• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN LINGK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN LINGK"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN

LINGKUNGAN HIDUP

Anisa Aulia

anisaaulia170@students.unnes.ac.id

Abstrak

Masyarakat merupakan subjek yang memiliki peran penting dalam pengelolaan lingkungan hidup yang diatur dalam UUPLH. Peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup melibatkan individu, kelompok masyarakat, dan organisasi-organisasi lingkungan. Dengan telah ditegaskannya peran masyarakat dalam UUPLH, maka masyarakat telah mendapatkan landasan yang kuat bagi pelaksanaan peranannya dalam pengelolaan lingkungan hidup. Namun terkadang tidak jarang masyarakat dengan tingkat kepedulian yang rendah terhadap lingkungan sendiri bahkan tidak segan untuk merusaknya

Lingkungan adalah kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup keadaan sumber daya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral, serta flora, dan fauna yang tumbuh diatas tanah maupun di dalam lautan, dengan kelembagaan yang meliputi ciptaan manusia seperti keputusan bagaimana menggunakan lingkungan fisik tersebut. Lingkungan juga dapat diartikan menjadi segala sesuatu yang ada disekitar manusia dan memengaruhi perkembangan kehidupan manusia.

(2)
(3)

Lingkungan hidup dapat dikatakan bagian yang mutlak dari kehidupan manusia dan menjadi sumber utama bagi manusa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dari lingkungan hidup, manusia dapat memanfaatkan bagian-bagian lingkungan hidup seperti hewan, tumbuhan, air, udara, sinar matahari, garam, kayu, barang-barang tambang dan lain sebagainya; dari lingkungan pula manusia dapat memeroleh kebtuhan prier dan sekundernya, bahkan manusia dapat berkreasi dan mengembangkan bakat atau seninya.[1]

Berbicara mengenai lingkungan tidak lepas kaitannya dengan permasalahan yang terjadi di dalamnya. Pembangunan yang dilakukan secara spartan terutama di daerah perkotaan, baik yang terjadi di negara berkembang atau di negara maju sekalipun, telah merubah cara pandang masyarakat mengenai lingkungan. Mereka menganggap lingkungan sebagai sesuatu yang harus dikuasai dan dimanfaatkan dari pada dirawat dan dipelihara. Hal ini berakibat akan ketidaksesuaian pada fungsi lingkungan, yaitu fungsi daya dukung, daya tampung, dan daya lenting. Seringkali proses pembangunan hanya memperhitungkan cost benefit ratio tanpa mamperhitungkan social cost dan ecological cost. Mayoritas pengembangan hanya menganggap lingkungan sebagai benda bebas (res nullius) yang digunakan sepenuhnya untuk mendapatkan laba yang sebesar-besarnya dalam waktu yang relatif singkat, yang berakibat terganggunya fungsi lingkungan hidup.[2]

Tantangan terhadap kelestarian lingkungan hidup ini menjadi salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh manusia. Bahkan sudah menjadi masalah yang menembus batas-batas negara, dan mempertaruhkan eksistensi manusia di muka bmi. Manusia hanyalah salah satu unsur dalam mata rantai kehidupan di bumi, yang menyebabkan ketergantungan pada sistem planet bumi sebagai life support system. Sifat kebergantungan manusia terhadap lingkungan ini dikuasai oleh hukum-hukum ekologi.[3] Kerusakan lingkunan sudah

menjadi masalah yang sangat mendesak untuk segara ditangani bagi kehidupan manusia, karena dalam hal ini manusia yang menjadi pelaku sekaligus sebagai korbannya. Keadaan semacam ini membuat lingkungan terancam oleh potensi krisis lingkungan.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut dengan UUPP-LH) merupakan langkah awal kebijakan untuk penegakan hukum lingkungan hidup. UUPPLH memuat prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan hidup yang berfungsi memberikan arahan (direction) bagi sistem hukum lingkungan nasional, dan setelah 15 tahun akhirnya undang-undang ini pun di cabut karena dianggap kurang sesuai dengan

