• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Rotasi Kerja Dan Burnout Dengan Kepuasan Kerja Perawat Di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Rotasi Kerja Dan Burnout Dengan Kepuasan Kerja Perawat Di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Medan"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Kepuasan Kerja

2.1.1. Pengertian kepuasan kerja

Kepuasan kerja adalah perasaan sejahtera yang dihasilkan dari beberapa

aspek pekerjaan dan bisa mempengaruhi hubungan antara pekerja dengan

organisasi, klien, dan keluarga, serta menjadi hal yang penting untuk kualitas

pelayanan keperawatan (Melo, Barbosa, & Souza, 2011). Kepuasan kerja adalah

penilaian individu terhadap pekerjaannya dimana kepuasan atau ketidakpuasan

kerja bukan hanya bergantung pada kondisi kerja namun bergantung juga pada

harapan yang dimiliki individu tersebut (Lu, Barribal, Zhang, & While, 2012).

Kepuasan kerja mengacu kepada sikap yang direfleksikan berdasarkan

penilaian seseorang terhadap pekerjaan atau pengalaman pada waktu tertentu

(Schermerhorn, Hunt, Osborn, & Uhl-Blen, 2010). Kepuasan kerja adalah fungsi

yang membedakan antara harapan dan kenyataan (Achema & Afoi, 2010). Setiap

individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan sistem

nilai yang berlaku pada dirinya. Seseorang yang memiliki kepuasan kerja yang

tinggi akan mempunyai sikap positif terhadap pekerjaannya, sebaliknya seseorang

yang merasa tidak puas dengan pekerjaannya akan memiliki sikap negatif (Robin,

2002). Penelitian Seed, Diane, Torkelson, dan Alnatour (2010) di Amerika

Serikat dinyatakan bahwa perawat yang menghabiskan waktu lebih secara

langsung kepada pasien akan memiliki tingkat kepuasan kerja yang lebih tinggi.

(2)

2.1.2. Teori kepuasan kerja

Teori kepuasan memiliki tumpang tindih dengan teori motivasi. Kepuasan

kerja terjadi ketika kebutuhan motivasi seorang perawat terpenuhi (Jones, 2007).

Salah satu teori kepuasan kerja adalah teori dua faktor. Teori dua faktor

dikembangkan oleh Frederick Herzberg dengan menggunakan teori Abraham

Maslow sebagai titik acuannya. Teori Herzberg dan Mausners terdiri dari faktor

intrinsik atau disebut motivator yang mempromosikan kepuasan kerja dan faktor

ekstrinsik atau faktor higieni yang menyebabkan ketidakpuasan kerja (Muller,

Robinson, & Griffiths, 2008).

Frederick Herzberg meyakini bahwa motivator atau pemuas kerja ada

dalam pekerjaan itu sendiri dan memberikan keinginan kepada individu untuk

bekerja serta melakukan pekerjaan dengan baik (Marquis & Huston, 2012).

Motivator merupakan sumber kepuasan kerja yang berhubungan dengan konten

kerja yaitu apa yang sebenarnya dilakukan seseorang dalam pekerjaan mereka.

Menurut teori dua faktor, motivator adalah kunci yang berhubungan dengan

kepuasan, motivasi dan kinerja. Ketika faktor motivasi minimal maka kepuasan

kerja yang rendah akan meningkatkan motivasi dan kinerja dan ketika faktor

motivasi besar, maka kepuasan kerja yang tinggi juga menimbulkan motivasi dan

kinerja (Schermerhorn, Hunt, Osborn, & Uhl-Blen, 2010). Faktor motivator terdiri

dari: prestasi kerja, pengakuan, pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab kerja,

kesempatan promosi, dan kemungkinan untuk berkembang (Robbins & Coulter,

(3)

Faktor higieni adalah faktor yang dapat memberikan pengalaman yang

tidak memuaskan yang berasal dari hal-hal di luar pekerjaan (Robbins & Coulter,

2012). Faktor higieni merupakan sumber ketidakpuasan kerja yang berhubungan

dengan konteks kerja. Berdasarkan teori dua faktor ketidakpuasan dihasilkan

ketika faktor higieni rendah. Memperbaiki faktor higieni hanya akan

meningkatkan ketidakpuasan kerja bukan meningkatkan kepuasan. Faktor higieni

ini terdiri dari gaji atau salary, kualitas supervisi, keamanan kerja, kondisi kerja,

hubungan interpersonal, kehidupan pribadi, status, kehidupan pribadi dan

kebijakan organisasi (Schermerhorn, Hunt, Osborn, & Uhl-Blen, 2010).

High Ketidakpuasan kerja 0 Kepuasan kerja High

Skema 2.1 Teori Dua Faktor Herbergz (Schermerhorn, Hunt, Osborn, & Uhl-Blen, 2010).

2.1.3. Faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja

Menurut Nursalam (2014) faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu:

1. Motivasi

Fungsi manajer dalam meningkatkan kepuasan kerja staf didasarkan pada

faktor motivasi. Kebutuhan seseorang mencapai prestasi kerja merupakan

kunci motivasi dan kepuasan kerja. Seseorang dalam memilih pekerjaan

didasarkan pada kemampuan dan keterampilan yang dimiliki individu tersebut. Faktor higieni:

(4)

Motivasi akan menjadi masalah apabila kemampuan yang dimiliki tidak

dimanfaatkan dan dikembangkan dalam melaksanakan tugasnya. Motivasi

seseorang akan timbul apabila diberi kesempatan untuk mencoba dan mendapat

umpan balik dari hasil yang diberikan.

2. Lingkungan

Faktor lingkungan juga memegang peranan penting dalam motivasi. Faktor

lingkungan mencakup: komunikasi, potensial pertumbuhan, kebijakan

individu, upah/gaji, dan kondisi kerja yang kondusif.

3. Peran manajer

Peran manajer dapat mempengaruhi faktor motivasi dan lingkungan. Secara

umum peran manajer dapat dinilai dari kemampuannya dalam memotivasi dan

meningkatkan kepuasan staf. Kepuasan kerja staf dapat dilihat dari

terpenuhinya kebutuhan fisik dan psikis yang terpenuhi melalui peran manajer

dalam memberlakukan staf.

Robbin (2002) dan Mangkunegara (2009) mengungkapkan bahwa

kepuasan kerja dipengaruhi oleh:

1. Umur

Pieter & Lumongga (2010) menggolongkan umur atas tiga kategori yaitu:

1) dewasa dini (21-35 tahun), 2) dewasa madya (35-45 tahun), dan 3) dewasa

akhir (45-60 tahun). Umur seseorang mempunyai pengaruh terhadap tinggi

rendahnya kepuasan kerja. Karyawan yang lebih tua cenderung lebih puas

dibandingkan karyawan muda. Hal ini diasumsikan, karyawan yang lebih tua

(5)

Sedangkan karyawan yang lebih muda memiliki harapan yang lebih ideal

dengan pekerjaannya sehingga jika terjadi kesenjangan antara harapan dan

realita kerja menyebabkan perawat merasa tidak puas (Mangkunegara, 2009).

2. Jenis Kelamin

Penelitian Wuryanto (2010) bahwa perawat wanita lebih banyak dibandingkan

perawat laki-laki, meskipun perbedaannya kecil tetapi perawat perempuan

merasa lebih puas dibandingkan perawat laki-laki.

3. Pendidikan

Individu yang lebih tinggi pendidikannya akan lebih mampu berfikir luas,

memiliki inisiatif, serta berfikir kreatif sehingga dapat menemukan upaya yang

lebih efisien dalam pekerjaan sehingga terciptanya kepuasan kerja

(Mangkunegara, 2009).

