• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Perang Melawan Terorisme Detase

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Strategi Perang Melawan Terorisme Detase"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Strategi Perang Melawan Terorisme: Detasemen 88 Anti Teror Polri

dan Tumpang Tindihnya Kebijakan Keamanan di Indonesia

I. Latar Belakang

Perang melawan terorisme menjadi salah satu agenda keamanan global terpenting pasca serangan teror 9/11 di Amerika Serikat. Agenda ini bahkan selalu mendapatkan justifikasi dari negara-negara yang kerap dijadikan target sasaran teror, untuk

memperkuat sektor keamanannya dalam menghadapi situasi terburuk atas ancaman teror. Bahkan, kecenderungan keamanan kerap dijadikan faktor penentu dalam mendorong model pembangunan perdamaian di wilayah-wilayah khusus dan diidentifikasi sebagai basis negara pencetak kelompok-kelompok radikal, seperti Afganistan dan Irak.1

Konteks keamanan global kemudian hadir dan digunakan untuk melumpuhkan kelompok-kelompok fundamentalis yang memiliki kekuatan teror secara global, namun konteks ini juga memiliki beberapa implikasi serius yang bisa dirasakan secara meluas, khususnya pada isu pembangunan perdamaian dan hak asasi manusia.

Untuk isu hak asasi manusia, kita bisa langsung merujuk pada sejumlah temuan yang dikeluarkan oleh Open Society Foundation berjudul Globalizing Torture: CIA Secret Detention and Extraordinary Rendition. Laporan itu menerangkan secara gamblang tentang bagaimana Central Intelligence Agency (CIA) sebagai badan intelijen nasional Amerika Serikat berkolaborasi dengan 54 pemerintahan lainnya untuk ‘menyukseskan’ agenda perang melawan terorisme, melalui strategi dan cara perang yang mendehumanisasikan manusia. Menariknya, dalam laporan tersebut, diterangkan pula keterlibatan Badan Intelijen Negara (BIN) –lembaga negara sektor keamanan di Indonesia- sebagai salah satu kolaborator utama pada agenda ini.2

Di sini, hak asasi manusia tidak bisa dipisahkan dari konteks keamanan global. Mengingat subyek dari agenda ini adalah individu-individu yang juga memiliki hak-hak asasi setara dengan individu lainnya. Keamanan dan hak-hak asasi manusia kemudian menjadi amat signifikan untuk dikelola bersama, mengingat hingga kini belum ada satu definisi baku yang bisa memberikan pengertian komprehensif tentang apa itu terorisme. Bahkan ketika Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memutuskan untuk memasukkan isu terorisme sebagai salah satu isu HAM pokok -dengan memasukkan elemen hak asasi manusia- untuk memantau agenda keamanan global pada medio tahun 2005, PBB juga tidak memberikan definisi baku atas terminologi tersebut.

1 Lihat: Perbandingan konteks pembangunan dan keamanan antara Afganistan dan Irak kemudian dapat dilihat dari analisa yang ditulis dengan judul Security Force Development in Afghanistan : Learning from Iraq (Olga Oliker). Materi dapat diakses di:

http://www.rand.org/content/dam/rand/pubs/testimonies/2012/RAND_CT378.pdf diakses pada tanggal 3 Januari 2013.

2 Lihat: Laporan Open Society Foundations untuk judul yang sama dapat diakses di:

(2)

Meskipun demikian, dalam laporan Dewan HAM PBB yang ditulis oleh Pelapor Khusus untuk urusan Promosi dan Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamental Ketika Memerangi Terorisme berjudul “Promotion and Protection of Human Rights: Report of the Special Rapporteur on the Promotion and Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms while Countering Terrorism, Martin Scheinin”,3 ada ukuran yang bisa digunakan untuk melihat intensi teror dan terorisme:

Pertama, tindakan tersebut memiliki intensi yang mematikan atau mampu melukai tubuh, atau para pelaku melakukan penyanderaan. Kedua, tindakan tersebut memiliki tujuan untuk memprovokasi teror, memperluas intimidasi, atau menarik perhatian negara/organisasi internasional lainnya untuk melakukan atau tidak melakukan respons atas tindakan tersebut. Ketiga, tindakan-tindakan tersebut bisa dikategorikan terorisme apabila masuk dalam kategori pelanggaran konvensi dan protokol

internasional yang berkaitan dengan terorisme.4

Lebih lanjut, dimensi hak asasi manusia dalam isu terorisme ini juga harus

mengakomodir konsep hak-hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights) sebagaimana yang juga diterangkan dalam Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, khususnya pada hak atas hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, hak beragama, dan hak untuk tidak diperbudak. Dalam konteks ini, PBB ingin menempatkan agenda memerangi terorisme sebagai peluang untuk memperluas pemahaman keadilan sosial, kesetaraan dan dialog global. Namun demikian, agenda memerangi terorisme juga memiliki polemiknya tersendiri mana kala isu keamanan kemudian dijadikan daya tawar untuk memberikan bantuan kerja sama ekonomi. Mengingat stabilitas keamanan dan politik kerap dijadikan rujukan utama untuk membangun keberlanjutan investasi, khususnya di negara-negara berkembang. Konteks ini akan menjadi ilustrasi menarik ketika kita melihat seberapa banyak dukungan perbantuan proyek anti-terorisme di dapat oleh Indonesia, akan tetapi minim ruang akuntabilitas dan pembuktian profesionalismenya.

Di sini, pengalaman-pengalaman kita membuktikan bahwa mengelola demokrasi transisional tidaklah semudah yang kita prediksikan. Pengelolaan ini tidak semata-mata membutuhkan instrumen-instrumen politik yang memenuhi prasyarat

akuntabilitas, transparansi dan profesionalisme segenap aparatusnya, namun juga dibutuhkan kemauan politik dari para pemimpin negara untuk bisa menjawab problem ketidakadilan sosial yang sejak dulu hingga kini masih menjadi persoalan besar. Salah satu problem ketidakadilan sosial di Indonesia banyak terkait dengan isu pengelolaan keamanan. Isu ini kemudian menjadi kecenderungan yang kerap muncul pasca 1998 di sejumlah wilayah khusus dan memiliki kekhasan tersendiri. Sebut saja beberapa wilayah di Indonesia bagian timur, termasuk juga Aceh dan Timor Timur sebelum jajak pendapat 1999.

3 Lihat: http://daccess-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/G05/168/84/PDF/G0516884.pdf? OpenElement diakses pada tanggal 3 Januari 2013.

(3)

Konflik komunal dan kekerasan yang memiliki corak pelanggaran HAM serius muncul di sejumlah wilayah seperti di Ambon, Poso, Papua, Kalimantan, Timor Timur hingga Aceh.5 Wilayah-wilayah ini menjadi sangat sensitif dan mendapat penanganan khusus dari Jakarta.6 Kekhususannya kemudian terletak pada seberapa jauh mobilisasi aktor-aktor keamanan dan sumber daya yang menyertainya

dikerahkan untuk meredam ketegangan sosial tersebut.7

Tidak hanya itu, KontraS juga memandang adanya korelasi yang cukup kuat untuk melihat praktik ketidakadilan sosial dengan serangkaian aksi teror di Indonesia yang sudah terjadi lebih dari satu dekade. Dalam beberapa laporan HAM yang pernah dikeluarkan KontraS berdasarkan hasil pemantauan lapangan, isu ketidakadilan sosial muncul sebagai konsekuensi terkuat dari salah pengelolaan proyek pasca konflik yang memicu merebaknya korupsi di wilayah-wilayah pasca konflik, pembangunan yang tidak berperspektif korban, ketidakjelasan program pemulihan hak-hak korban, mandeknya program deradikalisasi, hingga brutalitas aparat keamanan dalam merespons kebijakan anti-teror di wilayah-wilayah khusus seperti Poso dan Aceh.8 Bahkan dalam laporan penelitian yang dikeluarkan oleh Setara Institute berjudul dari Radikalisme menuju Terorisme: Studi Relasi dan Transformasi Organisasi Islam Radikal di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, juga diterangkan hilangnya nilai toleransi justrumampu memicu aksi teror, dengan menguatnya organisasi-organisasi radikal dan adanya kedekatan relasi antara kelompok-kelompok tersebut dengan teroris.9 Indikasi transformasi kelompok-kelompok radikal menjadi teroris juga disebutkan dalam beberapa laporan kajian keamanan yang dikeluarkan oleh International Crisis Group (ICG).10