1 NHT Siahaan, Ekologi Pembangunan dan Hukum Tata Lingkungan (Jakarta: Erlangga,

1987), 1

2 Syamsul Machmud, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia (Yogyakarta: Graha

Ilmu, 2012), 1

3 Ibid., hlm. 2

4 Yulanto Araya, “Penegakan Hukum Lingkungan Hidup di tengah Pesatnya

Pembangunan Nasional,”

(4)

agar terwujud pembangunan berkelanjutan sperti apa yang dicitakan yaitu dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 209 dengan alasan agar lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, melalui penjatuhan sanksi pidana yang cukup berat di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.[4]

1 NHT Siahaan, Ekologi Pembangunan dan Hukum Tata Lingkungan (Jakarta: Erlangga,

1987), 1

2 Syamsul Machmud, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia (Yogyakarta: Graha

Ilmu, 2012), 1

3 Ibid., hlm. 2

4 Yulanto Araya, “Penegakan Hukum Lingkungan Hidup di tengah Pesatnya

Pembangunan Nasional,”

(5)

B. Kronologi Kasus

Sabana seluas 4.600 hektar yang tersebar di lima kabupaten Nusa Tenggara Timur terbakar. Kebakaran terluas ada di Kabupaten Sumba tahun. Di pulau Timor, kebakaran sering terjadi di Timor tengah Selatan dan Timor Tengah Utara. Pula Flores sangat jarang sekali kebakaran kecuali di Sikka. Sebagian besar pantai utara Sikka didominasi sabana” katanya. Lima titik api ada di Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata, Kecamatan Pureman, Kabupaten Alor, Kecamatan Mollo Selatan, Timor Tengah Selatan, Kecamatan Nggaha Ori Angu, Kabupaten Sumba Timur, dan Kecamatan Umbu Ratu Nggay, Kabupaten Sumba Tengah.

Setiajid mengatakan, fasilitas pemantauan satelit di Stasiun Meteorologi El Tari tidak mendeteksi luasan lahan terbakar. Namun, Stasium Meteorologi El Tari mencatat dalam tiga bulan terakhir terjadi kebakaran hampir di semua Kabupaten NTT. Bahkan, beberapa waktu lalu disekitar Bandara El Tari terjadi kebakaran. Api tidak meluas karena kawasan hutan terbatas. Hasil pantauan melalui satelit dilaporkan ke Polda NTT dan Pemkab setempat untuk ditindak lanjuti. Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Umbu Manurara yang dihubungi di Sumba Tengah mengatakan, luasan terbakar di Sumba Timur dan Sumba Tengah mengatakan, luasan terbakar di Sumba Timur dan Sumba Tengah sekitar 4.200 hektar. Kebakaran berawal dari sabana Napu di Sumba Timur kemudian merambat ke Padang Tanah Mbana, Soru, dan Bilu Pangodhu di Sumba Tengah. Sebagian kawansan Taman Nasional Umbu Ratu Nggay di Sumba Tengah ikut terbakar.

Di Sumba, pada saat memasuki musim kemarau, umumnya padang penggembalaan akan dibakar untuk mendapatkan rumput yang hijau bagi hewan gembalaan. Namun, sampai saat ini belum ada lembaga yang melarang untuk menjaga dengan ketat agar kawasan padang penggembalaan tidak dibakar. Ketua Aliansi Masyarakat Adat Molo, Timor Tengah Selatan, Alenta Baun mengatakan, luas kebakaran di Kecamatan Mollo Selatan sekitar 250 hektar, termasuk sebagian cagar alahm Gunung Mutis. “Kami berulang kali melakukan sosialisasi, bahkan menggelar ritual adat agar warga tidak membakar lahan. Namu, setiap tahun selalu kebakaran,” katanya.

