• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tawuran Antar Pelajar yang Mengakibatkan Hilangnya Nyawa Orang Lain dari Perspektif Kriminologi dan Hukum Pidana (Studi Terhadap 3 (Tiga) Putusan Pengadilan Negeri)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tawuran Antar Pelajar yang Mengakibatkan Hilangnya Nyawa Orang Lain dari Perspektif Kriminologi dan Hukum Pidana (Studi Terhadap 3 (Tiga) Putusan Pengadilan Negeri)"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Di era globalisasi ini seringkali terdengar terjadinya tindakan kriminalitas

yang menyebabkan banyak orang merasa takut dan hidupnya tidak nyaman.

Kriminalitas merupakan segala macam bentuk tindakan dan perbuatan yang

merugikan secara ekonomis dan psikologis yang melanggar hukum yang berlaku

dalam negara Indonesia serta norma-norma sosial dan agama. Dapat diartikan

bahwa, tindak kriminalitas adalah segala sesuatu perbuatan yang melanggar

hukum dan melanggar norma-norma sosial, sehingga masyarakat menentangnya.4

Masalah kriminalitas merupakan bagian dari masalah kejahatan juga.

kejahatan di kota-kota besar seperti Jakarta dan kota-kota besar lainnya di

Indonesia tidak hanya meningkat secara kuantitas tetapi juga kualitas. Pelaku

Kejahatan sudah semakin beragam dan meluas, sampai kalangan terdidik,

pelajar/mahasiswa dan bahkan anak-anak di bawah umur. Dari segi kualitasnya,

kejahatan sudah jauh semakin meningkat baik tingkat kekejaman maupun

cara-cara atau teknik dan alat yang digunakan serta keberanian atau kenekatan dalam

melakukan operasi yang tidak jarang sampai menimbulkan korban jiwa, sehingga

aparatur pemerintah atau keamanan tampak dengan serius meningkatkan

“kamtibnas” (keamanan dan ketertiban masyarakat) untuk mengatasi gangguan

kejahatan dirasakan semakin memprihatinkan masyarakat.5

4

Kartono, Patologi Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hal. 10. 5

(2)

Tindak kriminal terjadi dimana-mana misalnya, di tempat umum, di

sekolah, perguruan tinggi, dan banyak lagi tempat-tempat yang tidak dapat

disebutkan satu persatu. Tindak kriminal biasanya dilakukan oleh orang dewasa,

namun sekarang ini tindak kriminal tak pandang bulu, semua kalangan dari segala

umur dari yang kecil, muda, hingga dewasa dapat melakukan tindak kriminal.

Anak-anak adalah sumber potensial dari suatu negara yang besar. Apabila

mereka gagal untuk menyumbangkan dharma baktinya kepada kesejahteraan

umum, atau yang lebih menyedihkan lagi bila mereka hanya menjadi perusak dan

penghalang, maka masyarakat tidak akan mengalami kemajuan bahkan sebaliknya

hanya mendapatkan kehancuran. Kejahatan menyebabkan penderitaan pribadi

maupun penderitaan masyarakat. Peningkatan kenakalan remaja merupakan

ancaman serius bagi masa depan suatu negara.6

Kejahatan yang dilakukan oleh anak umumnya disebut dengan kenakalan

anak atau juvenile delinquency, yang berasal dari juvenile artinya muda, anak-anak,

anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat- sifat khas pada periode remaja,

sedangkan delinquency artinya berperilaku menyimpang, terabaikan/ mengabaikan,

yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, a-sosial, kriminal, pelanggaran

aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana,

dursila, dan lain- lain. Peningkatan kenakalan remaja merupakan ancaman serius

bagi masa depan suatu negara.7

Salah satu bentuk tindak kriminal yang merupakan bagian dari kenakalan

remaja itu di antaranya adalah tawuran pelajar. Fenomena tawuran antar sekolah

6

Ibid., hal. 23. 7

(3)

yang akhir-akhir ini sering terjadi dengan melibatkan siswa-siswa antar sekolah

baik di tingkat SMA maupun SMP menunjukkan bahwa ada yang tidak sesuai

dengan cita-cita dari pendidikan nasional di negeri ini. Tawuran antar pelajar

maupun tawuran antar remaja semakin menjadi-jadi semenjak terciptanya

geng-geng sekelompok anak muda. Mereka sudah tidak merasa bahwa perbuatan

tawuran yang dilakukan sangatlah tidak terpuji dan bisa mengganggu ketenangan

dan ketertiban masyarakat. Sebaliknya mereka merasa bangga jika masyarakat itu

takut dengan geng/ kelompoknya. Perbuatan mereka dapat mengakibatkan luka

parah bahkan kematian.

