• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Resistensi Watmuri Diaspora: Kajian terhadap Penolakan Masyarakat Watmuri Diaspora Ambon atas Pengrusakan Hutan Sakral di Watmuri T2 752015003 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Resistensi Watmuri Diaspora: Kajian terhadap Penolakan Masyarakat Watmuri Diaspora Ambon atas Pengrusakan Hutan Sakral di Watmuri T2 752015003 BAB IV"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Bab IV

Resistensi Watmuri Diaspora Ambon Terhadap Pengelolaan Sumber Daya Alam Yang Merusak Hutan

Tata Hutan adalah kegiatan rancang bangun unit pengelolaan hutan yang

dikelompokkan berdasarkan tipe ekosistem dan potensi yang terkandung di dalamnya

demi memperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat secara lestari.

Sedangkan Pemanfaatan hutan adalah bentuk kegiatan pemanfaatan kawasan hutan,

pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta

pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal, berkeadilan agar

tercipta kesejahteraan bagi masyarakat1 Paradigma ini memberikan kontribusi

suburnya pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia oleh para pemilik modal.

Berbagai perlawanan masyarakat menentang pemanfaatan hutan untuk lending sector

pertumbuhan ekonomi sejak rezim orde baru di Indonesia tidaklah efektif untuk

meniadakan pembangunan-pembangunan kehutanan sampai sekarang baik berupa

HPH (hak pengusahaan hutan), pertambangan maupun perkebunan skala besar.

Tatkala pemerintah sering mengambil alih hutan ulayat masyarakat lokal dengan

asumsi kekayaan sumber daya alam harus dimanfaatkan secara bijaksana demi

kesejahteraan, masyarakat sekitar hutan kadangkala statis dalam memanfaatkan

potensi yang terkandung di dalamnya sehingga pembangunan kehutanan model HPH

adalah cara efektif untuk mengelola sumber daya hutan tersebut. Kendati demikian,

      

1

file:///C:/Users/ACER/AppData/Local/Temp/PP_NO_34_2002.HTM 

(2)

masyarakat sering mengeluh dengan sistem pengelolaan itu karena cenderung

mengabaikan peran masyarakat lokal baik dalam proses-proses produksi maupun

pengembangan sosial ekonomi warga yang menjadi kewajiban perusahaan ijin HPH.

Desa Watmuri merupakan salah satu desa yang merasakan dampak dari pengelolaan

hutan model HPH. PT Karya Jaya Berdikari telah beroperasi sejak tahun 2012 dan

menuai banyak keluhan dari penduduk desa karena pihak pengelola tidak

menjalankan kewajiban secara maksimal sementara pohon-pohon terus ditebang dan

dipasarkan. Ketidakseimbangan dalam pemanfaatan hasil hutan dan kewajiban

pengelola yang tidak terpenuhi kepada masyarakat lokal yang mendorong bangkitnya

resistensi.

4.1. Pentingnya Hutan dan Dorongan Resistensi Watmuri Diaspora Ambon

4.1.1. Pentingnya Hutan Bagi Orang Watmuri

Hutan secara sederhana diartikan sebagai ekosistem yang didominasi oleh

pohon, di dalamnya terdapat berbagai jenis spesies baik tumbuhan maupun hewan

yang hidup dan berkembang biak. Menurut Undang-undang Kehutanan Republik

Indonesia nomor 41 tahun 1999 hutan diartikan sebagai suatu kesatuan ekosistem

berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan

dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat

dipisahkan.2 Hutan menjadi aset yang rentan terhadap hadirnya pembangunan

kehutanan akan tetapi, penggunaan hutan secara berlebihan baik perladangan,

      

2

(3)

industrialisasi, pertambangan dan perkebunan skala besar akan mempengaruhi

makluk hidup yang berinteraksi dan bergantung pada alam. Pentingnya hutan bagi

orang Watmuri dalam penggunaan dan peruntukannya tergolong dua aspek:

a. Sumber Mata Pencaharian Warga

Bercocok tanam adalah pekerjaan utama orang Watmuri, tidak heran

ketergantungan masyarakat pada hutan sangatlah tinggi. Hutan menjadi salah satu

tempat bagi masyarakat untuk mencari nafkah baik perladangan, berburu maupun

mengambil kayu bakar. Walaupun demikian, kecenderungan masyarakat melestarikan

hutan sangatlah efektif sehingga tidak menimbulkan kerusakan-kerusakan pada hutan.

Upaya kelestarian diwujudkan melalui pengetahuan lokal warga yang menghindari

penebangan liar agar hutan tetap pada fungsinya. Hutan yang gundul akan

menyebabkan tanah menjadi tandus sehingga menghindari penebangan liar yang

merusak hutan menjadi salah satu local knowledge masyarakat di Watmuri. Apalagi

jenis pohon turing (kayu besi merah) merupakan tanaman langka di Watmuri semakin

memperkuat larangan terhadap penebangan tanpa keputusan bersama masyarakat.

