KELOMPOK MODEL PENGAJARAN SOSIAL
Disusun Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Model-model Pembelajaran
yang diampu oleh Bapak Sihkabuden
Disusun Oleh:
Dwi Soca Baskara Cici Meilindia Anggraeni
UNIVERSITAS NEGERI MALANG PASCASARJANA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial. Dalam seluruh segi kehidupannya manusia memerlukan interaksi sosial. Tidak terkecuali dalam hal pembelajaran, manusia memerlukan interaksi sosial dalam rangka mempertinggi hasil pencapaian belajarnya. Beberapa ahli telah menggagas pembelajaran sosial, diantaranya adalah Alber Bandura dengan Teori Belajar Sosial. Teori tersebut kemudian mengilhami Lev Siminovich Vygotsky dengan Teori kognitif sosial yang juga merupakan gabungan dari teori kognitif milik Jean Piaget.
Dalam pandangan pembelajaran sosial, usaha yang dilakukan bersama-sama tidak hanya mendorong peningkatan aspek sosial, namun juga aspek intelektual. Seperti halnya teori Zone-Proximal Development milik Vygotsky bahwa setiap individu memerlukan interaksi sosial untuk mengembangkan potensi dalam dirinya yang meliputi tingkah laku, skill akademik, dan pengetahuan. Sekolah lebih dianggap sebagai lingkungan masysarakat kecil yang produktif daripada hanya sekedar sekumpulan individu yang belajar sendiri-sendiri.
Beberapa ahli percaya bahwa pola-pola pendidikan indivualistik merupakan hal kontraproduktif baik dalam hal individual dan sosial. Hal tersebut disebabkan interaksi yang tercipta tidaklah alamiah dan justru akan menciptakan sifat anti-sosial. Yang terburuk adalah kegagalan dalam memaksimalkan potensi yang dimilikinya dan melatih kemampuannya untuk bekerja sama. Dalam makalah ini akan disajikan pembahasan mengenai kelompok model pengajaran sosial yang meliputi mitra-mitra dalam pembelajaran dan kajian tentang nilai-nilai.
B. Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mitra dalam Pembelajaran 1. Asumsi-asumsi
Asumsi yang melatar belakangi pengembangan pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut:
1. Bentuk kerja sama akan meningkatkan motivasi yang jauh lebih besar dari pada dalam bentuk lingkungan kompetitif individual. Perasaan-perasaan saling berhubungan menghasilkan energi positif.
2. Anggota kelompok kooperatif dapat saling belajar satu sama lain.
3. Kerja sama meningkatkan perasaan positif terhadap satu sama lain, menghilangkan keterasingan, membangun hubungan.
4. Kerja sama meningkatkan penghargaan diri. 5. Siswa semakin mahir bekerja sama.
Kerja sama benar-benar meningkatkan energi yang kemudian menghasilkan peningkatan hasil pembelajaran. Bukti tersebut sudah jelas, dalam sebuah kelompok yang lebih besar, saling mengajari, saling menghargai akan meningkatkan penguasaan pada subjek pembelajaran dibanding pola pembelajaran tunggal. Sebagai contoh sering kita mengalami ketika teman yang menjelaskan akan lebih mudah dipahami daripada dengan penjelasan guru ataupun membaca sendiri.
Ciri menarik lain dari strategi pengelompokan adalah posisinya yang memihak pada siswa dengan prestasi akademik rendah. Siswa merasa nyaman dalam model belajar pengelompokan sebab mereka dapat meningkatkan perasaan positif terhadap diri sendiri maupun orang lain. Siswa dapat belajar dengan cara menyenangkan dan bersama-sama mengembangkan skill bersosial serta berempati terhadap orang lain.
Ada beberapa panduan untuk membantu siswa agar mampu menciptakan iklim pengelompokan yang lebih efisien dan lebih praktis. Bimbingan dan langkah-langkah tersebut berkait erat dengan jumlah siswa dalam masing-masing kelompok, kompleksitas, dan praktik. Salah satu cara unutk merangsang kemampuan siswa bekerja sama adalah menyediakan sebuah wadah dalam aturan sederhana, di mana satu kelompok terdiri dari dua atau tiga orang. Pada intinya, guru memberi aturan kompleksitas melalui tugas yang diberikan dan jumlah anggota yang ditentukan dalam tiap kelompok.
