• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP BEST PRACTICES IMPLEMENTASI UU KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK NO 142008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KONSEP BEST PRACTICES IMPLEMENTASI UU KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK NO 142008"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP BEST PRACTICES

IMPLEMENTASI UU KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK NO 14/2008

Winda Hardyanti

Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur winda86@gmail.com

Abstrak

Keberadaan informasi publik yang terbuka dan pemenuhan hak masyarakat untuk mengakses informasi pemerin-tah yang diperuntukkan untuk publik merupakan ciri penting pemerinpemerin-tahan demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Pelibatan dan tanggung jawab kepada rakyat sebagai pemegang mandat hanya bisa dilakukan melalui keterbukaan yang ditandai salah satunya melalui penyediaan akses informasi pemerintah.

Undang-Undang No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) menjamin hak masyarakat untuk mendapatkan akses informasi dan mendorong keterbukaan pada badan publik atau pemerintah. Seluruh informasi tentang aktivitas badan publik, selain yang dikecualikan Undang-Undang, sejak UU tersebut disahkan, wajib dibuka kepada masyarakat. Masyarakat pun kini bisa mengawasi dan memantau aktivitas badan publik. Melalui keterbukaan informasi, masyarakat diharapkan dapat mendorong transparansi dan akuntabilitas badan publik, dan lebih jauh lagi berpartisipasi aktif dalam perumusan kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan publik (Mendel,2004)

Sesuai dengan amanat UU KIP, setelah dua tahun ditetapkan, maka badan publik di seluruh Indonesia wajib melaksanakan pengelolaan dan pelayanan informasi agar masyarakat dapat mendapatkan akses seluas-luasnya dengan cara yang mudah dan terjangkau. Namun, implementasi UU KIP dalam keseharian kegiatan layanan pub-lik lembaga pemerintah bukan hal yang mudah.

Penelitian ini bermaksud untuk meneliti sejauh mana implementasi atau penerapan UU KIP. Tahun 2014 ini adalah tepat enam tahun sejak UU Keterbukaan Informasi Publik disahkan. Harapannya tentu kota dan kabupaten khususnya di Jawa Timur sudah mampu mengimplementasikan UU ini dengan sebaik-baiknya.Sehingga perwu-judan masyarakat yang mendambakan good governance bisa terpenuhi haknya untuk memperoleh informasi dari badan publik yang diinginkan. Penelitian ini akan mengambil dua kota sebagai subyek penelitian yaitu implemen-tasi UU KIP di Pemerintah Kota Malang dan di Kota Kediri. Metodologi yang digunakan adalah menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan metode studi kasus dan observasi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masing-masing kota baik Kediri maupun Malang, masing-masing me-miliki best practices dalam mengimplementasikan UU KIP no 14/2008. Best practices yang dilakukan adalah melakukan pemahaman holistik terhadap UU KIP 14/2008. Selain itu juga mengupayakan optimalisasi imple-mentasi transparansi, akuntabilitas dan partisipasi publik dengan baik. Adapun hambatan yang sering menjadi kendala dalam pelaksanaan meliputi keterbatasan kuantitas dan kualitas SDM, tidak ada standar informasi publik yang jelas, gangguan kestabilan jaringan dan masih lemahnya koordinasi antara satuan kerja.

Keywords: informasi publik, komunikasi publik, good governance

Abstracts

The existence of public information open and the fulfillment of the public’s right to access government information intended for the public is an important characteristic of democratic government that upholds the sovereignty of the people. Involvement and responsibility to the people as a mandate holder can only be done through the open-ness that characterized one of them through the provision of access to government information.

(2)

other than those excluded Act, since the Act was passed, shall be open to the public. Communities are now able to supervise and monitor the activities of public bodies. Through disclosure of information, the public is expected to encourage transparency and accountability of public bodies, and further to actively participate in the formulation of policies relating to the public interest (Mendel, 2004)

In accordance with the mandate of UU KIP, after two years is set, then the public agencies throughout Indonesia are required to implement management and information services so that people can gain access to the widest in a way that is easy and affordable. However, implementation of the Freedom of Information Law in the everyday activities of the public services of government agencies is not an easy thing.

This study intends to examine the extent to which the implementation or application of the Freedom of Information Law. 2014 This is exactly six years since the Law on Public Information was passed. The hope of cities and coun-ties, for the best, especially in East Java has been able to implement this law in the best embodiment. In orther, people who crave good governance can be met right to obtain information from public bodies is desirable. This study will take two cities as research subjects, namely the implementation of Freedom of Information Law in the City Government of Malang and Kediri. The methodology used is descriptive qualitative approach with case study method and observation.

The results showed that each of the cities both Kediri and Malang, each having best practices in implementing the Freedom of Information Law No. 14/2008. Best practices done is to conduct a holistic understanding of the Free-dom of Information Law 14/2008. It also sought to optimize the implementation of transparency, accountability and public participation well. The barriers are often a constraint in the implementation include limited quantity and quality of human resources, there is no clear standard of public information, interference and network stabil-ity is still weak coordination between work units.

Keywords: public information, public communication, good governance

K

eterbukaan informasi publik merupakan satu

hal yang penting jika ingin mewujudkan sistem pemerintahan yang demokratis. Komunikasi publik yang baik dan efektif menjadi satu prasyarat penting jika ingin masyarakat terpenuhi haknya untuk memperoleh informasi-informasi publik. Negara dalam hal ini sudah mengaturnya dalam UU Keterbukaan In-formasi Publik atau UU KIP No.14 tahun 2008.

Keberadaan informasi publik yang terbuka dan pemenuhan hak masyarakat untuk mengakses infor-masi pemerintah yang diperuntukkan untuk publik merupakan ciri penting pemerintahan demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Tanggung jawab kepada rakyat sebagai pemegang mandat hanya bisa dilakukan melalui keterbukaan yang ditandai salah sa-tunya melalui penyediaan akses informasi pemerintah.

Seiring dengan era reformasi, tepat tanggal 30 April 2008, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menetapkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik no 14 tahun 2008. Jika ditilik dari sejarah awal, aturan mengenai akses informasi publik itu bertajuk “Kebebasan Memperoleh Informasi”, namun setelah melalui diskusi di kalangan anggota dewan, akhirnya disepakati nama undang-undang tersebut diganti men-jadi Undang-Undang “Keterbukaan Informasi Publik”.

UU ini menjadi dasar penyediaan informasi pemerintah untuk masyarakat, tentunya terkait informasi-informasi yang diperbolehkan untuk diketahui publik sesuai den-gan peraturan undang-undang.

Sesuai dengan amanat UU KIP, setelah dua tahun ditetapkan, maka badan publik di seluruh Indonesia wajib melaksanakan pengelolaan dan pelayanan infor-masi agar masyarakat dapat mendapatkan akses seluas-luasnya dengan cara yang mudah dan terjangkau. Na-mun, implementasi UU KIP dalam keseharian kegiatan layanan publik lembaga pemerintah bukan hal yang mudah.

(3)

tahun sejak UU Keterbukaan Informasi Publik disah-kan. Harapannya tentu kota dan kabupaten khususnya di Jawa Timur sudah mampu mengimplementasikan UU ini dengan sebaik-baiknya.Sehingga perwujudan masyarakat yang memimpikan good governance bisa terpenuhi haknya untuk memperoleh informasi dari badan publik yang diinginkan. Penelitian ini akan men-gambil dua kota sebagai samplenya yaitu implementasi UU KIP di Kota Malang dan di Kota Kediri. Alasan pemilihan pemerintah Kota Malang sebagai subyek penelitian adalah karena Kota Malang sudah memiliki petugas PPID dalam pelaksanaan tugasnya sedangkan di sisi lain Pemerintah Kota Kediri belum memiliki satuan tugas PPID dalam rangka implementasi UU ini. Dua kondisi yang berbeda ini menjadi salah satu alasan penting mengapa penelitian ini mengambil dua sudut yang berbeda terkait implementasi UU KIP.

