• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS POLA KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Kecamatan Tarakan Barat Kota Tarakan Provinsi Kalimantan Timur) (ANALYSIS OF HOUSEHOLD FOOD CONSUMPTION (CASE STUDY IN TARAKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS POLA KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Kecamatan Tarakan Barat Kota Tarakan Provinsi Kalimantan Timur) (ANALYSIS OF HOUSEHOLD FOOD CONSUMPTION (CASE STUDY IN TARAKAN"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

(Studi Kasus di Kecamatan Tarakan Barat Kota Tarakan Provinsi Kalimantan Timur)

(ANALYSIS OF HOUSEHOLD FOOD CONSUMPTION (CASE STUDY IN TARAKAN BARAT SUB DISTRICT TARAKAN CITY EAST BORNEO PROVINCE)

Yuni Hamid1, Budi Setiawan1, Suhartini1 1

Program Pascasarjana Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Jl. Veteran, Malang E-mail: agribisnis@ub.ac.id

ABSTRACT

The availability of sufficient food for the entire population in aregion not guarantee avaiding food and nutrition problems for its resident. Food requirements for household consumption is important. Besides its availability is also worth noting, household food consumption patterns or the balance of contributions between the types of food consumed, so as to meet the recommended nutritional standards. Thus, the resident can perform daily activities well. The objective of this research was to: (1) analyze the quantity of household food consumption patterns; (2) analyze the quality of household food consumption patterns; and (3) analyze the factors that affect the household food consumption patterns.

The method to collect data used food recall 7 x 24 hours. This research was conducted at Tarakan Disctrict in East Borneo Province. The data was analyzed by nutritional adequacy rate (AKG) which consists of adequacy rate of energy (AKE) and adequacy rate of protein (AKP) to determine household food consumption patterns based on the quantity aspect. Analysis of Desirable Dietary Pattern was conducted to determine the pattern of food consumption based on the quality aspect. Furthermore, the results of the analysis carried significant difference test to determine differences in food consumption in each income group. As for analyzing factors influencing food consumption patterns used multiple linear regression analysis.

The analysis showed consumption of energy rural households 1,569.49 kcal/person/day and for urban households 1,964.73. Both of them remain below the normative AKE 2,000 kcal/person/day. On the consumption of protein of rural households is 47.63 gram/person/day is still below the normative level 52 gram/person/day and consumption of protein of urban households 62.44 gram/person/day has exceeded the normative level. While the consumption of food groups show real differences in groups of income among groups of tubers, animal food, fruit/oily seeds, oils and fats, nuts, and vegetables and fruits. Food consumption patterns of quality aspects (Desirable Dietary Pattern) on rural households is 60.27 and urban households is 82.14 where the scores is below the ideal score (100). Then the factors that influence the pattern of food consumption are income per capita, mothers education, and dummy of household residence.

(2)

ABSTRAK

Ketersediaan pangan yang cukup untuk seluruh penduduk di suatu wilayah belum menjamin terhindarnya penduduk dari masalah pangan dan gizi. Kebutuhan pangan untuk konsumsi rumah tangga merupakan hal pokok dalam kelangsungan hidup. Selain ketersediaannya juga perlu diperhatikan, pola konsumsi pangan rumah tangga atau keseimbangan kontribusi diantara jenis pangan yang dikonsumsi, sehingga dapat memenuhi standar gizi yang dianjurkan. Dengan demikian, masyarakat dapat melakukan aktivitasnya sehari-hari dengan baik. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) menganalisis pola konsumsi pangan rumah tangga berdasarkan aspek kuantitas (2) mengalisis pola konsumsi pangan rumah tangga berdasarkan aspek kualitas, dan (3) faktor-faktor yang mempengaruhi pola konsumsi pangan rumah tangga.

Metode pengumpulan data menggunakan metode food recall 7 x 24 jam pada dua lokasi yaitu pedesaan dan perkotaan. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan pendekatan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang terdiri dari Angka Kecukupan Energi (AKE), Angka Kecukupan Protein (AKP) untuk mengetahui pola konsumsi pangan rumah tangga berdasarkan aspek kuantitas. Analisis Pola Pangan Harapan (PPH) dilakukan untuk mengetahui pola konsumsi pangan berdasarkan aspek kualitas. Selanjutnya hasil analisis dilakukan uji beda nyata untuk mengetahui perbedaan konsumsi pangan pada setiap kelompok pendapatan. Sedangkan untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi pola konsumsi pangan digunakan analisis regresi linier berganda.

Hasil analisis menunjukkan konsumsi energi (AKE) rumah tangga pedesaan 1,569.49 kkal/kap/hari dan AKE rumah tangga perkotaan 1,964.73 masih berada dibawah AKE normatif yaitu 2,000 kkal/kap/hari. Pada konsumsi protein (AKP) rumah tangga pedesaan yaitu 47.63 gram/kap/hari masih dibawah AKP normatif yaitu 52 gram/kap/hari dan AKP rumah tangga perkotaan 62.44 gram/kap/hari telah melebihi AKP normatif. Sedangkan konsumsi kelompok bahan pangan yang menunjukkan perbedaaan nyata pada kelompok pendapatan antara lain kelompok pangan umbi-umbian, pangan hewani, buah/biji berminyak, minyak dan lemak, kacang-kacangan serta sayur dan buah. Pola konsumsi pangan dari aspek kualitas yaitu skor PPH pada rumah tangga pedesaan 60.27 dan perkotaan 82.14 dimana skor tersebut masih berada dibawah skor PPH ideal yaitu 100. Kemudian faktor-faktor yang mempengaruhi pola konsumsi pangan rumah tangga adalah pendapatan perkapita, pendidikan ibu rumah tangga dan dummy tempat tinggal.

Kata kunci : rumah tangga pedesaan, rumah tangga perkotaan, pola konsumsi pangan

PENDAHULUAN

(3)

faktor sosial ekonomi, budaya dan politik Apabila gizi kurang dan gizi buruk terus terjadi dapat menjadi faktor penghambat dalam pembangunan nasional (Bappenas, 2007).

