• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Hukum Pidana terhadap Pengurus Koperasi Yang dengan Sengaja Menimbulkan Kerugian pada Koperasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Hukum Pidana terhadap Pengurus Koperasi Yang dengan Sengaja Menimbulkan Kerugian pada Koperasi"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hampir diseluruh dunia orang mengenal koperasi. Walaupun per

definisi Koperasi dipahami dengan cara berbeda-beda, tetapi secara umum

Koperasi dikenal sebagai suatu perusahaan yang unik. Ia tidak hanya

dianggap berbeda dari perusahaan peseorangan yang berbentuk

Commanditaire Vennootschap (CV), tapi juga dianggap tidak sama dengan perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh sekumpulan orang seperti Firma

dan Perseorangan Terbatas (PT).

Di Indonesia peran dan posisi Koperasi dalam perekonomian nasional

sangatlah penting. Itulah sebabnya perkataan “Koperasi” disebutkan dalam

penjelasan Undang-undang Dasar 1945 bahwa dalam Pasal 33 tercantum

dasar demokrasi ekonomi produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di

bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat Kemakmuran

masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab

itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas

kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi…”

Berdasar pada penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut maka

(2)

Usaha Milik Negara merupakan hal yang sangat penting dalam

perekonomian Indonesia. Dari ketiga bentuk usaha tersebut, merupakan

pengjawantahan dari nilai-nilai perekonomian atas asas kekeluargaan dari

bangsa Indonesia.

Secara spesifik cita-cita koperasi Indonesia adalah menentang

individualisme dan kapitalisme secara fundamental. Paham koperasi

Indonesia menciptakan masyarakat yang kolektif, berakar pada adat-istiadat

hidup Indonesia yang asli, tetapi ditumbuhkan pada tingkat yang lebih tinggi,

sesuai dengan tuntutan jaman modern. Semangat kolektivitas Indonesia yang

akan dihidupkan kembali dengan koperasi yang mengutamakan kerjasama

dalam suasana kekeluargaan antar manusia pribadi, bebas dari penindasan

dan paksaan. Koperasi sebagai badan usaha bersama berdasarkan asas

kekeluargaan didamaikan dalam keadaan harmonis antara kepentingan orang

seorang dengan kepentingan umum.1

Berkaitan definisi koperasi, jika diteliti secara seksama, maka tampak bervariasi sejalan dengan perkembangan jaman. Definisi awal pada umumnya menekankan bahwa koperasi itu merupakan wadah bagi golongan ekonomi lemah, seperti defenisi yang diberikan Fray, yang menyatakan bahwa koperasi adalah: Suatu perserikatan dengan persetujuan, berusaha bersama yang terdiri atas mereka yang lemah dan diusahakan selalu dengan semangat tidak memikirkan diri sendiri sedemikian rupa, sehingga masing-masing sanggup menjalankan kewajibannya sebagai anggota dan mendapat

1Ninik Widiyanti dan Sunindhias, “

(3)

imbalan sebanding dengan pemanfaatan mereka terhadap

organisasi.2

Sejalan dengan pendapat di atas Mohammad Hatta mengemukakan

bahwa koperasi pada hakikatnya adalah usaha bersama untuk memperbaiki

nasib penghidupan ekonomi berdasarkan tolong menolong. Beliau

mengatakan bahwa gerakan koperasi melambangkan harapan bagi kaum yang

lemah ekonominya berdasarkan self-helf dan tolong menolong diantara

anggota-anggotanya yang melahirkan diantara mereka rasa percaya pada diri

sendiri dan persaudaraan.3 Pada asasnya koperasi bukanlah suatu usaha yang

mencari keuntungan semata seperti halnya usaha-usaha swasta seperti firma

atau perseroan, sekalipun berusaha meningkatkan taraf hidup dan memajukan

kemakmuran anggota-anggotanya, koperasi bukanlah usaha ekonomi yang

mementingkan serta mengejar keuntungan sebesar-besarnya. Disamping

tujuan yang ekonomis-komersial, koperasi memperhatikan pula tujuan dan

cita-cita sosial. Koperasi adalah organisasi ekonomi yang berwatak sosial.4

Permikiran yang lain juga dikemukakan oleh R.S. Soeriaatmadja yang

melihat koperasi sebagai “perkumpulan dari orang-orang yang atas dasar

persamaan derajat sebagai manusia, dengan tidak memandang haluan agama

dan politik secara sukarela masuk, untuk sekedar memenuhi kebutuhan

2M. Firdaus dan Agus Edhi Susanto, “

Perkoperasian Sejarah, Teori dan Praktek,

(4)

bersama yang bersifat kebendaan atas tanggungan bersama”5

dan juga

penjelasan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang

Perkoprasian menyatakan bahwa :“kemakmuran rakyatlah yang diutamakan

bukan kemakmuran orang-peroangan, dan bangun perusahaan yang sesuai

dengan itu ialah koperasi”.

