BAB II
SEJARAH ACEH DAN PERUBAHAN POLITIK PASCA MoU HELSINKI
2.1 Dinamika Sejarah Aceh
Aceh merupakan salah satu daerah yang telah mengalami perjalanan
sejarah cukup panjang. Sebagaimana yang diketahui, masyarakat Aceh dulu
pernah berjaya sebagai sebuah kerajaan yang makmur serta memiliki hubungan
perdagangan dan diplomatik yang luas dengan dunia luar. Bahkan pada masa
jayanya tersebut, Aceh merupakan pusat penyebaran agama Islam ke beberapa
tempat di Indonesia dan Asia Tenggara.28 Dalam sejarahnya, masyarakat Aceh
telah mengamalkan nilai-nilai keislaman yang begitu kuat sejak zaman
kesultanan, sehingga Islam tidak hanya berperan sebagai sebuah agama melainkan
juga menjadi adat yang melekat dalam diri masyarakat Aceh.
Semangat mempertahankan keislaman yang dimiliki oleh masyarakat
Aceh telah membawa Aceh kepada kemenangan melawan penjajahan Belanda
dimana Aceh merupakan satu-satunya daerah yang tidak pernah ditaklukan oleh
Belanda. Semangat ini juga yang memberi suatu kekuatan pada masyarakat Aceh
sehingga mereka tidak takut mati dalam memperjuangkan negara dan agama.
Masyarakat Aceh menjadikan Islam sebagai pedoman hidupnya dimana Islam
telah menjadi bagian dari mereka baik dengan segala kelebihan maupun
kekurangannya. Masyarakat Aceh amat tunduk kepada ajaran Islam dan mereka
28
taat serta memperhatikan fatwa ulama karena ulamalah yang menjadi ahli waris
Nabi. Aceh dikenal sebagai Serambi Mekkah dikarenakan dari wilayah paling
barat inilah kaum Muslimin dari wilayah lain di Nusantara berangkat ke tanah
suci Mekkah untuk menunaikan rukun islam yang kelima (ibadah haji).29
Syariat Islam di Aceh bukanlah merupakan suatu hal yang baru, dimana
usaha penerapannya telah dikenal sejak zaman kesultanan terdahulu. Syariat atau
hukum Islam merupakan seperangkat peraturan Allah yang wajib dilaksanakan
oleh setiap umat Islam. Hal tersebut bertujuan untuk menjalin hubungan antara
manusia dengan Allah dan antara manusia dengan manusia secara reguler, dan
ketentuan tersebut yang menyebabkan syariat tidak dapat dipisahkan dengan etika
maupun akhlak.30 Akan tetapi, keinginan untuk membangun pemerintahan Aceh
yang berlandaskan kepada syariat Islam sering sekali mendapat hambatan,
terutama dari pemerintahan pusat. Setelah zaman kesultanan berakhir, semangat
dalam upaya memperjuangkan tegaknya syariat Islam di Aceh semakin menurun.
Pada masa perjuangan memperoleh kemerdekaan Indonesia, suasana
revolusioner juga begitu terasa di Aceh. Perang selama puluhan tahun yang amat
dahsyat melawan Belanda sejak April 1873, telah melahirkan sentimen anti
kolonial yang mengakar di hati rakyat Aceh, sehingga menjadi dorongan yang
kuat untuk ikut serta membangun suatu negara baru yang bebas dari kolonial,
yakni Indonesia. Namun dukungan yang utamanya berasal dari para ulama
29
Lihat Rusjdi Ali Muhammad. 2003. Revitalisasi Syari‟at Islam di Aceh. Banda Aceh: Ar-Raniry Press. hal. 259.
30
tersebut terjadi bukan tanpa syarat. Soekarno, presiden pertama sekaligus
proklamator Indonesia, melakukan kunjungan ke Banda Aceh pada tahun 1947
dalam rangka untuk mendapatkan dukungan mempertahankan kemerdekaan.
Selanjutnya, tokoh-tokoh Aceh meminta Soekarno untuk menandatangani
perjanjian agar dapat tegaknya syariat Islam sebagai syarat dukungan yang akan
diberikan oleh rakyat Aceh. Kemudian Soekarno bersumpah akan memenuhi
syarat yang diminta walaupun tetap menolak memberikan janji tertulis.31 Melalui
permintaan Soekarno dan didasari pertimbangan bahwa Indonesia adalah negara
yang berasaskan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, maka kesempatan tersebut
dipergunakan dengan baik oleh Daud Breueh32 yang pada waktu itu merupakan
pemimpin Aceh.
