Teori Fungsionalisme Struktural &
Teori Konflik
Teori Fungsionalisme Struktural & Teori Konflik
1. Teori Fungsionalisme Struktural
Teori ini menekankan kepada keteraturan (order) dan mengabaikan konflik serta perubahan dalam masyarakat. Konsep-konsep utamanya adalah: fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest, dan keseimbangan (equilibrium).
Menurut teori ini masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada satu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain. Penganut teori ini cenderung untuk melihat hanya kepada sumbangan satu sistem atau peristiwa terhadapa sistem yang lain dan karena itu mengabaikan kemungkinan bahwa suatu peristiwa atau suatu sistem dapat menentang fungsi-fungsi lainnya dalam suatu sistem sosial. Secara ekstrim penganut teori ini beranggapan bahwa semua peristiwa dan semua struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Maka jika terjadi konflik, penganut teori fungsionalisme struktural memusatkan perhatiannya kepada masalah bagaimana cara menyelesaikannya sehingga masyarakat tetap dalam keseimbangan.
Singkatnya adalah masyarakat menurut kaca mata teori (fungsional) senantiasa berada dalam keadaan berubah secara berangsur-angsur dengan tetap memelihara keseimbangan. Setiap peristiwa dan setiap struktur fungsional bagi sistem sosial itu. Demikian pula semua institusi yang ada, diperlukan oleh sosial itu, bahkan kemiskinan serta kepincangan sosial sekalipun. Masyarakat dilihat dalam kondisi: dinamika dalam keseimbangan.
1. Teori Konflik
Teori ini dibangun dalam rangka untuk menentang teori Fungsionalisme Struktural. Karena itu tidak mengherankan apabila proposisi yang dikemukakan oleh penganutnya
bertentangan dengan proposisi yang terdapat adalah Teori Fungsionalisme Struktural. Tokoh utama Teori Konflik adalah Ralp Danrendorf.
Jika menurut Teori Fungsionalisme Struktural masyarakat berada dalam kondisi statis atau tepatnya bergerak dalam kondisi keseimbangan, maka menurut Teori Konflik malah
Dahrendorf membedakan golongan yang terlibat konflik itu atas dua tipe. Kelompok
semu (quasi group)dan kelompok kepentingan (interest group). Kelompok semu merupakan kumpulan dari para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan yang sama yang terbentuk karena munculnya kelompok-kelompok kepentingan. Sedangkan kelompo dua, yakni kelompok kepentingan terbentuk dari kelompok semu yang lebih luas. Kelompok kepentingan ini mempunyai struktur, organisasi, program, tujuan serta anggota yang jelas. Kelompok kepentingan inilah yang menjadi sumber nyata timbulnya konflik dalam
masyarakat.
Adapun mengenai fungsi dari adanya konflik, Berghe mengemukakan ada empat hal:
1) Sebagai alat untuk solidaritas.
2) Membantu menciptakan ikatan aliansi dengan kelompok lain.
3) Mengaktifkan peranan individu yang semula terisolasi.
4) Fungsi komunikasi. Sebelum sebuah konflik kelompok tertentu mungkin tidak mengetahui posisi lawan. Tapi dengan adanya konflik, posisi dan batas antara kelompok menjadi lebih jelas. Individu dan kelompok tahu secara pasti di mana mereka berdiri, dan karena itu dapat mengambil keputusan lebih baik untuk bertindak dengan lebih tepat.
Singkatnya, Teori Konflik ini ternyata terlalu mengabaikan keteraturan dan stabilitas yang memang ada dalam masyarakat dalam masyarakat di samping konflik itu sendiri.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Ilmu Antropologi sebagai suatu Ilmu yang mempelajari makhluk antrhopos atau manusia merupakan suatu integrasi dari beberapa ilmu yang masing-masing mempelajari suatu kompleks masalah khusus mengenai makhluk manusia. Pada masa kini di Indonesia ada bermacam-macam penataran dalam metode penelitian masayrakat, dari yang hanya berlangsung dua minggu hingga yang berlangsung satu tahun penuh.
hasil pengaruh yang sangat kuat dari teori sistem umum di manapendekatan fungsionalisme yang diadopsi dari ilmu alam khususnya ilmu biologi, menekankan pengkajiannya tentang cara-cara mengorganisasikan dan mempertahankan sistem. Dan pendekatan strukturalisme yang berasal dari linguistik,menekankan pengkajiannya pada hal-hal yang menyangkut pengorganisasian bahasa dan sistem sosial. Fungsionalisme struktural atau analisa sistem pada prinsipnya berkisar pada beberapa konsep, namun yang paling penting adalah konsep fungsi dan konsep struktur.
BAB II PEMBAHASAN
1. TEORI-TEORI FUNGSIONAL DAN STRUKTURAL
a. Fungsionalisme Malinowski
Teori-teori fungsional dalam ilmu antropologi mulai dikembangkan oleh seorang tokoh yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski (1884-1942). Ia dilahir di Cracow, Polandia sebagai putera keluarga bangsawan polandia. Ayahnya adalah guru besar dalam Ilmu Sastra Slavik, jadi tidaklah mengherankan apabila Malinowski memperoleh pendidikan yang kelak memberikannya suatu karier akademik juga.