Jika dilihat dari kecenderungan pola penanganan yang ada, Pemerintah Indonesia kerap melakukan modifikasi pendekatan penyelesaian masalah. Namun demikian, dari modifikasi penyelesaian masalah yang ada, pemerintah Indonesia kerap menggunakan pendekatan keamanan untuk menjawab persoalan yang ada.11

Dalam konteks penanganan konflik sosial, Jakarta sempat menggunakan beberapa langkah positif dengan membuka beberapa meja perundingan dan mendorong beberapa inisiatif lokal, sebagaimana yang terjadi di Aceh dan beberapa wilayah konflik lainnya. Akan tetapi sinyalemen ini juga tidak menurunkan intensitas keamanan sebagai jawaban dari persoalan-persoalan yang ada. Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) Helsinki 2005 sempat didahului dengan penerapan

5 Lihat: Derailed: Transitional Justice in Indonesia Since the Fall of Soeharto:

http://kontras.org/buku/Indonesia%20report-derailed-Eng.pdf diakses pada tanggal 3 Januari 2013. 6 Lihat:Ibid

7 Lihat: Ibid.

8 Lihat: Laporan Pemantauan KontraS: Temuan Lapangan dari Poso Sulawesi Tengah

http://kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=1614 diakses pada tanggal 3 Januari 2013. 9 Lihat: http://www.setara-institute.org/id/content/dari-radikalisme-menuju-terorisme diakses pada tanggal 3 Januari 2013.

10 Lihat: http://www.crisisgroup.org/~/media/Files/asia/south-east-asia/indonesia/228-how-indonesian-extremists-regroup.pdf diakses pada tanggal 3 Januari 2013.

11 Lihat: Indonesia: Rethinking Internal Security Strategy, International Crisis Group:

(4)

status darurat militer di tahun 2003 dan menurunkannya menjadi status darurat sipil di tahun 2004.

Keputusan-keputusan politik keamanan ini memang dilandasi oleh kegagalan

Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam menemukan titik kesepahaman melalui meja perundingan. Namun, model keputusan semacam ini juga tidak luput dari dinamika politik keamanan global pasca serangan bom dan teror di World Trade Center (WTC) New York 9 September 2001 dan keputusan sepihak Amerika Serikat untuk mengokupasi Irak di tahun 2003 sebagai preseden penting perang melawan terorisme.12 Pengalaman Aceh sedikit banyak telah membuktikan adanya modifikasi pola penanganan urusan keamanan yang sudah memasukkan perspektif anti-teror di dalamnya.13

Tidak hanya Aceh, persoalan keamanan di Poso tahun 2003 juga sedikit banyak menggunakan perspektif anti-terorisme. Pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh Kepala Badan Intelijen Negara (Ka.BIN) Hendropriyono yang menegaskan adanya keterlibatan kelompok teroris Internasional (Al-Qaeda) dan kelompok radikal dalam konflik Poso.14 Penegakan operasi hukum dan keamanan untuk memburu kelompok teror di Poso juga dilakukan dalam konteks penanganan Bom II/II Bali, JW Marriott dan Ritz Carlton hingga medio 2007 dan 2010.15

Berangkat dari pengalaman-pengalaman penanganan urusan keamanan di wilayah konflik, nampaknya ada kebutuhan untuk memperkuat perspektif anti-teror,

sebagaimana langkah global yang telah diambil banyak negara pasca serangan 9/11 di Amerika Serikat. Keputusan-keputusan politik lokal di sektor keamanan juga makin menguat pasca lawatan kenegaraan Presiden Megawati Sukarnoputri ke Amerika Serikat beberapa hari setelah 9/11 terjadi. Uniknya, kunjungan kenegaraan Indonesia ini dipandang oleh banyak pakar politik sebagai komitmen Indonesia –negara

demokrasi dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia- untuk terlibat dalam agenda besar memerangi terorisme bersama dengan Amerika Serikat.

Hal yang dapat diduga kemudian adalah komitmen Bush dalam mendorong agenda reformasi militer Indonesia dalam konteks demokrasi transisional. Pertemuan ini juga menyepakati beberapa hal, khususnya pada bagaimana agenda reformasi militer Indonesia dapat bersinergi dengan agenda utama Amerika Serikat untuk memerangi radikalisme dan teror yang menyertainya.16

12 Lihat: Reformasi and Resistence – Human Rights Defenders and Counter-Terrorism in Indonesia, Human Rights First (Series of Human Rights Defenders and Counter-Terrorism No. 2), New York 2005: http://www.humanrightsfirst.org/wp-content/uploads/pdf/reformasi-resist-052505.pdf diakses pada tanggal 3 Januari 2013.

13 Ibid

14 Lihat: Hendropriyono – Konflik Poso Melibatkan Teroris Internasional dalam

http://news.liputan6.com/read/25320/hendropriyono-konflik-poso-melibatkan-teroris-internasional

diakses pada tanggal 3 Januari 2013.

15 Lihat: Catatan Ringkas KontraS tentang Densus 88 Periode Tahun 2000 – 2010. Tidak dipublikasikan.

16 Lihat: Megawati Flies to Meet Bush (http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/1550015.stm) dan Transkrip Percakapan George W. Bush dengan Megawati Soekarno Putri

(5)

Kertas posisi ini kemudian juga ingin membuktikan beberapa hal: (1) Membuktikan adanya dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan Densus 88 Anti Teror Polri, (2) Membuktikan minimnya ruang pertanggungjawaban atas dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan Densus 88 Anti Teror Polri.

Dalam temuan KontraS, melalui riset ini juga didapati bahwa kebijakan-kebijakan anti-terorisme di Indonesia tidak dilengkapi dengan perangkat pelindung dan

profesionalitas hak asasi manusia. Terutama mereka yang dijadikan tersangka teroris. Hingga kini tidak ada upaya koreksi yang signifikan terhadap ekses yang timbul dari operasi-operasi anti-teror Densus 88 AT Polri.

II. Proyek Kontra Terorisme di Indonesia

Khusus di Indonesia, kristalisasi kelompok-kelompok radikal berbasis fundamentalis keagamaan menguat pasca jatuhnya Orde Baru 1998. Jamaah Islamiyah (JI) sebuah kelompok fundamentalis regional dan memiliki basis massa yang cukup besar di Indonesia diduga kuat bertanggung jawab dalam serangkaian serangan bom di Bali pada tahun 2002 dan 2005.17 Peristiwa itu setidaknya memakan korban jiwa lebih dari 200 orang dan ratusan lainnya luka-luka.

Meski sulit untuk menunjukkan keterkaitan antara Al-Qaeda dengan Jamaah Islamiyah dalam serangkaian aksi teror di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, namun sebaran organisasi ini memiliki simpul yang cukup luas baik di Indonesia, Malaysia, maupun sebagian wilayah di Thailand dan Filipina.18 Organ paramiliter lainnya seperti Laskar Jihad yang kini telah bertransformasi menjadi Front Pembela Islam (FPI) juga dapat diidentifikasi sebagai bagian dari persebaran

kelompok-kelompok fundamentalis tersebut. Laskar Jihad bahkan terlibat aktif dalam konflik Ambon dan Poso, di mana perekrutan kelompok muda untuk diasah

militansinya dengan sentimen anti Kristen sempat dilakukan.19 Uniknya, organisasi ini hidup dan dibesarkan dari aliran pendanaan beberapa elite militer Indonesia, dengan motif untuk melindungi kepentingan ekonomi, melakukan penekanan kepada

kelompok-kelompok pro-demokrasi, dan bahkan terlibat dalam beberapa operasi keamanan di wilayah-wilayah konflik di Indonesia.20

Dalam kondisi ini, negara mengambil respons politik dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2002 tentang Tim Pemberantasan Tindak Pidana terorisme Termasuk pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 200221 yang kemudian diperkuat dengan dikeluarkannya Peraturan Pengganti Undang-Undang

17 Lihat: Indonesia Backgrounders: How the Jemaah Islamiyah Terrorist Network Operates:

http://www.crisisgroup.org/~/media/Files/asia/south-east-asia/indonesia/043%20-%20Indonesia %20Backgrounder%20-%20How%20The%20Jemaah%20Islamiyah%20Terrorist%20Network %20Operates.pdf diakses pada tanggal 3 Januari 2013.