Dari pengertian beberapa ahli di atas maka menempatkan Koperasi

baik dalam kedudukan soko guru perekonomian nasional maupun sebagai

bagian integral tata perekonomian nasional. Dengan memperhatikan

kedudukan Koperasi, maka peran Koperasi sangatlah penting dalam

menumbuhkan dan mengembangkan potensi ekonomi rakyat dalam

mewujudkan kehidupan demokrasi ekonomi yang mempunyai ciri-ciri

demokratis, kebersamaan, kekeluargaan, dan keterbukaan. Tetapi dalam

perkembangan ekonomi yang berjalan demikian cepat, pertumbuhan

Koperasi selama ini belum sepenuhnya menampakan wujud dan perannya

sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan UUD 1945.

Dengan memperhatikan kepentingan ekonomi nasional dari

perwujudan pemerataan kesempatan berusaha, Undang-Undang (UU)

Perkoperasian memberikan kesempatan bagi Koperasi untuk memperkuat

permodalan melalui pengarahan modal penyertaan baik dari anggota maupun

dari bukan anggota. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun

5

(5)

1998 Tentang Modal Penyertaan Pada Koperasi, yang dimaksud Modal

Penyertaan adalah sejumlah uang atau barang modal yang dapat dinilai

dengan uang yang ditanamkan oleh pemodal untuk menambah dan

memperkuat struktur permodalan koperasi dalam meningkatkan kegiatan

usahanya. Koperasi menjadi dapat menghimpun modal untuk pengembangan

usahanya, sementara itu dalam UU Perkoperasian ditanamkan pemikiran

kearah pengembangan pengelolaan Koperasi secara professional.

Berdasar pada kaidah-kaidah di atas menjadi dasar berfikir banyaknya

koperasi di Indonesia yang dalam keberlangsungannya berjalan melalui

peneyerahan modal penyertaan dari masyarakat, baik yang mengatas

namakan kepentingan pengembangan usaha Koperasi maupun untuk

kepentingan pribadi. Hal ini menjadi suatu permasalahan yang menarik

ketika UU Perkoperasian tersebut mengharapkan semangat pengembangan

pengelolaan koperasi yang profesional demi pembangunan perekonomian di

Indonesia.

Sementara itu justru ada pula koperasi yang bermasalah dan para

pengurusnya berakhir di penjara karena telah terbukti melakukan tindak

pidana tertentu dan/ataupun harus mengganti kerugian kepentingan anggota

dan non-anggotanya yang modalnya disertakan dalam koperasi yang

bersangkutan. Hal tersebut menunjukan bahwa koperasi cenderung dikelola

(6)

bertujuan mensejahterakan anggota, ternyata pada kenyataanya hanya

mencari keuntungan peribadi bagi pendiri, pengurus atau pengelola.6

Walaupun banyaknya koperasi yang tidak mampu beroperasi dan tidak sehat

namun dalam prakteknya masih tetap memiliki izin karena tidak dibubarkan

dan tercatat sebagai koperasi aktif dan masih menerima simpan pinjam.7

”Potensi dana yang dapat dihimpun dan dimobilisasikan melalui pengembangan istrumen lembaga pembiayaan koperasi di atas sangat besar. Pada realitanya, pengoperasian koperasi khususnya koperasi simpan pinjam tidak selalu terbatas dari dan oleh anggota, namun juga meliputi pihak yang melakukan simpan pinjam pada koperasi tidak terdaftar sebagai anggota koperasi. Dengan demikian hak sebagai anggota pun tidak diberikan kepada orang yang melakukan penyimpanan dana di koperasi.”8

Oleh sebab itu untuk memberikan sanksi berupa sanksi pidana kepada

pengurus koperasi yang diduga melakukan tindak pidana koperasi

sebagaimana yang telah dirumuskan dalam pasal 34 ayat (2) Undang-undang

Koperasi dapat dijadikan sebagai dasar untuk memberikan sanksi pidana

kepada pelaku tindak pidana. Berkaitan dengan pasal 34 ayat (2)

Undang-undang Koperasi, UU Perkoperasian tidak memuat ketentuan pidananya,

artinya sanksi pidana tidak dikenal dalam regulasi perkoperasian sehingga

6Dalam sebuah Makalah yang ditulis oleh Christina Maya Indah, “Refleksi Kebijakan

Formulasi Hukum Pidana Dalam Penangulangan Tindak Pidana Koperasi”.

7

Tercatat pada tahun 2013 jumlah kopersi di Jawa Tengah 27.215 Koperasi, sebanyak 80,22% aktif, dan sisanya merupakan koperasi tidak aktif. Dari jumlah tersebut, 21.298 merupakan koperasi simpan pinjam., Hal ini diungkap oleh Kepala Dinas Koperasi dan

UNKM Jateng Sujarwanto Dwiatmoko, Suara Merdeka

http://www.suara.merdeka.com/v1index/php/read/news/2014/15/22/202974. wawancara denga dinas Koperasi Salatiga tercatat puluhan koperasi tidak aktif, namun tidak memenuhi ketentuan pembubaran koperasi, dan menelantarkan anggotanya.