Setelah Aceh bergabung dengan Indonesia dan Indonesia telah
memperoleh kemerdekannya, janji tersebut tidak ditepati sehingga menimbulkan
ketegangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah Aceh. Hal tersebut
dapat dilihat dalam pidato Soekarno pada tanggal 27 Januari 1953 di Amuntai,
Kalimantan Selatan, dimana Soekarno menyatakan menolak Islam sebagai dasar
negara.33 Kekecewaan terhadap janji presiden Soekarno tersebut akhirnya
menyebabkan Breueh menyatakan bergabung dengan Darul Islam/Tentara Islam
31
Ahmad Taufan Damanik. 2010. Hasan Tiro : Dari Imajinasi Negara Islam ke Imajinasi Etno-Nasionalis. Jakarta: FES Indonesia. hal. 18.
32
Tgk Muhammad Daud Bereueh adalah seorang pahlawan Aceh dan ketua PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh). Selain itu, pada masa revolusi beliau juga pernah menjabat sebagai Gubernur militer Aceh. 33
Indonesia (DI/TII) dibawah pimpinan Imam Kartosuwiryo di Jawa Barat untuk
memproklamirkan Negara Islam Indonesia dan memisahkan diri dari Indonesia.34
Namun setelah dilakukan perundingan damai, gerakan DI/TII berhasil
dihentikan. Pemberontakan yang dilakukan oleh Bereueh tentu memiliki alasan.
Selain pertentangan politik dan ideologi baik di internal pusat kekuasaan maupun
di antara Aceh dan pusat serta masalah ekonomi dan pendidikan di Aceh yang
kacau, penggabungan provinsi Aceh ke dalam provinsi Sumatera Utara
merupakan puncaknya.35 Tertanggal pada 17 Desember 1949, Aceh dinyatakan
sebagai satu provinsi yang berdiri sendiri yang lepas dari provinsi Sumatera Utara.
Akan tetapi, setelah Republik Indonesia kembali ke negara kesatuan,
melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950
status daerah Aceh kembali ditetapkan menjadi salah satu keresidenan dalam
Provinsi Sumatera Utara. Ketetapan ini kemudian menimbulkan ketidakpuasan di
kalangan pemimpin dan rakyat Aceh, dimana akhirnya menimbulkan gejolak
perlawanan pada tahun 1953 yang melibatkan hampir seluruh rakyat Aceh.
Kemudian agar gejolak tersebut mereda, pemerintah pusat menetapkan kembali
status Keresidenan Aceh menjadi daerah otonom Provinsi Aceh yang kebijakan
tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang
“Pembentukan Daerah Otonomi Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan
34 Al Chaidar. 2000. Gerakan Aceh Merdeka Jiahd Rakyat Aceh Mewujudkan Negara Islam. Jakarta: Madani Press. hal. 116.
35
Pembentukan Propinsi Sumatera Utara”.36
Pemberontakan Darul Islam yang
dipimpin Daud Bereueh dimana Hasan Tiro juga ikut terlibat di dalamnya
merupakan awal dari pertentangan ideologi-politik antara Aceh dan Indonesia.
Salah satu puncak permasalahannya yakni pada masa pemerintahan Orde
Baru dimana Aceh merasakan ketidakadilan pembagian keuangan ataupun hasil
pendapatan daerah yang dilakukan oleh pemerintah pusat (Jakarta) terhadap
daerahnya. Selain itu juga terjadi pengeksploitasian sumber daya alam Aceh
secara besar-besaran yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan mengabaikan
kesejahteraan masyarakat Aceh. Pertikaian bernuansa ekonomi tersebut kemudian
berkembang menjadi ketidakpuasan dalam bidang pemerintahan dan politik,
dimana aspirasi lokal tidak pernah diperhatikan.
Walaupun pemberontakan DI/TII telah berhasil dihentikan, tokoh-tokoh
DI/TII yang masih merasa kecewa dan tidak puas hati kemudian mendukung
untuk membentuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Salah satu di antara
tokoh-tokoh tersebut adalah Hasan Tiro. Beliau merupakan salah seorang keluarga
DiTiro yang merasa memiliki kewajiban untuk memperjuangkan kemerdekaan
bangsa Aceh seperti yang telah dilakukan oleh pendahulunya. Pada 4 Desember
1976 Hasan Tiro memproklamasikan kemerdekaan Aceh dengan organisasi
Acheh-Sumatera National Liberation Front (ASNLF) atau Acheh Freedom
Movement, selanjutnya lebih dikenal dengan Gerakan Acheh Merdeka (GAM)
yang bermarkas di Stockholm, Swedia. Berbeda dengan Darul Islam pimpinan
Daud Bereueh, Deklarasi Kemerdekaan Aceh disebut-sebut sama sekali tidak
menyinggung isu agama dan cenderung sekuler (secular in nature).