Bronislaw Malinowski menurut pandangannya setiap unsur kebudayaan mempunyai fungsi penting, sebagaimana dari kutipan berikut “ …..in every type civilization, every costum, material object, idea and belief fulfills some vital function, has some tasks to accomplish, represent an indispensable part within a working whole.” [1]
Dalam tahun 1940 ia diundang sebagai guru besar tamu di Universitas Yale pada saat itulah ia mulai mengembangkan suatu kerangka teori baru untyuk menganalisa fungsi dari kebudayaan masyarakat manusia, yang disebutnya suatu teori fungsional tentang kebudayaan atau a functional theory of cultur. Hal yang sangat unik dari etnografi Malinowski yang belum pernah dilakukan pengarang etnografi lain sebelumnya adalah cara Malinowski menggambarkan hubungan berkait natara sistem kula dengan lingkungan alam sekitar pulau-pulau serta berbagai macam unsur kebudayaan dan masyarakat penduduknya, yaitu ciri-ciri fisik dari lingkungan alam tiap pulau, keindahan laut kerangnya, aneka-aneka floranya, pola-pola pemukiman komunitas serta kebun-kebunnya.
pemikirannya mengenai metode untuk mendeskripsi berbagai kaitan berfungsi dari unsur-unsur kebudayaan dalam suatu sistem sosial yang hidup.
Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi berintegrasi secara fungsional yang dikembangkan dalam kuliah-kuliahnya tentang metode-metode penelitian lapangan dalam masa penulisan ketiga buku etnografi mengenai kebudayaan Trobriad. Dalam hal itu ia membedakan antara fungsi sosial dalam tingkat abstraksi yaitu:
a. Fungsi Sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi
pertama mengenai pengaruh atau efeknya terhadap adat, tingkah-laku manusia dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat.
b. Fungsi Sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua
mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang bersangkutan.
c. Fungsi Sosial dari suatu adat atau pranata sosial pada tingkat abstraksi ketiga mengenai
pengaruh atau efeknya terhadap kebutuha mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial yang tertentu.
Walaupun demikian, setiap ahli antropologi mempunya fokus perhatian tertentu. Ada misalnya ahli antropologi yang memperhatikan sistem ekonomi sebagai pokok utama dari deskripsinya. Lainnya memfokus pada kehidupan kekerabatan, sistem pelapisan masyarakat atau sistem kepemimpinan. Pengarang etnografi dengan suatu fokus perhatian seperti itu biasanya dimulai dengan unsur pokoknya. Bisa juga ia mempergunakan cara susunan etnografi yang lain dan mulai dengan unsur-unsur lainnya sebagai pengantar kebudayaan.[2]
Meringkas kembali yang terurai sebelumnya, maka sebuah karangan tentang kebudayaan suatu suku bangsa yang disusun menurut kerangka etnografi akan terdiri dari bab-bab seperti terdaftar dibawah ini:
Malinowski juga pernah mempersoalkan azas dari aktivitas pengendalian sosial atau hukum. Ia menganalisa masalah itu sebagai berikut :
a. Dalam masyarakat modern, tata tertib kemasyarakatan dijaga antara lain oleh suatu sistem
pengendalian sosial yang bersifat memaksa, yaitu hukum. Untuk melaksanakannya hukum disokong oleh suatu sistem alat-alat kekuasaan (kepolisian,pengadilan dsb).
b. Dalam masyrakat primitif alat-alat kekuasaan serupa itu kadang-kadang tidak ada.
c. Dengan demikian apakah dalam masyarakat primitif tidak ada hukum? Seandainya demikian
maka timbul suatu soal lain, yaitu bagaimana suatu masyarakat serupa itu dapat menjaga tata tertib dan kelancaran dari segala kehidupan sosialnya.
dan gagasan, pelajaran, aturan agama, dongeng suci tentang riwayat dewa-dewa (mitologi), biasanya tercantum dalam suatu himpunan buku-buku yang biasanya juga dianggap suci. [4]
Sistem upacara keagamaan secara khusus mengadung empat aspek yang menjadi perhatian khusus dari para ahli antropologi ialah: a. tempat upacara keagamaan dilakukan, b. saat-saat upacara keagamaan dijalankan, c. benda-benda dan alat upacara, d. orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara.