Pangan merupakan hajat hidup manusia dan merupakan salah satu kebutuhan yang paling esensial untuk mempertahankan hidup. Undang-undang (UU) No.7 Tahun 1996 tentang pangan, Pasal 1 Ayat 17 yang menyebutkan bahwa Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Selanjutnya menurut Sligh et all (2007) dalam Hanani (2008) definisi ketahanan pangan adalah keadaan ketika semua orang pada setiap saat mempunyai akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap kecukupan pangan, aman dan bergizi untuk pemenuhan gizi sesuai dengan seleranya untuk hidup produktif dan sehat. Ditambahkan Hanani (2005) suatu negara belum dapat dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang baik. Walaupun pangan tersedia cukup di tingkat nasional dan regional, tetapi jika akses individu untuk memenuhi kebutuhan pangannya tidak merata, maka ketahanan pangan masih dikatakan rapuh.

Berdasarkan data Kementan 2011, konsumsi beras Indonesia pada tahun 2009 sebesar 102.22 kg/kapita/tahun, tahun 2010 yaitu 100.76 kg/kapita/tahun berarti mengalami penurunan sebesar 1.4 kg atau 99.3 % dari target penurunan konsumsi beras perkapita pertahun sebesar 1.5 %. Konsumsi beras Indonesia tahun 2011 sebesar 139 kg/kapita, jumlah ini lebih tinggi dibandingkan Malaysia 70 kg/kapita/tahun, Filipina 100 kg/kapita/tahun, Thailand 70 kg/kapita/tahun dan Taiwan 49 kg/kapita/tahun (Jiun Ferng, 2009). Konsumsi pangan hewani per kapita masyarakat Indonesia seperti telur masih sangat rendah yakni baru 87 butir dibandingkan Singapura 301.6 butir, Taiwan 268 butir, China 293 butir, Malaysia 190 butir, Thailand 146 butir dan Philipina 107 butir. Untuk konsumsi daging ayam 7 kg/tahun (Malaysia 38 kg/tahun, Thailand 16.8 kg/tahun, Singapura 33 kg/tahun dan Filipina 8.5 kg/tahun). Pada konsumsi susu segar di Indonesia masih cukup rendah yaitu 6.50 liter/kapita dibandingkan dengan konsumsi susu segar di Malaysia mencapai 27 liter/kapita, Jepang 37 liter/kapita, Amerika Serikat 83.9 liter/kapita (Purwanti, 2012). Konsumsi buah-buahan dan sayuran masyarakat Indonesia rata-rata 40.06 kg per tahun dan 37.94 kg per tahun (standar FAO 65.75 kg per tahun). Sementara secara statistik pada tahun 2007 di Singapura konsumsi pangan sayuran 85.7 kg/kapita, buah-buahan 72.3 kg/kapita. (Tey et all, 2009).

Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa pola konsumsi pangan di Indonesia masih didominasi oleh tingginya konsumsi karbohidrat terutama beras sebagai pangan pokok sementara konsumsi protein, sayuran dan buah-buahan masih mengalami kekurangan jika dibandingkan dengan negara asia lainnya. Hal ini didukung pula oleh pendapat Menteri Pertanian Suswono (Kementan. 2011) yang mengatakan bahwa konsumsi pangan pokok beras per kapita di Asia Tenggara dapat dikatakan masih tinggi. Saat ini konsumsi beras di Indonesia 316 gram/kapita/hari, padahal cukup jika dipenuhi dengan 275 gram/kapita/hari. Sementara itu, konsumsi umbi-umbian hanya 40 gram/kapita/hari, dari jumlah ideal 100 gram/kapita/hari (Kementan, 2011). Oleh sebab itu diperlukan perubahan dalam pola konsumsi pangan seiring dengan meningkatnya pendidikan, pengetahuan gizi dan kesejahteraan masyarakat dalam rangka perbaikan status gizi masyarakat sebagai salah satu prediktor untuk kualitas sumberdaya manusia.

(4)

karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin/mineral dalam jumlah yang cukup dan seimbang. Sumber karbohidrat terutama terdapat pada serealia dan umbi-umbian, protein terdapat pada daging, susu, telur dan kacang-kacangan, lemak terdapat pada biji-bijian berminyak, vitamin dan mineral umumnya terdapat pada sayuran dan buah-buahan. Keseimbangan dalam mengkonsumsi berbagai jenis pangan di atas mencerminkan kualitas konsumsi pangan.

Berdasarkan aspek kuantitas konsumsi pangan diukur dengan pendekatan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang meliputi Angka Kecukupan Energi (AKE) dan Angka Kecukupan Protein (AKP). Pada tingkat konsumsi pangan berdasarkan WKNPG (2004) standar ideal untuk AKE minimal adalah 2,000 kkal/kap/hari dan AKP minimal 52 gram/kapita/hari. Sedangkan berdasarkan aspek kualitas atau mutu konsumsi pangan dilihat dengan menggunakan nilai/skor melalui pendekatan PPH. Nilai/skor mutu PPH ini dapat memberikan informasi mengenai pencapaian kuantitas dan kualitas konsumsi yang menggambarkan pencapaian konsumsi pangan yang beragam, bergizi, berimbang dan aman. Semakin besar skor PPH maka kualitas konsumsi pangan dinilai semakin baik.