(7)

yang berlaku adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)9 yang

dapat menjangkau pengurus atau pengelola yang melakukan kejahatan berupa

penggelapan dalam jabatan, memuat suatu surat/data palsu pada laporan

keuangan, sehingga diperlukan suatu formulasi kebijakan hukum pidana yang

menjamin diberlakukannya tata kelola yang baik bagi koperasi yang tidak

hanya sebatas pada KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang

dimaksudkan dengan tindak pidana koperasi adalah, tindak pidana yang

dilakukan koperasi, oleh pengurus dan atau pengelola.

Dalam banyak penerapan kasus di lapangan ketika ada kasus

pengurus koperasi yang bermasalah maka para penegak hukum dalam hal ini

Polisi maupun Jaksa selain mengunakan KUHP untuk menjerat para pelaku

juga menggunakan UU Perbankan dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang.

Hal tersebut ditempuh disebabkan tidak adanya saksi pidana dalam regulasi

koperasi karena sanksi yang ada adalah saksi administrasi.

Dibawah ini akan diuraikan dua kasus tindak pidana dalam koperasi

yang dilakukan dalam kegiatan menghimpun modal penyertaan pada koperasi

yang akan penulis kemukakan selanjutnya.

KASUS 1, Koperasi Cipaganti Karya Guna Perseda (Selanjutnya

disingkat KCKGP) yang didirikan oleh Andianto Setiabudi, yang semenjak

Desember 2007 hingga bulan Mei 2014 telah menghimpun modal penyertaan

9

(8)

kurang lebih sebesar Rp 4,7 triliun dari 23.193 mitra. Koperasi tersebut

bersifat Koperasi Simpan Pinjam yang didirikan dengan tujuan untuk

menyejahterakan anggotanya dan para mitra usaha serta sebagai strategic

partner Cipaganti Group. Uang Koperasi Cipaganti dikelola oleh Brent

Investment dan diinvestasikan ke sector batu bara, namun harga batu bara

amblas sehingga uang koperasi pun menjadi macet.10

Andianto Setiabudi Pimpinan Cipaganti Group sekaligus Direktur

Utama Koperasi Cipaganti, Yulinda Tjendrawati adalah istri dari Andrianto,

wakil ketua koperasi dan komisaris PT. Cipaganti Citra Graha (Selanjutnya

disingkat PT. CCG), serta Djulia Sri Rejeki adalah kakak dari Andrianto,

bendahara koperasi dan komisaris PT. CCG.11 Mereka ditangkap dan ditahan

terkait laporan sejumlah nasabah yang merasa tertipu setelah menyetorkan

uang sejumlah miliaran rupiah ke Koperasi Cipaganti. Para mitra mengeluh

karena koperasi Cipaganti berbulan-bulan tidak membayar bunga dan

mengembalikan uang investasi. Koperasi ini menawarkan sistem bagi hasil

keuntungan antara 1,6% sampai 1,95% per-bulan tergantung tenor.12

10

Putusan Nomor 198/Pid.B/2015/PN. Bdg, h. 69-279.

11

Sakina Rakhma DIah Setiawan, Cipaganti Tegaskan “Bos”-nya Ditahan Karena

Kasus Koperasi,

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/06/24/1053193/Cipaganti.Tegaskan.Bos.-nya.Ditahan.karena.Kasus.Koperasi, diunduh pada Kamis 25 Mei 2017,Pukul 11.00 Wib.

12

(9)

Dana itu dikelola oleh koperasi untuk perumahan, SPBU,

Transportasi, perhotelan, alat berat, dan tambang. Berdasarkan hasil

pemeriksaan penyidik, diketahui bahwa dana mitra bukan digunakan untuk

kegiatan tersebut akan tetapi dana tersebut diberikan kepada PT. CCG

sebesar Rp 200 Miliar, PT Cipaganti Global Transportindo sebesar Rp 500

miliar, PT CGP sebesar Rp 885 juta, yang keseluruhannya merupakan

perusahaan milik pelaku. Terhitung sejak maret 2014 koperasi gagal dan

tidak berjalan. Sedangkan sisa uang mitra tidak jelas penggunaanya serta

cenderung tidak dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu dari hasil

penyelidikan selama ini dana yang digunakan untuk memberikan bagi hasil

bulanan kepada mitra yang lebih dahulu menjalin kerja sama, dipastikan

berasal dari dana mitra lainnya yang ikut bergabung belakangan (money

game).13

Berdasar pada dakwaan jaksa di atas maka majelis hakim dalam

putusannya menyatakan bahwa 1. Andianto Setiabudi, terdakwa 2. Julia Sri

Redjeki, terdakwa 3. Yulinda Tjendrawati Setiawan dan terdakwa 4. Cece

Kadarisman, S.E. tersebut diatas, telah terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana “secara bersama-sama menghimpun dana

dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari Pimpinan Bank

13

(10)

Indonesia yang dilakukan secara berlanjut.”14 Sebagaimana hal tersebut di atur dalam Pasal 46 ayat (1) UU No. 10/1998, merumuskan sebagai berikut:

"Barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 16, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp10 miliar dan paling banyak Rp200 miliar”.

