• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH FREKUENSI, LAMA DAN KETERATURAN TERAPI PANAS DAN DINGIN TERHADAP KELUHAN NYERI PENDERITA OSTEOARTRITIS LUTUT : Studi di Instalasi Rehabilitasi Medik RSU Dr. Soetomo, Surabaya Repository - UNAIR REPOSITORY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENGARUH FREKUENSI, LAMA DAN KETERATURAN TERAPI PANAS DAN DINGIN TERHADAP KELUHAN NYERI PENDERITA OSTEOARTRITIS LUTUT : Studi di Instalasi Rehabilitasi Medik RSU Dr. Soetomo, Surabaya Repository - UNAIR REPOSITORY"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PENGARUH FREKUENSI, LAMA DAN KETERATURAN

TERAPI PANAS DAN DINGIN TERHADAP KELUHAN

NYERI PENDERITA OSTEOARTRITIS LUTUT

(Studi di Instalasi Rehabilitasi Medik RSU Dr. Soetomo, Surabaya)

Oleh :

YULIANA IKA SAVITRI

NIM. 100431563

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS AIRLANGGA

(2)

PENGESAHAN

Dipertahankan didepan Tim Penguji Skripsi

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga dan diterima untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar

Sarjana Kesehatan Masyarakat (S.KM) Pada tanggal, 3 Juli 2006

Mengesahkan Universitas Airlangga Fakultas Kesehatan Masyarakat

Dekan,

Prof. Dr. H. Tjipto Suwandi, dr., M.OH, Sp.OK

NIP. 130 517 177

Tim Penguji :

1. Prof. Dr. H. Tjipto Suwandi, dr., M.OH, Sp.OK

2.Fariani Syahrul, S.KM, M.Kes

(3)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (S.KM)

Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Airlangga

Oleh :

YULIANA IKA SAVITRI

NIM. 100431563

Surabaya, Juli 2006

Mengetahui, Menyetujui,

Ketua Bagian Epidemiologi Pembimbing

Dr. Chatarina U.W., dr., M.S, M.PH Fariani Syahrul, S.KM, M.Kes

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan

karunia-Nya sehingga dapat terselesaikannya skripsi dengan judul ”PENGARUH

FREKUENSI, LAMA DAN KETERATURAN TERAPI PANAS DAN DINGIN

TERHADAP KELUHAN NYERI PENDERITA OSTEOARTRITIS LUTUT

(Studi di Instalasi Rehabilitasi Medik RSU Dr. Soetomo, Surabaya)” sebagai

salah satu persyaratan akademis dalam rangka menyelesaikan kuliah di Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.

Skripsi ini menyajikan tentang upaya penanganan osteoartritis sendi lutut

dengan menggunakan modalitas fisik berupa terapi panas dan terapi dingin

dengan melihat pengaruh frekuensi, lama dan keteraturan mengikuti terapi

tersebut terhadap keluhan nyeri sehingga nantinya dapat menjadi bahan

pertimbangan bagi instalasi rehabilitasi medik dalam memilih terapi modalitas

fisik yang lebih bermanfaat untuk penderita osteoartritis lutut khususnya di

wilayah Surabaya.

Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan

yang setinggi-tingginya kepada ibu Fariani Syahrul, S.KM, M.Kes, selaku dosen

pembimbing yang telah memberikan petunjuk, koreksi serta saran hingga

(5)

Terima kasih dan penghargaan kami sampaikan pula kepada yang

terhormat :

1. Prof. Dr. H. Tjipto Suwandi, dr., M.OH, Sp.OK, selaku Dekan Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya

2. Dr. Chatarina U.W., dr., M.S, M.PH, selaku Ketua Bagian Epidemiologi

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya

3. Semua Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga

Surabaya yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang dapat menjadi

acuan dalam penulisan skripsi ini

4. S.M. Mei Wulan, dr., Sp.RM, selaku Kepala Instalasi Rehabilitasi Medik

RSU Dr. Soetomo Surabaya

5. Bapak / Ibu pegawai di Instalasi Rehabilitasi Medik RSU Dr. Soetomo

Surabaya, yang dengan caranya masing–masing telah membantu dalam

menyusun skripsi ini

6. Para responden yang telah meluangkan waktu untuk diwawancarai

7. Keluargaku tercinta, khususnya kepada Bapak dan Ibu, serta Adik-adikku

Wawan dan Kiki, terima kasih atas do’a, kepercayaan dan kasih sayangnya

selama ini

8. Rekan-rekan mahasiswa non reguler sore yang telah membantu dan

memberikan motivasi dalam menyusun skripsi ini

9. Keluarga Mulyorejo Utara 37 (kos pink), Dina, Eva, Ulul, Nur, Yophie, Via,

dan Sari, all of you have been take care of me very well

10.Semua pihak yang peranannya sangat berarti yang tidak dapat kami sebutkan

(6)

Semoga Tuhan memberikan balasan pahala atas segala amal yang telah

diberikan dan semoga skripsi ini dapat berguna baik bagi diri kami maupun pihak

lain yang memanfaatkan.

Surabaya, Juli 2006

(7)

ABSTRACT

Osteoarthritis of knee joint is a degenerative disease which is growing to be a health problem of community. This disease can cause a physical complaint; from impairment level (particularly pain), or disability as the impact of daily activity limitation, until handicap level when the patient can’t adapt their environment. Pain is the main reason making knee joint osteoarthritis patient take medication. The main pain relief is medical rehabilitation (third prevention) such as physical modality consisting of hot or cold therapy.

The aim of this study is to analyze the effect of frequency, duration, and regularity of therapy to knee joint osteoarthritis patient pain complaint with hot and cold therapy. It is expected that the patient will be motivated by the results of this analysis to join medical rehabilitation.

The design is cross sectional. The amount of sample is 78 respondents. Respondent and pain characteristic are analyzed descriptively. To evaluate the presence of pain relief before and after therapy, Wilcoxon Signed Ranks Test is used, and the next step is Ordinal Regression testing to evaluate the influence of studied variables.

Most respondent 37,2% are 45-54 year old, 91% are women, 35,9% are junior high school as level of graduate, and 56,4% are housewives.

The result of Wilcoxon Signed Ranks Test is there is difference of knee joint pain complain before and after therapy, whether in hot therapy (2-tailed = 0,000) or cold therapy (2-tailed = 0,000).

It is resulted from ordinal regression that frequency (sig. = 0,141 and 0,814) and duration of therapy (sig. = 0,479) have no effect to the pain relief in patients with hot therapy, but regularity (sig. = 0,000) does. Duration (sig. = 0,895) has no effect to pain relief in patients with cold therapy but frequency (sig. = 0,000) and regularity (sig. = 0,002) has.

The conclusion is that frequency and regularity of therapy have effect to knee joint patient pain complaint. They are suggested to follow the therapy with frequency and regularity suggested by doctor.

Keyword : osteoarthritis of knee,pain, frequency, duration, regularity of therapy.

(8)

ABSTRAK

Osteoartritis sendi lutut merupakan salah satu penyakit degeneratif yang berkembang menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan fisik baik dari tingkat impairment (terutama keluhan nyeri), tingkat disability sebagai akibat terganggunya kemampuan aktivitas hidup sehari-hari dan tingkat handicaps dimana penderita tidak bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Nyeri adalah alasan utama yang mendorong penderita osteoartritis lutut untuk mencari pengobatan. Pengurangan nyeri terutama adalah melalui rehabilitasi medik (pencegahan tersier) berupa modalitas fisik, salah satunya adalah terapi panas dan terapi dingin.

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pengaruh frekuensi, lama dan keteraturan mengikuti terapi terhadap keluhan nyeri pada penderita osteoartritis lutut dengan terapi panas dan terapi dingin. Diharapkan dengan dianalisisnya hal-hal tersebut dapat memotivasi penderita osteoartritis lutut untuk mengikuti rehabilitasi medik.

Rancang bangun penelitian ini adalah cross sectional. Besar sampel adalah 78 responden. Untuk karakteristik responden dan karakteristik nyeri dianalisis secara deskriptif. Untuk melihat ada tidaknya pengurangan keluhan nyeri sendi lutut sebelum dan sesudah mengikuti terapi panas dan terapi dingin digunakan uji Wilcoxon Signed Ranks Test, kemudian untuk melihat ada tidaknya pengaruh dari variabel-variabel yang diteliti dilakukan uji Regresi Ordinal.

Sebagian besar responden berumur 45-54 tahun (37,2%), berjenis kelamin wanita (91%), mempunyai tingkat pendidikan SMP (35,9%), dan bekerja sebagai ibu rumah tangga (56,4%).

Setelah diuji dengan Wilcoxon Signed Ranks Test, didapatkan perbedaan keluhan nyeri lutut antara sebelum dan sesudah mengikuti terapi, baik pada penderita osteoartritis lutut dengan terapi panas (2-tailed = 0,000) maupun dengan terapi dingin (2-tailed = 0,000).

Hasil Regresi Ordinal menunjukkan pada penderita osteoartritis dengan terapi panas, frekuensi (sig. = 0,141 dan 0,814) dan lama (sig. = 0,479) mengikuti terapi tidak berpengaruh terhadap keluhan nyeri, sedangkan keteraturan mengikuti terapi (sig. = 0,000) berpengaruh terhadap keluhan nyeri. Pada penderita osteoartritis dengan terapi dingin, lama mengikuti terapi (sig. = 0,895) tidak berpengaruh terhadap keluhan nyeri, sedangkan frekuensi (sig. = 0,000) dan keteraturan (sig. = 0,002) mengikuti terapi berpengaruh terhadap keluhan nyeri.

Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan frekuensi dan keteraturan mengikuti terapi berpengaruh terhadap keluhan nyeri pada penderita osteoartritis lutut. Pada penderita osteoartritis lutut disarankan untuk mengikuti terapi sesuai dengan frekuensi dan keteraturan yang dianjurkan oleh dokter.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ...i

HALAMAN PENGESAHAN ...ii

HALAMAN PERSETUJUAN ...iii

KATA PENGANTAR ...iv

ABSTRACT ...vii

ABSTRAK ...viii

DAFTAR ISI ...ix

DAFTAR TABEL ...xiii

DAFTAR GAMBAR ...xvi

DAFTAR LAMPIRAN ...xvii

DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN DAN KATA-KATA ASING ...xviii

BAB I PENDAHULUAN ...1

I.1 Latar Belakang ...1

I.2 Identifikasi Masalah ...4

I.3 Pembatasan dan Perumusan Masalah ...5

BAB II TUJUAN DAN MANFAAT ...6

II.1 Tujuan Penelitian ...6

II.1.1 Tujuan Umum ...6

II.1.2 Tujuan Khusus ...6

II.2 Manfaat Penelitian ...7

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ...8

III.1 Osteoartritis ...8

III.1.1 Definisi Osteoartritis ...8

III.1.2 Klasifikasi Osteoartritis ...8

III.1.3 Faktor Risiko Osteoartritis ...9

III.1.4 Gejala Klinis Osteoartritis ...10

III.1.5 Diagnosis Osteoartritis ...11

III.2 Nyeri ...13

(10)

III.2.2 Klasifikasi Nyeri ...14

III.2.3 Perjalanan Impuls Nyeri ...14

III.2.4 Faktor Penghebat Rasa Nyeri ...16

III.2.5 Skala Pengukuran Nyeri ...16

III.3 Nyeri pada Osteoartritis Lutut ...16

III.4 Penatalaksanaan Osteoartritis Lutut ...17

BAB IV KERANGKA KONSEPTUAL ...36

BAB V METODE PENELITIAN ...38

V.1 Jenis dan Rancang Bangun Penelitian ...38

V.2 Populasi Penelitian ...38

V.3 Sampel, Besar Sampel, Cara Penentuan Sampel dan Cara Pengambilan Sampel ...38

V.3.1 Sampel Penelitian ...38

V.3.2 Besar Sampel ...39

V.3.3 Pengambilan Sampel ...39

V.4 Lokasi dan Waktu Penelitian ...40

V.5 Variabel, Definisi Operasional dan Cara Pengukuran ...40

V.5.1 Variabel ...40

V.5.2 Definisi Operasional dan Cara Pengukuran ...40

V.6 Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data ...41

V.6.1 Data Primer ...41

V.6.2 Data Sekunder ...42

V.7 Pengolahan dan Analisis Data ...42

V.7.1 Pengolahan Data ...42

V.7.2 Analisis Data ...42

BAB VI HASIL PENELITIAN ...43

VI.1 Gambaran Lokasi Penelitian ...43

VI.2 Karakteristik Responden...44

VI.2.1 Umur Responden ...44

VI.2.2 Jenis Kelamin Responden...44

VI.2.3 Tingkat Pendidikan Responden ...45

(11)

VI.3 Riwayat Penyakit ...46

VI.3.1 Jenis Osteoartritis Lutut ...46

VI.3.2 Awal Diagnosis Osteoartritis Lutut ...47

VI.3.3 Jenis Penyakit Selain Osteoartritis Lutut ...47

VI.4 Program Rehabilitasi Medik ...48

VI.4.1 Sumber Informasi Responden Mengetahui Rehabilitasi Medik ...48

VI.4.2 Pihak yang Menganjurkan Responden Mengikuti Rehabilitasi Medik ...48

VI.5 Karakteristik Nyeri ...49

VI.5.1 Awal Nyeri Lutut ...49

VI.5.2 Waktu Nyeri Lutut ...49

VI.5.3 Frekuensi Serangan Nyeri ...50

VI.5.4 Pengaruh Nyeri Terhadap Aktivitas ...51

VI.5.5 Pengaruh Istirahat Terhadap Nyeri ...51

VI.5.6 Pengaruh Aktivitas Terhadap Nyeri ...52

VI.6 Analisis Keluhan Nyeri Sebelum dan Sesudah Mengikuti Terapi Panas ...53

VI.7 Analisis Keluhan Nyeri Sebelum dan Sesudah Mengikuti Terapi Dingin ...54

VI.8 Frekuensi Mengikuti Terapi...55

VI.8.1 Pengaruh Frekuensi Mengikuti Terapi Panas Terhadap Keluhan Nyeri ...55

VI.8.2 Pengaruh Frekuensi Mengikuti Terapi Dingin Terhadap Keluhan Nyeri ...56

VI.9 Lama Mengikuti Terapi ...56

VI.9.1 Pengaruh Lama Mengikuti Terapi Panas Terhadap Keluhan Nyeri ...57

VI.9.2 Pengaruh Lama Mengikuti Terapi Dingin Terhadap Keluhan Nyeri ...58

(12)

VI.10.1 Pengaruh Keteraturan Mengikuti Terapi Panas Terhadap

Keluhan Nyeri ...59

VI.10.2 Pengaruh Keteraturan Mengikuti Terapi Dingin Terhadap Keluhan Nyeri ...59

VI.11 Rekapitulasi Hasil Penelitian ...60

BAB VII PEMBAHASAN ...62

VII.1 Karakteristik Responden ...62

VII.1.1 Umur Responden...62

VII.1.2 Jenis Kelamin Responden ...62

VII.1.3 Tingkat Pendidikan dan Jenis Pekerjaan Responden ...63

VII.2 Riwayat Penyakit ...64

VII.2.1 Jenis Osteoartritis Lutut ...64

VII.2.2 Jenis Penyakit Selain Osteoartritis Lutut ...64

VII.3 Program Rehabilitasi Medik ...65

VII.4 Karakteristik Nyeri ...66

VII.4.1 Awal Nyeri Lutut ...66

VII.4.2 Waktu Nyeri Lutut ...67

VII.4.3 Frekuensi Serangan Nyeri ...67

VII.4.4 Pengaruh Istirahat dan Aktivitas Terhadap Nyeri ...68

VII.5 Analisis Keluhan Nyeri Sebelum dan Sesudah Mengikuti Terapi Panas dan Terapi Dingin ...69

VII.6 Analisis Pengaruh Frekuensi Mengikuti Terapi Panas dan Terapi Dingin Terhadap Keluhan Nyeri ...70

VII.7 Analisis Pengaruh Lama Mengikuti Terapi Panas dan Terapi Dingin Terhadap Keluhan Nyeri...71

VII.8 Analisis Pengaruh Keteraturan Mengikuti Terapi Panas dan Terapi Dingin Terhadap Keluhan Nyeri ...72

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN ...73

VIII.1 Kesimpulan ...73

VIII.2 Saran ...74

DAFTAR PUSTAKA ...75

(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Tabel Halaman

Tabel V.1 Definisi Operasional dan Cara Pengukuran ...40

Tabel VI.1 Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur di IRM RSU

Dr. Soetomo Surabaya pada Bulan Maret – Mei 2006 ...44

Tabel VI.2 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di IRM RSU Dr.

Soetomo Surabaya pada Bulan Maret – Mei 2006 ...45

Tabel VI.3 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di IRM

RSU Dr. Soetomo Surabaya pada Bulan Maret – Mei 2006 ...45

Tabel VI.4 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan di IRM RSU

Dr. Soetomo Surabaya pada Bulan Maret – Mei 2006 ...46

Tabel VI.5 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Osteoartritis Lutut di

IRM RSU Dr. Soetomo Surabaya pada Bulan Maret – Mei 2006 ....46

Tabel VI.6 Distribusi Responden Berdasarkan Awal Diagnosis Osteoartritis

Lutut di IRM RSU Dr. Soetomo Surabaya pada Bulan Maret –

Mei 2006 ...47

Tabel VI.7 Distribusi Responden Berdasarkan Penyakit Penyerta di IRM RSU

Dr. Soetomo Surabaya pada Bulan Maret – Mei 2006 ...48

Tabel VI.8 Distribusi Responden Berdasarkan Sumber Informasi Mengetahui

Rehabilitasi Medik di IRM RSU Dr. Soetomo Surabaya pada

Bulan Maret – Mei 2006 ...48

Tabel VI.9 Distribusi Responden Berdasarkan Pihak yang Menganjurkan

Mengikuti Rehabilitasi Medik di IRM RSU Dr. Soetomo Surabaya

pada Bulan Maret – Mei 2006 ...49

Tabel VI.10 Distribusi Responden Berdasarkan Awal Nyeri Lutut di IRM RSU

Dr. Soetomo Surabaya pada Bulan Maret – Mei 2006 ...49

Tabel VI.11 Distribusi Responden Berdasarkan Waktu Nyeri Lutut di IRM

(14)

Tabel VI.12 Distribusi Responden yang Mengikuti Terapi Panas Berdasarkan

Frekuensi Serangan Nyeri di IRM RSU Dr. Soetomo Surabaya

pada Bulan Maret – Mei 2006 ...50

Tabel VI.13 Distribusi Responden yang Mengikuti Terapi Dingin Berdasarkan

Frekuensi Serangan Nyeri di IRM RSU Dr. Soetomo Surabaya

pada Bulan Maret – Mei 2006 ...51

Tabel VI.14 Distribusi Responden Berdasarkan Pengaruh Istirahat Terhadap

Nyeri di IRM RSU Dr. Soetomo Surabaya pada Bulan Maret –

Mei 2006 ...52

Tabel VI.15 Distribusi Responden Berdasarkan Pengaruh Aktivitas Terhadap

Nyeri di IRM RSU Dr. Soetomo Surabaya pada Bulan Maret –

Mei 2006 ...52

Tabel VI.16 Distribusi Responden yang Mengikuti Terapi Panas Berdasarkan

Nilai Keluhan Nyeri Lutut di IRM RSU Dr. Soetomo Surabaya

pada Bulan Maret – Mei 2006 ...53

Tabel VI.17 Distribusi Responden yang Mengikuti Terapi Dingin Berdasarkan

Nilai Keluhan Nyeri Lutut di IRM RSU Dr. Soetomo Surabaya

pada Bulan Maret – Mei 2006 ...54

Tabel VI.18 Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Mengikuti Terapi di