Meskipun dalam berbagai dokumen tertulis maupun pernyataan lainnya,
dimana Qur‟an disebutkan sebagai konstitusi negara, akan tetapi penyebutan ini
lebih bersifat insidental. Bahkan di masa 1980-an dimana GAM kembali muncul
dan isu mendirikan negara Islam sudah lebih eksplisit dinyatakan, tetap saja isu
utama organisasi perlawanan ini adalah melawan kolonialisme Jawa yang mereka
anggap telah menduduki wilayah tanah air dan kekayaan alam Aceh.37
Pemerintahan Orde Baru mengekspoitasi gas alam dan minyak bumi di Aceh yang
melimpah dimana hal tersebut bermula pada tahun 1970-an. Sumber-sumber
ekonomi milik rakyat Aceh sepenuhnya dikuasai oleh pemerintah pusat, yang
kemudian menyebabkan terjadinya kesenjangan pembagian hasil pendapatan
antara pemerintah pusat dan Aceh.
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) kemudian dianggap menjadi ancaman
besar bagi Indonesia dan juga dianggap sebagai gerakan terorisme. Oleh karena
itu, pemerintah Indonesia di bawah presiden Soeharto menerapkan Aceh sebagai
Daerah Operasi Militer (DOM). Hal tersebut bertujuan untuk menghancurkan
perjuangan GAM. Akan tetapi, justru ribuan orang menjadi korban pelanggaran
HAM, dimana terjadi kasus seperti pembunuhan, pelecehan, pemerkosaan,
penculikan dan tindakan kekerasan lainnya. Tercatat sekitar 1.000 warga sipil
37
Aceh dibunuh dalam tiga tahun pertama DOM. Perhitungan korban yang paling
konservatif terjadi pada akhir 1998 dimana tercatat 871 orang dibunuh seketika
oleh tentara dan 387 orang hilang yang kemudian pada akhirnya ditemukan wafat.
Lebih dari 500 orang lainnya terdaftar sebagai orang hilang dan tidak pernah
ditemukan. Penyiksaan terus berlangsung sampai DOM dicabut pada 7 Agustus
1998.38
Sejak kejatuhan presiden Soeharto pada 21 Mei 1998, kebebasan akan
berpendapat dan berpolitik semakin terbuka lebar. Pada 8 November 1999 sekitar
satu juta rakyat Aceh dari berbagai daerah berorasi secara besar-besaran menuntut
referendum menuju kemerdekaan Aceh, yang dimobilisir oleh kalangan
intelektual Aceh yang terhimpun dalam Sentral Informasi Referendum Aceh
(SIRA). Dalam tuntutan tersebut, Aceh mengangkat isu pembantaian selama
DOM. Pemerintah pusat (Jakarta) berjanji akan menindaklanjuti pelanggaran hak
asasi manusia tersebut. Akan tetapi hal itu tidak pernah terealisasikan dan bahkan
pada masa Presiden Habibie, pengawasan militer terhadap Aceh semakin
ditingkatkan yang bertujuan mengucilkan GAM dari masyarakat sipil.39
Pada masa pemerintahan Habibie, keadaan politik di Aceh belum pulih
hingga pada tahun 1999 dilakukan pemilihan umum, dan BJ. Habibie digantikan
oleh Gus Dur. Untuk menyelesaikan konflik Aceh, Gus Dur menawarkan otonomi
sepenuhnya bagi Aceh, menerapkan syariat Islam dan pembagian hasil dari
38
Harry Kawilarang. 2010. Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki. Banda Aceh: Bandar Publishing. hal. 160.
39
pendapatan eksploitasi gas dan minyak bumi di Aceh. Akan tetapi di sisi lain,
sebagian besar kesepakatan Gus Dur ditentang oleh Dewan Perwakilan Rakyat di
Jakarta dan juga wakil presiden Megawati yang menilai bahwa hal tersebut akan
memberikan peluang munculnya gerakan separatis di berbagai daerah.
Melihat keadaan tersebut, kemudian Hasan Tiro dan Gus Dur mulai
menunjukkan keinginan untuk berdamai. Kemudian pada tanggal 27 Januari 2000
terjadi perundingan yang difasilitasi oleh Hendry Dunant Centre40 di Geneva.
GAM dan pemerintah Gus Dur memasuki proses negosiasi pada bulan Januari
tahun 2000 untuk mencari jalan keluar penyelesaian konflik di Aceh. Walaupun
perundingan telah dilakukan, akan tetapi tetap saja terjadi kekerasan di Aceh yang
dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan GAM. Selanjutnya pada tahun 2002,
HDC kembali memfasilitasi penandatanganan kesepakatan penghentian
permusuhan. Bahkan hal tersebut tetap saja gagal dan kontak senjata masih terus
berlanjut.
Dalam perkembangan selanjutnya, tentara Indonesia menolak untuk
menarik diri dan GAM juga menolak untuk meletakkan senjata. Kemudian
Presiden Indonesia selanjutnya yakni Megawati Soekarni Putri, kembali
melaksanakan status darurat militer di Aceh. Dampaknya hal tersebut justru
semakin memperparah keadaan politik di Aceh. Selanjutnya pada September
2004, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla terpilih sebagai presiden dan
40
wakil presiden berikutnya. Pada 26 Desember 2004, Aceh dilanda bencana
tsunami yang mengakibatkan ratusan ribu jiwa rakyatnya menjadi korban dan
memporak-porandakan Aceh.
