BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Efektivitas
2.1.1. Pengertian Efektivitas
Menurut Stoner (dalam Darsono & Siswandoko, Tjatjuk, 2011) menjelaskan
efektivitas adalah konsep yang luas mencakup berbagai faktor di dalam maupun di
luar organisasi, yang berhubungan dengan tingkat keberhasilan organisasi dalam
usaha untuk mencapai tujuan atau sasaran organisasi.
Efektivitas memiliki makna berhasil atau tepat guna, dimana efektifitas
merupakan hubungan antara output dengan tujuan, semakin besar kontribusi
(sumbangan) output terhadap pencapaian tujuan, maka semakin efektif organisasi,
program atau kegiatan (Mahmudi, 2005).
Efektivitas dapat didefinisikan sebagai tingkat ketepatan dalam memilih atau
meggunakan suatu metode untuk melakukan sesuatu (efektif=do right things)
(Triton Pb: 2010). Efektivitas organisasi adalah kemampuan untuk bertahan,
menyesuaikan diri dan tumbuh, lepas dari fungsi tertentu yang dimilikinya.
(Schein dalam Pabundu Tika, 2005)
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian efektivitas adalah
keberhasilan suatu aktifitas atau kegiatan dalam mencapai tujuan dan target, sesuai
dengan yang telah ditentukan sebelumnya, dan apabila tujuan dan target dapat
tercapai sesuai dengan yang telah ditentukan sebelumnya, dikatakan efektif dan
sebaliknya apabila tujuan dan target tidak dapat tercapai sesuai dengan yang telah
2.1.2 Ukuran Efektivitas
Mengukur efektivitas organisasi bukanlah suatu hal yang sangat sederhana,
karena efektivitas dapat dikaji dari berbagai sudut pandang dan tergantung pada
siapa yang menilai serta menginterpretasikannya. Bila dipandang dari sudut
produktivitas, maka seorang manajer produksi memberikan pemahaman bahwa
efektivitas berarti kualitas dan kuantitas (output) barang dan jasa.
Tingkat efektivitas juga dapat diukur dengan membandingkan antara rencana
yang telah ditentukan dengan hasil nyata yang telah diwujudkan. Namun, jika
usaha atau hasil pekerjaan dan tindakan yang dilakukan tidak tepat sehingga
menyebabkan tujuan tidak tercapai atau sasaran yang diharapkan, maka hal itu
dikatakan tidak efektif.
Adapun kriteria atau ukuran mengenai pencapaian tujuan efektif atau tidak,
sebagaimana dikemukakan oleh S.P. Siagian (1978:77), yaitu:
1. Kejelasan tujuan yang hendak dicapai, hal ini dimaksudkan supaya karyawan
dalam pelaksanaan tugas mencapai sasaran yang terarah dan tujuan organisasi
dapat tercapai.
2. Kejelasan strategi pencapaian tujuan, telah diketahui bahwa strategi adalah
“pada jalan” yang diikuti dalam melakukan berbagai upaya dalam mencapai
sasaran-sasaran yang ditentukan agar para implementer tidak tersesat dalam
pencapaian tujuan organisasi.
3. Proses analisis dan perumusan kebijakan yang mantap, berkaitan dengan
kebijakan harus mampu menjembatani tujuan-tujuan dengan usaha-usaha
pelaksanaan kegiatan operasional.
4. Perencanaan yang matang, pada hakekatnya berarti memutuskan sekarang apa
yang dikerjakan oleh organisasi dimasa depan.
5. Penyusunan program yang tepat suatu rencana yang baik masih perlu
dijabarkan dalam program-program pelaksanaan yang tepat sebab apabila
tidak, para pelaksana akan kurang memiliki pedoman bertindak dan bekerja.
6. Tersedianya sarana dan prasarana kerja, salah satu indikator efektivitas
organisasi adalah kemamapuan bekerja secara produktif. Dengan sarana dan
prasarana yang tersedia dan mungkin disediakan oleh organisasi.
7. Pelaksanaan yang efektif dan efisien, bagaimanapun baiknya suatu program
apabila tidak dilaksanakan secara efektif dan efisien maka organisasi tersebut
tidak akan mencapai sasarannya, karena dengan pelaksanaan organisasi
semakin didekatkan pada tujuannya.
