• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Kualitas Udara Ambien NO2, SO2, PM10 Dengan Kejadian Ispa Di Kota Medan Tahun 2013-2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Antara Kualitas Udara Ambien NO2, SO2, PM10 Dengan Kejadian Ispa Di Kota Medan Tahun 2013-2016"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

2.1.1 Defenisi dan Karakteristik

Nitrogen dioksida adalah gas toksik, kelarutannya dalam air rendah, tetapi

mudah larut dalam larutan alkali, karbon disulfida dan kloroform. Gas ini

berwarna coklat kemerahan dan pada suhu di bawah 21,2oC akan berubah menjadi

cairan berwarna kuning. Baunya khas dan mengganggu bahkan dapat mengiritasi

saluran napas pada konsentrasi 1-3 ppm (Handayani, dkk, 2003).

Pada saat di atmosfer, gas ini akan mengalami siklus fotolitik NO2 bersama

dengan gas NO dan oksigen dengan bantuan sinar matahari. Siklus fotolitik ini

dapat terganggu jika di dalam udara terdapat hidrokarbon (HC), karena

hidrokarbon akan berekasi dengan O maupun O2. Reaksi HC dengan O akan

menghasilkan radikal bebas HC yang sangat reaktif. Radikal bebas HC akan

menyerang NO dan NO2 sehingga jumlah NO akan berkurang. Radikal bebas HC

dapat juga bereaksi dengan HC lainnya dan menghasilkan senyawa-senyawa

organik. Di samping itu radikal bebas HC yang bereaksi dengan O2 dan NO2 akan

menghasilkan Peroxyl Acetyl Nitrates atau disingkat PAN (Wardhana, 2004).

2.1.2 Sumber

Sumber nitrogen dioksida mayoritas berasal dari pembakaran bahan bakar

fosil seperti batu bara, minyak, dan gas. Di daerah perkotaan, nitrogen dioksida

80% diproduksi dari kendaraan bermotor. Sumber lainnya adalah penyulingan

gasoline dan logam, pembangkit listrik yang berbahan bakar batu bara, proses

(2)

Tabel 2.1

- Pembakaran batu bara sisa 1,0 - Pembakaran limbah pertanian 1,5

Sumber : Wardhana, 2004

Menurut Fardiaz (2012), konsentrasi NOx di udara dalam suatu kota

bervariasi sepanjang hari tergantung dari sinar matahari dan aktivitas kendaraan.

Perubahan konsentrasi NOx berlangsung sebagai berikut :

1. Sebelum matahari terbit, konsentrasi NO dan NO2 tetap stabil pada

konsentrasi sedikit lebih tinggi dari konsentrasi minimum sehari-hari.

2. Segera setelah aktivitas manusia meningkat (jam 6 – 8 pagi) konsentrasi NO

meningkat terutama karena meningkatnya aktivitas lalu lintas yaitu

kendaraan bermotor. Konsentrasi NO tertinggi pada saat ini dapat mencapai

1-2 ppm.

3. Dengan terbitnya sinar matahari yang memancakan sinar ultraviolet,

konsentrasi NO2 meningkat karena perubahan NO primer menjadi NO2

(3)

4. Konsentrasi ozon meningkat dengan menurunnya konsentrasi NO sampai

kurang dari 0,1 ppm.

5. Jika intensitas energi solar (sinar matahari) menurun pada sore hari (jam 5 –

8 sore) konsentrasi NO meningkat kembali.

6. Energi matahari tidak tersedia untuk mengubah NO menjadi NO2 (melalui

reaksi hidrokarbon), tetapi O3 yang terkumpul sepanjang hari akan bereaksi

dengan NO. Akibatnya terjadi kenaikan konsentrasi NO2 dan penurunan

konsentrasi O3.

2.1.3 Dampak terhadap Kesehatan

Pengaruh pajanan NO2 ditentukan oleh konsentrasi saat pajanan,

proses akut atau kronik serta lama pajanan. Gejala yang dapat terjadi akibat

pajanan NO2 meliputi asfiksi, edema paru, batuk, sesak, sianosis dan bronkiolitis

obliterans. Selain itu, pajanan NO2 juga mempunyai efek toksik langsung terhadap

makrofag alveolar sehingga mengurangi daya fagosit dan aktivitas bakterisidal.