4. Masa Kerja

Masa kerja merupakan lamanya seseorang berada dalam suatu organisasi guna

mengerjakan suatu tugas. Masa kerja diekspresikan sebagai pengalaman kerja.

Semakin lama seseorang berada dalam pekerjaan, maka semakin kecil

kemungkinan orang tersebut mengundurkan diri dari pekerjaan (Robbin, 2002).

Menurut Benner 1984 dalam Samijatun (2010) lama kerja terkait dengan

pengembangan jenjang karir terbagi atas 5 tingkatan yaitu: 1) novice (pemula

dengan pengalaman <1 tahun), 2) advanced beginner (pemula dengan

pengalaman 1-2 tahun, 3) competent (mampu melaksanakan tugas utama

dengan pengalaman kerja 2-3 tahun), 4) proficient (cakap dengan pengalaman

(6)

5. Status perkawinan

Wanita yang menikah umumnya lebih memberikan tanggung jawab pekerjaan

kepada suami dan lebih memperoleh kepuasan, sedangkan laki-laki cenderung

lebih aggresif dan besar pengharapannya untuk lebih sukses sehingga laki-laki

akan cenderung mengalami ketidakpuasan dibandingkan dengan perempuan

(Robbin, 2002)

Hasibuan (2007) menyatakan bahwa kepuasan kerja karyawan dipengaruhi

oleh faktor balas jasa yang adil dan layak, penempatan yang tepat sesuai dengan

keahlian, berat ringannya pekerjaan, suasana dan lingkungan pekerjaan yang

mendukung, peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan, sikap pimpinan

dalam kepemimpinannya dan sifat pekerjaan yang monoton atau tidak. Pendapat

lain oleh Murrels, Robinson, & Griffiths (2008) bahwa faktor yang mempengaruhi

kepuasan kerja adalah stress, komitmen organisasi, komunikasi dengan atasan dan

rekan kerja, autonomy, pengakuan, rutinitas kerja, dan keadilan. Lu, While dan

Barribal (2005) menambahkan bahwa kepuasan kerja dipengaruhi oleh stress dan

burnout, usia, lama kerja, pendidikan, dukungan sosial, beban kerja,

ketidakjelasan peran, dan depresi.

Menurut Lu, Barribal, Zhang, dan While (2012) kepuasan kerja perawat

dipengaruhi oleh kondisi kerja, lingkungan organisasi, stress kerja, konflik peran,

persepsi peran dan konten kerja organisasi serta komitmen profesional, sedangkan

pendapat Raddaha, et al (2012) bahwa faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja

adalah stress dan beban kerja, autonomy dan kontrol jam kerja, autonomy dan

(7)

Penelitian yang dilakukan oleh Ziapour, A., Kazemi, N., Pour, N.K., &

Ziapour, M. (2014) di Iran dinyatakan bahwa ketidakpuasan kerja perawat

berkaitan dengan insentif yang diperoleh dari hasil kerja keras perawat. Berbeda

dengan pendapat Andi, Achema, dan Afoi (2010) bahwa ketidakpuasan kerja

perawat berkaitan dengan gaya kepemimpinan, motivasi kerja, pelatihan yang

tidak memadai, beban kerja yang tinggi dan kurangnya perhatian dari atasan atau

rumah sakit.

2.1.4. Dampak kepuasan kerja

Kepuasan kerja yang dirasakan pegawai akan memiliki dampak bagi

pegawai itu sendiri dan organisasi di tempat kerja. Dampak kepuasan kerja dapat

diuraikan sebagai berikut (Robbins & Judge, 2013):

1. Kepuasan kerja dan produktivitas

Data organisasi secara keseluruhan ditemukan bahwa organisasi dengan

karyawan yang memiliki kepuasan tinggi akan cenderung lebih efektif

dibandingkan dengan karyawan yang memiliki kepuasan rendah. Karyawan

yang bahagia atau puas terhadap pekerjaannya kemungkinan besar akan

menjadi karyawan yang lebih produktif.

2. Kepuasan kerja dan prilaku organisasi

Kepuasan kerja menjadi penentu utama dari perilaku organisasi karyawan.

Karyawan dengan kepuasan kerja tampaknya lebih positif dalam berbicara

membantu orang lain, dan memiliki harapan normal dalam pekerjaan mereka.

Keadaan tersebut mungkin dikarenakan mereka ingin membalas pengalaman

(8)

3. Kepuasan kerja dan kehadiran

Seorang karyawan yang puas akan berusaha untuk selalu hadir setiap harinya,

kecuali terdapat sesuatu hal yang benar-benar tidak bisa dielakkan sehingga

karyawan tersebut harus mangkir dari pekerjaan.

4. Kepuasan kerja dan kepuasan klien

Kepuasan kerja pegawai dapat membuat kepuasan konsumen meningkat. Pada

pelayanan organisasi retensi dan pembelotan pelanggan sangat tergantung pada

bagaimana pegawai berurusan dengan konsumen. Pegawai yang puas akan

lebih bersahabat, ramah, dan responsif dalam menghargai pelanggan.

5. Kepuasan kerja dan pengunduran diri

Kepuasan kerja menyebabkan retensi pegawai di tempat kerja. Pegawai yang

merasa puas dengan pekerjaannya akan merasa nyaman dan enggan untuk

pindah kerja, karena harus beradaptasi kembali di tempat yang baru.

6. Kepuasan kerja dan penyimpangan kerja

Ketidakpuasan kerja memprediksi berbagai penyimpangan kerja yang tidak

diinginkan diantaranya mencuri di tempat kerja, keterlambatan, menggunakan

waktu kerja untuk kesenangan pribadi atau mengambil persediaan kantor untuk

penggunaan pribadi.

Kepuasan kerja juga menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya turnover

yang berhubungan dengan burnout dalam bekerja (Teimuri, F., Gorji, A.M.H.,

Gorji, M.A.H., Moradi, M., & Gorji, D.H, 2014). Jika kepuasan kerja

direncanakan secara tepat, biasanya akan memberikan dampak yang positif bagi

(9)

1. Kepuasan kerja secara umum (general job satisfaction)

Salah satu keuntungan dari kepuasan kerja adalah memberikan manajemen

suatu indikasi dari tingkat kepuasan dalam suatu organisasi, sehingga

organisasi dapat merasakan bagaimana pekerjaan yang mereka lakukan, bagian

mana yang harus menjadi fokus, dan siapa yang harus dilibatkan dalam

pekerjaan.

2. Komunikasi (communication)

Komunikasi bermanfaat ketika suatu organisasi didorong untuk memberikan

pendapat mereka terkait dengan topik penting dalam suatu manajemen.

3. Memperbaiki prilaku (improved attitude)

Berdasarkan hasil survey bahwa kepuasan kerja dapat memberikan rasa

nyaman, mengurangi emosi, dan melegakan hati.

4. Kebutuhan latihan (training needs)

Kepuasan kerja biasanya menjadi suatu cara yang berguna dalam menentukan

kebutuhan latihan. Biasanya suatu organisasi akan memberikan kesempatan

untuk memberikan laporan bagaimana sebaiknya seorang supervisor menjadi

bagian penting dalam suatu pekerjaan mereka, misalnya dalam memberikan

suatu delegasi atau intruksi pekerjaan.

5. Penyatuan (union benefits)

Dalam suatu organisasi sering terjadi argumen terkait dengan hal yang

diinginkan oleh suatu organisasi, dan kepuasan kerja dapat menjadi salah satu

(10)

6. Perencanaan dan pengawasan terhadap perubahan

Kepuasan kerja berguna dalam mengidentifikasi masalah yang timbul,

membandingkan respon dari beberapa alternatif, dan mendorong manajer

dalam memodifikasi suatu perencanaan serta mengevaluasi respon aktual untuk

suatu perubahan.