Scott menggambarkan kaum tani di negara-negara Asia Tenggara merupakan

petani subsisten, pekerjaannya hanya untuk tujuan memenuhi kebutuhan sehari-hari

dalam keluarga karenanya tanah akan dilihat sebagai unsur penting bagi kaum tani.3

Latarbelakang pentingnya hutan bagi orang Watmuri tentu berhubungan dengan

dominasi pekerjaan sebagai petani. Hasil-hasil pertanian diproduksi demi memenuhi

      

3

(4)

kebutuhan sandang pangan keluarga. Mengancam pola yang terstruktur sejak dahulu

akan menimbulkan keresahan yang berujung pada pemberontakan. PT Karya Jaya

Berdikari adalah perusahaan yang mendapatkan ijin pengelolaan hutan dengan bentuk

HPH di Maluku Tenggara Barat. Desa Watmuri menjadi lokasi kedua beroperasinya

perusahaan mengelola sumber daya kayu akan tetapi berbagai keluhan dan keresahan

warga bermunculan. Perusahaan tampak eksploitatif dalam memanfaatkan hutan

ulayat warga desa, penebangan dilakukan sebebas-bebasnya oleh perusahaan tanpa

batasan area HPH sehingga menimbulkan berbagai keresahan di kalangan

masyarakat. Selain itu, masyarakat lokal tidak terlibat dalam proses-proses produksi

akibatnya tindakan penyimpangan di lokasi eksploitasi semakin meluas. Keluhan itu

yang membangkitkan aksi-aksi protes kolektif karena kebijakan pengelolaan hutan

dinilai mengancam masyarakat lokal yang bergantung pada hutan sebagai sumber

mata pencaharian. Bagi Sidney Tarrow bangkitnya gerakan protes bentuk kesadaran

sejumlah orang yang memiliki tujuan dan solidaritas yang sama untuk melawan

kelompok elite, penguasa atas ketidakadilan yang membelenggu.4 Resistensi

Watmuri diaspora mencerminkan kepedulian bagi masyarakat desa yang ditindas oleh

para pemilik modal dan kekuasaan pemerintah yang tidak mempertimbangkan

sosial-ekonomi warga. Bercocok tanam di tempat yang sama berulang kali tentu

menyebabkan tanah menjadi tandus sementara area hutan dibatasi oleh perusahaan

untuk dikelola warga bagi perladangan, dapat dibayangkan kesulitan-kesulitan yang

akan dialami masyarakat Watmuri dikemudian hari. Mestinya pengelolaan hutan       

4 

(5)

yang bijaksana memberikan kenyamanan dan rasa aman bagi masyarakat sekitar

hutan sehingga sama-sama menikmati hasil demi kepentingan bersama.

 

b. Hutan Sakral Sebagai Situs Budaya Masyarakat

Selain tempat pencari nafkah, pada tempat-tempat tertentu di hutan desa

Watmuri masih dikelilingi oleh adat masyarakat setempat terkait hutan sakral yang

menyimpan peninggalan masa lalu dari para leluhur. Setiap Soa memiliki petuanan

yang merupakan area tempat tinggal yang disebut negeri lama. Suatu kehidupan

pernah terbentuk di sana dan melekat dalam memori sepanjang generasi akan

pentingnya menjaga hutan dari penebangan-penebangan yang menghancurkan situs

budaya masyarakat. Keberadaan pohon-pohon besar masih diakui memiliki

penunggunya disertai berbagai kejadian aneh yang dialami warga semakin

menunjukan adanya kekuatan di balik pohon dan tempat-tempat sakral tersebut. Oleh

karena itu, barangsiapa hendak beraktivitas di area yang mengandung unsur sakral

maka patut melakukan ritual adat agar menghindari terjadinya peristiwa-peristiwa

membahayakan. Bagi Durkheim, orang-orang religius umumnya membagi dunia

mereka dalam dua bagian yakni sakral dan profan. Sakral dapat berupa simbol,

nilai-nilai dan kepercayaan yang berhubungan dengan hal-hal mistik yang sangat

mengagumkan maupun menakutkan. Sedangkan profan sifatnya biasa, tidak menarik,

mencerminkan urusan sehari-hari dan tidak berarti.5 Perantara untuk mendekatkan

diri terhadap yang sakral yakni melakukan ritual. Walaupun demikian, hutan sakral

      