Hal ini meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi bakteri pada saluran

pernapasan. Pajanan NO2 juga menimbulkan gangguan sekresi mukus, kerusakan

silia dan gangguan imunitas humoral (Handayani, dkk, 2003).

Pajanan nitrogen dioksida sangat berpengaruh pada saluran pernapasan.

Bukti ilmiah menunjukkan bahwa pajanan NO2 selama 30 menit hingga 24 jam

akan menimbulkan efek yang merugikan bagi pernapasan yaitu peradangan

saluran napas pada orang sehat dan peningkatan gejala pada penderita asma.

(4)

konsentrasi NO2 dengan peningkatan kunjungan rumah sakit dan UGD yang

berkaitan dengan penyakit pernapasan terutama asma (US. EPA, 2015).

Konsentrasi NO2 lebih tinggi dari 100 ppm bersifat letal terhadap

kebanyakan hewan, dan 90% dari kematian tersebut disebabkan oleh gejala edema

pulmonari. Konsentrasi NO2 sebesar 800 ppm atau lebih mengakibatkan 100%

kematian pada hewan-hewan yang diuji dalam waktu 29 menit atau kurang.

Pemberian sebanyak 5 ppm NO2 selama 10 menit terhadap manusia

mengakibatkan sedikit kesukaran dalam bernapas (Fardiaz, 2012).

2.1.4 Mekanisme Pajanan ke Manusia

Inhalasi NO2 dapat menyebabkan gangguan paru dan saluran pernapasan,

kemudian dapat masuk ke dalam peredaran darah dan menimbulkan akibat di

organ tubuh lain. Kelarutan NO2 dalam air rendah sehingga dapat mudah

melewati trakea, bronkus, dan sampai ke alveoli. Di dalam saluran pernapasan

NO2 akan terhidrolisis membentuk asam nitrit (HNO2) dan asam nitrat (HNO3)

yang bersifat korosif terhadap mukosa permukaan saluran napas (Handayani, dkk,

2003).

Gas NO2

(Oksidan Inhalan)

Peradangan Bronkus

Gerakan Silia Menurun

Mekanisme Pembersihan Silia Menurun

Infeksi Bronkus Meningkat

Infeksi Bronkus Kronis

(5)

Efek Pajanan NO2 terhadap Saluran Pernapasan Sumber : Mukono, 2008

2.1.5 Baku Mutu

Di Indonesia, baku mutu NO2 dalam udara ambien mengacu pada Peraturan

Pemerintah Nomor 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara yaitu

400 µg/Nm3. Berdasarkan WHO adalah 40 µg/Nm3 rata-rata tahunan atau 0,016

ppm dan 200 µg/Nm3 rata-rata per jam dan 0,08 ppm (WHO, 2005).

2.1.6 Cara Pencegahan dan Pengendalian

Beberapa cara untuk mencegah peningkatan konsentrasi NO2 adalah :

a. Mengimplementasikan standar kualitas bahan bakar nasional

b. Mendukung implementasi standar emisi kendaraan yang lebih ketat

c. Mengembangkan kemampuan kendaraan berbahan bakar diesel

d. Mengembangkan dan mempromosikan bahan bakar alternatif

e. Mengembangkan sistem prediksi polusi di kota besar

f. Mempromosikan penggunaan sepeda

(www.environment.gov.au)

2.2 Sulfur Dioksida (SO2)

2.2.1 Defenisi dan Karakteristik

Sulfur dioksida (SO2) termasuk ke dalam kelompok sulfur oksida atau SOx

bersama dengan sulfur trioksida (SO3). SO2 mempunyai karakteristik bau yang

tajam dan tidak terbakar di udara. Konsentrasi SO2 di udara akan mulai terdeteksi

oleh indra penciuman manusia ketika konsentrasi berkisar antara 0,3 – 1 ppm

(6)

sulfur dioksida (SO2). Sebagian pencemaran udara oleh gas belerang oksida (SOx)

yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, terutama batu bara (Sunu, 2001).