Berdasarkan data NBM Kota Tarakan tahun 2008 – 2012, PPH di Kota Tarakan telah mencapai angka ideal seperti disajikan pada Tabel 1. Dimana skor PPH mencapai 101.1, atau 1.1% diatas skor maksimum. Jika diteliti lebih jauh, tingginya skor PPH ini disebabkan besarnya kontribusi pada kelompok bahan makanan sayuran dan buah yang mencapai skor sebesar 35.8% atau 5.8 diatas skor maksimal standar komposisi bahan makanan untuk kelompok sayuran dan buah-buahan. Artinya bahwa penyediaan pangan di Kota Tarakan 101.01% telah memenuhi kebutuhan gizi seimbang dan sangat beragam. Hal tersebut menyiratkan bahwa ketersedian pangan sudah tercukupi sehingga ketahanan pangan sudah terjamin, namun menurut Sibuea (2008) ketersediaan pangan yang secara makro cukup belum menjamin kecukupan pangan di tingkat rumah tangga dan individu. Kelancaran distribusi dan daya beli masyarakat merupakan unsur amat penting dalam ketahanan pangan. Sehingga diperlukan data konsumsi pangan secara riil yang dapat menunjukkan kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan dan menggambarkan tingkat kecukupan pangan dalam rumah tangga. Perkembangan tingkat konsumsi pangan tersebut secara implisit juga merefleksikan tingkat pendapatan atau daya beli masyarakat terhadap pangan. Sementara itu berdasarkan hasil penelitian Sayekti (2002) pola konsumsi pangan rumah tangga erat hubungannya dengan ciri-ciri demografis, aspek sosial ekonomi serta potensi sumberdaya alam setempat. Akibat perbedaan tersebut pola konsumsi pangan antar daerah akan bervariasi dari satu daerah ke daerah lainnya bahkan antar kota dan desa. Oleh karena itu penelitian lebih jauh mengenai pola konsumsi pangan rumah tangga di Kota Tarakan berdasarkan data konsumsi pangan baik di daerah pedesaan dan perkotaan perlu dilakukan untuk menilai kondisi aktual dari pola konsumsi pangan dan kesenjangan mutu gizi masyarakat desa dan kota.

II. METODE PENELITIAN

(5)

Metode penentuan responden secara random sampling menggunakan rumus Parell et all (1973) dengan pernyataan apabila varian dari populasi total tidak diketahui maka cara terbaik dalam penentuan sampel menggunakan persentase dari seluruh populasi yaitu 2%, 5%, 10%, 20% atau 50% dari populasi. Sehingga dalam penelitian ini digunakan 20% dari populasi. Pada Kelurahan Karang Harapan jumlah populasinya 189 KK sehingga diperoleh 20% nya yaitu 37.8 dan ditetapkan menjadi 38 KK sedangkan Kelurahan Karang Balik jumlah populasinya 126 KK diperoleh 20% nya yaitu 25.20 dan ditetapkan menjadi 25 KK.

Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan metode food recall 7 hari x 24 jam yang dipandu dengan kuesioner. Data tersebut kemudian ditabulasi dan dikelompokkan ke dalam sembilan kelompok bahan pangan (padi-padian, umbi-umbian, gula, buah/biji berminyak, minyak dan lemak, pangan hewani, kacang-kacangan, sayur dan buah). Hasil pengelompokan selanjutnya dianalisis menggunakan pendekatan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang diukur berdasarkan Angka Kecukupan Energi (AKE) dengan rumus:

dan Angka Kecukupan Protein (AKP) untuk mengetahui pola konsumsi pangan rumah tangga berdasarkan aspek kuantitas dengan rumus:

Selanjutnya data dianalisis dengan pendekatan skor pola pangan harapan (PPH) untuk mengetahui pola konsumsi panganberdasarkan aspek kualitas. Pola konsumsi pangan rumah tangga dapat dikatakan ideal apabila telah memenuhi kriteria nikai AKE 2,000 kkal/kap/hr, AKP 52 gram/kapita/hari dan PPH 100. Selanjutnya untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pola konsumsi pangan menggunakan analisis linier berganda, sebagai berikut.

Keterangan:

Y : skor PPH sebagai peubah terikat β0 : konstanta intersep

βi : koefisien parameter (i = 1, 2, 3, …, 5) X1 : Pendapatan rumah tangga (Rp) X2 : Jumlah anggota keluarga (orang) X3 : Pendidikan Ibu rumah tangga (Tahun) D4 : Penyuluhan pangan dan gizi,

(6)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Berdasarkan Aspek Kuantitas

Berdasarkan aspek kuantitas, pola konsumsi pangan rumah tangga dianalisis dengan AKG yang meliputi AKE dan AKP.

Angka Kecukupan Energi (AKE)

Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII menganjurkan konsumsi energi penduduk Indonesia adalah 2,000 kkal/kapita/hari. Berdasarkan Tabel 1, rata-rata AKE aktual rumah tangga pedesaan sebesar 1,569.49 kkal/kapita/hari sedangkan rumah tangga perkotaan sebesar 1,964.73 kkal/kapita/hari. Angka ini masih di bawah AKE normatif yaitu 2,000 kkal/kapita/hari (Kementrian Pertanian, 2010). Secara umum meskipun AKE di desa dan di kota masih dibawah AKE normatif AKE namun AKE di kota lebih tinggi daripada pedesaan. Berdasarkan TKE normatif pada tabel 2, TKE di pedesaan masih di bawah TKE normatif, yaitu 78.73% dari 100% TKE normatif. Tetapi berdasarkan klasifikasi TKE (Departemen Kesehatan, 1996) di desa tergolong defisit sedang yaitu 78.73% (TKE : 70 – 79%). Begitu juga TKE di perkotaan masih dibawah TKE normatif namun tidak serendah di pedesaan yaitu 99.09% dari 100% TKE normatif sehingga berdasarkan klasifikasi, TKE di kota tergolong normal (TKE: 90 – 119%). Secara aktual TKE di desa defisit sedang karena pola konsumsi energi kurang bervariasi dimana kontribusi terbesar terhadap kecukupan energi hanya berasal dari padi-padian sedangkan kontribusi bahan pangan lainnya masih jauh dari TKE normatif. Di samping karena perbedaan wilayah, hal ini juga karena adanya perbedaan pendapatan dimana tingkat pendapatan di desa lebih rendah dibanding di kota, sehingga daya beli terhadap bahan pangan yang lebih berkuantitas dan beragam dalam memenuhi tingkat kecukupan energi sangat tergantung pada tinggi rendahnya pendapatan.