2.2. Konsep Burnout

2.2.1. Pengertian burnout

Burnout telah lama diakui menjadi bahaya pada berbagai macam profesi,

khususnya pekerjaan yang orientasi kerjanya berhubungan dengan pelayanan,

pendidikan, dan pelayanan keperawatan. Burnout pertama kali diperkenalkan oleh

Freudenberger pada tahun 1974 dan Christina Maslach pada tahun 1976 (Maslach,

& Goldeberg, 1998). Maslach dan Jackson (1981) mendefenisikan burnout

sebagai syndrom kelelahan emosional, sedangkan Bahrer-Kohler (2013)

mendefenisikan burnout sebagai syndrom psychological yang muncul akibat

stres kerja yang kronik.

Menurut Sabbah, I., Sabbah, H., Sabbah, S., Akoum, H, dan Droubi, N.

(2012) burnout merupakan suatu kondisi atau keadaan psychology yang negatif

yang berkembang dalam periode waktu yang panjang antar individu, dan tidak

dikategorikan sebagai penyakit mental. Berbeda dengan pendapat

Schermerhorn, Hunt, Osborn, dan Uhl-Bien (2010) yang mengatakan bahwa

burnout merupakan kehilangan ketertarikan atau kepuasan terhadap pekerjaan

(11)

Burnout sebagai prilaku kompleks yang sama dengan fase kelelahan dari

syndrom adaptasi secara umum. Perawat yang mengalami burnout menunjukkan

gangguan fisik dan emosional, sikap dan konsep diri yang negatif serta perasaan

ketidakberdayaan dan putus asa. Meskipun jarang berakibat fatal, burnout

merupakan kondisi yang mengganggu dimana seseorang akan kehilangan makna

tujuan dasar dalam penyelesaian pekerjaannya (Berman, Snyder, & Frandsen,

2015).

Burnout bisa muncul setelah seseorang menjalani pekerjaan dalam periode

waktu tertentu, yang ditandai dengan perasaan putus asa dan tidak berdaya disertai

dengan penurunan kemampuan baik pada pekerjaan maupun kehidupan personal.

Burnout bisa terjadi pada perawat yang bekerja pada area stress yang tinggi.

Perampingan perawat dan perubahan dalam lingkungan pelayanan kesehatan juga

dianggap memberikan kontribusi untuk terjadinya burnout (Ellis & Hartley,

2004).

2.2.2. Gejala burnout

Ellis dan Hartley (2004) mengungkapkan bahwa seseorang yang

mengalami burnout akan menunjukkan gejala berupa perubahan pada fisik dan

tekanan psikologis yaitu: flu, sakit kepala, sakit punggung, insomnia, pemarah,

penurunan kemampuan dalam menyelesaikan masalah dan mengambil keputusan

sehingga menyebabkan perawat menjadi enggan untuk menghadapi perubahan

dan cenderung untuk memblokir ide-ide baru, menimbulkan perasaan bersalah

dan depresi karena tidak dapat memenuhi harapan untuk melakukan pekerjaan

(12)

Leiter dan Maslach (2013) menyebutkan bahwa gejala burnout dapat

berupa: 1) kehilangan energi yaitu keadaan dimana seseorang merasa terus

menerus kewalahan, stress, kelelahan, dan merasakan tuntutan yang melebihi

kemampuan untuk melakukan pekerjaan, 2) hilang semangat, dimana gairah

seseorang untuk melakukan pekerjaan menjadi pudar dan berubah menjadi

depersonalisasi, 3) kehilangan kepercayaan, tanpa energi dan keterlibatan aktif

dalam pekerjaan sulit bagi seseorang untuk tetap termotivasi. Semakin rendah

tingkat keterlibatan seseorang maka akan semakin ragu dalam menilai

kemampuan sendiri.

Zerwekh dan Claborn (2006) menambahkan bahwa tanda terjadinya

burnout pada perawat diantaranya adalah perubahan pada berat badan, sering sakit

kepala dan gangguan pencernaan, kelelahan kronis, insomnia, depresi, cepat

marah, perasaan tidak mampu, berfikiran negatif, terlihat sinis, dan kritis terhadap

diri sendiri.

2.2.3. Faktor penyebab burnout

Penyebab terjadinya burnout telah banyak dibahas dalam beberapa

literatur, yang paling menonjol diantaranya adalah konflik antara harapan dan

kenyataan. Perawat memandang diri mereka bertanggung jawab terhadap semua

hal bahkan bekerja lebih sehingga meningkatkan stress pada diri mereka sendiri

(Ellis & Hartley, 2004). Delaune dan Ladner (2002) mengungkapkan beberapa

faktor yang berhubungan dengan pekerjaan dan dapat berkontribusi terjadinya

burnout adalah: 1) stres kerja, 2) beban kerja 3) konflik interpersonal di

(13)

Penelitian Lin, John, dan Veigh (2009) di Cina dikemukakan bahwa perawat

memiliki pengalaman emotional exhaustion yang tinggi ketika mereka sudah

berada pada usia yang matang, telah menikah, dan memiliki posisi yang tinggi.

Menurut Maslach dan Leiter (1997), ada beberapa penyebab terjadinya

burnout perawat dalam bekerja yaitu:

1. Beban kerja

Beban kerja adalah sebuah dimensi kerja dari suatu organisasi. Menurut

perspektif organisasi beban kerja diartikan sebagai suatu produktivitas,

sedangkan perspektif individual beban kerja diartikan sebagai waktu dan

energi. Beban kerja mencakup berapa banyak kamu melakukannya dan apa

yang kamu lakukan. Orang yang mengalami keletihan menggambarkan

masalah kronik dengan kesehatan mereka antara lain: susah tidur, sakit kepala,

tekanan darah tinggi, ulcer, dan rentan terhadap batuk dan flu.

2. Kekurangan kontrol

Dalam suatu area kerja kita harus memiliki kemampuan dalam mengatur

prioritas kerja setiap harinya, memilih pekerjaan yang akan dilakukan, dan

membuat keputusan untuk menjadi sumber daya berkualitas. Tanpa adanya

kontrol kita tidak bisa menyeimbangkan ketertarikan terhadap suatu organisasi.

3. Ketidakcukupan upah

Masalah krisis dalam lingkungan kerja adalah kurangnya kemampuan suatu

organisasi dalam memberikan reward yang sesuai kepada orang lain. Setiap

orang pasti berharap bahwa pekerjaan yang mereka lakukan akan memberikan

(14)

4. Perselisihan antar komunitas

Komunitas yang bekerja akan semakin berkurang akibat kehilangan

kenyamanan kerja dan terlalu fokus pada keuntungan jangka pendek tanpa

mempertimbangkan orang lain. Dampak dari konflik di tempat kerja akan

menghabiskan energi untuk suatu pekerjaan yang efektif. Hubungan personal

menjadi bagian penting yang menunjukkan siapa diri kita yang sebenarnya.

5. Tidak adanya kejujuran/keadilan

Suatu tempat kerja dirasa adil ketika memiliki 3 elemen yaitu: kepercayaan,

keterbukaan, dan respek. Dalam sebuah komunitas organisasi kerja, seseorang

mempercayai orang lain untuk menyelesaikan peran mereka dalam suatu

projek, mengkomunikasikan secara terbuka tujuan yang akan dicapai, dan

menunjukkan sikap respek satu sama lain. Tiga elemen tersebut penting untuk

memelihara hubungan seseorang dengan tempat kerjanya. Pada kontrasnya,

tidak adanya kejujuran akan berkontribusi untuk terjadinya burnout.