Sebagaimana O3 pencemar sekunder yang terbentuk dari SO2 seperti

partikel sulfat, dapat berpindah dan terdesposisi jauh dari sumbernya. SO2 dan

gas-gas oksida sulfur lainnya terbentuk saat terjadi pembakaran bahan bakar fosil

yang mengandung unsur sulfur (KLH, 2013).

SO2 berpotensi besar untuk berpindah ke tempat yang lebih jauh (lebih dari

500-1000 km) karena waktu tinggalnya di atmosfer hanya beberapa hari. Hal ini

dapat menimbulkan hujan asam regional bahkan dapat menyerang ke negara lain.

Hujan asam dapat mengakibatkan pengasaman pada badan air sehingga

berdampak buruk pada ekosistem di dalamnya. Selain itu, hujan asam juga dapat

menimbulkan kerusakan pada tanaman, bangunan, warisan budaya, dan material

lainnya (CAI-Asia Factsheet No 4, 2010).

2.2.2 Sumber

Sumber SO2 dari aktivitas manusia adalah proses pembakaran dan proses

industri. Proses pembakaran yang dapat menghasilkan SO2 adalah pembakaran

batubara pada generator listrik dan mesin-meisn. Proses industri yang

menghasilkan SO2 adalah industri pemurnian petroleum. Industri asam sulfat,

industri peleburan baja, dan sebagainya (Fardiaz, 2012).

Sulfur sendiri terdapat dalam hampir semua material mentah yang belum

diolah seperti minyak mentah, batu bara, dan bijih-bijih yang mengandung metal

seperti aluminium, tembaga, seng, timbal, dan besi. Di daerah perkotaan, yang

(7)

yang menggunakan bahan batu bara ataupun minyak sebagai bahan bakarnya.

Selain tu gas buang dari kendaraan yang menggunakan minyak solar,

industri-industri yang menggunakan bahan bakar batu bara dan minyak bakar, juga

merupakan sumber sulfur (KLH, 2013).

2.2.3 Dampak terhadap Kesehatan

Menurut Kirk dan Othmer dalam Fardiaz (2012), konsentrasi SO2 sebesar

8-12 ppm dapat menyebabkan iritasi tenggorokan. Pada konsentrasi 20 ppm dapat

mengakibatkan iritasi mata dan batuk. SO2 berbahaya bagi orang tua dan

penderita yang mengalami penyakit kronis pada sistem pernapasan dan

kardiovaskular. Individu dengan gejala tersebut akan sangat sensitif terhadap

pajanan SO2 meskipun dengan konsentrasi yang rendah misalnya 0,2 ppm atau

lebih.

Tabel 2.2

Pengaruh SO2 terhadap Manusia

Konsentrasi (ppm) Pengaruh

3 – 5 Jumlah terkecil yang dapat dideteksi dari baunya

8 – 12 Jumlah terkecil yang segera mengakibatkan iritasi tenggorokan

20 Jumlah terkecil yang segera mengakibatkan iritasi mata 20 Jumlah terkecil yang segera mengakibatkan batuk 20 Maksimum yang diperbolehkan untuk kontak dalam

waktu lama

50 – 100 Maksimum yang diperbolehkan untuk kontak dalam waktu singkat (30 menit)

400 – 500 Berbahaya meskipun kontak secara singkat

Sumber : (Kirk dan Orthmer dalam Fardiaz, 2012)

Otot saluran pernapasan akan mengalami kejang jika teriritasi oleh SO2 dan

kejang akan lebih berat jika konsentrasi SO2 lebih tinggi sementara suhu udara

(8)

maka akan terjadi peradangan pada selaput lendir yang diikuti oleh kelumpuhan

sistem pernapasan, kerusakan jaringan epitel, dan akhirnya kematian. Jika

konsentrasi SO2 masih relatif rendah tetapi waktu pajanan pendek dan

berulang-ulang, maka gas tersebut dapat memicu kanker (Wardhana, 2004).

