1
Moh. Taofik Hidayat, 2014
PENGEMBANGAN KEMAMPUAN MENULIS BERBASIS PENGALAMAN HISTORIS SISWA MELALUI METODE INVESTIGASI KELOMPOK
Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Pembelajaran sejarah sebagai bagian dari Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di
SMP Negeri 1 Kadipaten belum berlangsung secara optimal. Pada umumnya
peserta didik di sekolah ini masih menganggap pelajaran sejarah sebagai pelajaran
yang kurang penting jika dibandingkan dengan pelajaran lainnya, terutama jika
dibandingkan dengan pelajaran yang diujikan dalam Ujian Nasional. Sejarah
dipandang sebagai pelajaran yang tidak menarik bahkan cenderung membosankan
karena hanya berisi fakta-fakta usang dari masa lalu yang disampaikan oleh guru
dengan hanya menggunakan metode ceramah. Berbagai persoalan tersebut
menyebabkan guru yang akan dijadikan sebagai kolaborator peneliti dalam
penelitian ini melakukan inovasi yaitu dengan berupaya mengembangkan
pembelajaran sejarah baik dalam variasi metode pembelajaran maupun dalam
penggunaan media.
Kelas VII H yang dijadikan sebagai lokasi penelitian termasuk ke dalam
kelas yang memiliki potensi belajar dengan kualitas yang baik. Hal ini terlihat dari
kemauan serta antusiasme mereka dalam belajar. Pada umumnya peserta didik di
kelas VII H memiliki ketertarikan dalam belajar sejarah, namun mereka masih
menghadapi persoalan jika dihadapkan dengan tugas menulis. Keterampilan
menulis, terutama menulis sejarah dianggap sebagai suatu keterampilan yang
sangat sulit dilakukan, kesulitan tersebut terlihat ketika siswa diminta untuk
membuat artikel dengan tema sejarah yang akan diterbitkan di majalah dinding
sekolah ternyata artikel yang dibuat masih jauh dari kriteria sebuah karya ilmiah.
Keterampilan menulis masih dianggap sebagai suatu hal yang tidak
penting bahkan dihindari. Menulis yang baik akan berawal dari fakta bukan
bersadarkan kepada opini atau pendapat penulis semata. Hal ini memerlukan suatu
proses latihan yang dilakukan secara terus menerus. Apalagi dalam tantangan
2
Moh. Taofik Hidayat, 2014
PENGEMBANGAN KEMAMPUAN MENULIS BERBASIS PENGALAMAN HISTORIS SISWA MELALUI METODE INVESTIGASI KELOMPOK
Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
dalam intensitas yang tinggi memerlukan keterampilan dari diri siswa untuk
membedakan mana fakta dan mana opini. Banyaknya tulisan yang tidak berawal
dari fakta, seperti iklan-iklan politik yang dewasa ini semakin sering dilihat,
dibaca dan didengarkan oleh kita termasuk oleh para siswa di sekolah
memerlukan suatu keterampilan dalam diri mereka untuk menyeleksi informasi
tersebut sehingga apa yang mereka peroleh merupakan suatu fakta yang
sebenarnya bukan hanya opini yang justru menyesatkan bagi mereka.
Keterampilan menulis merupakan salah satu kompetensi yang harus
dimiliki oleh peserta didik agar kelak mereka mampu menjadi warga negara yang
mampu berpartisipasi aktif dalam masyarakat serta mampu menghadapi tantangan
global. Menulis merupakan kemampuan akademis yang diperoleh peserta didik
dari proses berpikir secara sistematis, logis, kritis, dan tanggap terhadap
masalah-masalah yang terjadi di lingkungannya sehingga mereka sanggup memberikan
solusi alternatif dalam memecahkan persoalan yang mereka hadapi. Dalam
pandangan Yep, Laurence dikemukakan sebuah peryataan yang menarik, yaitu "I
think of writing as a way of seeing. It's a way of bringing out the specialness of
ordinary things" (Cantu, 2000).
Kelemahan atau ketidak mampuan peserta didik dalam menulis sudah lama
dikeluhkan oleh kalangan pendidik di Indonesia, padahal dalam prakteknya
pelajaran menulis sudah diberikan sejak peserta didik masuk ke jenjang
pendidikan formal maupun non formal. Namun ironisnya kemampuan menulis
peserta didik tidak mengalami perkembangan berarti seiring berkembangnya usia
anak dan meningkatnya jenjang pendidikan. Bahkan untuk mengerjakan tugas
yang berkaitan dengan menulis, siswa terlihat begitu kesulitan dan terkesan malas
untuk mengerjakannya. Menurut Tabroni (2007:17), bagi sebagian orang menulis
seringkali dipandang sebagai sesuatu yang sangat menyulitkan, memberatkan dan
tidak mudah dilakukan. Fenomena tersebut hampir terjadi di seluruh jenjang
pendidikan baik Pendidikan Dasar, Menengah maupun Tinggi. Hal ini merupakan
suatu permasalahan yang harus dihadapi oleh setiap praktisi pendidikan, terutama
3
Moh. Taofik Hidayat, 2014
PENGEMBANGAN KEMAMPUAN MENULIS BERBASIS PENGALAMAN HISTORIS SISWA MELALUI METODE INVESTIGASI KELOMPOK
Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
sejarah baik sebagai satu disiplin ilmu maupun sebagai bagian dari Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS).