6. Nilai konflik

Nilai mempengaruhi setiap hal yang berhubungan dengan pekerjaan. Masalah

utama yang sering terjadi dalam lingkungan kerja adalah terjadinya konflik

nilai.

Whitebead, Weiss dan Tappen (2010) berpendapat bahwa ada beberapa

faktor penyebab timbulnya burnout yaitu:

1. Faktor personal

Beberapa faktor pribadi yang mempengaruhi burnout kerja adalah: umur, jenis

(15)

2. Kondisi kerja

Burnout bisa muncul akibat stress terkait dengan bahaya fisik dan respon

emosional yang terjadi ketika pekerjaan tidak sesuai dengan kemampuan,

sumber daya yang tersedia serta kebutuhan pekerja.

3. Pekerjaan terkait pelayanan manusia

Orang-orang yang bekerja dalam organisasi pelayanan memiliki tingkat

kepuasan kerja yang lebih rendah dibandingkan dengan orang yang bekerja

pada jenis organisasi yang lain. Sebagian besar stress yang dialami perawat

terkait dengan sifat pekerjaan, insentif, hubungan interpersonal, ancaman fisik,

emosional dan masalah sosial.

4. Konflik tuntutan kerja

Memenuhi tanggung jawab kerja dan memelihara kehidupan keluarga dan

pribadi dapat meningkatkan stress, ketika membutuhkan waktu dan energi yang

cukup untuk melakukan semua pekerjaan.

5. Teknologi

Berkaitan dengan keputusan akan perubahan teknologi yang sering dibuat

tanpa adanya pemberitahuan sebelumnya dengan staf yang kemudian diminta

untuk beradaptasi dan mengatasi perubahan tersebut.

6. Ketidakseimbangan hidup

Ketika kepentingan pribadi dan kepuasan dibatasi oleh pekerjaan, seseorang

akan lebih rentan untuk terjadinya burnout. Masalah di tempat kerja menjadi

(16)

Hamaideh (2011) menjelaskan ada beberapa hal yang dapat dihubungkan

dengan burnout pada perawat kesehatan jiwa yaitu kepuasan kerja, dukungan

sosial, aspek pelayanan pasien yang bervariasi (seperti: tingkat keparahan

penyakit, tipe pasien, lingkungan di sekeliling pasien), aspek lingkungan kerja

yang bervariasi (seperti: ketenagaan, shif kerja, upah, kerja ekstra), dan tingkat

stress. Rendahnya kontrol kerja pada komunitas jiwa juga dapat menyebabkan

lingkungan kerja yang berkontribusi untuk terjadinya burnout (Imai, Nakao,

Tsuchiya, Kuroda & Katoh , 2015)

2.2.4. Dimensi burnout

Maslach dan Jackson (1981) menggolongkan burnout ke dalam 3 dimensi

yaitu:

1. Kelelahan emosional (emotional exhaustion)

Kelelahan emosional digunakan untuk mengukur perasaan emosi dan

kelelahan yang tinggi dari pekerjaan seseorang (Leiter & Maslach, 2013).

Kelelahan emosional mengacu pada emosional yang berlebihan dan

melelahkan terhadap satu pekerjaan yang biasanya disebabkan oleh beban

kerja yang berlebihan dan konflik pribadi di tempat kerja, sehingga sesorang

merasa kekurangan energi atau tenaga untuk bekerja di hari yang lain

(Maslach, & Goldberg, 1998). Kelelahan emosional ditandai dengan emosi

yang terkuras, kehabisan energi, letih, tidak bersemangat, frustasi, bersikap

malas, tertekan, dan merasakan pekerjaan terlalu berat (Maslach & Jackson,

(17)

2. Depersonalisasi (depersonalization)

Depersonalisasi merupakan suatu masalah dalam lingkungan pekerjaan.

Depersonalisasi digunakan untuk mengukur suatu perasaan dan respon

impersonal terhadap penerima layanan seseorang, pengobatan atau pemberian

intruksi (Leiter & Maslach, 2013). Depersonalisasi mengacu kepada hal yang

negatif, tanpa perasaan atau sangat tidak berespon dengan orang lain termasuk

kehilangan idealisme (Maslach & Goldberg, 1998), sikap sinis, respon

memisahkan diri dari orang-orang di tempat kerja (Maslach, 1998), rasa

kecewa, ketidakpercayaan pada individu, grup, organisasi atau objek

(Anderson & Bateman, 1997 dalam Quick & Tetrick, 2002), kurang

manusiawi, kurang peduli, kurang peka, serta perasaan tersudutkan (Maslach &

Jackson, 1981).

3. Penurunan Pencapaian Pribadi ( reduced personal accomplishment)

Pencapaian pribadi menekankan pada efektifitas dan keberhasilan pada

dampak yang menguntungkan bagi banyak orang (Leiter & Maslach, 2013).

Penurunan pada personal accomplishment ditandai dengan adanya penilaian

diri yang negatif dalam kaitannya dengan pekerjaan antara lain munculnya

perasaan tidak efektif atau tidak kompeten dalam pekerjaan (Maslach &

Goldberg, 1998), penurunan efikasi diri (Maslach, 1998), merasa kurang

santai, kurang memahami orang lain, kurang mampu menyelesaikan suatu

pekerjaan, dan kurang mampu memberikan pengaruh terhadap orang lain

(18)

2.2.5. Dampak burnout

Menurut Hamaideh, (2011) burnout pada perawat dapat berdampak pada

psikologis dan ketegangan fisik, kelelahan, sakit kepala, gangguan tidur, kualitas

pelayanan pasien yang rendah, pindah kerja, dan ketidakhadiran. Burnout juga

berdampak pada: 1) kesehatan individu, meliputi keluhan psichosomatik, depresi,

penyakit kardiovaskular, 2) kerja terkait sikap, meliputi ketidakpuasan kerja,

komitmen organisasi yang rendah, prilaku organisasi, turnover, ketidakhadiran,

dan kinerja yang rendah (Schaufeli, 1998).

Marquis dan Huston (2012) mengungkapkan bahwa burnout merupakan

bentuk lain dari stres yang berhubungan dengan outcome organisasi yang negatif,

seperti sakit, ketidakhadiran, pindah kerja, penurunan kinerja, penurunan

produktivitas, dan ketidakpuasan kerja yang dapat menghambat kualitas

pelayanan. Senada dengan penelitian Bogaert, Clarke, Willems, dan Mondelaers

(2012) di Belgia bahwa burnout dapat mengurangi kepuasan kerja, meningkatkan

keinginan perawat untuk keluar dari profesinya dan berpotensi kepada dampak

negatif kualitas pelayan.

2.3. Konsep Rotasi Kerja

2.3.1. Pengertian rotasi kerja

Rotasi kerja merupakan salah satu bagian dari design kerja dan motivasi.

Kunci dari konsep teori Herbergz adalah konsep dari pengayaan kerja yang

bertujuan untuk meningkatkan kepuasan kerja pegawai dengan salah satu cara

(19)

Rotasi kerja atau perputaran jabatan merupakan suatu bentuk mutasi personal

yang dilakukan secara horizontal (Budi, 2013). Rotasi kerja adalah perpindahan

individu dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain dengan keahlian yang sama

(Robbin & Judge, 2013).