Tawuran antar pelajar dilakukan oleh para remaja sehingga perilaku ini

merupakan bagian dari kenakalan anak/remaja. Anak remaja merupakan masa

seorang anak mengalami perubahan cepat dalam segala bidang, perubahan tubuh,

perasaan, kecerdasan, sikap sosial dan kepribadian. Masa remaja adalah masa

goncang karena banyaknya perubahan yang terjadi dan tidak stabilnya emosi yang

kadang-kadang menyebabkan timbulnya sikap dan tindakan yang oleh orang

dewasa dinilai perbuatan nakal.8

J. Pikunas dan R.J Havighurts menyatakan bahwa Remaja Dini (anak)

mempunyai karakteristik kejiwaan antara lain : (a) sibuk menguasai tubuhnya,

karena ketidakseimbangan postur tubuhnya, kekurangnyamanan tubuhnya; (b)

mencari identitas dalam keluarga; (c) kepekaan sosial tinggi, solidaritas pada

teman tinggi, dan cenderung mencari popularitas. Dan pada fase ini ia sibuk

8

(4)

mengorganisasikan dirinya, mulai mengalami perubahan dalam sikap; (d) minat

keluar rumah tinggi, kecenderungan untuk “trial and error” tinggi.9

Data KPAI menunjukkan bahwa jumlah kekerasan antar siswa yang

meningkat tiap tahunnya. Sepanjang tahun 2013 total telah terjadi 255 kasus

kekerasan yang menewaskan 20 siswa di seluruh Indonesia. Jumlah ini hampir

dua kali lipat lebih banyak dari tahun 2012 yang mencapai 147 kasus dengan

jumlah tewas mencapai 17 siswa. Tahun 2014 lalu, Komisi Nasional Perlindungan

Anak sudah menerima 2.737 kasus atau 210 setiap bulannya termasuk kasus

kekerasan dengan pelaku anak-anak yang ternyata naik hingga 10 persen. Komisi

Nasional Perlindungan Anak bahkan memprediksi tahun 2015 angka kekerasan

dengan pelaku anak-anak, termasuk tawuran antar siswa akan meningkat sekitar

12-18 persen.10

Dari pemberitaan surat kabar nasional yang dikompilasi KPAI selama

tahun 2007, dari 555 kekerasan terhadap anak yang muncul surat kabar, 11,8%

terjadi di sekolah. Ketika dengan metode yang sama dilakukan pada tahun 2008,

angkanya tidak menurun, tetapi malahan meningkat menjadi 39%. Angka-angka

ini senada dengan pengaduan yang diterima KPAI, bahwa kekerasan terhadap

anak di sekolah masih saja berlangsung, dari sekadar pelecehan kata-kata,

kekerasan fisik, sampai pelecehan seksual, bahkan beberapa di antaranya

menyebabkan kematian.11

9

Paulus Hadisuprapto, Juvenile Deliquency, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 10. 10

Wira Anoraga, Pendidikan Kian Loyo, diakses dari http://indonesianreview.com/wira-anoraga/pendidikan-kian-loyo pada tanggal 18 Mei 2016 pada pukul 15.40WIB.

11

(5)

Beberapa praktik tawuran antar pelajar di Indonesia seperti di Kabupaten

Bogor, Jawa Barat antara SMA Wiyata Karisma dengan SMK Mensin di

Kecamatan Kemang yang menewaskan satu orang. Korban meninggal dunia

bernama Ade Sudrajat Al Ade merupakan pelajar dari SMA Wiyata Karisma yang

berusia 16 (enam belas) tahun. Korban tewas akibat bacokan senjata tajam pada

pelipis sebelah kanan. Saat ditemukan kondisi korban tersungkur di jalanan

dengan celurit masih menempel di pelipis korban. Tawuran ini terjadi saat pelajar

SMA Wiyata Karisma yang berjumlah 15 (lima belas) orang dihadang di depan

Gang Masjid Jampang oleh siswa SMK Mensin. Pertemuan antara dua sekolah

tersebut akhirnya memicu terjadinya tawuran dengan menggunakan senjata tajam,

hingga mengakibatkan korban meninggal dunia. Selain itu, pada tahun 2013,

tepatnya bulan November, seorang pelajar SMP Telaga Kautsa Kecamatan

Cibungbulang bernama Muhammad Mahdor tewas setelah ditikam oleh pelajar

dari SMP Pandu. Akibatnya, tiga pelajar SMP Pandu Cibungbulang menjadi

tersangka dalam kasus tawuran ini.12

Aksi tawuran antar pelajar juga pernah terjadi di Desa Tambun,

Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, tepatnya pada Juni 2016. Akibat

aksi ini, seorang pelajar kelas 1 SMP ditemukan tewas mengenaskan di pinggir rel

kereta api. Korban tewas bernama Mohamad Rafi tersebut menderita luka tusuk di

bagian dada kanan dan luka sabet di siku tangan kanannya. Setelah tawuran antar

12

(6)

pelajar itu dibubarkan, warga dan rekan korban mendapati Rafi telah tergeletak di

lokasi dengan luka tusuk hingga akhirnya meninggal dunia.13

Berbagai kasus tawuran antar pelajar yang menyebabkan hilangnya nyawa

orang lain ini menunjukkan tingginya angka kekerasan di dunia pelajar.

