• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kewenangan International Seabed Authority (ISA) Dalam Pelaksanaan Kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi Sumber Daya Mineral di Kawasan (Area) Dalam Perspektif Hukum Laut Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kewenangan International Seabed Authority (ISA) Dalam Pelaksanaan Kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi Sumber Daya Mineral di Kawasan (Area) Dalam Perspektif Hukum Laut Internasional"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERKEMBANGAN HUKUM LAUT INTERNASIONAL

A. Definisi Hukum Laut Internasional

Sebelum berbicara mengenai definisi hukum laut internasional,

Penulis terlebih dahulu menguraikan definisi hukum laut. Satu dan lain

sebab karena hukum laut dapat diartikan sebagai rangkaian peraturan dan

atau kebiasaan hukum mengenai laut yang bersifat22 :

1. Keperdataan, menyangkut kepentingan perorangan, yang mengatur

hubungan-hubungan perdata yang ditimbulkan karena

perjanjian-perjanjian perdata, perjanjian-perjanjian-perjanjian-perjanjian pengangkutan penyeberangan

laut dengan kapal laut niaga. Hukum ini merupakan matra dari hukum

pengangkutan yang merupakan bagian dari hukum dagang, yang

termasuk dalam hukum privat dan;

2. Hukum laut publik (kenegaraan), yaitu hukum yang objeknya berasal

dari peraturan-peraturan dan kebiasaan-kebiasaan baik nasional

maupun internasional.

Dari pengertian tersebut di atas; Penulis memfokuskan bahwa yang

menjadi topik utama pembahasan dalam penulisan skripsi ini adalah

hukum laut yang bersifat publik, khususnya yaitu hukum laut internasional

yang pada dasarnya merupakan cabang dari hukum internasional. Tidak

ada cabang hukum internasional yang lebih banyak mengalami perubahan

22

(2)

secara revolusioner selama beberapa dekade terakhir, selain daripada

hukum laut dan jalur-jalur maritim (maritime highways).23

UNCLOS 1982 tidak ada secara tegas memberikan definisi tentang

hukum laut internasional. Namun, hukum laut internasional dapat

didefinisikan sebagai sekumpulan aturan atau kaidah-kaidah hukum yang

mengatur hak dan kewenangan suatu negara atas kawasan laut yang berada

dibawah yurisdiksi nasionalnya (national jurisdiction).

B. Sejarah dan Perkembangan Hukum Laut Internasional

1. Sebelum Zaman Romawi

Sebelum kaum Romawi berkuasa, sejarah hukum laut internasional

bermula dari zaman kuno, yaitu ketika status hukum dari wilayah

lautan tidak pernah dipersoalkan oleh siapa pun. Wilayah laut bebas

untuk dimanfaatkan oleh setiap orang untuk kepentingannya

masing-masing.

Kepentingan masyarakat terhadap laut pada masa itu sangat

beragam, mulai dari kepentingan perdagangan, pelayaran, perikanan,

hingga untuk pelaksanaan upacara keagamaan ataupun kepercayaan

yang diyakini oleh masing-masing individu.

Seluruh aktivitas tersebut dilakukan di wilayah atau kawasan laut

yang dekat dengan pantai. Hal ini disebabkan terbatasnya teknologi

serta kemampuan yang minim untuk mengarungi lautan luas. Selain

23

(3)

itu, faktor jumlah penduduk yang sedikit pada zaman itu

menyebabkan kebutuhan hidup masyarakat terbatas dan berujung pada

pandangan bahwa tidak perlu mengarungi wilayah lautan sampai jarak

yang jauh dari wilayah dimana mereka menetap.

2. Zaman Romawi

Zaman berikutnya adalah zaman ketika Imperium Roma sedang

mencapai puncak kejayaannya. Penguasaan wilayah laut oleh kaum

Imperium Roma (Romawi) tersebut meliputi seluruh tepi Lautan

Tengah (Mediterania). Tujuan dari penguasaan Romawi atas wilayah

Lautan Tengah adalah untuk menjadikan wilayah lautan yang bebas

dari bahaya gangguan atau ancaman dari bajak-bajak laut sehingga

terciptanya kondisi yang aman bagi masyarakat untuk melaksanakan

kegiatan pelayaran, perdagangan, maupun kegiatan-kegiatan lainnya

di wilayah tersebut. Fakta bahwa kaum Romawi menguasai seluruh

tepi Lautan Tengah dan otomatis menjadikan seluruh kawasan Lautan

Tengah dikuasai secara mutlak oleh kaum Romawi akhirnya

mewujudkan tujuan penguasaan tersebut.

Pemikiran hukum bangsa Romawi tersebut pada dasarnya

bersumber dari doktrin yang menyebutkan bahwa laut merupakan hak

bersama seluruh umat manusia, yang dikenal dengan istilah res

communis omnium. Laut pada dasarnya merupakan wilayah yang

bebas untuk digunakan atau dimanfaatkan oleh setiap orang. Pada

(4)

pelayaran saja, artinya adalah setiap orang berhak untuk melayari laut

bebas dari gangguan perompak (bajak laut). Namun pada akhirnya

asas res communis omnium ini juga digunakan sebagai dasar dari

kebebasan menangkap ikan (freedom of fishing).

Di sisi lain, muncul doktrin lainnya yang disebut dengan res

nullius. Menurut konsepsi res nullius, laut bisa dimiliki apabila yang

berhasrat memilikinya bisa menguasai dengan mendudukinya.24

Paham ini didasarkan atas konsepsi okupasi (occupation) yang

berlaku dalam hukum perdata Romawi. Kemudian, keadaan berlanjut

dengan runtuhnya penguasaan Imperium Romawi atas Lautan Tengah.

Berakhirnya kejayaan bangsa Romawi tersebut selanjutnya diikuti

dengan lahirnya kerajaan-kerajaan dan negara-negara baru di sekitar

Lautan Tengah. Kejaayaan bangsa Romawi memang telah berakhir,

namun tidak pula halnya dengan konsep atau doktrin mengenai

wilayah laut yang berlaku pada zaman Romawi tersebut.

Kerajaan-kerajaan dan negara-negara yang muncul setelah runtuhnya imperium

Romawi tetap menggunakan asas-asas hukum Romawi dalam hal

kepemilikan wilayah lautan.

3. Setelah Zaman Romawi

Peninggalan imperium Romawi yaitu berupa asas atau

doktrin-doktrin mengenai laut mengakibatkan meluasnya perkembangan teori

hukum laut internasional. Hal ini diawali dengan munculnya tuntutan

24

(5)

sejumlah negara atau kerajaan atas sebagian laut yang berbatasan

dengan pantainya berdasarkan alasan yang bermacam-macam25,

diantaranya dengan alasan untuk26: 1) kepentingan karantina untuk

perlindungan kesehatan dari wabah penyakit yang mengancam pada

masa itu; 2) kepentingan bea cukai (pencegahan penyelundupan); 3)

pertahanan dan netralitas.

