BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan infeksi
bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit TB dapat menyebar melalui droplet
orang yang terinfeksi basil TB. Bersama dengan malaria dan HIV/AIDS,
tuberkulosis menjadi salah satu penyakit yang pengendaliannya menjadi
komitmen global dalam MDGs (Dinkes Kota Medan, 2016). Menurut World
Health Organization (WHO) pada tahun 1993 menyatakan bahwa TB merupakan
suatu problema kesehatan masyarakat yang sangat penting dan serius diseluruh
dunia dan merupakan penyakit yang menyebabkan kedaruratan global (global
Emergency) (Depkes RI, 2002).
Penyakit TB menimbulkan kerugian sosial-ekonomi yang luar biasa
dikarenakan pengobatan tuberkulosis memerlukan waktu pengobatan jangka
panjang yang harus diikuti dengan manajemen kasus dan tatalaksana pengobatan
yang baik (Kementrian Kesehatan RI, 2007). TB paru dipertimbangkan sebagai
penyakit sosial, yang membutuhkan pengendalian terhadap sosial, ekonomi dan
intervensi lingkungan.
Tuberkulosis merupakan target ke-6 Millennium Development Goals
(MDGs) pada tahun 2015 yaitu dalam tujuan mengendalikan dan menurunkan
penyakit HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya termasuk penyakit
tuberkulosis. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun
penurununan TB paru di tahun 2019 dengan prevalensi sebanyak 245 per 100.000
penduduk.
Indonesia merupakan negara yang menjadi cerminan kasus TB dan salah
satu penentu peta TB di dunia. Angka penderita TB di Indonesia tiap tahunnya
belum mengalami penurunan yang bermakna. Pada tahun 2012 World Health
Organization (WHO) melaporkan Indonesia dengan peringkat keempat jumlah
penderita TB sebesar 321.000 orang. Lima negara dengan jumlah terbesar kasus
insiden pada tahun 2012 adalah India, Cina, Afrika Selatan, Indonesia dan
Pakistan (WHO, 2012). Pada tahun 2014 World Health Organization (WHO)
melaporkan Indonesia peringkat kedua setelah India dengan penderita TB terbesar
di dunia dengan jumlah kasus sebesar 10% Indonesia dan 23% India dari total
jumlah pasien TB di dunia (WHO, 2015).
Prevalensi TB paru berdasarkan diagnosis sebesar 0,4% dari jumlah
penduduk, dengan kata lain rata-rata tiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat
400 orang yang didiagnosis kasus TB paru oleh tenaga kesehatan. Menurut
provinsi, prevalensi TB paru tertinggi berdasarkan diagnosis yaitu Jawa Barat
sebesar 0,7%, DKI Jakarta dan Papua masing-masing sebesar 0,6%. Sedangkan
Provinsi Riau, Lampung, dan Bali merupakan provinsi dengan prevalensi TB paru
terendah berdasarkan diagnosis yaitu masing-masing sebesar 0,1%. Hasil
Riskesdas 2013 tersebut tidak berbeda dengan Riskesdas 2007 yang menghasilkan
Berdasarkan jumlah penduduk tahun 2010, Sumatera Utara menempati
urutan ketujuh nasional dengan jumlah TB paru tertinggi di Indonesia. Dimana
pada tahun 2010 ditemukan jumlah penderita TB paru di Sumatera Utara
sebanyak 104.992 orang. Pada tahun 2012, diperhitungkan sasaran penemuan
kasus baru TB Paru BTA (+) di Provinsi Sumatera Utara adalah sebesar 21.145
kasus, dan hasil cakupan penemuan kasus baru TB Paru BTA+ yaitu 17.459 kasus
atau 82,57%. Angka ini mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan tahun
2011 yaitu 76,57% (Dinkes Provinsi Sumatera Utara, 2016).
Di Kota Medan penemuan jumlah kasus TB paru mengalami fluktuasi.
Kota Medan merupakan yang terbesar jumlah penderita TB paru bila
dibandingkan dengan jumlah penduduk dari tiap kabupaten atau kota lainnya.
Penemuan jumlah keseluruhan kasus TB paru di Kota Medan pada tahun 2013
yaitu sebesar 6056 jumlah kasus dan jumlah BTA + adalah 3096 orang,
mengalami penurunan di tahun 2014 yaitu sebesar 5863 kasus dan 2015 yaitu
sebesar 5843 kasus (Dinkes Kota Medan, 2016).