Kekerasan yang terjadi ini telah melibatkan pelajar, bukan hanya sebagai pelaku

melainkan juga sebagai korban. Berbagai kasus tawuran ini menimbulkan

pertanyaan tentang apa yang menjadi pemicu atau penyebab terjadinya tawuran

atau perkelahian antar kelompok tersebut.

Dengan menyadari bahwa anak melakukan perbuatan salah tidak

sepenuhnya dengan kesadarannya, tetapi sesungguhnya merupakan korban dari

orang-orang sekitarnya dan lingkungan sosialnya, semestinya pemenjaraan hanya

dilakukan sebagai upaya terakhir. Oleh sebab itu, penting untuk mengetahui

bagaimana kebijakan penanggulan terhadap tawuran antar pelajar, dimana selain

diadili, anak juga harus dilindungi agar tidak semakin jauh terjebak dalam

vandalisme.

Oleh sebab itu, maka penulis tertarik untuk mengetahui secara lebih

mendalam tentang faktor penyebab terjadinya antar pelajar, kebijakan

penanggulangan terhadap tawuran antar pelajar dan penerapan hukum pidana

terhadap tawuran antar pelajar yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain,

yang secara khusus mengambil judul : “TAWURAN ANTAR PELAJAR

YANG MENYEBABKAN HILANGNYA NYAWA ORANG LAIN DARI

13

(7)

PERSPEKTIF KRIMINOLOGI DAN HUKUM PIDANA (STUDI

PUTUSAN 3 (TIGA) PUTUSAN PENGADILAN NEGERI)”

B. Perumusan Masalah

1. Apa yang menjadi Faktor Penyebab Terjadinya Tawuran Antar Pelajar?

2. Bagaimana Kebijakan Penanggulangan Terhadap Tawuran Antar Pelajar?

3. Bagaimana Penerapan Hukum Pidana terhadap Tawuran Antar Pelajar

yang Menyebabkan Hilangnya Nyawa Orang Lain?

C. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui apa-apa saja yang menjadi faktor penyebab terjadinya

tawuran antar pelajar yang terjadi di Indonesia.

2. Untuk memahami bagaimana kebijakan penanggulangan terhadap tawuran

antar pelajar baik kebijakan penal maupun kebijakan non penal.

3. Untuk mengetahui penerapan hukum pidana terhadap tawuran antar

pelajar yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain.

D. Maanfaat Penelitian

Adapun manfaat penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Secara teoritis, penelitian dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut untuk

melahirkan konsep ilmiah yang diharapkan dapat memberikan sumbangan

bagi perkembangan hukum pidana di Indonesia.

2. Secara praktis, penulisan ini dapat menjadikan sumber pemikiran dan

(8)

dapat mengetahui permasalahan tentang kenakalan anak yang merebak

dimasyarakat ini.

E. Keaslian Penulisan

Sebelum melakukan penelitian ini telah ada peninjauan terhadap

perpustakaan fakultas hukum Universitas Sumatera Utara, apakah ada sebelumnya

yang telah melakukan penelitian dengan objek yang sama dan setelah ditinjau

tidak ada penelitian yang sama tentang tawuran antar pelajar yang menyebabkan

hilangnya nyawa orang lain. Oleh karena itu penelitian ini asli tanpa ada meniru

dari skripsi lain.

F. Tinjauan Pustaka

1. Kriminologi dan Hukum Pidana

1.1. Pengertian Kriminologi

Secara etimologis, kriminologi (criminology) berasal dari kata crimen dan

logos artinya sebagai ilmu pengetahuan tentang kejahatan. Kriminologi sebagai

bidang pengetahuan ilmiah telah mencapai usia lebih dari 1 (satu) abad, dan

selama itu pula mengalami perkembangan perspektif, paradigma, aliran dan

mazhab yang sebagai keseluruhan membawa warna tersendiri bagi pembentukan

konsep, teori serta metode dalam kriminologi.14

Menurut Bonger, kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan

menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya (kriminologi teoritis atau murni).

Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan dari padanya di samping itu disusun

kriminologi praktis. Kriminologi teoritis adalah ilmu pengetahuan yang

14

(9)

berdasarkan pengalaman yang seperti ilmu pengetahuan lainnya yang sejenis,

memperhatikan gejala-gejala dan berusaha menyelidiki sebab-sebab dari gejala

tersebut (etiologi) dengan cara-cara yang ada padanya. Contoh patologi sosial

(penyakit masyarakat), kemiskinan, anak jadah, pelacuran, geandangan, perjudian,

alkoholisme, narkotika dan bunuh diri.15

Bonger membagi kriminologi menjadi kriminologi murni dan terapan.16

Kriminologi murni, yaitu:

Noach mengatakan kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang

menyelidiki gejala-gejala kejahatan dan tingkah laku yang tidak senonoh,

sebab-musabab serta akibatnya.17

Pendapat ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh J. Constant. J.