Banyaknya klaim atau tuntutan negara seperti yang telah Penulis

sebutkan di atas menimbulkan suatu keadaan dimana laut tidak lagi

merupakan suatu daerah milik bersama.27 Pada tahap ini, sudah ada

segelintir kerajaan yang mulai menyadari adanya kedaulatan yang

khusus di wilayah laut. Wilayah laut tidak lagi dipandang sebagai res

communis omnium. Hal ini diikuti dengan klaim dari sebagian

negara-negara di Eropa Tengah yang menyatakan bahwa wilayah laut

yang berbatasan dengan pantainya merupakan haknya.

Pada zaman setelah runtuhnya imperium Romawi yang juga

disebut sebagai zaman abad pertengahan ini kemudian dilanjutkan

dengan kemunculan pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh ahli

hukum Romawi terkait dengan permasalahan klaim negara-negara

terhadap wilayah laut. Klaim tersebut antara lain: “Venesia” yang

menuntut sebagian Laut Adriatik dan tuntutan tersebut diakui oleh

25

Dikdik Mohammad Sodik, Op. Cit., Hlm. 4. 26

Ibid, sebagaimana termuat dalam Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Penerbit Binacipta, 1986, Hlm. 3.

27

(6)

Paus Alexander III pada tahun 1977, “Genoa” yang menuntut wilayah

Laut Liguria dan sekitarnya, serta “Fisa” yang menuntut dan

melaksanakan kekuasaannya atas Laut Tyrrhenia.28

Pada saat sebagaimana diuraikan di atas, muncul dua ahli hukum

Romawi, yaitu Bartolus dan Baldus, yang mengemukakan konsepsi

mengenai pembagian maupun penguasaan wilayah laut yang dapat

Penulis uraikan sebagai berikut:

b. Pendapat Baldus, yang membagi konsepsi penguasaan laut yang

terbagi atas30 :

1) Pemilikan atas laut;

2) Pemakaian atas laut; dan

3) Yurisdiksi atas laut dan wewenang untuk melakukan

tindakan-tindakan terhadap kepentingan-kepentingan di laut.

28

Rosmi Hasibuan, dalam artikel Hak Lintas Damai (“Right of Innocent Passage”) Dalam Pengaturan Hukum Laut Internasional, 2002, USU Digital Library, Hlm. 2.

29

Bandingkan dengan artikel “Perkembangan Hukum Laut Internasional”, diunduh dari www.academia.edu/7379620/Perkembangan_Hukum_Laut_Internasional pukul 20.10 WIB, Hlm. 2.

30

(7)

Menurut Penulis adalah suatu kondisi yang juga tidak dapat

diabaikan dalam hal perkembangan hukum laut internasional pada

zaman pertengahan yaitu pengakuan Paus Alexander VI pada tahun

1943, dimana dalam pengakuan tersebut Paus Alexander VI membagi

samudera di dunia untuk Spanyol dan Portugal dengan batasnya garis

meridian 100 leagues (kira-kira sepanjang 400 mil laut)31, sehingga

wilayah tersebut terbagi dalam 2 (dua) bagian dengan rincian sebagai

berikut :

1) Di sebelah barat garis meridian (garis bujur), yang mencakup

Samudera Atlantik barat, Teluk Meksiko, dan Samudera Pasifik

adalah milik Spanyol, dan;

2) Di sebelah timur garis meridian, yang mencakup Samudera

Atlantik sebelah selatan Maroko dan Samudera Hindia, adalah

milik Portugal.

Tujuan dari adanya pembagian ini adalah untuk mendamaikan

kedua negara setelah peristiwa jatuhnya Kota Konstantinopel ke

tangan Turki.

Pembagian samudera ini dikukuhkan dalam Perjanjian Tordesilas

antara Spanyol dan Portugal pada tahun 1494.

Sementara itu, klaim-klaim negara lain terhadap wilayah laut juga

mulai bermunculan. Negara Denmark mengklaim Laut Baltik,

Norwegia dan Islandia yang mengklaim Laut Utara, serta Inggris yang

31

(8)

mengklaim laut sekitar kepulauannya sebagai wilayah negaranya

(mare anglicanum). Tindakan negara-negara tersebut menjadi

tantangan bagi bangsa Belanda. Dalam hal pelayaran, bangsa Belanda

yang pada saat itu telah menerobos masuk ke Samudera Hindia dalam

rangka usaha perdagangan dengan Indonesia, dan memperjuangkan

asas kebebasan berlayar (freedom of navigation), sehingga hal ini

sangat bertentangan dengan klaim yang diajukan Portugal yang

cenderung menganut doktrin mare clausum.

Selain itu dalam hal perikanan, Belanda menentang tuntutan

Inggris atas konsep mare anglicanum, mengingat bahwa Belanda telah

menangkap ikan di wilayah perairan tersebut dan telah terikat dengan

berbagai perjanjian selama berabad-abad lamanya. Seorang ahli

hukum yang juga dikenal sebagai Bapak Hukum Internasional

berkebangsaan Belanda, Grotius, memperjuangkan asas kebebasan

berlayar tersebut dengan doktrinnya yaitu laut terbuka (mare

liberium). Asas mare liberium ini telah Penulis uraikan dalam bab

sebelumnya.

Asas mare liberium yang diperkenalkan oleh Hugo de Groot atau

Grotius, telah menimbulkan reaksi dari seorang penulis Inggris yang

bermana John Selden. Kebalikan dari doktrin Grotius yang

memandang bahwa tidak ada yang dapat menguasai wilayah laut,

(9)

negara pantai. Doktrin Selden ini dikenal dengan laut tertutup (mare

clausum).

Bahwa perbedaan kedua doktrin yang Penulis uraaikan di atas

terlihat jelas adanya pertentangan tidak dapat dihindari saat itu.

Namun, pertentangan antar doktrin ini akhirnya tidak berlangsung

lama ketika seorang sarjana Belanda yang bekerja di Dinas

Diplomatik Denmark yang bernama Pontanus mengeluarkan Teori

Kompromi. Teori ini menggabungkan doktrin mare liberium dan

mare clausum, dengan membagi wilayah laut dalam 2 (dua) bagian,

yakni: 1) laut atau perairan yang berdekatan dengan pantai (adjacent

sea) suatu negara menjadi wilayah yang berada di bawah kedaulatan

negara tersebut, dan; 2) Selebihnya adalah laut bebas. Dengan adanya

rumusan ini maka hilanglah polemik yang terjadi diantara pendukung

kedua pandangan yang bertentangan mengenai wilayah laut seperti

yang dikemukakan sebelumnya. Pada kesempatan ini juga Pontanus

melalui teorinya juga akhirnya memberikan perkembangan baru bagi

hukum laut internasional, yaitu munculnya konsepsi mengenai laut

teritorial.

4. Zaman Modern

Munculnya konsepsi laut teritorial menandakan awal dari

perkembangan hukum laut internasional di zaman modern. Namun,

(10)

tersendiri bagi dunia internasional karena dalam praktiknya

negara-negara menetapkan lebar laut teritorial yang berbeda-beda.