Aspek pertama berhubungan dengan tempat-tempat keramat yang dilakukan, yaitu makam, candi, pura, kuil, gereja, langggar, surau, masjid dan sebagainya. Aspek kedua adalah aspek mengena saat-saat beribadah, hari-hari keramat dan suci sebagainya. Aspek ketiga adalah tentang benda-benda yang dipakai dalam upacara termasuk patung-patung yang melambangkan dewa-dewa, alat bunyi-bunyian seperti lonceng suci, serling suci, gendering suci dan sebagainya.[5]
Keistimewaan metode Malinowski yang membedakannya dengan sarjana lain yang pernah menganalisa metode mitologi adalah bahwa ia mengobservasi dongeng-dongeng suci tadi dalam kenyataan kehidupan dan tidak hanya naskah-naskah atau teks-teks yang berpisah dari hubungan sosialnya.
b. Teori fungsional tentang kebudayaan
Secara garis besar Bronislaw Malinowski merintis bentuk kerangka teori untuk menganalisis
fungsi dari kebudayaan manusia, yang disebutnya sutu teori fungsional tentang kebudayaan atau “a functional theory of Culuture”. Dan melalui teori ini banyak antropolog yang sering menggunakan teori tersebut sebagai landasan teoritis hingga dekade tahun 1990-an, bahkan dikalangan mahasiswa menggunakan teori ini untuk menganalisis data penelitian untuk keperluan skripsi dan sebagainya (Andi, 2010). Malinowski berpendapat bahwa pada dasarnya kebutuhan manusia sama, baik itu kebutuhan yang bersifat biologis maupun yang bersifat psikologis dan kebudayaan pada pokoknya memenuhi kebutuhan tersebut. Menurut pendapatnya, ada tiga tingkatan yang harus terekayasa dalam kebudayaan, yaitu:
1. kebudayaan harus memenuhi kebutuhan biologis, seperti kebutuhan akan pangan dan prokreasi.
2. kebudayaan harus memenuhi kebutuhan instrumental, seperti kebutuhan akan hukum dan
pendidikan.
3. kebudayaan harus memenuhi kebutuhan integratif, seperti agama dan kesenian.[6]
kepentingan kelompok masyarakat tertentu, umpamanya kelompok masyarakat petani, nelayan, atau para politikus, akademisi dan lain-lain . Masing-masing dari kelompok tersebut akan selalu berusaha menjaga eksistensinya agar dapat menjalankan fungsinya untuk memenuhi kebutuhan dari kelompoknya sendiri.
Contoh lain dari unsur universal kesenian yang dapat berwujud gagasan, ciptaan pikiran, cerita dan sayir yang indah. Namun kesenian juga dapat berwujud tindakan-tindakan interaksi berpola antara seniman pencipta, seniman penyelenggara, sponsor kesenian, pendengar, penonton, dan konsumen hasil kesenian. Tetapi selain itu semua kesenian juga berupa benda-benda indah, candi, kain tenun yang indah dan sebagainya.[8]
Manusia, melalui instrumentalisasi kebudayaan, maka di dalam mengembangkan maupun memenuhi kebutuhannya, ia harus mengorganisasi peralatan, artefak, dan kegiatan menghasilkan makan melalui bimbingan pengetahuan, dengan kata lain yaitu melalui proses belajar manusia dapat meningkatkan eksistensinya. Jadi kebutuhan akan ilmu dalam proses belajar adalah mutlak. Dan di samping itu tindakan manusia juga harus dibimbing oleh keyakinan, demikian pula magik. Karena tatkala manusia mengembangkan sistem pengetahuan ia akan terikat dan dituntut untuk meneliti asal mula kemanusiaan, nasib, kehidupan, kematian dan alam semesta. Jadi, sebagai hasil langsung kebutuhan manusia untuk membangun sistem dan mengorganisasi pengetahuan, timbul pula kebutuhan akan agama.
Konsep kebudayaan terintegarasi secara menyeluruh dalam upaya pemenuhan kebutuhan manusia. Kebudayaan sebagai seperangkat sarana adalah masalah mendasar. Kepercayaan, dan magik sekalipun, harus mengandung inti utilitarian, karena ia memenuhi fungsi psikologis. Aturan-aturan dan ritual magik dan agama tertentu dapat memantapkan kerjasama yang diperlukan, di samping juga untuk memenuhi kepuasan pribadi sesorang. [9]
2. STRUKTURALISME RADCLIFE-BROWN
Teori-teori structural dalam ilmu antropologi ada beberapa macam, tetapi konsepnya untuk pertama kali 1881-1955. Ia dilahirkan di Inggris pada tahun 1881, bealajar filsafat yang mengandung psikologi experimental, ekonomi dan filsafat. Dalam tahun 1910 Radclife-Brown melakukan penelitian lapanagan di antara suku bangsa Kariera, penduduk pribumi australi di Australia Barat. Penelitian yang berpusat kepada masalah tetosisme itu menghasilkan buku three Tribes of western Australia (1913).
Dibandingkan dengan etnografi Malinowski tentang penduduk Trobriand, maka etnografi Radclife-Brown mengenai kebudayaan penduduk kepulauan Andaman berjudul The Andaman Islanders (1922). Metodologi deskripsi tersebut dengan sengaja dan sadar dipergunakannya dan malahan dirumuskan pada bagian pertama dari bab mengenai upacara sebagai berikut:
1. Agar suatu masyarakat dapat hidup langsung, maka harus ada suatu sentiment dalam jiwa para
warganya yang merangsang mereka utnuk berperilaku sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
2. Tiap unsur dalam sistem sosial dan tiap gejala atau benda yang dengan demikian mempunyai
efek pada solidaritas masyarakat, menjadi pokok orientasi dan sentiment tersebut.