2.2.4 Mekanisme Pajanan ke Manusia

Saat manusia bernapas dan menghirup udara yang mengandung SO2, tubuh

akan mengabsorbsinya melalui hidung dan paru-paru. Sulfur dioksida dapat

dengan mudah dan dengan cepat masuk ke dalam peredaran darah melalui

paru-paru. Sekali ada di dalam tubuh, tubuh akan rusak akibat sulfat dan dapat hilang

melalui urin (ATSDR, 1998).

Gas SO2 masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernapasan. SO2 memiliki

daya larut yang tinggi, memiliki ukuran partikulat sangat kecil dan dapat masuk

hingga ke alveoli, dapat mengiritasi dinding bronkus sehingga terjadi peradangan

dan produksi lendir meningkat pada bronkiolus dan alveolus. Oleh sebab itu,

resistensi saluran pernapasan meningkat dan menyebabkan konstruksi bronkus

(Mukono, 2008).

Masuk Saluran Pernapasan

Daya larut tinggi Iritasi dinding bronkus

Bronkiolus dan alveolus

Resistance saluran pernapasanmeningkat

Konstruksi bronkus

Gambar 2.2

Efek Pajanan SO2 terhadap Saluran Pernapasan

Terjadi : Peradangan, Produksi lendir meningkat

(9)

Sumber : Mukono, 2008

2.2.5 Baku Mutu

Nilai baku mutu SO2 dalam udara ambien berdasarkan WHO adalah

rata-rata per 24 jam 20 µg/m3 atau 0,008 ppm dan rata-rata per 10 menit 500

µg/m3 atau 0,2 ppm. Baku mutu SO2 dalam udara ambien di Indonesia mengacu

pada Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1999 tentang Pengendalian

Pencemaran Udara yaitu 900 µg/Nm3 (1 jam), 365 µg/Nm3 (24 jam), dan 60

µg/Nm3 (1 tahun).

2.2.6 Cara Pencegahan dan Pengendalian

Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi kadar SO2 secara

nasional (EPA, 2010) adalah :

a. Membuat program reduksi konsentrasi SO2 dengan mengadopsi baku mutu

yang ditetapkan EPA atau WHO dan secara periodik mengevaluasi

konsentrasi SO2 di udara.

b. Mengurangi emisi SO2 ke udara dengan menggunakan kendaraan yang

minim polusi dan bahan bakar alternatif.

2.3 Partikulat 10 Mikrometer (PM10) 2.3.1 Sifat dan Karakteristik

Partikulat didefenisikan sebagai partikel-partikel halus yang berasal dari

padatan maupun cairan yang tersuspensi di dalam gas (udara). Partikel padaran

atau cairan ini umumnya merupakan campuran dari beberapa materi organic dan

non-organik seperti asam (partikel nitrat atau sulfat), logam, ataupun partikel debu

(10)

memengaruhi dampak partikel tersebut terhadap manusia dan lingkungan. PM10

adalah partikel yang berukuran 10 mikrometer atau lebih kecil (KLH, 2013).

PM10 memiliki beberapa nama lain, yaitu inhalable particles, respirable

particulate, respirable dust, dan inhalable dust. PM10 juga dapat bersifat toksik

karena dapat mengandung campuran partikulat jelaga, kondensat asam, garam

sulfat, partikel nitrat, ataupun logam-logam berat (Fitria, 2009).

2.3.2 Sumber dan Distribusi

Beberapa studi mengenai sumber dan distribusi PM10 menjelaskan bahwa

terdapat hubungan antara ukuran partikel polutan dengan sumbernya. Partikel

yang berdiameter lebih besar dari 10 mikron dihasilkan dari proses-proses

mekanis seperti erosi angin, penghancuran dan penyemprotan, dan pelindasan

benda-benda oleh kendaraan atau pejalan kaki. Sumber utama PM10 di perkotaan

adalah asap kendaraan bermotor. Partikulat ini dapat terhisap ke dalam sistem

pernapasan. Partikel yang berukuran diameter 1 – 10 mikron biasanya termasuk

tanah, debu, dan produk-produk pembakaran dari industri lokal. Partikel yang

mempunyai 0,1 – 1 mikron merupakan produk-produk pembakaran aerosol

fotokimia (Fardiaz, 2012; Fitria, 2009).