Belum berhasilnya pendidikan di sekolah dalam meningkatkan kemampuan
peserta didik menulis dapat kita lihat dalam berbagai pendapat diantaranya yang
diungkapkan oleh Walshe (2001:116), menurutnya :
The secondary school, with few exceptions, have not succeeded in causing children to write willingly and well; they have not caused children to view writing as a valued, useful, satisfying means of learning and communication, or of self expression and self discovery, all of which it has been for some individuals and it potentially can be for everyone.
Dari uraian tersebut kita dapat melihat bahwa pembelajaran sejarah di
jenjang Sekolah Menengah pada umumnya belum berhasil dalam menumbuhkan
kesadaran bagi peserta didik untuk menulis dengan sukarela dan dengan kualitas
baik, mereka belum mampu menumbuhkan kesadaran pada peserta didik bahwa
menulis merupakan sesuatu yang harus dihargai, berguna, merupakan sarana
pembelajaran dan komunikasi serta dapat menjadi wahana untuk mengekspresikan
dan menemukan jati diri mereka.
Kondisi tersebut sangat disayangkan, mengingat dalam perkembangan
informasi yang demikian pesatnya seperti sekarang ini, menulis bisa menjadi
salah satu profesi yang sangat menjanjikan dan merupakan keterampilan sosial
yang harus dimiliki oleh peserta didik ketika mereka memasuki dunia kerja di
kemudian hari. Generasi muda yang optimis kedepan diharapkan membiasakan
diri menulis, karena dengan menulis karya kita akan dikenang walaupun kita
sudah tiada. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer dalam Maryani (2012) bahwa :
“Sepandai apa pun seseorang, jika tidak menulis, ia akan dilupakan sejarah”.
dengan demikian menulis adalah bekerja untuk keabadian.
Menurut Walshe (2001:107), diuraikan bahwa sejarawan selalu dihargai
ketika mereka menulis. Hal itu sangat masuk akal karena adanya kesadaran bahwa
penemuan tulisan yang memungkinkan lahirnya sejarah. begitu juga sumber
4
Moh. Taofik Hidayat, 2014
PENGEMBANGAN KEMAMPUAN MENULIS BERBASIS PENGALAMAN HISTORIS SISWA MELALUI METODE INVESTIGASI KELOMPOK
Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
adanya transformasi kesadaran historis tersebut kepada peserta didik untuk
memproduksi karya sejarah dengan menulis. Lebih lanjut diungkapkan :
Too many of us- until recently, at least- have peddled a dryasdust academic prose which sacrificed interest and liveliness on the harsh altar of objectivity-at-all-costs. We have taken writing too much for granted. Have of course moralised in abstract about its virtues, but have mostly failed to knowledge its difficulty. Failed to make use of its potential university, and failed in practical ways to help the young to write well.
Pembelajaran sejarah di sekolah menjadi pelajaran yang membosankan,
yang terlalu banyak menjejalkan prosa akademik dengan mengorbankan
kreatifitas dan keaktifan peserta didik. Mereka dihadapkan pada objektivitas yang
kaku serta mengarahkan peserta didik pada pengerjaan soal tes. Menurut
Supriatna (2007:158), salah satu kelemahan dalam pembelajaran ilmu sosial
adalah terlalu menekankan pada ceramah dan ekspositori atau transfer of
knowledge yang menjadikan guru sebagai pusat kegiatan belajar mengajar.
Pendapat tersebut sejalan dengan praktisi pendidikan lainnya yang
menekankan bahwa kritik para ahli kurikulum terhadap pembelajaran sejarah saat
ini lebih kepada kenyataan bahwa pembelajaran sejarah didominasi oleh hafalan
serta lebih menekankan memorisasi dan mengabaikan usaha pengembangan
kemampuan intelektual yang lebih tinggi. Selain itu ada anggapan bahwa
pembelajaran sejarah tidak memiliki relevansi dengan kebutuhan peserta didik.
Lebih lanjut diuraikan bahwa guru sejarah kurang mementingkan penerapan
kemahiran berpikir kreatif dan kritis dalam pembelajarannya. Pembelajaran
sejarah lebih didominasi oleh situasi “too much chalk and talk and by a lack of involvment of children in their own learning” (Parington dalam Widja, 1989:103).
Sedangkan menurut Wineburg (2006:323-324), penyajian materi sejarah
yang membosankan, penjejalan informasi tentang masa lalu, papan tulis yang
terlalu banyak coretan tanpa arti, keharusan siswa menghafal fakta-fakta dengan
cepat dan kemudian dengan cepat pula mereka melupakannya merupakan
gambaran buruk suatu pembelajaran sejarah yang terjadi di Amerika Serikat.
5
Moh. Taofik Hidayat, 2014
PENGEMBANGAN KEMAMPUAN MENULIS BERBASIS PENGALAMAN HISTORIS SISWA MELALUI METODE INVESTIGASI KELOMPOK
Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
Pembelajaran sejarah di banyak sekolah baik sebagai ilmu yang berdiri sendiri
maupun sebagai bagian dari IPS seperti di jenjang Sekolah Menengah Pertama
(SMP) tidak lebih dari transfer ilmu dari guru kepada siswa di dalam kelas
melalui komunikasi satu arah. Siswa hanya menjadi objek pasif yang mempunyai
kewajiban menghafal catatan yang disampaikan guru supaya dapat menjawab soal
yang akan diujikan pada setiap akhir bab atau akhir suatu materi. Dalam
pandangan Hafid (2011:24), metode pembelajaran sejarah yang membosankan
dan tidak memiliki sentuhan emosional kepada siswa akan menimbulkan
timbulnya perasaan dalam diri siswa jika mereka tidak dilibatkan secara aktif
dalam proses pembelajaran.