Dalam buku Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis tahun 2014,
dijelaskan bahwa yang menjadi penyebab utama meningkatnya beban masalah TB
paru ada 8 penyebab, diantaranya adalah kemiskinan pada berbagai kelompok
masyarakat, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi dengan disparits yang
terlalu lebar, beban determinan sosial yang masih berat seperti angka
pengangguran; tingkat pendidikan; pendapatan perkapita yang masih rendah yang
berakibat pada kerentanan masyarakat terhadap TB, kegagalan program TB,
struktur umur kependudukan, besarnya masalah kesehatan lain yang bisa
mempengaruhi tingginya beban TB seperti gizi buruk dan diabetes, dampak
pandemik HIV/AIDS didunia yang akan menyebabkan terjadinya koinfeksi HIV
yang beresiko terhadap kejadian TB secara signifikan, kekebalan ganda kuman
TB terhadap obat anti TB (multidrug resistance = MDR). Dalam penelitian
Hiswani (2009), menetapkan beberapa faktor yang mempengaruhi terpaparnya
seseorang terhadap penyakit TB seperti status sosial ekonomi (kepadatan hunian,
lingkungan perumahan, lingkungan dan sanitasi tempat kerja ), status gizi, umur,
jenis kelamin, dan faktor toksis.
Determinan sosial adalah faktor yang penting dan berpengaruh terhadap
kejadian TB paru, karena secara langsung maupun tidak langsung faktor resiko
akan mempengaruhi kesehatan seseorang. Peningkatan kasus TB paru dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah faktor kondisi fisik
lingkungan rumah. Kondisi fisik lingkungan rumah juga menjadi faktor yang
memegang peranan penting terhadap penularan dan perkembangbiakan bakteri TB
paru. Rumah yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan akan kerap terkait
dengan masalah kesehatan yang berbasis lingkungan, dimana
masalah-masalah yang berbasis lingkungan masih saja menjadi masalah-masalah dan penyebab
utama kematian yang ada di Indonesia.
Hasil penelitian Fahreza (2012) dengan judul “hubungan antara kualitas
fisik rumah dan kejadian tuberkulosis paru dengan BTA+ di Balai Kesehatan Paru
Masyarakat Semarang”, ditemukan hasil analisis statistik yang didapati nilai
dengan kejadian TB paru BTA+ dan didapatkan nilai OR sebesar 45,500 yang
artinya probabilitas untuk terjadinya TB paru BTA+ pada kualitas fisik rumah
tidak sehat sekitar 45,5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kualitas fisik rumah
yang sehat.
Gambar 1.1. Jumlah Rumah Sehat yang ada di Kota Medan pada tahun 2005-2015.
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Medan tahun 2016
Dari gambar 1.1. memperlihatkan bahwa jumlah rumah sehat dari tahun
2005 hingga 2015 yang ada di Kota Medan terus mengalami peningkatan. Kondisi
ini menjelaskan bahwa keadaan cakupan rumah sehat yang ada di Kota Medan
semakin membaik dan mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Dari uraian mengenai rumah sehat dan hasil penelitian sebelumnya
mengenai pengaruh rumah sehat terhadap tuberkulosis, dapat dirumuskan adakah
ditemukan pengaruh negatif yang signifikan antara meningkatnya cakupan rumah
sehat dengan kasus penderita penyakit menular tuberkulosis. 0
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran penyakit TB paru tidak
hanya berupa faktor medis saja melainkan di pengaruhi oleh faktor non medis,
salah satu diantaranya adalah jumlah kendaraan bermotor. Kemajuan dalam
bidang teknologi memberikan dampak yang positif, salah satunya adalah
kemajuan dalam bidang transportasi. Namun dalam kenyataannya dapat
disimpulkan bahwa kemajuan dalam bidang transportasi secara umum juga
merupakan sektor yang potensial sebagai sumber pencemaran yang akan
merugikan bagi kesehatan dan lingkungan sekitar.
Pencemaran udara memberi dampak yang negatif terhadap kesehatan
manusia, hal ini dikarenakan polutan yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor.
Dari berbagai jenis polutan yang dihasilkan, CO merupakan salah satu polutan
yang paling banyak dikeluarkan oleh kendaraan bermotor. Dalam bidang
kesehatan, udara yang tercemar dapat menimbulkan insiden penyakit saluran
pernafasan salah satu diantaranya adalah penyakit tuberkulosis. Pencemaran udara
juga mampu menurunkan sistem kekebalan seseorang.
Menurut Ki-Jen Chuang (2007) dalam Nurbiantara (2010), secara umum
terjadinya gangguan akibat polusi adalah komponen biologis didalam udara yang
tercemar akan menginduksi inflamasi ataupun peradangan dan gangguan sistem
imunitas tubuh.