KASUS 2, Koperasi Serba Usaha “Karya Mandiri Sejahtera”

Terdakwa Kusrasmono, SE. bin Sunardi, pada hari Jum’at tanggal 27 Juli

2012 sekitar pukul 11.00 Wib atau sekitar waktu itu dalam bulan Juli tahun

2012 atau masih dalam tahun 2012 , bertempat di kantor KSU Karya Mandiri

Sejahtera Jl.Raya Masaran– Gemolong Sambirejo Kec. Plupuh, Kab. Sragen

atau setidak-tidaknya di suatu tempat yang masih termasuk dalam Daerah

Hukum Pengadilan Negeri, dengan sengaja dan melawan hukum mengaku

sebagai milik sendiri sesuatu barang yang seluruh atau sebagian kepunyaan

orang lain yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan dan ada

hubungannya dengan pekerjaan atau karena mendapat upah uang, yang

dilakukan Terdakwa dengan cara-cara :

Koperasi Serba Usaha “Karya Mandiri Sejahtera”, atau dengan

nama singkatan “KSU Karya mandiri Sejahtera“ yang berkantor di Jalan Raya Masaran Gemolong km 08 Sambirejo Kec. Plupuh, Kab. Sragen, yang

berdiri dengan dasar hukum adalah pengesahan Akta Pendirian Koperasi dari

14

(11)

Menteri Negara Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah RI Nomor :

08/670/BH/2004 tanggal 27 Nopember 2004 yang Badan Hukumnya

berlaku sampai denangan 27 Nopember 2009 tetapi oleh Terdakwa badan

Hukum KSU Karya Mandiri Sejahtera tersebut tidak di perpanjang lagi

sampai dengan sekarang, yang beranggotakan 35 orang dengan Susunan

Pengurus Sunardi Jabatan sebagai Ketua, Bayu Teguh Lelono jabatan

sebagai Sekretaris, Umi Prihatiningsih jabatan sebagai Bendahara

sedangkan Terdakwa jabatannya sebagai Manager yang di angkat

berdasarkan Surat Kepurusan Nomor : 01/KSU/LMS/11-2005 tanggal 1

Nopember 2005;

Terdakwa sebagai Manager KSU “Karya Mandiri Sejahtera“

memiliki jumlah calon angota (Nasabah) yang menyimpan uang di KSU

“Karya Mandiri Sejahtera” pertangal 16 Agustus 2012, dengan perincian

sebagai berikut. Untuk calon anggota yang mempunyai Simpanan

Deposito sebanayak 79 (tujuh puluh sembilan) orang dengan jumlah total

nilainya Rp. 1.694.286.000,-(satu milyar enam ratus sembilan puluh

empat juta dua ratus delapan puluh enam ribu rupiah); Untuk Calon

anggota yang mempunyai Simpanan Sukarela sebanyak 628 (enam ratus

dua puluh delapan) orang dengan jumlah total nilainya

Rp.1.578.354.890,- ( satu milyar lima ratus tujuh puluh delapan juta

(12)

rupiah) dan korban merupakan salah satu Calon Anggota (nasabah) KSU

“ Karya Mandiri Sejahtera“;

Selanjutnya pada hari, tanggal dan bulan sudah tidak ingat lagi sekitar

tahun 2010 saksi korban menjadi nasabah di KSU Karya Mandiri Sejahtera

yang berkantor di Jalan Raya Masaran Gemolong Km 08 Sambirejo Kec.

Plupuh Kab. Sragen, dan Terdakwa Kusrasmono, SE. selaku Manager

KSU Karya Mandiri Sejahtera dengan di awali saksi korban membuka

tabungan Sukarela sebesar Rp. 15.061.514,- (lima belas juta enam puluh

satu ribu empat belas rupiah) dengan Nomor Rekening 211101.001672,

kemudian saksi korban menabung Deposito yang jumlah awal dari Rp.

20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) sampai akhirnya pada tanggal 27

Agustus 2011 saksi korban menabung berjangka (Deposito) sebesar

Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) dengan Nomor Rekening

211301.000729 dan jatuh tempo setiap bulan pertanggal 27, selanjutnya pada

tanggal 06 Oktober 2011 saksi korban menabung Deposito lagi sebesar Rp.

60.000.000,-( enam puluh juta rupiah) dengan Nomor Rekening

211301.000742, ketika dalam perjalanannya pada tanggal 27 Jun 2012 saksi

korban bermaksud untuk mengambil uang tabungan Deposito senilai Rp.

100.000.000,- (seratus juta rupiah) untuk keperluan usaha, namun pihak

koperasi melalui Terdakwa Kusrasmono, SE. selaku Manager

(13)

korban bermaksud juga untuk mengambil uang Deposito yang berjumlah Rp.

60.000.000,- (enam puluh juta rupiah)dan tabungan Sukarela Rp.

15.061.514,- ( lima belas juta enam puluh satu ribu lima ratus empat

belas rupiah) dan jawaban dari pihak koperasi tetap sama yaitu tidak ada

uang dan selalu menjanjikan saja. Setelah saksi korban datang berulangkali

ke koperasi untuk mengambil uang-uang saksi korban tetapi selalu gagal

dan sampai akhirnya membuat surat pernyataan tertanggal 18 Juli 2012

yang intinya Terdakwa Kusrasmono, SE. sanggup untuk menyelesaikan

pembayaran uang Deposito milik saksi korban sebesar Rp.