Bahwa pada mulanya, lebar laut teritorial sebagaimana yang

dikemukakan oleh dua orang ahli hukum berkebangsaan Italia yang

bernama Gailani dan Azuni adalah sejauh 3 (tiga) mil diukur dari garis

pangkal normal. Namun, memasuki awal abad ke-20, negara-negara

pantai mulai meninggalkan lebar laut teritorial 3 mil laut dan

mengklaim lebar laut teritorial yang melebihi dari 3 mil laut. 32

Ketidakpastian mengenai lebar laut teritorial ini terus terjadi hingga

Perang Dunia I usai, yakni sekitar tahun 1918.

Pada tahun 1919, dibentuklah suatu organisasi internasional yang

memiliki kapasitas global, yakni Liga Bangsa-Bangsa (the League of

Nations), yang sekarang dikenal sebagai PBB. Organisasi yang

didirikan berdasarkan piagam Kovenan LBB singkatan dari Liga

Bangsa-Bangsa (Covenant of the League of Nations) dibentuk dengan

tujuan untuk mewujudkan keamanan dan perdamaian dunia serta

untuk mencegah terulangnya kembali perang dunia.

Bahwa dalam rangka untuk mewujudkan tujuan yang Penulis

uraikan di atas, Kovenan LBB mengamanatkan kepada negara-negara

anggotanya agar melakukan pengodifikasian hukum internasional.33

Menindaklanjuti hal tersebut, LBB mengadakan konferensi

internasional di Den Haag, Belanda, pada tanggal 13 Maret sampai

32

I Wayan Pathiana, Op. Cit., Hlm. 10.

33

(11)

dengan 12 April 1930. Konferensi ini memfokuskan kepada 3 (tiga)

bidang hukum, yakni tentang : 1) kewarganegaraan (nationality); 2)

perairan teritorial (territorial waters); dan 3) tanggung jawab negara

terhadap kerugian yang diderita oleh perorangan, ataupun harta

kekayaan orang asing yang ada di wilayah negara lain.

Dengan uraian tersebut; terlihat bahwa pembahasan mengenai laut

teritorial hanyalah salah satu dari bidang hukum yang akan

dikodifikasikan melalui konferensi tersebut. Hal yang ingin dicapai

dalam pembahasan mengenai laut teritorial ini adalah tercapainya kata

sepakat mengenai lebar laut teritorial, namun hal ini tidak terwujud.

Konferensi Den Haag 1930 gagal mencapai kata sepakat mengenai

lebar laut teritorial tersebut. Dengan kondisi tersebut, negara-negara

mengusulkan untuk dibentuk konferensi hukum selanjutnya agar dapat

menghasilkan ketentuan hukum yang pasti mengenai hal tersebut.

Bahwa sebelum terlaksananya konferensi hukum laut internasional

yang pertama, beberapa konsep dari para ahli kembali memberikan

sumbangsih terhadap perkembangan hukum laut internasional. Salah

satunya mengenai konsep laut teritorial yang diperkenalkan oleh Oden

de Bouen, yang mengemukakan bahwa negara pantai, selain

menetapkan wilayah laut yang berada di bawah kedaulatannya (laut

teritorial), juga berhak untuk menetapkan suatu zona di luar laut

teritorialnya atau di laut lepas yang berbatasan dengan laut

(12)

terhadap tindak pidana yang terjadi di dalam wilayahnya ataupun

mengadili atau menghukum si pelaku.34 Konsep Oden de Bouen

tersebut kemudian mulai diterapkan oleh beberapa negara secara

sepihak.

Peristiwa lainnya yang mengilhami dibentuknya ketentuan hukum

laut internasional yaitu kasus Anglo-Norwegian Fisheries Case (kasus

ini telah Penulis jelaskan dalam bab sebelumnya). Pertentangan

mengenai penerapan garis pangkal lurus yang terjadi antara Inggris

dan Norwegia ini berakhir dengan keluarnya sebuah putusan dari

Mahkamah Internasional, yang isinya menyatakan bahwa Mahkamah

Internasional membenarkan tindakan Norwegia yang menerapkan

garis pangkal lurus dalam pengukuran lebar laut teritorialnya.

Putusan Mahkamah Internasional tersebut kemudian diadopsi oleh

negara-negara yang memiliki kondisi yang serupa dengan Norwegia.

Selain itu ada juga peristiwa lainnya yang tidak dapat diabaikan

dalam perkembangan hukum laut internasional yaitu Proklamasi

Truman, yaitu proklamasi yang dikemukakan oleh Presiden Amerika

Serikat, Harry S.Truman, pada tanggal 28 September 1945.

Proklamasi ini memuat 2 (dua) bidang dalam hukum laut

internasional, yakni mengenai laut teritorial dan perikanan. Poin-poin

34

(13)

penting mengenai kedua proklamasi tersebut dapat Penulis uraikan

sebagai berikut35 :

a. Proklamasi tentang Landas Kontinen

1) Sumber-sumber alam yang berada dalam bawah tanah (subsoil)

dan dasar laut (seabed) di bawah laut lepas, tetapi bersambungan

dengan pantai-pantai Amerika Serikat berada atau tunduk kepada

yurisdiksi dan pengawasan Amerika Serikat;

2) Dalam hal dataran kontinen yang demikian memanjang sampai ke

wilayah pantai negara lain, maka perbatasannya akan ditentukan

oleh Amerika Serikat dan negara-negara yang bersangkutan sesuai

dengan prinsip-prinsip keadilan;

3) Ketentuan ini tidak akan mempengaruhi sifat laut lepas di atas

dataran kontinen tersebut dan hak untuk melakukan pelayaran

bebas tanpa rintangan pada laut itu;

4) Proklamasi ini memunculkan pengertian baru bahwa landas

kontinen adalah kelanjutan alamiah dari wilayah daratan, sehingga

sudah sepantasnyalah kekuasaan untuk mengaturnya ada di tangan

negara pantai yang berbatasan dengan dataran kontinen yang

bersangkutan;

5) Proklamasi ini memperluas wewenang Amerika Serikat untuk

mengambil kekayaan alam dari dasar laut yang berbatasan dengan

pantainya, termasuk tanah yang ada di bawahnya, namun tetap

35

(14)

mempertahankan kebebasan berlayar di laut lepas dalam perairan

di atasnya. Maka, yurisdiksi yang muncul bukanlah yurisdiksi

penuh; yurisdiksi penuh Amerika Serikat tetap terbatas pada laut

teritorial 3 (tiga) mil laut;

6) Proklamasi ini didasarkan pada argumentasi yang bersifat geologis,

berbeda dengan penguasaan serupa yang dilakukan sebelumnya

oleh negara lain yang didasarkan pada penguasaan efektif (effective

occupation) atau atas dasar hak sejarah (prescription);

7) Hal ini kemudian diikuti oleh beberapa negara lain seperti

Meksiko, Panama, dan Argentina;

8) Tindakan-tindakan sepihak negara-negara tentang dasar laut dan

tanah di bawahnya itu dibedakan kedalam 4 (empat) golongan,

yakni sebagai berikut:

(a) Tindakan yurisdiksi yang ditujukan kepada penguasaan

kekayaan alam yang terkandung dalam dasar laut dan tanah

di bawahnya yang berbatasan dengan pantai negara itu;

(b) Perluasan yurisdiksi atas dasar laut dan tanah di bawahnya;

(c) Perluasan kedaulatan atas landas kontinen dan perairan di

atasnya;

(d) Perluasan kedaulatan atas lautan (dengan atau pun tanpa

menyebut landas kontinen) hingga suatu jarak tertentu.