IRM RSU Dr. Soetomo Surabaya pada Bulan Maret – Mei 2006 ....55

Tabel VI.19 Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Mengikuti Terapi

Panas dan Selisih Keluhan Nyeri di IRM RSU Dr. Soetomo

Surabaya pada Bulan Maret – Mei 2006 ...55

Tabel VI.20 Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Mengikuti Terapi

Dingin dan Selisih Keluhan Nyeri di IRM RSU Dr. Soetomo

Surabaya pada Bulan Maret – Mei 2006 ...56

Tabel VI.21 Distribusi Responden Berdasarkan Lama Mengikuti Terapi di

IRM RSU Dr. Soetomo Surabaya pada Bulan Maret – Mei 2006 ....57

Tabel VI.22 Distribusi Responden Berdasarkan Lama Mengikuti Terapi Panas

dan Selisih Keluhan Nyeri di IRM RSU Dr. Soetomo Surabaya

(15)

Tabel VI.23 Distribusi Responden Berdasarkan Lama Mengikuti Terapi Dingin

dan Selisih Keluhan Nyeri di IRM RSU Dr. Soetomo Surabaya

pada Bulan Maret – Mei 2006 ...58

Tabel VI.24 Distribusi Responden Berdasarkan Keteraturan Mengikuti Terapi

di IRM RSU Dr. Soetomo Surabaya pada Bulan Maret – Mei 2006

...59

Tabel VI.25 Distribusi Responden Berdasarkan Keteraturan Mengikuti Terapi

Panas dan Selisih Keluhan Nyeri di IRM RSU Dr. Soetomo

Surabaya pada Bulan Maret – Mei 2006 ...59

Tabel VI.26 Distribusi Responden Berdasarkan Keteraturan Mengikuti Terapi

Dingin dan Selisih Keluhan Nyeri di IRM RSU Dr. Soetomo

Surabaya pada Bulan Maret – Mei 2006 ...60

Tabel VI.27 Perbedaan Keluhan Nyeri Sebelum dan Sesudah Mengikuti Terapi

pada Penderita Osteoartritis Lutut dengan Terapi Panas dan Terapi

Dingin di IRM RSU Dr. Soetomo Surabaya pada Bulan Maret –

Mei 2006 ...60

Tabel VI.28 Variabel yang Dapat Mempengaruhi Keluhan Nyeri pada

Penderita Osteoartritis Lutut dengan Terapi Panas dan Terapi

Dingin di IRM RSU Dr. Soetomo Surabaya pada Bulan Maret –

(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Gambar Halaman

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Lampiran Halaman

Lampiran 1. Lembar Kuesioner...80

Lampiran 2. Lembar Data Sekunder ...84

Lampiran 3. Analisis Keluhan Nyeri Sebelum dan Sesudah Mengikuti Terapi

Panas ...85

Lampiran 4. Analisis Keluhan Nyeri Sebelum dan Sesudah Mengikuti Terapi

Dingin ...86

Lampiran 5. Pengaruh Frekuensi Mengikuti Terapi Panas Terhadap Keluhan

Nyeri ...87

Lampiran 6. Pengaruh Frekuensi Mengikuti Terapi Dingin Terhadap Keluhan

Nyeri ...89

Lampiran 7. Pengaruh Lama Mengikuti Terapi Panas Terhadap Keluhan Nyeri .91

Lampiran 8. Pengaruh Lama Mengikuti Terapi Dingin Terhadap Keluhan

Nyeri ...93

Lampiran 9. Pengaruh Keteraturan Mengikuti Terapi Panas Terhadap Keluhan

Nyeri ...95

Lampiran 10. Pengaruh Keteraturan Mengikuti Terapi Dingin Terhadap Keluhan

(18)

DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN DAN

UPF = Unit Pelayanan Fungsional

IRM = Instalasi Rehabilitasi Medis

RSU = Rumah Sakit Umum

(19)

WHO = World Health Organitation

OA = Osteoartritis

SWD = Short Wave Diathermy

MWD = Micro Wave Diathermy

USD = Ultra Sound Diathermy

VAS = Visual Analogue Scale

SD = Sekolah Dasar

SMP = Sekolah Menengah Pertama

SMA = Sekolah Menengah Atas

PT = Perguruan Tinggi

PNS = Pegawai Negeri Sipil

LED = Laju Endap Darah

ROM = Range of Motion

TENS = Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation

DIP = Distal Inter Phalangeal

Daftar Arti Kata - Kata Asing

Deformitas = Perubahan bentuk dari baik menjadi kurang baik

Kontraktur = Pemendekan

Destruksi = Perusakan

Osteofit = Tulang baru pada tepi sendi

Krepitasi = Bunyi ” kreteg-kreteg” pada saat digerakkan

Sklerosis = Pengerasan yang tidak normal pada jaringan tubuh

Debilitas = Berdaya pikir rendah (seperti daya pikir anak berumur

12 tahun)

Atrofi = Penyusutan

Vasodilatasi = Pelebaran pembuluh darah

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Menurut WHO, sehat adalah keadaan sejahtera dari fisik, mental dan

sosial, dan tidak sekedar bebas dari penyakit atau kecacatan sedangkan menurut

Undang-Undang nomor 23 tahun 1992, sehat adalah keadaan sejahtera dari fisik,

mental dan sosial serta memungkinkan individu untuk berproduksi secara

maksimal. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran,

kemauan, kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat

kesehatan yang optimal, meliputi kesehatan fisik, mental dan sosial.

Pembangunan manusia seutuhnya harus mencakup aspek jasmani dan kejiwaan

disamping aspek spiritual dan sosial termasuk kepribadian dan kejuangan yang

ditujukan untuk mewujudkan manusia yang sehat, cerdas dan produktif serta

mempunyai daya juang yang tinggi. Pembangunan kesehatan memegang peranan

yang amat penting dalam upaya meningkatkan kesehatan manusia dalam setiap

tahap kehidupan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi. Derajat kesehatan

yang tinggi akan meningkatkan daya juang dan daya saing bangsa (Depkes RI,

2000).

Osteoartritis merupakan kelainan sendi yang sering ditemukan diantara

lebih dari 100 jenis penyakit sendi yang dikenal. Osteoartritis merupakan

kelainan sendi yang ditandai dengan hilangnya tulang rawan sendi secara

progresif serta perubahan reaktif pada tepi tulang dan subkondral. Etiologi yang

(21)

sering terkena adalah sendi-sendi yang menunjang berat badan, termasuk sendi

lutut (Hartono, 2000).

Laporan mengenai prevalensi osteoartritis cukup bervariasi. Prevalensi

osteoartritis lutut di Indonesia cukup tinggi, yaitu mencapai 15,5% pada laki-laki

dan 12,7% pada wanita (Andarini, 2003). Prevalensi ini semakin meningkat

dengan bertambahnya umur. Jenis kelamin mempengaruhi timbulnya

osteoartritis. Pada usia di bawah 45 tahun, frekuensi osteoartritis pada kedua jenis

kelamin sama, sedangkan di atas 50 tahun lebih sering terjadi pada wanita. Dari

500 pasien dengan osteoartritis pada anggota badan, ternyata 41,9% adalah

penderita osteoartritis lutut dan jumlah wanita lebih banyak dari laki-laki dengan

perbandingan 1,3 : 1 (Isbagio, 1995).

Pada penelitian pola penyakit rematik di Poliklinik Rematologi UPF

Penyakit Dalam RSU Dr. Soetomo Surabaya antara tahun 1979 sampai 1985

didapatkan kasus osteoartritis sebanyak 37,5% dan mencapai urutan pertama

dibandingkan artritis jenis yang lain. Sendi yang terbanyak diserang adalah sendi

penyangga berat badan, yaitu artikularis genu 65%, columna 27,9% dan

artikularis talocruris 12% (Subadi, 1999). Menurut catatan di Instalasi

Rehabilitasi Medik RSU Dr. Soetomo Surabaya selama 5 tahun terakhir didapat

bahwa osteoartritis masih termasuk dalam 10 penyakit terbesar. Pada tahun 2005

osteoartritis menduduki urutan ke enam yaitu mencapai 11,38% dari 21.624

kunjungan penderita rawat jalan di Instalasi Rehabilitasi Medik.

Upaya pencegahan penyakit osteoartritis meliputi pencegahan primer,

pencegahan sekunder dan pencegahan tersier. Pencegahan tersier bagi penderita

(22)

multidisipliner yang ditujukan pada penderita dan keluarganya. Upaya

rehabilitasi medik bukanlah kelanjutan dari upaya kuratif tetapi merupakan

pelayanan yang komprehensif, terpadu, berkesinambungan dan dengan peran

serta masyarakat. Upaya rehabilitasi medik dilaksanakan sedini mungkin, yaitu

pada saat setelah risiko kematian dapat dihindarkan, dan bukan setelah selesainya

upaya kuratif (Depkes RI, 1990).