18 Ibid.

19 Kirsten E. Schultze, “Laskar Jihad and the Conflict in Ambon” dapat dilihat di:

http://www.watsoninstitute.org/bjwa/archive/9.1/Indonesia/Schulze.pdf halaman 58. Diakses pada tanggal 3 Januari 2013.

20 Lihat: Robert W. Hefner, “Islam and Asian Security,” Strategic Asia 2002-03, hal 378

21 Lihat: Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2002 tentang Tim Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Termasuk pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 4 Januari 2013.

(6)

Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.22 Tidak hanya itu, pemerintah melalui Kementerian Koordinator bidang Politik dan Keamanan segera membentuk Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme yang langsung berada di bawah koordinasi Menkopolkam yang saat itu dijabat oleh Susilo Bambang Yudhoyono.

Dalam Surat Keputusan Nomor 26/Menko/Polkam/11/2002 dijabarkan bahwa Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme adalah terdiri dari kesatuan Anti Teror Polri (Detasemen C Resimen IV Gegana), Brimob Polri dan 3 organisasi anti teror di tubuh TNI, termasuk juga Badan Intelijen Negara (BIN).23 Dalam perkembangannya desk ini kemudian dileburkan menjadi Satuan Tugas Antiteror yang bernaung di bawah Departemen Pertahanan, yang saat itu dipimpin oleh Matori Abdul Djalil.24

Namun satuan ini tidak berhasil membangun dinamika yang kokoh sebagai kesatuan. Ketidakkokohan dalam membangun ruang koordinasi juga berpotensi menghambat kinerja satuan elite tersebut dalam mencegah dan memberantas terorisme. Di lain pihak, inisiatif Mabes Polri untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) Bom Polri dalam mengusut kasus Bom Natal tahun 2001 menjadi fenomenal. Satgas ini kemudian menangani banyak kasus pengeboman yang terkait dengan kepemilikan aset internasional, sebut saja kasus Bom Bali I, Bali II, Marriott, dan bom di Kedutaan Besar Australia.

Secara struktur Satgas Bom Polri berada di bawah kendali Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri pimpinan Brigadir Jenderal Polisi Gories Mere, yang kemudian digantikan oleh Brigadir Jenderal Polisi Bekto Suprapto, hingga terakhir dipimpin oleh Brigadir Jenderal Polisi Surya Dharma Salim Nasution. Kelak Bekto Suprapto dan Surya Dharma memimpin kendali Densus 88 Anti Teror Mabes Polri sebagai komandan pertama dan kedua.

Sebagai informasi dalam tubuh Polri terdapat beberapa kesatuan anti teror yang memiliki kemiripan fungsi dan tanggung jawab, seperti Satuan Anti Teror Gegana Brimob Polri dan Direktorat VI Anti Teror. Uniknya, Direktorat VI Anti Teror juga berada di bawah naungan Bareskrim Mabes Polri dengan fungsi dan tanggung jawab yang sejenis dengan Satgas Bom Polri. Lahirnya Skep Kapolri Nomor 31/VI/2003 juga merupakan langkah internal Polri dalam merampingkan kesatuan-kesatuan yang serupa.

22 Lihat: Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

http://portal.mahkamahkonstitusi.go.id/eLaw/mg58ufsc89hrsg/perpu1_2002.pdf diakses pada tanggal 4 Januari 2013.

23 Lihat:Kep-26/Menko?Polkam/II/2002 tentang Pembentukan Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Republik Indonesia

http://www.polkam.go.id/LinkClick.aspx?fileticket=4dtvP7C824s%3D&tabid=60&mid=405 diakses pada tanggal 4 Januari 2013.

(7)

Selanjutnya Pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi

Undang-Undang.25 Undang-Undang ini kemudian menjadi landasan hukum dalam memberikan kewenangan tata kelola kebijakan penanganan anti-terorisme yang dilakukan Polri khususnya Densus 88. Sedangkan unsur Intelijen dan TNI menjadi badan pendukung pemberantasan tindak pidana terorisme yang akan diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

III. Performa Densus 88

Dalam Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia, di Pasal 23 diterangkan tentang definisi, tugas dan struktur utama Detasemen Khusus 88 Anti Teror Mabes Polri. Sebagai sebuah unit anti teror yang khusus dibentuk di bawah Kepolisian Negara Republik Indonesia; terpisah dari unit anti teror lainnya yang melekat pada kesatuan ataupun matra Angkatan Darat, Laut, dan Udara.

Detasemen Khusus 88 Anti Teror Mabes Polri, atau yang lebih dikenal sebagai Densus 88 dibentuk pada tahun 2003 dengan modal 16 juta US Dollar, mendapat pelatihan khusus dari unit anti teror Amerika Serikat dan badan intelijen Amerika Serikat –termasuk Central Intelligence Agency (CIA)-.26 Sebagai unit khusus, Densus 88 hanya memiliki 400 personel yang dibekali dengan kemampuan teknik intelijen, investigasi dan teknik melumpuhkan lawan secara efektif. Unit ini juga dibekali dengan peralatan-peralatan anti-teror yang mumpuni.

Dalam artikel ringkas yang dikeluarkan oleh Human Rights First (HRF) diterangkan pula mengenal dukungan Amerika Serikat perihal agenda anti-teror ini. Mathey P. Daley, Asisten Wakil Sekretaris Negara Amerika Serikat menerangkan bahwa keberadaan Densus 88 merupakan, “substantially enhance the Indonesian

Government’s Capability to neutralize terrorist cells and conduct terrorism-related criminal investigations”.27

Densus 88 adalah unit yang berbeda dengan unit tempur lainnya yang sudah terlebih dahulu dimiliki oleh Polri, seperti Brigade Mobil (Brimob) yang juga kerap

diturunkan untuk menghadapi situasi keamanan yang khusus maupun kedaruratan. Secara struktur koordinasi, unit ini mendapatkan pengarahan langsung dari Markas Besar (Mabes) Polri. Meskipun demikian, Densus 88 tetap memiliki Kepala Densus 88 yang bertanggung jawab untuk menjalankan operasi dan ruang koordinasi lainnya. Tahun 2004 menjadi debut pertama dari operasi anti-teror Densus 88.

25 Lihat: Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003: http://www.kontras.org/uu_ri_ham/UU%20Nomor %2015%20Tahun%202003%20tentang%20Anti%20Terorisme.pdf diakses pada tanggal 4 januari 2013.

26 Elaborasi sejarah Densus 88 disarikan dari tulisan Indonesia: Retthinking Internal Security Strategy (ICG):

http://www.crisisgroup.org/~/media/Files/asia/south-east-asia/indonesia/090_indonesia_rethinking_internal_security_strategy.pdf diakses pada tanggal 10 Januari 2013

27 Lihat: Densus 88 and the Asia Pivot, Diana Sayeed, Human Rights First, 2012:

(8)

Selanjutnya, berikut ini adalah elaborasi ringkas tentang mandat, kewenangan dan tanggung jawab Densus 88 yang disarikan dari Peraturan Kapolri Nomor 23 Tahun 2011 tentang Prosedur Penindakan Tersangka Tindak Pidana Terorisme, di mana peraturan internal ini bersifat mengikat dan memiliki segala ketentuan kewajiban yang harus dijalankan oleh unit Densus 88.

Dalam Perkap tersebut juga dijelaskan tentang tujuan dari perencanaan standar pedoman dalam melakukan penindakan tersangka tindak pidana terorisme secara profesional dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum (Pasal 2).