(15)

1) Dalam hal kegiatan perikanan di laut dekat pantai Amerika Serikat

selama ini atau dalam waktu yang akan datang dilakukan oleh

warga negara Amerika Serikat, maka pemerintah Amerika Serikat

menganggap bahwa sudah sepantasnyalah jika Amerika Serikat

menetapkan zona perlindungan perikanan, yang mana kegiatan

perikanan yang berlangsung di zona tersebut seluruhnya berada di

bawah pengaturan Amerika Serikat;

2) Pada masa lampau kegiatan perikanan juga dilakukan dan

dikembangkan oleh nelayan-nelayan asing, maka dalam hal

tersebut Amerika Serikat dan negara asing yang bersangkutan

melalui perjanjian dapat menetapkan zona perlindungan perikanan.

Kegiatan dalam zona tersebut diatur dalam perjanjian;

3) Amerika Serikat mengakui hak negara lain untuk menentukan zona

perlindungan perikanan yang serupa, asalkan kegiatan perikanan

yang dilakukan oleh warga negara Amerika Serikat yang telah ada

di daerah itu tetap diakui;

4) Ketentuan ini tidak akan mempengaruhi status laut lepas yang

bersangkutan sebagai laut bebas.

Hingga akhirnya pada tahun 1947, Perserikatan Bangsa-Bangsa

yang sebelumnya sudah terbentuk secara resmi pada tanggal 28

Oktober 1945, melalui Majelis Umumnya menyerukan untuk

menyelenggarakan kembali konferensi internasional yang bertujuan

(16)

oleh Komisi Hukum Internasional (International Law Commission).

Rancangan naskah konvensi tersebut memuat berbagai bidang dalam

hukum internasional, salah satunya adalah mengenai hukum laut

internasional. Menindaklanjuti hal tersebut, diadakan

konferensi-konferensi internasional yang khusus membahas perihal hukum laut

yang dapat penulis bagi ke dalam 4 (empat) konferensi, yakni sebagai

berikut:

a. Konferensi Hukum Laut Internasional I

Konferensi hukum laut internasional yang pertama kalinya

diselenggarakan di Jenewa, Swiss, pada tahun 1958. Konferensi

ini menghasilkan beberapa konvensi mengenai hukum laut, yaitu

terdiri dari36:

1) Konvensi tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan (Convention

on the Territorial Sea and Contiguous Zone), mulai berlaku pada

tanggal 10 September 1964;

2) Konvensi tentang Laut Lepas (Convention on the High Seas),

mulai berlaku pada tanggal 30 September 1962;

3) Konvensi tentang Perikanan dan Perlindungan Kekayaan Hayati

Laut Lepas (Convention on Fishing and Conservation of The

Living Resources of the High Seas), mulai berlaku pada tanggal 20

Maret 1966; dan

36

(17)

4) Konvensi tentang Landas Kontinen (Convention on the

Continental Shelf), mulai berlaku 10 Juli 1964.

Konvensi Jenewa 1958 dianggap sebagai sebuah konvensi yang telah

meletakkan dasar-dasar dalam hukum internasional, khususnya hukum

laut. Namun, waktu yang terus berjalan dan hukum laut internasional

yang kembali mengalami perkembangan kemudian mulai

menimbulkan pendapat yang mengemukakan bahwa Konvensi Jenewa

1958 harus ditinjau kembali. Beberapa alasan yang mendasari

peninjauan ulang Konvensi Jenewa 1958 tersebut yaitu37 : (a)

bangkitnya bangsa-bangsa merdeka di Afrika setelah tahun 1958 yang

menginginkan perubahan dalam konsepsi kebebasan laut-laut yang

dianggapnya terlalu menguntungkan negara-negara maritim; (b)

insiden terdamparnya kapal tangki minyak Torrey Canyon di dekat

pantai Perancis dan Inggris pada tahun 1967, yang menyadarkan

masyarakat dunia tentang bahaya pencemaran lingkungan laut.38

Selain itu, munculnya konsepsi mengenai zona ekonomi ekslusif

(exclusive economic zone) pertama kali dalam sidang Organisasi

Persatuan Afrika serta masih adanya ketidakpastian mengenai lebar

laut teritorial juga mendasari pertimbangan peninjauan konvensi

tersebut.

37

Dikdik Mohammad Sodik, Op. Cit., Hlm. 11. 38

(18)

b. Konferensi Hukum Laut Internasional II

Konferensi berikutnya diadakan di kota yang sama dengan

konferensi hukum laut sebelumnya yakni di Jenewa, Swiss,

yangberlangsung dari tanggal 16 Maret sampai dengan 26 April

1960. Konferensi ini diadakan berdasarkan Resolusi Majelis

Umum PBB Nomor 1307 (XIII) tanggal 10 Desember 1958 yang

meminta kepada Sekretaris Jenderal PBB supaya memprakarsai

penyelenggaraan konferensi hukum laut di Jenewa yang kedua39.

Konferensi ini memfokuskan kepada persoalan mengenai lebar

laut teritorial. Namun, konferensi ini kembali tidak menghasilkan

ketentuan yang pasti mengenai lebar laut teritorial.

c. Konferensi Hukum Laut Internasional III

Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 3067 (XXVIII) menjadi

dasar diselenggarakannya Konferensi Hukum Laut Internasional

III yang dilaksanakan di Caracas, Venezuela, pada tahun 1973.40

Konferensi ini dilanjutkan di New York, Amerika Serikat, dan

akhirnya berhasil menyepakati naskah final Konvensi Hukum Laut

Internasional. Naskah konvensi ini berisikan berbagai rezim dalam

hukum laut internasional yang berlaku hingga saat ini, termasuk

pula konsepsi negara kepulauan (archipelagic state) yang diajukan

oleh negara Indonesia. Naskah final konvensi tersebut kemudian

39

I Wayan Parthiana, Op. Cit., Hlm. 18. 40

(19)

ditandatangani dalam Konferensi di Montego Bay, Jamaika, pada

tanggal 10 Desember 1982.

Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982 merupakan satu Konvensi

yang mengatur masalah kelautan secara utuh dan terpadu sebagai satu kesatuan.41

Selain melakukan perubahan pada keempat Konvensi yang lahir pada tahun 1958,

konvensi ini juga memberikan penambahan mengenai lembaga-lembaga yang

berkaitan dengan hukum laut internasional, seperti Komisi Batas Landas Kontinen

(Commision on the Limits of the Continental Shelf) atau yang dikenal dengan

CLCS, dan Badan Otorita Dasar Laut Internasional (International Sea-bed

Authority) atau yang disebut dengan ISA. UNCLOS 1982 memuat berbagai

prinsip pokok yang terdiri dari 42:

1) Mengatur rezim-rezim wilayah laut;

2) Mengakui kedaulatan, hak berdaulat, dan yurisdiksi negara pantai di

laut;

3) Mengakui rezim hukum negara kepulauan;

4) Mengatur hak dan kewajiban kapal di laut bebas;

5) Mencegah adanya benturan kepentingan antara negara pantai dan

negara bendera kapal dan menyediakan semua penyelesaian konflik.

Konvensi ini mulai berlaku (enter into force) pada tanggal 16 November

1994, yaitu 12 (dua belas) bulan setelah tanggal pendepositan piagam ratifikasi

41

I Wayan Parthiana, Op. Cit., Hlm. 22. 42

(20)

atau aksesi yang ke-60.43 Saat ini, sebagian besar negara-negara di dunia, bahkan

dapat dikatakan seluruh negara sudah menjadi peserta UNCLOS 1982. Maka,

dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kini secara de facto dan de jure,

UNCLOS 1982 sudah berlaku sebagai hukum internasional positif menggantikan

Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958.44

C. Pembagian Wilayah Laut Menurut Konvensi Hukum Laut PBB 1982

(United Nations Convention On The Law Of The Sea)

Wilayah laut sangat kaya dengan materi yang bermanfaat bagi

kehidupan manusia. Oleh karena ke depan wilayah laut akan selalu

menjadi objek eksploitasi dan eksplorasi. Fenomenanya yang sedemikian

itu dapat mengakibatkan timbulnya permasalahan yang menjuruskan

kepada perselisihan tentang wilayah laut. Antara lain dalam hal

pemanfaatan laut; terutama mengenai berapa jarakyang menjadi batas

seseorang maupun kelompok masyarakat dari sebuah negara pantai yang

akan memanfaatkan wilayah laut tersebut. Permasalahan ini juga akan

diwarnai dengan adanya perkembangan zaman, kemajuan peradaban dan

teknologi.

Penulis berpendapat bahwa perkembangan zaman, kemajuan

peradaban dan teknologi sebagaimana diuraikan di atas; akan melahirkan

dan berkembangannya perselisihan bahkan dapat menjurus kepada tindak

kejahatan beserta kompleksitasnya. Walaupun demikian hukum sesuai

43

Lihat Pasal 308 UNCLOS 1982.

44

(21)

tujuannya adalah untuk menciptakan ketertiban dalam kehidupan. Pada

waktu hukum harus memutuskan suatu sengketa, maka hukum berpikir,

bagaimanakah membuat suatu keputusan yang dampaknya akan

meningkatkan efisiensi dan produktifitas.45

Berkaitan dengan hal tersebut di atas; Penulis meneliti bahwa

UNCLOS 1982 menjawab permasalahan tersebut dengan membagi

zona-zona maritim dan status hukumnya masing-masing. Dalam hal ini wilayah

laut atau zona maritim tersebut dibedakan berdasarkan yurisdiksinya, yaitu

di bawah yurisdiksi nasional dan di luar yurisdiksi nasional. Zona-zona

maritim yang berada di bawah yurisdiksi nasionalkemudian dibagi lagi

kedalam zona-zona maritim yang berada di bawah kedaulatan penuh

negara pantai, dan zona-zona maritim bagian-bagian dimana negara pantai

dapat melaksanakan wewenang-wewenang serta hak-hak khusus yang

diatur dalam konvensi.46

Sebagaimana diuraikan di atas bahwa wilayah laut terbagi 2(dua)

yaitu wilayah lautyang merupakan yurisdiksi nasional dan wilayah

lautyang berada di luar yurisdiksi nasional. Pembagian tersebut di atas

dapat penulis uraikan sebagai berikut :

1. Wilayah Laut Yang Merupakan Yurisdiksi Nasional.

a) Perairan Pedalaman (Internal Waters)

45

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000, Hlm. 144. 46

(22)

Perairan pedalaman atau yang disebut dengan perairan dalam atau

perairan nasional merupakan zona maritim yang berada di bawah

kedaulatan penuh suatu negara pantai. Artinya, tidak terdapat

innocent passage47 bagi kapal-kapal asing, sebagaimana yang

terdapat pada zona maritim lain seperti laut teritorial.48Perairan

pedalaman suatu negara terdiri atas perairan pada sisi darat garis

pangkal laut teritorial, terkecuali yang diatur dalam Bab IV

UNCLOS.49

b) Perairan Kepulauan (Archipelagic Waters)

Salah satu rezim hukum yang diatur dalam UNCLOS 1982 adalah

rezim Negara kepulauan, yang termuat dalam Bab IV konvensi

tersebut. Definisi Negara kepulauan sebagaimana termuat dalam

Pasal 46 UNCLOS yaitu suatu Negara yang seluruhnya terdiri

dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau

lain.

Kedaulatan suatu negara kepulauan meliputi perairan yang

ditutup oleh garis pangkal kepulauan, yang ditarik sesuai dengan

47

Innocent passage atau hak lintas damai adalah hak bagi kapal-kapal asing untuk berlayar di laut teritorial suatu negara pantai.Hak lintas damai diatur dalam Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958, dan seiring perkembangan zaman mulai diatur secara terperinci dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982.Berdasarkan Pasal 14 ayat (4) Konvensi Jenewa 1958 dan Pasal 19 ayat (1) Konvensi 1982, lintas adalah damai sepanjang tidak merugikan bagi perdamaian, ketertiban, atau keamanan negara pantai.Hak lintas damai menjadi solusi bagi negara-negara terutama yang melaksanakan tujuan perdagangan dan lalu lintas orang, yang merugi akibat ketiadaan kebebasan berlayar di laut territorial karena berlaku kedaulatan penuh suatu negara pantai.Hak lintas damai saat ini sudah dianggap sebagai hukum kebiasaan internasional (international custom law).

48

Retno Windari, Hukum Laut Zona-Zona Maritim Sesuai UNCLOS 1982 dan Konvensi-Konvensi Bidang Maritim, Jakarta: Badan Koordinasi Keamanan Laut, 2009, Hlm. 22.

49

(23)

ketentuan pasal 47 UNCLOS, disebut sebagai perairan kepulauan,

tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai.50Sama

halnya dengan perairan pedalaman, dalam perairan kepulauan

pada dasarnya juga berlaku kedaulatan penuh suatu negara pantai.

c) Laut Teritorial (Territorial Sea)

Secara umum, laut teritorial dapat didefinisikan sebagai bagian

laut yang terletak pada sisi luar dari garis pangkal dan di sebelah

luarnya dibatasi oleh garis atau batas luar (outer limit).51Setiap

Negara berhak menetapkan lebar laut teritorialnya dengan jarak

tidak melebihi 12 mil dan diukur dari garis pangkal sesuai yang

ditetapkan dalam UNCLOS. Hal ini ditegaskan dalam pasal 3

yang berbunyi :

“Every State has the right to establish the breadth of its

territorial sea up to a limit not exceeding 12 nautical

miles, measured from baselines determined in accordance

with this Convention.”

