho (2014:236) mengatakan kita mengenal istilah “ birokrat jalanan” yang menganggap pemerintah punya segalanya untuk mengelola kehidupan

publik. Hal ini yang membuat peranan publik tidak dipandang sebagai sesuatu yang penting dan selalu mengharapankan pemerintah yang turun tangan. Dampaknya adalah orang –orang sangat tergantung kepada pemerintah dan setiap masalah publik

harus segera dibawa kepada pemerintah untuk diselesaikan.

Berbeda dengan Nugroho, Winarno (2014:221-224) menyebutkan ada 5 pelaksana/implementor suatu kebijakan yaitu

a. Birokrasi

(13)

Negara secara langsung dalam tindakan-tindakan mereka dibandingkan pengaruh dari unit-unit pemerintah lainnya. Anderson (dalam Winarno, 2014:221-222) menambahkan bahwa badan-badan (birokrasi) ini mempunyai keleluasaan yang besar dalam menjalankan kebijakan-kebijakan publik yang berda dalam yuridiksinya karena mereka seringkali bekerja berdasarkan mandat perundang-undangan yang luas dan ambigu.

b. Lembaga Legislatif

Secara tradisional asumsi dalam banyak literature administrasi publik menyatakan bahwa ilmu politik dan administrasi merupakan kegiatan-kegiatan yang tak terpisahkan. Asumsi ini dipersoalkan karena cabang-cabang administrative seringkali dalam perumusan maupun dalam imlemntasi kebijakan. Dan sebaliknya badan-badan legislatif sering terlibat dalam proses implementasi kebijakan publik.

c. Lembaga Peradilan

Keterlibatan lembaga peradilan dalam implementasi kebijakan publik adalah dalam konteks memengaruhi tata kelola /administrasi melalui interpretasi nyata terhadap perundang-undangan, peraturan-peraturan administrasi, regulasi dan pengkajian ulang terhadap keputusan administratif dalam kasus yang dibawa ke pengadilan.

d. Kelompok-kelompok penekan

(14)

administrasi, sebuah kelompok yang berhasil memengaruhi tindakan suatu badan administrsi mungkin mempunyai efek secara substansial pada arah dan dampak dari kebijakan publik. Kadangkala hubungan antara suatu kelompok kepentingan dengan suatu badan administrasi bias begitu dekat, sehingga disimpulkan bahwa suatu kelompok kepentingan telah “menguasai” suatu badan administrasi.

e. Organisasi-organisasi masyarakat

Organisasi-organisasi masyarakat seringkali terlibat dalam implementasi program-program publik. Kebijakan publik yang dikeluarkan sering mengharapkan keterlibatan masyarakat yang biasanya diwujudkan melalui organisasi-organisasi kemasyarakatan yang ada.

Dalam penelitian ini yang akan menjadi aktor dari kebijakan publik ini adalah badan pelaksana penyuluhan dan ketahanan pangan serta organisasi perangkat daerah dan organisasi-organisasi lainnya yang berkaitan dengan ketahanan pangan di kabupaten Serdang Bedagai. Yang dimaksud berkaitan dengan bidang ini adalah setiap organisasi baik organisasi pemerintah maupun swasta yang menjalin koordinasi dengan badan Pelaksana penyuluhan dan ketahanan pangan. Selain itu, turut juga organisasi pemerintah pusat dan setiap organisasi lainnya yang memiliki tujuan yang sama yang telah ditetap.

II.1.5 Analisis Antar-Organisasi dan implementasi

(15)

tetapi, jika kita menerima bahwa implementasi adalah sebuah proses yang melibatkan “jaringan” atau multiplisitas organisasi, pertanyaaannya adalah

bagaimana organisasi berinteraksi satu sama lain. Ada dua pendekatan yang muncul dalam persoalan ini (Parson,2008:484). Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peranan dari setiap organisasi-organisasi pelaksana dalam mensukseskan suatu kebijakan yang telah dirumuskan. Interaksi antar organisasi pelaksana dilapangan menjadi keharusan untuk diperhatikan dalam implementasi kebijakan. Ada dua pendekatan yang muncul untuk mengungkap hal ini, yaitu:

1. Kekuasaan dan ketergantungan sumberdaya

(16)

