• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dr Fajar Laksono Suroso Makalah MK DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT ADAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Dr Fajar Laksono Suroso Makalah MK DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT ADAT"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1 MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PERLINDUNGAN

HAK KONSTITUSIONAL MASYARAKAT HUKUM ADAT1

Dr. Fajar Laksono Suroso2

Pendahuluan

Menurut Pasal 24C UUD 1945, terdapat lima kewenangan limitatif

Mahkamah Konstitusi (MK), yaitu (1) menguji Undang-undang terhadap

Undang-Undang Dasar; (2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara

yang kewenangannya diberikan oleh UUD; (3) memutus pembubaran partai

politik; dan (4) memutus perselisihan hasil tentang Pemilihan Umum. Di

samping itu, MK juga berwenang memutus pendapat DPR tentang dugaan

pelanggaran hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai salah satu

tahapan yang harus dilalui dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau

Wakil Presiden dalam masa jabatannya.

Melalui kewenangan tersebut, MK bertindak sebagai the guardian of

the constitutions. Salah satu substansi terpenting dalam konstitusi adalah

jaminan perlindungan, pemenuhan, dan pemajuan hak asasi manusia.

Konstitusi sebagai landasan utama pengaturan kehidupan berbangsa dan

bernegara lahir dari faham konstitusionalisme, yaitu faham mengenai

pembatasan kekuasaan dan jaminan HAM melalui konstitusi. Bahkan,

konstitusi harus selalu berbasis HAM (constitution based upon human

rights). Sebagai the guardian of the constitutions itulah, MK menjalankan

pula fungsi sebagai the protector of human rights and citizen’s constitutional

rights. Dalam kerangka fungsi tersebut, tulisan ini menitikberatkan pada

peran MK dan implikasi putusan MK dalam kaitannya dengan perlindungan

hak konstitusional masyarakat hukum adat.

Hak Konstitusional Masyarakat Adat

1 Disampaikan pada Seminar Nasional “Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat” yang diselenggarakan atas kerjasama Mahkamah Konstitusi dengan Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda, 28 September 2017.

(2)

2 Hak konstitusional warga negara sering disebut sebagai hak asasi

manusia yang mendapatkan jaminan dalam konstitusi negara. Suatu hak

dinyatakan sebagai hak konstitusional jika (1) merepresentasikan ideologi

negara; (2) mengikat semua cabang kekuasaan; dan (3) mengekspresikan

tujuan dari nilai dan tata hukum nasional.3

Pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat adat

diatur sejak sebelum perubahan UUD 1945. Dalam Penjelasan Pasal 18 UUD

1945 dijelaskan bahwa terdapat sekitar 250 zelfbesturende landschappen dan

volksgemeenschappen, seperti marga, desa, dan negeri.4 Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat sebelum perubahan UUD 1945, juga terdapat dalam

berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu Ketetapan MPR RI Nomor

XVII/MPR/1998, UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pengaturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria, UU Nomor 11 Tahun 1966 tentang Pertambangan, dan UU

Nomor 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan.

Sesudah perubahan UUD 1945, pengakuan dan penghormatan

terhadap kesatuan masyarakat hukum adat diatur selanjutnya dalam Pasal

18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) Perubahan Kedua UUD 1945, yang

mengatur sebagai berikut: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya

sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan

prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam

undang-undang.”

Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat sesudah perubahan UUD

1945 juga terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara

lain UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 39 Tahun 1999

tentang HAM, UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No.

31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Ada juga UU Nomor 11

Tahun 2013 tentang Ratifikasi Pengesahan Protokol Nagoya tentang Akses

pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan

Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya. Di dalam Undang-Undang

3Robert Alexy, A Theory of Constitutional Rights, (Oxford: Oxford University Press, 2004), hal.xix.