Eksistensi ataupun keberadaan Aceh di dunia Internasional sebelum
bencana tsunami tidaklah begitu diperhatikan. Akan tetapi saat tsunami melanda
Aceh, banyak negara yang datang memberikan bantuan kepada Aceh sehingga
membuat Aceh semakin dikenal di dunia Internasional dan juga mulai terbukanya
berbagai permasalahan konflik kekerasan yang telah terjadi di Aceh selama
berpuluh tahun lamanya. Namun bencana tsunami juga tidak mengurangi
ketegangan yang terjadi antara pihak tentara Indonesia dengan GAM.
Kemudian pada 15 Agustus 2005 tercapailah kesepakatan damai antara
pemerintah Republik Indonesia dengan GAM di Helsinki, Finlandia, yang di
mediasi oleh mantan Presiden Finlandia yaitu Martti Ahtisaari dan Ketua Dewan
Direktur Crisis Management Initiative sebagai fasilitator proses negosiasi. Hal
tersebut dapat terwujud setelah sebelumnya telah terjadi lima kali perundingan
dalam rangka mencapai perdamaian bagi kedua belah pihak. Perjanjian
perdamaian ini kemudian dikenal dengan MoU Helsinki.41 MoU (Memorandum of
Understanding) atau Nota Kesepahaman ini nantinya bahwa kedua belah pihak
akan melakukan sesuatu untuk tujuan tertentu sesuai dengan isi yang telah
disepakati di dalam nota kesepahaman tersebut. Oleh karena itu, hal tersebut yang
41
kemudian menjadi landasan perdamaian antara Republik Indonesia dan Gerakan
Aceh Merdeka (GAM). Wakil Presiden Republik Indonesia yang pada saat itu
juga terlibat dalam upaya perdamaian di Aceh, yakni Jusuf Kalla, pada 17 April
2007 dalam buku berjudul Aceh Baru : Tantangan Perdamaian dan Reintegrasi,
mengatakan:
“Perdamaian itu mahal. Tapi jauh lebih murah daripada perang. Perdamaian di Aceh dicapai dengan jalan panjang, berbelit dan penuh kesabaran.”
Begitulah dinamika sejarah yang terjadi dalam upaya menciptakan perdamaian di
bumi Aceh (Serambi Mekkah) tersebut.
Selanjutnya roda pemerintahan Republik Indonesia tetap bergulir dari satu
presiden ke presiden lainnya. Runtuhnya kekuasaan presiden Soeharto telah
mewujudkan pemerintahan yang lebih demokratik bagi bangsa Indonesia. Salah
satunya yakni ditandai dengan pemberian otonomi khusus kepada beberapa
daerah yang ada di seluruh Indonesia. Pada tahun 1999, pemerintah Indonesia
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 mengenai
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Undang-undang inilah yang kemudian menjadi dasar penerapan syariat
Islam di Aceh, dimana isi daripada Keistimewaan untuk Aceh berupa pelaksanaan
kehidupan beragama, adat dan pendidikan serta memperhatikan peranan ulama
dalam penetapan kebijakan daerah.42 Selain itu, dalam undang-undang tersebut
42
juga ditegaskan bahwa Aceh diberikan keistimewaan yaitu pelaksanaan Syariat
Islam dalam aspek kehidupan sosial masyarakat secara menyeluruh (kaffah).43
Dengan demikian, seluruh aspek kehidupan masyarakat Aceh akan diatur oleh
hukum syariat yang bersumber dari Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi Muhammad, baik
yang diambil dari pendapat dan penafsiran para ulama Islam terdahulu ataupun
berdasarkan hasil musyawarah ulama Aceh yang ada saat ini dengan berlandaskan
pada konteks budaya dalam masyarakat Aceh.
Perkembangan selanjutnya yang dialami Aceh, yakni pada tahun 2001
pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam undang-undang ini, hal-hal yang bersifat
umum yang terdapat pada undang-undang sebelumnya dibuat menjadi lebih
khusus, yaitu dengan menetapkan peraturan daerah Aceh yang disebut dengan
qanun, dan diakuinya Mahkamah Syariah sebagai bagian dari sistem peradilan di
Indonesia.44
Undang-undang ini kemudian menjadi dasar dari lahirnya beberapa qanun
pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Namun setelah disahkannya Undang-Undang
Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2001 tersebut menjadi tidak berlaku lagi. Undang-Undang Nomor 11
43
Pasal 4 Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh menyatakan bahwa Syariat Islam merupakan keistimewaan bagi Aceh yang meliputi empat hal yakni dalam menyelenggarakan kehidupan beragama, pendidikan, kehidupan adat, dan menempatkan ulama dalam penetapan kebijakan.