Kedaulatan suatu Negara pantai atas laut territorial mutlak dan

lengkap,52meskipun dibatasi oleh kewajiban-kewajiban

50

Lihat Pasal 49 angka 1 UNCLOS 1982.Sedangkan pasal 47 UNCLOS 1982 berisikan ketentuan mengenai garis pangkal kepulauan, yang terbagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu garis pangkal biasa atau garis pangkal normal (normal base line) dan garis pangkal lurus.

51

I Wayan Parthiana, Op.Cit.,Hlm. 31-32. 52

(24)

internasional yang timbul dari ketentuan-ketentuan hukum

kebiasaan internasional dan perjanjian internasional.53

d) Zona Tambahan (Contiguous Zone);

Zona tambahan ini sebenarnya sudah dikenal sebelum Perang

Dunia II, sebagai suatu konsep hukum yang pertama kali diajukan

oleh Oden de Bouen dalam konferensi internasional tentang

perikanan yang diselenggarakan di Madrid, Spanyol.54Beberapa

Negara pada waktu itu sudah ada yang menerapkannya untuk

keperluan yurisdiksi-yurisdiksi yang terbatas.55

Zona tambahan merupakan zona transisi antara laut lepas dan laut

wilayah.56 Dikatakan demikian karena fungsi dari zona tambahan

adalah untuk mengurangi kontras dari laut wilayah yang rezimnya

tunduk seluruhnya pada kedaulatan Negara pantai dan laut lepas

di mana terdapat rezim kebebasan, dan juga hukum internasional

menerima wewenang tertentu Negara pantai di suatu zona laut

yang langsung teretak di sebelah luar laut wilayah.57

Lebar dari zona tambahan adalah tidak dapat melebihi lebih dari

24 mil laut dari garis pangkal dari manalebar laut territorial

diukur58, dengan catatan bahwa lebar laut territorial dimana suatu

53

Dikdik Mohammad Sodik,Ibid, dalam D.J Harris, “Cases and Materials on International Law”, London: Sweet & Maxwell, 2004, Hlm. 386.

54

I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Mandar Maju, 1990, Hlm. 122.

(25)

Negara pantai memiliki kedaulatan penuh didalamnya sesuai

dengan Pasal 3 UNCLOS adalah 12 mil laut, dan lebar zona

tambahan suatu Negara pantai yaitu 24 mil laut dikurangi 12

menjadi 12 mil laut.

Sebagaimana yang telah disebutkan dalam alinea sebelumnya,

dalam zona tambahan berlaku kedaulatan penuh suatu Negara

pantai, sehingga suatu Negara pantai memiliki

wewenang-wewenang tertentu terhadap zona tambahan yang dimilikinya.

Pasal 33 ayat 1 UNCLOS 1982 berisikan pengaturan yang

berlaku bagi Negara pantai untuk dapat melaksanakan

pengawasan dalam zona tambahan dengan tujuan:

1) Mencegah pelanggaran peraturan perundang-undangan bea

cukai, fiskal, imigrasi atau saniter di dalam wilayah atau laut

teritorialnya;

2) Menghukum pelanggaran peraturan perundang-undangan

tersebut di atas yang dilakukan di dalam wilayah atau laut

teritorialnya.

e) Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zone)

Wilayah perairan lainnya yang menjadi yurisdiksi nasional suatu

Negara pantai adalah zona ekonomi eksklusif. Konsepsi zona

ekonomi eksklusif dalam rezim hukum laut internasional

merupakan manifestasi dari usaha-usaha Negara-negara pantai,

(26)

pengawasan dan penguasaan terhadap segala macam sumber

kekayaan yang terdapat di zona laut yang terletak di luar dan

berbatasan dengan laut wilayahnya.59Hal ini disebabkan karena

Negara-negara berkembang merasa bahwa dengan adanya

konsepsi laut bebas hanya semakin menguntungkan

Negara-negara maju dengan teknologi kelautan yang canggih untuk

mengelola kekayaan alam laut yang berdekatan dengan wilayah

perairan Negara berkembang.Kemudian oleh negara-negara

berkembang tersebut dibentuklah berbagai pernyataan sepihak

mengenai pelebaran laut wilayah masing-masing Negara pantai

maupun mengenai penguasaan zona-zona laut lainnya.

Dalam UNCLOS 1982 zona ekonomi eksklusif diartikan sebagai

suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut teritorial.60

Dalam pasal tersebut lebih lanjut dinyatakan bahwa zona

ekonomi eksklusif tunduk pada rezim khusus (special legal

regime) yang meliputi beberapa hal yakni61:

1) Hak-hak berdaulat, yurisdiksi, dan kewajiban Negara

pantai;

2) Hak-hak serta kebebasan dari Negara lain;

3) Kebebasan-kebebasan laut lepas; dan

59

Bandingkan dengan Boer Mauna, Op. Cit, Hlm. 359. 60

Lihat Pasal 55 UNCLOS 1982. 61

(27)

4) Kaidah-kaidah hukum internasional sebagaimana

ditentukan dalam konvensi.

Pengaturan lainnya mengenai zona ekonomi eksklusif adalah

tentang lebar zona ekonomi eksklusif.Pasal 57 UNCLOS 1982

menyatakan bahwa zona ekonomi eksklusif tidak boleh melebihi

200 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut territorial

diukur.Dalam rentang jarak tersebut, berlaku hak-hak berdaulat

bagi negara pantai untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi,

konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam yang terdapat

di wilayah laut tersebut.

Selain hak-hak berdaulat, Negara pantai juga mempunyai

yurisdiksi dalam zona ekonomi eksklusif, dalam hal ini berkenaan

dengan62:

1) Pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi, dan

bangunan;

2) Riset ilmiah kelautan; dan

3) Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.

f) Landas Kontinen (Continental Shelf)

Landas Kontinen (continental shelf) pada mulanya diartikan

dalam perspektif geologi (khususnya geologi kelautan), sebagai

kawasan dasar laut dan tanah di bawahnya yang bersambungan

dengan pantai yang berada di permukaan air (laut). Pengertian

62

(28)

landas kontinen dalam perspektif geologi disebutkan dalam

Encyclopedia Americana63, yakni:

“ the part of the ocean floor that is adjacent to the shores

of the continents and is covered by water of shallow depth,

less than 80-100 fathoms (490-600 feet, or 145-180

meters)”.

(bagian dari dasar samudera (lautan) yang bersambungan dengan

pantai dari suatu benua dan yang ditutupi oleh perairan yang

dangkal, yaitu kurang dari 80-100 fathoms (490-600 kaki, atau

145-180 meter)).