Hasil Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh FISIP Uni-versitas Indonesia terkait implementasi UU KIP no 14/2008 di Lombok Barat menyebutkan bahwa perlu ada sosialisasi di kalangan daerah perihal pentingnya UU ini (https://id.berita.yahoo.com/ui-teliti-implemen-tasi-uu-kip-di-lombok-09213451.html).

Selain itu dalam penelitian tersebut UI hanya beru-paya untuk menemukan kendala namun belum ke arah menemukan konsep best practicesnya. Tim peneliti dari UI juga hanya menggunakan pemda-pemda yang be-lum memiliki PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi) sedangkan dalam penelitian ini juga menekankan pada bagaimana konsep best practices dari pemerintah, tak hanya pemerintah kota yang me-miliki PPID namun juga yang belum meme-miliki PPID.

Poin penting dari UU Keterbukaan Informasi Publik adalah menyediakan akses seluas-luasnya mencakup akses yang murah, cepat, tepat waktu, utuh, akurat, dan dengan cara yang sederhana. Selain itu UU KIP juga bermaksud mewadahi untuk menciptakan informasi proaktif, artinya badan publik mengumumkan infor-masi publik tanpa harus dengan permohonan. Peny-elesaian sengketa yang cepat, kompeten, dan indepen-den juga menjadi fokus perhatian dari UU ini artinya sengketa informasi publik diselesaikan dengan cepat oleh komisi yang independen (Komisi Informasi) serta adanya pengenaan sanksi bagi penghambat akses infor-masi publik.

Pemahaman mengenai penyediaan layanan infor-masi pemerintah tidak bisa dihilangkan dari konsep penyelenggaraan pemerintah yang baik (good governe-nance). Dalam negara yang menganut prinsip

demokra-si, pemerintah adalah pelayan yang bertugas melayani, menampung dan menjalankan kepentingan publik. Hal

itu sesuai definisi penyelenggaraan tugas pemerintahan

dan pembangunan dari “government” (pemerintah) menuju “governance” (pemerintahan). Ada sejumlah pendekatan yang digunakan dalam menyebut tata ke-lola pemerintahan yang baik dan demokratis, salah sa-tunya adalah good governance dan menjalankan komu-nikasi publik yang baik.

Ada lima prinsip utama yang dikemukakan oleh Rek-sodiputro dalam rangka membangun governance, yaitu adanya (1) fairness, yang seringkali disebut kewajaran prosedural; (2) transparancy atau keterbukaan sistem; (3) disclosure atau pelengkap kinerja; (4) accountibil-ity atau pertanggungjawaban publik dan (5) responsi-bility atau kepekaan menangkap aspirasi masyarakat luas (Reksodiputro, 2000).

Di sisi lain, United Nations Development Programme (UNDP) (1997) merumuskan karakteristik atau pilar tata kelola pemerintahan yang baik yaitu partisipasi (participation), landasan hukum (rule of law), keter-bukaan (transparency), keandalan (responsiveness), kebersamaan (consensus orientation), kesetaraan

(eq-uity), efektifitas dan efisiensi (efffectiveness and effi -ciency), akuntabilitas (accountability), dan visi masa depan (strategic vision).

Lembaga Administrasi Negara (2007) mendefinisi -kan good governance dalam dua pengertian atau ori-entasi, pertama nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial. Dan kedua, aspek-aspek fungsional dari

pemer-intah yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugas -nya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.

Penyelenggaraan pemerintahan yang baik atau “good governance” mensyaratkan adanya pelibatan seluruh elemen, baik yang ada dalam intern birokrasi maupun di masyarakat. Paradigma manajemen pembangunan modern menempatkan masyarakat dan swasta sebagai aktor strategis dalam pengelolaan kebijakan publik ber-sama pemerintah dengan prinsip kemitraan (Widodo, 2001).

Momentum gelombang perubahan ke lima melalui Open Government ini sesungguhnya merupakan aku-mulasi dari berbagai upaya nasional untuk mengem-bangkan good governance khususnya penerapan ket-erbukaan informasi publik, bisa juga disebut sebagai upaya komunikasi publik, agar terwujud transparansi pemerintah dan partisipasi masyarakat terjadi secara optimal dalam seluruh proses pemerintahan.

(4)

dibutuhkan beberapa hal mendasar yng menjadi pra-syarat terbentuknya keterbukaan informasi publik yaitu keterbukaan yang memungkinkan publik dapat men-gakses dan memanfaatkan kebijakan pemerintah. Itu artinya masyarakat harus memiliki kebebasan untuk mengakses informasi publik. Arti penting keterbukaan dan aktivitas komunikasi juga ditegaskan dalam Un-dang-Undang No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Setiap lembaga publik wajib me-nyediakan, memberikan, dan/atau menerbitkan infor-masi publik, tanpa terkecuali. Selain itu setiap lembaga publik wajib membangun dan mengembangkan sistem informasi dan dokumentasi untuk mengelola informasi

publik secara baik, efisien sehingga dapat diakses se -cara mudah oleh warga negara.

Implementasi Keterbukaan Informasi Publik sesuai UU No.14/2008

Undang undang Nomor 14 tahun 2008 mengenai Ket-erbukaan Informasi Publik (KIP) yang berlaku pada ta-hun 2010 merupakan sebuah fase terbaik dimana lem-baga pemerintah kini diharuskan membuka informasi kepada publik. Berdasarkan undang-undang ini, per-mintaan informasi dari publik harus ditanggapi dalam waktu 17 hari. Sejalan dengan kewarganegaraan yang lebih aktif dan reformasi birokrasi yang terus sedang berlangsung, Undang-undang KIP menjadi sebuah do-rongan besar bagi terlaksananya Open Government di Indonesia.

Pada dasarnya keterbukaan bukan hal asing dalam literatur dan referensi penyelenggaraan birokrasi di Indonesia. Di awal tahun 1990-an pernah berkembang konsep good governance sebagai mekanisme penge-lolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibat-kan pengaruh negara dan non-pemerintah dalam suatu usaha kolektif. Governance mengakui bahwa didalam masyarakat terdapat banyak pusat pengambilan kepu-tusan yang bekerja pada tingkat yang berbeda (Ganie-Rochman, 2002).

Kebebasan informasi atau keterbukaan informa-si ini diharapkan menjadi spirit demokratisainforma-si yang menawarkan kebebasan sekaligus tanggung jawab. Kebebasan informasi, selain harus bisa mendorong akses publik terhadap informasi secara luas juga harus mampu memberikan pilihan langkah yang jelas bagi pemerintah dalam mengambil suatu kebijakan secara strategis. Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) merupakan awalan penting bagi perkembangan demokrasi di Indo-nesia.

Sebagai sebuah bentuk freedom of information act,

undang-undang ini mengatur pemenuhan kebutuhan informasi yang terkait dengan kepentingan publik. Kehadiran UU KIP sekaligus memberikan penegasan bahwa keterbukaan informasi publik bukan saja meru-pakan bagian dari hak asasi manusia secara univer-sal, namun juga merupakan constitutional rights seb-agaimana dinyatakan dalam Pasal 28F UUD NRI 1945 bahwa “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya”.

Dalam praktik, konsepsi tata pemerintahan yang baik, sangat erat kaitannya dengan reformasi birokra-si, penegakan hukum, peningkatan kualitas pelayanan publik, perubahan pola pikir, pola sikap, dan pola

tin-dak, menjadi lebih produktif, efisien dan efektif dalam

setiap aktivitas pelayanan publik, termasuk penyediaan informasi.

Membuka informasi yang boleh dikonsumsi oleh publik adalah kewajiban bagi pemerintah dan badan publik. Tujuan pengembangan transparansi atau keter-bukaan informasi di setiap negara adalah memastikan bahwa lembaga publik akan lebih akuntabel dan kredi-bel dengan menyediakan informasi dan dokumen ses-uai permintaan publik (Bolton, 1996).