Sistem imunitas sangat berperan penting dalam pencegahan penyakit
menular TB paru. Menurut Hasan (2010), hanya 10 % dari yang terinfeksi basil
TB akan menderita penyakit, banyaknya basil TB paru yang masuk, virulensi dan
Pada penderita yang daya tahan tubuhnya buruk, respon imunnya buruk, akan
mempermudah kuman TB untuk berkembang dan mneyebabkan sakit.
Dikota Medan trend jumlah kendaraan bermotor dari tahun 2005 hingga
2015 terus mengalami peningkatan. Hal ini akan berpotensi untuk menyebabkan
pencemaran udara yang berdampak pada sistem imun seseorang dan membantu
penyebaran penyakit menular tuberkulosis. Trend peningkatan jumlah kendaraan
bermotor di Kota Medan dapat dilihat pada gambar 1.2. berikut :
Gambar 1.2. Jumlah Kendaraan Bermotor di Kota Medan tahun 2005-2015
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Medan tahun 2016
Dari uraian mengenai jumlah kendaraan bermotor dan hasil penelitian
sebelumnya mengenai pengaruh jumlah kendaraan bermotor terhadap
tuberkulosis, dapat dirumuskan adakah ditemukan pengaruh positif yang 0
1000000 2000000 3000000 4000000 5000000 6000000 7000000 8000000
signifikan antara meningkatnya jumlah kendaraan bermotor dengan kasus
penderita penyakit menular tuberkulosis.
Selain faktor rumah sehat dan jumlah kendaraan bermotor diatas, terdapat
faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya penularan penyakit menular TB
paru yaitu jumlah kepadatan penduduk. Wilayah dengan kepadatan penduduk
yang tinggi akan mempermudah dalam penularan penyakit TB paru.
Hasil penelitian Aditama (2012) dengan judul “analisis distribusi dan
faktor resiko tuberkulosis paru melalui pemetaan berdasarkan wilayah di
Puskesmas Candilama Semarang triwulan terakhir tahun 2012”, ditemukan bahwa
kasus distribusi penyakit TB paru tertinggi di Puskesmas Candilama Semarang
triwulan terakhir pada tahun 2012 terdapat di Kelurahan Jomblang yaitu 44%
dengan jumlah 17 kasus, hal ini disebabkan Kelurahan Jomblang merupakan
wilayah dengan tingkat kepadatan penduduknya paling padat dan dan wilayah
yang paling luas. Hasil penelitian Munch (2003) yang dilakukan di Afrika
tepatnya disuatu distrik yang ada di Cape Town dengan judul “tuberculosis
transmission patterns in a high-incidence area” memperlihatkan bahwa
ditemukannya hubungan spasial antara kepadatan penduduk, tidak mempunyai
pekerjaan dan jumlah bar dengan kejadian TB.
Di Sumatera Utara pada tahun 2015, kota dengan kepadatan paling tinggi
terdapat pada Kota Medan dengan jumlah 8,342 jiwa/km². Hal ini dikarenakan
jumlah penduduk Kota Medan yang juga merupakan kota dengan jumlah
Gambar 1.3 Analisis Kepadatan Penduduk Kota Medan pada tahun 2005 hingga 2015.
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Medan tahun 2016
Dari gambar 1.3. memperlihatkan bahwa kepadatan penduduk di Kota
Medan dari tahun 2005 sampai tahun 2015 terus mengalami peningkatan. Kondisi
ini menjelaskan bahwa setiap tahunnya di Kota Medan trend kepadatan penduduk
mengalami kenaikan. Kepadatan penduduk mampu mempengaruhi kualitas hidup
masyarakat. Hal ini dikarenakan adanya kepadatan penduduk yang tinggi akan
menimbulkan berbagai masalah, tidak hanya masalah medis namun juga
masalah-masalah yang non medis seperti kemiskinan, lapangan pekerjaan dan lainnya.
Masalah-masalah yang timbul ini akan berdampak pada penurunan kualitas hidup
masyarakat. 7000 7200 7400 7600 7800 8000 8200 8400
Dari uraian mengenai kepadatan penduduk dan hasil penelitian
sebelumnya mengenai pengaruh kepadatan penduduk terhadap tuberkulosis, dapat
dirumuskan adakah ditemukan pengaruh positif yang signifikan antara
meningkatnya kepadatan penduduk dengan kasus penderita penyakit menular
tuberkulosis
Selain faktor rumah sehat, jumlah kendaraan bermotor dan kepadatan
penduduk, terdapat faktor non medis lain yang membantu peningkatan penyakit
TB paru yakni faktor inflasi. Negara yang memiliki good governance yang baik
akan mengupayakan untuk terus meningkatkan SDM dan mengupayakan untuk
menjaga stabilitas inflasi agar tidak mempengaruhi daya beli. Masyarakat yang
sehat dalam suatu negara akan memiliki produktif yang baik dan akan cenderung
memiliki life expectancy yang lebih panjang. Semakin produktif suatu masyarakat
dapat menjadi akumulasi modal yang berdampak pada pertumbuhan suatu negara.