2. Pertukaran Organisasional

Pendekatan ini ingin mengungkap bahwa organisasi bekerja dengan organisasi lain dengan saling mempertukarkan manfaat mutual. Levine dan white (1961) dalam parson (2008:485) mengatakan bahwa ciri utama dari pertukaran antar-organisasi adalah pertukaran itu merupakan interaksi sukarela yang dilakukan demi mencapai tujuan masing-masing pihak. Hal ini didukung oleh pernyataan Scharpf (dalam Parson, 2008:485) bahwa “

Sementara pihak yang tampak dominan mungkin menguasai sumber daya moneter, pada saat yang sama ia mungkin juga tergantung sepenuhnya kepada keahlian spesialis, kontak klien, dan informasi yang hanya tersedia untuk unit bawahan…ringkasnya hubungan dependensi-unilateral yang

stabil di sepanjang waktu adalah kasus yang langka, dan dependensi mutual jauh lebih banyak dijumpai. Jadi, jarang dijumpai adanya otoritas hierarki dan arus anggaran satu arah dalam relasi antar organisasi.

II.1.6 Kegagalan Kebijakan

(17)

Dari tiga bagian kerangka yang disusun oleh Gordon chase tersebut, peneliti hanya akan menggunakan 2 kerangka yang akan digunakan sebagai peta untuk mengidentifikasi persoalan implementasi. Seperti yang kita ketahui Badan lebih bersifat koordinatif bukan bersifat teknis, oleh sebab itu kesulitan yang berasal dari tuntutan operasional pada badan pelaksana penyuluhan dan ketahanan pangan tidak dapat dilihat. Adapun kerangka yang dikemukan oleh Gordon tersebut adalah sebagai berikut:

Kesulitan yang berasal dari sifat dan ketersediaan sumber daya yang

diperlukan untuk menjalankan program.

1. Uang: berapa batas dana, dan adakah kemungkinan untuk dilebihkan?

2. Personel: apakah mereka siap, dan punya kualifikasi yang tepat? Apakah programnya sudah punya cukup personel?

3. Ruang: apakah program punya ruang yang cukup? Apakah perlu ditambah? 4. Suplai dan perlengkapan teknis: apakah tersedia dan dapat digunakan?

Apakah teknologi berperan penting?

Kesulitan yang berasal dari kebutuhan manajer program untuk berbagi

otoritas atau mempertahankan dukungan dari aktor politik dan birokratik

lain.

1. Agen Overhead: berapa banyak agen yang harus ditangai manajer, dan apakah mereka akan bersifat suportif?

2. Agen lini: berapa banyak yang terlibat dan dapatkah orang-orang itu bekerja sama? Apakah tanggung jawab masing-masing lini sudah jelas?

(18)

4. Mana level pemerintah lebih tinggi yang terlibat?

5. Penyedia sector-privat: seberapa banyakkah manajer program membutuhkan penyedia sector privat? Seberapa baikkah manajer program mampu mengontrol kontraktor privat?

6. Kelompok kepentingan khusus: apa kepentingan politik mereka dan apa pengaruhnya?

7. Media massa: akankah program bias terlihat? Apakah media bias membantu atau justru mengganggu?

Khusus bagi negara-negara berkembang, sebaiknya tidak gagal dalam perumusan kebijakan atau dalam membuat keputusan, karena apabila gagal maka akan memperlemah kredibilitas pembuat kebijakan, pemerintah yang berkuasa. Menurut Nugroho (2014:251), perumusan kebijakan tidak dapat dipisahkan dari implementasi kebijakan; oleh karena itu perumusan kebijakan di negara-negara berkembang dianggap gagal jika:

1. Kebijakan berhasil dirumuskan, tetapi kebjakan tidak mampu untuk diimplementasikan. Hal ini dinamakan sebagai kegagalan manajemen, karena kebijakan kemudian undermanage atau tidak mampu di-manage.

2. Kebijakan berhasil dirumuskan, tetapi implementasi nya juga berhasil, tetapi implementasinya mahal. Hal ini dinamakan kegagalan administratif.

(19)

4. Kebijakan berhasil dirumuskan, implementasinya sama berhasilnya seperti desain, tetapi tidak cocok dengan kearifan kebijakan dari hasil yang diharapkan. Kegagalan ini dinamakan kegagalan teori.

5. Kebijakan berhasil dirumuskan, tetapi implementasinya diambil alih oleh kepentingan politik lain atau administrasi lain, hingga akhirnya menciptakan hasil yang berbeda total. Kegagalan ini dinamakan kegagalan yang keluar rel.

