• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Hukum Pidana Tentang Euthanasia Khususnya Euthanasia Pasif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kebijakan Hukum Pidana Tentang Euthanasia Khususnya Euthanasia Pasif"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pesatnya penemuan-penemuan teknologi modern, mengakibatkan

terjadinya perubahan-perubahan yang sangat cepat di dalam kehidupan sosial

budaya manusia. Semua problema, ruang gerak dan waktu telah dapat terpecahkan

oleh teknologi dan modernitas yang menyebabkan manusia menjadi semakin

cakap menyelenggarakan hidupnya, dan meningkat pula kemakmuran hidup

materiilnya, berkat makin cepatnya teknologi modern tersebut. Sekian banyak

penemuan-penemuan teknologi tersebut, tidak kalah pesatnya perkembangan

teknologi di bidang medis. Perkembangan ini bukan mustahil akan mengundang

masalah pelik dan rumit. Pengetahuan dan teknologi kedokteran yang sangat maju

tersebut, mengakibatkan diagnosa mengenai suatu penyakit dapat lebih sempurna

dilakukan. Pengobatan penyakitpun dapat berlangsung secara efektif, dengan

peralatan kedokteran yang modern itu. Rasa sakit seorang penderita dapat

diperingan, hidup seseorang dapat juga diperpanjang untuk jangka waktu tertentu

dan bahkan perhitungan kematian seseorang yang menderita suatu penyakit

tertentu dapat diketahui lebih tepat. Masalah cepat atau lambatnya proses

kematian seseorang pasien, seolah-olah dapat diatur oleh teknologi yang modern

(2)

Ilmu pengetahuan membagi cara terjadi kematian dalam 3 jenis yaitu:1

1. Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena suatu proses alamiah

2. Dysthanasia, yaitu kematian yang terjadi secara tidak wajar

3. Euthanasia, yaitu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak

dengan pertolongan dokter.

Masalah kematian yang dikenal dengan “euthanasia” atau mercy killing

mulai dikenal dewasa ini baik di dunia maupun di Indonesia. Dunia mulai

mengenal euthanasia setelah dilangsungkannya Konferensi Hukum sedunia, yang

diselenggarakan oleh World Peace Though Law Centre di Manila (Filipina)

tanggal 22-23 Agustus 1977. Konferensi tersebut di dalamnya telah diadakan

Sidang Peradilan Semu (Peradilan Tiruan) mengenai hak manusia untuk mati atau

the right to die. Sidang tersebut di dalamnya berperan tokoh-tokoh dibidang

hukum dan kedokteran dari berbagai dunia, sehingga mendapat perhatian yang

besar2

Jenis kematian “euthanasia” yang menjadi permasalahan sudah ada sejak

para pelaku kesehatan menghadapi penyakit yang tidak bisa disembuhkan dimana

pasien dalam keadaan sekarat dan merana. Situasi yang demikian tidak jarang

pasien meminta agar dibebaskan dari penderitaan seperti itu, atau dalam kondisi

lain dimana si pasien sudah tidak sadar dan keluarga si pasien tidak tega melihat

penderitan yang dialami menjelang ajalnya sehingga meminta kepada dokter .

1

Djoko Prakoso, Euthanasia,Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana, Jakarta:Ghalia Indonesia,1984,hal 9-10

2

(3)

untuk tidak meneruskan pengobatan atau bila perlu memberikan obat yang

mempercepat kematiannya.

Ditemukannya alat-alat kedokteran modern, seperti “respirator” (alat bantu

pernapasan) dan sistem transplantasi, maka kriteria kematian justru lebih sulit

ditetapkan. Pengadilan selalu beranggapan bahwa selama orang masih bernapas,

maka orang tersebut tidak dapat dikatakan telah meninggal dunia, namun dalam

perkembangannya, dimana defenisi kematian merupakan persoalan medis maka

orang yang dalam keadaan tersebut diatas belum tentu sudah meninggal karena

jika dilakukan pemeriksaan lebih lanjut produksi listrik pada otak masih

merangsang. Lain halnya jika produksi listrik pada otak sudah tidak merangsang

lagi atau disebut dengan braindeath barulah dikatakan telah terjadi kematian3

Perbuatan euthanasia ini merupakan perbuatan yang bertentangan dengan

hukum karena merenggut nyawa manusia dengan menghentikan pengobatan

kepada pasien yang sedang menderita tersebut namun ada juga yang perlu

diperhatikan bahwa pembahasan tentang euthanasia yang paling menentukan

adalah hak untuk menentukan nasib sendiri (the rightof self-determination)

.