Metode pembelajaran yang kaku berakibat buruk dalam jangka panjang dan
berpotensi memunculkan generasi yang mengalami amnesia sejarah, yaitu yang
melupakan sejarah bangsa sendiri. Jika kita melihat pernyataan di atas, nampak
bahwa dalam pembelajaran sejarah di sekolah masih terdapat relasi kuasa (power
relation), antara guru sebagai dominant groups dengan peserta didik sehingga
tidak terjadi proses dialog yang dilandasi kesetaraan (equality) serta saling
keterhubungan (intersubjektivity), antara siswa dengan lingkungan sosialnya,
antara para guru dengan siswa serta lingkungan (space) tempat mereka berada
(Fereire dalam Supriatna, 2007:5). Setianto (2012:481) mengungkapkan bahwa
sejarah suatu bangsa juga tak lepas dari tokoh besar. Thomas Cartyle dengan “the
great man theory”-nya, berpendapat bahwa, “the great man dominates all
history”. Pendapat Cartyle memberikan gambaran bahwa tokoh besar masih mendominasi dalam penulisan sejarah, namun pada hakekatnya setiap individu
dapat menjadi pusat dalam proses penelitian serta penulisan sejarah. Selain itu
orang biasapun dapat menjadi pusat kajian dalam suatu proses penulisan sejarah.
Menurut Giroux (1995) dalam Supriatna (2007:5) bahwa :
6
Moh. Taofik Hidayat, 2014
PENGEMBANGAN KEMAMPUAN MENULIS BERBASIS PENGALAMAN HISTORIS SISWA MELALUI METODE INVESTIGASI KELOMPOK
Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
Pembelajaran sejarah bukan hanya menyampaikan fakta-fakta kering
tentang berbagai peristiwa yang terjadi pada masa lalu, pembelajaran sejarah
harus mampu menumbuhkan kemampuan siswa berfikir secara kritis. Menurut
Jane dalam Wineburg (2006:211) :
Sejarah bukan daftar mati fakta-fakta, seperti yang dibayangkan orang selama ini. Sejarah adalah serangkaian peristiwa yang melibatkan manusia dan keinginannya secara berkesinambungan sejarah mengandung banyak tekstur dan nilai kehidupan.
Sedangkan menurut Himmelfarb (1987:14) dalam buku The New History
and Old dideskripsikan bahwa :
the new history tends be analytic rather than narrative, thematic rather than chronological.... the new history focuses on classes and ethic groups, social problems and institutions, cities and communitis, work and play, family and sex, birth and death, chilhood and old age, crime and insanity...
Dari uraian tersebut bisa disimpulkan bahwa kita harus memaknai sejarah
bukan hanya terdiri dari rangkaian fakta-fakta yang tidak memiliki keterikatan
dengan peserta didik, kita harus bisa berfikir secara kritis melewati fakta-fakta
tersebut, serta mampu memilih materi sejarah yang benar-benar memiliki
keterkaitan dengan sisi emosional mereka misalnya sejarah tokoh yang ada
disekitar peserta didik maupun berbagai persoalan yang dekat dengan mereka,
bahkan pengalaman historis yang mereka alami. Hampir semua tema dapat
dijadikan sebagai kajian sejarah serta dapat disampaikan di dalam kelas dengan
metode yang bisa menumbuhkan kemampuan siswa dalam menulis. Dengan
demikian tujuan belajar sejarah agar peserta didik mampu berpikir kritis dan
mampu menuangkan hasil pemikirannya kedalam satu penulisan sejarah dapat
terwujud.
Hal yang dikemukakan di atas sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh
Sartono Kartodirdjo (Widja, 1989:109), bahwa :
7
Moh. Taofik Hidayat, 2014
PENGEMBANGAN KEMAMPUAN MENULIS BERBASIS PENGALAMAN HISTORIS SISWA MELALUI METODE INVESTIGASI KELOMPOK
Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
mematikan segala minat terhadap sejarah. hendaknya studi sejarah memberi pengertian yang dalam dan suatu keterampilan (skill).
Jika kita mengkaji pendapat tersebut, Kartodirdjo memberikan penekanan
pentingnya sejarah menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman, baik dalam
metode, media maupun sumber pembelajaran atau penggalian berbagai informasi
sejarah baru, dalam hal ini tafsir tunggal terhadap satu fakta sejarah berdasarkan
narasi besar (grand narrative) sudah tidak relevan lagi dengan arus perubahan.
Selain itu pembelajaran sejarah harus mampu mengembangkan kemampuan atau
keterampilan dalam diri peserta didik, salah satunya adalah kemampuan atau
keterampilan menulis sejarah yang selama ini belum dimiliki oleh peserta didik,
keterampilan ini akan sulit terwujud dengan pembelajaran sejarah yang masih
konvensional. Menurut British authority dalam Walshe (2001:108), “The point
then is to reduce the difficulty by giving writing the purpose and interest which
has often been lacking in the schools”.