Perkap juga mengatur mengenai perangkat struktur penindakan terorisme di bawah Densus 88. Terdiri dari:

Korbrimob Polri: Unsur pelaksana tugas pokok di bidang birgade mobil yang berada di bawah Kapolri yang bertugas menyelenggarakan pembinaan

keamanan khususnya yang berkenan dengan penanganan gangguan keamanan yang berintensitas tinggi dalam rangka penegakan keamanan dalam negeri

Wanteror Gegana Korbrimob Polri: Satuan perlawanan/penindakan pelaku kejahatan terorisme yang menggunakan senjata api dan bom atau yang

berintensitas tinggi dengan menggunakan teknik dan taktik serta peralatan khusus

Pasal 23:

(1) Detasemen Khusus 88 Anti Teror disingkat Densus 88 AT adalah unsur pelaksana tugas pokok di bidang penanggulangan kejahatan terorisme yang berada di bawah Kapolri (2) Densus 88 AT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertugas menyelenggarakan fungsi

intelijen, pencegahan, investigasi, penindakan, dan bantuan operasional dalam rangka penyelidikan dan penyidikan tindak pidana terorisme

(3) Densus 88 AT dipimpin oleh Kepala Densus 88 AT disingkat Kadensus 88 AT, yang bertanggung jawab kepada Kapolri

(4) Kadensus 88 AT dibantu oleh Wakil Kadensus 88 AT disingkat Wakadensus 88 AT.

PRINSIP-PRINSIP PENINDAKAN TERORISME (Pasal 3):

(a) Legalitas, yaitu penindakan terhadap pelaku tindak pidana terorisme berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan

(b) Proporsional, yaitu tindakan yang dilakukan sesuai dengan eskalasi ancaman yang dihadapi

(c) Keterpaduan, yaitu memelihara koordinasi, kebersamaan, dan sinergitas segenap unsur/komponen bangsa yang dilibatkan dalam penanganan

(d) Nesesitas, yaitu bahwa teknis pelaksanaan penindakan terhadap tersangka tindak pidana terorisme dilakukan berdasarkan pertimbangan situasi dan kondisi lapangan

(9)

Manajer Penindakan: Perwira pengendali lapangan yang ditunjuk Kadensus 88 Anti Teror (AT) Polri yang bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan pada tahap pra penindakan dan aksi penindakan

Ketua Tim Penindak (Katim Penindak): Perwira pengendali taktis dan teknis Tim Penindakan yang bertanggung jawab kepada Manajer Penindakan, yang dalam pelaksanaannya Katim Penindak dapat berasal dari Subbid SF Densus 88 AT Polri atau Katim Wanteror Gegana Korbrimob Polri

Tim Penindak: Personel Polri yang melaksanakan penindakan, meliputi Subbid Stricking Force (SF) Densus 88 AT Polri da/atau Wanteror Gegana Korbrimob Polri

Subbid SF: Satuan penindakan dari Bidang Tindak Densus 88 AT Polri yang bertugas melakukan tindakan melumpuhkan, penetrasi, penggeledahan dan penyitaan barang bukti terhadap tersangka tindak pidana terorisme

Manajer Tempat Kejadian Perkara: Perwira pengendali lapangan yang ditunjuk Kadensus 88 AT Polri yang bertanggung jawab terhadap kegiatan pasca penindakan dalam penanganan TKP

BidTindak Densus 88 AT Polri: Unsur pelaksana utama di bawah Kadensus 88 AT Polri yang bertugas melakukan penindakan terhadap pelaku tindak pidana terorisme melalui kegiatan negosiasi dan pendahulu, serta melakukan penindakan terhadap pelaku tindak pidana terorisme sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan

Bidintelijen Densus 88 AT Polri: Unsur pelaksana utama Densus 88 AT Polri di bawah Kadensus 88 AT Polri yang bertugas menyelenggarakan dan

membina fungsi intelijen yang berhubungan dengan hakekat ancaman terorisme, dengan melaksanakan kegiatan pengamatan, mencari pelaku teror melalui kegiatan pembuntutan (survailance), deteksi, analisis lapangan dan penilaian (assessment) informasi secara fisik terhadap perkembangan

lingkungan serta menganalisis aktivitas dan pergerakan pelaku tindak pidana terorisme

Bidinvestigasi Densus 88 AT Polri: Unsur pelaksana di bawah Kadensus 88 AT Polri yang bertugas melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana terorisme sesuai peraturan perundang-undangan

Bidbanops Densus 88 AT Polri: Unsur pelaksana utama di bawah Kadensus 88 AT Polri yang bertugas memberikan dukungan teknis, mendata kasus bom (database bom) serta melaksanakan koordinasi dan kerja sama dengan

lembaga atau instansi terkait di dalam dan di luar negeri

(10)

Satgaswil Densus 88 AT Polri: Unsur pelaksana tingkat wilayah di bawah Densus 88 AT yang bertugas menyelenggarakan dan membina fungsi intelijen yang berhubungan dengan hakekat ancaman terorisme, untuk mengetahui aktivitas dan pergerakan, mencari pelaku teror, analisis lapangan dan assesment/penilaian informasi secara fisik terhadap perkembangan

lingkungan, serta menganalisis aktivitas dan pergerakan pelaku tindak pidana terorisme melalui jaringan intelijen dan teknologi informasi.

Adapun struktur kerja organisasi Densus 88 di tingkat Markas Besar dapat dilihat sebagai berikut:

STRUKTUR ORGANISASI DETASEMEN KHUSUS 88 ANTI TEROR (TINGKAT MABES )

(11)

Dua kegiatan di atas seharusnya diiikuti dengan beberapa tahapan lainnya seperti, tahap peringatan, penetrasi, melumpuhkan tersangka, penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan barang bukti.28

Sebagai catatan, dalam situasi tertentu kegiatan penindakan dapat dilakukan tanpa didahului dengan kegiatan negosiasi dan peringatan atas pertimbangan situasi darurat, berdasarkan tingkat ancaman maupun pertimbangan lainnya. Perkap ini juga

mengatur klausul tentang pertanggungjawaban hukum apabila operasi penindakan tersebutkan menyebabkan matinya seseorang/tersangka (Pasal 19 ayat 3).

Selain itu, untuk menunjang operasi Densus 88 juga dapat meminta dukungan dari pihak internal dan eksternal Polri. Dukungan internal Polri meliputi unit Baintelkam, Bareskrim, Baharkam, Korbrimob, Divhubintern, dan Satwil –yang disesuaikan dengan tugas dan fungsinya masing-masing (Pasal 44 ayat 2).

Sedangkan dukungan dari pihak eksternal Polri bisa didapat dari institusi-institusi seperti TNI, Kementerian Luar Negeri, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN), Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), Badan SAR Nasional, pemerintah daerah, dinas kesehatan, Perusahaan Listrik Negara (PLN), penyelenggara jasa telekomunikasi, media, tenaga ahli dan masyarakat (Pasal 45 ayat 3).

Khusus untuk elemen-elemen pendukung eksternal yang berada di bawah payung pemerintah daerah, seperti dinas pemadam kebakaran, dinas pekerjaan umum, dan perusahaan daerah air minum. Dukungan tenaga ahli seperti tenaga di sektor teknologi informasi, akademisi, psikologi, medis dan konstruksi bangunan juga menjadi tenaga sektor ahli yang diterangkan dalam Perkap (Pasal 45 ayat 4).

Dukungan masyarakat seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, RT/RW dan Pam Swakarsa juga kemungkinan besar akan dilibatkan dalam proses penindakan (Pasal 45 ayat 5). Terakhir Perkap ini juga menerangkan bahwa seluruh permintaan dukungan eksternal yang dilakukan oleh Manajer Penindakan harus dilaporkan kepada Kadensus 88 AT Polri (Pasal 45 ayat 6).

IV. Operasi Anti Terorisme dan Dugaan Praktik Pelanggaran HAM

Belum ada satu mekanisme internal maupun eksternal yang bisa digunakan sebagai fungsi kontrol akuntabilitas dan profesionalisme dari Densus 88 dan para personelnya. Sebagai unit khusus di bawah ketentuan internal Mabes Polri, Densus 88 seharusnya tunduk pada sejumlah aturan internal, baik Peraturan Kapolri maupun aturan internal lainnya. Maupun fungsi-fungsi pengawasan eksternal yang melekat pada sejumlah komisi-komisi negara independen, seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komisi Penanggulangan Korupsi, PPATK dan lain sebagainya.