Selain itu, landas kontinen juga ditafsirkan secara

ekonomis.Fenomena ekonomis ini berkaitan dengan kekayaan

alam, khususnya kekayaan mineral yang terdapat dalam landas

kontinen. Melimpahnya kekayaan mineral yang terdapat pada

landas kontinen seperti emas, kobalt, nikel, tembaga, dan

mineral-mineral lainnya menyebabkan pengelolaan besar-besaran yang

dilakukan oleh Negara-negara maju, khususnya Negara-negara

yang memiliki kemajuan dalam teknik pengeboran.64Kemajuan

teknologi yang luar biasa cepatnya inilah yang juga menyebabkan

63

I Wayan Parthiana, Landas Kontinen Dalam Hukum Laut Internasional, Bandung: Bandar Maju, 2015, Hlm. 6, sebagaimana termuat dalam The Encyclopedia Americana: International Edition, Volume. 7, Grolier Incorporated, Connectitut, 06816, USA, Hlm. 695.

64

(29)

tiba-tiba sumber mineral di dasar laut lepas dan lapisan tanah di

bawahnya menjadi sangat berharga.65

Istilah landas kontinen kemudian mulai diartikan dalam perspektif

hukum.Hal ini didasarkan atas permasalahan yang timbul seperti

pihak manakah yang dapat memiliki landas kontinen, pihak

manakah yang boleh mengeksploitir kekayaan alam di landas

kontinen, dan sebagainya.Istilah landas kontinen dalam arti

yuridis pertama kali diperkenalkan oleh Presiden Amerika

Serikat, Harry S. Truman (1945-1953) dalam Proklamasi Truman,

yang telah Penulis jelaskan dalam uraian sebelumnya.

Landas Kontinen diatur dalam Bab VI UNCLOS 1982, termuat

mulai dari pasal 76 sampai dengan pasal 85. Pasal 76 ayat (1)

UNCLOS 1982 memberikan batasan (defenisi) tentang landas

kontinen sebagai berikut:

“Landas kontinen dari suatu negara pantai meliputi dasar

laut dan tanah di bawahnya dari area di bawah perairan

laut yang terletak di luar area laut teritorial yang

merupakan perpanjangan atau kelanjutan secara alamiah

dari wilayah daratannya sampai pada pinggiran luar dari

tepi kontinen atau sampai pada suatu jarak 200 mil laut

dari garis pangkal tempat lebar laut teritorial negara pantai

65

(30)

itu diukur serta pinggiran luar dari tepi kontinen tidak

boleh melampaui dari jarak tersebut.”

Landas kontinen, sebagaimana dalam defenisi yang telah Penulis

uraikan di atas, memiliki batas sejauh 200 mil laut. Namun, perlu

untuk diketahui bahwa ada 60 negara pantai yang mempunyai

landas kontinen yang melebihi batas 200 mil laut tersebut.66

Negara-negara yang memiliki landas kontinen melebihi batas

yang diperkenankan dalam hukum internasional tersebut

mengajukan Landas Kontinen Ekstensi (LKE). Negara pantai

yang ingin mengajukan LKE harus menyampaikannya kepada

Komisi Batas Landas Kontinen atau CLCS(Commission on the

Limits of the Continental Shelf).67 Batas-batas landas kontinen

ditetapkan oleh suatu negara pantai atas dasar “bersifat final dan

mengikat” (final and binding).68 Akan tetapi, berdasarkan

ketentuan Pasal 76 ayat (10) UNCLOS 1982, kekuatan mengikat

penetapan batas terluar landas kontinen dapat ditolak oleh

negara-negara tetangga yang melakukan klaim tumpang tindih atas

landas kontinen tersebut.69

66

Dikdik Mohammad Sodik, Op. Cit., Hlm. 114, sebagaimana termuat dalam “Extended Continental Shelf”, Bureau of Oceans and International Environmental and Scientific Affairs, U.S. Department of State, Washington, DC, 2009, Hlm. 1, http://www.state.gov/g/oes/rls/fs/2009/120185.html yang diunduh pada tanggal 1 April 2000.

67

Lihat Pasal 76 ayat (8) UNCLOS 1982. 68

Taisaku Ikeshima dalam artikel “The Implementation Mechanism of The United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS): A General Overview”, Hlm. 74.

69

(31)

Serupa halnya dengan wilayah zona ekonomi eksklusif, negara

pantai memiliki hak-hak berdaulat dan yurisdiksi-yurisdiksi

tertentu dalam wilayah landas kontinen.Hak berdaulat negara

pantai atas landas kontinen disebutkan dalam Pasal 77 UNCLOS

1982, yang artinya berbunyi sebagai berikut:

1) Negara pantai menjalankan hak berdaulat di landas kontinen

untuk tujuan mengeksplorasinya dan mengeksploitasi sumber

kekayaan alamnya;

2) Hak yang tersebut dalam ayat (1) di atas adalah eksklusif

dalam arti bahwa apabila negara pantai tidak mengeksplorasi

landas kontinen atau mengeksploitasi sumber kekayaan

alamnya, tiada seorangpun dapat melakukan kegiatan itu

tanpa persetujuan tegas negara pantai;

3) Hak suatu negara pantai atas landas kontinen tidak tergantung

pada pendudukan (okupasi), baik efektif atau tidak tetap

(notional), atau pada proklamasi secara jelas apapun;

4) Sumber kekayaan alam tersebut dalam Bab ini terdiri dari

sumber kekayaan mineral dan sumber kekayaan non hayati

lainnya pada dasar laut dan tanah di bawahnya, bersama

dengan organisme hidup yang tergolong jenis sedenter yaitu

organisme yang pada tingkat yang sudah dapat dipanen

(32)

atau tidak dapat bergerak kecuali jika berada dalam kontak

fisik tetap dengan dasar laut atau tanah di bawahnya.

Sedangkan hak-hak lainnya bagi negara pantai atas landas

kontinennya berupa : 1) hak untuk memasang kabel-kabel dan

pipa-pipa saluran (pasal 79 ayat 1) ; 2) hak untuk mengatur

pencegahan, pengurangan dan pengawasan atas polusi yang

bersumber dari kabel-kabel ataupun saluran pipa tersebut,

namun tidak sampai menghalangi pemasangan atau

pemeliharaan kabel atau pipa tersebut (pasal 79 ayat 2); 3)

Hak untuk membangun pulau buatan, instalasi dan bangunan

di atas landas kontinen (pasal 80); 4) hak eksklusif untuk

mengizinkan dan mengatur pengeboran di landas kontinen

untuk segala keperluan (pasal 81). Hak negara pantai atas

landas kontinen tidak mempengaruhi status hukum perairan di

atasnya atau ruang udara di atas perairan tersebut.70

Sedangkan kewajiban negara pantai pada landas kontinen

yaitu sebagai berikut71 :

1) Menghormati hak-hak negara lain pada landas kontinen

pada landas kontinen sebagaimana dijamin oleh UNCLOS

1982, seperti hak negara atau pihak lain untuk memasang

kabel atau pipa saluran;

70

Lihat Pasal 78 ayat (1) UNCLOS 1982. 71

(33)

2) Menghormati kaidah-kaidah hukum laut internasional

yang berlaku pada landas kontinen;

3) Terhadap kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pada landas

kontinen yang dilakukan negara pantai atau pihak lain,

negara pantai berkewajiban untuk menghormatinya.