Oleh karena itu perlu adanya transparansi dari pemer-intah terkait keterbukaan informasi publik karena secara fundamental, sebuah informasi adalah milik publik, bukan milik pemerintah atau badan publik. Meskipun demikian, pemerintah memang harus mampu menjaga keseimbangan antara menutup informasi dan kepentin-gan publik. Meskipun pada akhirnya kepentinkepentin-gan pub-lik yang seharusnya diutamakan.

Sebagai salah satu layanan publik, penyediaan in-formasi merupakan salah satu bidang kewenangan dan tanggung jawab penting pemerintah. Oleh karena itu, kualitas pelayanan merupakan tujuan atau nilai penting yang harus dijaga agar dapat memenuhi harapan dan hak masyarakat sebagai pengguna layanan (Wening-sih, 2006 atau Sedarmayanti, 1999).

Mendel juga menjelaskan bahwa dalam setiap regu-lasi yang berkaitan dengan kebebasan atau keterbu-kaan informasi selalu memuat hak setiap orang untuk memperoleh informasi, kewajiban badan publik me-nyediakan dan melayani permintaan informasi secara cepat dan tepat waktu, biaya ringan (proporsional), dan cara sederhana, adanya pengecualian informasi bersifat ketat dan terbatas, serta kewajiban badan publik untuk membenahi sistem dokumentasi dan pelayanan infor-masi (Mendel, 2008).

(5)

menjadi sorotan adalah (1) landasan legalitas, yang mencakup perlindungan hak asasi manusia, pengelo-laan dan kerahasiaan data atau informasi; (2) persiapan implementasi, yang mencakup penetapan staf, infra-struktur, rencana aksi, sistem pengelolaan dokumen dan pelatihan, serta; (3) pelaksanaan yang mencakup penggunaan media elektronik, sistem akses, dan pen-gelolaan permintaan informasi (Smith, 2004).

Tidak ada satu pun negara yang mampu menjamin stabilitas politik dan tertib sosial secara berkesinamb-ingan, kecuali sistem tersebut difasilitasi dengan jami-nan kebebasan informasi. Akan tetapi menurut Epin Saipudin ( Saipudin, 2012) realitas di lapangan tentu tidak semua daerah mampu menerapkan UU no 14 ta-hun 2008 secara seksama. Pelbagai informasi yang dis-ampaikan oleh badan publik belum seluruhnya dapat diakses oleh masyarakat, khususnya terkait dengan pe-nyelenggaraan program-program pemerintah yang me-merlukan kontribusi masyarakat. Informasi mengenai proyek-proyek pemerintah seringkali hanya dapat diak-ses oleh golongan-golongan tertentu saja yang nota-bene merupakan komunitasnya.

Kebijakan Penyediaan Informasi Publik

Howlett dan Ramesh (1995:153) mendefinisikan

implementasi sebagai langkah pelaksanaan kebijakan setelah suatu kebijakan ditetapkan. Secara lebih rinci dinyatakan, “setelah suatu masalah publik diangkat menjadi agenda kebijakan, beberapa alternatif pem-ecahan masalah telah diajukan, dan setelah ditetapkan satu diantara beberapa alternatif tersebut, maka langkah berikutnya tinggal melaksanakan keputusan yang telah diambil. Langkah pelaksanaan inilah yang disebut seb-agai langkah implementasi kebijakan, yang merupakan bagian dari siklus kebijakan.”

Fredrickson (1994:20) menyatakan kebijakan seb-agai suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu sambil mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasa-ran yang diinginkan. Sedangkan komponen-komponen dalam kebijakan tersebut adalah: (1) kebijakan publik, (2) tuntutan kebijakan, (3) keputusan kebijakan, (4) pernyataan kebijakan, dan (5) hasil kebijakan. Wibawa dkk. (1994) menambahkan bahwa keseluruhan peneta-pan kebijakan baru bisa mulai apabila tujuan dan sasa-ran yang semula bersifat umum telah diperinci, program telah dirancang dan juga sejumlah dana telah dialoka-sikan untuk mewujudkan tujuan dan sasaran tersebut.

Kebijakan layanan informasi secara konseptual merupakan upaya menjalankan tugas layanan

menye-diakan dan menyebarluaskan informasi kepada publik. Kebijakan itu selaras dengan pemenuhan hak masyara-kat atas informasi publik dimana lembaga pemerintah wajib untuk memberikan pemenuhan atas layanan in-formasi tersebut (Widodo, 2003).

Pentingnya Komunikasi Publik

Komunikasi publik adalah pertukaran pesan dengan sejumlah orang yang berada dalam sebuah organisasi atau yang di luar organisasi, secara tatap muka atau melalui media. Namun dalam bagian ini yang akan dibahas hanyalah tatap muka di antara organisasi dan lingkungan eksternalnya. Brooks menguraikan tipe ko-munikasi public ini sebagai monological karena hanya seorang yang biasanya terlibat dalam mengirimkan pesan kepada public.

Kualitas yang membedakan komunikasi organisasi publik ini dengan komunikasi interpersonal dan komu-nikasi kelompok kecil adalah:

Komunikasi publik berorientasi kepada si pembicara atau sumber. Sedangkan pada komunikasi interpersonal dan kelompok kecil terdapat hubungan timbal balik di antara si pembicara dengan si penerima yang terlibat. Pada komunikasi organisasi publik, si pembicara men-dominasi hubungan.

Pada komunikasi publik melibatkan sejumlah besar penerima tetapi pada komunikasi intepesonal biasanya hanya 2 orang dan komunikasi kelompok kecil tidak lebih 5 – 7 orang penerima.

Pada komunikasi publik kurang terdapat interaksi antara si pembicara dengan pendengar. Hal ini men-jadikan kurangnya interksi secara langsung antara si pembicara dengan si pendengar lebih-lebih bila pen-dengarnya makin banyak.

Bahasa yang digunakan dalam komunikasi public lebih umum supaya dapat dipahami oleh pendengar.Tu-juan umum dari komunikasi public adalah untuk mem-beri informasi kepada sejumlah besar orang mengenai organisasi misalnya mengenai aktivitas-aktivitas or-ganisasi dan hasil produksi oror-ganisasi. Selain itu komu-nikasi publik juga bertujuan untuk menjalin hubungan antara organisasi dengan masyarakat di luar organisasi. Tujuan-tujuan tersebut berhubungan satu sama lain dan sulit untuk dipisahkan.

(6)

sistem komunikasi publik yang terbuka. Sistem yang memungkinkan pertukaran informasi publik, sehingga dapat berlangsung dialektika dalam menemukan kesa-maan visi dan kepentingan (Perini, 2006).

Pendekatan dan Metode Penelitian

Metode kajian menggunakan studi kasus untuk mendapatkan uraian dan penjelasan komprehesif men-genai berbagai aspek seorang individu, suatu kelom-pok, suatu komunitas, atau suatu situasi sosial.

Menu-rut Arifin (1994) sifat metode yang berorientasi kasus

adalah holistik.

Metode ini menganggap kasus sebagai entitas menye-luruh dan bukan sebagai kumpulan bagian-bagian. Jadi hubungan antara bagian-bagian dalam keseluruhan itu dipahami dalam konteks keseluruhan dan yang kedua juga dipahami sebagai perkiraan. Studi kasus yang di-gunakan adalah studi kasus partikularistik, artinya studi kasus yang dilakukan berfokus pada situasi, kejadian, program atau fenomena. Pendekatan kajian ini meng-gunakan studi kasus (case study), yakni inkuiri empiris dengan memanfaatkan multisumber bukti.

Dari awal penjajagan yang luas peneliti menuju lebih terarah ke pengumpulan data dan analisa beberapa hal yang perlu diperhatikan menurut Bogdan dan Biklen (1990: 78-80) adalah informan penting, yakni orang-orang yang mempunyai pemahaman mendalam men-genai apa yang terjadi, sampling waktu, yang sangat berkaitan dengan ketersediaan dokumen dan data pen-dukung lain.