44
Tahun 2006 yang kemudian menegaskan lahirnya undang-undang yang mengatur
syariat Islam di Aceh yang disebut dengan qanun. Qanun lahir melalui proses
perundingan di DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh), dimana qanun inilah
yang kemudian menjadi hukum resmi syariat Islam di Aceh.
Qanun adalah Peraturan Perundang-undangan sejenis Peraturan Daerah
yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat di
Provinsi Aceh. Berikut ini adalah Qanun Aceh yang diterbitkan pada tahun 2014
:45
Qanun Aceh no 1 Tahun 2014 tentang Retribusi Jasa Umum
Qanun Aceh no 3 Tahun 2014 tentang Retribusi Perizinan Tertentu
Qanun Aceh no 4 Tahun 2014 tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh Tahun Anggaran 2013
Qanun Aceh no 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat
Qanun Aceh no 7 Tahun 2014 tentang Ketenagakerjaan
Qanun Aceh no 8 Tahun 2014 tentang Pokok-pokok Syariat Islam
Qanun Aceh no 9 Tahun 2014 tentang Pembentukan Bank Aceh Syariah
Qanun no 10 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Qanun Aceh Nomor 1
Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Keuangan Aceh
Qanun no 11 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan
45
2.2 Latar Belakang Pembangunan Banda Aceh Pasca MoU Helsinki
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan salah satu provinsi yang
ada di Indonesia yang terletak di Pulau Sumatera. Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam yang sebelumnya bernama Daerah Istimewa Aceh, sejak tahun 1999
memiliki delapan belas kabupaten dan lima pemerintahan kota.46 Ibukota dari
Raya, Baiturrahman, Leung Bata, Kuta Alam, Kuta Raja, Syiah Kuala, dan Ulee
Kareng. Batas-batas wilayah kota Banda Aceh sebelah utara adalah Selat Malaka,
sebelah Selatan dan Timur berbatasan dengan Kabupaten Aceh Besar, dan sebelah
Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia. Banda Aceh memiliki luas wilayah
yaitu 61,36 Km2.47
Dahulunya sebelum menjadi kota Banda Aceh, kota ini memiliki
sejarahnya tersendiri. Berdasarkan naskah tua dan catatan-catatan sejarah,
Kerajaan Aceh Darussalam dibangun diatas puing-puing kerajaan hindu dan
budha. Dari penemuan batu-batu nisan di Gampong Pande, salah satu dari batu
46
http://www.negeripesona.com/2013/05/nama-kabupaten-kota-provinsi-nanggroe-aceh-darussalam.html. Di Akses pada tanggal 19 Februari 2016 Pukul 23.18 WIB.
47BPS Kota Banda Aceh. 2011. “Banda Aceh dalam Angka 2011”
nisan tersebut terdapat batu nisan Sultan Firman Syah cucu dari Sultan Johan
Syah. Maka terungkaplah bahwa Kutaraja adalah Ibukota Kerajaan Aceh
Darussalam yang dibangun oleh Sultan Johan Syah pada hari Jumat, tanggal 1
Ramadhan 601 H (22 April 1205 M). Keterangan lain mengenai Kerajaan Aceh
Darussalam juga dibuktikan dengan ditemukannya batu nisan milik Sultan Ali
Mughayat Syah. Kendati masa pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah relatif
singkat, namun ia berhasil membangun Banda Aceh sebagai pusat peradaban
Islam di Asia Tenggara. Pada masa ini, Banda Aceh telah berevolusi menjadi
salah satu kota pusat pertahanan yang ikut mengamankan jalur perdagangan
maritim dan lalu lintas jemaah haji dari perompakan yang dilakukan armada
Portugis.
Pada masa pemerintahan Sultan Alaidin Mahmud Syah, istana Kerajaan
Aceh dibangun ulang diseberang Krueng Aceh. Selain itu, beliau juga mendirikan
Masjid Raya Baiturrahman pada tahun 691 H dan Bandar Aceh Darussalam
dijadikan sebagai ibukota Kerajaan Aceh Darussalam. Pada masa Agresi Belanda
yang kedua, Gubernur Van Swieten memproklamirkan jatuhnya Kesultanan Aceh
dan mengubah nama Banda Aceh Darussalam menjadi Kuta Raja. Pergantian
nama ini menimbulkan banyak pertentangan. Setelah masuk dalam pangkuan
Pemerintah Republik Indonesia, sejak 28 Desember 1962 nama kota ini kembali
diganti menjadi Banda Aceh berdasarkan Keputusan Menteri Pemeirntahan
Berdasarkan sejarah diatas, maka diketahui bahwa Banda Aceh sudah berusia
lebih dari 800 tahun dengan penetapan hari jadi pada tanggal 22 April.48
Selanjutnya mengenai profil kota Banda Aceh, yakni bahwasanya kota
Banda Aceh dibelah oleh Krueng Aceh yang merupakan sungai terpanjang di
kawasan kota Banda Aceh dan kabupaten Aceh Besar. Kota Banda Aceh diapit
oleh dua patahan, yaitu patahan darul imarah dan darussalam, dan kedua patahan
yang merupakan sesar aktif tersebut diperkirakan bertemu pada pegunungan di
sebelah tenggara, sehingga dataran Banda Aceh merupakan batuan sedimen yang
berpengaruh kuat apabila terjadi gempa di sekitarnya.49 Kemudian, tentunya
sebagai sebuah kota maka Banda Aceh juga memiliki lambangnya tersendiri.