Partikel sebagai pencemar udara mempunyai waktu hidup yaitu pada saat

partikel masih melayang-layang sebagai pencemar di udara sebelum jatuh ke bumi.

Sedangkan kecepatan pengendapanya tergantung pada ukuran partikel, massa

jenis partikel serta arah dan kecepatan angin yang bertiup. Partikel yang sudah

mati karena jatuh mengendap di bumi dapat hidup kembali apabila tertiup oleh

(11)

2.3.3 Dampak terhadap Kesehatan

Partikulat dapat terhisap ke dalam sistem pernapasan dan menyebabkan

gangguan pernapasan dan kerusakan paru-paru. PM10 diketahui dapat

meningkatkan angka kematian yang disebabkan oleh penyakit jantung dan

pernapasan, pada konsentrasi 140 µg/m3 dapat menurunkan fungsi paru-paru pada

anak-anak, sementara pada konsentrasi 350 µg/m3 dapat memperparah kondisi

penderita bronkhitis (Gilliland dalam Fitria, 2009). PM10 merupakan indikator

yang baik untuk kelainan saluran pernapasan, karena didapatkannya hubungan

yang kuat antara gejala penyakit saluran pernapasan dengan kadar partikel debu

(Pope dalam Mukono, 2008).

Menurut Fardiaz (2012), partikel-partikel yang masuk dan tertinggal di

dalam paru-paru berbahaya bagi kesehatan karena tiga hal penting, yaitu:

1. Partikel tersebut beracun karena sifat-sifat kimia dan fisiknya.

2. Partikel tersebut bersifat inert (tidak bereaksi) tetapi jika tertinggal di

dalam saluran pernapasan dapat mengganggu pembersihan bahan-bahan

lain yang berbahaya.

3. Partikel-partikel tersebut dapat membawa molekul-molekul gas yang

berbahaya, baik dengan cara mengabsorbsi atau mengadsorbsi,

sehingga molekul-molekul gas tersebut dapat mencapai dan tertinggal

di bagian paru-paru yang sensitif.

(12)

Sistem pernapasan mempunyai beberapa sistem pertahanan yang mencegah

masuknya partikel-partikel, baik berbentuk padat maupun cair, ke dalam

paru-paru. Rambut-rambut hidung akan mencegah masuknya partikel-partikel

berukuran besar, sedangkan partikel-partikel yang lebih kecil akan dicegah masuk

oleh membran mukosa yang terdapat di sepanjang sistem pernapasan dan

merupakan permukaan tempat partikel menempel. Pada beberapa bagian sistem

pernapasan terdapat bulu-bulu halus (silia) yang bergerak ke depan dan ke

belakang bersama-sama mukosa sehingga membentuk aliran yang membawa

partikel yang ditangkapnya keluar dari sistem pernapasan ke tenggorokan, dimana

partikel tersebut tertelan (Fardiaz, 2012).

Pada saat seseorang menarik napas, udara yang mengandung partikel akan

terhirup ke dalam paru-paru. Ukuran partikel (debu) yang masuk ke dalam paru

akan menentukan letak penempelan atau pengendapan partikel tersebut

(Wardhana, 2004). Partikel yang mempunyai diameter lebih besar daripada 5

mikron akan terhenti dan terkumpul terutama di dalam hidung dan tenggorokan.

Meskipun partikel tersebut sebagian dapat masuk ke dalam paru-paru. Partikel

yang berukuran 0,5 – 5,0 mikron dapat terkumpul di dalam paru-paru sampai

bronchioli, dan hanya sebagian kecil yang sampai pada alveoli. Partikel yang

berukuran diameter kurang dari 0,5 mikron dapat mencapai dan tinggal di dalam

alveoli. Pembersihan partikel-partikel yang sangat kecil tersebut dari alveoli

sangat lambat dan tidak sempurna dibandingkan dengan di dalam saluran yang

lebih besar. Beberapa partikel yang tetap tertinggal di dalam alveoli dapat

(13)

Gambar 2.3

Efek Pajanan PM10 terhadap Saluran Pernapasan Sumber : Mukono, 2008

2.3.5 Baku Mutu

. Baku mutu PM10 dalam udara ambien di Indonesia mengacu pada

Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran

Udara yaitu 150 µg/Nm3.