Abdul Dore, warga Pureman Alor, mengatakan, kebakaran di Pureman di perkirakan luasnya mencapai 100 hektar. Yohanes Lajar dari

[5] “4.600 Hektar Sabana Terbakar.” Surat Kabar Kompas, 31 Agustus 2017, Bagian

(6)

Lebatka mengatakan, luas kawasan hutan yang terbakar 50 hektar, tetapi sudah padam. Kebakaran tersebut menyebabkan rusaknya ekosistem, mata air kering, tanah longsor di musim hujan, serta flora dan fauna yang terancam punah. Kepala Bidang Human Polda NTT Ajun Komisaris Besar Jules Abraham Abast mengatakan, tidak ada laporan masayrakat terkait dengan keakaran karena sudah dianggap sebagai tradisi.[5]

[5] “4.600 Hektar Sabana Terbakar.” Surat Kabar Kompas, 31 Agustus 2017, Bagian

(7)

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana perkembangan kebijakan dan peraturan mengenai lingkungan hidup di Indonesia? bidang ilmu hukum yang paling strategis karena hukum lingkungan mempunyai banyak segi yaitu segi hukum administrasi, segi hukum pidana dan segi hukum perdata. Dalam pengertian sederhana, hukum lingkungan diartikan sebagai hukum yang mengatur tatanan lingkungan atau lingkungan hidup, dimana lingkungan mencakup semua benda dan kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah laku perbuatannya yang terdapat dalam ruang dimana manusia berada dan memengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan

Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan, bahwa sistem pendekatan terpadu atau utuh harus diterapkan oleh hukum untuk mampu mengatur lingkungan hidup manusia secara tepat dan baik, sistem pendekatan ini telah melandasi perkembangan hukum lingkungan di Indonesia. Drupsteen mengemukakan, bahwa hukum lingkungan (Millieu Recht) adalah hukum yang berhubungan dengan lingkungan alam (Naturalijk Millieu) dalam arti seluas-luasnya. Ruang lingkupnya berkaitan dengan dan ditentukan oleh ruang lingkup pengelolaan lingkungan.

Sejalan dengan terjadinya pergantian pemerintah di Indonesia, pada tahun 2004 yang lalu telah diadakan pemilihan umum untuk pertama kalinya memilih langsung Presiden RI, dan terpilihlah pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden. Dalam masa pemerintahannya, Presiden Sudilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 204-2009. Dalam ketentuan Perpres Nomor 7 Tahun 2005 pada poin 8 tentang Pemenuhan Hak Atas Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam, dinyatakan bahwa peningkatan akses masyarakat miskin dalam pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan hidup dan sumber daya alam dilaukan melalui berbagai program. Program-program tersebut antara lain adalah:[6]

[6] Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia Sebuah Pengantar (Jakarta: Sinar Grafika,

(8)

1. Program Pemanfaatan Sumber Daya Hutan. Di dalam proram sumber daya hutan ini tercakup 2 (dua) hal:

a. Pengembangan sistem pemanfaatan sumber daya alam yang berpihak pada masyarakat dan memperhatikan pelestarian hutan;

b. Pengembangan hutan kemasyarakatan dan usaha perhutanan rakyat. 2. Program Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam. Di dalam

program ini tercakup 8 (delapan) hal, yakni:

a. Restrukturisasi peraturan tentang pemberian Hak Pengelolaan Sumber Daya Alam;

[6] Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia Sebuah Pengantar (Jakarta: Sinar Grafika,

(9)

b. Pembangunan organisasi masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup;

c. Pengembangan dan penyebarluasan pengetahuan tentang pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, termasuk kearifan lokal;

d. Pengembangan sistem insentif bagi masyarakat miskin yang menjaga lingkungan;

h. Meningkatkan dan mengefektifksn kerjasama antarnegara dalam mengatasi dan mencegah perdagangan hasil alam yang dilakukan secara ilegal dan merusak alam.