8. Sistem pengawasan dan pengendalian yang bersifat mendidik mengingat sifat
manusia yang tidak sempurna maka efektivitas organisasi menuntut
terdapatnya sistem pengawasan dan pengendalian.
Adapun kriteria untuk mengukur efektivitas suatu organisasi ada tiga
pendekatan yang dapat digunakan, seperti yang dikemukakan oleh Martani dan
Lubis (1987:55), yakni:
yakni mengukur efektivitas dari input. Pendekatan mengutamakan adanya
keberhasilan organisasi untuk memperoleh sumber daya, baik fisik maupun
nonfisik yang sesuai dengan kebutuhan organisasi.
2. Pendekatan proses (process approach)
adalah untuk melihat sejauh mana efektivitas pelaksanaan program dari semua
kegiatan proses internal atau mekanisme organisasi.
3. Pendekatan sasaran (goals approach)
dimana pusat perhatian pada output, mengukur keberhasilan organisasi untuk
mencapai hasil (output) yang sesuai dengan rencana.
Selanjutnya Strees dalam Tangkilisan (2005:141) mengemukakan 5 (lima)
kriteria dalam pengukuran efektivitas, yaitu:
1. Produktivitas
2. Kemampuan adaptasi kerja
3. Kepuasan kerja
4. Kemampuan berlaba
5. Pencarian sumber daya
2.2 Kemiskinan
2.2.1 Pengertian Kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah sosial yang senantiasa hadir ditengah
masyarakat khususnya di negara-negara berkembang dalam konteks masyarakat
Indonesia, masalah kemiskinan juga merupakan masalah sosial yang senantiasa
terjadi bukan karena dikehendaki miskin, melainkan karena tidak dapat dihindari
dengan kekuatan yang ada pada-Nya
Kemiskinan berarti sejumlah penduduk yang tidak dapat memenuhi
kebutuhan dasar hidup yang telah ditetapkan oleh suatu badan atau orang tertentu
dan perhitungan yang dilakukan oleh badan atau organisasi tersebut digunakan
sebagai standar perhitungan untuk menentukan jumlah kemiskinan yang ada di
suatu daerah, atau singkatnya penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan,
garis kemiskinan yang digunakan adalah garis kemiskinan yang ditetapkan.
(Badan Pusat Statistik). Untuk tingkat kemiskinan di Sumatera Utara sendiri
jumlah rumah tangga yang miskin cukup tinggi sebesar 944.972 KK.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata miskin diartikan sebagai tidak
berharta benda, serta kekurangan (berpenghasilan rendah). “Menurut Suparlan
bahwa kemiskinan adalah suatu standar hidup yang rendah yaitu: adanya suatu
tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang yang
dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat
bersangkutan. Standar hidup yang rendah ini secara langsung nampak
mempengaruhi terhadap tingkat kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri
dari mereka yang tergolong miskin” (Juwanita,2004).
Beberapa Pengertian Kemiskinan Menurut Para Ahli :
1. BAPPENAS (1993), mendefinisikan kemiskinan sebagai situasi kekurangan
yang terjadi bukan karena kehendak oleh orang miskin, tetapi karena keadaan
2. Levitan (1980), kemiskinan adalah kekurangan barang dan jasa yang
diperlukan untuk mencapai standar hidup yang layak.
3. Faturchman dan Marcelinus Molo (1994), kemiskinan adalah
ketidakmampuan individu atau rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan
dasar mereka.
4. Ellis (1994), kemiskinan adalah fenomena multideimensi yang dapat
dianalisis dari ekonomi, social dan politik.
5. Suparlan (1993), kemiskinan didefinisikan sebagai tingkat rendah standar
hidup, yaitu tingat kekurangan materi dalam jumlah atau sekelompok orang
dibandingkan dengan standar hidup yang berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan.
6. Reitsma dan Kleinpenning (1994), kemiskinan didefinisikan sebagai
ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan mereka, baik
material dan non material.
7. Friedman (1979), ketimpangan kemiskinan kesempatan untuk merumuskan
kekuatan dasar dari sosial yang meliputi: asset (tanah, perumahan, peralatan,
kesehatan), sumber keuangan (pendapatan dan kredit memadai), organisasi
dapat dimanfaatkan untuk mencapai kepentingan bersama, jaringan sosial
politik untuk mendapatkan pekerjaan, barang atau jasa, pengetahuan dan
keterampilan yang memadai dan informasi yang berguna.