2.4 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) 2.4.1 Pengertian ISPA

Inhalable particle (2,5-10 mikron)

Faring

Deposit ke Trakeobronkial

Iritasi Kronis

Peradangan

Sekret / Lendir

(14)

Defenisi penyakit ISPA adalah radang akut saluran pernapasan atas maupun

bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus maupun

riketsia, tanpa atau disertai radang parenkim paru (Alsagaff, 2005).

Pengertian ISPA adalah penyakit saluran pernapasan akut dengan perhatian

khusus pada radang paru (pneumonia), dan bukan penyakit telinga dan

tenggorokan. Infeksi saluran pernapasan akut merupakan penyakit utama

penyebab kematian bayi dan sering menampati urutan pertama angka kesakitan

balita (Widoyono, 2008).

Infeksi saluran pernapasan atas (URIs) adalah penyakit infeksi pada

umumnya ditemui. Jenis dari infeksi ini adalah rinitis, sinusitis, infeksi telinga,

faringitis akut, epiglotitis, dan laringitis. Mayoritas penyebab infeksi ini adalah

virus (Simoes et.al, 2006).

Infeksi saluran pernapasan bawah (LRIs) umumnya berupa pneumonia dan

bronkiolitis. Hal ini dapat diketahui dari gejala anak yang batuk dan penarikan

napas yang berat dan dalam (Simoes et.al, 2006).

2.4.2 Epidemiologi ISPA

Dari hasil pengamatan epidemiologi dapat diketahui bahwa angka kesakitan

di kota cenderung lebih besar daripada di desa. Hal ini disebabkan oleh tingkat

kepadatan tempat tinggal dan pencemaran lingkungan di kota yang lebih tinggi

daripada di desa.

Penyakit pneumonia di negara berkembang, merupakan 25% penyumbang

kematian pada anak, terutama pada bayi berusia kurang dari dua bulan. Dari

(15)

pada bayi akibat pneumonia sebesar 42,4% dan pada balita sebesar 40,6%,

sedangkan angka mortalitas pada bayi akibat pneumonia sebesar 24% dan pada

balita sebesar 36%.

Hasil SKRT tahun 1992 menunjukkan bahwa angka mortalitas pada bayi

akibat penyakit ISPA menduduki urutan pertama (36%), dan angka mortalitas

pada balita menduduk urutan kedua (13%). Di Jawa Tengah pada tahun 1999

penyakit ISPA selalu menduduki ranking 1 pada 10 besar penyakit pasien rawat

jalan di puskesmas (Widoyono, 2008).

2.4.3 Klasifikasi ISPA

Widoyono mengklasifikasikan penyakit ISPA terdiri dari:

a) Bukan pneumonia

Mencakup kelompok pasien balita dengan batuk yang tidak menunjukkan

gejala peningkatan frekuensi napas dan tidak menunjukkan adanya tarikan

dinding dada bagian bawah ke arah dalam. Contohnya adalah common cold,

faringitis, tonsilitis, dan otitis.

b) Pneumonia

Didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernapas. Diagnosis

gejala ini berdasarkan umur. Batas frekuensi napas cepat pada anak berusia dua

bulan sampai <1 tahun adalah 50 kali per menit dan untuk anak usia 1 sampai <5

tahun adalah 40 kali per menit.

(16)

Didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernapas disertai sesak

napas atau tarikan dinding dada bagian bawab ke arah dalam (chest indrawing)

pada anak berusia dua bulan sampai <5 tahun.

Untuk anak berusia <2 bulan, diagnosis pneumonia berat ditandai adanya

napas cepat yaitu frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali per menita tau lebih, atau

adanya tarikan yang kuat pada dinding dada bagian bawah ke arah dalam (severe

chest indrawing).