Sepanjang satu dekade terakhir, Densus 88 memang berhasil melumpuhkan jaringan teror di beberapa daerah. Publik bahkan memberikan apresiasi tinggi terhadap performa Densus 88 tersebut. Adapun beberapa operasi yang bisa diruntut di sini adalah sebagai berikut:

(12)

1. Operasi penangkapan Amrozi, Imam Samudera, Ali Imron untuk kasus Bom Bali I (2002)

2. Penangkapan Rois dan Sogir –tersangka kasus peledakan Kedubes Australia- (2004)

3. Penyerbuan dan pelumpuhan Dr. Azahari di Kota Batu, Malang (2005) 4. Operasi penangkapan dan penyergapan pelaku Bom Bali II dan Bom JW.

Marriott – Ritz Charlton dilakukan antara tahun 2006-2009

5. Penyergapan dan pelumpuhan Noordin M. Top di Kota Temanggung, Jawa Tengah (2009)

6. Penyergapan dan penangkapan Abu Bakar Ba’asyir (2010)

Namun,

terorisme Densus 88 yang menuai kritik akibat tidak diterapkannya prinsip

akuntabilitas dan jaminan perlindungan hak asasi manusia. Selain itu, diketahui juga beberapa dari operasi ini tidak menggunakan ukuran penindakan tersangka tindak pidana terorisme yang jelas. Beberapa contoh kasus yang bisa diangkat di sini adalah sebagai berikut:

Operasi penegakan hukum di Poso (2006-2007)

Densus 88 AT diturunkan dalam meredam aksi kekerasan fundamentalis berbasis agama yang dilakukan oleh kelompok-kelompok teror di Poso. Namun demikian operasi ini tidak menggunakan prosedur tetap.

Penggerebekan kelompok teroris di Pegunungan Jalin, Jantho Provinsi Aceh (2010)

Di awal tahun 2010, terjadi penyergapan di Pegunungan Jalin Janto, Aceh Besar. Polisi menduga tempat itu merupakan lokasi latihan militer teroris kelompok Jamaah Islamiyah. Dalam penggerebekan yang dilakukan tiba-tiba di malam hari, berhasil menangkap 3 orang tersangka dan beberapa barang bukti. Tidak terdapat tindakan perlawanan dari para tersangka, namun seorang warga sipil bernama Kamaruddin (37 tahun) tewas tertembak dan 2 warga lainnya juga mengalami luka akibat tembakan dari pihak Densus 88. Salah seorang dari tersangka yang ditangkap, didakwa Pasal 14 jo pasal 7, Pasal 15 jo Pasal 9 dan Pasal 13 UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme serta Pasa1 1 UU Darurat.

“Musuh yang dihadapi polisi adalah kelompok yang pernah berlatih militer di Afganistan, Pakistan, Mindanao, Poso, Maluku, Aceh, hingga Sumatera Utara. Dalam pelatihan, mereka diajarkan pengenalan dan penggunaan berbagai jenis senjata api, membuat bom, hingga taktik penyerangan di berbagai medan. Para teroris memiliki senpi berbagai jenis, amunisi, hingga alat peledak. Mereka memiliki ideologi untuk mati syahid dalam jihad, menganggap polisi sebagai kafir sehingga melakukan perlawanan jika ditangkap. Menganggap dapat pahala jika dapat membunuh polisi. Mereka diindoktrinasi bahwa polisi itu kafir yang darahnya hala.

(13)

Maret 2010, penyergapan teroris Aceh terus dilakukan di beberapa tempat seperti Lamkabeau, Pidie, Lhokseumawe, Leupang, Banda Aceh, Seulawah, dan Meulaboh. Dari penyergapan-penyergapan tersebut, 5 orang tewas tertembak (1 orang di Pidie, 1 orang tersangka dan 1 orang warga sipil bernama Nuhbari di Lamkabeau, dan 2 orang di Leupang). Satu orang luka tembak (penyergapan di Pidie), 28 orang ditahan (13 orang ditangkap di Aceh Besar dengan dugaan melakukan latihan militer, 14 orang dan 1 orang salah tangkap di Meulaboh.

Penggerebekan kelompok teroris di Cawang, DKI Jakarta dan Cikampek, Provinsi Jawa Barat (2010)

Operasi Densus 88 pada tanggal 12 Mei 2010 ini di awali dari penggerebekan tiba-tiba di Cawang (Jakarta Timur). Sempat terjadi penembakan dan

menewaskan 3 orang yang diduga polisi sebagai pelaku kejahatan terorisme. Operasi penggerebekan kemudian berlanjut ke Cikampek, di mana baku tembak juga terjadi dan menewaskan 2 orang yang diduga polisi terlibat aksi terorisme. Satu orang ditahan. Identitas keenam orang terduga teroris tersebut sebelum dan pada saat penggerebekan tidak diketahui (Mr. X). Pasca

penangkapan barulah pihak kepolisian mengeluarkan beberapa nama. Pada kasus Cawang akhirnya, 2 jenazah tak dikenal yang ditembak Densus 88 di Cawang, dimakamkan pada Selasa (8/5/2010). Tidak ada pihak yang tahu siapa keluarga kedua jenazah tersebut. Termasuk polisi yang menembak mati keduanya dengan tuduhan teroris.

Operasi penangkapan kelompok perampokan Bank CIMB Medan dan penyerangan Mapolsek Hamparan Perak, Provinsi Sumatera Utara (2010)

Pasca perampokan Bank CIMB Niaga Medan, pihak kepolisian, terutama Densus 88 Anti Teror Polri melakukan operasi penyergapan sejumlah orang yang diduga terlibat dalam perampokan Bank CIMB Niaga Medan. Selama operasi tersebut, sekitar 18 orang ditahan, 6 orang mengalami luka tembak, seorang diintimidasi, dan 10 orang tewas ditembak.

Pada 19 September 2010, Densus 88 melakukan penangkapan di Belawan, Tanjung Balai, Percut Sei Tuan, dan Hamparan Perak Medan. Empat orang mengalami luka tembak dan dirawat di RS Deli Medan. Seorang diantaranya bernama Khairul Ghazali ditangkap pada saat sholat. Tiga orang tewas tertembak, serta 3 orang telah dibebaskan karena tidak terdapat bukti yang kuat.

Sebelumnya, pada 27 Agustus 2010 pukul 04.00 WIB, Densus 88 juga melakukan penggeledahan kerumah salah seorang ibu bernama Tiorina Br Siregar (66 Tahun), beralamat di Kampong Bahalat II Nagori Mekar Bahalat Kecamatan Jawa Maraja Bah Jambi Kabupaten Simalungun. Pada kasus ini, Densus 88 salah sasaran dan menyebabkan kerugian harta dan tekanan psikis kepada warga.

(14)

2010, 2 orang di antara mereka akhirnya dibebaskan karena tidak adanya bukti. Seorang ayah dari 2 kakak beradik mengalami intimidasi oleh Densus 88 dengan menodongkan senjata ke arahnya.

Tanggal 19 September 2010, di Kota Rantang Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang, Densus 88 menembak dan penangkap Marwan, yang diduga kuat sebagai otak perampokan Bank CIMB Bank Niaga. Setelah penangkapan Marwanm Densus 88 melanjutkan operasi ke rumah istri Marwan di Gang Bilal, Hamparan Perak, Deli Serdang.

Di rumah Marwan, Densus 88 menembak di bagian kaki 2 orang bernama Anton Sujarwo dan Eben alias Abah. Selain itu Densus 88 juga menangkap Kasman Hadiyono (kakak ipar Marwan). Setelah mennjalani interogasi di Markas Brimob Kelapa Dua Jakarta, Kasman Hadiyono akhinya dibebaskan karena tidak terbukti terlibat kasus terorisme.

Operasi Kontijensi Sumatera Utara (2010)

Pada 20 September 2010, penggerebekan terjadi di Medan dan Lampung. 7 orang warga yang berasal dari luar Medan ditangkap oleh Densus 88 di tiga lokasi warnet di Medan, yakni 2 orang ditangkap di warnet Artanet, 2 orang ditangkap di warnet Serasi dan 3 orang ditangkap di warnet Kendari. Ketujuh orang tersebut masih menjalani pemeriksaan. Pada bulan Oktober 2010, terjadi baku tembak di Desa Martebing Dolok Masihol yang mengakibatkan

tewasnya 2 orang terduga teroris. Disamping itu 3 orang ditahan pada penyergapan di sebuah rumah kontrakan di Deli Serdang.