Sejalan dengan Emil salim (ALA, 1981) dikutip dalam (Sumrah, 2008) bahwa
1. Mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan pada umumnya tidak memiliki
faktor produksi sendiri, seperti tanah yang tidak cukup luas, modal yang
memadai, ataupun keterampilan yang memadai untuk melalukan suatu
aktivitas ekonomi sesuai dengan mata pencahariannya, faktor produksi yang
dimiliki umumnya sedikit sehingga kemampuan untuk memperoleh
pendapatan menjadi sangat terbatas.
2. Mereka pada umumnya tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh
asset produksi dengan kekuatan sendiri, pendapatan yang diperolehnya tidak
cukup untuk memperoleh tanah garapan ataupun modal usaha. Perolehan
pendapatan masyarakat miskin hanya cukup untuk konsumsi, mereka tidak
memiliki harta yang dapat digunakan sebagai agunan yang merupakan salah
satu syarat untuk mendapat kredit dari Perbankan. Kondisi seperti inilah yang
memaksa masyarakat miskin berpaling ke lembaga keuangan non bank,
institusi seperti ini tidak membebankan birokrasi yang sulit untuk
memperoleh pinjaman namun untuk pelunasan pinjaman tersebut mereka
dihadapkan pada syarat-syarat yang berat misalnya dengan bunga yang tinggi
sehingga pengembalian pinjaman tersebut justru menjadi proses pemiskinan
bagi masyarakat.
3. Tingkat pendidikan pada umumnya rendah, misalnya tidak sampai tamat SD
atau hanya tamat SD. Kondisi seperti ini sangat berpengaruh terhadap
wawasan mereka. Waktu mereka umumnya habis tersita untuk mencari
nafkah sehingga tidak ada lagi waktu untuk belajar atau meningkatkan
menyelesaikan sekolahnya oleh karena mereka harus membantu orang tuanya
mencari tambahan pendapatan.
4. Banyak diantara mereka tidak mempunyai tanah. Kalaupun ada hanya relatif
kecil, pada umumnya mereka menjadi buruh tani atau pekerja kasar di luar
pertanian, karena pertanian bekerja atas dasar musiman, maka kesinambungan
kerja menjadi kurang terjamin.
5. Banyak diantara mereka yang hidup di kota masih berusia muda dan tidak
mempunyai keterampilan atau pendidikan yang memadai, sedangkan kota
tidak siap menampung gerak urbanisasi dari desa. Masyarakat desa cenderung
melakukan migrasi kekota karena dianggap sebagai alternatif dalam upaya
mengubah nasib. Dengan demikian kemiskinan masyarakat perkotaan yang
terus meningkat juga diperparah dengan pindahnya kaum miskin perdesaan,
sehingga angka masyarakat miskin perkotaan meningkat secara tajam.
2.2.2 Program Penanggulangan Kemiskinan
Masalah kemiskinan merupakan salah satu masalah penting yang harus
ditanggulangi oleh pemerintah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945
sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu memajukan
kesejahteraan umum dengan melakukan pemberdayaan masyarakat. Sasaran
pemberdayaan itu adalah terciptanya manusia Indonesia seutuhnya dan
masyarakat secara keseluruhan. Dalam sasaran jangka panjang kedua sasaran ini
ditegaskan kembali dengan menggaris bawahi terciptanya kualitas manusia dan
tentram sejahtera lahir dan batin, dalam tata kehidupan masyarakat, bangsa dan
negara berdasarkan Pancasila (BPS, 2005).
Telah banyak dilakukan berbagai program untuk menanggulangi kemiskinan
yang terjadi di Indonesia, diantaranya program terpadu Program Keluarga
Sejahtera (Prokesra) untuk Memantapkan Program Menghapus Kemiskinan
(MPMK) yang dirancang oleh Menteri Negara Kependudukan/Badan Koordonasi
Keluarga Berencana Nasional pada tahun 1997, program pembangunan keluarga
sejahtera merupakan kelanjutan dari upaya membangun keluarga kecil yang
bahagia dan sejahtera yang dimulai pada tahun 1970, program Inpres Desa
Tertinggal (IDT) yang pelaksanaanya dikoordinasikan oleh Departemen Dalam
Negeri (Depdagri) yang bertujuan membantu 22,5 juta jiwa penduduk miskin,
Program Kesejahteraan Sosial (Prokesos) berperan dan memberikan sumbangan
kepada penghapusan kemiskinan dan program pembangunan keluarga dan
penduduk melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE) serta upaya pengembangan
wilayah melalui Rehabilitasi Sosial Daerah Kumuh (RSDK).