Rotasi pekerjaan merupakan perpindahan karyawan dari satu tugas ke tugas

lainnya untuk menguragi monoton terhadap tugas dan meningkatkan variasi dalam

bekerja (Amstrong, 2006 ; Desler, 2014). Rotasi kerja dapat diartikan sebagai

cross training yang membantu suatu organisasi mengembangkan area kerjanya

melalui pengalaman dan keahlian, menstimulasi semangat kerja dan mempererat

hubungan interpersonal terhadap unit yang berbeda ataupun sama (Ho, Chang,

Shih, & Liang, 2009). Richardson, Douglas, Shuttler, dan Hagland, (2009)

mendefenisikan rotasi kerja sebagai pertukaran timbal balik staf antara dua atau

lebih bidang klinis untuk jangka waktu yang telah ditentukan, dimana program

rotasi ini memberikan kesempatan bagi perawat untuk mendapatkan pengalaman

klinis yang lebih luas, meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan

keterampilan dan keahlian yang dimiliki.

Menurut Fuji dan Nojima (2005) rotasi kerja sebagai perpindahan

perawat dari satu unit ke unit lainya secara terjadwal dalam satu area klinis.

Pada perawat klinik, rotasi kerja tidak hanya pertukaran tempat kerja tetapi

juga transisi peran dalam pengaturan klinis perawat. Rotasi kerja juga

merupakan pendekatan yang efisien untuk melatih perawat dalam memiliki

keahlian yang bervariasi serta menjadikan mereka lebih mampu dalam

(20)

Pendapat Marquis dan Huston (2012) rotasi kerja terkait dengan gaji,

status dan tanggung jawab yang sama, dan biasanya terjadi karena adanya

berbagai posisi yang tersedia bagi perawat dalam setiap organisasi layanan

kesehatan, disertai dengan tidak cukup tersedianya posisi di tingkat yang lebih

tinggi. Rotasi kerja membantu perawat dalam memperoleh keahlian dan

meningkatkan kepuasan kerja perawat (Chen, Wu, Chang, & Lin, 2013).

Pelaksanaan rotasi kerja di rumah sakit biasanya dilaksanakan secara bersamaan

untuk mencapai tujuan suatu departemen (Che, Kuo, & Che, 2011). Rotasi kerja

dapat diubah sesuai dengan jadwal waktu yang telah ditentukan (Schermerhorn,

Hunt, Osborn, & Uhl-Bien, 2010).

2.3.2. Tujuan rotasi kerja

Pada dasarnya rotasi termasuk dalam fungsi pengembangan pegawai

karena bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja di rumah

sakit, dengan adanya rotasi diharapkan dapat terjadi hubungan yang cocok

antara pegawai dan jabatan “The right man in the right place”, sehingga

pegawai dapat bekerja secara efisien dan efektif pada jabatan tersebut. Budi

(2013) menyebutkan tujuan pelaksanaan rotasi kerja adalah: 1) menjamin

terpenuhinya semua jabatan di dalam unit kerja, 2) memenuhi jumlah pegawai

sesuai kebutuhan setiap unit kerja, 3) mengatur penyebaran pegawai berdasar

tingkat pendidikan pegawai sesuai dengan kualifikasi unit kerja, 4) mengatur

penyebaran pegawai dengan keterampilan khusus sesuai kebutuhan dan

kualifikasi unit kerja, 5) membuka kesempatan mengembangkan karir sesuai

(21)

7) memberikan imbalan terhadap prestasi kerja, 8) membuka kesempatan

persaingan meningkatkan prestasi kerja, dan 9) sebagai pelaksanaan sanksi

terhadap pelanggaran.

2.3.3. Jenis rotasi

Marquis dan Huston (2012) membagi rotasi kerja menjadi dua kelompok

yaitu: 1) rotasi secara lateral yaitu pemindahan staf ke unit lain dengan posisi dan

tanggung jawab yang sama dalam organisasi yang sama, 2) rotasi ke bawah yaitu

pemindahan sesorang untuk mengisi posisi dalam organisasi yang sama tetapi

posisi tersebut berada di bawah tingkat posisi sebelumnya.

Menurut Che, Kuo, dan Che, (2011) bahwa rotasi pekerjaan terdiri dari:

1) inside rotation yaitu rotasi yang dilakukan antar beberapa unit dalam satu

lokasi, 2) outside rotation, rotasi dilakukan pada beberapa unit yang terletak

dalam lokasi geografis yang berbeda. Berbeda dengan pendapat Chen, Wu,

Chang, dan Lin, (2013) yang menggolongkan rotasi kerja menjadi 1) rotasi kerja

yang direncanakan yaitu berdasarkan durasi atau waktu biasanya jangka waktu

tiga bulan berhubungan dengan promosi perawat atau menjalani masa training 2)

rotasi kerja yang tidak direncanakan yaitu rotasi sementara, biasanya dalam

jangka waktu 6 bulan, rotasi dilakukan dalam skala yang besar ke unit yang

berbeda.

2.3.4. Faktor dasar rotasi

Menurut Sastrohadiwiryo (2002) dalam mengadakan program rotasi

harus mempertimbangkan faktor-faktor yang dipandang bersifat objektif dan

(22)

1. Kebijakan dan peraturan manajer

Pelaksanaan rotasi kerja harus berdasarkan perencanaan sebelumnya sesuai

kebijakan dan peraturan manajer. Rotasi dilaksanakan secara

berkesinambungan berdasarkan pedoman yang berlaku, harus tegas, jelas,

dilandasi oleh argumentasi yang rasional, objektif dan ilmiah.

2. Dasar prinsip the right man on the right job

Penempatan kerja berdasarkan keahlian dan dengan pekerjaan sebelumnya

dengan harapan dapat menempatkan pegawai pada pekerjaan yang tepat.

3. Tindakan untuk meningkatkan moral kerja

Suatu tugas dan pekerjaan yang bersifat kontiniu kemungkinan dapat

menimbulkan rasa bosan sehingga berpengaruh terhadap penurunan moral

tenaga kerja. Tenaga kerja dapat dirotasikan ke tempat lain sesuai dengan

kemampuan, kecakapan, dan keahlian tenaga kerja yang bersangkutan.

4. Media kompetisi yang rasional

Tanpa dorongan untuk bersaing dengan orang lain kemungkinan tidak ada

gerakan untuk maju. Kompetensi yang rasional diharapkan membantu

mencapai kemajuan tenaga kerja.

5. Langkah untuk promosi

Rotasi dimaksudkan sebagai pemindahan pada jenjang horizontal sama dengan

tugas dan pemindahan sebelumnya, sedangkan promosi dimaksudkan pada

tingkatan yang lebih tinggi dengan pekerjaan sebelumnya. Staf yang

direncanakan promosi memerlukan penambahan pengetahuan dan keahlian

(23)

6. Mengurangi labour turnover

Dirasakan apabila rasa bosan terhadap tugas dan pekerjaan setiap hari dipikul

oleh seorang staf mencapai tingkat maksimum. Dampak kondisi tersebut bukan

hanya menurunkan moral kerja, tetapi dapat menimbulkan keinginan kerja

yang bersangkutan untuk keluar dari pekerjaaannya

7. Terkoordinasi

Karena rotasi menyangkut aktivitas berantai mulai dari direktur, kepala bidang

perawatan, dan kepala-kepala yang berada di bawahnya, maka rotasi harus

dipantau, diawasi dan dievaluasi.