Pembelajaran sejarah dengan pendekatan pedagogy kritis (critical
pedagogy) telah merubah fokus dari hanya kajian narasi besar (grand narrative)
pada masa lalu (regress) seperti yang berkembang dalam wacana sejarah nasional
yang menekankan kepada kesinambungan dan perubahan (continuity and change)
dalam garis linier kepada narasi kecil (small narrative) yang menempatkan siswa
dengan segala pengalaman historisnya menjadi bagian dari pelaku sejarah di
jamannya dengan materi pembelajaran sejarah sebagai hasil dialog antara guru
dengan siswa dan diantara keduanya dengan dokumen kurikulum (Supriatna,
2007:43). Satu diktum yang terkenal dari Carl Becker sebagai salah satu tokoh the
new history adalah : everyman his own historian (Himmelfarb, 1987:15), dapat
kita maknai bahwa setiap orang adalah sejarawan untuk dirinya sendiri. Dengan
demikian setiap orang dapat menuliskan pengalaman sejarahnya kedalam suatu
karya tulis sejarah, baik pengalaman hidupnya sendiri, masyarakat yang ada di
sekitar mereka tinggal, atau pengalaman siswa sebagai seorang yang melakukan
inkuiri sejarah. Lebih lanjut ia menguraikan bahwa “...all he hoped to do was to
8
Moh. Taofik Hidayat, 2014
PENGEMBANGAN KEMAMPUAN MENULIS BERBASIS PENGALAMAN HISTORIS SISWA MELALUI METODE INVESTIGASI KELOMPOK
Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
has been sorely neglected” (Himmelfarb, 1987:15). Sedangkan menurut
Sudartomo yang dikutip oleh Lestari (2009:199) menumbuhkan kemampuan
menulis dapat dilakukan dengan mengajak anak untuk menuliskan fenomena yang
dekat dengan anak termasuk pengalamannya sendiri yang pasti dikuasai.
Pengalaman sendiri yang dialami siswa merupakan suatu pengalaman
historis yang dapat dikembangkan dalam bentuk tulisan. Pengalaman historis
tersebut meliputi konsep-konsep lain diluar sejarah, seperti produksi, konsumsi,
distribusi, tempat atau lokasi, lingkungan masyarakat atau kebudayaan yang
dianut oleh masyarakat tersebut.
Menurut Wineburg (2006:6), sejarah memiliki potensi yang baru sebagian
saja terwujud, yaitu untuk menjadikan kita manusia yang berprikemanusian, hal
yang tidak dapat dilakukan oleh semua mata pelajaran yang lain dalam kurikulum
sekolah. Setiap generasi harus mengajukan pertanyaan mengapa penting
mempelajari masa lalu, dan mengingatkan dirinya sendiri mengapa sejarah dapat
mempersatukan kita dan bukan memecah belah kita seperti yang kita saksikan
akhir-akhir ini. Dengan mengacu pada pendapat tersebut, pengajaran sejarah
memiliki peranan yang penting dalam mempersatukan berbagai perbedaan yang
ada sehingga terbentuk satu persatuan nasional.
Pembaharuan tersebut harus diarahkan kepada pencapaian tujuan
pendidikan sejarah seperti yang diuraikan oleh Hasan (2012:35) bahwa :
... pengembangan nilai-nilai yang menopang karakter bangsa bersamaan dengan kemampuan berfikir kritis-analitis, kebiasaan membaca dan kemampuan belajar (learning skills) menjadi tujuan utama pendidikan sejarah. Pengenalan dan pemahaman sejarah masyarakat sekitarnya beserta tokoh sejarah daerah dilanjutkan dengan sejarah nasional, penghargaan terhadap jasa pahlawan, keinginan untuk mencontoh tindakan kepahlawanan adalah penting untuk membangun memory kolektif sebagai bangsa pada
peserta didik.”
Jika kita melihat pernyataan di atas, pembelajaran sejarah harus mampu
menumbuhkan kemampuan berfikir kritis dan analitis dalam diri peserta didik
serta merupakan media yang efektif dalam pewarisan nilai-nilai kebangsaan.
9
Moh. Taofik Hidayat, 2014
PENGEMBANGAN KEMAMPUAN MENULIS BERBASIS PENGALAMAN HISTORIS SISWA MELALUI METODE INVESTIGASI KELOMPOK
Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
dalam menghadapi berbagai isu kontemporer yang mereka hadapi karena pada
hakekatnya peserta didik hidup bukan untuk masa lalu, namun hidup untuk masa
kini dan masa yang akan datang dengan tantangan yang semakin berat.
Menurut Supriatna (2007:89-90), untuk pembentukan jatidiri bangsa serta
pembangunan dan pembinaan bangsa (nation and character building) paradigma
perenialisme dalam pengembangan pembelajaran sejarah masih relevan. Para
peserta didik dibekali berbagai nilai bangsa, pengalaman budaya termasuk
pengalaman sejarah yang diwariskan oleh generasi terdahulu. Melalui
penyeleksian bahan materi pembelajaran (contents), pembelajaran sejarah dapat
memainkan peranannya untuk membekali peserta didik pemahaman nilai-nilai
moral kebangsaan, cinta tanah air dan patriotisme, sekaligus melatih kemampuan
intelektual atau berpikir kritis mengenai pengalaman kolektif bangsa. Lebih lanjut
diungkapkan bahwa dengan strategi yang tepat dalam memahami nilai-nilai
sejarah, pembelajaran sejarah dapat mempertinggi sikap kritis dan daya kreatif
bangsa terutama untuk menjawab berbagai tantangan bangsa pada masa kini.