2.2.3 Pengelompokan Kemiskinan
Kemiskinan dalam pengertian konvensional merupakan pendapatan (income)
dari suatu kelompok masyarakat yang berada dibawah garis kemiskinan.Oleh
karena itu seringkali berbagai upaya pengentasan kemiskinan hanya berorientasi
pada upaya peningkatan pendapatan kelompok masyarakat miskin.Kemiskinan
seringka li dipahami dalam pengertian yang sangat sederhana yaitu sebagai
keadaan kekurangan uang, rendahnya tingkat pendapatan dan tidak terpenuhinya
masalah yang sangat kompleks, baik dari faktor penyebab maupun dampak yang
ditimbulkannya, menurut Eny (2007) kemiskinan dapat dibedakan menjadi 4
(empat) pengertian, yakni :
a. Kemiskinan absolut
Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya
berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
hidup minimum, seperti: pangan, sandang, kesehatan, papan, dan pendidikan,
hal ini dapat diukur/dilihat dengan kebutuhan minimum (subsistence) dalam
memenuhi kebutuhan hidup.
b. Kemiskinan relatif
Seseorang tergolong miskin relatif apabila seseorang tersebut sebenarnya telah
hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan
masyarakat sekitarnya, hal ini berkaitan dengan distribusi pendapatan ataupun
ukuran tertentu
c. Kemiskinan struktural
Kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur
sosial masyarakat tersebut tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber
pendapatan yang sebenarnya tersedia untuk mereka.
d. Kemiskinan kultural
Keadaan dimana individu ataupun kelompok memilih untuk atau mengambil
sikap untuk tidak memperbaiki taraf hidupnya, menganggap miskin adalah
Ukuran tingkat kemiskinan dapat digunakan dengan dua pendekatan seperti
dibawah ini :
a. Ukuran kemiskinan absolut
Pendekatan yang memandang kemiskinan dalam suatu ukuran yang bersifat
mutlak yang bermuara atau berwujud sebagai garis, titik atau batas
kemiskinan.
b. Ukuran kemiskinan relatif
Pendekatan yang memandang kemiskinan dalam suatu ukuran yang
dipengaruhi oleh ukuran-ukuran lainya yang mempunyai hubungan dengan
proporsi atau distribusi.
2.2.4 Penyebab Kemsikinan
Faktor Penyebab Kemiskinan Secara Sistematik Secara umum faktor-faktor
penyebab kemiskinan secara kategoris dengan menitikberatkan kajian pada
sumbernya terdiri dari dua bagian besar, yaitu :
1. Faktor Internal, berasal dari dalam diri individu yang mengalami kemiskinan
itu yang secara substansial adalah dalam bentuk kekurangmampuan, seperti
cacat fisik, kurangnya pengetahuan, temperamental, tidak disiplin, kurangnya
keterampilan.
2. Faktor Eksternal, berasal dari luar diri individu atau keluarga yang mengalami
dan menghadapi kemiskinan itu, sehingga pada suatu waktu menjadikannya
miskin, seperti terbatasnya lapangan pekerjaan, kondisi geografis, budaya
yang kurang mendukung, pembangunan ekonomi belum merata, dan
Kajian tentang faktor-faktor penyebab kemiskinan yang telah dikemukakan
memang pada awalnya berupaya memberikan sajian sistematik, namun jika
kita dalami, tidaklah keliru jika kita menyatakan bahwa kandungan sajian itu
justru kurang sistematik. Hanya saja, sajian berkategoris tersebut memang
berupaya melakukan kajian dan mencoba menyajikannya secara sistematik.
Kompleksitas masalah kemiskinan pada umumnya dan masalah faktorfaktor
penyebab terjadinya kemiskinan pada khususnya justru menyulitkan
konsistensi dalam sistematika sajian. Selain itu fenomena sosial juga
menunjukkan pada umumnya faktor penyebab kemiskinan tidak bekerja
sendiri, melainkan berinteraksi dan terintegrasi dengan factor - faktor lain.
Bahkan tidak jarang interaksi dan integrasi itu demikian kompleks sehingga
tidak jelas mana pangkal dan ujungnya.