Subyek Penelitian

Lokasi kajian dilakukan di lingkungan Pemerintah Kota Malang dan Pemerintah Kota Kediri Adapun lem-baga pemerintah yang akan diteliti, lihat tabel 1.

Teknik Pengumpulan Data

Teknik Pengumpulan Data dalam penelitian ini meng-gunakan teknik dokumentasi dan wawancara. Berbagai jenis dan sumber data yang dikumpulkan untuk men-jawab permasalahan penelitian ini dapat dikelompok-kan menjadi enam kategori (Yin, 1993).

Dokumen yang terkumpul berupa: (a) surat keputu-san di tingkat pemerintah pusat dalam bentuk instruksi Presiden, keputusan Presiden, ataupun surat keputusan Menteri yang berkaitan dengan kebijakan penyediaan informasi pemerintah, (b) manuskrip atau transkrip pertemuan dan laporan tertulis lainnya, serta dokumen yang dimiliki oleh lembaga pemerintah di lokasi kajian, (c) dokumen administrasi, misalnya proposal, laporan kemajuan dan dokumen intern lainnya yang dimiliki lembaga pemerintah di lokasi kajian, (d) hasil kajian atau evaluasi resmi terhadap subjek kajian dan (e) klip-ing berita, artikel di media massa, dan surat pembaca yang berkaitan dengan penerapan kebijakan penye-diaan informasi pemerintah. Hal itu dilakukan sesuai dengan panduan yang diberikan oleh Moleong (1994) atau Yin (1993).

Rekaman Arsip (Yin, 1993) yang berupa (a) data pen-gakses atau pengguna kebijakan penyediaan informasi pemerintah selama kajian dilakukan, yang didapatkan dari sumber sekunder, (b) bagan organisasi, anggaran organisasi pengelola kebijakan penyediaan informasi

pemerintah, (c) peta dan karakteristik geografis lokasi

kajian yang didapatkan dari sumber sekunder, (d) daftar nama stakeholders sebagai acuan dasar untuk penelu-rusan data yang didapatkan dari setiap pelaksana lay-anan, (e) data survei atau sensus yang berkaitan dengan proses kebijakan penyediaan informasi pemerintah; (f) catatan harian, daftar kontak personal kebijakan penye-diaan informasi pemerintah didapatkan ketika menelu-suri data yang ada melalui wawancara.

Wawancara diarahkan untuk mengungkap kebijakan dan persepsi para birokrat pelaksana layanan dan pen-gambil keputusan sekaligus mencari tahu tentang pola koordinasikerja sama antarlembaga publik; pola jar-ingan hubungan antar stakeholders, termasuk jarjar-ingan- jaringan-nya terhadap kalangan akademisi dan media massa.

Pengamatan langsung (Yin, 1993:112-113) dilakukan dengan cara mendatangi lokasi pelayanan publik dan mengamati prosedur pelayanan. Data yang dikumpul-kan dan dicatat berupa perilaku pelayanan, kondisi ban-gunan, dukungan sarana dan prasarana serta jaringan

Tabel 1. Sumber Data dan Lokasi Kajian

Lembaga Alasan

Humas Pemerintah Kota • menjadi pelayan informasi dan garda depan hubungan dengan

media massa

Dinas Kominfo/Badan Kominfo • menjadi pelaksana dan regulator yang berkaitan dengan

(7)

infrastruktur yang digunakan dalam melayani publik, dan foto dokumentasi kegiatan pelayanan publik.

(5) Perangkat fisik berupa peralatan teknologi

informasi dan komunikasi yang digunakan dalam melakukan pelayanan ataupun untuk mengakses pelay-anan publik, seperti komputer, dan teknologi seluler (Yin, 1993:117-118) juga merupakan hal-hal yang dia-mati dan dicatat oleh peneliti. Tujuannya ialah untuk memberikan gambaran lebih jelas dan memadai men-genai proses kebijakan penyediaan informasi pemerin-tah.

Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam kajian ini adalah analisis model interaktif yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman (1992) yang terdiri dari tiga komponen analisis, yaitu (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan (3) menarik kesimpulan. Reduksi data kasar dilakukan secara terus-menerus selama proses kajian berlangsung. Selanjutnya, dibuatkan ringkasan data dan dilakukan pengodean (coding) berdasarkan tema penting atau pola yang ditemukan sebagai bahan rekon-struksi data kasus (Moleong, 1994). Jadi setelah data diperoleh peneliti akan melakukan pemilahan data gan melakukan reduksi bagian-bagian yang sesuai den-gan pertanyaan penelitian lalu peneliti akan melakukan analisis terhadap data dan menarik kesimpulan dengan mengaitkan pada teori atau konsep yang sudah tersedia.

Penyajian data dilakukan dengan cara mengorgan-isasikan dan mendokumentasikan data yang terkumpul (Yin, 1993). Data yang tersusun itu kemudian diamati untuk melihat gambaran keseluruhan atau bagian-ba-gian yang merupakan kecenderungan umum.

Selanjut-nya, informasi yang ditemukan ditata dan diklasifikasi

serta digabungkan sehingga padu dan bersistem berupa paparan naratif, tabel, dan gambar. Penyajian data se-cara naratif menggunakan kutipan langsung ataupun ti-dak langsung. Kutipan langsung yang perlu diperjelas, dijelaskan sesuai dengan konteksnya.

Hasil dan Pembahasan

Selain Dinas Kominfo, layanan informasi juga dis-elenggarakan oleh Bagian Hubungan Masyarakat Sekretariat Kota Malang, Visi layanan humas adalah Terjalinnya Kemitraan Pemerintah Kota Malang yang Harmonis, Luas dan Mantap. Akses situs layanan in-formasi mengenai bidang kehumasan diakses dalam http://humas.malangkota.go.id/. Sesuai dengan Per-aturan Daerah Nomor 5 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah, Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Dan Staf Ahli melaksanakan

kehumasan dan pemberitaan pemerintah kota daerah. Termasuk penyusunan dan penyediaan naskah sambu-tan walikota dan wakil walikota.

Berdasarkan Peraturan Walikota Malang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Uraian Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah, Bagian Humas Kota Malang, Bagian Humas juga menangani pelayanan sandi dan telekomunikasi, inventarisasi dan dokumen-tasi kegiatan kepala daerah dan sekretaris daerah serta pengelolaan dan pengembangan perpustakaan dinas.

Lahirnya UU KIP sebenarnya adalah sebuah lang-kah maju dari suatu negara yang kurang dari 20 tahun melaksanakan reformasi dan sekaligus menjalankan demokrasi. Apalagi jika dilihat dari sisi kontennya, menunjukkan adanya kemauan eksekutif dan legisla-tif untuk membuat badan atau lembaga publik lebih transparan dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas-tugasnya. Konsekuensinya penguatan bidang kesekretariatan sebagai bidang yang menangani do-kumentasi dan kearsipan secara eksplisit mendapat perhatian yang lebih besar. Dikatakan demikian, se-bab data informasi yang akan disebarluaskan kepada publik berada di bidang ini. Meskipun demikian, UU KIP bukannya tidak memiliki kelemahan. Paling tidak terdapat dua sisi kelemahan, yaitu sisi substansial dan implementatif.

Di pemerintah Kota Malang, pemahaman terhadap keterbukaan informasi publik sudah cukup bagus. Hal ini terbukti dengan pemahaman narasumber bahwa suatu undang-undang yang terbit intinya memberikan kesempatan kepada publik memanfaatkan memperoleh informasi seluas-luasnya tentang pemerintah sesuai ko-ridor yang berlaku. Dalam KIP terdapat hak masing-masing baik publik atau badan publik. Di Kota Malang, pembentukan PPID diawali pada 19 November 2010 yang ditandai dengan adanya Peraturan Wali Kota No 50 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pelayanan Infor-masi Publik. PPID terbentuk pertama kali pada bulan Mei 2011. Jumlah anggota disesuaikan dengan seluruh SKPD yang ada, yakni ada 48 anggota.