Menurut Budi (2013) indikator rotasi kerja yaitu 1) promosi, perubahan

posisi dari tingkat tinggi ke tingkat yang lebih rendah, 2) demosi, berupa

penurunan jabatan ke tingkat yang lebih rendah, 3) penangguhan kenaikan

pangkat yaitu memindahkan pegawai yang seharusnya menduduki pangkat

yang lebih tinggi ke posisi semula, 4) bebas tugas, pembebastugasan seseorang

pegawai dari jabatan tetapi masih memperoleh pendapatan secara penuh,

5) temporary transfer, memindahkan sementara waktu pegawai pada jabatan

tertentu sampai pejabat yang definitif menempati posnya, 6) prodaction

transfer, ditujukan mengisi kekosongan pegawai pada jabatan tertentu,

7) replacement transfer, pergantian pegawai untuk mempertahankan tenaga

kerja yang berpengalaman dengan cara mengganti pegawai yang masih baru,

8) verselity transfer, bertujuan menempatkan pegawai yang memiliki

kecakapan pada jabatan yang memang membutuhkan, dan 9) personnel

(24)

2.3.5. Efek rotasi kerja

Robbins dan Judge (2013) menjelaskan bahwa jika karyawan

mengalami rutinitas yang berlebihan pada pekerjaan mereka, maka salah satu

alternatif yang dilakukan adalah dengan melakukan rotasi kerja. Pelaksanaan

rotasi kerja akan memberikan efek positif dan negatif bagi pegawai. Rotasi

pekerjaan pada sisi positif akan mengurangi rasa bosan, meningkatkan

motivasi melalui pembuatan aktivitas perawat yang bervariasi dan membantu

perawat untuk lebih memahami bagaimana pekerjaan mereka dapat

memberikan kontribusi terhadap organisasi. Rotasi kerja juga memberi

manfaat secara tidak langsung bagi suatu organisasi. Perawat yang memiliki

banyak keterampilan akan membuat manajer lebih fleksibel dalam membuat

penjadwalan kerja, beradaptasi dengan perubahan, dan mengisi lowongan yang

tersedia.

Rotasi pekerjaan juga menuntun perawat untuk memiliki pengalaman

kerja yang lebih bervariasi, serta mengalami pengembangan dan peningkatan

karir. Bagi rumah sakit rotasi pekerjaan dapat membantu suatu departemen

untuk mencapai tujuan organisasi dan memberikan kepuasan kerja bagi

pegawai (Che, Kuo, & Che, 2011). Rotasi kerja memberikan inspirasi bagi

perawat dalam mencapai kinerja yang tinggi, perkembangan yang

berkesinambungan di tempat kerja, menambah ilmu pengetahuan dan keahlian,

meningkatkan kualitas asuhan keperawatan serta mengurangi terjadinya

(25)

Pendapat lain dikemukakan Richardson, Douglas, Shuttler, dan Hagland

(2009) yang menyatakan bahwa rotasi kerja merupakan cara untuk mendapatkan

pengalaman yang lebih luas, mengembangkan keterampilan, kesempatan promosi

yang lebih baik dan meningkatkan hubungan dengan unit lain. Pelaksanaan rotasi

kerja juga bisa memperbaiki efisiensi manajemen sumber daya dalam

mempersiapkan perawat yang memiliki kompetensi dan menambah pengetahuan

profesional serta mengurangi terjadinya burnout pada perawat (Chen, Wu, Chang,

& Lin, 2013).

Selain pengalaman positif rotasi kerja juga bisa menjadi pengalaman

negatif bagi perawat. Rotasi kerja dapat menimbulkan perasaan cemas, stress,

bingung, sedih, dan tidak nyaman dalam bekerja. Hal tersebut bisa terjadi

karena perawat belum memahami dan belum siap untuk dilakukan rotasi

sehingga akan berdampak secara psikologis bagi perawat (Raihan, 2011).

Pendapat tersebut didukung oleh Fujino dan Nojima (2005) bahwa rotasi kerja

dapat memberikan aspek yang negatif. Perawat menyatakan rasa tidak puas

dan marah atas rotasi kerja yang dilakukan, dan menganggap bahwa selama ini

tidak ada penilaian serta penghargaan atas pengembangan karir mereka. Selain

itu hubungan interpersonal dengan rekan kerja yang selama ini sudah ada

kemungkinan akan terganggu dan perawat harus beradaptasi lagi dari awal

(26)

2.4. Konsep Perawat 2.4.1. Pengertian

Perawat diartikan seseorang yang telah lulus pendidikan tinggi

keperawatan, baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh pemerintah

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Keperawatan merupakan

suatu hubungan interpersonal antara individu yang sakit atau membutuhkan

pelayanan kesehatan dengan perawat untuk mengenali dan merespon kebutuhan

orang yang membutuhkan (Peplau, 1991). Keperawatan merupakan kegiatan

pemberian asuhan kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik

dalam keadaan sakit maupun sehat (UU keperawatan No 38, 2014).

2.4.2 Tugas dan wewenang perawat

Dalam menyelenggarakan praktik keperawatan, perawat memiliki tugas

dan wewenang yaitu (UU Keperawatan No 38, 2014):

1. Menjalankan tugas sebagai pemberi asuhan keperawatan di bidang a) upaya

kesehatan perorangan, perawat berwenang melakukan pengkajian

keperawatan secara holistik, menetapkan diagnosis keperawatan,

merencanakan tindakan keperawatan, melaksanakan tindakan keperawatan,

melakukan rujukan, memberikan tindakan pada keadaan gawat darurat

sesuai dengan kompetensi, memberikan konsultasi keperawatan dan

berkolaborasi dengan dokter, melakukan penyuluhan kesehatan dan

konseling, melakukan penatalaksanaan pemberian obat kepada klien sesuai

(27)

b) upaya kesehatan masyarakat, perawat berwenang melakukan pengkajian

keperawatan di tingkat keluarga dan kelompok masyarakat, menetapkan

permasalahan keperawatan, membantu penemuan kasus penyakit,

merencanakan tindakan keperawatan, melaksanakan tindakan keperawatan

melakukan rujukan kasus, mengevaluasi hasil tindakan, melakukan

pemberdayaan masyarakat, melaksanakan advokasi, menjalin kemitraan,

melakukan penyuluhan kesehatan dan konseling, mengelola kasus,

melakukan penatalaksanaan keperawatan komplementer dan alternatif.

2. Menjalankan tugas sebagai penyuluh dan konselor bagi klien, perawat

berwenang melakukan pengkajian keperawatan secara holistik di tingkat

individu dan keluarga serta kelompok masyarakat, melakukan pemberdayaan

masyarakat, melaksanakan advokasi dalam perawatan kesehatan masyarakat,

menjalin kemitraan dalam perawatan kesehatan masyarakat, melakukan

penyuluhan kesehatan dan konseling.

3. Menjalankan tugasnya sebagai pengelola pelayanan keperawatan, perawat

berwenang melakukan pengkajian dan menetapkan permasalahan,

merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi pelayanan keperawatan, dan

mengelola kasus.

4. Menjalankan tugasnya sebagai peneliti keperawatan, perawat berwenang

melakukan penelitian sesuai dengan standar dan etika, menggunakan sumber

daya pada fasilitas pelayanan kesehatan, atas izin pimpinan menggunakan

pasien sebagai subjek penelitian sesuai dengan etika profesi dan ketentuan

(28)

5. Melaksanakan tugas berdasarkan pelimpahan wewenang, perawat berwenang

melakukan tindakan medis yang sesuai dengan kompetensinya atas pelimpahan

wewenang delegatif tenaga medis, melakukan tindakan medis di bawah

pengawasan atas pelimpahan wewenang mandat, memberikan pelayanan

kesehatan sesuai dengan program pemerintah.