3. Sentiment itu ditimbulkan dalam pikiran individu warga masyarakat sebagai akibat pengaruh
hidup masyarakatnya.
4. Adat istiadat upacara adalah wahana dengan apa sentiment-sentimen itu dapat diexpresikan
secara kolektif dan berulang pada saat-saat tertentu.
5. Expresi kolektif dari sentiment memelihara intensitas sentiment itu dalam jiwa warga
masyarakat, dan bertujuan meneruskannya kepada warga dalam generasi berikutnya.
Kalau pandangan Radcliffe-Brown mengenai pentingnya arti penelitian lapangan bagi studi antropologi (walaupun dalam metode penelitian ia sendiri sangat lemah ), dan pendiriannya mengenai fungsi sama dengan pendirian Malinowski mengenai hal itu dalam tingkat abstraksi ketiga, maka pendiriannya mengenai hukum pada dasarnya berbeda. Hal ini dapat dilihat dari karangannya berjudul Law, Primitiveyang sebenarnya merupakan suatu entre dalam Encyclopedia of the Social Sciences, IX (1935). Dalam tulisan itu ia menyatakan bahwa istilah hukum sebagai istilah teknis, sebaikya dibataskan kepada sistem pengendalian sosial yang ada dalam masyarakat bernegara, karena hanya dalam suatu organisasi sosial seperti itulah mungkin ada alat-alat seperti polisi bersenjata, pengadilan, penjara, dan sebagainya. yang semuanya merupakan sarana-sarana mutlak bagi keberlangsungan hidup hukum.
b. Metodologi Ilmu Alam Untuk Ilmu Sosial.
Jasa Radcliffe Brown dalam perkembangan ilmu antropologi adalah usahanya untuk membuat ilmu itu suatu ilmu yang mengembangkan suatu metodologi seperti yang ada dalam ilmu-ilmu alam, khususnya fisika dan biologi. Ini merupakan cita-cita lama, tetapi yang utama dikonsepsikannya ketika ia menjadi guru besar di Chicago, dimana ia memberikan kuliah yang bersifat teori yaitu mengenai “Ilmu Kebudayaan Komparatif” atau Comparative Science of Culture. Radcliffe-Brown mengakui bahwa suatu ilmu seperti tersebut diatas belum ada, kecuali dalam fase yang masih sangat dini. Ia yakin bahwa perkembangan suatu ilmu sosial dasar seperti itu, yang dapat menganalisa azas-azas dari masyarakat mahluk manusia itu itu sangat mungkin asal dua buah syarat dapat terpenuhi. Syarat mutlak pertama ke arah suatu metode seperti itu adalah suatu metode komparatif yang seksama, yang dapat membandingkan secara sistematis berbagai tipe sistem sosial yang mungkin ada dalama masyarakat mahluk manusia didunia, dan mengembangkan suatu klasifikasi dari tipe-tipe sistem sosial itu. Namun suatu metode komparatif seperti itu sebaliknya memerlukan syarat lain lagi, yaitu metodologi yang lebih seksama untuk mengobservasi dan mendeskripsi sistem-sistem sosial, sehingga fakta-fakta yang harus dipakai dalam metode komparatif tersebut diatas itu benar-benar betul. Dalam metode komparatif itu perlu dipergunakan suatu konsep dasar yang menjadi kesatuan dalam analisa komparatif, yaitu konsep “struktur sosial” atau social structure.
Radcliffe-Brown juga mengakui bahwa perkembangan kearah kematangan dari suatu ilmu sosial dengan metodologi ilmu alam tidak akan dapat terjadi dengan cepat, karena ada empat faktor yang menghambatnya, yaitu : (i) sifat multipal, yaitu jumlah yang besar dan beraneka-warna dari gejala-gejala sosial, (ii) cara berfikir historis yang telah berakar dalam alam pikiran kebanyakan sarjana ilmu sosial, (iii) konsep-konsep psikologi yang seringkali juga sudah berakar dalam alam pikiran kebanyakan sarjana ilmu sosial, padahal konsep-konsep psikologi hanya dapat menerangkan sebab-musabab tingkah laku seseorang, tetapi tidak mungkin dapat menerangkan sebab-sebab dari suatu gejala sosial, (iv) penelitian ilmu-ilmu sosial terlampau banyak dipengaruhi oleh pandangan umum yang menghendaki jawaban segera terhadap suatu masalah sosial yang mendesak atau yang menghendaki fakta untuk melaksanakan suatu tindakan atau untuk menyusun suatu kebijaksanaan.
c. Konsep Mengenai Struktur Sosial Dan Ilmu Antropologi Sosial.
1. masyarakat yang hidup di tengah-tengah alam semesta sebenarnya terdiri dari serangkaian
gejala-gejala yang dapat kita sebut gejala sosial.