Sistem tupoksi PPID meliputi pembagian tugas pelaksanaan keterbukaan informasi publik terbagi dalam PPID kota yang dipimpin oleh Kepala Dinas

In-fokom (ex officio), PPID satuan pendidikan (diknas),

(8)

masing-masing subdomain. Narasumber mengakui saat ini pengelolaan website pemerintah kota ditangani lang-sung oleh Badan Informasi Publik. Selain program website, juga ada sosialisasi ke lingkungan masyarakat kelurahan, mahasiswa, keluarga sadar hukum dilaku-kan sosialisasi UU KIP. Bentuk sosialisasinya dalam bentuk diseminasi langsung ke masyarakat dan diun-dang ke Dinas Kominfo. Masyarakat awalnya hanya mengerti secara sepintas bahwa mereka berhak untuk dapat semua informasi, padahal berdasar UU KIP ada batasan-batasan.

Sasaran utama layanan keterbukaan informasi pub-lik adalah badan pubpub-lik, karena diminta tidak diminta badan publik harus menyampaikan informasi pada publik. Sedangkan sasaran kedua adalah masyarakat. Dalam melakukan pelayanan publik Bidang Informasi Publik tidak menempatkan staf secara khusus, melain-kan melibatmelain-kan seluruh staf secara bergantian sebagai petugas Desk Layanan.

Hambatan yang muncul dalam pelaksanaan UU KIP adalah dalam hal penyiapan SDM PPID, secara struk-tural dijabat oleh pejabat yang secara fungsi menan-gani informasi, namun dalam aplikasinya pada pelay-anan desk laypelay-anan informasi publik yang disediakan oleh Pemkot Malang, tidak terdapat petugas khusus. Meskipun help desk sudah ada, namun petugas yang bertanggungjawab secara khusus belum ada. Meski-pun demikian sosialiasai (pelatihan) tentang KIP sudah dilakukan, sosialisasi diadakan dengan mengundang langsung perwakilan masyarakat seperti dari LSM, per-angkat desa dan unsur-unsur masyarakat lainnya.

Hambatan lainnya adalah terjadinya tumpang tindih pembagian peran antara badan informasi publik dan humas pemkot. Hal ini terjadi karena kurangnya koor-dinasi dengan humas pemkot. Misalnya dalam pengelo-laan content web, Kepala BIP memahami bahwa humas hanya mengurus kegiatan walikota dan BIP mengup-load content informasi secara keseluruhan. Setiap ta-hun, BIP mengadakan lima kali sosialisasi program yang memiliki tema. Misal terkait informasi publik ten-tang narkoba, HIV Aids dan BPJS. Ada kalanya sosia-lisasi semacam ini juga dilakukan oleh humas pemkot.

Mengingat evaluasi terhadap kebijakan yang tertu-ang dalam undtertu-ang-undtertu-ang ini penting untuk dilakukan, maka berdasarkan hasil kajian di Kota Kediri, ditemu-kan sejumlah fakta menarik terkait dengan

implemen-tasi UU Keterbukaan Informasi Publik. UU

Keterbu-kaan Informasi Publik no 14/2208 yang dikenal dengan UU KIP telah mulai diterapkan semenjak UU tersebut disahkan. Sekitar tahun 2009, sejumlah kota dan kabu-paten di Indonesia tak terkecuali pemerintah kota dan

kabupaten di Jawa Timur juga mulai mensosialisasikan UU ini. Kota Kediri sebagai salah satu kota di Jawa Timur pun menyambut baik kebijakan menerapkan UU Keterbukaan Informasi Publik no.14/2008 tersebut.

Ada sejumlah saluran yang digunakan untuk mem-fasilitasi keterbukaan informasi publik di Kota Kediri. Diantaranya ada program SURGA (Suara Warga), web-site pemerintah www.kedirikota.go.id, tabloid Humas Pemkot Kediri, Majalah Barometer Kota Kediri dan Radio Internal Pemkot Kediri.

Awal tahun 2009, perwakilan Pemkot Kediri mengi-kuti sosialisasi UU KIP di Jawa Timur. Namun mutasi jabatan yang sering terjadi menyebabkan implementasi UU ini tidak optimal. Petugas yang ditugaskan mengi-kuti sosialisasi PPID mengalami proses mutasi. Akibat-nya, transfer knowledge tidak berjalan secara maksi-mal. Pada waktu itu Pemkot Kediri mendisposisikan tugas pengawalan UU KIP ini ke Dishubkominfo. Na-mun proses hingga tahun 2014, implementasi UU KIP ini tidak berjalan maksimal.

Akhirnya sejak 2014, Humas Pemkot berinisiatif un-tuk mengambil alih pelaksanaan UU KIP ini. Meski tanpa payung hukum berupa SK atau Perda, Humas Pemkot menginisiasi untuk mensinergikan keterbukaan informasi publik ini dengan program-program humas. Jika pada umumnya program humas adalah program yang berkaitan dengan komunikasi internal instansi maka sesuai UU KIP ini, maka keterbukaan informasi publik ini perlu direalisasikan secara lebih efektif.

Dishubkominfo Kota Kediri seharusnya menjadi leading sector dalam penerapan UU ini. Namun karena beberapa faktor, keterlibatan Dishubkominfo tidak op-timal. Salah satu yang menjadi kelemahan dalam im-plementasi UU KIP adalah tidak adanya Badan Infor-masi Publik yang mengatur secara khusus dan menjadi koordinator PPID dari seluruh satuan kerja. Di semua dinas di lingkup pemkot Kediri masing-masing telah memiliki PPID, meski tidak semuanya memiliki petu-gas khusus. Di Bagian Humas misalnya, petupetu-gas yang menjabat dan memiliki wewenang mirip PPID adalah kasubag pelayanan media dan informasi. Kasubag ini menjadi garda terdepan jika ada keluhan dari masyara-kat atau ada kebutuhan untuk penyampaian informasi ke publik. Humas Pemkot memiliki sejumlah program yang diakui merupakan cara untuk mewujudkan ket-erbukaan informasi kepada publik. Program-program tersebut diantaranya adalah:

Program SURGA (Suara Warga)

(9)

menyampaikan keluhan bisa langsung memanfaatkan aplikasi ini untuk menyampaikan aspirasinya. Aplikasi ini tersambung ke seluruh SKPD, jadi apabila ada kelu-han yang terkait dengan salah satu SKPD bisa langsung dihubungkan oleh humas dan ditangani dengan efek-tif oleh SKPD tersebut. Menariknya, aplikasi SURGA ini juga terhubung langsung dengan walikota. Jika 1 x 24 jam, keluhan tidak diatasi oleh SKPD yang ber-sangkutan maka arsip keluhan tersebut akan terhubung langsung secara otomatis bisa dipantau langsung oleh walikota.

Oleh karena itu meski tidak semua satker memiliki PPID khusus, namun tugas PPID diemban langsung oleh bagian kesekretariatan. Jika di humas petugas mi-rip PPID ini diemban oleh kasubbag pelayanan media dan informasi, namun jika di SKPD lain akan diemban oleh kesekretariatan atau jika tidak ada kesekretariatan maka otomatis wewenang ini ada pada kasubag Tata Usaha. Bahkan tak jarang, masyarakat langsung men-datangi kantor humas untuk meminta informasi atau memberikan keluhan dan aspirasinya.

Berdasarkan UU KIP No. 14/2008 tentang Keterbu-kaan Informasi Publik bahwa setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap peng-guna informasi publik dan setiap informasi publik ha-rus dapat diperoleh setiap pemohon informasi publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana. Pemkot Kediri melalui program SURGA ini berupaya untuk mewujudkan layanan informasi yang cepat, tepat waktu, berbiaya ringan serta sederhana.