Constant melihat kriminologi sebagai suatu pengetahuan pengalaman yang

bertujuan menentukan faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan dan

penjahat. Dalam hal ini, diperhatikan baik faktor-faktor sosiologis dan ekonomis,

maupun faktor-faktor psikologis individu.18

15

Abintoro Prakoso, Kriminologi dan Hukum Pidana, Laksbang Grafika, Yogyakarta, 2013, hal. 11.

(10)

A. E. Wood mengatakan bahwa istilah kriminologi meliputi keseluruhan

pengetahuan yang diperoleh dari teori atau pengalaman yang berhubungan dengan

kejahatan dan penjahat, didalamnya termasuk reaksi-reaksi dari kehidupan

bersama atas kejahatan dan penjahat.19

Kriminologi itu suatu gabungan (complex) ilmu-ilmu lain, yang dapat

disebut ilmu bagian (deelwetenschap) dari kriminologi. Kriminologi adalah ilmu

yang menyelidiki dan membahas asal-usul kejahatan (etiologi kriminal, criminele

aetiologie), kriminologi lahir pada pertengahan abad XIX. Pada masa itu ada

beberapa ahli yang menaruh perhatian khusus pada manusia yang melanggar

norma-norma sosial tertentu dan tempat manusia yang melanggar norma-norma

sosial itu di dalam masyarakat. Juga diselidiki tindakan-tindakan apa yang harus

dimbil untuk mencegah dan mengurangi terjadinya kejahatan.20

1.2. Pengertian Hukum Pidana

Beberapa pendapat pakar hukum mengenai Hukum Pidana, antara lain

sebagai berikut :

a. Pompe, menyatakan bahwa Hukum Pidana adalah keseluruhan aturan

ketentuan hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan

aturan pidananya.21

b. Apeldoorn, menyatakan bahwa Hukum Pidana dibedakan dan diberikan

arti:

(11)

Hukum Pidana materiil yang menunjuk pada perbuatan pidana dan yang

oleh sebab perbuatan itu dapat dipidana, dimana perbuatan pidana itu

mempunyai dua bagian. Yaitu:

i. Bagian objektif merupakan suatu perbuatan atau sikap yang

bertentangan dengan hukum pidana positif, sehingga bersifat melawan

hukum yang menyebabkan tuntutan hukum dengan ancaman pidana

atas pelanggarannya.

ii. Bagian subjektif merupakan kesalahan yang menunjuk kepada pelaku

untuk dipertanggungjawabkan menurut hukum. Hukum pidana formal

yang mengatur cara bagaimana hukum pidana materiil dapat

ditegakkan.22

c. W.L.G Lemaire

Hukum pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi

keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang)

telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu

penderitaan yang bersifat khusus. Hukum pidana itu merupakan suatu

sistem norma-norma yang menentukanterhadap tindakan-tindakan yang

mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana

terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam

keadaan-keadaan bagaimana hukum itu dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan

tersebut.23

(12)

Hukum Pidana adalah suatu keseluruhan dari asas-asas dan peraturan-peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu masyarakat hukum umum lainnya, dimana mereka itu sebagai pemelihara dari ketertiban hukum umum telah melarang dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat melanggar huku dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan-peraturannya dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa

hukuman.24

1.3. Hubungan Kriminologi dan Hukum Pidana

Hubungan antara Kriminologi dan Hukum Pidana yang saat ini

masing-masing sudah merupakan suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Hukum Pidana

adalah teori mengenai aturan-aturan atau norma-norma, sedangkan kriminologi

adalah teori tentang gejala hukum.25

Kriminologi lebih mengutamakan tindakan preventif oleh karena itu selalu

mencari sebab-sebab timbulnya suatu kejahatan baik dibidang ekonomi, sosial,

budaya, hukum serta faktor alamiah seseorang, dengan demikian dapat

memberikan break through yang tepat serta hasil yang memuaskan. Kriminologi

lebih banyak menyangkut masalah teori yang dapat mempengaruhi badan

pembentuk undang-undang untuk menciptakan suatu undang-undang yang sesuai

dengan rasa keadilan masyarakat serta mempengaruhi pula hakim di dalam

menjatuhkan vonis kepada tertuduh.26

Hukum pidana (criminal law) sebagai disiplin ilmu normatif atau

normative dicipline yang mempelajari kejahatan dari segi hukum, atau

mempelajari aturan tentang kejahatan. Dengan perkataan lain mempelajari tentag

tindakan yang dengan tegas disebut oleh peraturan perundang-undangan sebagai

kejahatan atau pelanggaran, yang dapat dikenai hukuman (pidana). Apabila belum

(13)