Jika para siswa belum bisa bekerjasama, ada baiknya guru menggunakan kelompok terkecil dengan tugas sederhana, agar para siswa memiliki pengalaman awal yang dibutuhkan untuk menjalani pengelompokan dengan jumlah yang lebih besar pada masa selanjutnya. Sebuah kelompok yang disuguhi tugas dan memiliki lebih dari enam anggota akan menjadikan para anggota kagok.Kelompok besar membutuhkan skill kepemimpinan yang tidak dimiliki kecuali dengan pengalaman atau latihan. Berikut merupakan beberapa latihan untuk membiasakan siswa untuk berkelompok dan bekerjasama.
a. Latihan Efisiensi
Suatu rangkaian tugas latihan dapat membantu siswa belajar berpasangan dengan lebih efektif, untuk meningkatkan perannya satu sama lain. Rangkaian tugas merupakan peran yang disampaikan pada setiap siswa, sehingga siswa selalu terbiasa memiliki disiplin terhadap kelompoknya.
b. Latihan Interpendensi
Selain praktik dan latihan untuk memiliki perilaku kerja sama yang lebih efisien, beberapa prosedur untuk membantu siswa memiliki rasa ketergantungan satu sama lain sangatlah dibutuhkan. Kompleksitas yang paling sederhana sekalipun melibatkan refleksi dalam proses kelompok serta diskusi mengenai cara bekerja sama yang paling efektif.
Salah satu ragam prosedur yang telah dikembangkan untuk membantu siswa mempelajari cara saling membantu adalah teknik pembagian tugas. Pada intinya, tugas yang diberikan dalam beberapa kesempatan dapat meningkatkan efisiensi pembagian kerja.
d. Struktur tujuan yang Kooperatif dan Kompetitif
Kompetisi antar kelompok dapat menguntungkan pembelajaran dengan menitikberatkan tujuan kooperatif dan meminimalisir kompetisi tim.
e. Motivasi
Sharan (1990) mengatakan bahwa pembelajaran dengan sistem pengelompokan dapat meningkatkan sebagian proses pembelajaran, sebab pengelompokan dapat menyebabkan berpindahnya motivasi dari tataran eksternal menuju internal. Motivasi internal akan menghasilkan ingatan yang kuat terhadap informasi dan keterampilan.
3. Investigasi Kelompok
Gagasan John Dewey muncul dan menjadi sebuah model pengajaran yang kuat dan menyebar luas serta dikenal dengan istilah investigasi kelompok. DI dalam investigasi tersebut, beberapa siswa diatur dalam sebuah kelompok dengan pemecahan masalah yang demokratis untuk membendung dan mengatasi semua masalah akademik. Siswa juga mendapat pengetahuan tentang prosedur akademik dan metode saintifik penelitian saat mereka menempuh proses-proses ini. Gaya pembelajaran tersebut bertujuan untuk mengembangkan gagasan mengenai warga negara ideal yang hidup dalam sebuah negara, memajukan masyarakat yang akan melaksanakan segenap keawjibannya.
a. Pondasi Filosofis
masalah. Ada juga George Counts (1932) yang tidak hanya pada aspek pemecahan masalah namun juga pembentukan (kembali) masyarakat. Body Bode (1927) adalah tokoh yang menekankan sebuah proses intelektual.
Esensi dari sebuah demokrasi dalam pembelajaran adalah menciptakan iklim sedemikian rupa untuk membuat para siswa memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap beberapa aspek fisik dan lingkungan sosial demi meningkatkan kapasitas individu dalam merefleksikan lingkungan sekitar. Semakin sering individu belajar bertanggung jawab dalam merefleksikan pengalaman yang dimilikinya, maka ia akan semakin mampu menghasilkan jaringan informasi, konsep, dan ciri khas yang akan menjadi karakteristik individunya.
b. Asumsi dalam pembelajaran
Thelen (1960) memulai teorinya dengan memaparkan konsep makhluk sosial, yakni “kumpulan orang, lelaki atau perempuan yang melakukan aktivitas perumusan beberapa peraturan dan kesepakatan yang kemudian membentuk realitas sosial”. Makhluk sosial tidak bisa bertindak tanpa adanya contoh atau rujukan dari makhluk sejenisnya, sebab jika tidak, tindakannya tersebut akan bertentangan dengan tindakan yang biasa dilakukan.