2. Masyarakat yang hidup sebenarnya juga merupakan suatu klas dari gejala diantara
gejala-gejala alam yang lain dan dapat juga dipelajari dengan metodologi yang sama.
3. Suatu masyarakat yang hidup merupakan suatu sistem sosial, dan suatu sistem sosial yang
mempunyai struktur juga seperti halnya bumi, organisma, mahluk, atau molekul.
4. Suatu Ilmu mengenai masyarakat seperti ilmu sosial , yang mempelajari struktur sistem-sistem
sosial adalah sama halnya dengan ilmu geologi yang mempelajari struktur kulit bumi.
5. Suatu struktur sosial merupakan total dari jaringan hubungan antara individu atau lebih baik
person dan kelompok-kelompok person.
6. bentuk dari struktur sosial adalah tetap dan kalau berubah proses itu biasanya berjalan lambat
sedangkan realitas struktur sosial atau wujud dari struktur sosial yaitu person-person atau kelompok-kelompok yang ada didalamnya, selalu berubah dan berganti.
7. dalam penelitian masyarakat dilapangan seorang peneliti mengobservasi wujud dari struktur
sosial, tetapi analisanya harus sampai kepada pengertian tentang bentuknya yang bersift lebih abstrak.
8. seorang ahli ilmu sosial yang mendeskripsi suatu struktur sosial dalam keadaan seolah-olah
berhenti menjadi morfologi sosial, tetapi juga dalam keadaan berproses menjadi fisiologi sosial.
9. struktur sosial dapat juga dipakai sebagai kriterium untuk menentukan batas dari suatu sistem
sosial atau suatu kesatuan masyarakat sebagai organisma.
10. Ilmu antropoli sosial adalah salah satu ilmu sosial yang bertugas mempelajari struktur-struktur
sosial dari sebanyak mungkin masyarakat sebagai kesatuan-kesatuan dan membandingkannya dengan metode analisa komparatif untuk mencari azas-azasnya,.
11. klasifikasi dari aneka-warna gejala alam itu telah terbukti mutlak untuk kemajuan ilmu alam.
3. TEORI FUNGSIONAL STRUKTURAL HOCART
a. Riwayat Hidup Arthur Maurice Hocart, (1883-1939).
Hocart dilahirkan dekat kota Brussel di belgia, dimana ayahnya seorang warga negara inggris bekerja sebagai pendeta Gereja Unitarian. Ia lulus Universitas Oxford dalam tahun 1902 sebagai sarjana Ilmu Sastra Klasik dan kemudian belajar ilmu psikologi dan filsafat di Universitas Berlin. Dalam tahun 1909 ia turut dalam Percy Sladen Trust Expedition ke kepulauan solomon di melanesia, sebagai asisten dari ahli antropologi terkenal W.H.R Rivers. Sesudah perang dunia I ia diangkat menjadi pegawai Dinas Arkeologi di Sri langka pada tahun 1918, tetapi ia diwajibkan untuk belajar bahasa sanskrit, pali, tamil, dan singhal dahulu di universitas oxford. Pada tahun 1934 ia menjadi guru besar antropologi di universitas Raja fuad I di kairo. dalam masa itulah ia menerbitkan banyak buku, a.l. The Progress Of Man and Kings and Councellors (1936). Namun ia tidak lama diperkenankan bekerja ; lima tahun sesudah pengangkatannya ia meninggal di fayun, mesir.
4. ANTROPOLOGI SOSIAL DI INGGRIS SESUDAH MALINOWSKI DAN
RADCLIFFE-BROWN.
dunia II pecah Evans-Pritchard masuk tentara dan berjuang di afrika. Setelah perang selesai dalam tahun 1945 ia diangkat menjadi lektor dalam ilmu antropologi sosial di universitas Cambridge dan menjadi guru besar di universitas Oxford tahun berikutnya. Sampai saat itu Evans-Pritchard telah menulis lebih dari seratus empat puluh buah karangan besar-kecil, tetapi ia baru dapat mulai menggarap bahan etnografinya yang utama yaitu mengenai suku bangsa Nuer setelah pelaksanaannya di Oxford.
a. Konsep Evans-Pritchard Mengenai Hubungan Antara Antropologi Sosial Dan Sejarah.
walaupun dalam penelitian lapangan ia menerapkan metode-metode penelitian kualitatif yang dianjurkan oleh Malinowski, dan walaupun dalam analisa dan penggarapan bahan data ia menerapkan konsep struktur sosial secara fungsional yang dianjurkan oleh Radcliffe-Brown, namun dalam sikapnya terhadap ilmu sejarah dan dalam pandangannya tentang tujuan dari ilmu antropologi sosial, Evans-Pritchard sangat berbeda, baik dengan Malinowski maupun dengan Radcliffe-Brown. Ia berpendapat bahwa ahli antropologi sosial pada dasarnya tidak berbeda dengan ahli sejarah, khususnya ahli sejarah sosial. kedua-duanya bertujuan merekonstruksi dan membuat deskripsi mengenai struktur sosial dari suatu masyarakat tertentu. Bedanya hanyalah bahwa ahli antropologi melakukannya didalam suatu masyarakat masa kini, yang terletak jauh diluar masyarakatnya sendiri, sedangkan ahli sejarah melakukannya dalam masyarakat dari suatu zaman yang lampau yang menyebabkan bahwa sumber data dan metode serta teknik penelitian antara kedua ilmu itu berbeda (Evans-Pritchard 1961). Beliau sendiri malahan juga mempergunakan data bahan sejarah dan sumber-sumber data sejarah dengan metode-metode dan teknik-teknik pengumpulan data seperti yang digunakan oleh para ahli sejarah.
b. Mayers Fortes Dan Masalah Dimensi Waktu Dalam Struktur Sosial.