(Keterangan: Salahsatu tersangka perampokan Bank CIMB Niaga yang dilumpuhkan dalam Operasi Kontijensi Polda Sumatera Utara di Dolok Masihol, © KontraS)

Operasi penangkapan bom bunuh diri Mapolsek Cirebon (2011)

Diidentifikasi 1 orang meninggal akibat bom bunuh diri (pelaku bom bunuh diri), 2 terduga jaringan bom bunuh diri di Cirebon, ditembak ditempat pada saat penggerebekan di Cemani, Sukoharjo Jawa Tengah, Sabtu dini hari, 14 Mei 2011. Satu warga sipil (pedagang angkringan) tewas akibat

(15)

(keterangan: Foto Nur Iman (pedagang angkringan) yang tewas ditembak aparat Densus 88 di TKP © KontraS).

Operasi penangkapan penembakan Bank BCA Palu (2011)

Dari operasi yang digelar, 2 terduga pelaku, tewas tertembak saat penyisiran di Desa Tambaro, Poso Sulawesi Tengah, yakni Fauzan alias Ujang alias Carles dan Dayat alias Faruk.

Bom Cirebon

Operasi Solo (2012)

Operasi Densus 88 di Papua

Beberapa bentuk tindakan yang muncul dalam Operasi Anti-Terorisme dan

mendominasi sepanjang tahun 2006-2012 adalah: Penahanan sewenang-wenang, luka yang menyebabkan kematian (tewas di TKP), dan penyiksaan.

Adapun jenis-jenis pelanggaran HAM yang kerap muncul adalah pelanggaran atas kategori: Hak untuk hidup, hak atas rasa aman dan bebas, dan hak atas peradilan yang adil dan manusiawi.

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

(16)

Investigasi Khusus KontraS

1. Poso

Dalam kasus konflik Poso, upaya-upaya kontra-terorisme masih sewenang-wenang dilakukan, dengan adanya penangkapan/penahanan yang tidak sesuai prosedur dan terjadinya kekerasan serta penembakan warga selain pelaku terorisme. Insiden beruntun yang terjadi di Tanah Runtuh pada 22 Oktober 2006, 11 Januari 2007, dan 22 Januari 2007 terjadi secara sistematis dan tertutup. Pelaku teror memiliki keahlian khusus yang membuat sosoknya sulit diidentifikasi. Sepanjang tahun 2003-2007, setidaknya 51 orang mengalami praktik penyiksaan. Sepuluh orang mengalami luka tembak melalui proses penangkapan sewenang-wenang. Enam belas orang ditembak mati di TKP.

Operasi penegakan hukum juga kembali dilakukan di tahun 2012. Secara khusus KontraS juga melakukan pemantauan lapangan pada pertengahan September 2012 di 3 desa di Poso, yaitu Dusun Tamanjeka, Poso Pesisir dan Desa Kalora, Poso Pesisir Utara. Pemilihan 3 desa ini amat terkait dengan masifnya implikasi situasi keamanan di Poso.29 Temuan menarik dari lapangan menunjukkan beberapa hal seperti:

Pertama, kondisi salah kelola proyek pasca deklarasi perdamaian Poso (Deklarasi Malino I) pada 20 Desember 2001, bahkan tidak ada tindak lanjut atas kebijakan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 2005 tentang Langkah-Langkah Komprehensif Penanganan Masalah Poso. Inpres tersebut ditujukan kepada jajaran menteri

koordinator, pejabat negara setingkat menteri seperti Jaksa Agung, Kapolri, Panglima TNI, Kepala Badan Intelijen Negara, termasuk hingga pemerintah daerah setingkat provinsi dan kabupaten.

Kedua, terkait dengan proses hukum dan kasus korupsi yang belum tuntas. Adanya dugaan kasus korupsi atas proyek dana kemanusiaan di Poso, sehingga menimbulkan situasi ketidakadilan sosial yang berkepanjangan juga menjadi salahsatu faktor pemicu menguatnya radikalisasi di sana. Ketiga, menguatnya radikalisasi sebagai respons atas gagalnya kemampuan negara untuk menciptakan keadilan di Poso. Hal ini terkait dengan urusan pengembalian hak-hak keperdataan milik korban dan warga Poso yang hingga kini tidak jelas arahnya.

Dari hasil pemantauan lapangan KontraS diketahui bahwa kebijakan penanganan terorisme di Poso masih amat mengedepankan cara-cara vulgar dan mengeksploitasi instrumen kekerasan, baik yang dimiliki oleh Densus 88 maupun unsur aparat keamanan terkait

[Elaborasi data kekerasan Densus 88 di Poso, Nusa Tenggara, dll)

Beberapa catatan KontraS dalam operasi anti-terorisme yang digelar di Poso, meliputi hal-hal berikut ini: prosedur operasi yang tidak jelas, Penembakan secara acak, Penembakan pada bagian yang mematikan, penggunaan senjata dan amunisi

(17)

baru, penggunaan senjata militer yang mematikan, cara bertindak aparat yang memicu kemarahan warga, lemahnya pengendalian operasi

(Dokumentasi KontraS 2012)

Data Kasus Penangkapan Sewenang-Wenang, Penyiksaan, Tembak Mati/Luka di Poso

(Dokumentasi KontraS 2012)

2. RMS, Maluku

Dalam kasus penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan terhadap 23 aktivis Republik Maluku Selatan (RMS) yang berdekatan dengan kunjungan Presiden SBY pada acara Sail Banda 3 Agustus 2010, setidaknya tuduhan yang dilayangkan adalah melakukan tindak pidana kejahatan keamanan negara/pemufakatan jahat/melakukan perbuatan sesuatu yang melawan hukum (Pasal 106 KUHP/Pasal 110 KUHP/Pasal 55 dan 56 KUHP)

(18)

ditahan di Rutan Samapta Polda Maluku di Tantui Kota Ambon, 3 orang ditahan di Polres Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease dan 6 orang ditahan di Rutan Polsek Saparua Kabupaten Maluku Tengah.

Meski operasi ini tidak termasuk dalam kategori operasi anti-terorisme, namun Polri tetap menggelar di bawah nama operasi Mutiara Banda Siwalima 2010 (5-20 Agustus 2010), di mana 20 personel Densus 88 AT terlibat di dalamnya.

Dugaan kuat terjadinya tindak pelanggaran HAM: Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penyiksaan dan perlakuan lain yang merendahkan martabat manusia, kekerasan fisik saat penangkapan dan proses investigasi yang dilakukan personel Densus 88 Anti Teror di Markas Densus 88 AT Tantui dan Mapolsek Saparua nyaris dialami oleh semua korban. Layanan kesehatan yang tidak memadai,

pembatasan bantuan hukum, pembatasan akses keluarga juga menjadi hambatan yang dirasakan langsung oleh korban.

Diduga kuat terlibat sejumlah aktor negara dan keamanan: 7 orang aparat Polda Maluku, yang terdiri dari PLH Kadensus 88 Anti Teror dan 4 orang penyidik

pembantu di Densus 88 AT; Kepala Pengawas Rutan Samapta Polda Maluku, Kepala Detasemen Markas Polda Maluku; 1 orang anggota Polres Pulau Ambon dan Pulau Lease, 1 orang anggota Polsek Saparua; 1 orang anggota TNI Distrik Saparua dan Camat Saparua.

Isu kekerasan dan potensi adanya pembiaran tindak kekerasan yang dilakukan oleh personel Densus 88 sedikit banyak menimbulkan keresahan publik dan resistensi dari kalangan pegiat hak asasi manusia. Tingginya angka pembunuhan kilat dan strategi anti-teror yang justru mempertinggi angka dehumanisasi berpotensi untuk memicu radikalisasi yang luas di kalangan kelompok-kelompok fundamentalis religius dan individu-individu radikal, khususnya dalam mengkristalisasikan gagasan tentang jihad yang dikombinasikan dengan isu teror tersebut.30

Bahkan dalam laporan yang baru-baru saja dikeluarkan oleh Open Society Foundation berjudul Globalizing Torture: CIA Secret Detention and Extraordinary Rendition31

juga diterangkan beberapa informasi menarik seputar kolaborasi antara Central Intelligence Agency (CIA) dengan Badan Intelijen Negara (BIN) terkait upaya untuk menggulung jejaring teroris pasca 9/11. Dalam laporan tersebut, Indonesia merupakan satu dari 54 pemerintahan yang berkolaborasi dengan CIA.