Tingkat inflasi dapat digunakan untuk menyusun anggaran yang bersifat
incremental berdasarkan dari besarnya realisasi anggaran tahun ini untuk
menetapkan nilai anggaran tahun depan dengan menyesuaikan tingkat inflasi atau
jumlah penduduk, maka dari itu inflasi menentukan berapa anggaran yang akan di
berikan (BPKP,2007). Selain mempengaruhi anggaran kesehatan, inflasi yang
tinggi akan berdampak pada pelayanan kesehatan, hal ini dikarenakan apabila
inflasi meningkat maka akan terjadi kenaikan harga alat dan obat yang
diperuntukkan mengatasi masalah kesehatan dan akan menurunkan kemampuan
Tingkat inflasi mencerminkan kenaikan harga barang-barang secara
umum. Dinamika dari perkembangan besarnya laju inflasi yang terjadi di Kota
Medan dalam kurun waktu antar tahun 2000-2001 relatif sangat flutuatif, hal ini
dikarenakan rata-rata dalam kurun waktu 12 tahun terakhir mencapai angka
8,48%. Pada tahun 2001 angka inflasi Kota Medan masih sangat tinggi yakni
lebih dari satu digit 15,51% dan berada diatas rata-rata inflasi nasional (Prawidya,
2010).
Gambar 1.4 Analisis Inflasi Kota Medan pada Tahun 2005 hingga 2015.
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Medan tahun 2016
Dari gambar 1.4. memperlihatkan bahwa fenomena inflasi di Kota Medan
dari tahun 2005 sampai tahun 2015 terus berfluktuasi. Hal ini menggambarkan
bahwa di Kota Medan meskipun dengan persentasi yang berbeda, namun setiap
tahunnya di Kota Medan selalu mengalami inflasi. 0
5 10 15 20 25
Dari uraian dan gambaran yang telah di uraikan mengenai pengaruh rumah
sehat, jumlah kendaraan bermotor, kepadatan penduduk dan inflasi terhadap kasus
penderita TB paru diatas, maka penulis tertarik untuk membuat sebuah kajian
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tuberkulosis paru di Kota Medan
yang penulis tuangkan ke dalam sebuah penelitian yang berjudul “Analisis
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penderita Tuberkulosis (TB) Paru di Kota Medan Tahun 2005-2015”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, maka permasalahan
yang akan dianalisis di dalam penelitian ini adalah apakah terdapat pengaruh
variabel rumah sehat, jumlah kendaraan bermotor, kepadatan penduduk dan inflasi
terhadap jumlah penderita TB paru di Kota Medan ?
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
jumlah penderita TB paru di Kota Medan.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pengaruh rumah sehat terhadap jumlah penderita TB
2. Untuk mengetahui pengaruh jumlah kendaraan bermotor terhadap jumlah
penderita TB paru di Kota Medan.
3. Untuk mengetahui pengaruh kepadatan penduduk terhadap jumlah
penderita TB paru di Kota Medan.
4. Untuk mengetahui pengaruh inflasi terhadap jumlah penderita TB paru di
Kota Medan.
1.4. Hipotesis Penelitian
1. Variabel rumah sehat berpengaruh signifikan terhadap jumlah penderita
TB paru di Kota Medan.
2. Variabel jumlah kendaraan bermotor berpengaruh signifikan terhadap
jumlah penderita TB paru di Kota Medan.
3. Variabel kepadatan penduduk berpengaruh signifikan terhadap penderita
jumlah TB paru di Kota Medan.
4. Variabel inflasi berpengaruh signifikan terhadap jumlah penderita TB paru
di Kota Medan.
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat antara lain :
1. Dengan mengetahui pengaruh masing-masing faktor yang diteliti, dapat
digunakan sebagai bahan informasi dan masukan untuk pemerintah Kota
Medan dalam penentu kebijakan untuk upaya pengendalian penyakit TB
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan sumbangan
ilmiah terhadap perkembangan Ilmu Kesehatan Masyarakat yang berkaitan
dengan kajian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi TB paru di
Kota Medan dan referensi dalam melakukan penelitian kuantitatif