PENGARUH TERAPI TERTAWA TERHADAP STRES PADA LANJUT USIA DI BALAI PERLINDUNGAN SOSIAL TRESNA WERDHA CIPARAY BANDUNG
Dedi Supriadi ¹, Argi Virgona2, Aditiya Rahman ³ Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Jenderal Achmad Yani Cimahi
Program Studi Ilmu Keperawatan (S.1)
ABSTRAK
Perubahan yang di alami pada lansia dapat mempengaruhi perspektif lansia sehingga akan menimbulkan sumber stressor. Menurut Yayasan Art Living (YAL) terapi yang digunakan untuk menurunkan stres secara farmakologis dengan menggunakan obat anti depresan sedangkan non farmakologis salah satunya menggunakan terapi tertawa. Terapi tertawa dapat menurunkan stressor, ketika tertawa seseorang akan mengeluarkan atau memicu pelepasan hormon endorfin dan dopamin di otak, hormon yang membuat orang bahagia dan tubuh menjadi rileks. Selain itu, tertawa juga mengurangi produksi hormon cortisol yang menyebabkan stres dan depresi atau perasaan lelah. Tujuan penelitian untuk mengidentifikasi Pengaruh Tertawa Terhadap Stres Pada Lanjut Usia di Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha Ciparay Bandung. Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dengan menggunakan rancangan pre eksperiment yang rancangan ini tidak ada kelompok kontrol, melalu pendekatan one group pretest-posttest. Sampel yang digunakan sebanyak 31 responden ketentuan sampel menggunakan teknik consecutive sampling. Instrumen yang digunakan adalah alat ukur tingkat stres Kessler Psychological Distress Scale dan Perceived Stress Scale yang merupakan pertanyaan gabungan dari Kessler dan Sheldon yang telah dimodifikasi. Uji statistik menggunakan t-Dependen dengan α = 0,05. Dari hasil uji t-Dependen diperoleh data rata-rata mean sebelum yaitu 51,94 dengan kategori stres berat dan sesudah sebesar 36,32 dengan kategori stres ringan. Terdapat rata-rat mean sebesar 15,613 dengan p Value =0,0001 𝛼 (< 0,05). Sehingga ada pengaruh terapi tertawa terhadap stres. Untuk itu disarankan kepada pihak panti werdha untuk menerapakan terapi tertawa ini sebagai salah satu terapi komplementer penangan gangguan stres pada lanjut usia.
ABSTRACT
The changes for elderly in can affect elderly perspective so that it will give rise to a source of stressor. according to foundation art living ( FAL ) therapy that used to lower stress in pharmacological with the use of drugs while anti a depressant non pharmacological one of them is using laughter therapy. Laughter therapy can be lowered stressor, when laughter someone will issue or the trigger the release of an endorphin hormones and dopamine in the brain, hormone that makes people happy and body be relaxed. In addition, laugh is also reducing the production of cortisol hormone that causes stress and depression or a feeling of weariness. The purpose of researchers to identify the influence of scoffed at the stress on elderly at Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha Ciparay. Research method used is using quantitative design with pre experimental design that this design no group control with chance approach one group pretest-posttest.The sample used as many as 31 provisions sample of respondents use sampling techniques consecutive.Instrument used is measuring instrument stress kessler the level of psychological distress and perceived scale stress scale which is joint question of kessler and sheldon that has been modified. Statistical test using t-Dependent with α = 0,05. From the test results obtained t-Dependent average data mean before that 51,94 with severe stress category and after amounting to 36,32 by mild stress category. There are flat-rat mean of 15,613 with p Value = 0,0001 α (<0,05). So that there is influence therapy scoffed at the stress. It is recommended to the nursing at Werdha to implement this laughter therapy as a complementary therapy handlers stress disorder in the elderly.
A.PENDAHULUAN
Proses menua (aging) merupakan
suatu perubahan progresif pada organisme
yang telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta menunjukkan adanya kemunduran sejalan dengan waktu.
Proses alami yang disertai dengan adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun
sosial akan saling berinteraksi satu sama lain. Proses menua yang terjadi pada lansia
secara linier dapat digambarkan melalui empat tahap yaitu, kelemahan (impairment),
keterbatasan fungsional (functional limitations), ketidakmampuan (disability),
dan keterhambatan (handicap) yang akan dialami bersamaan dengan proses kemunduran (Bondan, 2006).
Lanjut usia adalah bagian dari proses tumbuh kembang. Manusia tidak secara
tiba-tiba menjadi tua, tetapi berkembang dari bayi, anak-anak dan akhirnya menjadi
tua. Hal ini normal dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan
yang terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap perkembangan
kronologis tertentu (Azizah, 2011).
Pertumbuhan penduduk lansia di
seluruh dunia berjalan sangat cepat dibandingkan dengan kelompok usia lain.