Dalam laporan setebal 120 halaman diketahui bahwa keterlibatan Indonesia,

khususnya BIN melalui Letnan Jenderal TNI (Purn) AM. Hendropriyono yang telah membangun kerja sama dengan CIA untuk melakukan sejumlah penangkapan sewenang-wenang. Diketahui bahwa operasi ini dilakukan sejak awal tahun 2002. BIN turut menangkap Muhammed Saad Iqbal Madni (warga negara Mesir) atas

30 Lihat: Detachment 88 Encouraging Terrorist Revenge Attacks http://www.abc.net.au/news/2013-02-08/detachment-88-encouraging-terrorist-revenge-attacks/4508010 diakses pada tanggal 19 Februari 2013

31 Lihat: http://www.opensocietyfoundations.org/sites/default/files/globalizing-torture-20120205.pdf

(19)

permintaan CIA; Salah Nasir Salim Ali Qaru (Marwan al-Adeni) yang ditangkap tahun 2003 –sempat ditahan di Indonesia-, dikirim ke Yordania dan mendapatkan penyiksaan serius dari intelijen Yordania, hingga akhirnya dikirim ke Yaman pada Mei 2005; Omar al-Faruq yang juga ditangkap di Indonesia dan ditahan dalam

pengawasan CIA. Laporan ini juga menerangkan bahwa tidak ada prosedur

penyelidikan ataupun mekanisme judisial lainnya yang ditempuh di Indonesia terkait dengan kolaborasi BIN dan CIA pada prosedur penangkapan sewenang-wenang untuk sejumlah nama dengan dugaan keterlibatan terorisme.

V. Perbantuan Asing dalam Penanganan Terorisme di Indonesia

Dalam agenda keamanan global, khususnya proyek anti terorisme, dibutuhkan akselerasi sumber daya manusia dan pendanaan yang cukup besar untuk bisa memaksimalkan

Sudah menjadi rahasia umum bahwa urusan keamanan Indonesia juga melibatkan banyak perbantuan asing, khususnya pada isu pendanaan dan pelatihan. Umumnya negara-negara yang memberikan kontribusi dari segi finansial dan peningkatan kapasitas berasal dari Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Dalam laporan tahunan yang dikeluarkan oleh Jakarta Center for Law Enforcement Cooperation (JCLEC) yang memiliki afiliasi pada Polri, terbitan tahun 2011, diterangkan bahwa seperangkat perbantuan donor yang dikhususnya untuk meningkatkan performa penanganan anti teror dilakukan pada beberapa isu berikut ini:32

1. Bahwa pendanaan terkait dengan penanganan anti-teror di Indonesia didanai oleh beberapa negara berikut ini, yaitu Australia, Kanada, Jerman, Inggris, Spanyol, dan Amerika Serikat

2. Bahwa pendanaan tersebut digunakan untuk meningkatkan kapasitas dan pemahaman personel densus pada isu sebagai berikut: pembangunan kapasitas pemberantasan terorisme –termasuk di dalamnya adalah pembekalan teknik intelijen, teknik kimia dan bahan ledak, dan penyelundupan manusia, analisa internet, program negosiasi krisis, investigasi anti terorisme, Disaster Victims Identification (DVI), wawancara dan penanganan informan, manajemen investigasi anti teror, manajemen kejahatan lintas negara dan terorisme di kawasan Asia Tenggara

3. Laporan JCLEC juga mencantumkan jumlah total pendapatan dan pengeluaran dana donor yang digunakan untuk pembiayaan pelatihan dan pengeluaran operasional lainnya.

Sebuah artikel yang ditulis oleh Tom Allard di tahun 2010 juga menerangkan adanya standar ganda dalam model perbantuan asing kepada sektor-sektor keamanan di Indonesia. Standar ganda ini terletak dari seberapa jauh performa akuntabilitas dan profesionalitas para personel keamanan yang dibebankan tugas untuk menjalankan operasi-operasi anti-terorisme dengan jumlah besaran dana yang dikucurkan oleh negara-negara pemberi perbantuan tersebut.33

32 http://www.jclec.com/index.php?

option=com_docman&task=doc_download&gid=307&Itemid=42&mode=view diakses pada tanggal 10 Januari 2013.

33 Lihat: The Dream Job for Police http://www.smh.com.au/world/the-dream-job-for-police-20100912-1571f.html dan Indonesia New Danger from Within

(20)

Jumlah total pendapatan yang cukup besar untuk bisa menghadirkan dan melibatkan kontribusi pendanaan asing untuk itu penanganan anti teror di Indonesia juga masih ditambah dengan hadirnya sumber pendanaan domestik melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2013, di mana untuk sektor keamanan, ketertiban umum dan kepastian hukum mendapat alokasi sekitar 36.5 trilyun. Anggaran ini meningkat signifikan dari jumlah anggaran yang disediakan pada tahun 2007 sebesar 28,3 trilyun. Keseluruhan anggaran tersebut akan digunakan untuk meningkatkan kapasitas peralatan Polri sebesar 15.336 unit alat utama dan alat khusus Sabhara, termasuk 28.590 unit alat utama yang difungsikan untuk pemeliharan ketertiban mayarakat. Anggaran tersebut juga digunakan untuk meningkatkan kemampuan dan memantau termasuk mendeteksi secara dini ancaman bahaya terorisme.34

Namun demikian agenda perbantuan asing ini juga mendapat banyak kritik ketika model perbantuan tersebut tidak mampu menjamah ruang akuntabilitas dan agenda penegakan hukum serta hak asasi manusia dari operasi anti-teror yang digelar lebih dari 1 dekade tersebut. Kritik tersebut berkembang luas khususnya ketika personel Densus 88 lebih cenderung memilih teknik pelumpuhan lawan yang amat mematikan –umumnya menggunakan teknik pembunuhan kilat (extra judicial killing)-. Bagian ini akan dielaborasi lebih detail pada sub tulisan selanjutnya.

Kasus-kasus kekerasan dengan latar belakang anti-terorisme bahkan jarang mendapat respons dari negara-negara donor yang selama ini masih konsisten memberikan bantuan pendanaan dan pelatihan kepada Densus 88.35 Amerika Serikat, Inggris dan Australia sebagai 3 negara utama penyokong dana operasional dan peningkatan performa personel Densus 88 kerap mendapat sorotan kritis atas ambiguitas sikapnya yang mendukung penegakan hak asasi manusia namun di sisi berseberangan tidak memiliki posisi tawar yang cukup signifikan dalam mendorong adanya audit HAM dan keamanan pada operasi anti-teror di Indonesia.

Di harian The Sidney Morning Herald meski diterangkan adanya surat resmi kenegaraan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Australia atas dugaan kuat praktik penyiksaan dan kekerasan serius yang dilakukan personel Densus 88 pada kasus penyiksaan aktivis Republik Maluku Selatan (RMS), namun tekanan politik

internasional tersebut menjadi sekadar formalitas manakala aktivis RMS masih tetap ditahan dengan tuduhan separatisme atau makar.36

Inkonsistensi Pemerintah Indonesia dalam menggunakan dan memisahkan terminologi terorisme dan separatisme dalam konteks keamanan Indonesia, yang diarahkan kepada aktivisme politik damai, kelak akan membawa permasalahan

tanggal 10 Januari 2013

34 http://www.anggaran.depkeu.go.id/Content/APBN%202013.pdf diakses pada tanggal 10 Januari 2013.

35 Lihat: Indonesia’s US Funded Anti Terror Police Accused of Fuelling Terrorism:

http://www.guardian.co.uk/world/2013/jan/07/indonesia-violence-police-terrorism diakses pada tanggal 19 Februari 2013.