Tabel 1. Angka Kecukupan Energi (AKE) dan Tingkat Kecukupan Energi (TKE) Rumah

(7)

24 rumah tangga (96.00%) dikota. Sehingga dapat dijelaskan bahwa AKE rumah tangga di desa masih mengalami kekurangan dibanding di kota. Hal karena adanya perbedaan wilayah tempat tinggal, sehingga akses bahan pangan lebih terjangkau pada wilayah Kota dan pada umumnya beragam jenis pangan lebih banyak tersedia sehingga penduduk kota lebih beragam konsumsi pangannya dibanding penduduk desa disamping faktor daya beli masyarakat kota yang lebih tinggi.

Gambar 1. Sebaran Rumah Tangga Berdasarkan Kriteria AKE

AKE tertinggi terdapat pada bahan pangan kelompok padi-padian baik di desa maupun di kota yaitu sebesar 945.87 kkal/kap/hari dan 908.65 kkal/kap/hari. Urutan selanjutnya adalah kelompok minyak dan lemak, yaitu sebesar 254.08 kkal/kap/hari di desa dan 398.18 kkal/kap/hari di kota. Kelompok pangan hewani menyumbangkan energi sebesar 224.17 kkal/kap/hari untuk rumah tangga pedesaan dan perkotaan sebesar 326.18 kkal/kap/hari. Kelompok Kacang-kacangan 48.62 kkal/kap/hari dan 109.36 kkal/kap/hari. kelompok sayur dan buah sebesar 42.93 kkkal/kap/hari dan 98.64 kkal/kap/hari, kelompok gula sebesar 34.68 kkal/kap/hari dan 66.67, kelompok umbi-umbian 12.44 kka/kap/hari dan 40.99 kkal/kap/hari. sedangkan AKE terkecil adalah kelompok buah/biji berminyak yaitu 6.71 kkal/kap/hari dan 15.59 kkal/kap/hari.

(8)

lebih banyak air untuk mengolah makanan mereka dan penduduk kota hanya memerlukan sedikit kalori untuk menjaga keseimbangan energinya. Hanani (2005) juga menyatakan bahwa konsumsi pangan pokok beras di daerah pedesaan lebih tinggi dibandingkan daerah perkotaan.

Fenomena ini menunjukkan bahwa pada tingkat pendapatan tertentu, rumah tangga akan memprioritaskan pada pangan dengan harga murah seperti pangan sumber energi, kemudian dengan semakin meningkatnya pendapatan, akan terjadi perubahan preferensi konsumsi yaitu dari pangan dengan harga murah beralih ke pangan yang harganya mahal seperti pangan sumber protein. Hal ini sesuai dengan hukum Engel dan hukum Bennet dalam Harianto (2001). Hukum Engel menyatakan bahwa proporsi anggaran rumah tangga yang dialokasikan untuk konsumsi pangan pokok akan semakin kecil pada saat tingkat pendapatan meningkat. Kemudian Hukum Bennet mengatakan bahwa rasio makanan pokok yang mengandung zat tepung akan menurun pada saat pendapatan rumah tangga meningkat. Disamping itu di perkotaan pada umumnya beragam jenis pangan lebih banyak tersedia ditambahkan juga daya beli penduduk kota lebih tinggi karena meningkatnya pendapatan akan mendorong meningkatnya daya beli.

Angka Kecukupan Protein (AKP)

Berdasarkan anjuran dalam WKNPG tahun 2004 AKP normatif adalah 52 gram/kapita/hari. Berdasarkan hasil analisis diperoleh AKP aktual di desa yaitu 47.70 gram/kapita/hari, sedangkan AKP aktual di kota 62.85 gram/kapita/hari seperti disajikan pada Tabel 2.

Sumber : Data Primer diolah, 2013

(9)

gram/kapita/hari dan terakhir kelompok buah/biji berminyak yaitu 0.10 gram/kapita/hari dan 0.97 gram/kapita/hari.

Berdasarkan kelompok bahan pangan pada tingkat kecukupan protein (TKP) sama halnya dengan AKP dimana sumbangan konsumsi protein terbesar terdapat pada kelompok bahan pangan hewani, yaitu 47.79% di desa dan 66.34% di kota. Kelompok bahan pangan lainnya yang memberikan sumbangan konsumsi protein secara berurutan baik di desa dan di kota yaitu padi-padian 34.36% dan 33.51%, kacang-kacangan 4.87% dan 12.66%, sayur dan buah 3.83% dan 5.42%, umbi-umbian 0.32% dan 1.72% dan terakhir buah biji berminyak 0.19% dan 0.43%.

Gambar 2 adalah sebaran rumah tangga desa dan kota berdasarkan klasifikasi TKP yang digunakan Departemen Kesehatan (1996). Jika berdasarkan wilayah maka dari gambar tersebut dapat diuraikan TKP rumah tangga desa yaitu 16% defisit berat, 18% defisit sedang, 10% defisit ringan, 45% normal dan 11% berlebih. Kemudian TKP rumah tangga kota yaitu terdapat 8% defisit ringan, 56% normal dan 36% berlebih.

Gambar 2. Sebaran Rumah Tangga Berdasarkan Klasifikasi TKP di Desa dan Kota

Meskipun secara umum AKP di kedua wilayah tersebut sudah lebih dari cukup namun jika ditelaah lebih jauh berdasarkan klasifikasi TKP, khususnya TKP rumah tangga desa masih ada yang mengalami defisit berat sampai dengan defisit ringan, hal ini disebabkan konsumsi pangan hewani pada rumah tangga di wilayah tersebut masih dibawah anjuran dan kurang beragam karena sumbangan konsumsi terbesar untuk protein sebenarnya dari protein hewani, sementara pada rumah tangga tersebut komposisi menu sehari-hari hanya terdiri dari nasi dan sayur tidak ada protein hewaninya baik itu telur, ikan, ayam dan susu. Hal ini berdasarkan kuisioner hasil survei pada 38 rumah tangga desa terdapat 3 rumah tangga atau 7.89% yang hanya mengkonsumsi protein hewani 2 - 3 kali dalam seminggu, 20 rumah tangga (52%) yang mengkonsumsi protein hewani 4 – 5 kali dalam seminggu dan sisanya 15 rumah tangga (39.47%) yang mengkonsumsi protein hewani 6-7 kali dalam seminggu. Hal ini berarti masih banyak rumah tangga desa yang kurang mengkonsumsi protein hewani, padahal idealnya setiap hari harus ada menu protein hewani, sementara jika dibandingkan rumah tangga kota, hampir 100% setiap hari mengkonsumsi protein hewani.