Para pembuat kebijakan telah memahami bahwa daerahlah yang mengerti keadaannya dan seharusnyalah daerah yang menyelesaikan permasalahannya sesuai dengan kondisi daerahnya tersebut. Pemahaman inilah yang mendorong pembagian kewenangan daerah dan pemerintah pusat. Dan salah satunya ialah kewenangan untuk mengatasi masalah pangan. Kebijakan yang telah dibuat tersebut akan berjalan dilapangan dan tentukan akan memiliki hasil yang dapat dilihat.

II.2 Koordinasi

II.2.1. Pengertian Koordinasi

(20)

usaha untuk mengharmoniskan dalam rangkaian struktur yang ada. Fayol (dalam Moekijat : 1989) juga menambahkan bahwa koordinasi merupakan suatu unsur manajemen yang diartikan sebagai penggabungan usaha dan peraturan semua kegiatan perusahaan agar sesuai dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan.

Adapun Brech (dalam Hasibuan, 2011) memberikan pengertian koordinasi adalah mengimbangi dan menggerakkan tim dengan memberikan lokasi kegiatan pekerjaan yang cocok kepada masing-masing dan menjaga agar kegiatan itu dilaksanakan dengan keselarasan yang semestinya di antara para anggota itu sendiri.

Hal di atas dapat dipahami bahwa dalam melaksanakan koordinasi harus ada kesesuaian antara peraturan dan tindakan serta kerja sama antar anggota yang pada akhirnya menimbulkan keharmonisan kerja sehingga tidak adanya pekerjaan yang tumpang tindih dan semua usaha atau kegiatan yang dilaksanakan berjalan sesuai dengan peraturan yang ditetapkan.

Hasibuan (2011) menyatakan bahwa koordinasi adalah kegiatan mengarahkan, mengintegrasikan, dan mengkoordinasikan unsur-unsur manajemen dan pekerjaan-pekerjaan para bawahan dalam mencapai tujuan organisasi. Koordinasi mengimplikasikan bahwa elemen-elemen sebuah organisasi saling berhubungan dan mereka menunjukkan keterkaitan sedemikian rupa, sehingga semua orang melaksanakan tindakan-tindakan tepat, pada waktu tepat dalam rangka upaya mencapai tujuan-tujuan.

(21)

keharmonisan kerja dalam melaksanakan suatu kegiatan untuk mencapai tujuan bersama yang sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.

Adapun unsur-unsur koordinasi adalah sebagai berikut:

a) Unit-unit adalah kelompok-kelompok kerja didalam suatu organisasi yang tentunya mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Dalam penelitian ini kita akan melihat bagaimana setiap unit-unit yang berbeda-beda dalam mengatasi masalah pangan.

b) Sumber-sumber atau potensi yang ada pada unit-unit suatu organisasi atau pada organisasi-organisasi adalah tenaga kerja’ keterampilan dan

pengetahuan personilnya, teknologi, anggaran, serta fasilitas kerja lainnya. c) Gerak kegiatan adalah segala daya upaya, segala sesuatu tindakan yang

dikerjakan oleh pejabat-pejabat maupun kelompok kerja dalam melakukan tugasnya.

d) Kesatupasuan artinya terdapat pertautan atau hubungan di antara sesamanya sehingga mewujudkan suatu integritas atau suatu kesatuan yang kompak. e) Keserasian, berarti adanya urutan-urutan pengerjaan sesuatu yang tersusun

secara logis, sistematis, atau dilakukan dalam waktu yang bersamaan akan tetapi tidak menimbulkan duplikasi (pengulangan), perjumbuhan maupun pertentangan.

(22)

Fungsi koordinasi ini demikian penting, apalagi bila administrasi harus berjalan sebagai suatu system , sebagai suatu kesatuan yang bulan dari bagian-bagian yang saling berhubungan, saling menunjang dan saling bergantung agar administrasi mencapai tujuan.

II.2.2. Jenis-Jenis Koordinasi

Menurut Sugandha (1991:25), jenis-jenis koordinasi menurut lingkupnya terdiri dari koordinasi intern yaitu koordinasi antar pejabat atau antar unit di dalam suatu organisasi dan koordinasi ekstern yaitu koordinasi antar pejabat dari berbagai organisasi atau antar organisasi. Umumnya organisasi memiliki tipe koordinasi yang dipilih dan disesuaikan dengan kebutuhan atau kondisi-kondisi tertentu yang diperlukan untuk melaksanakan tugas agar pencapaian tujuan tercapai dengan baik.

