BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kosmetika
Kosmetika berasal dari kata kosmein (Yunani) yang berarti “berhias”. Bahan
yang dipakai dalam usaha untuk mempercantik diri ini, dahulu diramu dari bahan –
bahan alami yang terdapat disekitarnya. Sekarang kosmetika dibuat manusia tidak
hanya dari bahan alami tetapi juga bahan buatan untuk maksud meningkatkan
kecantikan. Sejak semula kosmetik merupakan salah satu segi ilmu pengobatan atau
ilmu kesehatan, sehingga para pakar kosmetik dahulu adalah juga pakar kesehatan
seperti para tabib, dukun, bahkan penasihat keluarga istana. Oleh karena itu tidak
mengherankan bila antara kosmetika dan obat sejak dahulu sampai sekarang pun
sangat sukar untuk ditarik garis batasnya.
Sejak tahun 1938, di Amerika Serikat dibuat Akta tentang defenisi kosmetika
yang kemudian menjadi acuan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
220/Menkes/Per/X/76 tanggal 6 September 1976 yang menyatakan bahwa :
Kosmetika adalah bahan atau campuran bahan untuk digosokkan, dilekatkan,
dituangkan, dipercikkan atau disemprotkan pada, dimasukkan ke dalam, dipergunakan
pada badan atau bagian badan manusia dengan maksud untuk membersihkan,
memelihara, menambah daya tarik atau mengubah rupa, dan tidak termasuk golongan
obat.
Defenisi tersebut jelas menunjukkan bahwa kosmetika bukan suatu obat yang
Dewasa ini terdapat ribuan kosmetika di pasar bebas. Kosmetika tersebut
adalah produk kosmetika di dalam dan luar negeri yang jumlahnya telah mencapai
ribuan. Data terakhir menunjukkan lebih dari 300 pabrik kosmetika terdaftar secara
resmi di Indonesia, dan diperkirakan ada sejumlah dua kali lipat pabrik kosmetika
yang tidak terdaftar secara resmi yang berupa usaha rumahan atau salon kecantikan.
Jumlah yang demikian banyak memerlukan usaha penyederhanaan kosmetika, baik
untuk tujuan pengaturan maupun pemakaian. Usaha tersebut berupa penggolongan
kosmetika. Sub Bagian Kosmetika Medik Bagian Ilmu Kulit dan Kelamin
FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, membagi kosmetika atas :
1. Kosmetika pemeliharaan dan perawatan, yang terdiri atas :
a. Kosmetika pembersih (cleansing)
b. Kosmetika pelembab (moisturizing)
c. Kosmetika pelindung (protecting)
d. Kosmetika penipis (thinning)
2. Kosmetika rias/dekoratif, yang terdiri atas :
a. Kosmetika rias kulit terutama wajah
b. Kosmetika rias rambut
c. Kosmetika rias kuku
d. Kosmetika rias bibir
e. Kosmetika rias mata
3. Kosmetika pewangi/parfum, yang terdiri atas :
a. Deodoran dan antiperspiran
b. Pelembab
Dengan penggolongan yang sangat sederhana ini, setiap jenis kosmetika akan
dapat dikenal kegunaannya dan akan menjadi bahan acuan bagi konsumen di dalam
bidang kosmetologi. Penggolongan ini juga dapat menampung setiap jenis sediaan
kosmetika (bedak, cairan, krim, pasta, semprotan, dan lainnya) dan setiap tempat
pemakaian kosmetika (kulit, mata, kuku, rambut, seluruh badan, alat kelamin, dan
lainnya).
Kosmetika pembersih digunakan untuk menghilangkan berbagai zat yang tidak
berguna lagi yang terdapat pada permukaan kulit yang telah tercemar kotoran. Namun
bukan berarti harus membersihkan seluruh zat yang ada, karena ada zat yang tetap
diperlukan untuk kulit agar kulit tetap sehat seperti lapisan lemak permukaan kulit.
Kosmetika pembersih mengandung bahan dasar dalam beberapa bentuk yaitu cair,
minyak, dan padat. Bahan dasar cair yang banyak digunakan adalah air yang
merupakan pelarut yang baik untuk sebagian besar zat/kotoran yang menmpel pada
kulit. Air mudah didapat dan murah harganya, sehingga penggunaannya dalam
kosmetika cukup efektif dan efisien. Oleh karena itu pada setiap tindakan pembersihan
kulit, membersihkan dengan air biasanya dilakukan pada awal dan akhir tahap
pembersihan. Namun untuk membersihkan kulit hanya dengan air dirasakan kurang
estesis sehingga ditambahkan wewangian, penyegar dan alkohol atau lainnya.