Pergeseran distribusi lansia seringkali dihubungkan dengan wilayah yang lebih
berkembang di dunia. Pertumbuhan lansia di Negara berkembang lebih cepat dari pada Negara yang sudah berkembang. Di Negara
berkembang, jumlah penduduk usia 60 tahun ke atas diperkirakan meningkat
menjadi 20% antara tahun 2015-2050.
Sementara Indonesia berada diurutan ke empat, setelah Cina, India dan Jepang. Penduduk lansia di Indonesia tahun 2000
berjumlah 14,4 juta (7.18%), pada tahun 2005 berjumlah 18,2 juta (8, %), pada tahun
2007 penduduk lansia Indonesia berjumlah 18,7 juta (8,42%), tahun 2010 meningkat
menjadi 9,77%, dan pada tahun 2020 diperkirakan menjadi dua kali lipat
berjumlah 28,8 juta (11,34%). Diperkirakan jumlahnya sudah sekitar 20 juta lebih, ini
berarti diantara 11 orang penduduk indonesia terdapat 1 lansia ( Depkes RI,
2013).
Setengah jumlah lansia di dunia (400
juta jiwa) berada di Asia, pertumbuhan lansia pada negara sedang berkembang lebih tinggi dari negara yang sudah berkembang
yang menjadi masalah terbesar lansia adalah penyakit degeneratif. Diperkirakan pada
tahun 2050 sekitar 75% lansia penderita penyakit degeneratif tidak dapat beraktifitas
(tinggal di rumah) (Depkes RI, 2013). Seiring meningkatnya derajat
kesehatan dan kesejahteraan penduduk akan berpengaruh pada peningkatan Usaha
Harapan Hidup (UHH) di Indonesia. Berdasarkan laporan World Health
Organization (WHO) dalam Wirakusumah (2000), pada Tahun 1980 UHH adalah 55,7 tahun, angka ini meningkat pada tahun 1990
menjadi 59,5 tahun dan pada tahun 2020
Penyakit atau gangguan yang menonjol pada kelompok lansia adalah: gangguan pembuluh darah (dari hipertensi
sampai stroke), gangguan metabolik (Diabetes Meletus), gangguan Persendian
(arthritis, encok dan terjatuh) dan gangguan psikososial (kurang penyesuaian diri dan
merasa tidak efektif lagi). Dari hasil studi tentang kondisi sosial ekonomi dan
kesehatan lanjut usia yang dilaksanakan Komnas Lansia di 10 Provinsi tahun 2006,
diketahui bahwa penyakit terbanyak yang diderita Lansia adalah penyakit sendi
(52,3%), dan hipertensi (38,8%), anemia (30,7%) dan katarak (23%) (Bustan, 2006).
Perubahan-perubahan menyertai proses perkembangan termasuk ketika memasuki masa usia lanjut. Ketidaksiapan
dan upaya melawan perubahan-perubahan yang dialami pada masa usia lanjut justru
akan menempatkan individu usia ini pada posisi serba salah yang akhirnya hanya
menjadi sumber akumulasi stres dan frustasi belaka (Indriana, 2008).
Stres pada lanjut usia tersebut dapat diartikan sebagai kondisi tidak seimbang,
tekanan atau gangguan yang tidak menyenangkan, yang terjadi menyeluruh
pada tubuh dan dapat mempengaruhi kehidupan, yang tercipta bila orang yang bersangkutan melihat ketidaksepadanan
antara keadaan dan sistem sumber daya biologis, psikologis dan sosial yang
berkaitan dengan berfikir dan respon dari ancaman dan bahaya pada lanjut usia.
Dimana terjadi penurunan kemampuan mempertahankan hidup, menyesuaikan diri
terhadap lingkungan, fungsi badan dan kejiwaan secara alami dan yang akhirnya mengakibatkan kematian. Singkatnya stres
pada lanjut usia adalah kondisi tidak seimbang, terjadi menyeluruh pada tubuh
yang tercipta bila orang yang bersangkutan melihat ketidaksepadanan antara keadaan
dan sistem sumber daya biologis, psikologis dan sosial, dimana terjadi penurunan
kemampuan mempertahankan hidup yang akhirnya mengakibatkan kematian.
(http://www.small crab.com/ diperoleh tanggal 7 Februari 2015)
Pengalaman hidup dan perspektif lansia membuat sebagian besar masalah
terlihat seperti tidak berarti dan banyak lansia memerlukan manajemen stres yang sesuai. Waktu kejadian yang menginduksi
stres mempengaruhi kemampuan lansia untuk berkoping secara signifikan.
Kenyataan bahwa lansia mengalami kejadian-kejadian yang penuh tekanan (
misalnya kehilangan suami/ istri dan dan diagnosis baru) yang terjadi dalam waktu
singkat sering menimbulkan efek negatrif pada kemampuan beradaptasi (Potter Perry
2010).