(3)

3 tersebut, masyarakat adat sebagai pengampu pengetahuan tradisional yang

terkait dengan sumber daya genetik diberikan pengakuan hak untuk

mendapatkan pembagian keuntungan dari pemanfaatan pengetahuan

tradisional yang terkait dengan sumber daya genetik. Pun demikian pada level

pemerintahan daerah, terdapat berbagai peraturan daerah (Perda) dan

keputusan kepala daerah yang mengakui keberadaan desa adat.5

Pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dalam UUD

1945 dan menyebabkan salah satu syarat formal permohonan pengujian UU

adalah kesatuan masyarakat hukum adat dengan berbagai kualifikasi yang

telah diatur dalam UUD, yaitu:6 (1) sepanjang masih hidup; (2) sesuai dengan

perkembangan masyarakat; dan (3) sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Berdasarkan Pasal 3

UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, terdapat beberapa

persyaratan masyarakat hukum adat yang diakui oleh negara, yaitu:7 (1)

sepanjang menurut kenyataan masih ada; (2) sesuai dengan kepentingan

nasional, dan (3) tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Ketentuan Pasal 67 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengatur

bahwa masyarakat hukum adat diakui keberadaannya jika menurut

kenyataannya memenuhi unsur antara lain:8 (1) masyarakatnya masih dalam

Memberdayakan Desa Naskah Akademik Pokok-Pokok Pikiran Pembentukan Undang-Undang tentang Desa, , (Jakarta: DRSP-USAID, 2009),hal. 37.

6Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945

7Dalam Pasal 3 UU Nomor 5 Tahun 1960 diatur serbagai berikut: “...pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyatanya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”

8 Dalam Pasal 67 UU Nomor 41 Tahun 1999 diatur serbagai berikut:

(1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak:

a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;

b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan

c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.

(4)

4

bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap); (2) ada kelembagaan dalam bentuk

perangkat penguasa adatnya; (3) ada wilayah hukum adat yang jelas; dan (4)

memiliki pranata.

Mengingat ketentuan Pasal 18B UUD 1945 mengenai kesatuan

masyarakat hukum adat masih sangat umum, maka MK melalui Putusan

Nomor 31/PUU-V/2007 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun

2007 tentang Pembentukan Kota Tual, memperjelas kualifikasi dari

masyarakat hukum adat berdasarkan Pasal 18B UUD 1945. Dalam Putusan

tersebut, MK berpendapat bahwa suatu kesatuan masyarakat hukum adat

dapat dikatakan secara de facto masih hidup (actual existence), baik yang

bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional

setidak-tidaknya mengandung unsur-unsur9 (1) adanya masyarakat yang warganya

memiliki perasaan kelompok (in-group feeling); (2) adanya pranata

pemerintahan adat; (3) adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat;

dan (4) adanya perangkat norma hukum adat; serta (5) khusus pada kesatuan

masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial, harus memiliki unsur adanya

wilayah tertentu. Jika salah satu unsur tidak terpenuhi, maka kesatuan

masyarakat hukum adat dinyatakan tidak ada lagi dan tidak dapat dihidupkan

kembali. Pertimbangan hukum Putusan MK tersebut wajib dijadikan

pedoman bagi masyarakat hukum adat manakala hendak mengajukan perkara

pengujian undang-undang ke MK.

Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya

dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat apabila kesatuan

masyarakat hukum adat tersebut: 10 (1) keberadaannya telah diakui

berdasarkan UU yang berlaku sebagai pencerminan perkembangan nilai-nilai

yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini, baik UU yang bersifat

umum maupun bersifat sektoral, seperti bidang agraria, kehutanan,

perikanan, dan lain-lain maupun dalam peraturan daerah, dan (2) substansi

hak-hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan

masyarakat yang bersangkutan maupun masyarakat yang lebih luas, serta

tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia. Kesatuan masyarakat

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.”

(5)

5 hukum adat tersebut tidak mengganggu eksistensi Negara Kesatuan RI

sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan hukum yaitu jika: 11 (1)

keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan

RI, dan (2) substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan.

Pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat mengandung

empat konsekuensi. Pertama, suatu kesatuan masyarakat, diakui sebagai

kesatuan masyarakat hukum sehingga dapat bertindak sebagai subyek hukum

yang berbeda dengan individu-individu anggotanya. Status ini menempatkan

kesatuan masyarakat hukum adat sebagai subyek hukum yang sejajar dengan

subyek hukum lain, baik orang maupun badan hukum (publik maupun

privat). Dengan demikian terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dapat

dilekatkan hak dan kewajiban, serta dapat melakukan tindakan hukum

sebagai satu kesatuan. Masyarakat hukum adat dapat memiliki hak

kepemilikan tertentu, seperti atas luas tanah tertentu atau wilayah tertentu

(hak ulayat), serta memiliki kewajiban hukum akibat dari tindakan yang

dilakukan.

Kedua, pengakuan negara terhadap hak dan kewajiban serta kepemilikan kesatuan masyarakat hukum adat. Dengan sendirinya negara

tidak dapat secara sewenang-wenang mencabut atau melanggar hak

kepemilikan atau penguasaan tertentu dari masyarakat hukum adat, bahkan

jika itu untuk kepentingan pembangunan.

Ketiga, pada saat terdapat pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat, maka dengan sendirinya negara mengakui sistem hukum yang

membentuk dan menjadikan kesatuan masyarakat itu sebagai kesatuan

masyarakat hukum. Hal ini sama halnya dengan negara pada saat mengakui

suatu korporasi sebagai badan hukum, maka negara mengakui seperangkat

aturan hukum korporasi yang dibuat dan mengatur korporasi itu sendiri.

Dengan demikian, pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat

juga meliputi dan secara langsung merupakan pengakuan negara terhadap

eksistensi hukum adat yang dibentuk, berkembang, dan berlaku pada

masyarakat tersebut.Konsekuensi dari pengakuan ini adalah hukum adat

(6)

6 ditempatkan sebagai bagian dari sistem hukum nasional yang harus dibina

dan ditegakkan.

Keempat, pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat juga dengan sendirinya berarti pengakuan terhadap struktur dan tata

pemerintahan yang dibentuk berdasarkan norma hukum tata negara adat

setempat. Hal ini berarti negara tidak dapat begitu saja memaksakan suatu

struktur pemerintahan yang berlaku secara seragam di seluruh wilayah

Indonesia jika memang di dalam kesatuan masyarakat hukum adat itu

memiliki struktur tersendiri. Hal inilah yang dalam konteks pemerintahan

daerah melahirkan status daerah istimewa dan daerah yang bersifat khusus.

Putusan MK terkait Perlindungan Masyarakat Adat

Walaupun telah diakomodir ke dalam berbagai peraturan

perundang-undangan, bukan berarti tidak terdapat persoalan terkait dengan pengakuan,

penghormatan, dan perlindungan masyarakat hukum adat. Bahkan,

terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat hukum adat lebih

cenderung terjadi pada level undang-undang. Artinya, keberlakuan norma

dalam undang-undang tertrentu justru melanggar hak konstitusional

masyarakat hukum adat. Dalam sudut pandang tertentu, pengaturan negara

melalui Undang-Undang dikatakan sebagai bentuk pembatasan Negara

terhadap hak-hak masyarakat hukum adat. Terhadap kemungkinan tersebut,

UUD 1945 telah menyediakan pranata konstitusional untuk memulihkan

hak-hak masyarakat hukum adat yang terlanggar undang-undang, yaitu melalui

mekanisme pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 di MK.

Sebagai lembaga pengawal Undang-Undang Dasar, maka MK

berkewajiban untuk turut menjaga, melindungi, dan memulihkan hak-hak

sosial, khususnya masyarakat hukum adat. Melalui putusan-putusannya, MK

membuktikan bahwa segala upaya dan tindakan yang mengabaikan atau

merugikan hak sosial masyarakat hukum adat tidaklah dapat dibenarkan.