Pembersihan dengan bahan dasar air mempunyai beberapa keuntungan dan
kerugian. Keuntungannya adalah air dapat melunakkan lapisan tanduk sehingga
mudah dibersihkan, tidak toksik bagi umumnya kulit sensitif, tidak menimbulkan efek
samping selain mudah didapat dan murah harganya. Kerugian pemakaian air sebagai
pembersih adalah tidak dapat membersihkan seluruh kotoran yang melekat pada kulit,
tidak membersihkan jasad renik yang terdapat pada permukaan kulit, bukan
Oleh karena alasan tersebut pembersih dengan bahan dasar air sering ditambah
dengan alkohol (20% - 40%) sebagai bahan dasar lain. Penggunaan alkohol
mempunyai beberapa keuntungan namun tidak terlepas pula beberapa kerugian.
Keuntungan penambahan alkohol adalah bukan saja sebagai pelarut lemak ringan
yang bersifat menyegarkan, tetapi juga pelarut parfum dan warna yang baik,
mempunyai efek desinfektan lemah dan merupakan astrigen lemah. Kedua hal yang
terakhir tidak dapat ditingkatkan dengan meningkatkan kadar alkohol lebih dari 40%
oleh karena dapat menimbulkan iritasi kulit dan mengeringkan kulit.
Kosmetik pengharum digunakan untuk menghilangkan bau badan yang
bersumber dari kulit, rambut, hidung (saluran napas), mulut (saluran cerna atas), anus
(saluran cerna bawah), vagina (saluran kelamin luar), dan terutama ketiak. Bahan aktif
yang digunakan dalam kosmetik pengharum dapat berupa :
1. Pewangi (parfum) untuk menutupi bau yang tidak disukai.
2. Pembunuh mikroba yang dapat mengurangi jumlah mikroba pada tempat asal bau.
Contohnya adalah antiseptik yang dapat membunuh kuman apatogen atau patogen
misalnya triklosan. (Wasitaatmadja, S.M. 1997)
2.2 Antiseptik
Antiseptik berasal dari bahasa Yunani (sepsis = busuk) adalah zat – zat yang
dapat mematikan atau menghentikan pertumbuhan mikroba setempat/lokal di jaringan
– jaringan hidup, khususnya di atas kulit atau selaput lendir seperti mulut,
tenggorokan, vagina, hidung, telinga, dan lain – lain. (Mansjoer,S dan Fauzia. 1989)
Bahan atau zat yang digunakan untuk mencegah pertumbuhan atau aktivitas
mikroorganisme dengan cara menghambat atau menghambat pertumbuhan
Faktor-faktor yang berpengaruh pada efektivitas antiseptik antara lain ialah
sebagai berikut :
1. Konsentrasi
2. Lamanya paparan antiseptik
3. Tipe populasi mikroba yang akan dibunuh
4.Kondisi lingkungan seperti suhu, pH dan tipe dari material dimana bakteri berada
Secara umum antiseptik adalah desinfektan yang nontoksik karena digunakan
kulit, mukosa, atau jaringan hidup lainnya. Sebagai antiseptik haruslah memiliki
persyaratan diantaranya :
1. Memiliki spektrum luas yang artinya efektif untuk membunuh bakteri, virus, jamur
dan sebagainya.
2. Tidak merangsang kulit ataupun mukosa.
3. Toksisitas atau daya absorbsi melalui kulit dan mukosa rendah.
4. Efek kerjanya cepat dan bertahan lama.
5. Efektivitasnya tidak berpengaruh oleh adanya darah atau pus.
Bahan tersebut harus bersifat homogen, tidak mudah dinetralisir atau diinaktivasi oleh
bahan lain, dapat bekerja pada suhu biasa dan mempunyai kemampuan penetrasi. Saat
ini belum ada antiseptik yang ideal, tidak jarang bersifat toksik bagi jaringan,
menghambat penyembuhan luka, dan menimbulkan sensifitas. Khasiatnya seringkali
berkurang oleh adanya cairan tubuh seperti darah atau pus. Adapun jenis larutan
antiseptik seperti alkohol 60% - 90%, stremid atau klorheksidglukonat (savlon),
klorheksidinglukonat 4% (hibiscrub, hibitane, hibiclens), heksalorofen 3% (phisohex),
triklosan, paraklorometaksilenol (PCMX atau klorosilenol/dettol), iodine 1 - 3% serta
iodofor berbagai konsentrasi (betadine). Antiseptik juga dapat terkontaminasi,
digunakan untuk mencuci tangan. Cara untuk mencegah kontaminasi tersebut seperti
menggunakan air matang untuk mengencerkan jika diperlukan pengenceran, hati-hati
pada saat menuangkan larutan kewadah yang lebih kecil, mengosongkan dan mencuci
wadah sabun dan air serta membiarkannya kering dengan cara di angin-anginkan
minimal sekali dalam seminggu, tempelkan label bertuliskan tanggal pengisian ulang,
serta menyimpan larutan ditempat yang diinginkan dan gelap.