ada peraturan perundang-undangan yang memuat tentang hukuman yang dapat

dijatuhkan pada penjahat atau pelanggar atas tindakannya, maka tindakan yang

bersangkutan bukan tindakan yang dapat dikenai hukuman (bukan tindakan jahat

atau bukan pelanggaran). Pandangan ini bersumber pada asas Nullum delictum,

nulla poena sine praevia lege poenali.27

Keduanya bertemu dalam kejahatan yaitu tingkah laku atau perbuatan

yang diancam pidana. Perbedaan hukum pidana dan kriminologi terletak pada

obyeknya, yaitu obyek utama hukum pidana ialah menunjuk kepada apa yang

dapat dipidana menurut norma-norma hukum yang berlaku, sedangkan perhatian

kriminologi tertuju kepada manusia yang melanggar hukum pidana dan

lingkungan manusia-manusia.28

Adapun perbedaan tersebut, terdapat hubungan saling bergantung atau ada

interaksi antara hukum pidana dan kriminologi. Beberapa Hubungan antara

hukum pidana dan kriminologi adalah sebagai berikut:

a. Hukum pidana menganut sistem yang memberi kedudukan penting bagi

kepribadian penjahat dan menghubungkannya dengan sifat dan

berat-ringannya (ukuran) pemidanaannya.29

b. Hukum pidana dan kriminologi memiliki persamaan persepsi bahwa

masyarakat luas adalah bagian dari obyek pengaturan oleh kekuasaan

negara bukan subyek (hukum) yang memiliki kedudukan yang sama

dengan negara.30

27

(14)

c. Hukum pidana dan kriminologi masih menempatkan peranan negara

lebih dominan daripada peranan individu dalam menciptakan ketertiban

dan keamanan sekaligus sebagai perusak ketertiban dan keamanan itu

sendiri.31

Walaupun hubungan antara hukum pidana dan kriminologi era sekali,

namun sebagai suatu ilmu pengetahuan yang mandiri, kriminologi tidak begitu

tergantung pada nilai-nilai hukum pidana. Hubungan yang erat dengan

kriminalitas merupakan syarat utama sehingga berlakunya norma-norma hukum

pidana dapat diawasi oleh kriminologi.32

2. Tindak Pidana dan Unsur-unsur Tindak Pidana

2.1 Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum

pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Para ahli hukum mengemukakan istilah

yang berbeda-beda dalam upayanya memberikan arti dari strafbaar feit.33

Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa

Latin yakni kata delictum. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa34

Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan

(15)

b. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh

undang-undang

c. Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat

dipertanggungjawabkan

Pengertian Tindak Pidana penting dipahami untuk mengetahui unsur-unsur

yang terkandung di dalamnya. Unsur-unsur tindak pidana ini dapat menjadi

patokan dalam upaya menentukan apakah perbuatan seseorang itu merupakan

tindakan pidana atau tidak.36

Barda Nawawi Arief menyebutkan, bahwa di dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (Penulisan selanjutnya Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum

Pidana disingkat menjadi KUHP) (WvS) hanya ada asas legalitas (Pasal 1 KUHP)

yang merupakan “landasan yuridis” untuk menyatakan suatu perbuatan (feit)

sebagai perbuatan yang dipidana (Strafbaarfeit). Namun apa yang dimaksud

dengan “Strafbaarfeit tidak dijelaskan. Jadi tidak ada pengertian/batasan yuridis

tentang tindak pidana.37

Tidak adanya pengertian/batasan yuridis tentang tindak pidana

menimbulkan beberapa pengertian dari tindak pidana (strafbaarfeit), berikut

beberapa pengertian menurut para ahli mengenai tindak pidana (strafbaarfeit):

a. Mulyatno, menerjemahkan istilah strafbaar feit dengan perbuatan pidana.

Menurut beliau istilah “perbuatan pidana” menunjuk kepada makna

adanya suatu kelakuan manusia yang menimbulkan akibat tertentu yang

(16)

yang dapat berbuat dan hasilnya disebut perbuatan itu adalah hanya

manusia.38

b. Menurut W.P.J Pompe, suatu strafbaar feit (defenisi menurut hukum

positif) itu sebenarnya adalah tidak lain dari pada suatu “tindakan yang

menurut sesuatu rumusan Undang-undang telah dinyatakan sebagai

tindakan yang dapat dihukum”. Pompe mengatakan, bahwa menurut teori

(defenisi menurut teori) strafbaar feit itu adalah perbuatan, yang bersifat

melawan hukum, yang dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana.