Dalam kurun waktu 14 tahun terakhir, MK telah memutus perkara yang

terkait dengan perlindungan terhadap hak konstitusional masyarakat hukum

adat.

Hal itu dapat dijumpai antara lain dalam Putusan Nomor

(7)

7 tentang Perkebunan. Melalui putusan tersebut, MK membatalkan ketentuan

Pasal 21 dan Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Perkebunan

karena ketentuan-ketentuan tersebut dianggap menguntungkan pengusaha

atau perusahaan perkebunan, tetapi mengabaikan hak-hak masyarakat lokal

dan masyarakat adat sebagai pemilik ulayat atas tanah. Dengan putusan MK

tersebut, masyarakat lokal dan masyarakat hukum adat di seluruh Indonesia

memiliki landasan kuat untuk memperjuangkan hak konstitusional yang

selama ini dilanggar oleh perusahaan-perusahaan perkebunan, melalui

legislasi dan dukungan aparat negara.

Berikutnya, melalui Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 dalam

Pengujian UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir

dan Pulau-Pulau Kecil, MK membatalkan ketentuan-ketentuan yang

berhubungan dengan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3). Dalam

pertimbangannya, MK menyatakan bahwa HP-3 potensial mengakibatkan

hilangnya hak-hak masyarakat adat yang bersifat turun temurun. Padahal,

hak-hak tersebut mempunyai karakteristik tidak dapat dihilangkan selama

masyarakat adat itu masih ada. Melalui putusan ini, pengelolaan wilayah

perairan pesisir dan pulau-pulau kecil tidak boleh lagi meninggalkan

masyarakat pesisir, khususnya masyarakat adat yang sudah sejak dulu

mengelola perairan pesisir.

Dalam uraian argumentasi hukum putusan itu, ada sejumlah hal

menarik yang perlu dikemukakan dan dapat dijadikan rujukan hukum guna

memberikan proteksi hak tradisional masyarakat pesisir akan

hak-haknya12. Pertama, ditegaskan bahwa wilayah perairan pesisir dan

pulau-pulau kecil serta sumber-sumber kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya merupakan wilayah dan sumber kekayaan alam yang dikuasai oleh

negara. Merujuk pada Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, Bumi dan air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka sebesar-besar

kemakmuran rakyat itulah yang menjadi ukuran utama bagi negara dalam

12 Arief Hidayat, Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Pesisir

(8)

8 menentukan pengurusan, pengaturan atau pengelolaan atas bumi, air, dan

kekayaan alam yang terkandung dan berada di wilayah pesisir.

Kedua, ada pengakuan bahwa di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

telah terdapat hak-hak perseorangan, hak masyarakat adat serta hak

masyarakat nelayan tradisional, hak badan usaha, atau hak masyarakat

lainnya serta berlakunya kearifan lokal, yaitu nilai-nilai luhur yang masih

berlaku dalam tata kehidupan masyarakat. Untuk itu, penguasaan oleh negara

atas wilayah pesisir harus memperhatikan hak-hak yang telah ada itu.

Ketiga, mengingat kebebasan negara untuk mengatur dan membuat

kebijakan atas wilayah pesisirdibatasi dengan ukuran “untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat”, maka MK memberi rambu-rambu untuk memastikan apakah pengaturan yang dilakukan oleh negara akan memberikan

sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ada empat tolok ukur sebagai

rambu-rambu, yaitu: (i) kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat, (ii) tingkat

pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat, (iii) tingkat partisipasi

rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam, serta (iv)

penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam

memanfaatkan sumber daya alam. Jika tolok ukut itu tidak terpenuhi, maka

jelas, pengaturan demikian tidak ideal, merugikan pihak-pihak tertentu, dan

tentu saja inkonstitusional;