4

Masalah-masalah euthanasia ini semakin berkembang namun tidak

memiliki kepastian hukum. Hal tersebutlah yang menjadi latar belakang untuk

dilakukan pembahasan didalam skripsi ini. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang

timbul, mengapa muncul permintaan euthanasia ini . Permintaan-permintaan

3

Ibid, hal 56

4

(4)

tersebut menunjukkan bahwa belum adanya pemahaman yang baik mengenai

euthanasia tersebut. Pemahaman-pemahaman tersebut juga harus

mempertimbangkan dampak dari segi hukum, segi moral, segi agama dan dari

segi etika kedokteran.

Ada beberapa pendapat mengenai euthanasia:5

1. Pendapat yang pertama adalah golongan yang tidak menyetujui tindakan

euthanasia karena euthanasia merupakan pembunuhan terselubung. Oleh

karena itu tindakan ini secara tidak langsung bertentangan dengan

kehendak Tuhan.

2. Pendapat yang kedua adalah golongan yang menyetujui tindakan

euthanasia dengan pertimbangan bahwa tindakan tersebut disetujui oleh

pasien, keluarga, dan dokter yang menanganinya.

Salah satu yang menjadi permasalahan sekarang adalah bagaimana jika

seorang pasien yang sudah sekarat dan tidak sadar selama berbulan-bulan,

kemudian mengetahui pula bahwa tidak lama lagi dia akan meninggal dunia. Baik

penderita maupun keluarganya telah berkali-kali mendesak dokter yang

merawatnya supaya mengakhiri penderitaan yang dialami pasien tersebut karena

sakitnya dengan mencabut “respirator”(alat bantu pernapasan) tersebut.

Bagaimana sikap seorang dokter dalam menghadapi kenyataan seperti itu.

Masalah euthanasia timbul dari persoalan diatas, apakah seorang dokter

mempunyai hak untuk mengakhiri hidup seorang pasien walaupun atas

5

(5)

permintaan pasien ataupun keluarganya dengan dalih untuk menghilangkan atau

mengakhiri penderitaan yang dialami oleh pasien tanpa dokter itu sendiri

mengetahui konsekuensi hukum.6

Ada beberapa jenis euthanasia yang umum dikenal,yaitu:7

1. Euthanasia aktif, yaitu: tindakan yang secara sengaja dilakukan dokter

atau tenaga kesehatan lain untuk memperpendek hidup si pasien

2. Euthanasia Pasif, yaitu: dimana dokter atau tenaga kesehatan secara

sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat

memperpanjang hidup pasien

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia tidak memberikan

pengaturan yang jelas tentang euthanasia. Satu-satunya landasan hukum yang

dapat dipakai adalah Pasal 344 KUHP yang berbunyi: “ Barang siapa yang

menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang

disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh dihukum penjara

selama-lamanya 12 tahun.”8

Adanya unsur permintaan orang itu sendiri yang dinyatakan dengan

kesungguhan hati, mengakibatkan sulitnya pembuktian penuntutan bahwa seorang

dokter tersebut telah melakukan euthanasia, terlebih jika si pasien dalam keadaan

incompetent (tidak mampu berkomunikasi) sehingga si pasien tidak dapat Pasal inilah yang dianggap mendekati masalah

euthanasia.

6

Ibid, hal 57

7

Ari Yunanto dan Helmi, Hukum Pidana Malpraktik Medik, Yogyakarta: CV.Andi Offset, 2010, hal 57-58

8

(6)

menyatakan kehendaknya. Keadaan seperti itu tidak mungkin untuk membuktikan

adanya permintaan orang itu sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati.9