Kopitahu Mas Abu

Salah satu program Kota Kediri dalam memfasilitasi layanan keterbukaan informasi publik adalah melalui program Kopitahu. Program Kopitahu adalah semacam forum sarasehan insidental yang diadakan oleh

Wa-likota. Kopitahu diambil dari filosofi kopi yaitu minu -man wajib ketika ada acara kumpul-kumpul atau lese-han dan tahu goreng yang merupakan makanan favorit warga Kediri karena Kediri terkenal sebagai Kota Tahu. Mas Abu adalah panggilan akrab warga terhadap Wa-likota Kediri Abubakar,SE, karena usianya yang relatif muda, maka sesuai kebiasaan masyarakat Kediri yang memanggil orang yang lebih muda dengan sebutan “Mas”, maka sarasehan aspirasi bersama walikota ini diberi nama Kopitahu Mas Abu.

Kopitahu merupakan program rutin yang diadakan oleh Pemkot Kediri. Walikota Kediri bersama semua pimpinan satker mengunjungi warga dan bertukar pikiran menyerap aspirasi masyarakat. Kopitahu ini pertama kali diadakan di Kelurahan Pojok Kecamatan

Mojoroto pada tanggal 25 Februari 2015. Selanjutnya Kopitahu bergeser ke timur menuju Kelurahan Dan-dangan dan Kelurahan Jamsaren. Begitu seterusny ber-gilir dari kelurahan ke kelurahan.

Kopitahu Mas Abu ini diadakan sebulan dua kali. Waktunya pun tidak pasti, insidental namun secara rutin dilaksanakan setiap bulan. Program ini diadakan secara bergilir di masing-masing kelurahan. Walikota akan menentukan waktu kapan Kopitahu ini dilaksanakan. Biasanya ketika aktivitas walikota lebih longgar, maka H-1 walikota akan menyiapkan tim untuk mengadakan Kopitahu. Selain mendengarkan keluhan dan aspirasi dari warga, program ini juga dimanfaatkan untuk men-sosialisasikan informasi publik sekaligus sosialiasi pro-gram pemerintah.

Sosialisasi melalui Web, Tabloid, Majalah Internal “Barometer”, dan Radio

Dalam menjalankan fungsi penyediaan informasi bagi masyarakat, Kota Kediri juga memiliki www.kediriko-ta.go.id sebagai portal informasi kegiatan pemerintah Kota Kediri. Portal ini menjadi pusat informasi secara online Pemerintahan Kota Kediri. Di dalamnya ter-dapat : (1)Informasi kegiatan pemerintahan yang selalu diupdate setiap hari. (2) Informasi harga barang

kebutu-han pokok dan cuaca. (3)Profil Kota dan Pemerintakebutu-han

Kota Kediri. (4)LPSE, layanan lelang elektronik . (5) Informasi kegiatan pemerintah dan sosialisasi program

pemerintah kota. (6) fitur SURGA (Suara Warga). (7) fitur Prodamas. (8)fitur berita terkait ekonomi, pemuda,

kesehatan, tenaga kerja, pendidikan.

Kota Kediri juga menerbitkan Tabloid secara rutin sebulan sekali dan majalah internal bernama Barometer yang terbit setiap tiga bulan sekali. Selain itu juga me-miliki radio pemerintah. Informasi publik secara rutin juga disampaikan melalui tabloid, web, majalah dan ra-dio. Misal jika ada penurunan jumlah keluhan/aspirasi yang masuk baik melalui aplikasi SURGA ataupun melalui saluran lainnya, Humas akan segera melaku-kan sosialisasi berulang terkait program yang berkaitan dengan cara mengakses informasi publik.

Konsep best practices Penerapan kebijakan keterbu-kaan informasi publik di Kota Malang dan Kota Kediri

memang memberi pengaruh yang signifikan terhadap

(10)

masukan dari masyarakat. Menguatnya transparansi menjadi salah satu indikasi menguatnya implementasi good governance di lembaga yang bersangkutan.

Untuk mengetahui best practices dalam implemen-tasi keterbukaan informasi publik ini maka perlu dipa-hami terlebih dahulu implementasi transparansi publik, implementasi akuntabilitas dan implementasi partisi-pasi publik. Pada dasarnya transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelengga-raan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai. Transparansi berarti ada kebijakan terbuka bagi pengawasan. Keterbukaan informasi di-harapkan akan menghasilkan persaingan politik yang sehat, toleran, dan kebijakan dibuat berdasarkan pada preferensi publik. Prinsip ini memiliki 2 aspek, yaitu (1) komunikasi publik oleh pemerintah, dan (2) hak masyarakat terhadap akses informasi.

Loina Lalolo Krina dalam bukunya mengatakan prinsip-prinsip transparansi itu sangat sulit dilakukan jika pemerintah tidak menangani dengan baik kiner-janya. Manajemen kinerja yang baik adalah titik awal dari transparansi. Komunikasi publik menuntut usaha

afirmatif dari pemerintah untuk membuka dan mendis -eminasi informasi maupun aktivitasnya yang relevan. Transparansi harus seimbang dengan kebutuhan akan kerahasiaan lembaga maupun informasi-informasi yang mempengaruhi hak privasi individu. Karena pemerintahan menghasilkan data dalam jumlah besar, maka dibutuhkan petugas informasi professional, bu-kan untuk membuat dalih atas keputusan pemerintah, tetapi untuk menyebarluaskan keputusankeputusan yang penting kepada masyarakat serta menjelaskan ala-san dari setiap kebiijakan tersebut. (Krina,2003:39)

Peran media juga sangat penting bagi transparansi pemerintah, baik sebagai sebuah kesempatan untuk berkomunikasi pada publik maupun menjelaskan ber-bagai informasi yang relevan, juga seber-bagai “watchdog” atas berbagai aksi pemerintah dan perilaku menyim-pang dari para aparat birokrasi. Jelas, media tidak akan dapat melakukan tugas ini tanpa adanya kebebasan pers, bebas dari intervensi pemerintah maupun penga-ruh kepentingan bisnis.

Keterbukaan membawa konsekuensi adanya kontrol yang berlebih-lebihan dari masyarakat dan bahkan oleh media massa. Karena itu, kewajiban akan keterbukaan harus diimbangi dengan nilai pembatasan, yang men-cakup kriteria yang jelas dari para aparat publik ten-tang jenis informasi apa saja yang mereka berikan dan pada siapa informasi tersebut diberikan. Secara ringkas

dapat disebutkan bahwa, prinsip transparasi paling ti-dak dapat diukur melalui sejumlah indikator seperti :

a. mekanisme yang menjamin sistem keterbukaan dan standarisasi dari semua proses-proses pelayanan publik

b. mekanisme yang memfasilitasi pertanyaan-pertan-yaan publik tentang berbagai kebijakan dan pelayanan publik, maupun proses-proses didalam sektor publik.

c. mekanisme yang memfasilitasi pelaporan maupun penyebaran informasi maupun penyimpangan tindakan aparat publik didalam kegiatan melayani

Implementasi akuntabilitas meliputi bagaimana se-buah instansi memahami adanya mekanisme pertang-gungjawaban publik secara reguler. Dalam instansi pemerintah, selama ini pertanggung jawaban publik terbatas pada pertanggungjawaban keuangan di akhir masa anggaran. Padahal implementasi akuntabilitas membutuhkan adanya mekanisme di tengah program seperti misalnya ada masukan (feed-back) dari ma-syarakat dan adanya mekanisme pelaporan reguler (bulanan) yang disampaikan kepada masayarakat baik secara langsung maupun melalui media. Berikutnya adalah adanya mekanisme penanganan pengaduan dan keluhan dan adanya komitmen untuk menangani pen-gaduan dan keluhan tersebut berdasarkan waktu yang telah disepakati secara efektif.