160.000.000,-(seratus enam puluh juta rupiah) pada tanggal 14 Agustus 2012, setelah saksi

korban tunggu sampai dengan tanggal 14 Agustus 2012 kenyataan

Terdakwa Kusrasmono, SE. juga tidak bisa menyelesaikan tanggung

jawabnya, saat saksi korban meminta uang tersebut Terdakwa Kusrasmono,

SE. menjanjikan kepada saksi korban akan di jualkan rumah, namun

kenyataannya setelah rumah Terdakwa terjual ternyata uangnya tidak di

berikan kepada saksi korban dan saksi korban juga di janjikan akan di

berikan uangnya setelah mendapatkan uang tagihan dari nasabahnya namun

juga belum di kasih sampai sekarang, selanjutnya oleh saksi korban

Terdakwa pada tanggal 16 Agustus 2012 di laporkan ke Polres Sragen

untuk proses lebih lanjut. Akibat perbuatan Terdakwa tersebut saksi

(14)

tujuh puluh lima juta enam puluh satu ribu lima ratus empat belas rupiah);

Perbuatan Terdakwa diatur dan diancam pidana sebagaimana pasal 374

KUHP; Terdakwa Kusrasmono, SE. terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana “Penggelapan Dalam Jabatan”

Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Kusrasmono, SE. dengan pidana

penjara selama 1(satu) tahun dan 4 (empat) bulan.

Dari uraian singkat Putusan Nomor 198/Pid.B/2015/PN. Bdg dan

Putusan Nomor : 43/Pid.B/2013/PN.Srg. di atas dapat dicermati bahwa

pengurus selaku organ dalam koperasi tidak melakukan tugas dan

tanggungjawabnya sebagaimana mestinya, hal tersebut menunjukkan,

pertama, Koperasi Cipaganti dan Koperasi serba usaha “ Karya Mandiri

Sejahtera tidak menjalankan fungsinya sebagaimana ditentukan dalam UU

No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, misalnya koperasi harus

menyelenggarakan rapat anggota karena rapat anggota merupakan salah satu

alat perlengkapan koperasi.15 Kedua, Koperasi serba usaha “ Karya Mandiri

Sejahtera dan Koperasi Cipaganti tidak menjalankan semua prinsip koperasi

seperti yang tertuang dalam Pasal 5 UU No. 25 Tahun 1992 tentang

Perkoperasian16, pada hal prinsip ini merupakan ciri koperasi yang

membedakan jenis badan usaha lainnya.

15

Dalam konstruksi hukum koperasi dapat ditegaskan bahwa rapat anggota adalah pemegang kekuasaan yang tertinggi dalam koperasi.

16

(15)

Selain itu Putusan Nomor 198/Pid.B/2015/PN. Bdg dan Putusan Nomor

: 43/Pid.B/2013/PN.Srg menempatkan kaidah hukum bahwa praktek koperasi

yang mengumpulkan uang dari masyarakat yang tidak mempunyai izin dari

lembaga perbankan maka koperasi telah melakukan tindak pidana perbankan

dan melakukan penipuan terhadap anggota koperasi merupakan perbuatan

pidana. Hal tersebut terlihat ketika koperasi menjaring masyarakat untuk

melakukan simpan pinjam, tetapi tidak mengakomodasi masyarakat tersebut

untuk menjadi anggota koperasi. Otomatis masyarakat pengguna koperasi

tersebut tidak memperoleh hak-hak dan melakukan kewajiban sebagaimana

anggota dalam koperasi.17 Oleh sebab itu untuk menjerat para pelaku tindak

pidana dalam koperasi tidaklah mudah.

Sebagaimana yang telah dirumuskan Dalam UU Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian, tidak menjelakan sanksi bagi pelaku tindak pidana dalam koperasi. Hanya saja menyebutkan dalam Pasal 34 bahwa (1) Pengurus, baik bersama-sama, maupun sendiri-sendiri, menanggung kerugian yang diderita koperasi, karena tindakan yang dilakukan dengan kesengajaan atau kelalaiannya. (2) Di samping penggantian kerugian tersebut, apabila tindakan dilakukan dengan kesengajaan, tidak menutup

kemungkinan bagi penuntut umum untuk melakukan

penuntutan.18

secarademokratis; (c) pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebading dengan besarnyajasa usaha masing-masing anggota; (d) pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal;(e) kemandirian.

17Dessy Oktaviani Suendra, “

Pertanggungjawaban Pidana Koperasi Dalam Tindak Pidana Perbankan Tanpa Izin”, Magister Ilmu Hukum Udayana, Denpasar, 2015, abstract,

h. 162.