Sugandha (1991:26) juga menambahkan pembagian jenis koordinasi yang dibedakan menurut arahnya, terdapat 4 jenis koordinasi ini yaitu sebagai berikut :

a. Koordinasi Vertikal

Koordinasi vertikal adalah kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan oleh atasan terhadap kegiatan unit-unit, kesatuan-kesatuan kerja yang ada di bawah wewenang dan tanggung jawabnya. Tegasnya, atasan mengkoordinasikan semua aparat yang ada di bawah tanggung jawabnya secara langsung. Koordinasi vertikal ini secara relatif mudah dilakukan, karena atasan dapat memberikan sanksi kepada aparat yang sulit diatur.

b. Koordinasi Horizontal

(23)

dalam tingkat organisasi (aparat) yang setingkat. Koordinasi horizontal ini dibagi atas interdisciplinary dan interrelated.

Interdisciplinary adalah suatu koordinasi dalam rangka mengarahkan, menyatukan tindakan-tindakan, mewujudkan, dan menciptakan disiplin antara unit yang satu dengan unit yang lain secara intern maupun secara ekstern pada unit-unit yang sama tugasnya.

Interrelated adalah koordinasi antarbadan (instansi); unit-unit yang fungsinya berbeda, tetapi instansi yang satu dengan yang lain saling bergantung atau mempunyai kaitan, baik secara intern maupun secara ekstern yang levelnya setaraf. Koordinasi horizontal ini relatif sulit dilakukan karena koordinator tidak dapat memberikan sanksi kepada pejabat yang sulit diatur sebab kedudukannya yang setingkat.

c. Koordinasi diagonal

Koordinasi diagonal adalah kooordinasi antar pejabat atau unit atau unit yang berbeda fungsi dan berbeda tingkatan hierarkhinya.

d. Koodinasi fungsional

Koodinasi fungsional adalah koordinasi antar pejabat , antar unit antar organisasi yang didasarkan atas kesamaan fungsi, atau karena koordinatornya mempunyai fungsi tertentu.

II.2.3. Prinsip-Prinsip Koordinasi

(24)

pengertian mengenai sasaran yang harus dicapai sebagai arah kegiatan bersama, adanya kesepakatan mengenai kegiatan atau tindakan yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak, termasuk target dan jadwalnya, setelah itu adanya kataatan atau loyalitas dari setiap pihak terhadap bagian tugas masing-masing serta jadwal yang telah diterapkan.

Kemudian adanya saling tukar informasi dari semua pihak yang bekerja sama mengenai kegiatan dan hasilnya pada suatu saat tertentu, termasuk masalah-masalah yang dihadapi masing-masing, didukung dengan adanya koordinator yang dapat memimpin dan menggerakkan serta memonitor kerjasama tersebut, serta memimpin pemecahan masalah bersama, dan adanya informasi dari berbagai pihak yang mengalir kepada koordinator sehingga koordinator dapat memonitor seluruh pelaksanaan kerjasama dan mengerti masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh semua pihak, serta dilengkapi denagn adanya saling hormati terhadap wewenang fungsional masing-masing pihak sehingga tercipta semangat untk saling bantu.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa prinsip-prinsip koordinasi adalah suatu usaha dalam menyatukan informasi yang disertai dengan kepatuhan terhadap pemimpin dan peraturan.

II.2.4. Mekanisme dan Proses Koordinasi

(25)

rupa sehingga menjadi suatu organisasi yang mampu memipin organisasi-organisasi lainnya, meminta ketaatan, kesetiaan, dan displin kerja tiap pihak yang terlibat, terciptanya koordinasi di dalam suatu organnisasi akan menunjukkan bahwa organisasi tersebut benar-benar bergerak sebagai suatu sistem, dan pemimpin akan bertindak sebagai fasilitator dan tenaga pendorong (dalam Sugandha, 1991:27-28).