Adapun terapi yang digunakan untuk
menurunkan stres secara farmakologis dengan menggunakan obat anti depresan sedangkan non-farmakologis menurut
Yayasan Art Living (YAL), yaitu dengan menggunakan aromaterapi, tertawa,
mendengarkan musik, dan kegiatan lainnya. (http://caramengatasi stress.com diperoleh
Terapi tertawa merupakan teknik yang mudah dilakukan, tetapi efeknya sangat luar biasa, bahkan dapat
menyembuhkan pasien dengan gangguan mental akibat stres berat. Tertawa dalam
dunia medis, merupakan obat mujarab ganguan stres atau ganguan
penyakit lainnya.
(http://www.psikologizone.com/ diperoleh
pada 9 April 2015).
Terapi tertawa merupakan teknik
yang melibatkan bunyi-bunyian, gerakan badan dan tarik nafas dalam. Tertawa juga
dapat meningkatkan usaha tubuh untuk melawan penyakit seperti tekanan darah
tinggi, stroke, artritis, ulcer dan mengurangi resiko serangan jantung. Bahkan, ada juga penelitian yang menunjukkan bahwa
tertawa juga dapat melancarkan sistem pencernaan dan penyerapan nutrisi
makanan. Namun yang paling penting ialah tertawa dapat menguatkan kesehatan mental
atau jiwa. Tertawa pada diri sendiri juga bisa mengubah persepsi kita terhadap masalah
yang kita hadapi. Dari hasil penelitan Aprianti menunjukkan ada pengaruh terapi
tertawa terhadap tingkat stres pada lanjut usia menunjukan 18 orang (90%)
mengalami penurunan dan hanya 2 orang (10%) yang tidak mengalami penurunan tingkat stres. (Apriani, 2009 dalam Rakhmat
2015). Sedangkan dari hasil penelitian
Rakhmat (2013), menunjukkan bahwa 4 orang (40%) mengalami penurunan dan 6 orang (60%) yang tidak mengalami
penurunan tingkat stres, jadi dapat disimpulkan bahwa terapi tertawa dapat
mengurangi tingkat stres pada lanjut usia (Rakhmat & Sherli, 2015).
Penelitian terhadap tertawa
menunjukkan bahwa efek tertawa baik secara psikologis maupun fisiologis. Secara
psikologis, penelitian menunjukkan tertawa dapat menurunkan level stres (Walia &
Kaur, 2008 dalam Alfiani, 2014). Crhistie dan Moore melakukan review terhadap
beberapa jurnal penelitian mengenai humor dan tertawa yang menunjukkan bahwa
humor digunakan sebagai koping terhadap stres. (Alfiani. 2014).
Hasil studi pendahuluan di Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha Ciparay
Bandung didapatkan populasi sebanyak 150 orang lansia. Dari 10 responden yang di wawancara dengan menggunakan lembar
angket diperoleh 6 orang mengalami stres ringan dan 4 orang mengalami stres sedang,
hal itu karena mereka merasa jenuh dengan kehidupannya, merasa sedih dan bosan.
Hasil observasi pada beberapa lansia, banyak lansia yang terlihat gelisah, murung,
dan banyak melamun. Hal ini dikarenakan rutinitas sehari-hari yang mereka lakukan
sama setiap harinya, dengan terapi tertawa ini diharapkan bisa dijadikan jadwal
kegiatan harian agar lansia terhindar dari perasaan bosan dan stres.
Dalam penanganan khusus mengenai
stres, terutama terapi non medis masih
belum ada. Penanganan stres pada panti tersebut masih terbatas pada terapi farmakologis yang diperoleh dari hasil
psikologis yang dapat dialami oleh lansia adalah stres.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pre
eksperimen yang rancangan ini tidak ada kelompok pembanding (kontrol) dengan
jenis one group pretest posttest design. Tetapi paling tidak sudah dilakukan
observasi pertama (pretest) yang memungkinkan menguji
perubahan-perubahan yang terjadi setelah adanya eksperimen. Instrumen dalam penelitian ini
menggunakan SOP Terapi Tertawa sedangkan untuk alat ukur stres
menggunakan kuesioner Kessler Psychological Distress Scale dan Perceived
Stress Scale yang telah dimodifikasi. Sampel yang digunakan adalah lansia yang berada di Balai Perlindungan Sosial
Tresna Werdha Ciparay Bandung yang memenuhi kriteria inklusi. Metode yang
digunakan dalam pengumpulan sampel menggunakan metode consecutive sampling
sehingga jumlah sampel yang didapat adalah 31 orang.
Uji statistik yang digunakan adalah uji shapirowilik dengan nilai kemaknaan (p)
> 0,05 untuk besar sampel< 50 orang. Jadi hasi ulji kenormalan data didapatkan nilai
pretest 0,494 dan posttest 0,539 maka hasil tersebut normal, maka menggunakan uji parametrik t dependen.
C.HASIL PENELITIAN
1. Analisis Univariat
a. Rata-rata stres sebelum diberikan terapi tertawa pada lanjut usia di Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha Ciparay Bandung.