6. Melaksanakan tugas pada keadaan keterbatasan tertentu, perawat berwenang

melakukan pengobatan untuk penyakit umum (tidak terdapat tenaga medis),

merujuk pasien sesuai dengan ketentuan pada sistem rujukan, melakukan

pelayanan kefarmasian secara terbatas (tidak terdapat tenaga kefarmasian)

2.4.3. Peran dan fungsi perawat jiwa

Keperawatan jiwa merupakan bagian dari penerapan ilmu prilaku manusia,

psiko-sosial, biofisik, dan teori-teori kepribadian, dimana penggunaan diri perawat

itu sendiri secara teraupeutik sebagai alat atau instrumen yang digunakan dalam

memberi asuhan keperawatan (Erlinafsiah, 2010). Keperawatan jiwa sebagai

profesi yang berbeda memberikan pelayanan kepada individu yang membutuhkan

perawatan terkait dengan kesehatan mental, fisik, dan perkembangan

keperawatan. Perawat jiwa terlibat dalam berbagai peran memberikan pelayanan

kesehatan kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat. Inti keperawatan

jiwa adalah hubungan teraupeutik yang berfokus pada berbagai faktor yang

mempengaruhi kesehatan fisik dan mental, berkomitmen untuk promosi

kesehatan, pemeliharaan kesehatan yang optimal, pencegahan penyakit, perawatan

dan pengobatan orang dengan penyakit mental dan cacat perkembangan

(29)

Menurut Stuart (2009) peran perawat jiwa adalah: 1) penyedia layanan

kesehatan, perawat jiwa harus memberikan perawatan langsung kepada pasien,

2) perencana dan koordinator terhadap program pengobatan pasien, konsultan

dan guru bagi perawat lain, tenaga profesional dan pasien. Dalami (2010)

mengemukakan perawat kesehatan jiwa mempunyai peran yang bervariasi

yaitu:

1. Pelaksana asuhan keperawatan

Perawat melaksanakan asuhan keperawatan secara komprehensif melalui

pendekatan proses keperawatan jiwa yaitu: pengkajian, penetapan diagnosis

keperawatan, perencanaan, tindakan keperawatan, dan melaksanakan

tindakan keperawatan serta evaluasi terhadap tindakan tersebut.

2. Pelaksana pendidikan keperawatan

Perawat memberikan pendidikan kesehatan jiwa kepada individu, keluarga

dan komunitas agar mampu melakukan perawatan pada diri sendiri, anggota

keluarga, dan anggota masyarakat lain.

3. Pengelola keperawatan

Perawat harus menunjukkan sikap kepemimpinan dan bertanggung jawab

dalam mengelola asuhan keperawatan jiwa.

4. Pelaksana pendidikan

Perawat mengidentifikasi masalah dalam bidang keperawatan jiwa dan

menggunakan hasil penelitian serta perkembangan ilmu dan teknologi untuk

(30)

Fungsi perawat jiwa menurut Dalami (2010) yaitu:

1. Memberikan asuhan keperawatan secara langsung dan asuhan keperawatan

secara tidak langsung;

2. Memberikan lingkungan teraupeutik yaitu lingkungan yang ditata sedemikian

rupa sehingga dapat memberikan perasaan aman, nyaman baik fisik, mental,

dan social sehingga dapat membantu penyembuhan pasien;

3. Bekerja untuk mengatasi masalah klien” here & now” yaitu membantu

mengatasi masalah segera dan tidak ditunda sehingga tidak terjadi penumpukan

masalah;

4. Sebagai model peran yaitu memberikan bantuan kepada klien menggunakan

diri sendiri sebagai alat melalui contoh prilaku yang ditampilkan perawat;

5. Memperhatikan aspek fisik dari masalah klien;

6. Memberikan pendidikan kesehatan mencakup pendidikan kesehatan jiwa,

gangguan jiwa, ciri-ciri sehat jiwa, penyebab gangguan jiwa, ciri-ciri gangguan

jiwa, fungsi dan tugas keluarga, dan upaya perawatan pasien gangguan jiwa;

7. Sebagai perantara sosial yaitu perawat dapat menjadi perantara dari pihak

klien, keluarga, dan masyarakat dalam memfasilitasi pemecahan klien;

8. Kolaborasi dengan tim lain yaitu perawat dalam membantu klien melakukan

kolaborasi dengan petugas kesehatan lain;

9. Memimpin dan membantu tenaga keperawatan dalam pelaksanaan pemberian

asuhan keperawatan jiwa yang didasarkan pada manajemen keperawatan

kesehatan jiwa;

(31)

2.4.4. MPKP di rumah sakit jiwa

Pada rumah sakit jiwa telah dikembangkan Model Praktek Keperawatan

Profesional (MPKP) dengan memodifikasi MPKP yang ada di rumah sakit umum.

Beberapa modifikasi yang dilakukan meliputi (Keliat, 2010):

1. MPKP transisi, yaitu MPKP dasar yang masih memiliki tenaga perawat yang

berpendidikan SPK, tetapi kepala ruangan dan ketua timnya minimal D3

Keperawatan;

2. MPKP pemula, yaitu MPKP dasar dengan semua tenaga perawat minimal D3

Keperawatan;

3. MPKP profesional, dibagi menjadi tiga tingkat:

1) MPKP I, yaitu MPKP basic (dasar) dengan tenaga perawat pelaksana

minimal D3 keperawatan, tetapi kepala ruangan dan ketua tim

berpendidikan minimal S1 keperawatan;

2) MPKP II, yaitu MPKP intermediate (menengah) dengan tenaga minimal D3

keperawatan dan mayoritas Ners dan sudah memiliki tenaga spesialis

keperawata jiwa;

3) MPKP III, yaitu MPKP advance (tingkat lanjut) dimana semua perawatnya

minimal Ners dan sudah mempunyai tenaga spesialis keperawatan jiwa dan

doktor keperawatan jiwa.

MPKP dikembangkan agar rumah sakit jiwa dapat berperan optimal

sebagai rujukan tertinggi dalam pelayanan kesehatan jiwa. Manajemen kegiatan

keperawatan didasarkan pada 4 pilar nilai profesional yaitu: 1) pendekatan

(32)

dan 4) pemberian asuhan keperawatan. Kegiatan yang ditetapkan pada

masing-masing pilar merupakan kegiatan dasar MPKP dengan model MPKP pemula.

Kegiatan tersebut dapat dikembangkan jika tenaga keperawatan yang bekerja

lebih berkualitas (Keliat, 2010).

2.4.5. Teori keperawatan konseptual

Penelitian ini mengacu pada model konseptual dan teori keperawatan

menurut Peplau dan King. Konsep Peplau dikembangkan untuk memberikan

bentuk praktik keperawatan psikiatrik dengan teori psikodinamik yang

menekankan pentingnya hubungan antara manusia. Teori Peplau (1991)

memandang keperawatan sebagai suatu proses yang penting. Keperawatan

berpartisipasi dalam menyusun struktur sistem asuhan kesehatan untuk

memfasilitasi kondisi yang alami dari kecenderungan manusia dalam

mengembangkan hubungan interpersonal. Seorang perawat harus mampu

berkolaborasi dengan tenaga profesional lainnya guna memperlihatkan fungsi

mereka sebagai perawat. Teori Peplau lebih berfokus pada individu, perawat

dan proses interaktif yang menghasilkan hubungan antara perawat dan klien.