Dengan demikian filsafat perenialis saja tidak akan cukup dalam pengembangan
pembelajaran sejarah, diperlukan filsafat lain agar sejarah menjadi lebih
bermakna, dalam hal ini termasuk filsafat postmodernism.
Dalam pandangan Hasan (2010:1-2), pendidikan harus memberikan
kesempatan yang luas kepada calon anggota masyarakat (peserta didik) untuk
mempelajari, memahami, menginternalisasikan nilai-nilai hasil pengembangan
yang telah dilakukan generasi terdahulu masyarakat bangsanya. Oleh karena itu
pendidikan harus memberikan kepeduliannya dalam mengembangkan nilai-nilai
yang menjadi pendukung dari kebajikan bangsa dan jatidiri bangsa. Secara
lengkap Hasan (2012:6) merinci tujuan pendidikan sejarah sebagai bagian dari
pendidikan IPS adalah :
1. Memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang berbagai peristiwa sejarah
penting dan esensial untuk membangun memori kolektif sebagai bangsa.
2. Mengembangkan semangat kebangsaan
10
Moh. Taofik Hidayat, 2014
PENGEMBANGAN KEMAMPUAN MENULIS BERBASIS PENGALAMAN HISTORIS SISWA MELALUI METODE INVESTIGASI KELOMPOK
Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu 4. Mengembangkan rasa ingin tahu
5. Peservasi kecermelangan masa lalu
6. Membangun kejujuran, kerja keras, dan tanggung jawab
7. Mengembangkan nilai dan sikap kepahlawanan, kepemimpinan, dan inspirasi
8. Mengembangkan persahabatan dan kepedulian masyarakat
9. Mengembangkan kemampuan berkomunikasi
10. Mengembangkan kemampuan mencari, mengolah, mengemas dan
mengkomunikasikan informasi.
Dari tujuan pendidikan sejarah tersebut, salah satu tujuan yang diharapkan
dapat terwujud adalah mengembangkan kemampuan mencari, mengolah,
mengemas dan mengkomunikasikan informasi dalam diri peserta didik, hal ini
merupakan tantangan yang harus disikapi secara kritis oleh pendidik salah satunya
dengan pendekatan critical pedagogy. Kemampuan tersebut dapat terwujud jika
peserta didik memiliki daya pikir kritis dan kreatif dengan ditandai oleh besarnya
rasa ingin tahu. Dalam penelitian ini peneliti akan melihat bagaimana guru
mengimplementasikan tujuan pembelajaran sejarah tersebut kepada peserta didik
dengan menggunakan metode investigasi kelompok terhadap materi sejarah yang
lebih dekat dengan peserta didik.
Dalam pandangan Supriatna (2007:269), kajian tentang sejarah dunia yang
jauh dari lokalitas para siswa, serta sejarah nasional yang tidak mengakomodasi
karakteristik daerah setempat dapat dikembangkan secara kontekstual sesuai
dengan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh peserta didik di daerah setempat.
Dengan demikian diperlukan perubahan orientasi dari pembelajaran sejarah yang
berfokus pada sejarah dunia atau sejarah nasional kepada sejarah lokal yang
relevan dengan persoalan daerah setempat.
Menurut Hasan (2012:26), pendidikan sejarah yang selama ini selalu
bersifat nasional telah berhasil memisahkan peserta didik dari lingkungan sosial,
budaya dan sejarah masa lalu komunitasnya. Materi sejarah nasional yang standar
11
Moh. Taofik Hidayat, 2014
PENGEMBANGAN KEMAMPUAN MENULIS BERBASIS PENGALAMAN HISTORIS SISWA MELALUI METODE INVESTIGASI KELOMPOK
Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
waktu dan terkadang juga dalam ukuran geografis dengan diri peserta didik.
Akibatnya peserta didik tidak merasa memiliki ikatan emosional dengan tokoh
maupun peristiwa sejarah yang mereka pelajari. Padahal menurut Supriatna
(2007:278),
Dalam pembelajaran sejarah, setiap individu atau kelompok masyarakat dapat dipandang sebagai memiliki keunggulan dan local genius, atau
center of a scholarship, dan menjadi pusat keunggulan atau central tradition of scholarship.
Dengan demikian pembelajaran sejarah harus dapat merubah orientasi dari
persoalan yang bersifat macro menuju ke arah yang lebih micro sehingga
pelajaran sejarah menjadi lebih bermakna (meaningful) bagi para siswa sesuai
dengan karakter lokal masing-masing. Selain itu pendidikan sejarah harus mampu
mengembangkan potensi peserta didik untuk mengenal nilai-nilai bangsa yang
terus bertahan, berubah dan menjadi milik bangsa masa kini. Dengan demikian
melalui pendidikan sejarah peserta didik belajar mengenal bangsanya dan dirinya.
Melalui pembelajaran sejarah menggunakan pengalaman historis diharapkan
peserta didik merasa memiliki keterikatan dengan peristiwa sejarah yang ada di
sekitar mereka.