Tabel 1 Rata-rata stres pada lanjut usia sebelum dilakukan terapi tertawa.
Variabel Pengukuran Mean Standar Deviasi Standar Eror
Stres Pretest 51,94 8,805 1,581
Dari tabel 1 di atas maka dapat digambarkan bahwa distribusi frekuensi rata-rata stres pada lanjut usia sebelum diberikan terapi tertawa yaitu dengan nilai mean 51,94, standar
b. Rata-rata stres sesudah diberikan terapi tertawa pada lanjut usia di Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha Ciparay Bandung.
Tabel 2 Rata-rata stres pada lanjut usia sesudah dilakukan terapi tertawa.
Variabel Pengukuran Mean Standar Deviasi Standar Eror
Stres Posttest 36,32 7,463 1,340
Dari tabel 2. di atas maka dapat terlihat bahwa distribusi frekuensi gangguan stres pada lanjut usia sesudah diberikan terapi tertawa yaitu dengan nilai mean 36,32, standar deviasi 7,463
dan standar eror 1,340.
2. Analisis Bivariat
Perbedaan rata-rata Sebelum dan sesudah dilakukan terapi tertawa terhadap stres pada lanjut usia dI Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha Ciparay Bandung.
Tabel 4.3 Perbedaan rata-rata sebelum dan sesudah dilakukan
terapi tertawa.
Variabel Pengukuran N Mean SD SE p Value
Stres Pretest 31 15.613 8.694 1.561 0,0001
Posttest
Dari data diatas terdapat perbedaan rata-rata mean sebesar 15,613, standar deviasi 8,694,
standar eror 1,561 dan p Value =0,0001 p-Value < α (α = 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh terapi tertawa pada stres lanjut usia dilihat dari hasil perbedaan sebelum dilakukan
terapi tertawa dan sesudah dilakukan terapi tertawa.
D. PEMBAHASAN
Rata-rata skala stres sebelum diberikan terapi tertawa pada lanjut usia dapat telihat di tabel 4.1 diketahui bahwa dari hasil penelitian terhadap 31 responden menunjukan bahwa rata-rata stres responden yaitu sebesar 51,94 dengan kategori stres berat, hal itu menunjukan bahwa rata-rata tingkat stres pada lansia masih cenderung tinggi.
Menurut Somantri (2006) Stres berat akan terlihat ketika sesorang
memiliki pandangan sempit, prilaku yang impulsif, dan bimbang untuk memutuskan
sesuatu. Stres pada lanjut usia tersebut dapat diartikan sebagai kondisi tidak
menyeluruh pada tubuh dan dapat mempengaruhi kehidupan, yang tercipta bila orang yang bersangkutan melihat
ketidaksepadanan antara keadaan dan sistem sumber daya biologis, psikologis
dan sosial yang berkaitan dengan berfikir dan respon dari ancaman dan bahaya pada
lanjut usia. Dimana terjadi penurunan kemampuan mempertahankan hidup,
menyesuaikan diri terhadap lingkungan, fungsi badan dan kejiwaan secara alami
dan yang akhirnya mengakibatkan kematian.
Gejala-gejala stres tentu saja berbeda pada setiap orang karena
pengalaman stres setiap orang bersifat pribadi. Pada lanjut usia, gejala dari stres ini akan lebih terlihat karena lanjut usia
lebih rentan terhadap stres.
Gejala stres pada lanjut usia
meliputi penyakit darah tinggi, stroke, jantung koroner yang tinggi frekuensinya,
menangis, rasa ketakutan yang berlebihan, menyalahkan diri dan rasa penyesalan
yang tidak sesuai, daya ingat menurun, pikun, tidak bisa mengatasi persoalan
dengan benar, tidak mudah percaya pada orang lain, tidak sabar menghadapi orang
lain, dan menarik diri dari pergaulan. Bila banyak dari gejala tersebut diatas terjadi pada seseorang, khususnya di sini pada
lanjut usia, maka ada kemungkinan lanjut usia tersebut betul-betul mengalami stres.
(http://www.smallcrab.com/ dperoleh pada tanggal 7 Februari 2015).
Faktor lingkungan (environmental stress) Lingkungan adalah tempat yang mengarah pada hal di sekeliling kita, ruang
fisik yang dapat dirasakan dan tempat kita berperilaku. Byrne dan Clare (dalam Rice,
1992) mengemukakan pengertian stres lingkungan sebagai suatu kondisi sikap
seseorang terhadap aspek-aspek tertentu dari lingkungan. Faktor sosial (social
source of stress) perubahan sosial dapat dilihat dari perubahan gaya hidup (
life-style changes), nilai-nilai dan tradisi-tradisi lama yang telah bergeser.
Perubahan-perubahan yang terjadi meliputi aborsi, kebebasan homoseksual,
pernikahan yang kemudian membuat keluarga, masyarakat dan pemerintahan terpengaruh untuk mengikuti
perubahan-perubahan tersebut.