Keempat, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai

sumber daya ekonomi bagi kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia adalah

bagian dari penyelenggaraan ekonomi nasional harus memperhatikan amanat

dan semangat konstitusi. Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945

menyatakan “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas

demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,

berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga

keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

Merujuk pada ketentuan Pasal 33 Ayat (4), pemberian HP-3 yang

mengarah pada privatisasi pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir

kepada usaha perseorangan dan swasta, jelas merupakan pelanggaran prinsip

demokrasi ekonomi yang berdasar atas prinsip kebersamaan dan prinsip

efisiensi berkeadilan. Pengelolaan sumber daya alam selain harus melibatkan

(9)

9 secara berkeadilan. Wilayah pesisir tidak boleh dikuasai oleh

pihak-pihak yang potensial menegasikan hak masyarakat yang berdiam di

wilayah itu.

Kelima, ditegaskan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau

kecil harus bertujuan untuk: (i) melindungi, mengonservasi, merehabilitasi,

memanfaatkan, dan memperkaya sumber dayapesisir dan pulau-pulau kecil

serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan, (ii) menciptakan keharmonisan

dan sinergi antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dalam pengelolaan

sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil, serta (iii) memperkuat peran serta

masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat

dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil agar tercapai

keadilan, keseimbangan dan keberlanjutan.

Keenam, untuk menghindari pengalihan tanggung jawab penguasaan

negara atas pengelolaan perairan pesisir kepada pihak swasta, maka negara

dapat memberikan hak pengelolaan melalui mekanisme perizinan. Pemberian

izin tidak dapat diartikan mengurangi wewenang negara untuk membuat

kebijakan, melakukan pengaturan, melakukan pengurusan, melakukan

pengelolaan, dan melakukan pengawasan untuk tujuan sebesar-besar

kemakmuran rakyat. Negara harus tetap dimungkinkan menguasai dan

mengawasi secara utuh seluruh pengelolaan wilayah pesisir.

Selanjutnya, penegasan akan perlindungan terhadap masyarakat

hukum adat juga dapat ditemukan dalam putusan perkara pengujian

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Yang pertama, dalam Putusan Nomor 34/PUU-IX/2011, MK memutus konstitusional bersyarat Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang

Kehutanan. Putusan ini mengubah ketentuan Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan

menjadi: “Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui

keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan, serta tidak bertentangan dengan

kepentingan nasional”. Dengan kata lain, penguasaan atas kawasan hutan

dan berbagai bentuk pelaksanaan kewenangan pemerintah terhadap kawasan

hutan tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang sehingga menimbulkan

(10)

10 diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Putusan

ini menegaskan kembali penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak

tradisional masyarakat hukum adat yang telah tertuang dalam pasal tersebut,

ditambah dengan pengakuan akan hak-hak masyarakat yang diberikan

Undang-Undang seperti hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan

hak lain-lain atas tanah.

Yang kedua, melalui Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 tentang pengujian Undang-Undang Kehutanan. Putusan ini mengubah Pasal 1 angka

6 UU Kehutanan mengenai definisi hutan adat. Perubahan tersebut ialah:

Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.” MK menegaskan bahwa hutan adat bukan hutan negara. Hutan

berdasarkan statusnya dibedakan menjadi dua yaitu hutan negara dan hutan

hak. Adapun hutan hak dibedakan antara hutan adat (hak ulayat) dan hutan

perseorangan/badan hukum. Atas dasar itu, tidak dimungkinkan lagi hutan

hak berada dalam wilayah hutan negara. Atau sebaliknya, hutan negara dalam

wilayah hutan hak dan hutan hak ulayat dalam hutan negara. Ketiga status

hutan tersebut pada tingkatan tertinggi seluruhnya dikuasai oleh negara.

Melalui Putusan tersebut, MK mengharuskan pengaturan berbeda

antara hutan negara dan hutan adat. Terhadap hutan negara, negara memiliki

kewenangan penuh dalam peruntukan, pemanfaatan, dan hubungan hukum

di wilayah hutan negara. Sementara untuk hutan adat, wewenang negara

dibatasi sejauh isi wewenang yang tercakup dalam hutan adat yaitu hak ulayat

dalam satu kesatuan wilayah masyarakat hukum adat. Implikasinya,

pemerintah harus mengembalikan dan mengakui keberadaan hutan adat yang

selama ini telah terlanjut ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah sebagai

kawasan hutan.