Faktor Penyebab Berdasarkan Jenis Kemiskinan:
1. Kemiskinan massa dan non massa sulit untuk memvonis satu faktor tertentu
dalam menetapkan penyebab kemiskinan itu terjadi. Terutama karena
kemiskinan itu merupakan masalah yang sangat kompleks, sehingga antara
sebab dan akibat sering sulit dibedakan. Kesulitan lain yang dihadapi dalam
menetapkan faktor-faktor penyebab kemiskinan adalah berbedanya corak
kemiskinan itu sendiri, seperti kemiskinan massa, yakni kemiskinan yang
diderita oleh mayoritas masyarakat yang ada dalam suatu negara ataupun
dalam suatu daerah, dengan kemiskinan non massa, yakni kemiskinan yang
2. Kemiskinan Alamiah dan Kemiskinan Budaya Harus diakui bahwa kondisi
kehidupan merupakan fungsi dari interaksi antara faktor-faktor alamiah dan
non alamiah. Interaksi yang serasi, selaras, dan seimbang merupakan syarat
dari tercapainya kesejahteraan masyarakat yang dicita-citakan. Adakalanya
alam kurang bersahabat, sehingga masyarakat yang ada di lingkungan tersebut
tidak memilikki taraf hidup yang layak. Namun ada kalanya, masalah
kemiskinan justru dapat diterima oleh masyarakat itu sendiri, sehingga
akhirnya seakan-akan hal itu bukan lagi dianggap masalah. Secara makro,
sulit diterima adanya kemiskinan alamiah. Oleh karena itu, pernyataan yang
menegaskan faktor alam sebagai penyebab kemiskinan selalu menjadi
polemik. Uraian tentang kemiskinan alamiah selalu ditegaskan dengan suatu
anggapan bahwa negara tersebut pada dasarnya secara alamiah miskin, yakni
berkah fisiknya sangat miskin, ditandai dengan tanah yang berbatu-batu,
kering, atau tidak cukup luas, atau kekayaan alam lainnya.
2.2.5 Data Jumlah Penduduk Miskin Periode 2015
Data Badan Pusat Statistik (BPS), Jumlah penduduk miskin di Sumatera
Utara (Sumut) pada September 2015 sebanyak 1.508.140 orang atau 10,79 persen.
Angka tersebut bertambah sebanyak 44.470 orang bila dibandingkan dengan
jumlah penduduk miskin di bulan Maret 2015 yang berjumlah 1.463.670 orang
atau 10,53 persen. Selama periode maret hingga September 2015, penduduk
miskin di daerah pedesaan bertambah 16.010 orang dari 764.370 orang pada
Maret 2015 menjadi 780.380 orang pada September 2015. Di daerah perkotaan
2015 menjadi 727.760 orang pada bulan September. Penduduk miskin di daerah
perkotaan pada September 2015 sebesar 10,51 persen, naik dibanding Maret 2015
yang sebesar 10,16 persen. Begitu juga dengan penduduk miskin daerah pedesaan
yaitu 10,89 persen pada Maret 2015 naik menjadi 11,06 persen pada September
2015. Pada September 2015, garis kemiskinan Sumatera Utara secara total sebesar
Rp 366.137 per kapita per bulan. Untuk daerah perkotaan, garis kemiskinannya
sebesar Rp 369.878 dan untuk daerah pedesaan sebesar Rp 352.637 per kapita per
bulan.
Pada periode Maret hingga September 2015, Indeks Kedalaman Kemiskinan
dan Indeks Keparahan Kemiskinan menunjukkan kecenderungan meningkat.
Indeks Kedalaman Kemiskinan naik dari 1,649 pada Maret 2015 menjadi 1,893
pada September 2015 dan Indeks Keparahan Kemiskinan naik dari 0,421 pada
Maret 2015 menjadi 0,521 pada September 2015. Kondisi ini disebabkan banyak
faktor, di antaranya kebijakan pemerintah yang berubah, meningkatnya inflasi,
serta nilai tukar petani yang menurun.
Komoditi makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai Garis Kemiskinan
di perkotaan relatif sama dengan di perdesaan, diantaranya adalah beras, telur
ayam ras, daging ayam ras, mie instan, gula pasir, tempe, tahu, dan kopi.