(10)

pendapatan menunjukkan adanya perbedaan nyata pada taraf 5% yang terjadi pada strata pendapatan rendah dengan pendapatan sedang dan pendapatan tinggi. Sehingga konsumsi protein dipengaruhi oleh pendapatan dimana semakin tinggi pendapatan maka daya beli semakin tinggi sehingga dengan pendapatan lebih tinggi maka akan membeli bahan pangan yang lebih banyak, bervariasi dan berkualitas. Disamping itu hal ini berbanding lurus dengan AKE yang sudah diuraikan sebelumnya dimana pada tingkat pendapatan tertentu rumah tangga akan lebih memprioritaskan pada pangan harga murah sebagai sumber energi, kemudian dengan semakin meningkatnya pendapatan akan terjadi perubahan preferensi konsumsi yaitu dari pangan dengan harga murah beralih ke pangan yang harganya mahal seperti pangan sumber protein.

Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Berdasarkan Aspek Kualitas

Hasil penelitian menunjukkan rata-rata skor PPH aktual di desa baru mencapai 60.27 dan di kota 82.14. Skor ini masih jauh di bawah skor PPH ideal, yaitu 100, dengan rincian pada masing-masing kelompok bahan pangan yang disajikan pada tabel 3.

Tabel 3. Rata-Rata Skor PPH Desa dan Kota Terhadap Skor PPH Ideal

Kelompok Bahan Pangan Skor PPH Aktual Skor PPH Ideal

Desa Kota

Sumber: Data Primer Diolah, 2013

Tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata skor PPH berdasarkan masing-masing kelompok bahan pangan masih di bawah skor PPH ideal. Adapun Skor PPH di desa 60.27, sedangkan skor PPH di kota masih lebih tinggi dari desa yaitu 82.14. Skor PPH yang masih jauh dari skor ideal ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan rumah tangga pedesaan dan perkotaan cenderung tidak beragam dan kualitas pangan yang dikonsumsi pun masih rendah. Karena tinggi dan rendahnya skor PPH tergantung pada pencapaian sumbangan setiap kelompok pangan.

(11)

juga mengemukakan bahwa salah satu alasan penting yang menyebabkan konsumsi pangan rumah tangga lebih beragam adalah peningkatan pendapatan rumah tangga.

Jika ditinjau dari skor PPH aktual dan normatif berdasarkan kelompok bahan pangan pada Tabel 3 baik di desa dan di kota, maka kelompok padi-padian dan pangan hewani memberikan kontribusi terbesar, kelompok padi-padian memberikan skor PPH aktual 23.34 dan 22.99 (ideal 25), diikuti oleh pangan hewani 17.74 dan 22.67 (ideal 24), minyak dan lemak 4.60 dan 4.95 (ideal 5.00) . Sedangkan bahan pangan sayur dan buah 9.03 dan 20.05 (ideal 30) , kacang-kacangan 4.25 dan 8.32 (ideal 10).

Meskipun proporsi kelompok padi-padian, pangan hewani dan minyak dan lemak telah memberikan kontribusi terhadap skor PPH aktual lebih 50% namun dari keseluruhan kelompok pangan ini belum ada yang mencapai skor PPH ideal sehingga perlu adanya perbaikan kuantitas maupun kualitas konsumsi bahan pangan pada rumah tangga dengan memperhatikan batas maksimal sehingga pada akhirnya dapat membantu peningkatan skor PPH aktual baik di desa maupun di kota.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga

Pada penelitian di sini, skor PPH aktual digunakan sebagai variabel dependen (Y), sebab skor PPH merupakan indikator dalam penilaian kualitas pola konsumsi pangan. Sesuai dengan pendapat Tejasari (2003) yang menyatakan bahwa indikator diversifikasi konsumsi pangan tingkat kelompok atau daerah yang paling cocok adalah skor mutu konsumsi pangan dengan pendekatan PPH. Semakin tinggi skor PPH maka semakin tinggi tingkat keragaman pola konsumsi pangan rumah tangga (Suhardjo,1998). Sementara menurut Badan Ketahanan Pangan (2007) setiap tahun pemerintah menggunakan pendekatan PPH untuk mengevaluasi keberhasilan diversifikasi konsumsi pangan dan pembangunan ketahanan pangan.

Sebagai faktor independent (X) dalam penelitian digunakan faktor internal dan eksternal pada rumah tangga pedesaan, antara lain pendapatan perkapita tangga (X1), jumlah anggota keluarga (X2), pendidikan ibu rumah tangga (X3), dummy raskin (D4), dummy penyuluhan (D5), dan dummy raskin (D6).

Hasil analisis regresi linear berganda antara faktor independent (X) yang mempengaruhi faktor dependent (Y) adalah sebagai berikut.

Tabel 4. Hasil Estimasi Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Pedesaan

Variabel Koefisien Regresi thitung Sig.

Konstanta Pendapatan (X1)

Jumlah Anggota Rumah Tangga (X2) Pendidikan (X3) Variabel Dependen: Pola Konsumsi Pangan (Skor PPH Aktual)

R2 : 0.603 Fhitung : 14.158

** : Nyata pada taraf kepercayaan 99% (α = 0.01), ttabel = 2.390 * : Nyata pada taraf kepercayaan 95% (α = 0.05), ttabel = 1.670

(12)

Pada tabel 4, hasil regresi menunjukkan bahwa nilai koefisien determinasi atau R2 adalah sebesar 0.603. Hal ini berarti, pendugaan variabel independen (X) yang terdapat dalam model regresi mampu menjelaskan variabel dependen (Y) sebesar 60.3 %, sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel independen lainnya yang tidak terdapat dalam model.