Lambang Kota Banda Aceh mengandung tujuh unsur perlambangan, yaitu :50
1. Pancasila yang dilambangkan dengan :
a. Lima warna yang terdapat dalam lukisan lambang daerah yaitu
kuning, hijau, hitam, merah, dan putih
b. Puncak masjid dengan latar belakang gunongan yang semuanya
berjumlah lima puncak
c. Lima buah sudut di bagian atas perisai
48
Keterangan mengenai sejarah kota Banda Aceh terdapat pada pajangan yang ada di Kantor Walikota Banda Aceh dan dapat dilihat di lampiran.
49
Keterangan mengenai profil kota Banda Aceh terdapat pada pajangan yang ada di Kantor Walikota Banda Aceh dan dapat dilihat di lampiran.
50
2. Kebudayaan/keagamaan, yang dilambangkan dengan Gunongan dan
Kubah Masjid
3. Kemakmuran yang dilambangkan dengan Lada dan Padi
4. Kepahlawanan yang dilambangkan dengan Rencong Terhunus
5. Pendidikan/semangat Proklamasi 17 Agustus 1945, yang dilambangkan
dengan Tugu Kota Pelajar/Mahasiswa Darussalam
6. Pelindung/pembela rakyat yang dilambangkan dengan Perisai
7. Keagungan yang dilambangkan dengan warna kuning
Banda Aceh dengan statusnya sebagai sebuah Wilayah Administrasi Kota
dipimpin oleh seorang Walikota. Walikota membawahi Pemerintahan Daerah
yaitu Camat sebagai pemimpin Kecamatan. Camat membawahi Kepala Gampong
yang berada di dalam wilayahnya. Kota Banda Aceh yang memiliki 9 kecamatan
dan 90 gampong, dengan demikian terdapat 9 orang camat dan 90 kepala desa
(geuchik). Setiap kepala pemerintahan tersebut memiliki wewenang untuk
mengatur roda administrasi wilayahnya masing-masing.
Selanjutnya dalam perkembangannya yang dinamis, kota Banda Aceh
telah mengalami Pemekaran Wilayah Administrasi. Pada tahun 2000, Kecamatan
Meuraxa mengalami pemekaran dengan dua tambahan kecamatan baru, yaitu
Kecamatan Banda Raya dan Kecamatan Jaya Baru. Selain itu, Kecamatan
Bata.51 Menurut data dari Badan Pusat Statistik Kota Banda Aceh, jumlah
penduduk kota Banda Aceh pada pertengahan tahun 2014 dari sembilan
kecamatan yang ada yakni 249 499.00 jiwa, dengan rata-rata kepadatan penduduk
per desa sekitar 2 772.00 jiwa.52
Mayoritas penduduk kota Banda Aceh merupakan penganut agama Islam.
Sekitar 98 persen penduduk kota Banda Aceh memeluk agama Islam dan 2 persen
agama lainnya. Penduduk non muslim paling banyak bertempat tinggal di
Kecamatan Kuta Alam. Dari segi pertanian, sektor ini di kota Banda Aceh bukan
merupakan sektor unggulan dari kegiatan perekonomian masyarakatnya. Hal ini
disebabkan kondisi geografis kota Banda Aceh yang kurang mendukung untuk
kegiatan di sektor pertanian. Tetapi sub sektor perikanan dan kelautan merupakan
salah satu sub sektor yang paling banyak memberikan kontribusi bagi
perekonomian kota Banda Aceh dibandingkan sub sektor lainnya.
Sub sektor ini menyerap tenaga kerja yang cukup banyak, hal ini
disebabkan letak kota Banda Aceh yang dikelilingi laut. Di sekitar pesisir pantai
mayoritas penduduknya merupakan nelayan atau berusaha di sektor perikanan dan
kelautan.53 Selanjutnya dalam sektor perindustrian, di kota Banda Aceh sektor ini
lebih didominasi oleh industri berskala kecil atau disebut industri rumah tangga.
Setelah perekonomian Indonesia mengalami krisis pada tahun 1998, sektor
51BPS Kota Banda Aceh. 2011. “Banda Aceh dalam Angka 2011”. BPS Kota Banda Aceh. hal. 9. 52
http://bandaacehkota.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/3. Di Akses pada tanggal 19 Februari 2016 Pukul 23.40 WIB.