(http://www.scribd.com/doc/50741093/jack-dewa)
2.2.1 Alkohol
Alkohol banyak digunakan sebagai antiseptik/desinfektan untuk disinfeksi
permukaan dan kulit yang bersih, tetapi tidak untuk luka. Alkohol sebagai disinfektan
mempunyai aktivitas bakterisidal, bekerja terhadap berbagai jenis bakteri, tetapi tidak
terhadap virus dan jamur. Akan tetapi karena merupakan pelarut organik maka alkohol
dapat melarutkan lapisan lemak dan sebum pada kulit, dimana lapisan tersebut
berfungsi sebagai pelindung terhadap infeksi mikroorganisme.
(http://www.mfi.farmasi.ugm.ac.id/files/news/1._17-4-2007 retnosari.pdf)
Alkohol yang digunakan pada sediaan kosmetik adalah etil alkohol atau
isopropil alkohol.
1. Etil alkohol atau lebih dikenal dengan etanol (CH3CH2OH) merupakan salah
satu antiseptik yang bekerja cepat pada konsentrasi yang tepat. Kemampuan
bakterisidnya akan lebih baik bila ada air. Etanol 70% mempunyai potensi
antiseptik yang optimum, karena air membantu denaturasi protein bakteri.
Penggunaan etanol 70% pada umumnya untuk antiseptik kulit sebelum
penyuntikan dapat membasmi hampir 90% bakteri pada kulit dalam waktu 2
2. Isopropil alkohol (CH3CH2CH2OH) mempunyai aktivitas bakterisid lebih
besar dibanding etil alkohol atau etanol, karena lebih efektif dalam
menurunkan tegangan permukaan sel bakteri dan denaturasi protein. Isopropil
alkohol lebih efektif sebagai antiseptik pada kadar 50% - 95% tetapi bersifat
lebih iritatif dibandingkan etil alkohol atau etanol.
(http://www.isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/6208260268.pdf)
Kedua alkohol tersebut segera aktif membunuh bakteri vegetatif, M.
tuberculosis, dan banyak jamur dan virus lipofilik yang tidak aktif. Alkohol ini tidak
digunakan sebagai sterilan karena tidak bersifat sporisid, tidak mempenetrasi materi
organik yang mengandung protein, mungkin tidak aktif melawan virus hidrofilik, dan
tidak memiliki sisa kerja karena agen tersebut menguap seluruhnya. Disamping itu
alkohol mudah terbakar dan pada pemakaian berulang menyebabkan kekeringan dan
iritasi pada kulit. (Katzung, B.G. 2001)
2.2.2 Triklosan
Triklosan merupakan antiseptik non-ionik dari golongan bisphenolsintesis,
bisphenol yaitu gabungan 2 fenol yang dihubungkan oleh rantai yang bermacam
macam. Triklosan tersusun dari 2 cincin benzene, tiap cincin terdiri dari 6 atom
karbon. Terdapat dua kelompok antiseptik yang sering digunakan pada golongan ini
yaitu triklosan dan hexachlorophene. Namun karena toksisitasnya, maka saat ini
penggunaan hexachlorophene sangat terbatas. Saat ini triklosan telah digunakan secara
luas dalam berbagai produk seperti sabun, obat kumur, pasta gigi, kosmetik dan
mikroorganisme setelah pemakaian suatu bahan antiseptik. Efek persisten disebut
disebut juga dengan efek residual. Sabun yang mengandung bahan antiseptik akan
meninggalkan lapisan tipis bahan antikbakteri pada permukaan kulit yang akan
menghambat pertumbuhan bakteri secara berkelanjutan. Villalain menemukan bahwa
triklosan juga mempunyai efek membranotropik, yaitu menggangu stabilitas struktur
membran yang mengakibatkan penurunan integritas fungsional membran sel tanpa
menginduksi terjadinya lisis tersebut. Pada konsentrasi bakterisidal, triklosan
menyebabkan kebocoran kalium yang menandakan terjadinya kerusakan membran.
Kelebihan triklosan dibanding dengan antiseptik yang lain adalah
kemampuannya menghilangkan MRSA secara efektif dari tangan petugas kesehatan
setelah kontak 30 detik, sedangkan chlorhexidine 4% tidak dapat melakukan hal ini.