2.4.4 Etiologi ISPA

Infeksi bakterial sering merupakan penyulit ISPA dibanding yang

disebabkan oleh virus, terutama bila ada epidemi atau pandemi. Penyulit bakteria

umumnya diserta keradangan parenkim (Alsagaff dan Mukty, 2005).

Menurut Widoyono tahun 2008 etiologi penyakit ISPA terdiri dari :

Bakteri : Diplococcus pneumonia, Pneumococcus, Streptococcus pyogenes,

Staphylococcus aureus, Haemophillus influenza, dan lain-lain.

Virus : Influenza, Adenovirus, Sitomegavirus.

Jamur : Aspergillus sp, Candida albicans, Hitoplasma, dan lain-lain.

Aspirasi : Makanan, asap kendaraan bermotor, BBM (Bahan Bakar Minyak)

biasanya minyak tanah, cairan amnion pada saat lahir, benda

asing

(biji-bijian, mainan plastik kecil, dan lain-lain).

ISPA yang disebabkan oleh bakteri adalah infeksi pernapasan umum yang

(17)

influenza, Chlamydia spp., dan Mycoplasma pneuminuae. Terdapat beberapa

ISPA yang disebabkan oleh jasad renik bukan golongan virus maupun bakteri,

yaitu ISPA yang disebabkan oleh Mikoplasma Pneumonia yang termasuk dalam

golongan Pleuropneumonia-like organism (PPLO) karena tidak dapat dimasukkan

ke dalam golongan virus maupun bakteri. Kemudia Psitakosis-ornitosis yang

menyebabkan epizoonosis pada beberapa burung, serta Demam Q yang

disebabkan oleh riketsia golongan Coxiella burneeti. Virus pernapasan merupakan

penyebab terbesar ISPA.

Hingga kini telah dikenal lebih dari 100 jenis virus penyebab ISPA. Infeksi virus memberikan gambaran klinik yang khas akan tetapi sebaliknya beberapa jenis virus bersama-sama dapat pula memberikan gambaran yang hampir sama. ISPA yang disebabkan oleh virus, wanita lebih rentan bila dibandingkan dengan pria (Alsegaff dan Mukty, 2005).

Tabel 2.3

Kelompok Virus, Sub-Kelompok Virus, dan Tipe Virus

Group Virus Sub Group Tipe

Orthomyxovirus Influenza virus A

B C

Paramyxovirus Para Influenza virus 1 – 4

Metamyxovirus Respiratory syntial virus (RS-Virus)

Adenovirus 1 – 31

Sumber : Alsegaff dan Mukty, 2005

2.4.5 Patogenesis ISPA

Menurut Hood Alsagaff dan H.Abdul Mukty, saluran pernapasan selama

hidup selalu terpapar dengan dunia luar sehingga guna mengatasinya dibutuhkan

(18)

terhadap infeksi maupun partikel gas yang ada di udara amat tergantung pada tiga

unsur alami yang selalu terdapat pada orang sehat, yaitu :

a. Keutuhan epitel mukosa dan gerak mukosilia

b. Makrofag alveol

c. Antibodi setempat

Sudah menjadi suatu kecenderungan bahwa infeksi bakteri mudah terjadi

pada saluran napas yang sel-sel epitel mukosanya telah rusak, akibat infeksi yang

terdahulu. Hal-hal yang dapat mengganggu keutuhan lapisan mukosa dan gerak

silia adalah :

a. Asap rokok dan gas SO2, polutan utama dalam pencemaran udara

b. Sindrom imotil

c. Pengobatan dengan O2 konsentrasi tinggi (25% atau lebih)

Makrofag banyak terdapat di alveol dan akan dimobilisasi ke tempat lain

bila terjadi infeksi. Asap rokok dapat menurunkan kemampuan makrofag

membunuh materi, sedangkan alkohol akan menurunkan mobilitas sel-sel ini.