Fortes (1905) juga seorang tokoh antropologi inggris yang pernah belajar dibawah malinowski dan Radcliffe-Brown. Ia dilahirkan di afrika selatan dalam tahun 1905. Belajar ilmu psikologi du Universitas Cape Town , dan melanjutkannya di universitas London. Dalam tahun 1930 ia mendapat gelar P.h.D. dari universitas London dalam ilmu psikologi. Dalam daftar karang-karangannya yang sampai tahun 1973 terdiri dari seratus satu judul, terlihat bahwa hingga tahun 1933 karya-karyanya masih tetap dalam bidang ilmu psikologi dan baru sejak tahun 1936 muncul karang-karangan nya yang pertama dalam ilmu antropologi sosial. Karya yang membuatnya ia terkenal dalam ilmu antropologi adalah karyanya mengenai suku bangsa Tallensi yang tinggal di bagian utara Ghana di afrika barat. Terutam dua yang terpenting diantara serangkaian karangannya mengenai berbagai unsur dan aspek masyarakat dan kebudayaan Tallensi adalah The Dynamics of Clanship Among the Tallensi (1945) dan The Web of Kinship Among the Tallensi (1949). Sebagai seorang ahli antropologi sosial inggris M.Fortes telah melakukan penelitian lapangan dengan metode-metode kualitatif intensif menurut standar malinowski. Dalam menganalisa bahan dan data etnografinya ia mempergunakan konsep struktur sosial seperti yang dirumuskan Radcliffe-Brown secara ketat. Kemudian Fortes menyatakan bahwa struktur sosial selalu berubah baik dalam bentuknya maupun dalam wujudnya yang nyata . Struktur sosial tidak boleh kita bayangkan sebagai suatu hal yang diam; struktur sosial selalu hidup, dan karena itu juga bergerak,. Namun geraknya itu ada tiga macam yaitu:
1. Bergerak. Karena suatu hubungan itu merupakan aktifitas yang berlangsung dalam ruang waktu
dan ada duration time-nya.
3. Bergerak, dalam arti proses pertumbuhan dari struktur sosial. misalnya suatu rumah tangga
terdiri dari dua angkatan yaitu orang tua dan anak-anaknya.
c. Raymond Firth dan Mikro-Sosiologi.
Ahli antropologi bernama Raymond Firth (1901) adalah satu-satunya diantara para ahi antropologi inggris yang umumnya dikenal dikalangan ilmiah di indonesia, karena buku pelajarannya yang kecil berjudul Human Types pernah diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia dengan judul Tijri-Tijri Dalam Alam Hidup Manusia. Raymond Firth lahir di selandia baru, dan pendidikan universitasnyadimulainya dalam ilmu ekonomi. Dalam tahin 1924 ia melanjutkan ke london school of economics. Karena mengikuti kuliah malinowski ia menjadi tertarik kepada ilmu antropologi, lalu pindah studinya. Setelah lulus dan mendapat gelar doctor, ia tetap di london school of economics sebagai lector dalam antropologi sosial, dan kemudian menjadi guru besar hingga ia dipensiun menjadi guru besar emeritus di universitas itu dalam tahun 1966.
Dalam garis besarnya Firth mempunyai pendirian yang sama dengan M. Fortes mengenai arti struktur sosial, yaitu jaringan hubungan antara bagian-bagian dari suatu masyarakat yang memelihara azas-azasnya untuk jangka waktu secontinue mungkin. Karena itu struktur sosial itu, menurut Firth, sebenarnya adalah hubungan yang ideal antara bagian-bagian masyarakat, sedsngkan di dalamnya dinamik kehidupan individu yang konkret dari satu angkatan ke angkatan berikutnya menyebabkan suatu proses perubahan yang dapat berlangsung lambat, tetapi dapat juga cepat dan memberi dimensi waktu kepada suatu "struktur sosial". Hanya saja, berbeda dengan Fortes, kecuali menyatakan secara explisit bahwa "sturktur sosial" merupakan pola hubungan yang ideal, Firth juga membatasi sturktur sosial itu pada hubungan-hubungan dalam rangka hanya sejumlah sektor hidup yang terbatas, yaitu kehidupan dalam rangka sistem kekerabatan, sistem stratifikasi sosial (terutama yang tradisional, dan yang mengenai kedudukan manusia dalam pemilikan tanah), serta dalam rangka sistem kehidupan keagamaan (Firth 1951 : 31-32).