Dengan demikian, masyarakat hukum adat mempunyai hak membuka

hutan ulayatnya untuk dikuasai dan diusahakan tanahnya bagi pemenuhan

kebutuhan pribadi dan keluarganya, karena tidak mungkin hak warga

masyarakat hukum adat itu ditiadakan. Namun demikian, bukan berarti

masyarakat adat dengan serta merta berhak mengelola hutannya tanpa aturan

pemerintah. Melalui putusan-putusan tersebut, kiranya dapat dipahami

bahwa dengan kewenangan yang dimiliki, MK tidak dapat membiarkan

(11)

11 Yang ketiga, Putusan Nomor 45/PUU-IX/2011. Putusan ini mengubah definisi kawasan hutan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 3 UU

Kehutanan. Perubahan bunyi Pasal tersebut adalah: “Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk

dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.” Perubahan tersebut

menyebabkan kawasan hutan yang hanya baru selesai ditunjuk tidak memiliki

legalitas sebagai kawasan hutan sampai selesai dilakukan seluruh tahapan

pengukuhan kawasan hutan. Putusan ini menghendaki Pemerintah segera

melakukan pengukuhan kawasan hutan dengan memperhatikan RTRW dan

pendapat masyarakat yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan.

Keempat, Putusan Nomor 95/PUU-XIII/2014 bertanggal 10 Desember 2015 dalam perkara pengujian UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Putusan ini dikatakan sebagai

pelengkap politik hukum perbaikan tata kelola hutan dan lahan dalam UU

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana dimuat pula dalam

Putusan MK terdahulu. Dalam putusan ini, Mahkamah Konstitusi

menyatakan inkonstitusional bersyarat Pasal 50 ayat (3) huruf e dan huruf i

UU Kehutanan sepanjang tidak dimaknai bahwa ketentuan dimaksud

dikecualikan terhadap masyarakat yang hidup secara turun-temurun di

dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.

Berdasarkan Putusan tersebut, Pasal 50 ayat (3) huruf e UU menjadi

berbunyi sebagai berikut: “Setiap orang dilarang: ... e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak

atau izin dari pejabat yang berwenang, dikecualikan terhadap masyarakat

yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk

kepentingan komersial. Sementara, Pasal 50 ayat (3) huruf i UU Kehutanan

menjadi, “Setiap orang dilarang: ... i. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut

oleh pejabat yang berwenang, dikecualikan terhadap masyarakat yang

hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk

kepentingan komersial”.

Hak konstitusional masyarakat hukum adat sangat terkait dengan

(12)

12 adat dilanggar, maka eksistensi masyarakat hukum adat itu terancam. Atau,

setidak-tidaknya akan membuat masyarakat hukum adat kehilangan hak

untuk hidup layak di republik ini.

Implikasi Putusan MK

Putusan MK pada dasarnya mencegah potensi atau memulihkan

kerugian yang dialami oleh masyarakat adat. Putusan MK menegaskan

kewajiban negara untuk menghormati (to respect) dan memenuhi (to fulfil)

hak konstitusional masyarakat adat. Hal itu merupakan kewajiban atas hasil

(obligation to result) dan bukan merupakan kewajiban untuk bertindak

(obligation to conduct). Kewajiban negara dalam arti “obligation to result”

telah dipenuhi apabila negara dengan itikad baik telah memanfaatkan sumber

daya maksimal yang tersedia (maximum available resources) dan telah

melakukan realisasi progresif (progressive realization).