Penelitian Loho U dan Utami (2007) mengenai efektivitas antiseptik larutan triklosan
1% secara in vitro terhadap Staphylococcus aureus, Enterococcusfaecalis, Echericiha
coli dan Pseudomonas aeruginosa tampak bahwa triklosan tidak efektif terhadap
Pseudomonas aeruginosa.
Triklosan relatif tidak toksik terhadap manusia. Hingga saat ini tidak ada bukti
yang menyatakan bahwa triklosan memiliki efek karsinogenik, mutagenik ataupun
teratogenik. Sabun yang mengandung triklosan 1% lebih sedikit menimbulkan
masalah kulit dibandingkan dengan formula yang mengandung iodophore, etanol
70%, chlorohexidine gluconate 0,5 % dan chlorhexidine gluconate 4%. Namun
terdapat beberapa laporan mengenai terjadinya iritasi kulit dan dermatitis kontak
fotoalergik akibat pemakaian triklosan. Dermatitis ini terjadi apabila bagian kulit yang
terpajan triklosan terkena sinar matahari.
2.3 Kromatografi
Kromatografi adalah suatu istilah umum yang digunakan untuk
bermacam-macam teknik pemisahan yang didasarkan atas partisi sampel diantara suatu fase
gerak yang bisa berupa gas ataupun cair dan fase diam yang juga bisa berupa cairan
ataupun suatu padatan. Penemu Kromatografi adalah Tswett yang pada tahun 1903,
mencoba memisahkan pigmen-pigmen dari daun dengan menggunakan suatu kolom
yang berisi kapur (CaSO4). lstilah kromatografi diciptakan oleh Tswett untuk
melukiskan daerah - daerah yang berwarna yang bergerak kebawah kolom. Pada
waktu yang hampir bersamaan, D. T. Day juga menggunakan kromatografi untuk
memisahkan fraksi - fraksi petroleum, namun Tswett lah yang pertama diakui sebagai
penemu dan yang menjelaskan tentang proses kromatografi.
Penyelidikan tentang kromatografi menurun untuk beberapa tahun sampai
digunakan suatu teknik dalam bentuk kromatografi padatan cair (Liquid Solid
Chromatography). Kemudian pada akhir tahun 1930-an dan permulaan tahun 1940-an,
kromatografi mulai berkembang. Dasar kromatografi lapisan tipis (Thin Layer
Chromatography) diletakkan pada tahun 1938 oleh Izmailov dan Schreiber, dan
kemudian diperhalus oleh Stahl pada tahun 1958. Hasil karya yang baik sekali dari
Martin dan Synge pada tahun 1941 (untuk ini mereka memenangkan Nobel) tidak
hanya mengubah dengan cepat kromatografi cair tetapi seperangkat umum langkah
untuk pengembangan kromatografi gas dan kromatografi kertas. Pada tahun 1952
Martin dan James mempublikasikan makalah pertama mengenai kromatografi gas.
Diantara tahun 1952 dan akhir tahun 1960-an kromatografi gas dikembangkan
Kromatografi cair, dalam prakteknya ditampilkan dalam kolom gelas
berdiameter besar, dibawah kondisi atmosfer., waktu analisis lama dan segala
prosedur biasanya sangat membosankan. Pada akhir tahun 1960-an, semakin banyak
usaha dilakukan untuk pengembangan kromatografi cair sebagai suatu teknik dalam
mengimbangi kromatografi gas. High Performance Liquid Chromatography (HPLC)
atau Kromatografi Cair Kinerja Tinggi telah berhasil dikembangkan dari usaha ini.
Kemajuan keduanya dalam instrumentasi dan pengepakan kolom terjadi dengan cepat
sehingga sulit untuk mempertahankan suatu bentuk hasil keahlian dalam membuat
instrumentasi dan pengepakan kolom dalam keadaan tertentu. Tentu saja, saat ini
dengan teknik yang sudah matang dan cepat kromatografi cair kinerja tinggi telah
mencapai suatu keadaan yang sederajat dengan kromatografi gas.
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3616/1/farmasi-effendy2.pdf)
2.3.1 Kromatografi Gas (KG)
Kromatografi gas (KG) merupakan metode yang dinamis untuk pemisahan dan
deteksi senyawa-senyawa yang mudah menguap dalam suatu campuran. KG
merupakan teknik instrumental yang dikenalkan pertama kali pada tahun 1950-an, dan
saat ini merupakan alat utama yang digunakan oleh laboratorium untuk melakukan
analisis. Perkembangan teknologi yang signifikan dalam bidang elektronik, komputer,
dan kolom telah menghasilkan batas deteksi yang lebih rendah serta identifikasi
senyawa menjadi lebih akurat melalui teknik analisis dengan resolusi yang meningkat.