Oleh karena itu dalam permasalahan euthanasia ini jika dilihat kaitannya

dengan hukum pidana haruslah mengacu pada tiga pokok permasalahan yaitu

adanya perbuatan yang dilarang, adanya orang yang melakukan perbuatan yang

dilarang tersebut, dan adanya ancaman pidana. Tiga pokok permasalahan hukum

pidana yang terdapat dalam pasal 344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

tersebut yaitu: pertama adanya perbuatan yang dilarang yaitu menghilangkan

nyawa orang lain, kedua adanya orang yang melakukan perbuatan yang dilarang

tersebut yaitu dokter ataupun tenaga medis lainnya, ketiga adanya ancaman

pidana yaitu pidana penjara paling lama dua belas (12) tahun sudah memenuhi

ketiga permasalahan tersebut namun dalam kenyataannya sangat sulit diterapkan

untuk menyaring euthanasia sebagai tindak pidana. Hal itu disebabkan

permasalahan euthanasia yang sering terjadi di Negara ini adalah Euthanasia

Pasif. Sedangkan kasus euthanasia sampai saat ini sangat jarang sampai pada

tahap ke pengadilan.10

Berdasarkan latar belakang tersebut, untuk mengetahui lebih lanjut

mengenai euthanasia maka diangkat menjadi sebuah tulisan skripsi dengan judul

”KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TENTANG EUTHANASIA KHUSUSNYA EUTHANASIA PASIF”

9

(7)

B. PERUMUSAN MASALAH

Adapun hal-hal yang diangkat menjadi rumusan masalah yaitu:

1. Bagaimana perkembangan euthanasia dewasa ini ?

2. Bagaimana kebijakan hukum pidana tentang euthanasia ?

3. Bagaimana kebijakan hukum pidana tentang euthanasia pasif ?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN

Adapun tujuan dan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui apa itu sebenarnya euthanasia, sejarah terjadinya

euthanasia, jenis-jenis euthanasia, Negara-negara yang menganut

euthanasia, Negara yang tidak menganut euthanasia dan

perkembangannya

2. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan euthanasia dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana dan Rancangan Undang-Undang Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana serta bagaimana penerapan pengaturan

tersebut di Indonesia dewasa ini

3. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap

euthanasia pasif, perbuatan yang dimaksud dengan euthanasia pasif serta

perkembangan euthanasia pasif di Indonesia, dan bagaimana kebijakan

(8)

D. KEASLIAN PENULISAN

Penulisan skripsi ini merupakan hasil dari gagasan pemikiran yang

dilakukan melalui penelusuran di perpustakaan Universitas Sumatera Utara,

walaupun ada beberapa yang membahas euthanasia namun yang membedakan

tulisan ini dengan tulisan yang lain adalah penulisan skripsi ini membahas

bagaimana pengaturan yang diharapkan kedepannya mengenai euthanasia, selain

itu dalam penulisan skripsi ini juga membahas tentang bagaimana perkembangan

euthanasia terkhususnya euthanasia pasif di Indonesia. Adapun beberapa

pendapat atau kutipan dalam penulisan ini semata-mata adalah sebagai faktor

pendukung dan pelengkap dalam penulisan yang memang sangat dibutuhkan

untuk penyempurnaan tulisan ini.

E. TINJAUAN PUSTAKA

1. Defenisi Hukum Pidana

Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang adakalanya disebut dengan

istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena hukum

sudah lazim merupakan terjemahan dari recht.11

a. Hukum pidana menurut C.S.T. Kansil adalah:

Ada beberapa pendapat para sarjana mengenai pengertian ataupun defenisi

hukum pidana, diantaranya yaitu:

Hukum yang mengatur pelanggaran-pelanggaran dan

kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan yang diancam

dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan,

11

(9)

selanjutnya ia menyimpulkan bahwa hukum pidana itu bukanlah suatu

hukum yang mengandung norma-norma baru, melainkan hanya

mengatur pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap

norma-norma hukum mengenai kepentingan umum12 b. Menurut Simons Hukum Pidana adalah:

.

1. Keseluruhan larangan atau perintah yang oleh Negara diancam

dengan nestapa yaitu suatu “pidana” apabila tidak ditaati;

2. Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk

penjatuhan pidana dan;

3. Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan

dan penetapan pidana13

c. Hukum Pidana termasuk dalam hukum publik. Menurut Simorangkir,

hukum pidana ada 2 (dua) pengertian. Pengertian secara obyektif dan

subyektif:

.

1. Hukum pidana (subyektif), adalah semua larangan atau perintah,

yang mengakibatkan dijatuhkannya suatu penderitaan atau siksaan

sebagai hukuman oleh negara kepada siapa saja yang

melanggarnya. Hukum ini juga disebut hukum pidana positif (ius

peonale)

2. Hukum pidana (obyektif), adalah dalam arti luas meliputi hukum

pidana materiil (memuat uraian tindak pidana, siapa yang dapat

La Ode Ali Alfin,Pengertian Hukum Pidana Menurut

Beberapa Ahli,, diakses tanggal 22 Februari 2012

13

(10)

dihukum, besarnya hukuman) dan hukum pidana formil (cara

mempertahankan dan melaksanakan hukum pidana materiil),

dalam arti sempit hanya hukum pidana materiil saja14

2. Perbuatan Pidana

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,

larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi

barangsiapa melanggar larangan tersebut. Dalam rumusan tersebut, bahwa yang

dilarang adalah perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang dan yang

diancam sanksi pidana ialah orang yang melakukan perbuatan yang menimbulkan

akibat yang dilarang tersebut. Menurut Prof. Moeljatno, SH kata perbuatan dalam

perbuatan pidana mempunyai arti yang abstrak yaitu suatu pengertian yang

menunjuk pada dua kejadian yang kongkrit,yaitu:15 a. Adanya kejadian yang tertentu.

b. Adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.

Perbuatan pidana ini kiranya dapat kita samakan dengan istilah Inggris,

“criminalact”. Pertama, karena criminal act ini juga berarti kelakuan dan

akibat, atau dengan lain perkataan: akibat dari suatu kelakuan, yang

dilarang oleh hukum. Criminal act ini juga dipisahkan dari

pertanggungjawaban pidana yang dinamakan criminal liability atau

responsibility. Untuk adanya criminal liability (jadi untuk dapat

dipidananya seseorang) selain daripada melakukan criminal act (perbuatan

pidana) orang itu juga harus mempunyai kesalahan (guilt). Antara

14

C.S.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, Peladjaran Hukum Indonesia, Jakarta: Gunung Agung, 1959 hal. 219

15

(11)

perbuatan dan orang yang berbuat ada hubungan yang erat, dan tak

mungkin dipisah-pisahkan. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan

perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan

pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut.

3. Pertanggungjawaban pidana

Pertanggungjawaban pidana yang disebut juga criminal responsibility

adalah menentukan apakah seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atas

suatu tindakan pidana atau tidak. Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas

perbuatan tersebut apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada

alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum terhadap perbuatan pidana

yang dilakukannya.

Dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang

telah diatur, tergantung dari apakah dalam melakukan perbuatan pidana tersebut

orang tersebut memiliki kesalahan.

Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan maka untuk

membuktikannya harus adanya pembuktian lagi. Dalam KUHP masalah

kemampuan bertanggungjawab terdapat dalam Pasal 44 ayat 1 yaitu “barang

siapa mengerjakan suatu perbuatan, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan

kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak

boleh dihukum16

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP atau WvS di Belanda)

sendiri tidak memberikan penjelasan mengenai kemampuan bertanggungjawab

16

(12)

ini, namun KUHP hanya memuat alasan-alasan yang terdapat pada diri pelaku

sehingga oleh karenanya perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Alasan tersebut berupa keadaan pribadi pelaku karena penyakit. Dalam keadaan

demikian pelaku tidak mempunyai kebebasan kehendak , oleh karena itu tidak

dapat menentukan kehendaknya atas perbuatannya.

Sehubungan dengan kemampuan bertanggungjawab ini, dalam

menentukan apakah seseorang itu salah atau tidak , menurut hukum ditentukan

oleh 3 (tiga) faktor, yaitu:17

4. Defenisi Euthanasia

Kesatu, keadaan batin orang yang melakukan itu, erat berkait dengan kemampuan

bertanggungjawab. Yang dimaksudkan dengan keadaan batin orang yang

melakukan perbuatan ialah apabila pelaku tidak menyadari bahwa perbuatannya

itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang (wet).

Kedua, adanya hubungan batin antara pelaku dengan perbuatan yang

dilakukannya. Yang dimaksudkan dengan hubungan batin antara pelaku dengan

perbuatan yang dilakukannya itu dapat berupa: kesengajaa (dolus),

kealpaan/kelalaian (culpa). Kesengajaan dan kealpaan penting terutama dalam

menentukan hukumannya.

Ketiga, tidak adanya alasan pemaaf. Yang dimaksudkan dengan alasan pemaaf

ialah dalam hal misalnya pembelaan diri dalam hal melampaui batas (noodweer

exes)

17

(13)

Euthanasia berasal dari kata eu dan thanatos (Yunani). Eu artinya baik

dan thanatos artinya kematian atau mati.18 Dengan demikian euthanasia secara

harafiah berarti kematian yang baik atau kematian yang menyenangkan. Seutinius

dalam buku Vitaceasarum merumuskan bahwa euthanasia adalah mati cepat

tanpa derita. Menurut Richard Lamerton, euthanasia pada abad ke 20 ditafsirkan

sebagai pembunuhan atas dasar belas kasihan (mercy killing), selain itu juga

diartikan sebagai perbuatan membiarkan seseorang mati dengan sendirinya, atau

tanpa berbuat apa-apa membiarkan orang mati19

5. Dasar Hukum Euthanasia

.

Berdasarkan caranya, euthanasia dapat digolongkan dalam dua kelompok,

yaitu euthanasia pasif dan euthanasia aktif. Euthanasia pasif adalah mempercepat

kematian dengan cara menolak memberikan tindakan pertolongan biasa atau

dengan menghentikan tindakan pertolongan biasa yang sedang berlangsung,

misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami

kesulitan dalam pernapasan. Sedangakan euthanasia aktif adalah mengambil

tindakan yang baik secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan

kematian.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak memberikan pengaturan yang

pasti mengenai euthanasia. Satu-satunya landasan hukum yang dapat dipakai

adalah Pasal 344 KUHP yang berbunyi : “ Barang siapa yang menghilangkan

jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang disebutkannya dengan

18

19

(14)

nyata dan dengan sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya 12

tahun.”20

F. METODE PENELITIAN

Pasal inilah yang dianggap mendekati masalah euthanasia.

Adanya unsur permintaan orang itu sendiri yang dinyatakan dengan

kesungguhan hati, mengakibatkan sulitnya pembuktian penuntutan bahwa seorang

dokter tersebut telah melakukan euthanasia, terlebih jika si pasien dalam keadaan

incompetent (tidak mampu berkomunikasi) sehingga si pasien tidak dapat

menyatakan kehendaknya. Dalam keadaan seperti itu tidak mungkin untuk

membuktikan adanya permintaan orang itu sendiri yang dinyatakan dengan

kesungguhan hati.

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian

yang dilakukan secara normatif juridis ( penelitian hukum doktrinal ). Penelitian

hukum normatif disebut juga dengan penelitian kepustakaan atau studi dokumen.

Penelitian hukum normatif disebut juga dengan penelitian hukum doktriner,

karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan

yang tertulis atau bahan hukum yang lain. Penelitian hukum ini juga disebut

dengan penelitian kepustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini

lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di

perpustakaan.

20

(15)

Langkah pertama yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif yang

didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder yaitu iventarisasi

peraturan-peraturan yang berkaitan dengan euthanasia. Selain itu dipergunakan juga

bahan-bahan tulisan yang berkaitan dengan persoalan ini.

Penelitian ini juga bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas

dalam meletakkan persoalan ini dalam perspektif hukum pidana, yang kemudian

dikaitkan dengan penelitian hukum empiris yaitu untuk melihat bagaimana

pihak-pihak yang terkait seperti dokter, masyarakat, dan pemuka agama yang terkait

dengan hal tersebut.

2. Data dan Sumber Data

Sumber data terdiri dari 2 yaitu: data primer dan data sekunder. Adapun

dalam penulisan skripsi ini menggunakan kedua data diatas.

Data primer yang terdiri dari hasil wawancara dengan beberapa dokter

praktek yang ada di Medan, beberapa masyarakat di Medan dan beberapa tokoh

ataupun pemuka agama di Medan.

A. Dokter :

a. dr.Rita Mawarni.SpF

b. dr.Kartika br Karo

c. dr.Linda Zahara Khairiza

B. Pemuka Agama:

Islam : Ust. Fauzi Rahman, Drs Zakiah

(16)

C. Masyarakat/Lembaga Masyarakat:

a. Bapak Yoe Anto

b. Bapak Atan

c. Bapak Thomas

d. Ibu Eintin

Data sekunder terdiri dari :

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang sifatnya mengikat dan

berkaitan erat dengan masalah yang diteliti, berupa peraturan

perundang-undangan di bidang hukum yang mengikat

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan

terhadap bahan hukum primer, yaitu hasil karya di kalangan hukum yang

ada relevansinya dengan masalah-masalah yang diteliti berupa buku-buku,

pendapat-pendapat para sarjana yang berhubungan dengan skripsi ini.

c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yaitu bahan hukum

yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan

hukum primer dan atau bahan hukum sekunder, yaitu kamus hukum,

ensiklopedia, majalah, media massa, internet dan sebagainya.

3. Metode Pengumpulan Data

Adapun untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan

skripsi ini, maka didalam penulisan skripsi ini menggunakan metode

pengumpulan data dengan cara sebagai berikut :

a. Dengan mengunakan metode studi kepustakaan yaitu mencari dan

(17)

elektronik, internet, tulisan ilmiah yang berhubungan dengan

permasalahan yang dibahas didalam skripsi ini.

b. Dengan melakukan wawancara untuk mengumpulkan data-data yang

mendukung penulisan ini.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Penulisan skripsi ini terdiri dari 4 bab, dimana tiap-tiap babnya akan

menguraikan :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan bab pendahuluan yang menguraikan

hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang, perumusan

masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan,

dan sedikit tinjauan kepustakaan yang akan membahas

mengenai defenisi hukum pidana, defenisi tindak pidana,

pertanggungjawaban pidana, defenisi euthanasia, dasar

hukum euthanasia dan diakhiri oleh metode penelitian dan

sistematika penulisan

BAB II TINJAUAN UMUM EUTHANASIA

Pada bagian ini akan dibahas mengenai hal-hal yang

berkaitan dengan pengertian euthanasia, sejarah terjadinya

euthanasia, jenis-jenis euthanasia, Negara-negara yang

menganut dan yang tidak menganut euthanasia dan

(18)

BAB III KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TENTANG

EUTHANASIA

Pada bagian ini akan dibahas bagaimana pengaturan

kebijakan pengaturan euthanasia dalam KUHP dan RUU

KUHP penerapan ketentuan euthanasia di Indonesia.

BAB IV KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TENTANG

EUTHANASIA PASIF

Pada bagian ini akan dibahas bagaimana perkembangan

euthanasia pasif di Indonesia, klasifikasi perbuatan yang

dikategorikan euthanasia pasif, dan kebijakan hukum

pidana saat ini dan yang akan datang menegenai euthanasia

pasif.

BAB IV PENUTUP

Pada bab ini akan dibahas kesimpulan dan saran sebagai

hasil dari pembahasan dan penguraian skripsi secara

Referensi

Dokumen terkait

Uji normalitas untuk menguji apakah dalam model regresi, variable terikat dan variable bebas keduanya mempunyai distribusi normal ataukah tidak. Uji normalitas data uang

Tulislah jawaban Saudara pada lembar jawaban ujian yang disediakan dengan cara dan petunjuk yang telah diberikan oleh petugas.. Untuk keperluan coret-mencoret dapat menggunakan

[r]

Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa Penerapan Metode Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament (TGT) dengan Permainan Ludo Akuntansi dapat

Dikenal 2 tipe sebaran nematoda, yaitu sebaran secara vertikal dan sebaran secara horizontal. Faktor utama yang menentukan sebaran nema-toda secara vertikal adalah

Hal tersebut berarti bahwa se- makin tinggi struktur modal maka semakin tinggi pula nilai perusahaan karena pe- rusahaan dapat mengoptimalkan struktur modal yang dimiliki

“Captain Vansen,” she said in a dry, firm voice, “my brother is resting, but he sends his wish that the gods speed your mission “ Vansen was a little surprised to see that there

yaitu: “apakah teknik clustering dapat meningkatkan kemampuan menulis puisi. pada siswa kelas VIII G SMP Negeri 6 Purwokerto tahun ajaran