53BPS Kota Banda Aceh. 2011. “
industri rumah tangga merupakan salah satu sektor yang bertahan dari lesunya
perekonomian saat itu. Tidak berbeda dari wilayah lainnya, kota Banda Aceh juga
ditopang oleh industri rumah tangga ini. Pada tahun 2010, jumlah unit usaha
industri kecil formal di kota Banda Aceh sebanyak 1.171 unit dan industri kecil
non formal sebanyak 2.280 unit.54
Berbagai peristiwa telah terjadi di Aceh, dimulai dari konflik
berkepanjangan yang terjadi antara pemerintah pusat dan pemerintah Aceh,
kemudian tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 yang membawa duka bagi
Aceh, hingga tiba pada tahap pencapaian perdamaian yang terwujud dalam MoU
Helsinki. Bencana gempa bumi dan tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004,
telah meluluhlantakkan kota Banda Aceh. Bencana ini menghancurkan sebanyak
2/3 infrastruktur, 21.751 unit rumah, 169 unit fasilitas pendidikan, 25 unit fasilitas
kesehatan, 302 km jalan, 63 unit gedung pemerintahan dan bangunan pasar rusak
parah, hancurnya 46 fasilitas sosial serta hilang dan tewasnya 61.065 jiwa.
Namun berbekal mental masyarakat Aceh yang teguh, sabar dan tidak
berputus asa serta didukung oleh berbagai jenis bantuan baik dari nasional
maupun internasional, kota Banda Aceh pun kembali bangkit.55 Dalam menangani
masalah tsunami di Aceh maka pada awal Maret 2005, pemerintah mengadakan
proses perencanaan rehabilitasi dan rekonstruksi di Banda Aceh yang melibatkan
berbagai pihak, termasuk donor internasional, Non Government Organization
54BPS Kota Banda Aceh. 2011. “Banda Aceh dalam Angka 2011”
. BPS Kota Banda Aceh. Op.Cit. hal. 151.
55
(NGO) baik dari dalam maupun luar negeri, serta dari pihak masyarakat
umumnya.
Pasca MoU Helsinki, telah terjadi babak kehidupan baru yakni tercapainya
perdamaian antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
yang ditandai dengan berakhirnya konflik antar keduanya. Hal tersebut kemudian
menimbulkan dampak yang cukup signifikan bagi Aceh. Tentunya sebagai
ibukota dari Provinsi Aceh (Nanggore Aceh Darussalam), maka Banda Aceh juga
tidak terkecuali dalam hal ini. Beberapa dampaknya dapat dilihat melalui tiga
ruang lingkup, yaitu ruang lingkup sosial, ekonomi, dan politik.
Dalam ruang lingkup sosial, dapat dilihat melalui diterapkannya syariat
Islam secara menyeluruh di Aceh melalui dibentuknya Undang-Undang
Pemerintahan Aceh (UUPA) tahun 2006. Sebagai upaya dalam mendukung
penerapan syariat Islam tersebut, maka dibentuklah qanun (peraturan daerah
Aceh), salah satu contohnya saat ini yakni qanun jinayat nomor 6 tahun 2014
mengenai aturan tentang hukuman atas perilaku jarimah yang luas termasuk di
dalamnya meliputi maisir (judi), khamar (minum-minuman keras), dan khalwat
(mesum).
Selanjutnya dalam ruang lingkup ekonomi, yakni sebelum tsunami dan
Mou Helsinki disepakati, kondisi perekonomian Aceh sangatlah miris terutama
akibat dari konflik yang terjadi berkepanjangan. Namun setelah tsunami dan Mou
infrastruktur seperti gedung pemerintahan, pasar-pasar, sekolah-sekolah sudah
mulai dibangun. Jika dilihat dari segi pendidikan juga terjadi dampak yang cukup
signifikan. Sebelum bencana gempa dan tsunami terjadi, gambaran umum
pendidikan di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) memang memprihatinkan.
Konflik politik dan kekerasan bersenjata antara Tentara Nasional Indonesia (TNI)
dan GAM semakin memperbesar masalah pendidikan disana. Hal tersebut dapat
dilihat seperti terjadinya peristiwa pembakaran gedung sekolah, penculikan dan
pembunuhan guru, kegiatan sekolah yang sering diliburkan, sehingga
menyebabkan banyaknya anak yang menjadi traumatis dan menjadi korban,
dimana keadaan tersebut yang semakin mempersulit dalam membangun dunia
pendidikan di NAD selama ini.56
Pasca bencana gempa dan tsunami, keadaan proses belajar mengajar di
NAD mulai membaik. Adanya keseriusan dari pemerintah, badan-badan swasta
dan lembaga swadaya masyarakat (NGO/LSM) serta relawan-relawan lainnya
telah membuat keadaan pendidikan di NAD mengalami kemajuan. Walaupun
awalnya pemerintah mengalami kendala yang cukup kompleks, salah satunya
yakni mengenai perlunya biaya yang besar dalam membangun kembali
pendidikan di NAD.57 Namun beberapa tahun pasca kejadian tersebut, kemajuan
pembangunan infrastruktur di Aceh meningkat bahkan bangunan seperti pusat
56
digilib.upi.edu/administrator/fulltext/d_adpen_039737_khairuddin_chapter1.pdf pdf tentang pendidikan di NAD. hal. 3-4.