3. Program pengembangan Kapasiatas Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. di dalam program ini terdapat 5 (lima) hal yang menjadi sorotan, yaitu:

a. Pengembangan sistem pemenfaatan sumber daya alam oleh masyarakat;

b. Pengembangan sistem pengolaan sumber daya alam yang memeberikan hak kepada masyarakat secara langsung.

c. Berorientasi kerjasama dengan perusahaan multinasional yang memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan hidup agar lebih berpihak pada masyarakt miskin;

d. Kerjasama dan tukar pengalaman dengan negara lain dalam meningkatkan penelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan; e. Meningkatkan dan mengefektifkan kerjasama antarnegara dalam

mengatasi dan mencegah perdagangan hasil alam yang dilakukan secara ilegal dan merusak alam.

4. Program Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup. di dalam program ini mencakup: Pentingnya peran sektor informal khususnya pemulung dan lapak dalam upaya pemisahan sampah;

5. Penegakan hukum bagi pihak yang merusak sumber daya alam dan lingkungan hidup; Kerjasama dan tukar pengalaman dengan negara lain dan lembaga internasional dalam mengatasi dan mencegah pencemara lingkungan hidup dan mengembangkan kode etik global bagi perusahaan multinasional.

Saat ini kebijakan lingkungan hidup Indonesia untuk jangka panjang mengacu pada Undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP) dalam berbagai aspek/sektor pembangunan sebagai upaya menyebarkan dan mencapai tujuan nasional sebagaimana tersebut dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Adapun misi jangka panjang Indonesia yang berkaitan dengan lingkungan hidup ada

[7] Mella Ismelina Farma Rahayu, “Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat Adat dalam

Pengelolaan

(10)

apa Visi dan Misi Pembangunan Nasional 2005-2025, pada butir ke 6, yaitu “Mewujudkan Indonesia Asri dan Lestari”.

Mekanisme Hukum yang Mengatur Masyarakat dalam Pengelolaan Masyarakat

Dalam pengelolaan lingkungan hidup, peran serta masyarakat sangat penting artinya bagi terlaksananya pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan. Ada dua hal yang perlu mendapat perhatian jika kita berbicara tentang peran serta. Pertama, peran serta masyarakat merupakan hak dasar setiap warga negara (hak asasi manusia) dan dijamin oleh konstitusi yaitu dalam Pasal 28 UUD 1945. Kedua, peran serta itu dimaksudkan untuk melindungi kepentingan publik dalam pemanfaatan sumber daya alam.[7]

[7] Mella Ismelina Farma Rahayu, “Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat Adat dalam

Pengelolaan

(11)

Sebagai pengimbangan dan adanya hak untuk berperan serta dalam pengolaan lingkungan hidup, maka UUPLH mengatur pula mengenai kewajiban masyarakat dalam memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup, termasuk mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.[8]

Keberadaan masyarakat yang merupakan salah satu bentuk pelaksanaan dari peran serta masyarakat dalam pengeolaan lingkungan hidup berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UUPLH, memberikan peluang yang besar bagi masyarakat adat untuk mengembangkan peranannya dalam mengelola lingkungan hidup mengingat mereka mempunyai kearifan tradisional yang diperoleh dari pengalamannya berinteraksi dengan alam secara langsung.

Berkaitan dengan kasus diatas, membakar padang penggembalaan untuk mendapatkan rumput yang hijau merupakan sebuah kebiasaan yang hidup dikalangan masyarakat NTT. Kebiasaan ini biasa menyebabkan lahan lebih dari 1000 hektar terbakar dan menyebabkan pencemaran udara. Hal ini sangat bertentangan dengan peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup. Masyarakat yang dalam hal ini memiliki peran dan kewajiban menjaga lingkungan hidup agar tetap lestari namun justru menjadi penyebab rusaknya lingkungan tersebut. Maka dari itu, masyarakat sendiri haruslah memiliki kesadaran akan kewajibannya dalam menjaga alam sekitar, kebiasaan yang menyebabkan lebih banyak dampak negatif dari pada dampak positifnya dapat diubah dengan mencari alternatif yang lebih baik dan tidak memiliki potensi untuk merusak alam.