Untuk penjatuhan pidana tidak cukup, dengan adanya tindak pidana, akan

tetapi selain itu harus ada orang yang dapat dipidana.39

c. Menurut H.B. Vos, strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang

diancam pidana oleh undang-undang.40

d. Menurut R. Tresna, peristiwa pidana itu adalah sesuatu perbuatan atau

rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan Undang-undang

atau peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan

tindakan penghukuman. R. Tresna menyatakan, dapat diambil sebagai

patokan bahwa peristiwa pidana itu harus memenuhi syarat-syarat berikut:

1) Harus ada suatu perbuatan manusia;

2) Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam

ketentuan hukum;

3) Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat yaitu orangnya

(17)

4) Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum;

5) Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumnya dalam

Undang-undang.41

e. Wirjono Prodjodikoro, menyatakan tindak pidana berarti suatu perbuatan

yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana.42

f. J. Baumann dalam Sudarto merumuskan, bahwa tindak pidana merupakan

perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan

dilakukan dengan kesalahan.43

2.2 Unsur-unsur Tindak Pidana

Setelah mengetahui defenisi dan pengertian yang lebih mendalam dari

tindak pidana itu sendiri, maka di dalam tindak pidana tersebut terdapat

unsur-unsur tindak pidana, yaitu:44

a. Unsur objektif

Unsur yang terdapat di luar si pelaku. Unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan di mana tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan. Terdiri dari :

1) Sifat melanggar hukum

2) Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai pegawai negeri di

dalam kejahatan menurut pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas didalam kejahatan menurut pasal 398 KUHP.

3) Kausalitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab

suatu kenyataan sebagai akibat.

1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).

(18)

2) Maksud pada suatu percobaan, seperti ditentukan dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP.

3) Macam-macam maksud seperti terdapat dalam kejahatan-kejahatan

pencurian, penipuan, pemerasan, dan sebagainya.

4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam Pasal 340

KUHP, yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu.

5) Perasaan takut seperti terdapat di dalam Pasal 308 KUHP

Menurut Moelyatno, unsur atau elemen perbuatan pidana terdiri dari:45

a. Kelakuan dan akibat (perbuatan)

Misalnya pada Pasal 418 KUHP, jika syarat seorang PNS tidak

terpenuhi maka secara otomatis perbuatan pidana seperti yang dimaksud

pada pasal tersebut tidak mungkin ada, jadi dapat dikatakan bahwa

perbuatan pidana pada pasal 418 KUHP ini ada jika pelakunya adalah

seorang PNS.

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan

Misal pada Pasal 160 KUHP, ditentukan bahwa penghasutan itu

harus dilakukan di muka umum, jadi hal ini menentukan bahwa keadaan

yang harus menyertai perbuatan penghasutan tadi adalah dengan dilakukan

di muka umum.

c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana

Maksudnya adalah tanpa suatu keadaan tambahan tertentu seorang

terdakwa telah dianggap melakukan perbuatan pidana yang dapat dijatuhi

pidana, tetapi dengan keadaan tambahan tadi ancaman pidananya lalu

diberatkan. Misalnya pada pasal 351 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan

diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan,

tetapi jika penganiayaan tersebut menimbulkan luka berat ancaman

45

(19)

pidananya diberatkan menjadi lima tahun dan jika menyebabkan kematian

menjadi tujuh tahun.

d. Unsur melawan hukum yang objektif

Unsur melawan hukum yang menunjuk kepada keadaan lahir atau

objektif yang menyertai perbuatan.

e. Unsur melawan hukum yang subjektif

Unsur melawan hukum terletak di dalam hati seseorang pelaku

kejahatan itu sendiri. Misalnya pada pasal 362 KUHP, terdapat kalimat

“dengan maksud” kalimat ini menyatakan bahwa sifat melawan hukumnya

perbuatan tidak dinyatakan dari hal-hal lahir, tetapi tergantung pada niat

seseorang mengambil barang. Apabila niat hatinya baik, contohnya

mengambil barang untuk kemudian dikembalikan pada pemiliknya, maka

perbuatan tersebut tidak dilarang. Sebaliknya jika niat hatinya jelek, yaitu

mengambil barang utk dimiliki sendiri dengan tidak mengacuhkan

pemiliknya menurut hukum, maka hal itu dilarang dan masuk rumusan

pencurian.

3. Pelajar dan Tawuran Pelajar

3.1. Pelajar

Setiap kegiatan pendidikan sudah pasti memerlukan unsur anak didik

sebagai sasaran dari kegiatan tersebut. Yang di maksud anak didik di sini adalah

anak yang belum dewasa yang memerlukan bimbingan dan pertolongan dan orang

lain yang sudah dewasa, guna dapat melaksanakan tugasnya sebagai makhluk

(20)

pribadi atau individu yang mandiri.46 Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

Pelajar berasal dari kata pelajar47 yaitu anak sekolah (terutama pada sekolah dasar

dan sekolah lanjutan) atau anak didik, atau murid atau siswa. Berdasarkan

pengertian yang telah diuraikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka

penulis menggunakan kata anak didik (peserta didik) sebagai pengganti kata

pelajar.

