BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tekanan laju pertambahan penduduk menyebabkan luasan lahan garapan
semakin sempit sehingga tingkat eksploitasi terhadap tanah semakin besar.
Akibatnya petani sulit meningkatkan kesuburan tanah hanya melalui perbaikan
fisik dan kimia tanah saja. Kelelahan tanah “fulic soil” berkaitan dengan kondisi
fisik yang tidak baik, dan tanah yang sakit berkaitan dengan ketidakseimbangan
hara (Syekhfani, 2000; Razali, 2002).
Lahan kering di Indonesia yang belum diusahakan secara intensif untuk
pertanian relatif cukup luas (12,90 juta ha), yang disertai indeks pertanaman yang
rendah terutama di luar pulau Jawa, hal ini menunjukkan bahwa sebagian lahan ini
belum dikelola secara baik. Kekurangan dan kelemahan pengelolaan lahan kering
di Indonesia selama ini telah mengakibatkan degradasi berbagai fungsi tanah yang
berdampak semakin beratnya usaha mensejahterakan masyarakat/bangsa (Idjudin
dan Marwanto, 2008).
Agribisnis melon menunjukkan prospek menjanjikan, tetapi jika faktor
tanah yang semakin keras, miskin unsur hara terutama unsur hara mikro dan
hormon alami, faktor iklim dan cuaca, faktor hama dan penyakit tanaman serta
faktor pemeliharaan tidak diperhatikan maka keuntungan akan menurun
(Tanindo, 2010).
Melon (Cucumis melo L.) adalah salah satu jenis tanaman buah yang
daerah beriklim kering tidak disukai oleh tanaman melon. Tanaman ini tidak
toleran terhadap tanah masam (pH rendah). Tanaman melon lebih senang di areal
terbuka, tetapi sinar matahari yang tidak terlalu terik, cukup dengan penyinaran
70% (Prabowo, 2013).
Lahan kering di Indonesia yang belum diusahakan secara intensif untuk
pertanian tergolong sub optimal karena tanahnya kurang subur, bereaksi masam,
mengandung Al, Fe dan atau Mn dalam jumlah tinggi sehingga dapat meracuni
tanaman. Lahan masam pada umumnya miskin bahan organik dan hara makro N,
P, K, Ca dan Mg. Pemberian bahan ameliorasi kapur, bahan organik, dan
pemupukan N, P dan K merupakan kunci untuk memperbaiki kesuburan lahan
kering masam (Madjid, 2009).
Kekahatan fosfor merupakan salah satu kendala terpenting bagi usaha tani
di lahan masam. Hal ini karena sebagian besar koloid dan mineral tanah yang
terkandung dalam tanah ultisol mempunyai kemampuan menyemat fosfat cukup
tinggi, sehingga sebagian besar fosfat dalam keadaan tersemat oleh Al dan Fe, dan
menjadi tidak tersedia bagi tanaman maupun biota tanah (Hasanudin dan Ganggo,
2004; Madjid , 2009)
Pemberian pupuk organik/bahan organik memiliki fungsi kimia yang
penting seperti: penyediaan hara makro (N, P, K, Ca, Mg dan S) dan mikro
seperti: Zn, Cu, Mo, B, Mn dan Fe, meskipun jumlahnya relatif sedikit,
meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah dan dapat membentuk senyawa
kompleks dengan ion logam yang meracuni tanaman seperti Al, Fe dan Mn
Kompos jerami memiliki potensi hara dan nilai ekonomi yang sangat
besar, menjadikan petani dapat menghemat pengeluaran negara untuk subsidi
pupuk dan mengurangi konsumsi pupuk kimia nasional. Dari analisa terhadap
kompos jerami memiliki kandungan hara setara dengan 41,3 kg Urea, 5,8 kg
SP36, dan 89,17 kg KCl per ton kompos atau total 136,27 kg NPK per ton
kompos kering (Isroi, 2009).
Buah pisang banyak dikonsumsi masyarakat sehingga sampah kulit pisang
yang dihasilkan juga banyak. Kulit pisang tersebut dapat dimanfaatkan sebagai
pupuk sumber kalium dan fosfor yang murah, ramah lingkungan dan efektif.
Penggunaan pupuk ini bisa menekan biaya produksi sehingga akan lebih
menguntungkan (Tyas, 2008). Berbagai keunggulan nutrisi terdapat pada kulit
pisang, dengan pertimbangan mudah diperoleh maka kulit pisang berpotensi
digunakan sebagai inokulum bakteri pelarut fosfat (Atmojo, 2003).
Memanfaatkan limbah sapi yang berupa kotoran atau fesesnya sebagai
pupuk organik juga sangat berguna bagi tanaman dalam memperbaiki kesuburan
tanah, limbah ini biasanya mengandung mikroorganisme yang melakukan
penguraian bahan - bahan organik menjadi kompos. Proses penguraian bahan
organik kotoran sapi dan bahan organik lain yang tercampur dilakukan oleh
konsorsium mikroorganisme dan jasad renik yang kasat mata (Aguskrino, 2011).
Untuk meningkatkan produksi melon melalui perbaikan sifat fisik dan
upaya pelepasan fosfat (P) melalui pemberian pupuk organik dari beberapa
campuran jenis bahan organik yang bersumber dari jerami padi, kulit pisang dan
1.2. Rumusan Masalah
Ketersediaan fosfor (P) di lahan kering masam sangat rendah meskipun
dilakukan pemupukan P anorganik hal ini disebabkan fosfor (P) akan selalu diikat
oleh unsur Fe dan Mn yang terdapat dalam tanah, sehingga P total dalam tanah
tinggi tetapi P tersedia bagi tanaman rendah. Untuk itu upaya peningkatan
ketersediaan P melalui penambahan pupuk organik dari berbagai campuran bahan
organik dengan beberapa taraf dosis pupuk organik perlu dilakukan, namun belum
diketahui bagaimana campuran pupuk organik tersebut melepaskan P yang
terfiksasi dalam tanah.
1.3. Tujuan
Untuk mengetahui besarnya fosfat tersedia pada lahan dengan kadar P
total tinggi melalui perlakuan pemberian pupuk organik campuran jerami +
kotoran sapi, campuran kulit pisang + kotoran sapi dan campuran jerami + kulit
pisang + kotoran sapi dengan 5 (lima) taraf dosis serta hubungannya dengan
produksi melon.
1.4. Hipotesa
Penggunaan pupuk organik dari campuran jerami padi + kulit pisang +
kotoran sapi dengan dosis 20 ton per ha dapat meningkatkan kadar fosfat (P)
1.5. Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi teknologi pelepasan
fosfat yang terjerap, melalui pemberian pupuk organik dari campuran bahan
organik jerami padi, kulit pisang dan kotoran ternak sapi dengan beberapa tingkat
dosis pemupukan pada tanaman melon varietas “Action 434” bagi setiap pembaca