Dari aspek rehabilitasi medik osteoartritis lutut menimbulkan kecacatan

fisik dari berbagai tingkat, yaitu tingkat impairment, terutama keluhan nyeri

(aspek medis), tingkat disability sebagai akibat terganggunya kemampuan

aktivitas hidup sehari-hari penderita (aspek sosial ekonomi) dan bahkan banyak

juga yang menimbulkan handicaps dimana penderita tidak bisa menyesuaikan

diri dengan lingkungannya akibat adanya hambatan fisik, psikologis, sosial,

vokasional dan lingkungan di sekeliling penderita yang tidak memungkinkan

untuk melakukan aktivitasnya terutama aktivitas dengan penumpu berat badan

(Santoso, 2000).

Nyeri merupakan alasan yang paling sering pada penderita osteoartritis

lutut untuk mencari pertolongan kepada dokter. Nyeri yang berhubungan dengan

osteoartritis lutut berpengaruh pada kemampuan fungsional seseorang. Tegasnya,

nyeri osteoartritis lutut dapat menurunkan aktivitas seseorang, misalnya orang

tersebut menjadi tidak bisa bekerja atau melakukan aktivitas terutama dengan

penumpu berat badan. Dalam fase akut, mengurangi nyeri dan inflamasi untuk

meningkatkan fungsi dan kualitas hidup penderita sangatlah penting. Oleh sebab

itu, salah satu terapi utama bagi penderita osteoartritis lutut harus berfokus pada

(23)

mandiri. Pengurangan nyeri pada penderita osteoartritis lutut akan membantu

meningkatkan kemampuan penderita untuk bekerja kembali dan melakukan

aktivitasnya (bangkit dari duduk, berjalan, berlutut, naik turun tangga).

Saat ini untuk mengatasi nyeri digunakan medikamentosa yang

merupakan salah satu mata rantai penanggulangan osteoartritis, disamping

proteksi sendi, kontrol berat badan atau diet, program rehabilitasi medik,

penggunaan alat bantu, pembedahan dan psikoterapi. Yang perlu diketahui

adalah, bahwa terapi fisik sangat membantu penderita mengatasi nyeri (Isbagio,

1995). Penggunaan medikamentosa tanpa disertai cara penatalaksanaan yang lain

kurang memberikan hasil yang memuaskan, karena itulah diperlukan upaya

rehabilitasi medik disamping medikamentosa (Nurrachmawati, 2001).

I.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dapat dilakukan

identifikasi masalah sebagai berikut :

1. Prevalensi osteoartritis lutut di Indonesia pada tahun 2003 masih cukup

tinggi, yaitu mencapai 15,5% pada laki-laki dan 12,7% pada wanita.

2. Osteoartritis masih termasuk dalam 10 penyakit terbesar di Instalasi

Rehabilitasi Medik RSU Dr. Soetomo Surabaya.

3. Nyeri yang berhubungan dengan osteoartritis lutut berpengaruh pada

kemampuan fungsional seseorang.

4. Terdapat beberapa upaya penatalaksanaan yang digunakan untuk pemulihan

(24)

I.3 Pembatasan dan Perumusan Masalah

Rasa nyeri mengakibatkan gangguan fungsi dan rasa putus asa dari

penderita osteoartritis lutut sehingga diperlukan penatalaksanaan yang kompleks

untuk mengatasinya. Penatalaksanaan osteoartritis lutut meliputi pendidikan

kesehatan, medikamentosa, proteksi sendi, kontrol berat badan atau diet, program

rehabilitasi medik, penggunaan alat bantu, pembedahan dan psikoterapi. Program

rehabilitasi medik terdiri dari istirahat, terapi latihan dan terapi modalitas fisik

yang berupa terapi panas, terapi dingin, terapi listrik, terapi air dan terapi laser.

Melihat kompleksnya penatalaksanaan osteoartritis lutut, maka dilakukan

pembatasan terapi yang diteliti yaitu terapi modalitas fisik yang berupa terapi

panas dan terapi dingin, dengan tujuan utamanya adalah untuk mengurangi nyeri.

Secara singkat dapat dituliskan perumusan masalah yaitu apakah ada

pengaruh frekuensi, lama dan keteraturan mengikuti terapi panas dan terapi

(25)

BAB II

TUJUAN DAN MANFAAT

II.1 Tujuan Penelitian

II.1.1 Tujuan Umum

Menganalisis pengaruh frekuensi, lama dan keteraturan mengikuti terapi

panas dan terapi dingin terhadap keluhan nyeri pada penderita

osteoartritis lutut.

II.1.2 Tujuan Khusus

1. Mempelajari karakteristik penderita osteoartritis lutut yang mengikuti

program rehabilitasi medik, yaitu berupa terapi panas atau terapi

dingin.

2. Menganalisis perbedaan keluhan nyeri sebelum dan sesudah

mengikuti terapi panas.

3. Menganalisis perbedaan keluhan nyeri sebelum dan sesudah

mengikuti terapi dingin.

4. Menganalisis pengaruh frekuensi mengikuti terapi panas dan terapi

dingin terhadap keluhan nyeri pada penderita osteoartritis lutut.

5. Menganalisis pengaruh lama mengikuti terapi panas dan terapi dingin

terhadap keluhan nyeri pada penderita osteoartritis lutut

6. Menganalisis pengaruh keteraturan mengikuti terapi panas dan terapi

(26)

II.2 Manfaat Penelitian

1. Bagi Penderita

Memotivasi penderita osteoartritis lutut untuk mengikuti program

rehabilitasi medik, yaitu berupa terapi panas atau terapi dingin.

2. Bagi Instalasi Rehabilitasi Medik

Sebagai bahan pertimbangan dalam memilih modalitas terapi fisik yang

lebih bermanfaat untuk penderita osteoartritis lutut.

3. Bagi Pendidikan

Pengembangan ilmu pengetahuan tentang terapi panas atau terapi dingin

pada penderita osteoartritis lutut dan sebagai sumber kepustakaan untuk

penelitian berikutnya.

4. Bagi Peneliti

Menambah pengalaman dan pengetahuan sebagai bagian dari aplikasi

(27)

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

III.1 Osteoartritis

III.1.1 Definisi Osteoartritis

Osteoartritis adalah kelainan degenerasi tulang rawan sendi yang ditandai

dengan perubahan patologi tulang rawan hialin, tulang dan jaringan sekitar sendi

(Moll, 1988).

Osteoartritis merupakan penyakit sendi dengan beberapa karakteristik

yaitu menipisnya rawan sendi secara progresif, disertai dengan pembentukan

tulang baru pada trabekula subkondral dan terbentuknya rawan sendi dan tulang

baru pada tepi sendi (osteofit). Secara histopatologik proses osteoartritis ditandai

dengan menipisnya tulang disekitarnya (bony overgrowth) diikuti dengan atrofi

dan destruksi tulang disekitarnya (Isbagio, 2000).

III.1.2 Klasifikasi Osteoartritis

Menurut ARA (American Rheumatism Assosiation) osteoartritis

diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :

1. Osteoartritis primer / idiopatik

Jika penyebabnya tidak diketahui.

2. Osteoartritis sekunder

Jika penyebabnya diketahui, antara lain kongenital, penyakit metabolik,

trauma, peradangan, gangguan endokrin, gangguan hormonal, degenerasi

(28)

III.1.3 Faktor Risiko Osteoartritis

Penyebab osteoartritis belum diketahui dengan pasti, tetapi terdapat

faktor-faktor yang diduga berhubungan dengan osteoartritis, yaitu :

1. Umur

Osteoartritis lebih sering terjadi pada usia lanjut, tetapi keadaan ini

masih belum jelas apakah osteoartritis ini timbul sebagai konsekuensi dari

proses penuaan (Moll, 1988).

2. Jenis kelamin

Pada usia di bawah 45 tahun, frekuensi osteoartritis pada kedua jenis

kelamin sama, sedangkan di atas 50 tahun lebih sering terjadi pada wanita

(Isbagio, 1995).

3. Obesitas

Pada penelitian Framingham didapatkan hubungan yang kuat antara

obesitas dan osteoartritis sendi lutut, terutama pada wanita, sedangkan pada

penelitian Cushnagan ternyata sebagian besar pasien osteoartiritis mempunyai

berat rata-rata di atas normal (Isbagio, 1995).

4. Aktivitas fisik

Orang yang menjalani aktivitas fisik dengan trauma berulang

mengalami peningkatan risiko berkembangnya osteoartritis. Sebagai contoh

adalah pekerja tambang (sendi tulang belakang dan lutut), pengemudi bus

(sendi bahu), pemintal kapas (sendi jari tangan), pemain sepakbola dan penari

balet (sendi talar) juga dilaporkan mengalami peningkatan risiko osteoartritis

(29)

5. Faktor genetik

Nodus heberden familial di DIP secara autosomal dominan

mengarahkan pemikiran bahwa faktor herediter berperan pada osteoartritis

(Moll, 1988).

6. Hormonal

Masih belum jelas apakah faktor hormonal termasuk dalam etiologi dari

osteoartritis, walaupun perubahan degeneratif dalam lutut dan tulang

belakang lebih sering dialami pasien diabetes. Pasien hipotiroid sering

mengeluh nyeri ototnya, tetapi prevalensinya tidak meningkat pada penyakit

ini (Moll, 1988).

7. Faktor makanan

Makanan yang menyebabkan osteoartritis adalah Fusarium (fusaria)

sporotrichiella. Makanan ini mengakibatkan penyakit Kashin-Beck, bentuk

umum dari osteoartritis disebabkan oleh gandum yang terinfeksi jamur (Moll,

1988).

III.1.4 Gejala Klinis Osteoartritis

Secara umum gejala klinis osteoartritis dibagi menjadi beberapa

tingkatan, yaitu :

1. Sublinis

Pada tingkatan ini belum ada keluhan atau tanda klinis lainnya. Kelainan

hanya terbatas pada tingkat seluler dan biokimiawi rawan sendi.