Melalui pendekatan sejarah ini siswa dituntut untuk mencoba melakukan
pencarian alternatif sumber pembelajaran sejarah selain dari buku atau dokumen
resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam proses pembelajarannya, peserta
didik dapat memanfaatkan berbagai sumber sejarah baik yang berupa sumber
tradisional seperti folklor, babad, hikayat, tambo, dokumen pemerintah seperti
arsip jaman kolonial, arsip pemerintah Indonesia, arsip desa, artefak, gedung
ataupun bangunan yang memiliki nilai historis bagi peserta didik. Daerah
Kadipaten, sebagai lokasi tempat tinggal siswa dan tempat lokasi sekolah berada
memiliki potensi yang masih belum dieksplorasi. Misalnya diwilayah ini terdapat
gedung-gedung tua peninggalan pemerintah kolonial Belanda, bekas pabrik gula
yang saat ini sudah beralih fungsi menjadi supermarket, rel kereta api tua, dan
12
Moh. Taofik Hidayat, 2014
PENGEMBANGAN KEMAMPUAN MENULIS BERBASIS PENGALAMAN HISTORIS SISWA MELALUI METODE INVESTIGASI KELOMPOK
Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
Kesulitan yang muncul ketika pendidik berupaya menyampaikan materi
sejarah dalam dimensi lokal (micro history) adalah sedikitnya sumber sejarah
lokal yang tersedia. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Hasan (2012:126)
yaitu:
Permasalahan besar yang dihadapi dalam mengembangkan materi sejarah lokal dalam kurikulum pendidikan sejarah ketersediaan sumber. Pendidikan sejarah, sebagaimana pendidikan lainnya, tidak mungkin dapat dilakukan dengan baik apabila sumber tidak tersedia. Tulisan-tulisan mengenai berbagai peristiwa sejarah lokal belum banyak tersedia. Tentu saja ini tantangan bagi sejarawan untuk dapat menghasilkan tulisan sejarah lokal sebagai dasar untuk mengembangkan materi pendidikan sejarah lokal.
Persoalan tersebut bukan sesuatu yang sukar jika pendidik menggunakan
pandangan postmodernism seperti pendapat Tuchman (1994) yang dikutip
Supriatna (2007:53) bahwa dalam pandangan postmodern kegiatan sehari-hari
yang biasa (mundane activities) merupakan teks sejarah. Teks sejarah tidak hanya
berupa teks tertulis melainkan juga segala praktek dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian seperti juga pandangan postcolonial, pandangan postmodern
menolak tradisi besar dan lebih memfokuskan diri pada dinamika sosial yang
lebih kecil (micro).
Persoalan lain yang ada di lapangan menunjukkan masih ada
kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan proses pembelajaran Sejarah. Salah satu kelemahan-kelemahan
dalam pembelajaran Sejarah selama ini adalah kurang mengikut sertakan peserta
didik dalam proses pembelajaran. Guru tidak mengembangkan berbagai
pendekatan maupun metode dalam pembelajaran. Pada umumnya guru masih
terbatas dalam penggunaan metode ceramah yang hanya menuntut peserta didik
untuk menghapal fakta-fakta. Kondisi tersebut bukan hanya muncul pada mata
pelajaran Sejarah, melainkan merupakan persoalan yang rumit bagi mata pelajaran
lainnya yang termasuk kedalam rumpun Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) seperti
yang diuraikan di bawah ini :
13
Moh. Taofik Hidayat, 2014
PENGEMBANGAN KEMAMPUAN MENULIS BERBASIS PENGALAMAN HISTORIS SISWA MELALUI METODE INVESTIGASI KELOMPOK
Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
IPS kurang memiliki nilai manfaat dibandingkan bidang studi lain, misalnya IPA. Padahal kenyataannya, secara intinsrik materi pembelajaran IPS memerlukan kemampuan intelektual dan motivasi yang tinggi. Hal lain yang menyebabkan pembelajaran IPS tidak menarik dan membosankan adalah karena pembelajaran IPS dianggap tidak bisa diaplikasikan untuk mengetahui lebih jauh apa yang telah dipalajari peserta didik. Sehingga pembelajaran IPS dianggap hanya untuk kepentingan sesaat tanpa ada manfaat praktis dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat dan belum menjadi nilai sosial budaya yang berkembang di lingkungan masyarakat yang menjadi sumber belajar bagi peserta didik (Al Muchtar, 2004:220).
Pada saat ini nilai sosial budaya yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat lingkungan peserta didik tidak dijadikan sumber pembelajaran IPS.
Kalaupun dilaksanakan sangat terbatas hanya sebagai bahan pelengkap tidak
merupakan inti bahasan untuk melatih kemampuan penalaran nilai, dengan
demikian menjadi kehilangan makna. Sejarah sebagai sebuah disiplin ilmu
maupun bagian dari IPS memiliki potensi yang sangat besar dalam
mengembangkan potensi peserta didik, salah satunya kemampuan menulis, namun
sayangnya hal ini belum dikembangkan secara maksimal.
Dampaknya pendidikan IPS pada umumnya, pendidikan sejarah pada
khususnya tidak mendekatkan dan mengakrabkan peserta didik dengan
lingkungan sosial budayanya, dengan demikian pendidikan IPS (Sejarah) belum
mampu berperan sebagai media untuk pengembangan kemampuan penalaran nilai
bagi peserta didik.
Masalah kedua adalah masih banyak guru yang belum memiliki
pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk memilih dan
mengaplikasikan berbagai metode mengajar ataupun pendekatan pembelajaran
yang mampu meningkatkan aktifitas, kreatifitas dalam hal ini dalam menulis
sejarah serta memberikan motivasi belajar bagi peserta didik, salah satu
diantaranya dengan penggunaan metode investigasi kelompok.