18

(16)

Dari bunyi kaidah hukum tersebut maka regulasi koperasi hanya

mengenal adanya sanksi administrasi dan sanksi pidana hanya tampak

samar-samar. Sehingga dalam praktek ketika ada koperasi yang dalam pengelolahan

terjadi kesengajaan penyimpangan yang menimbulkan kerugian dan diduga

merupakan tindak pidana maka dalam Undang-undang koperasi tidak

mencantumkan sanksi pidana, hanay saja diatur dalam pasal 34 ayat (2) UU

Koperasi bahwa tidak menutup kemungkinan untuk penuntut umum

melakukan penuntutan. Untuk itu diperlukan suatu formulasi kebijakan

hukum pidana untuk menjangkau penyimpangan koperasi yang tidak dapat

dijangkau oleh UU Perkoperasian. Artinya penerapan saksi administrative

belaka menjadi kurang tepat apabila tindakan tersebut sudah dengan sengaja

merugikan masyarakat luas dan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat

pada koperasi.

Pada pengaturan sanksi pidana yang samar-samar tersebut, menjadi

pintu masuk bagi penegak hukum untuk menjerat pelaku (pengurus) yang

sengaja melakukan penyelewennagan tata kelola koperasi dan sengaja

menjadikan koperasi tidak sehat. Secara nyata nampak pada banyak

yurisprudensi dimana kaidah hukum digunakan adalah dihubungkan dengan

tindak pidana yang dilakukan oleh para pengurus, misalnya sebagaimana dari

dua putusan di atas yaitu: tindak pidana perbankan dan tindak pidana jabatan.

(17)

tugas dan tanggung jawab yang besar dalam menentukan, pengenaan UU apa

ketika terjadi dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh koperasi, sebagai

contoh penulis membandingkan, apabila dalam Undang-undang koperasi

tidak dimuatkan unsur pidana, maka jika koperasi melakukan penipuan,

penyidik dapat menjerat dengan menggunakan KUHP.

Dari uraian di atas, maka Penulis tertarik mengambil judul tesis yaitu:

“Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pengurus Koperasi Yang Dengan

Sengaja Menimbulkan Kerugian Pada Koperasi.”

B. RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan

masalah yang menjadi topik pembahasan adalam penulisan tesis ini adalah:

“Bagaimanakah Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pengurus Koperasi

Yang Dengan Sengaja Melakukan Penyalahgunaan Penggelolaan Dana Dari

Masyarakat.”

C. TUJUAN PENELITIAN

Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, tujuan penelitian ini adalah:

Untuk mengetahui Bagaimanakah Kebijakan Hukum Pidana Terhadap

Pengurus Koperasi Yang Dengan Sengaja Melakukan Penyalahgunaan

(18)

D. KERANGKA TEORI

Kerangka Teori yang dipakai dalam tulisan ini adalah mengenai teori

yang terkait:

1. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana

Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan saran penal

merupakan penal policy atau penal-law enforcement policy, menurut

Barda Nawawi Arief fungsionalisasi/ operasionalisasinya dilakukan

melalui beberapa tahap yaitu :

a. Tahap Formulasi (Kebijakan Legislatif).

b. Tahap Aplikasi (Kebijakan Yudikatif).

c. Tahap eksekusi (Kebijakan eksekutif).19

“Kebijakan formulasi adalah kebijakan dalam merumuskan

sesuatu dalam suatu bentuk perundang-undangan. Kebijakan formulasi

menurut Barda Nawawi Arief adalah “suatu perencanaan atau program

dari pembuat undang-undang mengenai apa yang akan dilakukan dalam

menghadapi problema tertentu dan cara bagaimana melakukan atau

melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau diprogramkan

itu”.20

19

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, h. 75.

20

(19)

Mengenai kebijakan formulasi dalam penanggulangan kejahatan ;

menurut Barda Nawawi Arief bahwa, dilihat dari sudut pendekatan

kebijakan, maka kebijakan formulasi memiliki makna :

a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial (bagian dari upaya untuk

mengatasi masalah sosial, dalam rangka mencapai/menunjang tujuan

nasional);

b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal (bagian dari upaya

perlindungan masyarakat, khususnya upaya penanggulangan

kejahatan);

c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum (bagian dari upaya

memperbaharui substansi hukum dalam rangka lebih mengefektifkan

penegakan hukum.21

2. Prinsip Fiduciary Duty

Dalam korporasi atau perusahaan, para anggota direksi dan komisaris

sebagai salah satu organ vital dalam badan hukum tersebut merupakan

pemegang amanah (fiduciary) yang harus berperilaku sebagaimana

layaknya pemegang kepercayaan. Di sini komisaris dan direktur

memiliki posisi fiducia dalam pengurusan perusahaan dan mekanisme

hubungannya harus secara fair. Menurut pengalaman common law

21

(20)

hubungan itu dapat didasarkan pada teori fiduciary duty22. Hubungan fiduciary duty tersebut didasarkan atas kepercayaan dan kerahasiaan (trust and confidence) yang dalam peran ini meliputi, ketelitian (scrupulous), itikad baik (good faith), dan keterusterangan (candor).23

Dalam memahami hubungan pemegang kepercayaan (fiduciary

relationship) tersebut, common law mengakui bahwa orang yang

memegang kepercayaan (fiduciary) secara natural memiliki potensi

untuk menyalahgunakan wewenangnya. Oleh sebab itu hubungan

pemegang kepercayaan tersebut harus didasarkan kepada standar yang

tinggi.24

Negara-negara common law seperti Amerika Serikat yang telah

mempunyai standar yang jelas untuk menentukan apakah seorang direktur

dapat dimintai pertanggungjawabannya dalam tindakan yang diambilnya,

yaitu didasarkan pada standar duty of loyality dan duty of care.Kewajiban

22

Khanna, V.S, Corporate Criminal Liability: What Purpose Does It Serve?, 109 Harv. L.Rev. 1477, The Harvard Law Review Association, 1996, h. 195-196.