Ermawati (2010) mengemukakan
stres diakibatkan adanya perubahan-perubahan diantaranya perubahan-perubahan nilai
budaya, perubahan sistem kemasyrakatan, pekerjaan serta akibat ketegangan antara
idealisme dan realita. Bertambah stres hidup akan menyebabkan tergangunya
keseimbangan mental emosional yang walaupun tidak menyebabkan kematian
langsung, akan tetapi mengganggu produktifitas dan hidup seseorang menjadi tidak efisien. Sedangkan menurut
Wulandari (2010) mengemukakan juga bahwa stres merupakan suatu kondisi atau
Hasil wawancara dan menggunakan lembar kuesioner kebanyakan lansia merasa kurang puas dengan kehidupannya
sekarang karena mereka merasa gagal, mengalami banyak kehilangan
orang-orang yang berarti dalam kehidupannya seperti istri/suami dan anaknya. Mereka
sering mengalami putus asa karena tidak ada lagi keluarga yang mengunjungi atau
yang memperhatikan lebih terhadap kehidupan mereka, serta sudah merasa
bosan dengan hal-hal yang dilakukan dalam aktivitas sehari-hari mereka
dikarenakan aktivitas yang dilalui setiap hari sama seperti perkumpulan di aula
mendengarkan ceramah, bermain alat musik tradisional (gamelang) hal itu yang mengakibatkan kurangnya aktivitas
sehari-hari sehingga mereka kebanyakan diam sendiri di kamar dan jarang
bersosialisasi dengan penghuni lainnya, mereka menjadi tidak sabaran atau tidak
dapat memaklumi seprti ketidaksesuaian sesama penghuni akibatnya sering terjadi
percekcokan sesama penghuni sehingga hal itu dapat memicu emosi berlebih
(marah-marah) serta menjadi merasa tertekan terhadap penghuni lainnya, dan
sulit beristirahat karena tidak tenang hal ini diakibatkan lansia merasa tidak nyaman dengan lingkukngan yang baru serta
banyak pemikiran yang membuat mereka sulit untuk beristirahat.
Ermawati (2010) mengemukakan stres diakibatkan adanya perubahan-perubahan diantaranya perubahan-perubahan nilai
budaya, perubahan sistem kemasyarakatan, pekerjaan serta akibat
ketegangan antara idealisme dan realita. Bertambah stres hidup akan menyebabkan
tergangunya keseimbangan mental emosional yang walaupun tidak
menyebabkan kematian langsung, akan tetapi mengganggu produktifitas dan
hidup seseorang menjadi tidak efisien. Sedangkan menurut Wulandari (2010)
mengemukakan juga bahwa stres merupakan suatu kondisi atau keadaan
tubuh yang terganggu karena tekanan psikologis.
Menurut Rakhmat dan Sherli (2013)
stres yang berlarut-larut akan mempengaruhi prilaku seperti sulit untuk
beristirahat, sulit untuk tenang, tidak dapat memaklumi hal apapun yang
menghalanginya untuk menyelesaikan kegiatan yang sedang dilakukan, sulit
untuk sabar ketika mengalami penundaan, dan bereksi berlebihan pada situasi.
Menurut Azizah (2011) pada lanjut usia masalah-masalah yang dihadapi tentu
semakin banyak. Banyak hal yang dahulunya dengan mudah dapat dipecahakan menjadi terhambat karena
terjadinya penurunan fungsi indera pada
lanjut usia. Hambatan yang lain dapat berasal dari penurunan daya ingat, pemahaman dan lain-lain, yang berakibat
Kebanyakan lansia yang menjadi responden masih belum bisa mengatasi masalah stressor dalam dirinya sendiri
dikarnakan masalah yang mereka hadapi cenderung disimpan dalam pemikiran
tanpa mau menyelesaikan
permasalahnnya. Hal itu mengakibatkan
lansia menjadi mudah emosi, tertekan dan stres dalam dirinya semakin meningkat.
Stres yang dibiarkan terus-menerus akan semakin meningkat dan akan sulit untuk
menanganinya. Dalam penelitian Rakhmat dan Sherli (2013) penangan stres dapat
dilakukan dengan terapi tertawa disebabkan karena saat tertawa manusia
melepaskan hormon endofrin kedalam sirkulasi sehingga tubuh menjadi nyaman dan rileks.
Rata-rata skala stres sesudah dilakukan terapi tertawa pada lanjut usia
dapat terlihat di tabel 4.2 diketahui bahwa dari hasil penelitian terhadap 31 responden
menunjukan bahwa skor stres responden yaitu 36,32 yaitu kategori stres ringan.