KG merupakan teknik analisis yang telah digunakan dalam bidang-bidang
Kegunaan umum KG adalah untuk melakukan pemisahan dinamis dan
identifikasi semua jenis senyawa organik yang mudah menguap dan juga melakukan
analisis kualitatif dan kuantitatif senyawa dalam suatu campuran. KG dapat bersifat
destruktif dan dapat bersifat non-destruktif tergantung pada detektor yang digunakan.
KG dapat diotomatisasi untuk analisis sampel - sampel padat, cair, dan gas.
Sampel padat dapat diekstraksi atau dilarutkan dalam suatu pelarut sehingga dapat
diinjeksikan ke dalam sistem KG; demikian juga sampel gas dapat langsung diambil
dengan penyuntik (syringe) yang ketat terhadap gas.
KG merupakan teknik pemisahan dimana solut - solut yang mudah menguap,
dan stabil terhadap panas bermigrasi melalui kolom yang mengandung fase diam
dengan suatu kecepatan yang tergantung pada rasio distribusinya. Pada umumnya
solut akan terelusi berdasarkan pada peningkatan titik didihnya, kecuali jika ada
interaksi khusus antara solut dengan fase diam. Pemisahan pada kromatografi gas
didasarkan pada tititk didih suatu senyawa dikurangi dengan semua interaksi yang
mungkin terjadi antara solut dengan fase diam. Fase gerak yang merupakan gas akan
mengelusi solut dari ujung kolom lalu menghantarkannya ke detektor. Penggunaan
suhu yang meningkat (biasanya pada kisaran 50 - 350oC) bertujuan untuk menjamin
bahwa solut akan menguap dan karenanya akan cepat terelusi.
Ada dua jenis kromatografi gas, yaitu:
1. Kromatografi gas - cair (KGC)
Pada KGC ini, fase diam yang digunakan adalah cairan yang diikatkan pada suatu
pendukung sehingga solut akan terlarut dalam fase diam. Mekanismenya sorpsi-nya
2. Kromatografi gas - padat (KGP)
Pada KGP ini, digunakan fase diam padatan (kadang - kadang polimerik).
Mekanisme sorpsi-nya adalah adsorpsi.
2.3.2 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi atau KCKT atau biasa juga disebut HPLC (High
Performance Liquid Chromatography) dikembangkan pada akhit tahun 1960-an dan
awal tahun 1970-an. Saat ini, KCKT merupakan teknik pemisahan yang diterima
secara luas untuk analisis dan pemurnian senyawa tertentu dalam suatu sampel dalam
sejumlah bidang, antara lain seperti farmasi, lingkungan, bioteknologi, polimer, dan
industri - industri makanan. Beberapa perkembangan KCKT terbaru antara lain
miniturisasi sistem KCKT, penggunaan KCKT untuk analisis asam-asam nukleat,
analisis protein, analisis karbohidrat, dan analisis senyawa - senyawa kiral.
Kegunaan umum KCKT adalah untuk pemisahan sejumlah senyawa organik,
anorganik, maupun senyawa biologis; analisis ketidakmurnian (impurities); analisis
senyawa - senyawa tidak mudah menguap (non - volatil); penentuan molekul -
molekul netral, ionik, maupun zwitter ion; isolasi dan pemurnian senyawa; pemisahan
senyawa - senyawa yang strukturnya hampir sama; pemisahan senyawa - senyawa
dalam jumlah sekelumit (trace elements), dalam jumlah banyak, dan dalam skala
proses industri. KCKT merupakan metode yang tidak destruktif dan dapat digunakan
baik untuk analisa kualitatif maupun kuantitatif.
KCKT paling sering digunakan untuk menetapkan kadar senyawa - senyawa
tertentu seperti asam-asam amino, asam - asam nukleat, dan protein - protein dalam
fisiologis; menentukan kadar senyawa - senyawa aktif obat, produk hasil samping
sampel - sampel yang berasal dari lingkungan; memurnikan senyawa dalam suatu
campuran; memisahkan polimer dan menentukan distribusi berat molekulnya dalam
suatu campuran; kontrol kualitas; dan mengikuti jalannya reaksi sintesis.
Keterbatasan metode KCKT adalah untuk identifikasi senyawa, kecuali jika
KCKT dihubungkan dengan spektrometer massa (MS). Keterbatasan lainnya adalah
jika sampelnya sangat kompleks, maka resolusi yang baik sulit diperoleh. (Rohman,