36 Lihat: Australia Paying Troops who ‘torture’, artikel dapat dilihat di:

(21)

tersendiri apabila Densus 88 dengan kemampuan anti-terornya turut serta menangani problem yang tidak berkaitan dengan kebidangannya.37

Ambiguitas lainnya juga bisa dilihat dari sikap Pemerintah Inggris yang tidak kunjung memberikan tekanan politik pada sejumlah kasus kekerasan serius di Papua dan melibatkan unsur Densus 88 di dalamnya. Sejak tahun 2005 hingga kini Pemerintah Inggris juga konsisten menyalurkan bantuan dana dan pelatihan untuk meningkatkan profesionalitas personel Densus 88 melalui serangkaian program JCLEC.38

VI. Resistensi Aktor dan Kekacauan Legislasi

Proyek anti-terorisme juga tidak bisa dilepaskan dari agenda regulasi nasional di Indonesia. Telah disinggung sebelumnya bahwa UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi rujukan utama dalam

menyelenggarakan proyek anti-terorisme di Indonesia. Namun demikian, agenda ini juga tersebar dalam beberapa aturan perundang-undangan lain, yang juga mengatur tugas dan kewenangan aktor-aktor keamanan, khususnya TNI, polisi dan intelijen. Jika kita telusuri satu persatu, dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia,39 khususnya Pasal 7 ayat 2 huruf b menerangkan tentang

penerapan Operasi Militer Selain Perang (OMSP), di mana salah satunya disebutkan bahwa mengatasi terorisme adalah agenda dari OMSP tersebut. Namun demikian keterlibatan personel TNI dalam agenda anti-terorisme hanya bisa dilakukan apabila mendapatkan rekomendasi dan persetujuan politik dari DPR RI kepada Presiden RI, sebagaimana yang juga diatur dalam UU yang sama.

Salah satu basis argumentasi TNI untuk ikut terlibat dalam agenda anti-terorisme adalah luasnya teritorial yang mendapat pengawasan khusus TNI melalui pendekatan sistem komando teritorial –Komando Daerah Militer (Kodam)- hingga leve level pelosok desa melalui Bintara Pembina Desa (Babinsa).40 Unit-unit pertahanan yang melekat dengan matra Angkatan Darat (AD) juga memiliki satuan-satuan intelijen yang berkualitas dan bisa diandalkan dalam mengumpulkan informasi primer dan sekunder untuk menangkal dan melumpuhkan jejaring teroris di Indonesia.41

37 Lihat: Pernyataan Haris Azhar, Koordinator KontraS yang dikutip dari artikel Human Rights First terkait relasi isu terorisme dan separatisme di Indonesia, berjudul Densus 88 and the Asia Pivot. Artikel dapat dilihat di: http://www.humanrightsfirst.org/2013/01/31/densus-88-and-the-asia-pivot/

diakses pada tanggal 19 Februari 2013.

38 Lihat: UK Trained Counter Terror Unit Targets Papuan Activist (Tapol):

http://tapol.org/sites/default/files/Rights_Violations_Overshadow_Presidential_Visit.pdf diakses pada tanggal 19 Februari 2013.

39 Lihat: UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Dokumen dapat diakses pada:

http://www.sjdih.depkeu.go.id/fullText/2004/34TAHUN2004UU.htm diakses pada tanggal 6 Maret 2013.

40 Adapun struktur komando teritorial tersusun dari Komando Daerah Militer (Kodam), Komando Resort Militer (Korem), Komando Distrik Militer (Kodim), Komando Rayon Militer (Koramil) dan Bintara Pembina Desa (Babinsa).

(22)

Bahkan dalam UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara juga diterangkan peran personel intelijen dalam meredam terorisme melalui aktivitas penggalian informasi (Pasal 31) yang kemudian ditentang oleh banyak aktivis HAM dan

kemanusiaan. Mengingat peran ini sedikit banyak memiliki kemiripan mandat yustisia dengan yang dimiliki oleh para aparat penegak hukum, khususnya kepolisian.

Hadirnya kewenangan ganda yang dimiliki oleh masing-masing sektor keamanan sesungguhnya bisa ditafsirkan dalam beberapa hal. Pertama, terdapat teknik untuk melumpuhkan jaringan terorisme dapat dikatakan tersebar luas di masing-masing sektor keamanan, namun tidak diikuti dengan kemampuan koordinasi untuk

mengakselerasikan teknik, kapasitas dan sektor apa yang memegang kontrol kendali operasi anti-teror. Meskipun telah ada lembaga khusus yang dinamai dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), namun BNPT belum bisa menjalankan fungsi koordinasi yang maksimal. Bahkan badan ini memiliki deputi khusus

penindakan yang memiliki kemiripan kewenangan untuk menggelar operasi anti-teror.42

Kedua, politik pendanaan anti-teror yang juga tersebar di beberapa penjuru sektor keamanan menunjukkan indikasi adanya aliran dana yang cukup besar dalam agenda keamanan nasional, khususnya anti-terorisme di Indonesia. Namun demikian, kucuran pendanaan tersebut –yang mencakup pendanaan dari sektor APBN dan donor

internasional- tidak pernah mendapatkan ruang akuntabilitas yang memadai. Ketiga, prioritas pemerintah dalam memerangi terorisme sebagai salah satu agenda keamanan nasional, nampaknya akan tetap menguat di waktu yang akan datang ketika agenda pengesahan Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional kemudian kerap didahului dengan serangkaian paket pengesahan UU yang memiliki ruang sekuritisasi yang cukup tinggi, seperti UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial,43 Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri,44 sebagai respons politik keamanan nasional atas situasi konflik dan potensi ancaman gangguan keamanan nasional di masa depan. Bahkan ada rencana untuk memodifikasi kewenangan penanganan anti-teror dalam UU Nomor 15 Tahun 2003, dengan meningkatkan jumlah masa pemeriksaan intensif yang sebelumnya hanya dibatasi selama 7 x 24 jam, menjadi 30 x 24 jam.

42 BNPT dibentuk dan diberikan tugas untuk menyusun kebijakan strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme. Untuk melaksanakan tugas penanggulangan terorisme tersebut, BNPT antara lain melakukan fungsi-fungsi koordinasi dalam pencegahan dan pelaksanaan kegiatan melawan propaganda ideologi radikal, pelaksanaan deradikalisasi, perlindungan terhadap objek-objek yang potensial menjadi target serangan teroris, pelaksanaan penindakan, pembinaan kemampuan, dan kesiapan nasional, serta melakukan kerjasama internasional di bidang penanggulangan terorisme. Lebih lanjut lihat: Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme http://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/16984/PERPRES0462010.pdf diakses pada tanggal 6 Maret 2013.

43 Lihat: UU Nomor 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Dokumen dapat diakses pada:

(23)

Referensi

Dokumen terkait

Ini dapat dilihat kurangnya fasilitas yang ada di dalam sekolah, seperti halaman sekolah untuk bermain siswa yang terkesan sempit, tidak adanya lapangan olahraga

Penerapan dan pengembangan IT Governance Bank BTN mengacu kepada penerapan manajemen risiko sesuai ketentuan BI untuk penggunaan teknologi informasi yang wajib

Demikian Pengumuman Pemenang Pelelangan ini dibuat dan ditandatangani pada hari, tanggal dan bulan sebagaimana tersebut di atas untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

Pihak pertama berjanji akan mewujudkan target kinerja yang seharusnya sesuai lampiran perjanjian ini, dalam rangka mencapai target kinerja jangka menengah seperti

adalah nilai yang berlawanan dengan nilai kebenaran awal komponen tersebut. Aturan negasi tersebut akan lebih mudah

Dalam iklan yang jelas-jelas `merendahkannya` (karena menilai perempuan hanya sebatas tubuh), yang jelas-jelas `memanfaatkannya` (karena pasti ada iktikad untuk

merupakan peubah yang sangat berperan dalam menduga berat hidup sapi, maka dilakukan simulasi untuk mendapatkan nilai c pada model. nomor 31 dengan x : lingkar

melihat pengaruh penguraian kotoran oleh cacing tanah terhadap mutu pupuk organik sebagai hasil ikutan.. Materi dan