Pendirian Firth mengenai konsep "fungsi sosial" adalah sama dengan pendirian Malinowski tentang fungsi dalam tingkatabstraksi ketiga. Serupa dengan itu Firth menganggap bahwa fungsi dari suatu gejala sosial adalah untuk memelihara kebutuhan masyarakat untuk hidup langsung sebagai kesatuan holistik. Dalam hal itu Firth menganggap penting konsep pranata atau institution seperti yang dikonsepsikan Malinowski karena Firth juga beranggapan bahwa semua gejala sosial yang pada hakekatnya terdiri dari tingkah laku manusia berpola, adalah selalu tindakan yang terorganisasi, dan organized action itu hanya terjadi dalam rangka pranata-pranata yang tertentu (1951 : 34-35).
Erat sangkut-pautnya dengan pemikiran di atas, Firth mengusulkan agar istilah "struktur sosial" dan "organisasi sosial" yang oleh banyak ahli antropologi yang lain dianggap sinonim sebagai dua istilah untuk satu konsep yang sama. Dipisahkan dengan tajam. Organisasi sosial, menurut Firth, adalah pengaturan dari keseluruhan jaringan struktur-struktur sosial maupun pranata-pranata di mana manusia yang hidup. Bersama manusia lain itu biasanya begerak (1951 : 35-40).
d. Tokoh-Tokoh Antropologi Sosial Lain Sesudah Malinowski dan Radcliffe-Brown.
semua mempergunakan konsep dasar dalam penelitian dan analisa mereka. Banyak diantaranya bekerja di negara-negara jajahan Ingris di Afrika, India, Birma, Malaysia, Papua Nuiguni, diantara juga yang menganut pendirian bahwa tujuan ilmu antropologi sosial adalah untuk mencapai pengertian tentang azas-azas masyarakat dan kebudayaan manusia pada umumnya, tetapi dengan cara mempelajari masyarakat yang wujudnya kurang komplex. Kecuali itu ada yang bekerja dalam lapangan antropologi praktikal, atau antropologi terapan yang dalam kenyataan berarti mengembangkan pengertian tentang masyarakat dan kebudayaan suku bangsa penduduk daerah jajahan Inggris, guna kepentingan pemerintahan jajahan, atau guna mengamati perobahan kebudayaan tradisional mereka dalam menghadapi zaman modern ini.
Di antara tokoh-tokoh antropologi sosial yang seangkatan dengan Evans-Pritchard, Fortes, dan Firth, terdapat L. Hogbin, S.F. Nadel, I. Schapera, dan E. Leach, serta para tokoh antropologi wanita Inggris A. Richard, L. Mair dan M. Wilson. Di antara mereka juga M.N. Srinivas, yang menjadi tokoh antropologi sosial India yang terkenal. Kecuali Hogbin, Leach dan Srinivas, semua ahli antropologi Inggris tersebut merupakan ahli Afrika. Hogbin adalah ahli kebudayaan suku-suku bangsa di Polinesia; leach pernah meneliti suku bangsa kachin di Birma; sedangkan Srinivas adalah ahli kebudayaan suku suku bangsa di negaranya sendiri, India.
Di antara para ahli antropologi sosial yang seangkatan lebih muda lagi, yaitu para bekas mahasiswa Evans-Pritchard, Fortes, dan Firth, ada beberapa yang masih berkesempatan mengikuti kuliah-kuliah Radcliffe-Brown. Beberapa malahan masih sempat mengikuti kuliah Malinowski. Banyak di antara ahli antropologi sosial yang menjadi tokoh terkenal di kalangan ilmu antropologi sedunia, dan karena mereka adalah sarjana yang sejaman dengan kita sekarang maka ada baiknya kita mengetahui lebih banyak mengenai tokoh-tokoh itu. Mereka adalah M.Freedman, J.A. Barnes, J. Goody, M. Gluckman, R. Neddham, J.D. Freeman, A. Forge, M.Swift, Chie Nakane, C.S. Belshaw, dan F. Barth.
5. TEORI STRUKTURAL PARA AHLI ANTROPOLOGI BELANDA
Teori-teori antropologi struktural juga berkembang di Negeri Belanda. Bagi kita hal itu penting, karena daerah penelitian para sarjana Belanda., terutama sebelum Perang Dunia ke II biasanya adalah di Indonesia. Namun pengaruh dari teori struktural yang dikembangkan para ahli antropologi Belandaitu tidak berasal dari Radcliffe-Brown, melainkan dari sumber yanglebih awal yaitu, E. Durkheim. Pengaruh Durkheim sampai kepada para ahli antropologi Belanda melalui analisanahli hukum adat Belanda, F.D.E. Van Ossenburggen, terhadap sistem federasi lima desa di Jawa yang terkenal dengan sebutan sistem macapat, dan juga melalui penelitian ahli folklorBelanda, W.H. Rasses.