Prayitno, memberikan pengertian tentang perserta didik yaitu manusia

yang sepenuhnya memiliki harkat dan martabat manusia dengan segenap

kandungannya. Peserta didik dengan harkat dan martabat manusia nya ini berhak

hidup sesuai dengan harkat dan martabat nya yang perlu diperkembangkan

melalui pendidikan. Dengan kata lain, pendidikanlah yang akan mengembangkan

harkat dan martabat manusia peserta didik sehingga perserta didik menjadi apa

yang disebut sebagai manusia seutuhnya.48

Selain itu Sutari Imam Barnadib memberikan pendapatnya mengenai anak

didik, yaitu seseorang anak yang selalu mengalami perkembangan sejak

terciptanya sampai meninggal dan perubahan-perubahan itu terjadi secara wajar.49

Selanjutnya, Pasal 1 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003

Tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa Peserta didik adalah

anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses

46

Suryosubroto, Beberapa Aspek Dasar-Dasar Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hal. 20.

47

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ka mus Besa r Bahasa Indonesia, Balai Pustaka: Jakarta, 1989, hal. 34.

48

Prayitno, Dasar Teori dan Praksis Pendidikan, Kompas Gramedia, Jakarta, 2009, hal. 35.

49

(21)

pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu.

Sedangkan peserta didik menurut tahap perkembangan dan umur dapat dibagi

menjadi beberapa tahapan yaitu:

a. 0 – 7 tahun = Masa kanak-kanak

b. 7 – 14 tahun = Masa sekolah

c. 14 – 21 tahun = Puberitas

R.Soesilo berpendapat dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan

bahwa yang dimaksudkan belum dewasa ialah mereka yang belum berumur 21

tahun dan belum kawin. Jika orang kawin dan bercerai sebelum umur 21 tahun, ia

tetap dipandang dengan dewasa. Hal ini ternyata sejalan dengan Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional mengenai tahap

perkembangan dan umur peserta didik.

Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa batasan usia

pelajar sama dengan batasan usia anak yaitu belum mencapai usia 21 (dua puluh

satu) tahun atau belum genap usia 21 (dua puluh satu) tahun.

3.2 Tawuran Pelajar

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tawuran adalah perkelahian

massal atau perkelahian yang dilakukan beramai-ramai atau banyak orang.50

Menurut Mansoer, tawuran pelajar adalah perkelahian massal yang merupakan

50

(22)

perilaku kekerasan antar kelompok pelajar laki-laki yang ditujukan pada

kelompok pelajar dari sekolah lain.51

Tawuran didefenisikan sebagai perkelahian massal yang dilakukan oleh

sekelompok orang terhadap kelompok lainnya, yang disebabkan karena adanya

perbedaan sudut pandang, dendam, ketidaksetujuan tentang suatu hal, dan

sebagainya. Jadi dapat disimpulkan tawuran adalah tindakan agresi (perkelahian)

yang dilakukan oleh suatu kelompok terhadap kelompok lainnya yang

dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain bahkan

merusak. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pelajar adalah

orang yang belajar. Sehingga tawuran pelajar adalah perkelahian yang dilakukan

oleh sekelompok orang yang mana perkelahian tersebut dilakukan oleh orang

yang sedang belajar, yang apabila merujuk ke pendapat R. Soesilo dalam bukunya

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dengan batasan umur belum mencapai 21

(dua puluh satu) tahun. Tawuran ada tiga bentuk:52

a) Tawuran antar kelompok yang telah memiliki rasa permusuhan secara

turun temurun;

b) Tawuran suatu kelompok melawan kelompok lainnya yang di dalamnya

terdapat beberapa jenis kelompok (terdiri dari kelompok-kelompok yang

berbeda);

c) Tawuran antar kelompok yang bersifat insidental yang dipicu oleh situasi

dan kondisi tertentu.

51

Dwi Maulidyani, Faktor dan Dampak Akibat dari Ta wuran di Kalangan Pelajar, diakses dari http://dmaulidyani.blogspot.co.id pada tanggal 19 Juni 2016 pada pukul 22.14WIB

52

(23)

Secara psikologis, perkelahian yang melibatkan pelajar usia remaja

digolongkan sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja (juvenile deliquency).

Kenakalan remaja, dalam hal perkelahian, dapat digolongkan ke dalam 2 jenis

delikuensi yaitu:53

1. Delikuensi situasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang

“mengharuskan” mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya muncul

akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat.

2. Delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu berada di

dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan, norma dan

kebiasaan tertentu yang harus diikuti angotanya, termasuk berkelahi.

Sebagai anggota, tumbuh kebanggaan apabila dapat melakukan apa yang

diharapkan oleh kelompoknya. Seperti yang kita ketahui bahwa pada masa

remaja seorang remaja akan cenderung membuat sebuah genk yang mana

dari pembentukan genk inilah para remaja bebas melakukan apa saja

tanpa adanya peraturan-peraturan yang harus dipatuhi karena ia berada

dilingkup kelompok teman sebayanya.

G. Metode Penelitian

Suatu penelitian harus menggunakan metode yang tepat agar orang yang

membaca dapat memahami tentang jenis penelitian, sumber penelitian, dan

manfaat penelitiannya sehingga mengerti apa yang menjadi objek ilmu

pengetahuan yang di teliti. Adapun metode penelitian yang digunakan penulis

adalah sebagai berikut :

53

(24)

1. Jenis Penelitian

Dalam menyusun skripsi ini, penelitian yang digunakan adalah penelitian

yuridis normatif.Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang dilakukan dan

ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis atau bahan-bahan lainnya.

2. Data dan Sumber Data

Dalam menyusun skripsi ini, data yang digunakan adalah data sekunder,

yang diperoleh dari :

a) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah bahan hukum yang

berasal dari peraturan perundang-undangan di bidang materi yang diteliti, seperti

Kitab Undang-Undang Pidana Pasal 170 tentang kekerasan, Pasal 351-358

mengenai penganiayaan, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak Pasal 80 tentang kekerasan terhadap anak.

b) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah pendapat para sarjana,

buku-buku dari para ahli yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer yang berkaitan tentang objek penelitian ini serta putusan

hakim pengadilan yang berkaitan dengan kasus-kasus dalam penelitian ini.

c) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau

penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder, yaitu kamus hukum dan lain-lain.

(25)

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data kualitatif yang

pengumpulan datanya berdasarkan penelitian kepustakaan (library research).

Pengumpulan data kepustakaan adalah mengumpulkan berbagai sumber bacaan

seperti buku-buku, majalah, internet, pendapat sarjana maupun literatur dan hasil

putusan untuk dikaitkan dengan objek penelitian ini.

4. Analisis Data

Metode analisis data ada 2 (dua) yaitu metode kualitatif dan metode

kuantitatif.Dalam penulisan skripsi ini yang digunakan adalah metode analisis

kualitatif, dimana data yang berupa asas, konsepsi, doktrin hukum serta isi kaedah

hukum dianalisis secaara kualitatif.

H. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran yang akan merupakan isi pembahasan dari

skripsi ini dan mempermudah penguraiannya maka penulisan membagi skripsi ini

menjadi 5 bab.

Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan, Pada Bab ini penulis menjelaskan tentang latar

belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan,

keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penulisan, serta

sistematika penulisan juga diuraikan dalam bab ini.

Bab II : Dalam bab ini penulis menguraikan tentang teori-teori kriminologi

tentang kejahatan dan kenakalan remaja serta faktor-faktor penyebab

(26)

Bab III : Disini Penulis menjelaskan dan menguraikan kebijakan dalam

penanggulangan terhadap tawuran antar pelajar baik kebijakan penal

mapun kebijakan non penal dalam menanggulangi tawuran antar

pelajar.

Bab IV : Pada bab ini penulis menjelaskan dan menguraikan tentang

penerapan hukum pidana terhadap tawuran antar pelajar yang

menyebabkan hilangnya nyawa orang lain serta memberikan hasil

analisis terhadap putusan pengadilan negeri mengenai kasus tawuran

Referensi

Dokumen terkait

2016 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2Ot6-2O21 (Lembaran Daerah Kabupaten Bantul Tahun 2O16 Nomor 11, Tambahan Lembaran.. Daerah Kabupaten Bantul

Malaysia (MASB) almost did the similar approach with what Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) has done (Business Time, 2000)..

Penelitian ini digolongkan dalam penelitian kausalitas yang mengungkap pengaruh antara struktur Good Corporate Governance yang diproksikan dengan ukuran dewan direksi,

The broad purposes of this project were to investigate five areas: (1) investigate the speech varieties currently spoken among the tribes of Palakkad and their relationship with

Organisasi Dewan terbagi atas Pimpinan Dewan dan Pimpinan Seksi, jang diperhubungkan oleh badan Sekretariat Dewan dibawah seorang Sekretaris Djenderal, jang

a) Utilisasi server (Ali) b) rata-rata kendaraan dalam sistem c) Jumlah kendaraan menunggu dalam antrian d) Waktu setiap kendaraan berada dalam sistem antrian. e) Waktu

Kegiatan dalam analisis data adalah: mengelompokkan data berdasarkan variable dan jenis responden, mentabulasi data berdasarkan variable dari seluruh responden,

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan kegiatan PPL 1 dan PPL 2 di SD Negeri Randugunting 2 Kota Tegal. Melalui