Dari hasil regresi diperoleh nilai Fhitung (14.158) lebih besar dari pada Ftabel (2.26) pada taraf α 5%, maka H0 ditolak dan menerima H1. Artinya, semua variabel independen (X) secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen (Y) sehingga model tersebut dapat diterima sebagai penduga yang baik dan layak. Pada hasil estimasi Tabel 4 terdapat dua parameter estimasi yang berpengaruh secara nyata atau signifikan pada taraf α 1% yaitu variabel pendapatan per kapita (X1) dan Dummy tempat tinggal (D6). dan pendidikan ibu rumah tangga (X3) berpengaruh nyata atau signifikan pada taraf α 5% Sementara itu untuk variabel lainnya seperti jumlah anggota rumah tangga (X2), dummy raskin (D5), dan dummy penyuluhan (D6) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen yaitu skor PPH. Hal tersebut dikarenakan nilai thitung nya lebih kecil daripada nilai ttabel pada taraf α 5%.

Dengan demikian model yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Y = 46.800 + (1.372×10-5)X1 + 0,844X2 + 0,594X3 - 2,739D4 + 2,487D5 + 12,639D6

Untuk mengetahui masing-masing variabel independent (X) yang dapat mempengaruhi variable dependent (Y), yaitu pola konsumsi pangan dari hasil analisis regresi di atas dilihat dengan menggunakan uji t. yaitu membandingkan nilai antara thitung dengan ttabel. Apabila nilai thitung lebih besar dibandingkan ttabel, maka H1 diterima dan H0 ditolak. Hal ini berarti bahwa variabel independen tersebut memiliki pengaruh nyata terhadap variabel dependen.

1. Pendapatan Per Kapita (X1)

Pendapatan merupakan akses ekonomi yang sangat erat kaitannya dengan akses pangan yang dikonsumsi. Dengan pendapatan maka rumah tangga memiliki kemampuan untuk memperoleh pangan yang cukup untuk kebutuhan energi dan gizi. Semakin tinggi tingkat pendapatan, maka jumlah dan jenis makanan pun cenderung membaik. Selain itu, pendapatan juga berpengaruh pada daya beli seseorang. Semakin tinggi pendapatan, daya beli seseorang juga meningkat, sehingga kemampuan untuk memilih dan membeli beragam makanan pun semakin tinggi, yang juga menandakan pola konsumsi pangan meningkat (Rachman dan Ariani, 2008).

Berbagai penelitian pola konsumsi pangan telah menujukkan bahwa pendapatan berpengaruh signifikan dengan konsumsi pangan. Semakin tinggi pendapatan rumah tangga, maka pola konsumsi pangan juga semakin tinggi mendekati skor PPH ideal. Begitu pun yang terjadi pada lokasi penelitian baik di desa maupun di kota yang menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara pendapatan per kapita dengan skor PPH dengan nilai thitung (2.856) > ttabel (2.390). Nilai koefisien variabel pendapatan adalah 1.372×10

-5

(13)

2. Jumlah Anggota Rumah Tangga (X2)

Jumlah anggota rumah tangga akan mempengaruhi pola konsumsi pangan rumah tangga. Semakin banyak jumlah anggota rumah tangga, maka kebutuhan panganyangdikonsumsiakansemakinbervariasi karena masing-masing anggota keluarga mempunyai selera yang berbeda (Suyastiri, 2008). Namun, pada lokasi penelitian jumlah anggota rumah tangga tidak memiliki pengaruh yang signifikan pada taraf α 5% terhadap skor PPH yang ditunjukkan dengan nilai thitung (0.791) < ttabel (1.670) Semakin banyak jumlah anggota rumah tangga maka secara kuantitas konsumsi pangan semakin bertambah dan bervariasi, maka beban yang ditanggung rumah tangga juga semakin besar, sehingga rumah tangga memutuskan untuk memilih jenis pangan tertentu yang lebih murah dan mudah didapatkan dalam jumlah yang lebih banyak untuk memenuhi unsur kenyang, bukan untuk memenuhi kebutuhan gizi rumah tangga. Sesuai dengan pendapat Suyastiri (2008) bahwa semakin banyak jumlah anggota rumah tangga maka beban yang ditanggung rumah tangga akan semakin besar. Oleh sebab itu, terdapat dua cara yang dapat dilakukan rumah tangga untuk mengatasinya, yaitu menambah pendapatan rumah tangga atau mengurangi pengeluaran untuk pangan dengan memilih jenis pangan yang lebih murah dan tidak beragam, karena pada umumnya rumah tangga dengan jumlah anggota yang banyak juga butuh makanan yang banyak.

3. Pendidikan Ibu Rumah Tangga (X1)

Kualitas konsumsi pangan sebagaimana diukur berdasarkan skor PPH erat hubungannya dengan aspek sosial yaitu tingkat pendidikan. Pendidikan ibu rumah tangga sangat berperan dalam penentuan kualitas menu pangan yang dikonsumsi sehari-hari, dimana menurut RANPG (2011) faktor penyebab tidak langsung terhadap status gizi masyarakat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, akses informasi dan tingkat pendapatan.

Pendidikan ibu rumah tangga juga berkaitan dengan tingkat pengetahuan dan sikap yang dimilikinya dalam memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga. Diharapkan, ibu rumah tangga dengan pendidikan yang tinggi, semakin tinggi pula pengetahuan mereka akan gizi, sehingga kesadaran mereka pun akan semakin meningkat dalam memenuhi pangan bergizi. Berdasarkan kondisi aktual di lokasi penelitian diperoleh koefisien regresi pendidikan ibu rumah tangga sebesar 0.594 dan berdasarkan uji statistik menunjukkan tingkat pendidikan ibu rumah tangga memiliki pengaruh yang nyata pada taraf α 5% terhadap skor PPH, yang ditunjukkan dengan nilai thitung (1.743) > ttabel (1.670). Hal ini berarti semakin tinggi pendidikan maka semakin tinggi pula pengetahuan dan wawasan ibu rumah tangga tentang gizi sehingga dalam mengolah atau memasak makanan sehari-hari tidak hanya berpatokan pada kebiasaan dan konsep kenyang tetapi dapat memilih jenis bahan pangan yang berkualitas dengan memperhatikan unsur nutrisi yang terkandung dalam pangan sehingga mampu meningkatkan skor PPH .