2. OA Manifes

Kerusakan rawan sendi bertambah luas dan biasanya penderita datang ke

(30)

3. OA Dekompensata

Rawan sendi telah rusak sama sekali, kadang terjadi deformitas dan

kontraktur.

4. Pembengkakan sendi

Pembengkakan sendi merupakan reaksi peradangan karena pengumpulan

cairan dalam ruang sendi. Biasanya teraba panas tanpa adanya kemerahan.

5. Deformitas

Deformitas disebabkan karena destruksi lokal rawan sendi.

6. Gangguan fungsi

Gangguan fungsi timbul karena ketidakserasian antara tulang pembentuk

sendi. Adanya pembengkakan dan nyeri merupakan penyebab yang

menimbulkan gangguan fungsi sendi (Kusumawati, 2003).

III.1.5 Diagnosis Osteoartritis

Diagnosis osteoartritis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

fisik (klinik), pemeriksaan penunjang radiologis, dan bila perlu dengan

pemeriksaan laboratorium tertentu.

1. Kriteria diagnosis klinik dan radiologis Altman (1991)

Diagnosis menurut kriteria Altman berdasarkan gambaran klinik dan

pemeriksaan radiologis, yaitu :

a. Nyeri sendi lutut beberapa hari sampai bulan

b. Radiologis : osteofit pada tepi sendi

c. Cairan sendi, minimal terdapat 2 dari 3 tanda :

1) Jernih

(31)

3) Sel darah putih < 2000 sel / mm3

d. Jika cairan sendi tidak diperiksa sampai usia ± 40 tahun

e. Kaku sendi lutut pagi hari < 30 menit

f. Krepitasi pada gerak sendi aktif

Diagnosis osteoartritis apabila a, b atau a, c, e, f atau a, d, e, f. Kriteria ini

mempunyai sensitivitas 91% dan spesifisitas 86%.

2. Pemeriksaan radiologis

Gambaran radiologis sendi tidak selalu sesuai dengan gambaran klinis

yang ada. Gambaran radiologis yang menyokong diagnostik osteoartritis

yaitu :

a. Penyempitan celah sendi yang sering kali asimetris (lebih berat pada

bagian yang menyangga beban)

b. Peningkatan densitas (sklerosis) tulang subkondral

c. Kista tulang

d. Osteofit pada pinggir sendi

e. Perubahan struktur anatomi sendi

Perubahan di atas dipakai sebagai pedoman oleh Kellgren dalam

Kusumawati (2003) untuk menentukan gradasi osteoartritis, yaitu :

a. Grade 0 : Normal (tidak ada osteoartritis)

b. Grade 1 : Kemungkinan osteoartritis (kemungkinan ada osteofit,

penyempitan celah sendi meragukan)

c. Grade 2 : Osteoartritis minimal (osteofit nyata, penyempitan celah sendi

(32)

d. Grade 3 : Osteoartritis sedang (osteofit sedang, penyempitan celah sendi

nyata, sklerosis ringan, kemungkinan deformitas)

e. Grade 4 : Osteoartritis berat (osteofit besar, penyempitan celah sendi

berat, sklerosis berat, deformitas nyata)

3. Pemeriksaan laboratorium

Umumnya hasil pemeriksaan laboratorium pada penderita osteoartritis

adalah normal.

a. Darah : LED dan pemeriksaan darah rutin lainnya normal

Faktor rhematoid negatif

Antinuclear faktor / ANA negatif

b. Urine : Normal

c. Cairan sinovial : Viskositas baik

Kekentalan mucin normal

Oleh karena itu pemeriksaan laboratorium dilakukan bila perlu untuk

menyingkirkan diagnosis penyakit sendi lain (Kusumawati, 2003).

III.2 Nyeri

III.2.1 Definisi Nyeri

Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak

menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial yang

digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut (Marpaung, 2004).

Nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan maupun berat

(33)

III.2.2 Klasifikasi Nyeri

Ada beberapa klasifikasi nyeri yang sering digunakan, diantaranya :

1. Klasifikasi nyeri berdasarkan lokasi anatomi, misalnya nyeri kepala, nyeri

bahu, nyeri punggung. Klasifikasi ini tidak banyak berperan dalam penentuan

pengobatan.

2. Klasifikasi nyeri berdasarkan waktu yaitu nyeri akut dan nyeri kronik.

Klasifikasi ini berguna untuk menentukan pengobatan.

3. Klasifikasi nyeri berdasarkan intensitas, nyeri dibagi atas ringan, sedang dan

berat, dimana klasifikasi ini menguntungkan dalam hal memilih analgesik.

4. Klasifikasi nyeri berdasarkan etiologi atau mekanisme yaitu nyeri fisiologik,

nyeri peradangan, nyeri neuropatik dan nyeri psikogenik. Klasifikasi ini

banyak kegunaannya dalam penentuan nyeri. Pasien dengan keluhan nyeri

fisiologik jarang sampai memeriksakan diri ke dokter, karena biasanya nyeri

mudah hilang dengan analgesik ringan atau tanpa pengobatan. Nyeri

peradangan dan nyeri neuropatik dapat memaksa penderita mengunjungi

dokter, dan kedua jenis nyeri ini sering menunjukkan karakteristik yang sama.

Nyeri psikogenik ditegakkan bila dalam berbagai pemeriksaan fisik

diagnostik tidak ditemukan adanya kelainan somatik yang objektif sebagai

penyebab nyeri (Marpaung, 2004).

III.2.3 Perjalanan Impuls Nyeri

Rangsang nyeri akan menyebabkan kita menghindarkan diri untuk

melindungi kita terhadap kerusakan jaringan, sehingga sensibilitas nyeri disebut

juga sensibilitas protektif atau protopatis. Rangsang nyeri yang diterima oleh

(34)

disebut ganglion spinalis. Melalui serabut-serabut radiks dorsalis yang

menyusun bagian lateralnya, impuls tersebut akan tiba di nukleus propius pada

daerah kornu dorsalis medulla spinalis yang disebut substansia gelatinosa

Rolandi. Neuron sekunder ini akan menyilang garis tengah dan berjalan ke atas

didalam traktus spinotalamikus lateralis. Serabut-serabut tersebut sambil berjalan

ke atas akan terdorong ke arah posterolateral oleh serabut-serabut yang datang

dari segmen-segmen diatasnya sehingga susunan traktus tersebut di medula

oblongata dari posterolateral ke atas ventromedial adalah sakral-lumbal-torakal

-servikal. Susunan ini tetap dipertahankan dimana medulla oblongata akan

terletak sebelah dorsolateral oliva inferior, sedangkan di pons akan berada

diantara lemnikus medialis dan brakium konjungtivum, di mesensefalon di atas

ujung dorsal lemnikus medialis, dekat bagian bawah kolikulus superior. Traktus

ini akan berakhir di dalam nukleus ventro-postero-lateral talamus dan dari sini

berjalan neuron ketiga ke korteks sensoris serebri.

Impuls yang berasal dari kulit wajah, mukosa mulut dan hidung akan

disalurkan oleh nervus trigeminus. Neuron kedua yang membawa impuls ini

menyusun traktus trigeminotalamikus yang akan bergabung dengan traktus

spinotalamikus di tingkat mesensefalon.

Proyeksi pada daerah somatosensorik korteks serebri diatur secara

somatotopik yang penataannya sedemikian rupa sehingga impuls dari kulit

tungkai akan disampaikan ke sel-sel pada bagian superior daerah somatosensorik,

impuls dari lengan diterima oleh sel-sel di bagian tengah dan yang berasal dari

(35)

III.2.4 Faktor Penghebat Rasa Nyeri

Faktor-faktor yang memperhebat rasa nyeri adalah :

1. Tekanan batin

2. Debilitas

3. Kelelahan

4. Malam hari dimana kebingungan dan aktivitas sehari-hari berkurang

5. Bila penderita mempunyai waktu untuk memikirkan gejala-gejalanya

6. Iklim

7. Malnutrisi (Nurrachmawati, 2001)

III.2.5 Skala Pengukuran Nyeri

Skala nyeri yang digunakan untuk menilai rasa nyeri adalah VAS (Visual

Analogue Scale). Cara ini memakai skala angka 0 sampai 10 (tidak nyeri sampai

nyeri sekali). Penderita menunjukkan pada skala yang paling tepat atau paling

mendekati intensitas rasa nyeri yang dirasakan pada saat penelitian (Mardinan,

2001).

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

(tidak nyeri) (nyeri sekali)

III.3 Nyeri pada Osteoartritis Lutut

Nyeri pada osteoartritis lutut, biasanya mempunyai irama diurnal, nyeri

akan menghebat pada waktu bangun tidur dan sore hari. Selain itu, nyeri juga

dapat timbul bila banyak berjalan, naik dan turun tangga atau bergerak tiba-tiba.

(36)

keadaan lanjut, nyeri akan menetap walaupun penderita sudah istirahat (Isbagio,

1995).

III.4 Penatalaksanaan Osteoartritis Lutut

Penatalaksanaan osteoartritis lutut meliputi :

1. Pendidikan kesehatan

Pendidikan kesehatan membantu penderita dalam hal pengertiannya

mengenai penyakit yang diderita, cara pola hidup dan pola kegiatan

sehari-hari, manajemen penanggulangannya dan tentang prospek penyakitnya.

Penting didalam pendidikan ini adalah terlibatnya keluarga (Hidayat, 2000).