4) Membayar sejumlah pembayaran atau sumbangan kepada

International Seabed Authority atas eksploitasi yang

dilakukan pada landas kontinen yang berada di luar batas

200 mil laut (pasal 82 UNCLOS 1982).

2. Wilayah Laut Yang Berada Di Luar Yurisdiksi Nasional.

a) Laut Lepas (High Seas)

UNCLOS 1982 tidak menyebutkan secara tegas pengertian laut

lepas atau high seas. Namun, penulis berpendapat bahwa pasal 86

UNCLOS 1982 dapat dikatakan memberikan pendefinisian

mengenai laut lepas. Bunyi pasal 86 UNCLOS 1982 adalah

sebagai berikut:

“The provisions of this part apply to all parts of the sea that

are not included in the exclusive economic-zone, in the

territorial sea or in the internal waters of a State, or in the

archipelagic waters of an archipelagic state. This article

(34)

by all States in the exclusive eonomic zone in accordance

with article 58.”

Dari ketentuan pasal 86 tersebut dapat disimpulkan bahwa laut

lepas adalah sebagai bagian laut yang tidak termasuk dalam zona

ekonomi eksklusif, laut teritorial atau perairan pedalaman suatu

negara, atau perairan kepulauan dari suatu negara kepulauan.

Laut lepas (high seas) sebagaimana telah penulis uraikan di atas

merupakan wilayah laut yang berada di luar yurisdiksi nasional

negara pantai. Hal ini berarti tidak ada satu negara pun boleh

mengklaim kedaulatan ataupun melakukan tindakan-tindakan yang

mencerminkan kedaulatan di laut lepas atau di bagian-bagian

tertentu dari laut lepas.72

Hal ini bahkan ditegaskan dalam pasal 89 UNCLOS 1982 yang

menyatakan bahwa tidak ada suatu negara pun yang dapat secara

sah menundukkan kegiatan manapun dari laut lepas pada

kedaulatannya. Posisi lautlepas yang berada di luar yurisdiksi

nasional suatu negara pantai, mengindikasikan berlakunya

kebebasan-kebebasan bagi seluruh negara dan hal tersebut telah

diakomodir oleh UNCLOS 1982. Kebebasan di laut lepas tersebut

meliputi 6 (enam) hal yakni sebagai berikut73 :

1) kebebasan berlayar (freedom of navigation);

2) kebebasan penerbangan (freedom of overflight);

72

I Wayan Parthiana, Op. Cit., Hlm. 187. 73

(35)

3) kebebasan untuk memasang kabel dan pipa bawah laut, dengan

tunduk pada Bab VI (freedom of lay submarine cables and

pipelines, subject to part VI);

4) kebebasan untuk membangun pulau buatan dan instalasi

lainnya yang diperbolehkan berdasarkan hukum internasional,

dengan tunduk pada Bab VI (freedom to construct artificial

islands and other installations permitted under part VI);

5) kebebasan menangkap ikan, dengan tunduk pada persyaratan

yang tercantum dalam bagian 2 (freedom of fishing, subject to

the conditions laid down to section 2);

6) Kebebasan riset ilmiah, dengan tunduk pada bab VI dan XIII

(freedom of scientific research, subject to Parts VI and XIII).

b. Kawasan Dasar Laut Internasional(International Seabed

Area)

Selain laut lepas, zona maritim yang berada di luar yurisdiksi

nasional adalah kawasan dasar laut internasional (international

seabed area). Isu mengenai kawasan dasar laut internasional

muncul dari gagasan seorang duta besar Malta di PBB yaitu.

Arvid Pardo, yang mengusulkan kepada Majelis Umum PBB

dalam Sidang MU PBB tahun 1967 agar sumber daya alam

khususnya sumber daya mineral yang terkandung di kawasan

(36)

(common heritage of mankind). Atas tindak lanjut dari usulan

tersebut, PBB mengeluarkan Resolusi Majelis Umum No. 2749

(XXV) tahun 1970 yang menjadi ketentuan pertama yang

mengatur mengenai kawasan dasar laut internasional

(international seabed area).

Kawasan dasar laut internasional atau yang dalam UNCLOS 1982

disebut Kawasan (area) adalah dasar laut dan tanah di bawahnya

yang terletak di luar batas yurisdiksi nasional suatu negara.74

Dalam UNCLOS 1982, keseluruhan pengaturan mengenai

kawasan termuat dalam Bab XI.

Seperti yang telah penulis uraikan dalam bab sebelumnya, sumber

daya alam di kawasan (area) sangat berlimpah, khususnya

sumber daya mineral. Mineral-mineral yang dihasilkan dari

wilayah kawasan dapat dieksplorasi dan dieksploitasi oleh

negara-negara atau perusahaan-perusahaan dengan memenuhi

persyaratan yang diberlakukan oleh suatu otorita yang dinamakan

Badan Otorita Dasar Laut Internasional (International Seabed

Authority).

Pembahasan mengenai kawasan dasar laut internasional serta

otoritanya secara lebih mendalam akan Penulis uraikan dalam

bab-bab selanjutnya, mengingat bahwa judul skripsi ini adalah

terkait dengan kawasan dasar laut internasional serta badan otorita

74

(37)

yang berwenang dalam kawasan dasar laut internasional tersebut

yang mengharuskan Penulis menjelaskan kedua hal tersebut

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mendukung kegiatan publisitas yang dilakukan oleh Restylane melalui media massa, tim Public Relations Restylane juga menyediakan informasi yang bersifat

Perlu adanya peran dari pemerintah setempat dalam hal ini dinas terkait untuk dapat mengatur sistem transportasi di lokasi penelitian yang merupakan jalur utama

Maka dapat disimpulkan bahwa nilai moral dalam cerita rakyat Tan Nunggal dan Bujang Nadi Dare Nandong adalah nilai moral yang tidak patut dicontoh karena memiliki nilai moral

Mengisi matrik perbandingan berpasangan yaitu dengan menggunakan bilangan untuk merepresentasikan kepentingan relatif dari satu elemen terhadap elemen lainnya yang dimaksud dalam

Produksi dan distribusi benih merupakan hal utama dalam konsep sistem perbenihan. Teknologi benih merupakan komponen dari suatu sistem perbenihan. Sistem perbenihan

Penulisan ilmiah ini diharapkan akan memberikan kemudahan bagi para pengguna internet untuk memperoleh resep kue yang diinginkan serta untuk menghemat pengeluaran. Proses pembuatan

Dengan adanya penulisan ini diharapkan dapat memberikan sedikit kontribusi pengetahuan tentang aplikasi perangkat lunak pada perangkat komunikasi bergerak yang di kenal sebagai Java

2.. Unsur-unsur tindak pidana pada umumnya dapat dijabarkan kedalam unsur- unsur dasar yang terdiri dari unsur subyektif dan unsur obyektif. Unsur- unsur subjektif dari sesuatu