Berdasarkan teori Peplau klien adalah individu dengan kebutuhan

perasaan. Keperawatan adalah proses interpersonal dan teraupeutik, artinya

bagaimana suatu hasil proses kerja sama manusia menjadi sehat. Seorang

perawat harus memiliki kemampuan dalam mengembangkan hubungan

interpersonal antar perawat, pasien, membangun komunikasi yang efektif

antara perawat- pasien serta menyediakan konseling bagi pasien dan keluarga

(33)

King (1981) memperkenalkan suatu model konseptual yang terdiri atas 3

sistem yaitu: 1) sistem personal (persepsi, diri sendiri, gambaran tubuh,

pertumbuhan dan perkembangan, waktu, ruang, 2) sistem interpersonal (peran,

interaksi, komunikasi, transaksi, dan stres, dan 3) sistem sosial (sistem keluarga,

sistem agama dan keyakinan, sistem pendidikan, dan sistem kerja) yang mengarah

pada teori pencapaian tujuan. Konsep yang terdapat pada sistem personal akan

mempengaruhi sistem interpersonal. Pemahaman tentang konsep tersebut akan

membantu perawat memahami diri sendiri dan perilaku orang lain. Selama proses

interaksi, perawat dan pasien berbagi informasi melalui komunikasi dan

melakukan transaksi untuk mencapai tujuan. Ketika tujuan perawat tidak sejalan

dengan pasien maka masalah dapat terjadi dan meningkatkan stress bagi perawat

maupun pasien tersebut (King, 1981).

2.5. Landasan Teori

Kepuasan kerja mengacu kepada sikap yang direfleksikan berdasarkan

penilaian seseorang terhadap pekerjaan atau pengalaman pada waktu tertentu

(Schermerhorn, Hunt, Osborn, & Uhl-Blen, 2010). Setiap individu akan memiliki

tingkat kepuasan yang berbeda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku pada

dirinya. Biasanya seseorang yang memiliki kepuasan kerja yang tinggi akan

mempunyai sikap positif terhadap pekerjaannya dan sebaliknya seseorang yang

tidak puas dengan pekerjaannya mempunyai sikap negatif terhadap pekerjaan

(34)

Teori Kepuasan kerja yang digunakan mengacu pada teori dua faktor

yang merupakan konsep teori Herzberg terdiri dari faktor intrinsik atau disebut

motivator yaitu prestasi kerja, pengakuan, pekerjaan itu sendiri, tanggung

jawab, kesempatan promosi, dan untuk kemungkinan berkembang) dan faktor

ekstrinsik atau faktor higieni (gaji atau salary, supervisi, keamanan kerja,

kondisi kerja, kehidupan pribadi, hubungan interpersonal, kebijakan

organisasi, dan status) (Schermerhorn, Hunt, Osborn, & Uhl-Blen, 2010;

Marquis & Huston, 2012).

Rotasi kerja merupakan salah satu bagian dari design kerja dan

motivasi. Rotasi kerja adalah perpindahan individu dari satu pekerjaan ke

pekerjaan lain, dimana tidak ada implikasi lain hanya berupa perubahan pada

tingkat supervisi, atau tanggung jawab (Porter, Smith, & Fagg, 2006). Rotasi

kerja adalah perpindahan individu dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain

dengan keahlian yang sama (Robbin & Judge, 2013) untuk menguragi monoton

terhadap tugas dan meningkatkan variasi kerja (Amstrong, 2006 ; Desler,

2014).

Burnout pertama kali diperkenalkan oleh Freudenberger pada tahun 1974

dan Christina Maslach pada tahun 1976 (Maslach, & Goldeberg, 1998).

Maslach, & Jackson (1981) mendefenisikan burnout sebagai syndrom kelelahan

emosional. Maslach dan Jackson (1981) menggolongkan burnout ke dalam tiga

dimensi yaitu: emotional exhaustion, depersonalization, dan reduced personal

(35)

Menurut Peplau (1991) keperawatan adalah suatu proses yang penting.

Keperawatan berpartisipasi dalam menyusun struktur sistem asuhan kesehatan

untuk memfasilitasi kondisi yang alami dari kecenderungan manusia dalam

mengembangkan hubungan interpersonal. Seorang perawat harus berkolaborasi

dengan tenaga profesional lainnya untuk memperlihatkan fungsi mereka sebagai

perawat. Perawat harus mempunyai kemampuan dalam mengembangkan

hubungan interpersonal antar perawat, pasien, membangun komunikasi yang

efektif antara perawat-pasien dan menyediakan pendidikan atau konseling bagi

pasien dan keluarga pasien.

King (1981) memperkenalkan suatu model konseptual yang terdiri atas 3

sistem terdiri dari: 1) sistem personal (persepsi, diri sendiri, gambaran tubuh,

pertumbuhan dan perkembangan, waktu, ruang, 2) sistem interpersonal (peran,

interaksi, komunikasi, transaksi, dan stres, dan 3) sistem sosial (sistem keluarga,

sistem agama dan keyakinan, sistem pendidikan, dan sistem kerja) yang mengarah

(36)

Skema 2.2 Kerangka Teori Marquis & Huston, 2012)

Burnout:

Kelelahan Emosional Depersonalisasi

Penurunan Pencapaian Pribadi (Maslach & Jackson, 1981)

Puas

Cukup Puas Tidak Puas Job Design & Motivation:

Perluasan kerja Rotasi kerja Pengayaan kerja

Pengenalan tantangan kerja (Porter, Smith, & Fagg, 2006)

Faktor yang mempengaruhi: 1. Umur

2. Jenis Kelamin 3. Tingkat Pendidikan 4. Lama Kerja

(37)

2.6. Kerangka Konsep

Berdasarkan uraian dalam tinjauan pustaka di atas, maka kerangka konsep penelitian ini adalah sebagai berikut:

Skema 2.3 Kerangka Konsep

Keterangan:

: Diteliti

: Tidak diteliti

Rotasi Kerja Kepuasan Kerja Perawat:

(prestasi kerja, pengakuan, pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab, kesempatan promosi, kemungkinan berkembang, gaji, supervisi, keamanan kerja, kondisi kerja, hubungan interpersonal, kebijakan organisasi, status)

Burnout:

(kelelahan emosional, depersonalisasi, penurunan pencapaian pribadi)

Faktor mempengaruhi kepuasan kerja:

1. Umur

2. Jenis Kelamin 3. Tingkat Pendidikan 4. Lama Kerja

Referensi

Dokumen terkait

Usulan Aksi Kunci Untuk Mengurangi Kesenjangan Kapasitas Pemerintah Kecamatan (pemegang tugas) dalam menuntut hak Hak Atas Kesehatan dan Kesejateraan ibu dan Bayi.

Dari penulisan ini dapat diketahui bahwa dengan sistem bagi hasil, setiap seribu rupiah dana nasabah yang diinvestasikan mendapatkan bagi hasil yang berfluktuasi, tergantung

[r]

Penulisan ilmiah ini bertujuan untuk membuat Animasi Gerhana Matahari yang dapat digunakan sebagai sarana informasi bagi semua kalangan umumnya dan khususnya siswa sekolah dasar

tingkat kecamatan dan tingkat kota Terlaksananya pertemuan/ rembug KTNA kecamatan dan KTNA Kota Terlaksananya penilaian kemampuan kelompok tani dan pokdakan. Terlaksananya

Visual Basic sangatlah menyenangkan karena dilengkapi dengan fasilitas - fasilitas yang mudah digunakan termasuk oleh orang yang baru mengenalnya sebab mereka tidak perlu bersusah

- Terlaksananya Mimbar sarehan TK Kecamatan dan Tingkat Kota - Terlaksananya Percontohan teknologi cabe Kopay dan Demonstrasi Area Padi sawah - Terlaksananya studi banding

Pada penulisan ilmiah ini penulis membuat atau merancang program aplikasi transaksi valuta asing dengan menggunakan bahasa pemrograman Visual Basic versi 6.0 dan menggunakan