Siagian (1991) berpendapat mengenai cara-cara yang dapat dilakukan dalam mengkoordinasi, yaitu dengan melakukan briefing staf untuk memberitahukan kebijaksanaan pimpinan organisasi kepada staf yang dalam waktu sesingkat mungkin harus diketahui dan mendapat perumusan. Setelah itu diadakan rapat staf untuk mengadakan pengecekan terhadap kegiatan yang telah dan sedang dilakukan oleh staf serta mengadakan integrasi daripada pkok-pokok hasil pekerjaan staf. Lalu mengumpulkan laporan-laporan mengenai pelaksanaan keputusan pimpinan organisasi. Selanjutnya mengadakan kunjungan serta inspeksi mengenai pelaksanaan keputusan pimpinan organisasi serta memberikan petunjuk-petunjuk sesuai dengan pedoman atau ketentuan yang telah ditetapkan oleh pimpinan organisasi.

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa mekanisme dan proses koordinasi bertujuan untuk menjaga keharmonisan komunikasi dan hubungan antara pimpinan dan bawahannya pada kegiatan koordinasi.

II.2.5. Hambatan Koordinasi

(26)

1. kesalahan anggapan orang mengenai organisasinya sendiri,

Suatu instansi sering dianggap oleh para anggotanya mempunyai kedudukan yang lebih tinggi sehingga sukar bagi mereka untuk merendahjan diri dan berada dibawah koordinasi instansi yang sederajat.

2. kesalahan anggapan orang mengenai instansi induknya,

Suatu instansi vertical sering menganggap bahwa organisasi induk atau markas besarnya adalah sumber segala-galanya. Hanya organisasi induklah yang berwewenag meminta loyalitasnya. Dengan demikian timbul keengganan bila instansi yang sederajat meminta loyalitasnya untuk melakukan kerja sama.

3. kesalahan pandangan mengenai arti koordinasi sendiri, dan

Masih banyak orang yang menganggap bahwa kewenangan koordinasi identik dengan kewenangan komando. Karena itu, pada satu pihak yaitu instansi yang mempunyai fungsi tertentu yang berwenang mengkoordinasikan nasa permintaan bantuannya akan lebih bersifat perintah. Pihak yang lain menganggap bahwa pemerintah seharusnya hanya datang dari atasan (induk) sehingga selalu akan bersikap apatis terhadap ajakan-ajakan berkoordinasi. 4. kesalahan pandangan mengenai kedudukan departemennya di pusat.

(27)

II.3 Ketahanan Pangan

II.3.1. Pengertian Ketahanan Pangan

Defenisi ketahanan pangan (food security) memiliki perbedaan dalam setiap konteks,

waktu dan tempat. Istilah ketahanan pangan sendiri sebagai sebuah konsep kebijakan baru

muncul pertama kali tahun 1974, yakni ketika dilaksanakannya konferensi pangan dunia.

Secara formal, setidaknya ada lima organisasi internasional yang memberikan pengertian

dengan sikap saling melengkapi defenisi yang satu dengan yang lainnya. Pertama, menurut

First world food conference 1974, united Nations 1975, ketahanan pangan adalah

“Ketersediaan pangan dunia yang mcukup dalam segala waktu untuk menjaga keberlanjutan

konsumsi pangan dan menyeimbangkan fluktuasi produksi dan harga.” Kedua, menurut FAO

(Food And Agricultural Organization) 1992, Ketahanan pangan adalah “Situasi semua orang

dalam segala waktu memiliki kecukupan jumlah atas pangan yang aman dan bergizi demi

kehipuan yang sehat dan aktif. Ketiga, menurut world bank (1996), ketahanan pangan adalah

“akses oleh semua orang pada segala waktu atas pangan yang cukup untuk kehidupan yang

sehat dan aktif.”

Keempat, menurut OXFAM (2001), ketahanan pangan adalah kondisi dimana “

setiap orang dalam segala waktu memiliki akses dan control atas jumlah pangan yang cukup

dan kualitas baik demi hidup sehat dan aktif. Dua kandunagn makna yang tercantum disini

yakni: ketersediaandalam arti kualitas, kuantitas dan akses (hak atas pangan melalui

pembelian, pertukaran maupun klaim).” Kelima, menurut FIVIMS (2005), ketahanan pangan

adalah kondisi dimana “semua orang pada segala waktu secara fisik, social dan ekonomi

memiliki akses atas pangan yang cukup. Aman dan bergizi untuk pemenuhan kebutuhan

konsumsi (dietary need) dan pilihan pangan (food preferences) demi kehidupan yang aktif

(28)

Pemerintah Indonesia sendiri melalui Undang-undang (UU) No.7 tahun 1996

mendefenisikan ketahanan pangan sebagai “kondisi dimana terjadi kecukupan penyediaan

pangan bagi rumah tangga yang diukur dari kecukupan pangan dalam jumlah dan kualitas

dan juga adanya jaminan atas keamanan (Safety), distribusi yang merata dan kemampuan

membeli. ”Undang-undang ini juga mempertegas defenisi ketahanan pangan sebagai “kondisi

terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedia pangan yang cukup,

baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau”.