Implementasi partisipasi publik perlu dilibatkan tidak hanya ketika mereka menjadi “konsumen akhir” dari sebuah program. Namun masyarakat dilibatkan mulai dari tahapan perencanaan, pelaksanaan dan pemantau-an suatu program. Hal ini dilakukpemantau-an agar masyarakat bisa merasa terlibat langsung, dan merasa memiliki program tersebut. Mekanisme kontrol yang dilakukan pun akan lebih efektif.

(11)

website, juga ada sosialisasi ke lingkungan masyarakat kelurahan, mahasiswa, keluarga sadar hukum dilaku-kan sosialisasi UU KIP. Bentuk sosialisasinya adalah berupa diseminasi langsung ke masyarakat. Masyara-kat datang ke acara sosialisasi tersebut atas undangan Kominfo.

Subjek penelitian paham bahwa ada batasan-batasan terkait informasi publik yang harus diekspose atau ti-dak, masyarakat yang awalnya hanya mengerti secara sepintas bahwa mereka berhak untuk dapat semua in-formasi, padahal berdasar UU KIP ada batasan-batasan. Legalitas pelaksanaan program di Kota Malang pun su-dah memadai. Ada SK dan perda yang ditetapkan dan dijalankan oleh petugas yang mendapat amanah terse-but. Secara payung hukum dan legal formal, pelaksa-naan UU KIP di Kota Malang relatif tidak ada kendala.

Dari sisi implementasi partisipasi publik, Pemkot Malang melibatkan perwakilan masyarakat dari mas-ing-masing kecamatan dan juga unsur masyarakat dari LSM untuk ikut terlibat dalam manajemen program, dalam hal ini program yang berkaitan dengan keter-bukaan informasi publik. Meskipun tidak melibatkan tokoh akademisi, namun indikasi adanya keterlibatan unsur masyarakat ini menjadi satu poin penting dalam implementasi partisipasi publik. Sedangkan dalam hal implementasi akuntabilitas, ada saluran untuk penan-ganan pengaduan dan keluhan publik. Di Kota Malang, mekanisme penanganan keluhan berlaku dalam tujuh hari kerja. Mereka juga secara pro aktif menyampai-kan informasi publik melalui saluran komunikasi yang dimiliki, seperti melalui website, majalah, maupun me-lalui desk layanan informasi.

Berbeda dengan Kota Malang, meski belum memiliki payung hukum terkait implementasi UU KIP di ling-kungan Pemerintah Kota Kediri dan terhitung terlambat karena ada jeda enam tahun sejak UU ini disahkan, na-mun bukan berarti Kota Kediri sama sekali tidak peduli dengan hak masyarakat untuk memperoleh transparasi terkait informasi publik. Best practices yang mereka terapkan adalah meski Dinas Perhubungan, Komuni-kasi dan Informasi yang seharusnya menjadi leading sector dari implementasi UU ini tidak sanggup untuk mengawal UU ini karena beberapa faktor, namun kes-igapan dari humas pemkot dan pemahaman yang baik terhadap konsep keterbukaan informasi publik sebagai salah satu bagian dari aplikasi public relations yang mengedepankan komunikasi publik demi mewujudkan good governance, perlu diapresiasi. Pemahaman akan UU KIP ini dimana keterbukaan informasi publik men-jadi hal yang sangat penting menmen-jadi salah satu poin plus yang dimiliki jajaran pemerintah kota Kediri untuk

menerapkan UU KIP ini.

Penerapan UU KIP memang bukanlah perkara mudah, pasalnya pemintaan akan informasi dapat muncul dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Sementara, lem-baga publik harus memberikan akses dan kepastian staf mana yang akan memberikan jawaban. Selain itu, setiap lembaga harus mempersiapkan dan memperbarui setiap bentuk publikasi dokumen informasi dan memberikan akses informasi untuk publik (Smith, 2004). Meskipun demikian, namun masing-masing instansi menyadari bahwa setiap aturan atau perundang-undangan selalu memiliki konsekuensi hukum. Setiap Undang-undang yang dibuat tentu mengandung konsekuensi untuk di-laksanakan, didalamnya telah ada klausula akibat hu-kum bagi yang melanggarnya, apakah dengan huhu-kuman denda atau hukuman kurungan badan atau kedua-duan-ya. Contohnya pada pasal 52 UUKIP ini disebutkan; badan publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan/atau tidak menerbitkan infor-masi publik berupa inforinfor-masi publik secara berkala, informasi publik yang wajib diumumkan secara serta merta, informasi publik yang wajib tersedia setiap saat, dan/atau informasi publik yang harus diberikan atas dasar permintaan sesuai dengan undang-undang ini, dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dikenakan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.5.000.000,-(lima juta rupiah).

Satu hal yang cukup baik diterapkan di Pemerintah Kota Kediri adalah dalam hal implementasi akunt-abilitas dimana penyelesaian pengaduan dan keluhan, dioptimalkan dalam waktu 1 x 24 jam akan segera direspon oleh satker yang bersangkutan dengan kelu-han tersebut. Optimalisasi tersebut untuk menghindari agar keluhan atau permasalahan itu tidak perlu dipan-tau langsung adipan-tau masuk dalam desk walikota, cukup diselesaikan oleh satker yang bersangkutan. Akan ada sanksi tersendiri bagi satker jika penanganan keluhan

tidak dilaksanakan secara efektif dan efisien. Informasi

publik juga disampaikan melalui saluran komunikasi yang dimiliki baik melalui majalah internal, tabloid, ra-dio, dan melalui program Kopitahu Mas Abu.

(12)

informasi publik, membuat pejabat pemerintahan bisa berbuat seenaknya karenan tidak memiliki payung hukum yang mengatur kewajiban untuk menyampai-kan informasi publik. Tidak ada jaminan atau kepas-tian untuk mendaptakan informasi publik juga menjadi hambatan yang terjadi pada waktu itu. Masyarakat juga tidak memiliki dasar hukum untuk mempertahankan haknya untuk memperoleh informasi publik. Misalnya saja pada kasus LBH Medan yang kemudian tidak bisa memperoleh dokumen AMDAL padahal sudah jelas berdasarkan PP no 27 tahun 1999, AMDAL adalah do-kumen publik. Kini dengan adanya UU KIP 14/2008, masyarakat dan pejabat publik sudah memiliki aturan hukum yang mengatur bagaimana kebijakan terkait keterbukaan informasi publik diterapkan.

Meskipun setelah ada UU KIP no 14/2008, bukan berarti tidak ada hambatan yang menjadi kendala dan mempengaruhi implementasi UU KIP di lingkup pemerintahan. Hambatan ini jika tidak segera diatasi maka bisa mengurangi optimalisasi pelaksanaan UU KIP. Secara umum, hambatan yang muncul dalam pelaksanaan UU KIP adalah dalam hal penyiapan SDM PPID, secara struktural dijabat oleh pejabat yang secara fungsi menangani informasi, namun dalam aplikasinya pada pelayanan desk layanan informasi publik, tidak terdapat petugas khusus yang menangani. Bahkan di Pemkot Kediri, desk informasi yang seharusnya ada pun belum bisa diwujudkan. Sumber daya manusia yang mau dan mampu, dalam hal ini mau mempela-jari terkait keterbukaan informasi publik dan mampu secara dasar keilmuan juga terbatas. Jika pun ada yang telah ditugaskan untuk mengikuti pelatihan, ada faktor seperti mutasi atau pergantian pejabat struktural yang secara tidak langsung mempengaruhi transfer informasi terkait keilmuan yang sudah didaptakan.

Hambatan lainnya adalah terjadinya tumpang tindih pembagian peran antara badan informasi publik dan humas pemkot. Kasus ini dialami oleh Pemkot Malang. Hal ini terjadi karena kurangnya koordinasi dengan hu-mas pemkot. Misalnya dalam pengelolaan content web, Kepala BIP memahami bahwa humas hanya mengurus kegiatan walikota dan BIP mengupload content infor-masi secara keseluruhan. Setiap tahun, BIP mengada-kan lima kali sosialisasi program yang memiliki tema. Misal terkait informasi publik tentang narkoba, HIV Aids dan BPJS. Ada kalanya sosialisasi semacam ini juga dilakukan oleh humas pemkot.