Kesepakatan sosial diperoleh dari proses negosiasi sosial. Dapat dikatakan bahwa negosiasi merupakan esensi dari proses sosial itu sendiri. Sehingga tata kelola kelas seharusnya tidak menuntut siswa untuk membrikan sikap sopan dan ramah pada guru saja. Namun tata kelas sebaiknya mendukung anggota kelas bersama-sama mengembangkan tata sosial. Kelas seharusnya menjadi miniatur demokrasi yang dapat mengatasi masalah melalui pemecahan masalah berdasarkan pengetahuan yang didapat.
c. Model Pengajaran
mengevaluasi solusi permasalahan yang dicocokkan dengan maksud dan tujuan utama. Tahapan tersebut terus berelanjut, baik dengan penyajian masalah yang sama atau memunculkan masalah baru yang merangasang adanya investigasi.
Peran Guru dalam investigasi keompok terkadang menjadi konselor, konsultan, dan pemberi kritik yang ramah. Dia harus membimbing serta merefleksikan pengalaman keompok dalam tigkat berikut: pertama pemecahan masalah, kedua memanajemen kelompok, ketiga meminta makna dari siswa. Secara umum struktur model pengajaran dan pembelajaran investigasi kelompok adalah seperti berikut:
Fase Pertama Fase Kedua
Siswa dihadapkan pada keadaan yang penuh dengan teka-teki dan
membingungkan
Siswa mengeksplorasi reaksi terhadap situasi
Fase Ketiga Fase Keempat
Siswa merumuskan tugas dan
mengatur pelajaran (masalah, definisi, pran, tugas, dll)
Kemandirian dan kelompok belajar
Fase Kelima Fase Keenam
Siswa menganalisis kemajuan dan proses
Mendaur ulang aktivitas
Agar model investigasi kelompok berjalan dengan baik diperlukan dukungan sistem yang baik. Sebuah sistem pendukung haruslah ekstensif dan responsif terhadap semua kebutuhan siswa. Ha tersebut dapat diccapai dengan melengkapi sekolah dengan sumber pustaka dari berbagai mdia. Sekolah juga harus
memberikan akses terhadap referensi luar, misalnya orang-orang diluar sekolah yang memiliki keterkaitan dengan permasalahan yang dibahas.
d. Dampak Instruksional dan pengiring
pembelajaran serta proses sosial. Berikut merupakan dampak dari penerapan model investigasi kelompok. Dampak instruksional: Proses dan pengelolaan Kelompok efektif, Pandangan konstruktivis tentang pengetahuan, Disisplin dalam penelitian Kolaboratif. Sedangkan dampak pengiringnya adalah Kemandirian sebagai Pembelajar, Penghargaan pada orang lain, Penelitian Sosial sebagai pandangan hidup, dan Kehangatan dan interpretasi Interpersonal.
B. Kajian Tentang Nilai-nilai
Pembelajaran nilai merupakan puncak dari pembelajaran berbasis nilai-nilai sosial. Terdapat dua cara dalam pembelajaran nilai, yang pertama adalah role playing atau bermain peran dan yang ke dua adalah penelitian hokum.
1. Role Playing Asumsi:
1. Penerapan pembelajaran berbasis pengalaman
2. Role playing dianggap mampu menggambarkan perasaan siswa. Baik perasaan yang hanya dipikirkan maupun perasaan yang diekspresikan.