Van Ossenbruggen telah menganalisa sistem macapat di Jawa, dalam karangannya De Oorsprong van het Primitieve Classificaties (1917).27 Sistem macapat di jawa adalah sistem
W.H. Rasses adalah ahli folklor Belanda yang pernah menganalisa rangkaian cerita Panji dalam suatustudi untuk dissertasinya berjudul De Pandji-Roman(1922). Berdasarkan karangan Van Ossenbruggen ia mengajukan pendapat bahwa di zaman dahulu struktur masyarakat Jawa terbagi ke dalam dua paroh, atau moiety yang secara nyata terwujud sebagai desa indukdi satu
pihak, dan empat sub-desa di pihak lain. Dalam struktur yang konsentris itu kedua paroh masyarakat yang exogam itu saling tukar-menukar wanitauntuk dikawinkan. Kecuali itu kedua paroh masyarakat itu menurut adat bekerjasama secara gptong-royong, tetapi juga saling bersaing. Mite-mite kuno yang menjdi “pototipe” atau contoh dan sumber asli dari ceritera Panji adalah cerita sejarah keramat mengenai kelahiran dan perjuangan hidup para nenek moyangdari kedua paroh masyarakat. Mite-mite itu didongengkan dsalam bentuk nyanyian pada upacara inisiasi anak-anak muda dari kedua paroh itu masing-masing. Kecuali itu, berdasarkan teori Van Ossenbruggen dan teori Durkheim Mauss, Rasses berpendirian bahwa kedua paroh masyarakat dan sub-sub bagiannyatadi juga dipergunakan orang Jawa zaman kuno sebagai kerangka pikiran untuk mengklaskan segala hal yang ada dalam golongan-golongan tertentu.
Penelitian Rasses terhadap mitologi Jawa dalam bentuk-bentuk cerita Panji itu menarik perhatian J.PB. de Josselin de Jong, gurubesar antropologi di Universitas Leiden. Ia kemudian berpikir bahwa dengan metode itu para ahli antropologi bisa menganalisa pula berbagai komplex dongeng mitologi didaerah lain di Indonesia untuk mendapat pengertian tentang struktur sosial Indonesia. Struktur sosial seperti yang di kontruksikan Rasses itu diperkirakannya merupakan azas organisasi dari masyarakat semua suku bangsa di Nusantara. Hipotesa itu diajukan Josselin de Jong dalam karangannya yang terkenal De Maleische Archipel als Ethnologish Studieveld (1935).
Dalam kuliah-kuliahnya De Josselin de Jong menganjurkan kepada para mahasiswanya untuk menguji hipotesanya itu, dan dengan demikian ia menggerakkan suatu aktivitas penelitian yang luas diantara sejumlah ahli antropologi Belanda di berbagai daerah di Indonesia. Para peneliti itu berusaha dengan penelitian perpustakaan, tetapi diantara satu-dua diantara mereka juga dengan penelitian lapangan untuk mengumpulkan bahan organisasi sosial dan mitologi yang dapat membuktikan bahwa struktur sosial Indonesia Kuno seperti yang dikonstruksi oleh Rasses dan de Josselin de jong itu benar-benar ada, dan merupakan azas keseragaman dibelakang aneka warna bentuk organisasi sosial yang secara lahiriah tampak di daerah Nusantara masa kini.
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan
Terdapat adanya perbedaan pandangan tentang teori Fungsionalis dan structural dari beberapa teori para tokoh-tokoh. Diantaranya Tokoh Malinowski berpendapat bahwa setiap unsur kebudayaan mempunyai fungsi penting. Secara garis besar Bronislaw Malinowski merintis bentuk kerangka teori untuk menganalisis fungsi dari kebudayaan manusia, yang disebutnya sutu teori fungsional tentang kebudayaan atau “a functional theory of Culuture”.
DAFTAR PUSTAKA
Sunarto, Kamanto, 2004. Edisi Revisi : Pengantar Sosiologi. Jakarta : Lembaga penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Prof. Dr. Koentjaraningrat, 2009. Edisi Revisi : Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT. Rineka Cipta
Koentjaraningrat, 2010. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia http://maychan9.blogspot.com/2013/10/may-anjars-world-bagi-ilmu.html
http://teologihindu.blogspot.com/2011/03/aplikasi-teori-pungsional-struktural.html
[1]Pengantar Sosiologi edisi Revisi, Kamanto Sunarto hal 217
[2] Pengantar Ilmu Antropologi edisi Revisi 2009, Prof. Dr.Koentjaraningrat hal 256
[3]Ibid hal 257.
[4] Ibid hal 296.
[5]Pengantar Ilmu Antropologi edisi Revisi 2009, Prof. Dr.Koentjaraningrat hal 296
[6]http://maychan9.blogspot.com/2013/10/may-anjars-world-bagi-ilmu.html, diunduh pada tanggal 01 April 2014
[7]http://teologihindu.blogspot.com/2011/03/aplikasi-teori-pungsional-struktural.html, diunduh pada tanggal 01 April 2014
[8] Pengantar Ilmu Antropologi edisi Revisi 2009, Prof. Dr.Koentjaraningrat hal 166