Di Pemkot Kediri, ketiadaan payung hukum, karena SK yang seharusnya ditugaskan pada Dishub-kominfo tidak dijalankan dengan baik, menjadi ham-batan tersendiri. Program kerja yang berkaitan dengan

keterbukaan informasi publik pun dibuat berdasarkan rapat koordinasi yang tidak memiliki legalitas formal. Akibatnya karena saat ini SK dan perda masih dalam proses, pelaksanaan program pun tidak bisa maksimal, atau cenderung disesuaikan dengan program kerja yang memiliki payung hukum.

Jaringan telekomunikasi juga menjadi perma-salahan tersendiri. Permaperma-salahan teknis seperti server down atau jaringan error cukup menganggu efektivitas pelayanan informasi publik pada masyarakat sehingga update informasi tidak bisa dilakukan setiap saat. Di Pemkot Kediri, permasalahan ini dicoba diatasi dengan rencana pembuatan jaringan-jaringan baru berupa

pem-bangunan fiber optic hingga ke tingkat kelurahan serta

pembuatan titik-titik jaringan internet hingga ke level kelurahan.

Kesimpulan dan Saran

Dalam melakukan konsep terbaik dalam implemen-tasi UU KIP 14/2008, masing-masing lembaga perlu mensinergikan antara tiga implementasi secara ho-listik, yaitu implementasi akuntabilitas, implemen-tasi partisipasi publik dan implemenimplemen-tasi transparansi. Dari implementasi tersebut maka best practices yang dilakukan adalah dengan cara memiliki pemahaman yang holistik terkait dengan UU KIP 14/2008 dan me-mahami bagaimana seharusnya UU ini diterapkan dan dioperasionalkan. Saluran komunikasi dengan publik yang tidak sekedar menyampaikan pesan namun juga menjaga kualitas pesan juga perlu dilakukan. Penanga-nan keluhan dan pengaduan masyarakat dalam waktu yang disepakati secara efektif mampu untuk menaikkan kepercayaan publik kepada pemerintah. Sumberdaya manusia yang khusus menangani desk informasi publik menjadi kebutuhan yang tidak bisa disubstitusikan.

Keterbatasan SDM, kurangnya koordinasi antara satuan kerja, permasalahan kestabilan jaringan internet dan kurang lengkapnya legalitas formal yang dimil-iki menjadi hambatan yang mempengaruhi efektivitas penerapan UU KIP 14/2008. Tidak adanya standar in-formasi yang jelas, menyebabkan kualitas pesan ko-munikasi yang disampaikan tidak bisa diukur. Oleh karena itu ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini setiap badan publik yang wa-jib mengawal keterbukaan informasi publik sesuai UU KIP 14/2008, diantaranya adalah :

(13)

Perlu adanya standar informasi publik yang jelas se-hingga setiap informasi publik yang disampaikan me-miliki kualitas pesan yang memadai dan layak.

Perlu adanya kejelasan payung hukum bagi badan publik yang belum memiliki agar pelaksanaan imple-mentasi UU KIP bisa berjalan optimal

Perlu ada kerjasama dengan lembaga penyiaran swasta agar penyampaian informasi publik bisa lebih merata dan optimal.

Daftar Pustaka

Bolton, John. (1996). “Working with freedom of in-formation and protection of privacy legislation”. Dalam Records Management Quarterly, January, Vol.30, No. 1, Halaman. 1-24.

Creswell, John W. (2010). Research Design, Pendeka-tan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed. Edisi Ke-tiga. Cetakan I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Dwiyanto, Agus. 2002. Reformasi Birokrasi Publik di

Indonesia. Pusat Studi Kependudukan dan Kebi-jakan UGM - Galang Printika. Yogyakarta. __________ (ed.). 2005. Mewujudkan Good

Gover-nance melalui Pelayanan Publik. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Ganie-Rochman, Meuthia. (2000). “Good Governance: Prinsip, Komponen dan Penerapannya”. Dalam HAM: Penyelenggaraan Negara Yang Baik dan Masyarakat Warga. Jakarta : Komnas HAM. Kementerian Komunikasi dan Informatika. (2010).

Pe-doman Pengelolaan Informasi dan Dokumentasi di lingkungan Kementerian Komunikasi dan

In-formatika. (http://ppidkemkominfo.files.word -

press.com/2011/06/pedoman-pengelolaan-info-depkominfo-final-rev27-juni-2011.pdf, diakses

4 November 2011)

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ BAPPENAS. (2010). Lampiran Peraturan Pres-iden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menen-gah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014. Buku

II Memperkuat Sinergi Antarbidang Pembangu-nan. BAB VI Politik. Jakarta: BAPPENAS. Krina, Lalolo Loina.(2003). Indikator dan Alat Ukur

Prinsip Akuntabilitas, Transparansi dan Partisi-pasi. Jakarta : Sekretariat Good Public Gover-nance Badan Perencanaan Pembangunan Nasi-onal

Lindlof, Thomas R. (1995). Qualitative Communica-tion Research Methods. California: Sage Pub-lications.

Littlejohn, Stephen W. (2008). Theories of Human Communication. Edisi Kesembilan. London: Wadsworth.

Mendel, Toby. (2004). Kebebasan Memperoleh In-formasi, Sebuah Survey Perbandingan Hukum, Judul Asli: Freedom of Information: A Compara-tive Legal Survey, Penerjemah: Tim Kawantama, Jakarta: UNESCO.

Moleong, Lexy, (2000). Metodologi Penelitian Kualita-tif, Remaja Rosdakarya, Bandung.

Mulyana, Deddy. (2005). Ilmu Komunikasi Suatu Pen-gantar. Remaja Rosdakarya. Bandung.

O’Brien, James A. (2003), Introduction to Information System, Irwin/McGraw-Hill.

O’Hare, Christine. (2003). Staying Legal: The chal-lenge to Information and Knowledge Managers. Dalam Business Information Review 2003; 20; Halaman 190-194.

Reksodiputro, Mardjono. (2000). “Good Governance dilihat dari Sisi Hukum.” Makalah dalam Dis-kusi Panel Membangun Pondasi Good Gover-nance di Masa Transisi. Rabu, 26 Januari 2000, Financial Club Jakarta. Diakses dari http://www. transparansi.or.id.

Smith, Kelvin. (2004). Freedom of Information: A Practical Guide to Implementing the Act. Lon-don: Facet Publishing.

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan Bimbingan Teknis Pemeliharan Ayam KUB mendukung Program Bekerja di Sulawesi Barat dilaksanakan pada tanggal 27-29 November 2019 di Hotel Maleo Town

Ketika tidak praktis untuk menentukan dampak periode-spesifi k akibat perubahan kebijakan akuntansi dalam informasi komparatif untuk satu atau lebih periode sajian, maka

Ns Restu : Begini bu tadi pagi salah satu keluarga pasien, dari Nn Ayu dan Tn Yogi yaitu Ny Tini tadi sempat panic karena selang infuse Nn Ayu sempat merembes namun dia menemui

Grafik koefisien keragarnan karakter meristik K2N dan G2N-meiotik ikan

Sementara itu laba usaha yang dijaring perseroan mencapai Rp170,80 milyar dari Rp127,37 milyar dan laba bersih tahun berjalan mencapai Rp29,64 milyar, naik tipis 2,2 persen

Oleh sebab itu, permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah meramalkan curah hujan Kota Semarang dengan stasiun pengamatan yang digunakan adalah Stasiun

tersebut menunjukkan bahwa persepsi dan preferensi tidak selalu mempengaruhi dalam memilih produk bank syariah dan dari penelitian juga menyatakan bahwa sikap

Bahan ajar yang dibutuhkan untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik dalam pembelajaran dan yang dibutuhkan peserta didik dalam meningkatkan hasil belajar