Terapi tertawa dapat menurunkan stressor, ketika tertawa seseorang akan
mengeluarka atau memicu pelepasan hormon endorfin dan dopamin di otak,
hormon yang membuat orang bahagia dan tubuh menjadi rileks.Selain itu, tertawa juga mengurangi produksi hormon cortisol
yang menyebabkan stres dan depresi atau perasaan lelah.
Hasil evaluasi pada hari ke 6 setelah proses terapi tertawa dan melakukan
pengecekan kembali melalui kuesioner kepada 31 responden. Lansia
mengutarakan selama terapi banyak perubahan yang dirasakn bagi tubuh, permasalahan menjadi ringan karena
dalam proses terapi tertawa mereka menjalin komunikasi satu sama lain dan
tertawa bersama sehingga serta mereka cenderung mampu melepasakan emosi
mereka dengan positif melalu tertawa. Beberapa lansia yang menutup diri dan
sulit diajak untuk berkumpul sekarang perlahan menjadi sering berbaur serta
saling bertutur sapa. Hasil analisis dari tabel 4.2 rata-rata stres pada lanjut usia
mengalami penurunan yang signifikan. Penelitian oleh Aprianti (2009)
tentang terapi tertawa diperoleh efektivitas terapi tertawa terhadap tingkat stres menujukan bahwa ada pengaruh
penurunan tingkat stres. Sedangkan hasil penelitian Rakhmat dan Sherli (2013)
menunjukan bahwa ada perubahan tingkat stres sebelumnya sebesar (90%) stres
sedang dan (10%) mengalami stres ringan. Setelah terapi tertawa penurunan tingkat
stres (40%) menjadi stres ringan dan (60%) mengalami stres sedang.
Penurunan rata-rata perbedan sebelum dilakukan terapi tertawa dan
sesudah terapi tertawa yaitu sebesar 15,613, dan p =0,0001 p-Value < α (α = 0,05) sehingga dapat disimpulkan ada
perbedaan penurunan antara rerata seblum
Terapi tertawa merupakan tawa yang dimulai dengan tahapan demi tahap sehingga efek yang dirasakan bagi yang
tertawa benar-benar bermanfaat (Wulandari, 2010).
Tertawa merupakan salah satu mekanisme untuk mengatasi stres menurut
Prasetyo dan Nurtjahjanti (2011) Hal ini secara klinis terbukti menjadi efektif
dalam memerangi stres, ketika stres tubuh atau otot akan tegang sehingga tubuh
menjadi cepat lelah beda halnya ketika tertawa hanya beberapa otot yang berkerja
selepasnya tubuh akan tidak terlalu berlebihan mengeluarkan tenaga. Tertawa
merupakan harmonisasi gerakan dari 15 otot wajah yang dapat ikut menghambat proses pengerutan wajah pada usia lanjut.
Hal itu juga memberikan latihan ringan bagi tubuh, karena otot dilatih berdenyut
diatas rata-rata, khususnya otot muka. Tertawa kuat tentu menggunakan otot
yang besar, sehingga dapat diibaratkan ventilasi jendela ruangan. Mereka yang
banyak menebar tertawa akan lebih bebas bernafas, sebab ketika tertawa akan
mempercepat sirkulasi pernafasan. Tertawa bisa membantu mengeluarkan
hormon endorfin yang biasanya diproduksi ketika olahraga. Hormon ini bisa mengurangi rasa sakit walaupun
hanya sementara. Selain itu, tertawa juga
mengurangi produksi hormon cortisol yang menyebabkan stres dan depresi atau perasaan lelah.
Menurut Prasetyo dan Nurtjahjanti (2011) mengungapkan. Tertawa bisa mengurangi peredaran dua hormon dalam
tubuh, yaitu efinefrin dan kortisol (hormon yang dikeluarkan ketika stres) yang
dikeluarkan hipotalamus. Kedua hormon tersebut dikeluarkan maka bisa
menghalangi proses penyembuhan penyakit. Sehingga dalam keadaan
bahagia hipotalamus akan mengeluarkan hormon endorpine, yang berfungsi sebagai
obat penenang alami. Menurut Muhamad (2011) tertawa merupakan ekspresi jiwa
atau emosional yang diperlihatkan melalui raut wajah dan bunyi-bunyian tertentu,
tertawa secara fisiologis dapat dibagi menjadi set gerakan dan produk suara.
Pernafasan penting untuk
kehidupan, pernafasan yang tepat merupakan penawar stres, dalam bernafas
diafragma ikut mengambil peran yang cukup penting. Diafragma memisahkan
dada dan perut manusia, sekalipun manusia dapat mengembangkan dan
mengerutkan diafragma secara disadari, umunya hal ini berjalan dengan otomatis.
Ketika manusia mengalami stres mengakibatkan proses bernafas yang akan
cepat dan terburu-buru, untuk melepaskan kondisi stres tersebut bisa dilakukan menghirup udara sebanyak-banyaknya dan
menghembuskan secara perlahan. Dalam
sesi tawa, pernafasan ini disebut sebagai pranayama. Pranayama adalah teknik-teknik pernafasan yang pelan dan berirama
Pranayama mempunyai dampak menenangkan pikiran dan memberikan lebih banyak oksigen untuk jaringan
tubuh, serta meningkatkan kapasitas vital paru-paru sehingga meningkatkan
kapasitas untuk tertawa.