Seiring dengan putusan-putusan tersebut, sekurang-kurangnya akan

timbul 2 (dua) kewajiban hukum utama negara. Kewajiban pertama

berkenaan dengan kewajiban negara untuk tidak melakukan pelanggaran

HAM, baik melalui tindakan maupun pendiaman termasuk menjamin

pemenuhan secara aktif hak-hak masyarakat hukum adat. Ini berarti negara

tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang merugikan hak masyarakat

adat dalam segala bidang, terutama yang paling sering terkait dengan

pengelolaan sumber daya alam. Negara tidak boleh diam saja ketika terjadi

pelanggaran oleh pihak ketiga terhadap masyarakat hukum adat. Kewajiban

kedua berkenaan dengan kewajiban negara melakukan upaya-upaya untuk

mencegah terjadinya pelanggaran, menyelidiki bila pelanggaran itu terjadi,

melakukan proses hukum kepada pelaku pelanggaran, serta melakukan

reparasi atas kerugian yang timbul.

Pada konteks inilah, melalui Putusan MK sebagaimana yang saya

kemukakan, selain melindungi hak konstitusional masyarakat adat, MK juga

sesuai dengan kewenangannya berkontribusi mengarahkan dan mengontrol

negara agar tidak menghindar dari kewajibannya untuk memberikan jaminan

perlindungan hak-hak konstitusional masyarakat hukum adat. Sebab pada

dasarnya, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak konstitusional tersebut

(13)

13 Untuk diketahui, UUD 1945 tidak membedakan hak konstitusional

warga negara berdasarkan perbedaan jenis kelamin, suku bangsa, apalagi

kondisi geografis. Hal itu dapat dilihat dari perumusannya dalam UUD

1945!yang menggunakan frasa “setiap orang”, “segala warga negara”, “tiap

-tiap warga negara”, atau ‘se-tiap warga negara”. Artinya, hak konstitusional

warga negara siapapun dia dan dimanapun dia berada di republik ini

sama-sama wajib dipenuhi oleh negara. Sepanjang ia adalah Warga Negara

Indonesia yang tinggal di semua wilayah republik ini, termasuk masyarakat

hukum adat, hak konstitusionalnya wajib dilindungi dan dipenuhi. Dalam hal

ini, pemenuhannya merupakan kewajiban negara in casu Pemerintah.

Kewajiban negara itu merupakan amanat UUD 1945. Oleh karenanya,

pelaksanaan amanat ketentuan UUD 1945 tidak boleh ditunda-tunda. UUD

1945 harus bekerja sebagai hukum tertinggi. Oleh karenanya, semua

peraturan perundang-undangan dan tindakan pemerintah harus

menyesuaikan diri kepadanya. Tegasnya, negara tidak dapat menegasi

ketentuan UUD, termasuk yang tercermin dalam Putusan MK.

Referensi

Dokumen terkait

Agni Prasetya Tartib, 2013, Pengaruh Lingkungan Kerja dan Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Guru pada SMP Pasundan 6 Bandung dan SMK Pasundan 3 Bandung , Jurnal Unikom

Inventarisasi dan Identifikasi Hutan Mangrove di Taman Nasional Way Kambas (TNWK) Provinsi Lampung. Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, Bandar Lampung. Pertumbuhan

[r]

Sejarah berdirinya negara Iran dan sistem politik kekuasaan Iran hampir seperti sistem monarki mulai dari Persia, dinasti Safawiyah hingga rezim Qajar, kemudian berlanjut

rendah (ketinggian bangunan sampai dengan 12 meter) di lokasi sesuai dengan fungsi jalan lokal/lingkungan, Pelaku pembangunan wajib menyediakan lahan pada lahan

Saya bersedia menjadi responden dalam penelitian yang dilakukan oleh Mahasiswi Jurusan Kebidanan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar yang

Dari data yang di dapat pada Bagian Kemahasiswaan Fakultas Hukum Universitas Lampung diperoleh data yang mendapatkan SK Dekan tentang sanksi akademik pada sebelum

 Peserta didik mengerjakan beberapa soal dari - dalam buku paket mengenai penentuan koefisien, variabel, konstanta, suku sejenis, dan derajat dari bentuk aljabar, penentuan