Dari aspek psikologi pembelajaran, pembelajaran dengan investigasi
kelompok bersandarkan pada psikologi kognitif yang berasumsi bahwa belajar
14
Moh. Taofik Hidayat, 2014
PENGEMBANGAN KEMAMPUAN MENULIS BERBASIS PENGALAMAN HISTORIS SISWA MELALUI METODE INVESTIGASI KELOMPOK
Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
sejumlah fakta, melainkan suatu proses interaksi antara individu dengan
lingkungannya. Perkembangan peserta didik tidak hanya terjadi pada aspek
kognitif (learning to know), tetapi juga pada aspek afektif (learning to life
together) dan psikomotor (learning to do) melalui penghayatan secara internal
terhadap masalah yang dihadapinya. Menurut Slavin (2007:215) metode
investigasi kelompok tidak akan berhasil diimlementasikan dalam lingkungan
pendidikan yang tidak mendukung dialog interpersonal atau yang tidak
memperhatikan dimensi rasa sosial dari pembelajaran di dalam kelas.
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini peneliti akan
mengkaji bagaimana pengembangan kemampuan menulis berbasis pengalaman
historis siswa melalui investigasi kelompok di Sekolah Menengah Pertama Negeri
1 Kadipaten, Kabupaten Majalengka. Adapun metode yang akan digunakan
adalah action research atau Penelitian Tindakan Kelas dengan asumsi bahwa
proses pengembangan kemampuan menulis memerlukan suatu tindakan dari
peneliti dengan bekerjasama dengan guru mitra/kolaborator di sekolah yang
peneliti jadikan sebagai lokasi penelitian.
1.2 Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah seperti yang telah dipaparkan diatas,
maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah
Pengembangan Kemampuan Menulis Berbasis Pengalaman Historis Siswa
Melalui Metode Investigasi Kelompok Di SMPN 1 Kadipaten Kabupaten
Majalengka ?”. Permasalahan tersebut kemudian peneliti uraikan dalam bentuk
pertanyaan penelitian berikut ini.
Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimanakah perencanaan pembelajaran sejarah dengan menggunakan
metode investigasi kelompok dalam upaya pengembangan kemampuan
15
Moh. Taofik Hidayat, 2014
PENGEMBANGAN KEMAMPUAN MENULIS BERBASIS PENGALAMAN HISTORIS SISWA MELALUI METODE INVESTIGASI KELOMPOK
Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
2. Bagaimanakah proses pembelajaran sejarah menggunakan metode investigasi
kelompok dalam upaya pengembangan kemampuan menulis berbasis
pengalaman historis siswa ?
3. Kendala apa yang dihadapi dalam pembelajaran sejarah menggunakan
metode investigasi kelompok dalam upaya pengembangan kemampuan
menulis berbasis pengalaman historis siswa?
4. Bagaimanakah hasil pembelajaran sejarah menggunakan metode investigasi
kelompok dalam upaya pengembangan kemampuan menulis berbasis
pengalaman historis siswa ?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
mengembangkan kemampuan menulis siswa berbasis pengalaman historis
dengan menggunakan metode investigasi kelompok.
1. Mengetahui bagaimanakah perencanaan pembelajaran sejarah dengan
menggunakan metode investigasi kelompok dalam upaya pengembangan
kemampuan menulis berbasis pengalaman historis siswa?
2. Mendeskripsikan bagaimanakah proses pembelajaran sejarah
menggunakan metode investigasi kelompok dalam upaya pengembangan
kemampuan menulis berbasis pengalaman historis siswa?
3. Mengetahui kendala yang dihadapi dalam pembelajaran sejarah
menggunakan metode investigasi kelompok dalam upaya pengembangan
kemampuan menulis berbasis pengalaman historis siswa?
4. Mendeskripsikan bagaimanakah hasil pembelajaran sejarah menggunakan
metode investigasi kelompok dalam upaya pengembangan kemampuan
menulis berbasis pengalaman historis siswa?
1.4Manfaat Penelitian
1. Memberi masukan dan informasi yang lengkap bagi guru serta sekolah
16
Moh. Taofik Hidayat, 2014
PENGEMBANGAN KEMAMPUAN MENULIS BERBASIS PENGALAMAN HISTORIS SISWA MELALUI METODE INVESTIGASI KELOMPOK
Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
mutu pembelajaran sejarah dengan menggunakan metode investigasi
kelompok berbasis pengalaman historis siswa.
2. Menambah wawasan pengetahuan akademik, terutama dalam
pembelajaran Sejarah, yang berkaitan dengan pengembangan kemampuan
menulis berbasis pengalaman historis melalui penggunaan metode
investigasi kelompok.
3. Mengembangkan kemampuan peserta didik dalam mencari, mengolah,
mengemas dan mengkomunikasikan informasi dalam bentuk karya tulis
ilmiah.
4. Memperluas wawasan pengetahuan dalam bidang studi Sejarah maupun
IPS sebagai bahan kajian dalam kegiatan MGMP di tingkat Kabupaten
Majalengka.
1.5 Penjelasan Konsep
Untuk memperjelas makna istilah-istilah dalam judul, maka akan dijelaskan
di bawah ini.