3. Reaksi kolektif dari sesama angggota dapat memunculkan gagasan baru 4. Proses psikologi secara tersebunyi pada model ini dapat menumbuhkan
3. Mengembangkan kemampuan dalam memecahkan masalah 4. Mengeksplorasi materi pelajaran dalam cara yang berbeda
memaparkan masalah, menjelaskan masalah, menafsirkan masalah, menjelaskan role playing
pemain yang akan melakukan peran
Tahap ketiga Tahap Keempat: Mengatur Setting Mempersiapkan Peneliti Mengatur sesi-sesi tindakan,
kembali menegaskan peran, lebih mendekat pada situasi yang bermasalah
Memutuskan apa yang akan dicari, memberikan tugas pengamatan
Tahap kelima: Tahap keenam:
Pemeranan Berdiskusi dan
Mengevaluasi Memulai role play,
mengukuhkan role play, menyudahi role play Memerankan Kembali Diskusi dan Evaluasi Memainkan peran yang diubah,
Memberikan masukan atau Menghubungkan situasi yang bermasalah dengan kehidupan di
dunia nyata serta masalah-masalah yang baru muncul. Menjelaskan prinsip umum dalam tingkah laku
b. Penerapan role playing
Model role playing adalah model yang sangat berguna dan dapat diterapkan dalam beberapa sasaran pembelajaran. Melalui role playing siswa dapat meningkatkan kemampuannya dalam mengenali dan memperhitungkan perasaannya sendiri dan perasaan orang lain, mereka dapat memiliki perilaku baru dalam mengadapi situasi sulit yang dihadapai, serta bisa meningkatkan kemampuan memecahkan masalah.
Beberapa ciri khas masalah sosial yang dapat ditelusuri dengan menggunakan bantuan model ini, diantaranya:
2. Relasi antar kelompok 3. Dilema individu
4. Masalah historis atau Kontemporer
c. Dampak Instruksional dan Pengiring
Role Playing diatur secara khusus untuk mendidik siswa dalam menganalisis nilai dan perilaku masing-masing individu, pengembangan strategi-srategi dalam memecahkan masalah interpersonal ataupun personal, pengembangan rasa empati terhadap orang lain. Adapun dampak instruksional dan pengiring yang terjadi dalam penerapan model role playing, sebagai berikut:
Instruksional Pengiring
2. Penelitian Hukum: Belajar Merespon Kebijakan Sosial
Model ini didasarkan pada sebuah konsep mengenai masyarakat yang memiliki pandangan serta prioritas yang berbeda. Memecahkan isu yang terbialng rumit dan kontroversial dalam konteks sosial membutuhkan sosok warga Negara yang bisa berbicara di depan masing-masing pihak dan mampu
publik, Siswa memilih satu isu kebijakan publik untuk
didiskusikan, Siswa
Tahap ketiga Tahap Keempat:
Memilih Posisi Mengeksplorasi Sikap atauPendirian serta Bentuk Argumentasi
Siswa mengartikulasikan
posisinya, Siswa mengungkapkan psisi dasar dari nilai sosial atau konsekuensi sebuah keputusan
Menetapkan poin-poin nilai yang dilanggar, Membuktikan
konsekuensi posisi yang diinginkan atau yang tidak diinginkan, Membuat prioritas
Tahap kelima: Tahap keenam:
Menegaskan dan
Mengkualifikasi Posisi Menguji Asumsi Faktual diBalik Posisi yang sudah Qualified
Siswa menegaskan posisinya serta alasan memilih posisi tersebut, menguji beberapa situasi yang sama, Siswa mengkualifikasi posisi
Mengidentifikasi asumsi faktual dan mennetukan apakah asumsi tersebut relevan atu tidak, Mennetukan konsekuensi yang diperkirakan serta menguji validitas faktualnya (apakah benar-benar terjadi?)
b. Penerapan
Model ini dirancang dan ditujukan untuk siswa yang sudah cukup dewasa dan dimodifikasi sedemikian rupa supaya dapat digunakan secara proporsional pada siswa Sekolah Menengah Pertama dan Atas. Dalam penerapan model ini, dialog yang muncul adalah yang berhubungan dengan isu sosial, biasanya pada tahapan pertama akan menjadi momok atau ketakutan tersendiri bagi siswa yang kurang memiliki kemampuan verbal.
Ketika siswa telah mampu dalam penggunaan model penelitian hokum, maka mereka dapat menerapkannya pada konflik yang terjadi di lingkungannya. Oleh karena itu, penerapan model ini dapat berlangsung dengan baik dan mencapai tujuannya jika permasalahan yang diangkat tidak jauh dari jangkauannya.
c. Dampak Instruksional dan Pengiring
Instruksional Pengiring
Kerangka kerja dalam
menganalisis isu-isu sosial Empati/Pluarisme Kemampuan dalam mengambil
peran "orang lain"
Fakta-fakta tentang masalah-masalah sosial
Kompetensi dalam dialog sosial Kapasitas dalam perbaikan sosialdan keinginan dalam aksi sosial
PENUTUP
A. Kesimpulan