Lebih spesifik lagi, Maxwell dan Selter (dalam winarno, 2014:302-303) melakukan pelacakan atas berbagai defenisi ketahanan pangan sepanjang waktu dan

menemukan bahwa wacana ketahanan pangan berubah sedemikian cepatnya dari focus pada

ketersediaan-penyediaan ke perspektif hak dan akses (entitlements) menurut Maxwell,

setidaknya terdapat empat elemen ketahanan pangan berkelanjutan (sustainable food

security) di level keluarga sebagai berikut:

1. Kecukupan pangan yang didefenisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan

untuk kehidupan yang efektif dan sehat.

2. Akses atas pangan, yang didefenisikan sebagai hak (entitlements) untuk

produksi, membeli atau menukarkan (ex change) pangan ataupun menerima

sebagai pemberian (transfer).

3. Ketahanan yang didefenisikan sebagai keseimbangan antara kerentanan, reseiko,

dan jaminan pengaman social.

4. Fungsi waktu manakala ketahanan pangan dapat bersifat kronis/kritis, transisi,

dan atau siklus.

(29)

memiliki akses fisik ekonomi terhadap pangan untuk mendapatkan gizi yang cukup bagi kehidupannya yang produktif dan sehat (dalam winarno, 2014:288). Lebih jauh, Amartya Sen (dalam winarno, 2014:288), mendefenisikan ketahanan pangan tidak sekedar ketersediaan, tetapi juga akses. Melalui Studinya di India dan di Afrika, sen berada pada suatu kesimpulan bahwa ketidaktahanan pangan dan kelaparan terjadi bukan karena tersedia atau tidaknya kebutuhan pangan di suatu Negara atau wilayah tetapi lebih pada ada atau tidaknya akses atas pangan.

Lebih lanjut lagi, Bustanul Arifin (dalam winarno, 2014:302) meyebutkan bahwa tonggak ketahanan pangan terdiri atas ketesediaan atau kecukupan pangan dan aksesibilitas bahan pangan oleh anggota masyarakat. Aksesibilitas setiap individu terhadap bahan pangan dapat dijaga dan ditingkatkan melalui pemberdayaan system pasar serta mekanisme yang efektif dan efisien, yang juga dapat di sempurnakan melalui kebijakan tata niaga, atau distribusi bahan pangan dari sentra produksi sampai ke tangan konsumen. Akses individu ini dapat juga ditopang oleh intervensi kebijakan harga yang memadai, menguntungkan dan memuaskan berbagai pihak yang terlibat.

II.3.2. Aksesibilitas Pangan

(30)

Meskipun pasokan pangan tersedia, bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, pengeluaran untuk membeli pangan terasa berat. Berbeda dengan golongan masyarakat berpenghasilan tinggi, pos belanja pangan (pokok) adalah sebagian kecil dari total pengeluarannya. Kondisinya menjadi semakin sulit ketika pasokan pangan seringkali menghadapi kendala, baik pasokan maupun distribusinya. Persoalan akses pangan menjadi suatu yang krusial dan berdimensi luas, apalagi jika dikaitkan dengan aspek keadilan.

II.3.3. Daerah Rawan Pangan

Istilah “rawan pangan” (food insecurity) merupakan kondisi kebalikan dari “ketahanan pangan” (food security). Istilah ini sering diperhalus dengan istilah “terjadi penurunan ketahanan pangan”, meskipun pada dasarnya pengertiannya sama.

(31)

Rawan pangan adalah kondisi yang didalamnya tidak hanya mengandung unsur yang berhubungan dengan state of poverty saja seperti masalah kelangkaan sumber daya alam, kekurangan modal, miskin motivasi, dan sifat malas yang menyebabkan ketidakmampuan mereka mencukupi konsumsi pangan. Namun juga mengandung unsur yang bersifat dinamis yang berkaitan dengan proses bagaimana pangan yang diperlukan didistribusikan dan dapat diperoleh setiap individu / rumah tangga melalui proses pertukaran guna memenuhi kebutuhan pangan mereka.