4. Dummy Raskin (D6)

(14)

Hasil analisis regresi menunjukkan koefisien negatif (-2.287) yang berarti program raskin berpengaruh negatif terhadap PPH. Dengan adanya bantuan raskin, membuat skor PPH aktual semakin kecil. Hal ini berarti, adanya program raskin membuat rumah tangga semakin bergantung pada beras yang ditunjukkan dengan makin tingginya konsumsi beras yang berakibat pada skor PPH kelompok padi-padian berlebih sedangkan skor PPH kelompok pangan lain masih di bawah skor ideal, sehingga pola konsumsi pangan aktual masih belum membaik.

5. Dummy Penyuluhan (D5)

Pada lokasi penelitian, adanya penyuluhan tentang pangan dan gizi tidak berpengaruh signifikan pada taraf α 5%, yang ditunjukkan dengan nilai thitung (0.718) < ttabel (1.670). Hal ini terjadi karena pengadaan penyuluhan hanya dilakukan oleh kader posyandu setiap satu bulan sekali. Oleh sebab itu sasaran penyuluhan hanya terbatas pada ibu-ibu rumah tangga yang memiliki balita saja. Selain itu, materi penyuluhan yang disampaikan pun hanya terbatas pada seputar pangan bergizi untuk balita saja. Berbagai materi penyuluhan tentang pola hidup sehat dan penerapan pola konsumsi pangan yang beragam bergizi dan berimbang serta pangan alternatif pernah dilaksanakan namun sasarannya masih belum merata. Sehingga pengetahuan dan kesadaran rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga masih kurang, yang menyebabkan perilaku pola konsumsi pangan rumah tangga masih belum berubah.

6. Dummy Tempat Tinggal (D6)

Selain variabel pendapatan, variabel dummy tempat tinggal ternyata juga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pola konsumsi pangan rumah tangga, yang ditunjukkan dengan nilai thitung (3.416) > ttabel (1.691). Sesuai pendapat Sayekti (2001) bahwa keragaman konsumsi pangan di tingkat rumah tangga erat hubungannya dengan ciri-ciri demografis, aspek sosial, ekonomi serta potensi sumberdaya alam setempat. Akibat perbedaan tersebut ditambah dengan kendala dalam distribusi pangan antar daerah menyebabkan pola konsumsi pangan antar daerah akan bervariasi dari satu daerah ke daerah lain bahkan antar pedesaan dan perkotaan. Ketersediaan pangan sepanjang waktu, dalam jumlah yang cukup dan harga terjangkau sangat menentukan tingkat konsumsi pangan di tingkat rumah tangga. Selanjutnya pola konsumsi pangan rumah tangga akan berpengaruh pada komposisi konsumsi pangan (Bappenas, 2011).

Pada lokasi penelitan, skor PPH di desa lebih rendah daripada di kota, hal ini karena daerah tempat tinggal akan mempengaruhi rumah tangga dalam mengakses bahan pangan, dimana rumah tangga pedesaan lebih terbatas dalam mengakses bahan pangan yang lebih berkuantitas, berkualitas dan bervariasi untuk dikonsumsi. Sedangkan di kota jenis bahan pangan yang berkualitas dan bervariasi lebih banyak tersedia sehingga menu konsumsinya lebih beragam yang pada akhirnya mempengaruhi pola konsumsi pangan (skor PPH).

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian tentang analisis pola konsumsi pangan rumah tangga di Kecamatan Tarakan Barat, Kota Tarakan dapat disimpulkan sebagai berikut:

(15)

kkal/kapita/hari. sedangkan nilai AKP aktual rata-rata di pedesaan sebesar 47.70 gram/kapita/hari (91.59%) berada di bawah AKP yaitu 52 gram/kapita/hari sedangkan AKP aktual di perkotaan sebesar 62.44 (120.08%) yang berarti sudah melebihi dari AKP normatif.

2. Pola konsumsi pangan berdasarkan aspek kualitas masih belum tercapai sesuai dengan hasil rata-rata skor PPH aktual di desa yaitu 60.27 dan di kota 81.26, meskipun skor PPH dikota lebih tinggi dari desa namun masih berada jauh dibawah skor PPH ideal yaitu 100. Skor PPH Selain dipengaruhi oleh faktor pendapatan, juga dipengaruhi oleh perbedaan daerah tempat tinggal.

3. Berdasarkan hasil analisis regresi dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang memiliki pengaruh signifikan terhadap skor PPH adalah variabel pendapatan perkapita, pendidikan ibu rumah tangga dan dummy tempat tinggal. Variabel lainnya, yaitu jumlah anggota rumah tangga, dummy raskin, dan dummy penyuluhan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap skor PPH aktual di lokasi penelitian.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka saran dari peneliti adalah sebagai berikut.

1. Sosialisasi, promosi dan penyuluhan kepada ibu rumah tangga mengenai penganekaragaman konsumsi pangan yang bergizi seimbang dan aman perlu dilakukan guna meningkatkan nilai AKE dan AKP serta skor PPH rata-rata penduduk.

2. Perlu adanya pengembangan sistem distribusi dan stabilitas bahan pangan guna meningkatkan aksesbilitas pangan sehingga penduduk di setiap wilayah dan setiap saat dapat mengakses pangan dengan harga murah dan terjangkau untuk mempertahankan dan memenuhi asupan kalori minimal 2,000 kkal/kap/hari dan protein 52 gram/kapita/hari terutama bagi rumah tangga miskin, daerah terpencil dan daerah perbatasan.