5

(6)

bagi orang Watmuri tidak hanya tentang berdiamnya arwa leluhur tetapi lebih dari itu,

yakni tentang tradisi hidup berbagi yang membudaya dalam masyarakat. sejak dulu

hutan ulayat tidak hanya dimanfaatkan oleh pemilik petuanan dari satu soa yang sama

namun dapat digunakan oleh orang lain pada soa yang berbeda. Pemahaman atas

hutan sakral bahkan mengantarkan warga memelihara alam sehingga minim dari

degradasi (kerusakan). Sulistyaningsih mengemukakan pengetahuan kebudayaan

yang dimiliki oleh suatu masyarakat yang didasarkan pada sistem religi akan

memandang manusia sebagai bagian dari alam di mana terdapat roh-roh yang

bertugas menjaga keseimbangannya. Untuk menghindarkan bencana atau malapetaka

manusia wajib menjaga hubungan dengan alam semesta, termasuk pemanfaatannya

harus bijaksana dan bertanggung jawab.6 Budaya orang Watmuri yang melindungi

hutan sakral sebab di dalamnya mengandung makna sosial-budaya bagi mereka.

Pemanfaatan hutan demi pembangunan yang mengabaikan sosial budaya masyarakat

lokal justru memicu pemberontakan dan perlawanan.

Pentingnya hutan bagi masyarakat di desa Watmuri seperti yang telah

diuraikan tersebut membangkitkan perlawanan dari masyarakat diaspora untuk

memperjuangkan nasib hidup orang-orang desa baik sekarang maupun akan datang.

Kecintaan dan kepedulian mereka terhadap masyarakat di desa Watmuri menjadi

dasar resistensi. PT Karya Jaya Berdikari cenderung monopolistik dan mengabaikan

keterlibatan masyarakat lokal dalam proses pengelolaan dan produksi. Minimnya

      

6Sulistyaningsih, 

Perlawanan Petani Hutan: Studi Atas Resistensi Berbasis Pengetahuan Lokal 

(7)

evaluasi secara transparan bagi warga meningkatkan terjadinya berbagai

penyimpangan. Paradigma “mengambil dan memberi” mestinya menjadi dasar

pengelolaan hutan ulayat bahwa perusahaan mengambil hasil alam untuk diproduksi

beriringan dengan memberikan jaminan hidup berupa kompensasi, mengembalikan

fungsi hutan dengan adanya rehabilitasi serta tindakan sosial kemasyarakatan yang

berimplikasi menghadirkan kesejahteraan sebab yang dikelola merupakan hutan

ulayat masyarakat Watmuri. Menurut Imam Hidayat, hutan ulayat adalah hak

kepunyaan bersama masyarakat adat meliputi tanah, hutan, air dan udara yang pada

asasnya tidak dapat dikurangi atau dipindahtangankan. Wewenang dan tugas

diberikan kepada masyarakat adat untuk mengelola demi kepentingan dan

kebahagiaan bersama.7 Sekarang hutan ulayat sudah dikuasai oleh perusahaan untuk

mengelola potensi kayunya dengan model HPH (hak pengusahaan hutan) akan tetapi

pihak pengelola harus menunjukan eksistensinya yakni memberikan kesejahteraan

bukan mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya. Nampaknya sejak perlawanan

Watmuri diaspora berhembus ke permukaan fakta-fakta terkait penyimpangan yang

dilakukan perusahaan semakin mencuat. Aksi-aksi protes kolektif dimobilisasikan

demi mengungkapkan tindakan penyimpanan yang dilakukan selama eksploitasi.

Sudah sepatutnya pemerintah lebih mengontrol kinerja perusahaan HPH untuk

menilai layak dan tidaknya kinerja suatu perusahaan.

      

7Imam Sudiyat, 

(8)

4.1.2. Kurangnya Kepedulian Pemerintah Dalam Mengontrol Kinerja Pengelola Ancaman terbesar dari kebijakan pengelolaan hutan ulayat masyarakat adat

yakni lemahnya kontrol pemerintah sehingga menimbulkan berbagai penyimpangan

dalam proses-proses pengelolaan. Sebagai cabang usaha sektor kehutanan,

pengawasan dan evaluasi mesti beriringan agar mencegah degradasi, ketidakadilan

dan dampak-dampak buruk bagi masyarakat sekitar hutan. Dengan begitu, perusahaan

pemegang ijin HPH akan beroperasi dengan berpedoman pada undang-undang dan

berjalan sesuai prosedur yang berlaku. Akan tetapi sistem pembangunan bangsa ini,

ketidakadilan semakin prioritas. Masyarakat menjadi korban dari kebijakan penguasa

yang otoriter. Pasalnya, jika pembangunan fisik maupun pembangunan kehutanan

baik HPH, perkebunan berskala besar, pertambangan memberikan kesejahteraan

kepada masyarakat di sekitar area proyek tentu perlawanan masyarakat tidak akan

bangkit dan melawan kebijakan pemerintah.

HPH (Hak Pengusahaan Hutan) atau yang sekarang disebut IUPHHK-Ha (ijin

usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam) merupakan pembangunan

kehutanan di Indonesia yang telah berlangsung sejak rezim orde baru. Disahkan

dalam peraturan pemerintah no 21 tahun 1970 pada masa orde Baru di addendum

tahun 2002 sebagai Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,

Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan yang melegalkan pembangunan

kehutanan dalam bentuk HPH/IUPHHK-Ha. Cara kerjanya meliputi pemanenan atau

penebangan, penanaman, pemeliharaan dan pemasaran. Sejak dikeluarkan peraturan

(9)

pengelolaan hutan tidak dirasakan masyarakat lokal. Perusahaan cenderung

menebang dan memasarkan hasil kayu sementara aspek penanaman dan pemeliharaan

terabaikan sudah begitu masyarakat tidak terlibat dalam kerja HPH. Selama

perusahaan beroperasi hak masyarakat atas hutan dibekukan dan area hutan menjadi

tanggung jawab pihak pengelola. Berbagai perlawanan masyarakat sejak rezim orde

baru sampai sekarang tidak berimplikasi menghapuskan pembangunan berbasis

kehutanan ini.

Paradigma UUD 1945 pasal 33 ayat 3 “Bumi, air dan kekayaan alamnya

dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat” semakin memperkuat pembangunan kehutanan bertahan dan berkembang di

Indonesia. Asas dari suatu pembangunan tentu berimplikasi untuk mensejahterakan

masyarakat di sekitarnya, akan tetapi yang membuatnya bernilai buruk adalah para

pemilik modal (pengusaha/investor) yang bekerja di luar kesepakatan dan aturan yang

berlaku. Kewenangan yang diberikan sepenuhnya kepada investor menimbulkan

berbagai penyimpangan sehingga meresahkan warga dengan pembangunan yang

berlangsung di sekitar mereka. PT Karya Jaya Berdikari menjanjikan bahwa

pembangunan kehutanan akan memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi

warga desa namun faktanya justru penderitaan. Bagi Scott munculnya perlawanan

petani salah satunya karena lemahnya kontrol pemerintah, sementara kaum tani hanya

sekelompok pencocok tanam yang mengolah dan berkebun demi memenuhi

(10)

akan menimbulkan bangkitnya resistensi.8 Watmuri diaspora Ambon memobilisasikan aksi protes karena perusahaan telah gagal mewujudkan

kesejahteraan bagi masyarakat lokal. Pengelolaan yang demokratis adalah

pemanfaatan hutan yang mampu mengakomodasi pembagian kekuasaan dan

kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah serta melibatkan masyarakat secara

transparan dalam proses pengambilan keputusan untuk kepentingan bersama. Namun

orientasi pemerintah kadangkala melindungi para investor sehingga terus melegalkan

suatu proyek dan mengabaikan keluhan masyarakat yang mengalami penyelewengan.

Karena itu, bagi Situmorang munculnya suatu gerakan perlawanan oleh masyarakat

dipengaruhi oleh tinggi tidaknya mereka merasakan dampak negatif dari aktifitas

perusahaan atau pengelola.9 Masyarakat di desa Watmuri telah merasakan dampak

dari kebijakan pengelolaan hutan, untuk mewujudkan keresahan masyarakat lokal

maka orang Watmuri diaspora di Ambon menjadi representasi mereka untuk

melawan pembangunan yang tidak efektif itu. Hal ini yang bagi Scott tujuan dari

pemberontakan petani maupun atas nama petani salah satunya yakni meruntuhkan

sistem dominasi elit modal dan elit politik yang menindas kaum marginal untuk

menuju perubahan tata ekonomi baru yang lebih memberikan jaminan sosial dan

keadilan.10 Kebijakan-kebijakan elit politik cenderung otoritarian sehingga

mengandalkan sistem dominasi dalam cara-cara pengelolaan sumber daya alam dan

(11)

untuk mengelola sumber daya alam namun pengontrolan secara berkala oleh

pemerintah akan meminimalisir berbagai tindakan di luar ketentuan yang berlaku

dalam surat keputusan. Oleh karena itu, masyarakat sangat membutuhkan kepekaan

dari pemerintah untuk mengontrol proyek-proyek pembangunan agar tidak

menyimpang dalam proses-proses pelaksanaannya.

  

4.1.3. Masyarakat Watmuri Kehilangan Hutan Ulayat

Scott menggambarkan perilaku ekonomi petani yang berorientasi subsistensi

menampakan kenyataan bahwa keluarga petani merupakan gabungan unit konsumsi

dan produksi. Untuk tetap bertahan hidup yang didahulukan yakni memenuhi

kebutuhannya sebagai konsumen sesuai jumlah anggota keluarga. Mereka akan

merasa bahagia ketika kebutuhan subsisten telah terpenuhi oleh sebab itu,

mencukupkan kebutuhan ekonomi dan rasa aman akan jauh bermakna dibandingkan

mencari keuntungan jangka panjang.11 Sejak perubahan pasar yang dikuasai

kapitalistik kaum tani mulai merasakan ketidakstabilan dalam proses produksi. Petani

mengalami banyak kendala untuk memenuhi kebutuhannya sehingga memutuskan

untuk menjual tanah dan bekerja pada tuan tanah kaya. Pengharapan petani yakni

hubungan patron-klien adalah hubungan yang fungsinya untuk melindungi kaum

marginal namun, kenyataannya petani semakin ditindas oleh para elit sehingga

menyebabkan munculnya pemberontakan.12

      

11Scott, 

The Moral Ekonomi, 36   12

(12)

Di Watmuri, PT Karya Jaya Berdikari adalah representasi negara untuk

mengelola sumber daya hutan di sana, tentu saja mereka mempunyai hegemoni yang

sulit dibantah oleh masyarakat. Dalam konteks ini, PT KJB menempati posisi sebagai

superordinat (penguasa/pengontrol) sementara masyarakat Watmuri sebagai pihak

subordinat (pihak yang terkontrol). Hutan ulayat yang dulunya adalah hutan milik

bersama masyarakat telah dikuasai oleh perusahaan sekaligus menjadi pengontrol

terhadap aktivitas pengelolaannya sedangkan masyarakat Watmuri termasuk dalam

pihak terkontrol yang dibatasi dalam penggunaan hutan untuk perlandangan dan

berbagai aktivitas lainnya. Jika studi Scott lebih mengungkapkan bangkitnya

perlawanan petani karena merusak “moral ekonomi” maka resistensi Watmuri

diaspora tidak sebatas kesulitan-kesulitan ekonomi keluarga lebih dari itu yakni aspek

budaya. Merusak hutan sakral sebagai simbol dan nilai budaya masyarakat Watmuri

sama dengan menggeserkan adat-istiadat mereka. Selama ini, masyarakat sangat

menghargai warisan leluhur baik berupa aturan-aturan adat maupun pelestarian pada

tempat-tempat sakral namun atas persetujuan segilintir orang kepada PT Karya Jaya

Berdikari tahun 2012 silam, hutan sakral yang di kelilingi pohon-pohon besar dan

berkualitas ditebang dan diproduksi. Menurut Sulistyaningsih local knowledge

masyarakat yang bersifat religi (budaya) selalu ternihilkan dalam pengelolaan hutan

atas nama pembangunan.13 Akan tetapi, jika ditelusuri lebih jauh masyarakat yang

mendasarkan aturan adat dalam proses pemanfaatan hutan akan terlihat lebih asri

dibanding mereka yang mengutamakan keutungan. Selama ini hutan Watmuri       

13

(13)

dibungkusi oleh pohon-pohon besar yang terpelihara secara baik namun, atas

kepentingan pembangunan yang berdiri sekarang hanya sisa-sisa batang pohon kering

hasil penebangan.

Respon Watmuri diaspora Ambon yang diwujudkan melalui aksi-aksi

penolakan pada perusahaan menunjukan sikap ketidakpuasan pada kinerja pengelola

yang mengabaikan pentingnya keterlibatan masyarakat serta perlindungan pada

area-area yang menjadi hutan sakral masyarakat. Sing mengemukakan gerakan protes pada

umumnya memobilisasi para partisipan untuk memperoleh perbaikan dari

ketidakpuasan yang didapatkan.14 Mobilisasi Watmuri diaspora Ambon untuk

membangun aksi-aksi protes tentu dipengaruhi oleh sikap perusahaan yang cenderung

eksploitatif selama pengelolaan hutan di Watmuri. Eksploitatif tersebut nampak dari

sikap pengelola yang menebang pohon sebebas-bebasnya tanpa peta batas area HPH

sekaligus penebangan yang telah mengabaikan hutan-hutan terlarang warga terkait

hutan sakral yang sarat makna budaya bagi masyarakat lokal. Berdasrkan

ketidakpusasn atas kinerja perusahaan tersebut maka munculah resistensi diaspora

watmuri-Ambon. Sikap penolakan yang mereka lakukan hanya bertujuan

memperjuangkan hak masyarakat lokal yang tidak terpenuhi selama jalannya

pembangunan kehutanan di area hutan ulayat orang Watmuri.

4.1.4. Kepedulian Dan Mencintai Tanah Asal

Selain berbagai alasan yang telah diuraikan sebelumnya ada salah satu aspek

yang ingin ditunjukan masyarakat diaspora Ambon sebagai alasan bangkitnya       

14 

(14)

resistensi yakni mencintai tanah asal. Umumnya semakin jauh seseorang keluar dari

tanah asal dan menikmati kenyamanan di tempat yang baru akan cenderung

melupakan tempat asalnya. Namun sikap yang ditampilkan Watmuri diaspora Ambon

telah menunjukan wajah baru terhadap orang-orang perantau. Prinsip yang mereka

bangun ialah menyusahkan masyarakat desa sama dengan menyusahkan orang-orang

Watmuri di tanah rantau. Resintensi yang mereka lakukan bukan untuk mendapatkan

pengakuan dari orang-orang desa bahwa mereka memiliki kemampuan intelektual

atau mampu menyusun strategi-strategi perlawanan tetapi mengenai kecintaan

mereka pada tanah asal dan kepedulian pada orang-orang yang ada di dalamnya.

Hidup laeng lia laeng, satu rasa sama-sama rasa menjadi cara hidup bersama yang

membudaya bagi orang Watmuri dan terbawa sepanjang masa. Ketika perjuangan

Watmuri diaspora mengalami berbagai intimidasi dan ancaman-ancaman, mereka

tidak berhenti karena yang diperjuangkan adalah orang-orang Watmuri sebagai

keluarga mereka. Sikap masyarakat Watmuri diaspora telah menampilkan betapa

pentingnya menghargai tanah asal sebagai identitas mereka. PT Karya Jaya Berdikari

dengan sikap ekploitatif dalam menjalankan pembangunan kehutanan di desa

Watmuri telah meresahkan orang-orang Watmuri yang berada di desa maupun

diperantauan maka perlu adanya resistensi. Sebab, negosiasi antara masyarakat dan

perusahaan tidak cukup untuk mengatur kinerja perusahaan agar bekerja sesuai

peraturan kecuali pemerintah sebagai pemberi ijin yang melakukannya. Oleh karena

(15)

yang diam di atas setiap penyimpangan yang dilakukan perusahaan pada masyarakat

lokal.  

4.2. Strategi Perlawanan Dalam Menolak Kebijakan Pengelolaan Hutan

Pelaksanaan pembangunan kehutanan di Watmuri menuai kontroversi di

kalangan masyarakat. Masyarakat Watmuri menuntut haknya sebagai pemilik hutan

ulayat yang telah diekploitasi agar tercipta kemerataan baik di pihak PT KJB maupun

di pihak masyarakat lokal. Akan tetapi, sikap pengelola tidak progresif terhadap

harapan warga. Pihak perusahaan memberikan beasiswa bagi beberapa keluarga akan

tetapi, diwacanakan telah menjalankan tanggung jawab bagi seluruh masyarakat di

Watmuri. Penyediaan air bersih sebagaimana yang pernah dijanjikan oleh perusahaan

tidak terealisasi begitupula dengan listrik yang ternihilkan. Itu pertanda pengelolaan

hutan tidak berdasarkan pada kepentingan bersama karena tindakan nyata sebagai

bukti kesejahteraan tidak nampak dalam masyarakat. Mendiamkan situasi seperti ini

sama halnya menyiksa masyarakat lokal secara berkelanjutan oleh sebab itu,

dibutuhkan protes-protes kolektif. Menurut Tarrow15 hadirnya suatu perlawanan tidak

lepas dari faktor-faktor pendukungnya yakni pertama, solidaritas dan perasaan

bersama, senasib dan rasa memiliki. Keberadaan perusahaan mengelola hutan ulayat

orang Watmuri telah mengakibatkan berbagai kesulitan terjadi dalam masyarakat oleh

karena itu, memperjuangkan keberlangsungan hidup warga desa di masa yang akan

datang menjadi panggilan bersama Watmuri diaspora. Termotivasi pada satu prinsip,

menyusahkan warga desa sama saja menyiksa orang Watmuri di mana saja. Kedua,       

15

(16)

konflik sebagai fokus aksi kolektif. Munculnya konflik dilatarbelakangi oleh dua

kubu yang berusaha mempertahankan objek yang sama. Di satu sisi kelompok

superordinat (elit modal dan elit politik) sebagai barisan kapitalis membutuhkan

sumber daya hutan untuk diproduksi dan menghasilkan devisa serta keuntungan di

sisi lain masyarakat sebagai pemilik hutan berusaha mempertahankan hutan yang

diakui secara turun temurun. Adapun dua wajah kapitalis yang coba digambarkan

antara lain pengusaha adalah kapitalis yang memiliki modal (uang) sedangkan

masyarakat Watmuri termasuk kapitalis yang modalnya yakni hutan dan

potensi-potensi kayunya. Kendati demikian, pengusaha sebagai pemilik modal (uang) tentu

berpotensi besar untuk menguasai ketika negara memberikan kewenangan dan

dukungan. Apabila masyarakat lokal mudah terpengaruh oleh berbagai bujukan serta

janji-janji elit modal maka konflik maupun perlawanan manapun tidak dapat

menghentikan beroperasinya perusahaan di wilayah tersebut. Orang Watmuri

mengalami kondisi itu, berbagai cara telah diupayakan untuk menghentikan

eksploitasi hutan di sana namun hasilnya tetap nihil sampai pada munculnya

perlawanan dan konflik.

Selain itu sifat-sifat perlawanan Scott16 yang sekaligus menjadi strategi

perlawanan meliputi Pertama bersifat organik, sistematis, dan kooperatif yakni

perlawanan yang terencana dan strategis serta membangun jejaring dengan segala

pihak untuk mencapai tujuannya. Orang-orang Watmuri diaspora Ambon melihat

ancaman eksploitasi dan kerusakan hutan semakin nyata dan memprihatinkan di       

16 

(17)

Watmuri. Adapun degradasi hutan terus meningkat di Watmuri sementara PT Karya

Jaya Berdikari sebagai pihak pengelola tidak pernah melakukan kebun bibit maupun

kebun pangkas dalam upaya rehabilitasi hutan yang telah dieksploitasi. Perusahaan

menebang pohon-pohon berkualitas hanya hitungan menit telah roboh namun untuk

mengembalikannya membutuhkan waktu dua bahkan tiga generasi kehidupan. Jika

kepedulian untuk melakukan rehabilitasi demi mengembalikan fungsi hutan seperti

sediakala tidak terpenuhi maka masyarakat sekitar hutan akan merasa terancam baik

dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga maupun aset bagi anak cucu di

kemudian hari. Oleh sebab itu, secara sistematis Watmuri diaspora berkonsolidasi

dengan pihak-pihak yang dapat mendukung upaya penolakan. Dukunganpun datang

dari berbagai pihak, pada sidang MPL sinode GPM wacana perlawanan masyarakat

menolak HPH disuarakan dan dibahas dalam forum sidang. Partisipasi anggota

DPRD provinsi Maluku yang bersama-sama dengan warga untuk mengadakan

pertemuan dengan menteri kehutanan. Dukungan tidak kalahnya dari masyarakat di

desa yang tetap pada prinsip menolak HPH tanpa terkontaminasi dengan isu-isu yang

membelokan niat penolakan.

Kedua berprinsip dan tidak mementingkan diri sendiri. Perlawanan yang

dilakukan Watmuri diaspora semata-mata untuk kepentingan masyarakat Watmuri

kini dan di masa yang akan datang. Kepentingan bersama didahulukan dalam

perlawanan karena hutan yang dikelola adalah hutan ulayat orang Watmuri. berbagai

(18)

meningkatnya kerusakan hutan; serta banjir yang mengalirkan ranting-ranting pohon

ke laut sehingga mencemarkan biota laut dan terumbu karang merupakan sederetan

dampak dari pengelolaan hutan yang mengabaikan masalah ekologi jangka panjang.

Bagi Arif Budiman, pembangunan yang dianggap berhasil adakalanya tidak memiliki

daya kelestarian yang memadai sehingga rentan terhadap berbagai kerusakan.17

Kejadian-kejadian yang dialami orang Watmuri ketika terjadi pencemaran yang

merusak terumbu karang telah membuktikan kinerja perusahaan yang mengabaikan

kelestarian lingkungan. Atas dasar kepentingan bersama maka resistensi yang

dilakukan Watmuri diaspora Ambon bertujuan untuk menyuarakan keluhan dan

keresahan pengelola yang tidak representatif bagi masyarakat lokal.

Ketiga, berkonsekuensi revolusioner. Aksi-aksi protes kolektif sampai saat ini

belum mencapai hasil yang signifikan yakni pencabutan ijin pengelolaan hutan di

Watmuri. Oleh karena itu, strategi perlawanan yang dilakukan oleh Watmuri diaspora

sekarang yakni bersifat tertutup. Selama proses pengambilan data melalui wawancara,

perlawanan itu tidak lagi berkoar-koar seperti dilakukan sebelumnya karena kuatnya

perlawanan tidak akan meruntuhkan kebijakan pemerintah. Namun perlawanan itu

tidak berhenti, mereka bergerak lebih tertutup dan dilakukan secara diam-diam

dengan cara mendukung kepala daerah maupun legislatif yang dapat berpihak pada

persoalan riil masyarakat di Maluku Tenggara Barat secara umum dan Watmuri

secara khusus. Pemimpin yang concern pada lingkungan, jujur dan berpihak pada

suara rakyat tidak mudah untuk menggunakan kewenangan jabatan demi melegalkan       

17

(19)

ijin pembangunan kehutanan yang menghancurkan tatanan budaya masyarakat lokal.

Harapan ini masih diupayakan oleh seluruh masyarakat baik diaspora maupun yang

berada di Maluku Tenggara Barat. Saat ini yang menjadi harapan bersama

masyarakat Watmuri yaitu elit modal dapat memanfaatkan hutan ulayat masyarakat

lokal dengan pertimbangan aspek budaya serta ekologi dan mematuhi aturan-aturan

hukum yang mengatur proses-proses produksi. Jika pihak pengelola melanggar

aturan-aturan yang berlaku maka pemerintah mesti menindaklanjuti agar tidak

memperluas tindakan ketidakadilan.

 

4.3. Kesimpulan  

Latarbelakang munculnya perlawanan tidak lain tentang hak masyarakat lokal

yang terabaikan. Perusahaan cenderung eksploitatif dan melihat masyarakat sebagai

aspek yang tidak penting dalam proses-proses pengelolaan sehingga hutan dikuasai

sepenuhnya oleh perusahaan. Pertimbangan masyarakat bahwa hutan yang dikelola

ialah hutan ulayat, sejak dulu penggunaannya demi kepentingan bersama warga

karenanya, pengelolaannyapun harus merata. Mengabaikan keterlibatan masyarakat

lokal serta sosial-ekonomi sebagai kewajiban pengelola tidak nampak dalam

masyarakat akan menimbulkan protes-protes kolektif. Sisi lain dari teori James Scott

yang ditemukan penulis dalam penelitian ini, jika Scott melihat perlawanan petani

Asia Tenggara disebabkan oleh hilangnya “moral ekonomi petani” maka perlawanan

Watmuri diaspora sebagai representasi petani desa terkait rusaknya hutan yang sarat

(20)

berpedoman pada aturan adat yang mengatur relasi mereka dengan sesama dan alam

lingkungannya. Bagi mereka memelihara dan menjalankan aturan-aturan adat tidak

bertentangan dengan ajaran agama yang diyakini sejauh menghasilkan makna positif

untuk kehidupan bersama. Oleh karena itu, segala sesuatu yang pernah bersentuhan

dengan peninggalan leluhur akan dikhususkan oleh warga agar warisan adat istiadat

tidak hilang karena perubahan dunia yang semakin cepat. Lihat saja Natirdas yang

masih dijaga kesakralannya begitu pula di tempat-tempat lain. Apabila ada yang

mengacaukan kebiasaan ini maka sama dengan membangkitkan resistensi warga.

Kehadiran PT Karya Jaya Berdikari memberi kesan buruk dalam sistem kerjanya.

Pasalnya, di area hutan tertentu masih mengandung unsur kesakralan bagi masyarakat

Watmuri terutama di area negeri lama dari masing-masing soa. Di sana terdapat

pohon-pohon besar yang dipercayai sebagai tempat tinggal arwah leluhur sehingga

warga dilarang untuk melakukan penebangan yang merusak lokasi-lokasi itu. Ketika

PT Karya Jaya berdikari mendapatkan ijin pengelolaan di hutan Watmuri,

pohon-pohon besar dan berkualitas diberangus sampai habis tanpa mempedulikan makna

budaya dari masyarakat lokal terkait tempat-tempat sakral mereka.

Sekarang masyarakat watmuri telah teralienasi dari hutan milik mereka

sendiri. Upaya-upaya penolakan bahkan tidak efektif untuk mencabut ijin usaha di

desa Watmuri. menyikapi berbagai keluhan dan dampak eksploitasi hutan bagi

masyarakat di Watmuri, apakah pemerintah hanya sebatas diam dan menutup mata?

(21)

merambah makin jauh dari aturan-aturan pengelolaan yang berlaku. Proses

pengelolaan mesti mengedepankan masyarakat lokal dengan meninjau adat-istiadat

serta fungsi hutan yang selama ini mereka bangun, dengan begitu pengelolaan hutan

Referensi

Dokumen terkait

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

Disemprotkan ( Jet Application of Fluid ), pada proses pendinginan dengan cara ini cairan pendingin disemprotkan langsung ke daerah pemotongan (pertemuan antara

Pada hari ini, Rabu tanggal Dua Puluh Dua bulan Mei tahun Dua Ribu Tiga Belas , telah dilaksanakan Penjelasan Pekerjaan (Aanwijzing) secara on-line pada lpse Kabupaten

4.a Penelitian dokumen administrasi calon KPPS oleh PPS 27-Des-16 9-Jan-17 4.b Rapat Pleno hasil seleksi administrasi oleh PPS 9-Jan-17 9-Jan-17. 5 Pengumuman Hasil Seleksi

Selama proses pembelajaran melalui metode bercerita dengan menggunakan media audio-visual dengan peneliti dibantu oleh guru kelas TK Kelompok B selaku mitra

Islamic decorative designs were interpreted as a visual manifestation of the Islamic philosophy. Others considered arabesque and Islamic pattern as a “special state

The elucidation of the normative and historical realm is not restricted to a single book, in some of his works Amin Abdullah frequently emphasizes the two domains in religious

[r]