Kerawanan pangan terjadi manakala rumah tangga , masyarakat atau daerah tertentu mengalami ketidak cukupan pangan untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan para individu anggotanya. Ada tiga hal penting yang mempengaruhi tingkat rawan pangan, yaitu : (a) kemampuan penyediaan pangan kepada individu/rumah, (b) kemampuan individu / rumah tangga untuk mendapatkan pangan, dan (c) proses distribusi dan pertukaran pangan yang tersedia dengan sumber daya yang dimiliki oleh individu/rumah tangga. Ketiga hal tersebut, pada kondisi rawan pangan yang akut atau kronis dapat muncul secara simultan dan bersifat relatif permanen. Sedang pada kasus rawan pangan yang musiman dan sementara, faktor yang berpengaruh kemungkinan hanya salah satu atau dua faktor saja dan sifatnya tidak permanen. Menurut Husein Sawit (2000:1), Antara kemiskinan dan risiko rawan pangan berkorelasi erat dan positif, karena di dalamnya terkandung daya jangkau RT miskin terhadap pangan.

II.5 Defenisi Konsep

(32)

perhatian ilmu sosial. Tujuannya adalah untuk memudahkan pemahaman dan menghindari terjadinya interpretasi ganda dari variabel yang diteliti. (Singarimbun, 1995:37). Oleh karena itu untuk mendapatkan batasan yang jelas dari masing masing konsep yang akan diteliti, maka penulis mengemukakan definisi konsep dari penelitian ini yaitu:

a. Kebijakan Publik

Kebijakan publik adalah segala sesuatau yang dilakukan pemerintah lewat keputusan bersama aktor-aktor politik untuk pencapaian menjamin adanya ketahanan pangan bagi setiap rumah tangga dengan cara pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya- sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah- masalah pangan.

b. Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan adalah suatu tindakan nyata dari pemerintah dalam menjalankan setiap keputusan/kebijakan yang telah dirumuskan agar tercapainya tujuan yang diinginkan.

c. Koordinasi

Penyatupaduan seluruh unit-unit organisasi pelaksana ketahanan pangan di pemerintah daerah yang bergerak dengan mengerahkan segala sumberdaya untuk menciptakan ketahanan pangan.

d. Organisasi pelaksana

(33)

e. Aksesibilitas Pangan

Aksesibilitas Pangan adalah kemudahan dalam menjangkau pangan baik karena adanya pemerataan distribusi maupun masalah harga yang terjangkau.

f. Ketahanan pangan

Ketahanan Pangan adalah kondisi dimana terjadi kecukupan penyediaan pangan bagi

rumah tangga yang diukur dari kecukupan pangan dalam jumlah dan kualitas dan juga

adanya jaminan atas keamanan (Safety), distribusi yang merata dan kemampuan

Gambar

Gambar 1: Gambaran implementasi kebijakan
Gambar 2. Model Van meter Horn

Referensi

Dokumen terkait

dalam tradisi magibung tersebut perlu adanya pembelajaran berbasis budaya, terutama budaya lokal dalam upaya pembentukan karakter masyarakat yang berbasis kearifan

By considering arbitrary source–receiver configurations, compressional primary reflections can be imaged into time or depth-migrated seismic sections so that the migrated

a) Memahami bagaimana struktur geologi dalam suatu batuan terbentuk dan hal ini dapat membantu untuk mengetahui sejarah yang pernah terjadi pada batuan

Nusantara VIII Pasca Nasionalisasi dan Dampak Terhadap Masyarakat Desa Sukamulya Kecamatan Cugenang Cianjur Tahun 1957-1987 .”.. Bagaimana sejarah kebun teh Gedeh

(1) Daerah j ang mel iput i Daerah Karesidenan Semarang, Pat i, Pekal ongan, Banj umas, Kedu, dan Surakart a dit et apkan mendj adi Propinsi Dj awa Tengah.. Pasal

Hasil dari analisa korelasi didapatkan kurang dari p- value 0,005 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara tingkat kepatuhan lansia

pada Sesar Way Baka dan menunjukan adanya struktur batuan yang semakin. timur semakin dalam pada Sesar

PENGOLAHAN MUSIK TETABUHAN NUSANTARA DALAM “RHYTHM SAWAH” KARYA GILANG RAMADHAN.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu