• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fenomena Jidougyakutai (kekerasan pada anak dalam keluarga) di Jepang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Fenomena Jidougyakutai (kekerasan pada anak dalam keluarga) di Jepang"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

JIDOUGYAKUTAI DALAM KELUARGA

DI JEPANG

2.1 Pengertian dan SejarahJidougyakutai

Kata Jidougyakutai terdiri dari kata 児童“jidou”dan 虐待 “gyakutai”.

Jidoumemiliki arti anak, remaja, atau anak-anak. Sedangkan gyakutai memiliki arti perlakuan kejam, penindasan, pelecehan, atau kelakuan tidak wajar.Dalam arti

sempit 児童虐待“Jidougyakutai” adalah pelecehan anak atau kekerasan pada

anak.Secara terminologi sosial Jidougyakutaiadalah penganiayaan atau tindak kekerasan yang dilakukan pada anak-anak (Yulia, 2001:10).

(2)

luka dalam hal psikologis yang sangat parah yang bisa mempengaruhi tumbuh kembangnya. Adakalanya kasus jidougyakutai ini berlangsung dalam jangka waktu yang sangat lama (The great Japanese dictionary,1995:542).

Jidougyakutai adalah fenomena yang muncul setelah perang dunia ke- II, hal ini terjadi akibat perubahan sistem kekeluargaan yang berubah dari sistem 家 “ie” menuju ke sistem 核家族 “kakukazoku” sehingga hal ini menyebabkan

berkurangannya otoritas ayah dalam keluarga yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap anak yang sering dilakukan orangtua untuk melampiaskan kekesalan ataupun stresnya (Hayashi , 1996:39).

核 家 族 “kakukazoku” merupakan keluarga inti yang terdiri dari

kerabat terkecil yaitu ayah, ibu, anak yang belum menikah. Sistem kekeluargaan ini terjadi akibat banyaknya pemuda yang berpindah ke kota untuk bekerja dan belajar, ketika mereka menikah, dan memiliki rumah tangga baru (Yamada, 1998:13).

核家族 “kakukazoku” adalah kelompok kekerabatan yang semakin

populer di dalam masyarakat Jepang sebagai pengganti kelompok kekerabatan 家

“ie”. Hal ini terutama muncul dan berkembang pada masa setelah Perang Dunia II.Pada masa pascaperang, pemikiran tentang demokrasi tumbuh di berbagai lapisan masyarakat melaui sistem pendidikan modern yang merata di seluruh Jepang.Akibatnya, muncul pendapat umum yang menyatakan bahwa sistem ie kurang demokratis.

Dalam sistem 家 “ie” yang bersifat patriarkis, kedudukan pria sebagai

(3)

Sementara dalam 核 家 族 “kakukazoku”, karena dilandasi oleh semangat

demokrasi, kedudukan setiap anggota keluarga dapat dikatakan sejajar. Tentu saja, ayah dan ibu tetap menjadi figur-figur yang harus dihormati, akan tetapi di sini yang jelas menonjol adalah fungsi dan karakter ayah dalam keluarga. Apabila dahulu ayah merupakan sosok yang amat ditakuti dan berperan besar dalam penentuan setiap keputusan dalam keluarga, sekarang sosok ayah menjadi lebih lunak dan segala keputusan bisa dimusyawarahkan oleh seluruh anggota keluarga.

2.2 Bentuk-bentuk Jidougyakutai

Bentuk-bentuk yang dinyatakan tindakan Jidougyakutai yang dikutip dari Departemen Sosial Jepang (Asahi Shimbun,1999:8) adalah sebagai berikut:

2.2.1 Penganiayaan Fisik (gutaiteki gyakutai具体的虐待)

児童の身体に外傷が生じ、または生じるおそれのある暴行を加

えること。

例えば、一方的に暴行お振るう、食事を与えない、冬は戸外に

締め出す、部屋に閉じ込める。

Jidou no shintai ni gaisyou ga shouji, mata wa shoujiru osore no aru boukou o kuwaeru koto. Tatoeba, ippouteki ni boukou o furuu, shokuji o ataenai, fuyu wa kogai ni shimedasu, heya ni tojikomeru.

(4)

Segala sesuatu yang menimbulkan luka pada tubuh anak, dan terus menerus hal kekerasan fisik tersebut dilakukan oleh orang tua atau wali. Misalnya anak dipukul, tidak diberi makan, dibiarkan di luar pintu rumah dan dilarang masuk kedalam rumah saat musim dingin.

Contoh kekerasan lain yang berupa penganiayaan terhadap fisik yaitu anak ditindih atau ditimpah di bawah ataupun di dalam tumpukan futondimana hal ini membuat si anak sulit bernafas dan sulit menggerakan bagian tubuhnya sehingga dapat melukai fisiknya. Selain itu kekerasan lain berupa anak diikat di dalam ruangan gelap, anak dilempar, disiram, dilukai dengan benda panas, dicubit, didorong sampai terjatuh yang dilakukan oleh orang tua atau wali.

Jadi, menurut Departemen Sosial Jepang hal di atas masuk ke dalam kriteria kekerasan fisik apabila:

1. Hal itu dilakukan secara kebetulan;

2. Hal itu dilakukan berulang-ulang dan menjadi kebiasaan dan dilakukan secara terus menerus.

(5)

menghabiskan waktu bersama anak-anak dibandingkan dengan ayah yang banyak menghabiskan waktu bekerja di luar. Hal inilah yang membuka peluang terjadinya penganiayaan fisik dimana seorang ibu meluapkan stres akan beban dan tanggung jawab dalam keluarga yang dipegangnya terhadap anak.

Jumlah kasus Jidougyakutaiyang berupa penganiayaan fisik di Jepang meningkat signifikan dari tahun lalunya.Menurut data Kementerian Kesehatan, Buruh dan Kesejahteraan Jepang yang dilansir situs Asione Jumat 27 Juli 2012, jumlah kasus pada 2011 menjadi 59.862. Jumlah ini naik 3.478 kasus dari tahun 2010.Bahkan data ini menunjukkan 84,3 persen anak yang tewas akibat penyiksaan pada 2010 merupakan batita alias anak di bawah tiga tahun. Sebuah rekor baru di negeri Sakura itu. Pada tahun itu, sebanyak 51 anak tewas, termasuk 23 bayi kurang dari setahun dan 43 batita. Hal yang mengerikan dari data ini menunjukkan separuh dari pelaku penyiksaan merupakan ibu kandung para anak. Pemerintah menduga masalah sejak kehamilan, termasuk hamil di luar keinginan sang bunda, menjadi pemicu kekejaman ini. Untuk meningkatkan perlindungan terhadap batita dari penyiksaan, Kementerian mendesak pemerintah daerah di Jepangsegera memberikan layanan yang berkaitan dengan kehamilan dan pendidikan anak.

dilansir situs berita Asia, dari data per daerah menunjukkan Osaka menjadi kawasan dengan jumlah Jidougyakutai terbesar, mencapai 8.900 kasus. Peringkat kedua diduduki perfektur Kanagawa dengan 7.296 kasus, diikuti ibu kota Tokyo yang mencatat kasus 4.559. Hal ini menjadi perhatian

(6)

yang sangat serius oleh pemerintah Jepang

sendiri.

)

2.2.2 Pengabaian (gutaitekikyohi具体的拒否)

児童の心身に正常な発達を妨げるような著しい減食、もしくは

長時間の放置その他の保護者としての監護を著しく怠ること。

例えば、病気になっても病院に受診させない、乳幼児を暑い日

差しの当たる車内への放置、食事を与えない、下着など不潔な

まま放置するなど。

Jidou no shinshin ni seijyouna hattatsu o samatageruyouna ichijirushii genshoku, moshiku wa nagajikan no houchi sono ta no hogosya toshiteno kango o ichijirushiku okotaru koto. Tatoeba, byouki ni nattemo byouin ni jyusin sasenai, nyuuyouji o atsui hi sashi no ataru shanai eno houchi, shokuji o ataenai, shitagi nado fuketsuna mama houchi suru nado.

Terjemahan:

(7)

meninggalkan bayi dikereta dorong, orang tua tidak memberikan makanan yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan anak, tidak mengganti pakaian dalam dan lainnya dalam waktu yang lama sehingga si anak ditempatkan dalam keadaan yang kotor, tidak menjaga kebersihan tempat tinggal.

Pengabaian terhadap anak sendiri merupakan bentuk jidougyakutai yang pasif, karena segala berupa ketiadaan perhatian yang memadai, baik fisik, emosi maupun sosial.Anak yang di abaikan atau ditelantarkan sendiri mengalami kekurangan gizi (malnutrisi), lemas atau kotor ataupun menggunakan pakaian tidak layak pakai.Pada kasus yang berat, anak ditinggalkan seorang diri atau bersama saudara kandungnya tanpa adanya pengawasan dari orang tua si anak tersebut.Anak yang ditelantarkan atau diabaikan tersebut bisa saja meninggal karena kelaparan.

Contoh kasus pengabaian anak terjadi di Jepang, seorang bayi meninggal dunia di dalam bagasi sepeda motor akibat ditinggalkan oleh kedua orang tuanya yang sedang bermain judi di tempat pachinko. Setelah meninggal dunia jasad bayi tersebut ditemukan di selokan yang diduga di buang oleh kedua orang tuanya (The guardian news,2012:14).

(8)

berbentuk ranjang dengan pemanas atau penghangat kecil. Pos ini di sediakan pemerintah untuk orang tua yang punya alasan apapun yang tidak mampu merawat anak mereka bisa meletakkan bayinya di pos tersebut. Kemudian petugas rumah sakit akan mendapatkan pemberitahuan saat pintu pos ini dibuka, dan segera datang ke pos untuk mengambil bayi tersebut.

Jadi, menurut Departemen Sosial Jepang hal di atas masuk ke dalam kriteria pengabaian apabila meninggalkan atau menolak hak pengasuhan anak, dan Ketidaktahuan akan cara pengasuhan anak.

2.2.3 Penganiayaan Seksual (seiteki gyakutai 性的虐待)

児童に猥褻行為をすること、または児童を性的対象にさせたり、

見せること。

例えば、子供への性的暴力。自らの性器を見せたり、性交を見

せ付けたり、強要する。

Jidou ni waisetsukoui o surukoto, mata wa jidou o seiteki taishou ni sasetari, miserukoto. Tatoeba, kodomo e no seiteki bouryoku.Mizukara no seiki o misetari, seikou o misetsuketari, kyouyousuru.

(9)

Orang tua melakukan pencabulan terhadap anak, tindakan seksual, memperlihatkan kemaluan, alat-alat seksual, memperlihatkan obyek porno ke anak.

Pelecehan seksual ataupun penganiayaan seksual terhadap anak di Jepang merupakan salah satu bagian dari jidougyakutai, dimana peningkatannya mengalami kenaikan di tiap tahunnya. Pada tahun 2015 pemerintah yang menangani kesejahteraan masyarakat di Jepang menangani lebih dari 103.000 kasus dimana persentasnya naik 16% dari tahun sebelumnya.

Pada tahun 2010, data kepolisian Jepang juga telah mengungkapkan dalam enam bulan pertama di tahun 2010, tercatat 187 anak menjadi korban kekerasan fisik dan juga penganiayaan seksual.Dari 187 anak tersebut 18 diantaranya meninggal dunia. Disebutkan juga bahwa pornografi terhadap anak dalam periode yang sama yakni enam bulan awal di tahun 2010 meningkat 60% menjadi 599 kasus dibandingkan tahun sebelumnya.

Sedangkan di tahun 2013 sendiri, badan kepolisian Jepang melaporkan 1.644 kasus penganiyaan anak , sehingga jumlah ini menjandi angka tertinggi sejak perubahan undang-undang tahun 1999.

Hal inilah yang menjadi tugas besar pemerintah Jepang dalam mengurangi tingkat kekerasan ataupun penganiayaan seksual terhadap anak.

(10)

menjadi korban lebih lanjut pada masa dewasanya, dan anak juga akan mendapatkan cedera fisik diantara masalah-masalah lainnya. Penganiayaan terhadap anak ini oleh orang tua memiliki dampak yang serius dan juga trauma psikologis jangka panjang yang membuat si anak tidak dapat melupakan kasus tersebut hingga anak tersebut dewasa (Christine, 1988:208).

Menurut buku “prostitution of juvenniles: patterns from NIBRS” oleh Richard Ormrod, penganiayaan seksual terhadap anak mencakup berbagai pelanggaran seksual, termasuk didalamnya:

1. Pelecehan Seksual

istilah ini didefinisikan sebagai suatu tindakan pidana dimana seseorang yang telah dewasa menyentuh anak di bawah umur untuk tujuan kepuasan seksual, misalnya perkosaan, sodomi, dan penetrasi seksual dengan objek. Sedikit banyaknya sentuhan terhadap anak termasuk pelecehan seksual jika dilakukan untuk tujuan kepuasan seksual.

2. Eksploitasi Anak

(11)

melacurkan anak, dan menciptakan atau melakukan perdagangan pornografi anak.

3. Perawatan Seksual

menentukan perilaku sosial dari pelaku seks anak yang potensial yang berusaha untuk membuat mereka menerima rayuan yang lebih sedikit.

2.2.4 Penganiayaan secara psikologi (shinriteki gyakutai 心理的虐待)

児童に著しい心理的外傷を与える言動を行うこと。心理的外傷

は、児童の健全な発育を阻害し、場合によっては心的外傷後ス

トレス障害などの症状を生ぜしめるため禁じられている。

例えば、言葉による暴力、一方的な恫喝、無視や拒否、自尊心

を踏みにじる。

Jidou ni ichijirushii shinriteki gaishou o ataeru gendou o okonau koto. Shinriteki gaishou we, jidou no kenzanna hatsuiku o sogaishi, baai niyotte wa shinteki gaishou ato sutoresu shougai nado no shoujyou o shouzeshimeru tame kinjirarete iru. Tatoeba, kotoba niyoru bouryoku, ippoutekina doukatsu, mushi ya kyohi, jisonshin o fumi nijiru.

(12)

Anak diancam, tidak dipedulikan dan tidak diakui keberadaannya, dilukai harga dirinya dengan perkataan dan perbuatan, dibedakan perlakuan yang diterima dengan saudara kandungnya yang lain oleh sang orang tua.

Dapat dikatakan penganiayaan psikologi apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :

1. Tidak termasuk dalam penganiayaan seksual, penganiayaan yang berdasarkan penolakan hak asuh atau ketidaktahuan cara mengasuh anak, serta penganiayaan secara fisik.

2. Penganiayaan yang terbukti ada hubungannya antara perilaku orang tua atau pengganti orang tua/wali dan perilaku si anak tersebut.

Penganiayaan psikologis ini sangat berpengaruh akan mental sang anak yang mendapatkan penganiayaan dari orang tua dimana anak memiliki kencenderungan akan ketakutan yang sangat tinggi, sehingga anak tersebut merasa minder dalam pergaulannya sehari-hari. Hal ini juga berpengaruh akan rasa kurang perhatian dan rasa dendam yang timbul di hati anak sehingga rasa kurang perhatian dan rasa dendam tersebut melekat terus sampai si anak tumbuh dewasa.

Selain dari bentuk-bentuk jidougyakutai di atas, menurut Goodman (2002:24)ada lima kategori Jidougyakutai:

(13)

2. Pembunuhan anak

3. Oyaku shinju(orang tua yang mengajak anak untuk bunuh diri bersama)

4. Pembunuhan yang disebabkan penelantaran

5. Kekerasan

Oyaku shinju sendiri termasuk dalam kategori jidougyakutai, karena oyaku shinju adalah orang tua yang mengajak anak kandungnya sendiri untuk melakukan bunuh diri bersama dengan berbagai cara. Oyaku shinju sendiri sudah ada sejak zaman dahulu, tetapi kata oyaku shinju sendiri baru digunakan pada pertengahan tahun 1920an.

Sebelum tahun 1990-an tidak ada seorang pun di Jepang yang mengakui adanya penganiayaan terhadap anak di negara mereka sendiri. Hal ini terjadi akibat faktor keengganan orang ataupun masyarakat untuk melaporkan kejadian-kejadian yang dirasa itu adalah penganiayaan atau jidougyakutaikepada jidoushodanjouyang merupakan lembaga yang menangani kekerasan terhadap anak.Selain itu juga faktor yang mempengaruhi keengganan tersebut karena adanya ketakutan bisa mempermalukan orang tua korban (Kitamura dalam Goodman, 2002:135).

(14)

Jidougyakutai.Oleh karena itulah kasus jidougyakutai di jepang dapat dikatakan terselubung atau tidak diketahui oleh pemerintah.

2.3 Faktor-faktor penyebab terjadinya Jidougyakutai

Seorang psikolog bernama Nick Frost dalam bukunya mengenai kesejahteraan anak menyebutkan beberapa faktor yang memungkinkan terjadinya jidougyakutaiadalah sebagai berikut:

2.3.1 Faktor Orangtua

Dalam banyak kasus, orang tuan yang menjadikan anak nya sendiri sebagai objek tindakan kekerasan pada umumnya hubungan antara orangtua dan anak tidak stabil. Seseorang yang tumbuh dalam situasi seperti ini biasanya cenderung melakukan segala sesuatunya dengan kekerasan karena tidak adanya rasa saling percaya dan rasa menghargai.Hal inilah yang menyulitkan seseorang untuk menjaga hubungan yang harmonis, selaras, dan seimbang.Tindak kekerasan justru lebih mudah menyusup dalam hubungan yang tidak harmonis diantara orang tua dan anak. Mendukung anak selalu dalam bidang ataupu hal apapun, serta membantu anak, adalah sangat dibutuhkan dalam hal mencegah adanya perktik kekerasan terhadap anak (Frost,2000:190).

(15)

terjerat dan sengsara dengan keberadaan sang anak. Orangtua seperti ini tidak dapat menerima secara emosional atas keberadaan anaknya, justru lebih frustasi karena mereka masih muda dari segi usia dan juga belum matang dalam menghadapi ataupun mengasuh anak. Penyakit psikologi seperti kecanduan alkohol dan obat-obatan juga dapat menyebabkan orang tua menjadi mudah marah terhadap anak-anaknya (Frost,2000:190).

Selain itu faktor kurangnya peran ayah dalam keluarga juga berpengaruh atas munculnya jidougyakutai. Sebuah buku hasil tulisan Michiyoshi Hayashi yang membahas masalah figur dari kedudukan ayah dalam keluarga berjudul Fusei no Fukken (1996) atau Rehabilitasi Karakter Ayah menjadi best seller di Jepang. Di dalam buku ini Hayashi secara kritis mengemukakan masalah peran ayah yang menghilang dalam keluarga. Selain Hayashi, ada pula pendapat seorang profesor dari Universitas Keio Gijuku bemama Keigo Okonogi yang menyatakan bahwa kini di dalam keluarga-keluarga Jepang kontemporer, suami dan ayah telah kehilangan posisinya sebagai kepala keluarga. Mereka kehilangan kedudukan dan perannya dalam keluarga.Hal inilah yang menyebabkan munculnya kekerasan anak atau jidougyakutai tersebut.

(16)

Kedudukan dan peranan adalah hal yang saling terkait satu dengan yang lain karena pada kedudukan terdapat sejumlah hak dan kewajiban. Hal inilah yang dilakukan.Tindakan yang harus dilakukan terhadap hak dan kewajiban inilah diartikan sebagai peranan, karena tidak ada kedudukan tanpa peranan atau peranan tanpa kedudukan (Soekanto 2000:243).

Dalam keluarga inilah ibu harus memiliki kedudukan atau peranan ganda menjadi seorang ibu dan kepala dalam keluarga dimana hal ini berperan membina dan mendidik anak, sehingga juga mempersiapkan anak untuk bertingkah laku sesuai dengan keadaan sosial dan nilai budaya yang ada dalam masyarakatnya, yang dimulai dari lingkungan keluarga. Jadi, peran seorang ibu sangat penting karena jika seorang ibu membina anak dengan anak akan mengakibatkan kecendrungan terhadap hal negatif terhadap anak yang akan menyebabkan tidak sesuainya pola tingkah laku anak terhadap lingkungan sosial dan nilai kebudayaan dalam masyarakat sekitarnya.

Karena tekanan atau tugas yang banyak itulah kebanyakan seorang ibu mengalami stres.Mereka untuk meluapkan stres tersebut kepada anak yang setiap harinya ada dan bersama si ibu di rumah. Lelah ataupun marah sang ibu diluapkan kepada anak. Hal inilah yang menimbulkan munculnya jidougyakutai.

(17)

1. Sang ibu yang tidak meninginkan kehadiran sang anak dari sejak dalam kandungan

2. Stres

3. Harapan pada anak yang tidak realistis

4. Gangguan jiwa

5. Orang tua yang pernah jadi korban penganiayaan anak dan terpapar oleh kekerasan

6. Anak yang prematur, anak yang retardasi mental, anak yang cacat fisik, anak yang suka menangis hebat atau banyak tuntutan.

2.3.2 Faktor Anak

Penyebab kekerasan terhadap anak mungkin juga terjadi dari dalam dirinya sang anak sendiri. Ketika anak sangat sulit menerima keadaan yang serba sudah atau sulit menerima setatusnya sebagai anak.Ini termasuk anak yang sering menangis ataupun anak yang sangat sulit untuk ditenangkan, anak yang banyak maunya dan keras kepala, dan anak yang tidak merespon keinginan orang tua, serta anak yang memiliki sifat hiperaktif.

(18)

penyakit yang kronis, atau anak yang cacat, orangtua pun kemudian merasa terbebani dengan hal itu, dan ujungnya akan berakhir dengan penganiayaan terhadap anak tersebut.

2.3.3 Faktor Keluarga

Adapun faktor keluarga yang mempengaruhi munculnya kekerasan pada anak adalah:

1. Tidak stabilnya ekonomi keluarga beberapa contoh akibat ketidakstabilan ekonomi adalah hilangnya pekerjaan dari salah satu orangtua bahkan lebih, perubahan pekerjaan, terlilit akan hutang, dan juga hal lain-lain yang menjadi sumber kesulitan dalam ekonomi keluarga.

2. Stres dalam hubungan keluarga beberapa contoh yang menimbulkan stres dalam hubungan keluarga adalah terjadinya perceraian, pisah ranjang antara ibu dan ayah, ketidak harmonisan dalam keluarga, pertengkaran yang selalu terjadi antara ayah dan ibu, hubungan pernikahan yang tidak stabil, serta hal lain-lain yang menyebabkan tingkat stres yang tinggi dalam keluarga.

(19)

4. Kelahiran anak yang tidak diinginkan beberapa contoh kelahiran anak yang tidak diinginkan yaitu, anak lahir dengan keadaan fisik yang tidak normal, anak prematur, anak mengalami keterbelakangan mental, jenis kelamin tidak sesuai dengan keinginan oang tua, serta hal lain-lainnya.

5. Anak yang terisolasi dari lingkungan sekitar beberapa contohnya adalah anak yang diisolasi dari teman-teman dilingkungannya, anak yang diisolasi dari kluarga, serta hal lain-lainnya.

Ketika faktor-faktor yang memicu adanya kekerasan terhadap anak, hal-hal di atas tidak menjaminsuatu tindak kekerasan itu akan terjadi. Ketika faktor-faktor tersebut muncul secara bersamaan, resiko untuk terjadinya kekerasan terhadap anak akan menjadi semakin besar (Frost,2000:1990-191).

Referensi

Dokumen terkait

Bahwa dalam ketentuan menimbang huruf e Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak diperlukan

kekerasan atau perlakuan yang salah yaitu peristiwa pelukaan fisik, mental, atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap

Berdasarkan hasil penjajagan awal yang dilakukan pada Dinas Pengendalian Penduduk, keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten Subang

Data primer di dapat dari hasil observasi dan wawancara 8 orang informan dan data sekunder di peroleh dari dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian

Karakteristik utama dari pengasuhan anak di Jepang antara lain, (1) besarnya peran ibu, (2) ayah tidak terlalu banyak terlibat dalam pengasuhan anak, (3)

Dengan adanya penghapusan sistem Ie pasca Perang Dunia II dan fenomena kemajuan ekonomi di Jepang yang berpengaruh kepada perubahan nilai-nilai keluarga dari struktur

Umumnya semakin besar maju perkembangan sebuah kota, maka akan semakin besar juga jumlah penduduk yang tinggal di wilayah itu serta semakin besarnya harapan dari penduduk tersebut akan

Perubahan masyarakat yang cepat sebagai akibat dari globalisasi dan modernisasi membuat ikatan keluarga modern yang semakin kecil, sehingga membuat lansia di Jepang yang tidak mampu