23

Teori fiduciary duty adalah suatu kewajiban yang ditetapkan undang-undang bagi seseorang yang memanfaatkan seseorang lain, dimana kepentingan pribadi seseorang yang diurus oleh pribadi lainnya, yang sifatnya hanya hubungan atasan-bawahan sesaat. Orang yang mempunyai kewajiban ini harus melaksanakannya berdasarkan suatu standar dari kewajiban (standard of duty) yang paling tinggi sesuai dengan yang dinyatakan oleh hukum. Sedangkan fiduciary ini adalah seseorang yang memegang peran sebagai suatu wakil (trustee) atau suatu peran yang disamakan dengan sesuatu yang berperan sebagai wakil, dalam hal ini peran tersebut didasarkan kepercayaan dan kerahasiaan (trust and confidence) yang dalam peran ini meliputi, ketelitian (scrupulous), itikad baik (good faith), dan keterusterangan (candor). Fiduciary ini termasuk hubungan seperti, pengurus atau pengelola, pengawas, wakil atau wali, dan pelindung (guardian). Termasuk juga di dalamnya seorang lawyer yang mempunyai hubungan fiduciary dengan client-nya. Henry Campbell Black , Black’s Law Dictionary, h. 625.

24 Charity Scott, “Caveat Vendor: Broker

(21)

utama dari direktur adalah kepada perusahaan secara keseluruhan bukan

kepada pemegang saham baik secara individu maupun kelompok.25

Sesuai dengan posisi seorang direktur sebagai sebuah trustee dalam

perusahaan. Posisi ini mengharuskan seorang direktur untuk tidak

bertindak ceroboh dalam melakukan tugasnya (duty of care).26 Selain itu

dalam melakukan tugasnya tersebut seorang direktur tidak boleh

mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri atas perusahaan (duty of

loyality).27 Pelanggaran terhadap kedua prinsip tersebut dalam

hubungannya dengan Fiduciary Duty dapat menyebabkan direktur untuk

dimintai pertanggung jawaban hukumnya secara pribadi terhadap

perbuatan yang dilakukannya, baik kepada para pemegang saham maupun

kepada pihak lainnya.28

Doktrin atau prinsip fiduciary duty ini dapat kita jumpai dalam

Undang-undang No.1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Menurut

Pasal l79 ayat (1) UUPT pengurusan PT dipercayakan kepada Direksi

lebih jelasnya Pasal 82 UU PT menyatakan, bahwa Direksi bertanggung

jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan

25

Lihat, Janet Dine, Company Law– Sweet &Maxwell’s Textbook Series, Sweet & Maxwell, 2001, h. 217.

26 Denis Keenan & Josephine Biscare, Smith & Keenan’s Company Law For

Students, Financial Times, Pitman Publishing, 1996, h. 317.

27

Joel Seligman, Corporations Cases and Materials, Little Brown and Company

Boston New York Toronto London, 1995.

28

(22)

perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar

pengadilan. Sedangkan Pasal 85 UU PT menetapkan bahwa setiap

anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab

menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha Perseroan. Pelanggaran

terhadap hal ini dapat menyebabkan Direksi bertanggung jawab penuh

secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan

tugasnya tersebut.

Dalam konteks direktur, sangat penting untuk mengontrol perilaku dari para direktur yang mempunyai posisi dan kekuasaan besar dalam mengelola perusahaan, termasuk

menentukan standar perilaku (standart of conduct) untuk

melindungi pihak-pihak yang akan dirugikan apabila

seorang direktur berperilaku tidak sesuai dengan

kewenangannya atau berperilaku tidak jujur.29

Untuk membebankan pertanggungjawaban terhadap direktur atau

pengurus korporasi, maka harus dibuktikan adanya pelanggaran terhadap

kekuasaan kewajiban kewenangan yang dimilikinya. Pengurus korporasi

dalam hal ini harus dapat dibuktikan telah melanggar good faith yang

dipercayakan padanya dalam menjalan korporasi atau perusahaan,

sebagaimana diatur dalam prinsip fiduciary duty.