2. Kontrol berat badan atau diet

Seperti diketahui berat badan berlebihan merupakan faktor risiko

khususnya untuk osteoartritis lutut yang dinyatakan dengan keluhan ataupun

dengan radiologik. Selanjutnya dengan berat yang berlebihan tersebut, risiko

terhadap progresivitas penyakit akan bertambah dibandingkan dengan

osteoartritis lutut yang tidak dengan berat badan berlebihan. Sebaliknya

dengan penurunan sebanyak 5 kg akan menurunkan risiko 50% dari risiko

terjadinya perkembangan menjadi osteoartritis yang simtomatis. Pada

penelitian dengan pemberian obat yang menekan nafsu makan pada penderita

osteoartritis panggul dan osteoartritis lutut, dimana terdapat penurunan

rata-rata 3 - 5 kg, terdapat hubungan yang erat antara penurunan berat badan

dengan keluhan pada osteoartritis lutut. Dari data-data yang didapat,

(37)

mengalami penurunan dari rasa nyeri dan gangguan fungsi dengan cara

menurunkan berat badan (Hidayat, 2000).

3. Medikamentosa

Ada tiga golongan obat utama yang digunakan pada osteoartritis yaitu

analgesik, obat anti inflamasi non steroid dan obat spesifik untuk osteoartritis.

Keberhasilan pengobatan tergantung dari keahlian untuk memilih obat yang

tepat dalam dosis yang tepat untuk penyakit dan saat yang tepat dari

perjalanan penyakit (Nurrachmawati, 2001).

4. Proteksi sendi

Untuk proteksi atau pemeliharaan sendi dikenal 12 prinsip sebagai

berikut :

a. Memakai sendi yang terkuat atau terbesar untuk melakukan tugas

b. Membagi beban pada beberapa sendi

c. Gunakan setiap sendi pada posisi yang paling stabil dan fungsional

d. Gunakan mekanisme tubuh yang baik

e. Kurangi tenaga yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan

f. Hindari terlalu lama mempertahankan posisi sendi yang sama

g. Usahakan gerakan sendi penuh dan lengkap dalam aktivitas sehari-hari

h. Hindari posisi dan aktivitas sendi

i. Organisasikan pekerjaan

j. Seimbangkan pekerjaan dan istirahat

k. Gunakan penyimpanan yang efisien

(38)

5. Penggunaan alat bantu

Pada penderita osteoartritis pemakaian sepatu atau alas kaki yang lunak

atau pemakaian bantuan tongkat akan mengurangi keluhan. Khususnya

pemakaian alat bantu untuk osteoartritis panggul dapat mengurangi beban

hingga 50%. Demikian pula pemakaian bantalan pada tumit sebelah luar

dengan sudut 5 - 10o ke arah calcaneovalgus menunjukkan memberikan

manfaat pada osteoartritis lutut kompartemen medial, khususnya pada derajat

yang ringan. Selain itu pemakaian penyangga, memberikan rasa lebih nyaman

pada penderita dengan osteoartritis lutut yang unikompartemental atau yang

disertai instabilitas, seperti halnya pemakaian bebat tekan atau pelindung,

yang menyebabkan perbaikan dari propiosepsi pada osteoartritis lutut

(Hidayat, 2000).

6. Pembedahan

Tujuan utama dari pembedahan adalah untuk mengurangi atau

menghilangkan rasa nyeri dan memperbaiki fungsi sendi untuk waktu yang

lama atau selamanya. Beberapa tindakan pembedahan antara lain :

a. Pencucian sendi (lavage) dan debridement dari tulang rawan yang

mengalami fibrilasi

b. Drilling, reseksi atau abrasi dari tulang subkondral

c. Teknik allo atau autografting osteokondral

d. Periosteal dan perikondral resurfacing (soft tissue arthroplasty)

e. Transplantasi sel

f. Operasi pengurangan beban sendi (osteotomi)

(39)

h. Interpositional arthroplasty

i. Operasi sendi buatan (artificial joint arthroplasty)

j. Arthodesis (Hidayat, 2000)

7. Psikoterapi

Intervensi psikososial diperlukan pada penderita yang menunjukkan

gejala reaksi menyangkal, depresi serta marah. Hal ini terjadi apabila

penyakitnya terutama rasa nyeri sangat mengganggu sehingga selain

mengatasi rasa nyeri ia harus menyesuaikan dengan keterbatasan fungsi

ataupun deformitas baik karena penyakit maupun akibat sampingan obat, juga

reaksi teman, anggota keluarga dan masyarakat. Bantuan psikologis bagi

penderita dan keluarga sering diperlukan dan dapat diberikan dalam bentuk

terapi kelompok (Tulaar, 1995).

8. Program rehabilitasi medik

a. Definisi rehabilitasi medik

Menurut WHO, rehabilitasi medik adalah semua tindakan yang

ditujukan guna mengurangi dampak keadaan cacat dan handicaps serta

meningkatkan kemampuan penyandang cacat mencapai integrasi sosial

(Moestari, 1992).

Suatu program rehabilitasi komprehensif baru dikatakan berhasil

baik bila program tersebut mengandung empat unsur, yaitu:

1) Pemulihan kondisi fisik

2) Pemulihan kondisi psikologik

3) Latihan prevokasional dan pengalaman kerja singkat guna membantu

(40)

4) Resosialisasi (Moestari, 1992)

b. Tujuan program rehabilitasi medik

Tujuan dari program rehabilitasi medik yaitu :

1) Meniadakan keadaan cacat bila mungkin

2) Mengurangi keadaan cacat sebanyak mungkin

3) Melatih orang dengan sisa keadaan cacat badan untuk dapat hidup dan

bekerja dengan apa yang tinggal padanya (Moestari, 1992)

c. Program rehabilitasi medik dalam penatalaksanaan nyeri

1) Istirahat

Istirahat merupakan tindakan awal dalam mengatasi nyeri

terutama pada radang yang akut. Istirahat bersifat :

a) Istirahat sistemik atau total (tempat tidur)

b) Istirahat lokal dengan bantuan bidai

c) Istirahat selingan yaitu pada waktu tertentu selama pagi dan siang

hari (Tulaar, 1995)

2) Terapi latihan

Latihan diketahui dapat meningkatkan dan mempertahankan

rentang sendi (ROM), mengajar kembali (re-edukasi) dan menguatkan

otot, meningkatkan ketahanan statik dan dinamik, memungkinkan

sendi berfungsi secara biomekanik lebih baik, meningkatkan fungsi

(41)

3) Terapi modalitas fisik

a) Terapi listrik

Terapi listrik berupa TENS digunakan untuk mengurangi

nyeri melalui kerjanya menaikkan ambang rangsang nyeri (Tulaar,

1995).

b) Terapi air

Air sebagai terapi digunakan terutama dalam memberikan

latihan. Daya apung air akan membuat ringan bagian atau

ekstremitas yang direndam sehingga sendi lebih mudah

digerakkan. Selain itu, suhu air yang hangat membantu

mengurangi rasa nyeri (Tulaar, 1995).

c) Terapi laser

Terapi laser pada dekade terakhir ini mulai populer

digunakan pada osteoartritis untuk mengurangi nyeri (Tulaar,

1995).

d) Terapi panas

i) Efek fisiologi terapi panas

Mekanisme perubahan panas ditimbulkan dari alat ke

sasaran terapi, melalui sistem : konduksi, konveksi, radiasi,

konversi dan evaporasi. Perubahan fisiologis sebagai respon

terhadap terapi panas bervariasi tergantung dari intensitas,

lamanya terapi dan area yang mendapat terapi itu.

Efek terapi panas terbagi atas tingkat ringan dan tingkat

(42)

dan berat apabila temperatur mencapai 40 - 45o C. Pada

temperatur ini terjadi hiperemia atau bercak merah yang

menandakan peningkatan aliran darah. Temperatur lebih dari

45o C, dapat menimbulkan nyeri termal dan kerusakan kulit

menetap. Meningkatnya temperatur jaringan akan

meningkatkan aliran darah, sebagai akibat respon vasodilatasi

pembuluh darah superfisial. Kelancaran aliran darah

membawa panas dari area tersebut sedangkan darah dari

tempat relatif dingin pindah ke area ini, sehingga penumpukan

panas dapat dihindari. Bila tingkat terapi panas dicapai, reflex

heating di area yang lain dapat juga terjadi. Artinya,

pemanasan lokal mempunyai dua efek yaitu efek langsung dan

efek tak langsung. Contohnya, bila terapi panas dilakukan di

area pinggang bawah, terjadi pula kelancaran pembuluh darah

dan vasodilatasi di daerah ekstremitas distal.

Ketika temperatur otot meningkat yaitu pada terapi panas

penetrasi dalam, firing rate muscle spindle afferent (tipe II)

menurun, tetapi organ golgi tendon (tipe Ib) meningkat. Hasil

resultante, menurunkan aktivitas alfa motor neuron yang

mengawali penurunan aktivitas tonus otot, selanjutnya

menghilangkan spasme otot. Efek tersebut di atas tidak terjadi

apabila pemanasan dilakukan superfisial. Namun demikian

terdapat efek tak langsung dari peningkatan temperatur kulit

(43)

efferen. Dengan demikian memproduksi pula penurunan

firring rate dan penurunan aktivitas alfa motor neuron.