Ketua Aliansi Masyarakat Adat Molo, Timor Tengah Selatan, telah beberapa kali melakukan sosialisasi kepada masyarakat hingga menggelar ritual adat agar masyarakat tidak membakar lahan. Namun, hal ini tidak memberikan efek apapun, karena setiap tahun lahan masih tetap di bakar oleh masyarakat. Dalam hal ini kita dapat meilhat bahwa kesadaran dari masyarakat yang sangat kecil untuk menjaga lingkungan hidup.

KESIMPULAN

Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan bahwa Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Negara memiliki kewajiban untuk mengatur sumber daya alam agar dapat dimanfaatkan ntuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mencapai kebahagiaan hidup yang berdasarkan Pancasila. Namun begitu, masyarakat juga memiliki peran yang sangat penting dalam pengelolaan lingkungan hidup. pengaturan hukum secara umum mengenai peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup telah di atur dalam UUPLH.

Kesadaran akan kewajiban juga harus tertanam dalam jiwa masyarakat disamping mengelola lingkungan juga harus mementingkan kestabilitasan lingkungan sekitar. Menggunakan cara yang tidak memiliki potensi untuk merusak alam dalam mengelolanya. Indonesia merupakan negara yang sangat kuat akan tradisi atau kebiasaannya, namun dilihat dari dampak yang di timbulkan melalui kebiasaan tersebut yang apabila berpotensi rusaknya

(12)

lingkungan, maka sebaiknya mencari alternatif yang lebih baik supaya tetap menjaga kelestarian lingkungan dan tradisi.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Machmud, Syahrul. Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012.

Siahaan, NHT. Ekologi Pembangunan dan Hukum Tata Lingkungan. Jakarta: Erlangga, 1987.

Supriadi. Hukum Lingkungan di Indonesia; Sebuah Pengantar. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Araya, Yulanto. “Penegakan Hukum Lingkungan Hidup di tengah Pesatnya Pembangunan Nasional,” Jurnal Legislasi Indonesia 10, no. 1 (2013).

(14)

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan petugas keamanan yang non-SKP yaitu tenaga outsourching berjumlah 120 orang bertugas sebagai asisten sekuriti yang bertugas pada area perparkiran yang diberi

Penelitian mengenai penerapan E-Procurement telah banyak dilakukan, seperti penelitian Amelia, dkk (2012) dengan judul Penerapan E-Procurement dalam Proses Pengadaan

Putusan No.08 /Pdt.G/2013/PA.Sgr Menimbang, bahwa berdasarkan fakta sebagaimana diuraikan di atas, dihubungkan dengan ketentuan hukum tersebut, Majelis Hakim

Caranya dengan membagi domain aliran kedalam elemen-elemen kecil (segitiga, polygon 2D, tetrahedral, quadrilateral) yang disebut cell. Gabungan dari cell-cell tersebut

pendapatan mengalami peningkatan yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan tahun 2016, hal ini menunjukkan bahwa bahwa pendapatan daerah Kabupaten OKU Sangat

Pengembangan sistem manajemen keamanan pangan sebaiknya dilakukan dengan mendasarkan pada dokumentasi sestem manajemen mutu ISO 9001 yang sudah diterapkan perusahaan dengan

Pihak kedua akan melakukan supervisi yang diperlukan serta akan melakukan evaluasi terhadap capaian kinerja dari perjanjian ini dan mengambil tindakan yang diperlukan dalam

Aljabar max-min, yaitu himpunan semua bilangan real R dilengkapi dengan operasi max (maksimum) dan min (minimum), telah dapat digunakan dengan baik untuk memodelkan dan