29

(23)

3. Doktrin Vicarious Liablitity & Strict Liability

“Teori pertanggungjawaban Pengganti atau vicarious liability ini pada

dasarna adalah untuk menjawab pertanyaan, apakah terhadap seseorang

itu dapat dipertanggujawabkan secara pidana atas tindak pidana yang

dilakukan oleh orang lain. Dengan perkataan lain, apakah perbuatan dan

kesalahan seseorang itu bisa dimintakan pertanggungjawbannya kepada

orang lain. Pertanyaan ini muncul karena pada dasarnya

pertanggungjawaban pidana itu merupakan hal pribadi.”30

Sedangkan Strict liability adalah si pembuat sudah dapat dipidana jika

telah melakukan perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam

undang-undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya.31 Persamaan dan

perbedaan antara strict liability dan vicarious liability adalah sebagai

berikut: persamaannya adalah baik strict liability maupun vicarious

liability tindak mensyaratkan adanya “mens rea” atau unsur kesalahan

pada orang yang dituntut pidana. Perbedaannya terletak pada strict

liability crimes pertanggungjawaban bersifat langsung dikenakan pada

pelakunya, sedangkan vicarious liability pertanggungjawaban pidana

bersifat tidak langsung.

30

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Edisi 2 (Jakarta: Kencana, 2011), h. 105. Dalam Hasbullah F. Sjawie, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada TIdak Pidana Korupsi, Prenada Media Group, Jakarta, 2015, h. 28.

31

(24)

E. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan oleh penulis untuk menjawab

pertanyaan yang telah dirumuskan dalam tesis ini yaitu penelitian yuridis

normatif. Yuridis normative adalah suatu proses untuk menemukan

aturan hukum, maupun doktrin-doktrin hukum yang akan diteliti.32

2. Jenis Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan oleh penulis dalam tesis ini,

yaitu:

a. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)

Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan dan doktrin-doktrin

yang berkembang dalam ilmu hukum untuk menemukan ide-ide yang

melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan

asas-asas hukum relevan dengan isu yang dihadapi.

b. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach)

Oleh karena tipe penelitian yang bersifat normative, maka

pendekatan Perundang-undangan seperti ini merupakan pendekatan

yang penting dalam meneliti aturan hukum yang menjadi fokus

sekaligus tema sentral dari suatu penelitian.33 Pendekatan ini

32

Jhony Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing: Jawa Timur, 2009, h. 45.

33 Ibid.

(25)

dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang

tersangkut paut dengan kasus yang ditangani34.

c. Pendekatan Kasus

Pendekatan kasus yang digunakan dalam penilitian ini adalah

pendekatan kasus terhadap Koperasi Cipaganti Karya Guna Persada

dan Koperasi Serba Usaha “Karya Mandiri Sejahtera yang menjadi

objek penelitian dalam penulisan ini.

3. Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan

dengan kajian yang dilakukan. Berikut adalah bahan hukum tersebut.

a. Bahan Hukum Primer yakni Peraturan-perundangan yang meliputi:

1. KUHP,

2. Undang-undang No.8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

3. Undang-undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.

4. Undang-undang No 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian.

b. Bahan hukum Sekunder, yakni yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum perimer yaitu Putusan Nomor

34

(26)

198/Pid.B/2015/PN. Bdg dan Putusan Nomor :

43/Pid.B/2013/PN.Srg.

c. Bahan hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

sekunder.

F. Unit amatan dan unit analisis

1. Unit amatan

Yang menjadi unit amatan dalam penelitian ini adalahPeraturan

Perundang-undangan

a) KUHP,

b) Undang-undang No.8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,

c) Undang-undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan,

d) Undang-undang No 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian

e) Putusan Nomor 198/Pid.B/2015/PN. Bdg

f) Putusan Nomor : 43/Pid.B/2013/PN.Srg

2. Unit analisis

Yang menjadi unit analisi dalam penelitian ini

(27)

b) Pasal 64 KUHP

c) Pasal 372 KUHP

d) Pasal 34 UU Perkoperasian

e) Pasal 16 UU Perbankan

Referensi

Dokumen terkait

(1) Pusat Kepatuhan Internal Kepabeanan dan Cukai mempunyai tugas menyiapkan perumusan kebijakan, standardisasi dan bimbingan teknis, dan evaluasi pelaksanaan

Ketahanan sosial budaya diartian sebagai kondisi dinamik budaya bangsa yang berisi Ketahanan sosial budaya diartian sebagai kondisi dinamik budaya bangsa yang berisi keuletan

Menurut Wahyudi (2014:59-60), dalam menentukan tokoh pada sebuah lakon wayang tidak dilakukan dengan semena-mena. Persoalan ini disebabkan karena wayang harus

Tujuan dari penerapan model ini yakni sebagai upaya mencegah kerusakan hutan CAPC, menumbuhkan kawasan hutan CAPC yang lestari, merumuskan alternatif kebijakan pengelolaan CAPC

Penulis mengucapkan puji syukur yang sebesar-besarnya kepada Allah SWT atas rahmat dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh

Berdasarkan kepada definisi yang dinyatakan oleh sarjana tersebut, kemahiran menulis yang dimaksudkan di dalam kajian ini ialah kemampuan pelajar menghasilkan satu penulisan

Mengingat , bahwa dalam resolusi no. 7 dari Kongres Ketujuh, Komite diserukan untuk mempertimbangkan kebutuhan akan pedoman yang berkaitan, antara lain, dengan

rekrutmen peserta didik yang lebih baik terutama dalam perencanaan dan pelaksanaanya, karena dengan manajemen peserta didik yang baik maka keberlangsungan