Terapi panas juga mempunyai efek terhadap

penanggulangan nyeri. Bebas nyeri akan mengurangi spasme

otot, demikian pula sebaliknya (Jatim, 2000).

ii) Tujuan terapi panas

(1) Pengurangan nyeri

(2) Pengurangan spasme otot

(3) Tissue extensibility (Jatim, 2000)

iii) Indikasi terapi panas

(1) Efek analgesik (terutama) : neuralgia, sprain atau strain,

articular problem, kekakuan otot, nyeri otot, ”trigger point”

syndrome

(2) Efek anti peradangan

(3) Efek relaksasi

(4) Efek sedatif

(5) Meningkatkan suhu jaringan

(6) Vasodilatasi (Hamid, 1992)

iv) Kontraindikasi terapi panas

(1) Radang akut

(2) Trauma akut, sampai lenyapnya reaksi akut, biasanya

setelah 72 jam

(3) Gangguan vascular : obstruksi vena, insufisiensi arterial

(44)

(4) Hemorrhagic diathesis atau gangguan koagulasi

(5) Malignacy, kecuali dalam paket bersama terapi radiasi atau

khemoterapi

(6) Penyakit jantung koroner – tidak absolut

(7) Gangguan sensasi – tidak absolut

(8) Bayi dan orang yang sangat tua – tidak absolut

(9) Kontraindikasi khusus dari alat (Hamid, 1992)

v) Macam terapi panas

Menurut efek kedalaman panas yang dapat ditembus,

terapi panas dibagi menjadi dua macam, yaitu:

(1) Terapi panas dangkal

Terapi panas dangkal adalah jenis terapi panas yang

efeknya meningkatkan suhu kulit dan jaringan bawah kulit

bagian atas. Terapi panas dangkal ini biasanya digunakan

untuk :

(a) Meningkatkan suhu sendi-sendi yang superfisial

(misalnya tangan, dimana memiliki jaringan kulit ari

yang relatif lebih tipis)

(b) Meningkatkan suhu pada struktur-struktur yang lebih

dalam, melalui mekanisme reflek

(c) Meningkatkan suhu jaringan kolagen untuk

(45)

Terapi panas dangkal dibagi atas dua kelompok,

yaitu :

(a) Kelompok ”dry heat” (panas kering)

(i) Kompres botol air panas

(ii) Kompres bantal pemanas tenaga listrik

(iii) Lampu infra merah

(iv) Lampu biasa

(b) Kelompok “moist heat” (panas basah)

(i) Kompres kain air panas

(ii) Hydrocollator pack

(iii) Mandi uap panas

(iv) Mandi air hangat (104 - 107o F)

(v) Paraffin wax bath

Terapi panas dangkal umumnya memerlukan waktu

sekitar 20 - 30 menit untuk 1 kali terapi, sehari dapat

dilakukan 2 - 3 kali. Di klinik rehabilitasi medik,

umumnya untuk mendahului manipulasi selanjutnya agar

rasa nyeri berkurang, fleksibilitas jaringan ikat bertambah

dan jika ada kekakuan otot, kekakuannya berkurang

(Hamid, 1992).

(2) Terapi panas dalam

Terapi panas dalam atau diathermi merupakan terapi

panas yang efeknya sampai pada jaringan intraartikuler.

(46)

Diathermy), MWD (Micro Wave Diathermy), USD (Ultra

Sound Diathermy).

(a) SWD (Short Wave Diathermy)

SWD merupakan suatu arus osilasi yang

berfrekuensi tinggi (27,12 MHz) dengan panjang

gelombang 11 m. Arus ini memancarkan gelombang

radio, sehingga dapat mengganggu alat-alat elektronik

yang lain. Proses timbulnya panas tergantung metode

yang digunakan.

Pada penggunaan SWD terdapat dua macam

metode, yaitu :

(i) Metode kondensor

Pada metode ini, jaringan tubuh berada dalam

medan elektrostatik yang dikeluarkan oleh

elektroda-elektroda. Elektroda yang dipakai bisa

jenis glass, drum atau plastik, rubber pad. Oleh

pengaruh medan elektrostatik tersebut, dalam

jaringan terjadi peristiwa vibrasi ion, rotasi molekul

dipole dan distorsi elektron yang semuanya ini

menimbulkan panas dalam jaringan. Hampir

seluruh lapisan jaringan yang berada diantara kedua

elektroda mendapatkan energi panas. Banyak

sedikitnya panas yang timbul pada tiap jaringan

(47)

jaringan-jaringan tadi. Distribusi tersebut

dipengaruhi oleh konduktifitas jaringan dan

kedalaman letak jaringan. Jaringan yang bersifat

konduktor dan superfisial mendapatkan lebih

banyak panas.

(ii)Metode kabel

Pada metode kabel ini, jaringan tubuh berada dalam

medan elektromagnetik. Elektromagnetik yang

digunakan berupa kabel yang dililitkan atau berupa

kabel yang berbentuk spiral dalam suatu aplikator

(misalnya : monode, minode, diplode). Medan

elektromagnetik yang mengenai tubuh akan

menimbulkan arus induksi eddy current. Eddy

current ini yang menimbulkan panas dalam

jaringan tersebut. Pengurangan panas ini terutama

timbul pada jaringan yang konduktor dan pada

lapisan superfisial (otot, jaringan yang banyak

mengandung cairan).

Nyeri kebanyakan disebabkan oleh cedera pada

tendon, kapsul, bursa, ligamen. Mengingat bahwa

jaringan yang mengalami gangguan terletak cukup

dalam, maka untuk terapi ini perlu dipilih jenis

modalitas terapi panas yang dapat mencapai daerah

(48)

SWD mempunyai daya tembus yang paling dalam.

Metode yang paling efektif adalah metode kondensor

karena metode ini dapat mencapai semua lapisan

jaringan yang berada dalam medan elektrostatik.

Pengaturan dosis ditentukan oleh stadium dari

kondisi. Berdasarkan penelitian, efek terapeutik

diperoleh secara optimal bila suhu jaringan mencapai

43 - 44o C selama 10 - 30 menit dengan frekuensi 2

kali sehari.

Dosis pemanasan terbagi dalam dua kategori :

(i) Benar-benar hangat

Mencapai rasa hangat yang maksimal mendekati

batas toleransi, relatif lama dan kenaikan yang

cepat. Dosis ini diberikan pada kondisi kronis.

Misalnya telah ada tanda-tanda kontraktur,

scarring, ketegangan kapsul sendi dan struktur

periartikuler. Dosis ini tidak boleh diberikan pada

kondisi akut.

(ii)Hangat yang ringan

Kenaikan suhu jaringan yang menjadi sasaran

terapi relatif ringan. Untuk mendapatkan dosis ini,

pemanasan dikonsentrasikan pada lapisan jaringan

yang lebih superfisial. Misalnya dengan

(49)

lebih singkat. Dosis ini diberikan pada kondisi sub

akut (Mardiman, 1989).

(b) MWD (Micro Wave Diathermy)

MWD juga merupakan arus osilasi, tetapi

frekuensinya lebih tinggi dibanding SWD. MWD

digunakan dalam klinik pada umumnya berfrekuensi

433,92 MHz, panjang gelombang 69 cm atau frekuensi

2450 MHz, panjang gelombang 12,25 cm. Dari

elektroda MWD akan terpancar gelombang

elektromagnetik. Daya tembus gelombang

elektromagnetik ini ditentukan oleh komposisi

jaringan. Semakin banyak kandungan cairan, semakin

dangkal daya tembusnya. Rata-rata mempunyai daya

tembus sekitar 3 cm (Mardiman, 1989). MWD biasa

diberikan selama 10 - 15 menit dengan frekuensi 2 kali

sehari.

(c) USD (Ultra Sound Diathermy)

USD merupakan salah satu dari terapi panas

dalam yang mempunyai frekuensi lebih dari 20.000

cycle/detik (Hz). Pada umumnya gelombang ultra

sound yang dipergunakan untuk terapi mempunyai

frekuensi antara 0,7 - 3,3 MHz untuk absorpsi

maksimal dengan kedalaman 2 - 3 cm (Cameron,

(50)

Ukuran dosis yang ditentukan pada USD meliputi :

(i) Mode

Mode continuous akan menghasilkan panas pada

jaringan jika intensitas yang digunakan adekuat,

sedangkan intermitten mempunyai intensitas

rata-rata dan waktu yang lebih pendek, maka rasa

panasnya diabaikan. Contoh 0,5 W/cm2 pada

intermitten dengan 1 : 4 akan menghantarkan

energi yang sama pada mode continuous dengan

0,1 W/cm2. Mode continuous diperuntukkan pada

kelainan muskuloskeletal seperti kekakuan otot,

stiffness sendi dan nyeri sedangkan mode

intermitten dipilih untuk kasus perbaikan jaringan.

(ii)Frekuensi

USD dengan frekuensi yang rendah mempunyai

penetrasi yang lebih dalam, tetapi energi yang lebih

besar dihasilkan oleh frekuensi tinggi (3 MHz)

yang diserap oleh jaringan superfisial.

(iii)Intensitas

Intensitas yang digunakan pada USD berkisar

antara 2 – 3 W/cm2.

(iv)Lama terapi

Lama masing-masing terapi tergantung dari luas

(51)

menyebutkan waktu 1 menit untuk daerah yang

diterapi dengan luas 10 cm2 dengan transduser

yang berpenampang 1 cm2.

(v) Frekuensi terapi

Pada keadaan akut terapi yang dilakukan 1 – 2 kali

sehari dan 2 – 3 kali perminggu untuk kondisi

kronik (Low, 2000).

e) Terapi dingin

Alat-alat terapi dingin seperti cold pack, cool whirlpool dan

ice masase sering dipakai untuk mengatasi nyeri dan

pembengkakan, sangat efektif untuk mengurangi kekakuan otot.

Metode yang mendasari terapi dingin adalah sistem konduksi dan

konveksi (Jatim, 2000).

i) Efek fisiologi terapi dingin

Ketika permukaan kulit didinginkan, respon awal adalah

vasokontriksi pembuluh darah superfisial. Apabila

pendinginan dilangsungkan lebih lama, terjadi pula efek pada

jaringan yang lebih dalam sehingga menimbulkan penurunan

aktivitas muscle spindle. Dengan demikian kekakuan otot

berkurang. Perubahan temperatur jaringan sebagai respon

terhadap terapi dingin dapat terjadi sampai kedalaman 1 – 4

cm, tergantung dari temperatur , frekuensi dan lamanya terapi.