Sedangkan, untuk komoditi bukan makanan diantaranya adalah biaya perumahan,
bensin, listrik, pendidikan, dan perlengkapan mandi. Pada periode September
2014–Maret 2015, baik Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks
Medan, tercatat sebanyak 71.804 Rumah Tangga Sasaran (RTS) menerima dana
Program Simpanan Keluarga Sejahtera
2.3 Program Simpanan Keluarga Sejahtera (PSKS)
Pemerintah saat ini tengah mengimplementasikan sejumlah kebijakan yang
bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan memberikan bantuan
finansial kepada masyarakat berekonomi lemah dalam tajuk Program Simpanan
Keluarga Sejahtera (PSKS).
Program Simpanan Keluarga Sejahtera (PSKS) adalah program pemberian
bantuan dana simpanan dari Pemerintah dalam rangka membangun keluarga
produktif untuk memberdayakan dan melindungi masyarakat miskin. Manfaat
Program Simpanan Keluarga Sejahtera (PSKS) adalah untuk mendorong akses
terhadap sistem keuangan bagi seluruh lapisan masyarakat dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemerataan pendapatan, serta
menjaga stabilitas sistem keuangan. Program Simpanan Keluarga Sejahtera (PSKS) dijalankan sebagai pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Program Simpanan Keluarga
Sejahtera, Program Indonesia Pintar, dan Program Indonesia Sehat untuk
membangun keluarga produktif. Syarat untuk pencairan dana, warga penerima
wajib membawa Kartu Perlindungan Sosial (KPS) yang sudah diterima pada tahun
lalu, fotocopy KTP dan KK. Pencairan dana PSKS berlangsung tertib dan lancar,
warga tidak saling berebutan. Program dari Kemensos ini dirasa warga masyarakat
sangat membantu. Dari 2.983.868 jiwa penduduk Medan, tercatat sebanyak
Keluarga Sejahtera
melakukan pengambilan dana bisa kapan saja dan besar uang yang diambil bisa
bertahap sesuai dengan keinginan Rumah tangga Sasaran (RTS), dengan
maksimal Rp. 600.000,- masing-masing RTS saat ini mendapat alokasi dana
per-bulan selama 3 (tiga) per-bulan per-RTS Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) atau
total jumlah Rp. 600.000,- (enam ratus ribu rupiah).
2.4 Penelitian terdahulu
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
No Nama/Tahun Judul Variabel penelitian Hasil penelitian
1 Widiya Arie
1. Efektivitas 2. Program
Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP)
Hasil penelitian ini menunjukkan sasaran penerima bantuan modal P2KP ialah
KSM, KSM penerima bantuan
beranggotakan
minimal lima orang yang berasal dari keluarga yang berbeda,
berpenghasilan rendah dan
mempunyai usaha atau akan memulai usaha. (Studi Kasus Di Desa Sedengan Mijen, Kecamatan Krian,
1. Efektifitas 2. Program
efektif. Meskipun Oleh Pakem Pontianak Timur.
1. Implementasi 2. Program di kelurahan Saigon diantaranya masih tidak hadirnya salah satu unsur organisai PAKET itu sendiri 4 Atu Nuri di Kota Surabaya.
1. Efektifitas 2. Program
Melalui analisa uji beda dua rata-rata dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara pendapatan sebelum
dan sesudah menerima dana
bantuan dengan melihat nilai thitung tabelsebesar 32,807 yang lebih besar dari nilai t= 2,060.
produktif di Kota Studi kasus pada Kecamatan Bunyu Kabupaten Bulungan.
1. Efektivitas 2. Program telah bisa dikatakan efektif meskipun masih banyak kekurangan dalam pelaksanaannya
2.5 Kerangka Konseptual
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
2.6 Hipotesis
Efektivitas Program Penanggulangan Kemiskinan
Program Simpanan Keluarga Sejahtera (PSKS)
Terciptanya masyarakat yang kehidupannya lebih sejahtera dalam
jawaban sementara yang disusun oleh peneliti, yang kemudian akan diuji
kebenarannya melalui penelitian yang dilakukan (Kuncoro, 2009).
Berdasarkan perumusan masalah dan kerangka konseptual yang telah
dipaparkan, maka peneliti mengajukan hipotesis sebagai berikut:
Ho = Bantuan program penanggulangan kemiskinan di kota Medan tidak berjalan
efektif.
Ha = Bantuan program penanggulangan kemiskinan di kota Medan berjalan