3. Khusus bagi Pemerintah Kota yang mempunyai peran strategis terhadap pemantapan ketahanan pangan maka evaluasi dan pengendalian tidak hanya dilakukan pada tingkat kecukupan pangan saja namun perlu juga dilakukan pada tingkat konsumsi individu dan penduduk sehingga dapat diketahui sejauh mana status gizi penduduk.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. 2007. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2006 – 2010. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Jakarta.

Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. 2011. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011 – 2015. Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Jakarta

Badan Pusat Statistik. 2008. Neraca Bahan Makanan Kota Tarakan 2008 – 2012. BPS Kota Tarakan.

Departemen Kesehatan. 1996. Panduan 13 Pesan Dasar Gizi Seimbang. Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Jakarta.

(16)

Harianto, 2001. Pendapatan, Harga dan Konsumsi Beras, Bunga Rampai Ekonomi Beras. LPEM-FEUI. Jakarta.

Hanani N. 2008. Roadmap Diversifikasi Konsumsi Pangan Propinsi Jawa Timur : Badan Ketahanan Pangan Jawa Timur.

Hanani, Nuhfil. 2005. Diversifikasi Konsumsi Pangan. Available at http:// nuhfil.lecture.ub.ac.id/files/.../8diversifikasi-konsumsi pangan-8.pdf. Verified 25 September 2012.

Jian-ping Li dan Zhou-ping Shangguan. 2012. Food consumption patterns and per-capita calorie intake of China in the past three decades. Journal of Food, Agriculture & Environment Vol.10 (2): 201-206. 2012

Jiun-Jiun Ferng. 2009. Effects of food consumption patterns on paddy field use in Taiwan. Land Use Policy 26 (2009) 772–78. Elsevier Journal.

Kementrian Pertanian. 2011. Rencana Strategis Kementrian Pertanian 2010-2014. Jakarta: Kementrian Pertanian.

Parell, C.P et all. 1973. Sampling Design and Procedures.(Ottawa Canada A/D/C)

Purwantini S, 2012. Minum Susu Segar Mencerdaskan dan Mensejahterakan Bangsa, Makalah pada Peringatan Hari Susu Nusantara. Kementrian Pertanian, Jakarta. Rachman, Handewi dan Ariani, Mewa. 2008. Penganekaragaman Konsumsi Pangan di

Indonesia: Permasalahan dan Implikasi untuk Kebijakan Program. Analisis Kebijakan Pertanian Volume 6 No. 2, Juni 2008: 140-154.

Sayekti A. 2002. Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga di Wilayah Historis Pangan Beras dan Non Beras di Indonesia. Tesis. Fakultas Pertanian. INSTIPER. Yogyakarta. Setiawan dan Kusrini, Dwi. 2010. Ekonometrika. Yogyakarta: Andi Offset.

Suhardjo, dkk. 2009. Pangan, Gizi dan Pertanian. UI – Press. Jakarta.

Hardinsyah, dan Riyadi, Hadi. 1988. Survey Konsumsi Pangan. Pusat Antar Universitas Institut pertanian Bogor Bekerja Sama dengan Lembaga Sumberdaya Informasi-IPB. Bogor.

Susmawati. 2010. Analisis Tingkat Diversifikasi Konsumsi Pangan Rumah Tangga di Jawa Timur. Tesis. Malang: Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya.

Suyastiri, Ni Made. 2008. Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok Berbasis Potensi Lokal dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Pedesaan di Kecamatan Semin Kabupaten Gunung Kidul. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 13 No.1, April 2008 Hal. 51-60.

Tejasari. 2003. Diversifikasi Konsumsi Pangan Berdasarkan Pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH) di Daerah Rawan Gizi. Media Gizi dan Keluarga, Juli 2003, 27 (1): 46-53. Tey, Y. S., Suryani, D., Emmy, F. A. and Illisriyani, I.2009. Food consumption and

Gambar

Tabel 1. Angka Kecukupan Energi (AKE) dan Tingkat Kecukupan Energi (TKE) Rumah  Tangga Pedesaan dan Perkotaan
Gambar 1. Sebaran Rumah Tangga Berdasarkan Kriteria AKE
Tabel 2.  Angka Kecukupan Protein (AKP) dan Tingkat Kecukupan Protein (TKP) Rumah Tangga Pedesaan dan Perkotaan
Gambar 2.   Sebaran Rumah Tangga Berdasarkan Klasifikasi TKP di Desa dan Kota
+3

Referensi

Dokumen terkait

Sementara secara tradisional terdapat beberapa jenis alat tangkap yang digunakan menangkap tuna antara lain huhate ( pole and line ), pancing ulur ( hand line ) dan pancing tonda

Pengaruh suhu pemasakan terhadap nilai organoleptik aroma lemang Gambar 2 menunjukkan persentase hubungan suhu pemasakan lemang dengan menggunakan alat pemasak lemang

Sementara hasil uji Non–Response Bias menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara jawaban responden pada penelitian hari pertama dengan jawaban responden

Persyaratan struktur perlu.dipenuhi sebagai berikut : 1 perencanaan pondasi bangunan harus didasarkan pada penyelidikan tanah dan peralatan yang akan digunakan; 2 perencanaan

1XUDQL 6R\RPXNWL RS FLW K ,ELG K.. 6RHMRQR 6RHNDQWR PHQ\DWDNDQ EDKZD LQWHUDNVL VRVLDO WLGDN PXQJNLQ WHUMDGL DSDELOD WLGDN PHPHQXKL GXD V\DUDW \DNQL NRQWDN VRVLDO GDQ DGDQ\D

Berdasarkan hasil penelitian pada pembelajaran pendidikan kewarganegaraan materi globalisasi menunjukan bahwa penggunaan model pembelajaran the power of two dapat

 perubahan iklim klim memberikan dampak memberikan dampak penurunan terhadap penurunan terhadap hasil hasil produksi produksi cabai cabai rawit rawit dari dari hasil hasil

Namun masalahnya, apakah wasiat tersebut sah menurut hukum Islam atau tidak, sebab salah satu syarat wasiat adalah dilakukan bukan kepada ahli waris ( muwa&gt;rist ) yang