Penurunan temperatur jaringan sampai 10o C atau dibawahnya

(52)

ii) Tujuan terapi dingin

(1) Pengurangan nyeri

(2) Pengurangan kekakuan otot

(3) Pengurangan peradangan

(4) Pengurangan pembengkakan

(5) Menghentikan perdarahan (Jatim, 2000)

iii) Indikasi terapi dingin

(1) Trauma akut

(2) Rheumatoid artritis, gouty artritis, dan semua artritis akut

(3) Kekakuan otot

(4) Myofascial pain syndrome

(5) Luka bakar derajad II (Hamid, 1992)

iv) Kontaindikasi terapi dingin

(1) Gangguan vascular : raynaud phenomena, ischemic lokal

dan statis

(2) Alergi terhadap dingin

(3) Gangguan renal yang berat

(4) Gangguan kardiovaskuler yang berat (Hamid, 1992)

v) Macam terapi dingin

(1) Cold pack

Bahan dasar cold pack sebagian besar adalah vinyl

yang diisi campuran air dengan beberapa bahan yang dapat

menghambat air membeku (umumnya gel silika) sehingga

(53)

bentuk daerah yang akan diterapi. Sebelum digunakan,

pack disimpan dahulu pada suhu dibawah 0o C (-5o C

sampai -12o C) minimal selama 2 jam. Cold pack bisa juga

berbentuk ice pack yaitu serpihan es yang dibungkus

dengan kain atau handuk. Perhatian untuk terapi cold pack

harus dibungkus dengan handuk basah untuk mencegah

luka bakar. Karena handuk basah bisa mencegah dingin

yang berlebih sehingga pack yang kontak dengan kulit

tidak bersuhu dibawah 10º C. Waktu terapi selama 10

menit dan diberikan 3 kali sehari (Low, 2000).

(2) Ice masase

Ice masase biasa digunakan pada area terapi yang

kecil seperti muscle belly, tendon atau bursa bahkan trigger

point sebelum dilakukan deep pressure masase. Teknik ini

sangat mudah digunakan dan dapat dilakukan penderita

sendiri di rumah. Ice masase dilakukan dengan es batu,

bisa juga dengan es batu yang dibungkus dengan tempat

tertentu, atau es yang berbentuk lolipop. Terapi ice masase

bertujuan untuk mengurangi nyeri. Balok es digerakkan

pada permukaan kulit dengan gerakan sirkuler yang lambat

selama 5 – 10 menit. Selama terapi penderita akan merasa

dingin seperti terbakar kemudian nyeri sebelum mati rasa

(54)

(3) Evaporaty sprays

Adalah metode terapi dingin dengan prinsip

menyemprotkan cairan yang diuapkan pada permukaan

kulit. Ada dua jenis bahan evaporaty sprays yang

digunakan untuk terapi, yaitu florometan yang tak mudah

menguap dan tak beracun, dan etil klorida yang mudah

menguap. Supaya mendapatkan efek terapi yang lebih

dalam, area yang hendak disemprot diposisikan terulur,

posisi sprayer dengan area yang akan diterapi adalah 45

cm, semprotkan 2 – 3 kali pada area yang diterapi (Low,

2000).

(4) Lokal immersion (cold bath)

Metode ini merupakan metode yang paling sederhana

dari metode-metode yang lain, yaitu hanya mencelupkan

bagian yang akan diterapi ke dalam bak yang berisi air es

(16 – 18o C) selama 10 – 15 menit untuk metode

continuous. Dengan metode continuous pada suhu 10o C

penderita akan merasa kurang nyaman sehingga bisa

digunakan metode intermitten, yaitu dengan mencelupkan

bagian yang diterapi selama 1 detik dan diulang-ulang

(55)

BAB IV

KERANGKA KONSEPTUAL

Osteoartritis merupakan kelainan sendi yang ditandai dengan hilangnya

tulang rawan sendi secara progresif serta perubahan reaktif pada tepi tulang dan

subkondral. Osteoartritis merupakan kelainan sendi yang sering ditemukan

diantara lebih dari 100 jenis penyakit sendi yang dikenal dan merupakan

penyebab utama dari nyeri dan kecacatan.

Rasa nyeri mengakibatkan gangguan fungsi dan rasa putus asa dari

penderita osteoartritis lutut sehingga diperlukan penatalaksanaan yang kompleks

untuk mengatasinya. Penatalaksanaan osteoartritis lutut meliputi pendidikan

kesehatan, medikamentosa, proteksi sendi, kontrol berat badan atau diet, program

rehabilitasi medik, penggunaan alat bantu, pembedahan dan psikoterapi. Program

rehabilitasi medik terdiri dari istirahat, terapi latihan dan terapi modalitas fisik

yang berupa terapi panas, terapi dingin, terapi listrik, terapi air dan terapi laser.

Karena kompleksnya penatalaksanaan osteoartritis lutut, maka dilakukan

pembatasan terapi yang diteliti yaitu terapi modalitas fisik yang berupa terapi

panas dan terapi dingin, dengan tujuan utamanya adalah untuk mengurangi nyeri,

dengan melihat frekuensi, lama dan keteraturan penderita osteoartritis lutut

mengikuti terapi tersebut, sebagaimana yang tercantum dalam kerangka

(56)

- Rehabilitasi Medik :

- Penggunaan alat bantu

Pencegahan primer : - Pendidikan kesehatan - Kontrol berat badan / diet

Pencegahan sekunder : - Medikamentosa

Gambar IV.1 Kerangka Konseptual

Keterangan :

= diteliti

(57)

BAB V

METODE PENELITIAN

V.1 Jenis dan Rancang Bangun Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional analitik

yaitu melakukan pengamatan dan wawancara langsung dengan responden,

sedangkan rancang bangun penelitian ini adalah cross sectional yaitu

mempelajari hubungan penyakit dan paparan dengan cara mengamati status

paparan dan penyakit serentak pada individu-individu dari populasi tunggal, pada

satu saat atau periode (Murti, 2003).

V.2 Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita osteoartritis lutut

yang mengikuti program rehabilitasi medik, berupa terapi panas atau terapi

dingin di Instalasi Rehabilitasi Medik RSU Dr. Soetomo Surabaya pada bulan

Maret sampai dengan Mei 2006.

V.3 Sampel, Besar Sampel, Cara Penentuan Sampel dan Cara Pengambilan

Sampel

V.3.1 Sampel Penelitian

Sampel penelitian ini adalah penderita osteoartritis lutut yang sewaktu

penelitian dilakukan minimal sudah lima kali mengikuti terapi panas atau terapi

dingin di Instalasi Rehabilitasi Medik RSU Dr. Soetomo pada bulan Maret

(58)

V.3.2 Besar Sampel

Besar sampel dalam penelitian ini adalah :

n = Z 21 - α/2 p ( 1 – p )

d 2

Keterangan :

n = Besar sampel

Z 1-α/2 = Deviasi normal standar ditentukan. Karena α yang ditentukan sebesar

5 % maka Z 1-α/2 = 1,96

d = Tingkat kecermatan yang diinginkan ditentukan sebesar 0,1

p = Proporsi penderita osteoartritis di Instalasi Rehabilitasi Medik tahun

2005= 11,38%

Berdasarkan perhitungan rumus di atas maka besar sampel yang diambil dalam

penelitian ini dapat dihitung sebagai berikut :

n = ( 1,96 ) ² x 0,1138 ( 1 - 0,1138 )

( 0,1 ) ²

= 38,74 dibulatkan menjadi 39

Sehingga besar sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 39

sampel untuk terapi panas dan 39 sampel untuk terapi dingin.

V.3.3 Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik random sampling

sederhana (Simple Random Sampling), yaitu dengan melakukan pengundian

unsur-unsur penelitian atau satuan-satuan elementer dalam populasi. Terlebih

dahulu semua unit penelitian disusun dalam kerangka sampling, kemudian ditarik

Gambar

Gambar IV.1  Kerangka Konseptual
Tabel VI.1  Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur di IRM RSU Dr. Soetomo Surabaya pada Bulan Maret - Mei 2006
Tabel VI.3  Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di IRM RSU Dr. Soetomo Surabaya pada Bulan Maret - Mei 2006
Tabel VI.5  Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Osteoartritis Lutut di IRM RSU Dr. Soetomo Surabaya pada Bulan Maret - Mei 2006
+7

Referensi

Dokumen terkait

Diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pola pertumbuhan dan kondisi cumi-cumi yang terdapat di Perairan Banyuasin, sehingga menghasilkan informasi yang dapat

Peneliti membahas mengenai “Pengaruh Dana Pihak Ketiga, Kecukupan Modal Dan Resiko Kredit Terhadap Profitabilitas.”Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah apakah rasio

Aktor merupakan orang, proses, atau sistem lain yang berinteraksi dengan sistem informasi yang akan dibuat itu sendiri, jadi walaupun simbol dari aktor adalah gambar orang, tapi

A Kawasan code yang sehat dan nyaman

Puji syukur saya panjatkan atas kehadirat ALLAH SWT karena atas berkat rahmat dan ridho-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Pengaruh

Dalam memberikan pengertian mengenai definisi tentang Informasi dalam undang-undang Rahasia Dagang tidak dijelaskan sama sekali, bagaiman bentuk informasi yang dimaksud

1) Pemeliharaan kesehatan yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus untuk penyakit-penyakit tertentu, antara lain demam berdarah, cacingan, muntaber. 2) Penjaringan

Dalam proses pembelajaran banyak model, metode dan pendekatan yang digunakan oleh pendidik sangat beragam dan keberagaman dari setiap metode ini ada yang cocok dan