1. Kemampuan Menulis
Menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang digunakan untuk
berkomunikasi secara tidak langsung dan tidak secara tatap muka dengan orang
lain. Menulis merupakan suatu kegiatan yang produktif dan ekspresif. Menurut
Tabroni (2007:12), menulis pada dasarnya merupakan upaya mengkomunikasikan
gagasan, ide, pikiran, pendapat, opini dan lain sebagainya melalui media tertulis.
Kemampuan menulis dalam penelitian ini adalah kemampuan menulis sejarah
yang merupakan suatu kegiatan intelektual dan ini merupakan suatu cara yang
utama untuk memahami sejarah (Veyne, 1971. Tosh, 1985, dalam Sjamsuddin,
2012:121).
Lebih lanjut Sjamsuddin (2012:121), mengungkapkan bahwa Sejarawan
kutipan-17
Moh. Taofik Hidayat, 2014
PENGEMBANGAN KEMAMPUAN MENULIS BERBASIS PENGALAMAN HISTORIS SISWA MELALUI METODE INVESTIGASI KELOMPOK
Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
kutipan, catatan-catatan tetapi terutama pemikiran-pemikiran kritis, serta analisis
yang luas yang menghasilkan sintesis dari seluruh kegiatan penelitian ke dalam
sebuah penulisan yang utuh. Hal itulah yang kemudian diartikan sebagai
historiografi.
2. Pengalaman Historis Siswa
Pada dasarnya setiap siswa dapat melakukan proses sejarah atau doing
history jika guru memberikan kesempatan bagi mereka mendekonstruksi suatu
peristiwa sejarah (Supriatna, 2007:185), Becker dalam Sjamsuddin (2007:122),
mengungkapkan bahwa setiap orang (adalah) sejarawan untuk dirinya sendiri,
artinya setiap orang ‘normal’ adalah ‘sejarawan’, namun yang disebut sejarawan
sebenarnya terbatas karena termasuk suatu profesi akademik. Sedangkan
Wineburg (2006:126) memaknai pendapat Carl Becker tersebut sebagai ajakan
bagi kita untuk ikut berpikir sejarah, untuk melihat motivasi manusia dalam teks
yang kita baca. Dalam penelitian ini peneliti berpendapat bahwa setiap siswa
dapat memperoleh pengalaman sejarah dari setiap pengalaman hidup yang ia lalui.
Pengalaman historis tersebut dapat mereka peroleh dari lingkungan tempat siswa
belajar, lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat. Pengalaman historis
siswa juga dapat terbentuk ketika mereka melakukan proses inkuiri atau penelitian
sejarah, kemudian pengalaman mereka sebagai seorang sejarawan tersebut
dituangkan kedalam suatu karya historiografi.
Menurut pendapat Costa dalam (http://siswa-goblog.blogspot.com/2012/09/
pengertian-sejarah-menurut-beberapa-ahli.html) sejarah dapat didefinisikan
sebagai "record of the whole human experience". Dimana pada hakikatnya sejarah
merupakan catatan seluruh pengalaman, baik secara individu maupun kolektif
bangsa/nation dimasa lalu tentang kehidupan umat manusia. Dengan demikian
maka seluruh pengalaman hidup manusia merupakan bagian dari sejarah, adapun
pengalaman historis atau pengalaman sejarah dalam penelitian ini dapat dimaknai
sebagai segala pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh peserta didik secara
18
Moh. Taofik Hidayat, 2014
PENGEMBANGAN KEMAMPUAN MENULIS BERBASIS PENGALAMAN HISTORIS SISWA MELALUI METODE INVESTIGASI KELOMPOK
Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
3. Metode Investigasi Kelompok
Metode Pembelajaran Investigasi Kelompok (Group Investigation)
merupakan pengembangan dari pembelajaran kooperatif (cooperative learning)
yang dikembangkan oleh Roger Johnson dan Robert Slavin dengan menggunakan
strategi yang sedikit berbeda yang merupakan satu rangkaian investigasi yang
secara langsung menguji asumsi mengenai model pengajaran sosial keluarga.
Penelitian mereka kemudian dikembangkan oleh Sharan dan beberapa koleganya
yang telah meneliti banyak hal mengenai beberapa cara untuk membuat dinamika
model kerja serta pengaruhnya dalam prilaku kerja sama, hubungan antar
kelompok dan prestasi yang diperoleh (Joyce dan Weil, 2009:302-303).
Secara sederhana Investigasi Kelompok dapat diartikan sebagai satu tipe
pembelajaran dimana guru dan siswa sama-sama membangun pembelajaran.
Proses dalam perencanaan bersama didasarkan pada pengalaman masing-masing
siswa, kapasitas, dan kebutuhan. Siswa aktif berpartisipasi dalam semua aspek,
membuat keputusan untuk menetapkan arah tujuan yang mereka kerjakan. Dalam
hal ini kelompok merupakan wahana sosial yang tepat untuk proses ini.
Perencanaan kelompok merupakan salah satu metode untuk menjamin
keterlibatan siswa secara maksimal. Metode investigasi kelompok adalah
perpaduan sosial dan kemahiran berkomunikasi dengan intelektual pembelajaran
dalam menganalisis dan mensintesis. Investigasi kelompok tidak dapat
diimplementasikan dalam lingkungan pendidikan yang tidak ada dukungan dialog
dari setiap anggota atau mengabaikan dimensi afektif-sosial dalam pembelajaran
kelas (Suhaida Abdul Kadir, 2002, dalam http://zaifbio.wordpress.com