Phsycal Relaxation merupakan
bagian terpenting dari gerakan tawa, yaitu gerakan tepuk tangan berirama dan
teknik-teknik tawa. Gerakan tepuk tangan merupakan latihan pemanasan yang
merangsang titik-titik acupressure (pijat ala akupuntur) di telapak tangan dan
membantu menciptakan rasa nyaman serta meningkatkan energi. Pada langkah ketiga
dari sesi tawa yaitu latihan bahu, leher dan peregangan juga merupakan salah satu bentuk relaksasi fisik yang dilakukan
sebelum melakukan gerakan tawa. Latihan ini dapat memberikan penyegaran fisik
dan stamina tambahan. Hal itu akan membuat lebih semangat bagi lanjut usia
untuk mengikuti tahapan terapi tertawa sampai selesai.
Social Support merupakan salah satu teknik melakukan coping terhadap
stres. seluruh gerakan tawa melibatkan interaksi dari orang lain. Gerakan yang
khususnya mencari Social Support muncul pada beberapa langkah yaitu tawa sapaan, tawa penghargaan, tawa hening
tanpa suara, tawa bersenandung, tawa
mengayun, tawa singa, tawa ponsel, dan tawa memaafkan. Ketiak melakukan tahapan terapi tertawa lanjut usia akan
melakukan interaksi satu sama lain, sehingga dapat memunculkan ikatan
emosional yang sama dan menyalurkan emosi secara positif.
Mental Relaxation ini terdapat pada penutupan akhir sesi tawa. Gerakan pada teknik penutupan ini mendasarkan kepada
prinsip dasar Hasya yoga dimana mental relaxation ini dilakukan untuk
menyelaraskan antara tubuh, pikiran dan jiwa sehingga dapat menekan kecemasan
atau stres (Prasetyo dan Nurtjahjanti, 2011). Ketika tubuh sudah menyelaraskan
emosi dalam tubuh, makan tubuh akan menjadi lebih rilkes dan nyaman. Bagi
lanjut usia hal itu sangat diperlukan, karena kondisi emosional lansia sangat
berpengaruh terhadap kehidupannya dan tingkat stres yang dialami.
Aspek-aspek emosi, termasuk tertawa,”diatur” oleh pusat emosi didalam struktur otak yang dinamakan sistem
limbik (limbic system). Limbik dibentuk oleh beberapa komponen otak, antara lain
hippocampus, gyrus limbic, dan amiygdale. Sistem limbikini memainkan
peran dalam mengatur emosi manusia baik itu emosi positif ataupun negatif (Aswin,
2005 & pasiak, 2004 dalam Prasetyo dan Nurtjahjanti, 2011). Pengaturan emosi
sangat berpengaruh untuk mengatasi stres seseorang, dikarnakan emosi yang tidak disalurkan dengan benar maka akan
menimbulakn peningkatan stres
Tertawa terbahak-bahak sangat bermanfaat bagi orang sehat. Tertawa bisa menggoyangkan otot perut, dada, bahu,
serta pernapasan, sehingga membuat tubuh seakan-akan sedang joging di tempat.
Sesudah tertawa tubuh terasa rileks dan tenang, sama seperti kalau habis
berolahraga. Tertawa melatih diafragama, otak, jantung, paru-paru, perut, juga
membantu mengusir zat-zat asing dari seluruh pernapasan. Tertawa juga sangat
ampuh untuk meringankan sakit kepala, sakit pinggang, dan depresi.
Berdasarkan hasil analisis peneliti berpendapat bahwa terapi tertawa dapat
mempengaruhi stres pada lanjut usia dan dari hasil wawancara kepada responden terdapat penurunan tingkat stres, mereka
mengutarakan ada pengaruh kepada diri mereka selama mengikuti tahapan terapi
tertawa yang dilakukan selama 6 kali dalam dua minggu. Sehingga mereka dapat
mengeluarkan emosi dalam diri mereka secara positif dengan terapi tertawa tanpa
haru marah-marah tidak jelas dan menimbun permasalah dalam diri karena
melalui terapi tertawa lansia sering dapat berkumpul bersama, saling bertutur sapa
dan diakhiri mereka dengan mengobrol satu sama lain untuk menceritakan beban atau permasalahan dalam diri mereka
masing-masing.