57
perbelanjaan (mall), tempat rekreasi, hotel, sudah mulai terdapat di Aceh,
terutama Banda Aceh.
Kemudian dari segi politik, terbentuknya MoU Helsinki merupakan
sebuah awal yang penting, dikarenakan dalam mengimplementasikan perjanjian
tersebut terdapat peran GAM yang cukup signifikan. Peran GAM dalam proses
reintegrasi menjadi penting untuk diperhatikan, terutama dengan masuknya
kalangan GAM ke dalam pemerintahan lokal pasca pilkada langsung pada
Desember 2006. Kemenangan tersebut telah membuka jalan bagi kalangan GAM,
yang sebelumnya bukan hanya berada di luar melainkan juga berhadapan dengan
pemerintah, untuk terlibat langsung dalam proses kebijakan publik di Aceh.
Seperti yang telah diketahui bahwa dalam pilkada langsung sebelumnya, calon
kepala daerah dari kalangan GAM berhasil meraih kemenangan di beberapa
daerah. Salah satunya yakni mantan GAM yang berhasil menjabat sebagai
Gubernur Aceh, yang diraih oleh pasangan Irwandi Jusuf dan Muhammad
Nazar.58
Sekalipun pada akhirnya yang dicapai adalah Nota Kesepahaman dengan
Republik Indonesia, pihak GAM telah mampu menjadikan kekhususan dan
identitas yang diperjuangkannya sebagai bagian yang harus diterima oleh
pemerintah Republik Indonesia. Masuknya sifat-sifat khusus pemerintahan Aceh
yang dilakukan oleh para perunding GAM menunjukan tingkat keberhasilan akan
58
hal itu. Sekalipun GAM tidak memiliki jumlah pasukan dan anggota yang banyak,
namun mereka dapat memasuki lapangan politik praktis. Dalam pemilihan
langsung kepala daerah di Aceh, GAM dan SIRA (organisasi yang didirikan oleh
kalangan kampus) memperoleh kemenangan. Dalam hal tersebut, masyarakat
Aceh yang terluka akibat konflik berkepanjangan lebih memberikan tempat
kepada kelompok yang pernah dengan gigih berjuang melepaskan Aceh dari
Indonesia. Maka dalam perkembangan selanjutnya, GAM juga mendirikan partai
politik lokal.59
Seperti yang dikatakan oleh pasangan walikota dan wakil walikota Banda
Aceh yakni Mawardy Nurdin dan Illiza Sa‟aduddin Djamal dalam dokumen
pencalonan mereka sebelumnya yaitu pada Oktober 2011, mereka mengatakan
bahwa :60
“Banda Aceh paska tsunami secara pasti bergerak lebih maju dan memberi warna tersendiri di antara sejumlah ibukota provinsi yang ada di Indonesia. Terbukti dengan berbagai penghargaan yang diraih kota kita tercinta ini. Untuk tingkat nasional, misalnya, kota Banda Aceh mendapatkan penghargaan Adipura yang membuktikan kita berada di kota yang bersih. Sedangkan di level provinsi, Banda Aceh adalah juara umum pendidikan se-Aceh, penghargaan ini menunjukkan kita melaksanakan pemerataan akses dan perluasan pendidikan di Banda Aceh.”
Hal tersebut membuktikan bahwa Banda Aceh mampu bangkit dari keterpurukan
yang melanda dan akhirnya kemudian semakin berkembang menjadi kota yang
lebih baik setelahnya. Berikut akan dipaparkan gambar visual yang
59
Indra Jaya Piliang. 2010. Bouraq-Singa Komtra Garuda : Pengaruh Sistem Lambang Dalam Separatisme GAM Terhadap RI. Yogyakarta: Penerbit Ombak. hal. 153.
60
menggambarkan keadaan kota Banda Aceh yang telah bangkit melawan
keterpurukan akibat bencana gempa dan tsunami yang pernah melanda pada tahun
2004. Banda Aceh dulunya bernama Kutaraja, yang saat ini telah berusia 810
tahun. Pada gambar dibawah ini, juga terdapat sebuah masjid yang terletak di
tengah kota dan menjadi kebanggaan masyarakat Banda Aceh-Masjid Raya
Baiturrahman, yang juga dikelilingi oleh bangunan-bangunan yang telah kembali
berdiri kokoh.
Gambar: 1 Visual digital jejak Banda Aceh 2004 dan jejak cahaya dalam 2015.61
61