Perubahan stres lanjut usia
diperoleh mengikuti terapi tertawa yang terdiri dari beberapa tahapan. Memang
sulit tertawa tanpa sebab. Jika kita tertawa tanpa sebab maka kita bisa merasa malu
dan takut, dan orang bisa mengganggap kita sedang stres atau gila. Untuk menghilangkan hal tersebut maka
alternatif yang bisa dipilih adalah membuat perkumpulan minimal 5 orang,
jika bisa lebih banyak akan lebih mudah tertawa. Pada saat tertawa dianjurkan
peserta terapi tawa saling berpandangan sebab tertawa salaing berpandangan akan
memicu tawa dari dalam diri kita, karena setiap orang mempunyai ciri khas tawa
masing-masing, hal ini akan menciptakan tawa yang lepas dan tawa adalah sangat
menular. Saat tertawa kedua tangan diangkat ke atas tegak lurus. Posisi seperti
ini membuat kita mudah tertawa, dan rasa malu.dan takut juga akan hilang. Tertawa lebih mudah muncul jika serempak
dilakukan semua peserta, setelah diberi aba-aba oleh tutor.
Hal ini terapi tertawa bisa digunakan untuk salah satu penangan stres
nonfarmakologis, karena melalui tertawa beban stres seseorang dapat berkurang,
disamping itu dengan adanya kegiatan terapi tertawa maka akan terjalin
komunikasi satu sama lain terutama lansia yang suka menutup diri atau jarang
E. KESIMPULAN
Berdasarkan analisa data dan pembahasan hasil penelitian mengenai “Pengaruh Terapi Terapi Tertawa Terhadap Stres pada Lanjut Usia di Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha Cipara Bandung”
dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut :
1. Nilai rata-rata (mean) dan
klasifikasinya skor stres pada lansia sebelum diberikan terapi tertawa
adalah 51,94 dalam kategori stres berat.
2. Nilai rata-rata (mean) dan klasifikasinya skor stres pada lansia
sesudah diberikan terapi tertawa adalah 36,32 dalam kategori stres ringan.
3. Secara statistic ada pengaruh terapi tertawa dalam menurunkan stres pada
lansia di tandai dengan rata-rata skor stres sebelum dan sesudah diberikan
terapi tertawa yaitu 51,94 menjadi 36,32 dan nilai p = 0,0001 atau p Value
DAFTAR PUSTAKA
Alfiani, 2014 , Pengaruh Humor Terhadap Stres Pada Mahasiswa Tingkat Akhir Yang Mengerjakan Skripsi Di
Universitas Brawijaya Malang. Program Studi Psikologi, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya
Azizah, Lilik Mar’rifatul. (2011). Keperawatan Lanjut Usia.
Yogyakarta : Graha Ilmu.
Bondan, P. (2006).
Ranah Penelitian
Keperawatan Gerontik
. Dibuka
pada tanggal 8 Oktober 2010 dari
http://www.inna-ppni.or.id/
,
diperoleh tanggal 7 Februari 2015
.Dalmi, Ermawati. (2010). Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta : Trans Info Medika.
Depkes RI. 2013. Riset Kesehatan
Dasar. Jakarta: Badan Penelitian
dan
pengembangan
Kesehatan
Kementrian Kesehatan RI
.Fajrin, Muhamad. (2012). Pengaruh
Terapi Tertawa Terhadap Intensitas
Nyeri Reumatoid Artritis pada Lansia
di Unit Rehabilitas Sosial Wening
Wardoyo Ungaran. Jurnal Psikologo
Undip Vol. 11, No 1.
Format referensi elektronik direkomen
dasikan oleh pusat informasi http://
www.psikologizone.com/terapi-
tertawa-hilangkan-stres-cegah-penyakit/, diper oleh pada 9 April 2015.
Format referens elketronik
direkomendasikan oleh Informasi
Kesehatan, tersedia
http://www.smallcrab.com/lanjut-usia/ 846-stress-pada-lansia,
diperoleh pada 7 Februari 2015).
Format referensi elektronik
direkomendasikan oleh
http://caramengatasistress.com/categ
ory/cara-mengatasi-stress/, diperoleh pada 7 Februari 2015.
Indriana, Y. 2008.
Gerontologi :
Memahami
Kehidupan
Usia
Lanjut.
Semarang
:Penerbit
Universitas Diponegoro
.Potter & Perry. (2010). Fundamental Keperawatan buku 2 edisi 7. Jakarta :
Salemba Medika.
Prasetyo dan Nurtjahjanti. (2011).
Pengaruh penerapan terapi tertawa
terhadap penurunan tingkat stres
kerja pada pegawai kereta api. Jurnal Pisikologi Undip, Volume 10 No 2.
Rakhmat dan Sherli, (2013). Efektivitas
terapi tertawa terhadap tingkat stres
pada lanjut usia di panti sosial tresna
werdha teratai palembang. Jurnal Keperawatan Bina Husada, Volume 1
Somantri, Irman. (2006). Konsep Dasar Keperawatan. Cimahi : Stikes A.Yani Press.
Wulandari. (2011). Pengaruh Pemberian Terapi Tertawa Terhadap Tingkat Kecemasan pada Lanjut Usia di PSTW