Antibodi setempat yang ada pada saluran pernapasan adalah IgA. Antibodi

ini banyak didapatkan di mukosa. Kekurangan antibodi ini akan memudahkan

terjadinya infeksi saluran pernapasan, seperti yang sering terjadi pada anak.

Mereka dengan defisiensi IgA akan mengalami hal yang serupa dengan penderita

yang mengalami defisiensi imun lain, seperti penderita yang mendapat terapi

sitostatik atau radiasi, penderita dengan neoplasma yang ganas dan lain-lain

(immuno compromised host). Gambaran klinik radang yang disebabkan oleh

(19)

a. Karakteristik inokulum, meliputi ukuran aerosol, jumlah dan tingkat

virulensi jasad renik yang masuk

b. Daya tahan tubuh, tergantung pada utuhnya sel epitel mukosa, gerak

mukosilia, makrofag alveol dan IgA

c. Umur, mempunyai pengaruh besar. ISPA yang terjadi pada anak dan bayi

akan memberikan gambaran klinik yang lebih jelek bila dibandingkan dengan

orang dewasa.

Gambaran klinik yang buruk dan tampak lebih berat tersebut terutama

disebabkan oleh infeksi virus pada bayi dan anak yang belum memperoleh

kekebalan alamiah. Pada ISPA dikenal tiga cara penyebaran infeksi yaitu :

a.Melalui aerosol yang lembut, terutama oleh karena batuk

b.Melalui aerosol yang lebih kasar, terjada pada waktu batuk dan

bersin-bersin

c.Melalui kontak langsung/tidak langsung dari benda yang telah dicemari

jasad renik (Hand to hand transmission).

Pada infeksi virus, transmisi harus diawali dengan penyebabran virus ke

daerah sekitar terutama melalui bajan sekresi hidung. Virus yang menyebabkan

ISPA terdapat 10 – 100 kali lebih banyak di dalam mukosa hidung daripada

mukosa faring. Dari beberapa penelitian klinik, laboratorium dan penelitian

lapangan, diperoleh kesimpulan bahwa sebenarnya kontak hand to hand

merupakan modus yang terbesar bila dibandingkan dengan cara penularan aerogen

(yang semula banyak diduga sebagai penyebab utama).

(20)

Orang yang rentan pneumonia dimana pneumonia merupakan salah satu

klasifikasi dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut menurut Misnadiarly, yaitu :

a.Peminum alkohol

b.Perokok

c.Penderita diabetes mellitus

d.Penderita gagal ginjal

e.Penderita penyakit paru obtruktif menahun (PPOK)

f. Gangguan sistem kekebalan karena obat tertentu (penderita kanker

menerima organ cangkokan)

g.Gangguan sistem kekebalan karena penyakit tertentu (misalnya penerima

organ cangkokan)

h.Gangguan sistem kekebalan karena penyakitnya (misalnya penderita AIDS).

2.4.7 Pengobatan dan Rehabilitasi

Pengobatan ISPA tergantung dengan tingkat keparahan penyakitnya. Jika

pneumonia berat maka perlu dirawat di rumah sakit dan diberikan antibiotik

parenteral, oksigen, dan sebagainya. Untuk pneumonia pengobatan dilakukan

dengan pemberian obat antibiotik kotrimoksasol peroral. Bila penderita tidak

memungkinkan diberi antibiotik diatas maka dapat diberikan obat antibiotik

pengganti yaitu ampisilin, amoksisilin atau penisilin prokain.

Jika bukan pneumonia maka tidak perlu diberikan antibiotik dan cukup

berikan perawatan di rumah. Untuk mengatasi demam dapat diberikan

paracetamol dan dikompres dengan menggunakan kain bersih yang dicelupkan

(21)

yang aman dengan ramuan tradicional berupa jeruk nipis ½ sendok teh dicampur

dengan kecap atau madu ½ sendok teh, diberikan tiga kali sehari. Selain itu tetap

diberikan makanan bergizi untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Pemberian ASI

pada bayi juga harus tetap dilanjutkan. Penderita juga diberikan cairan lebih dari

biasanya misalnya air mineral, sari buah, dan lainnya. Hal ini dilakukan untuk

mengencerkan dahak dan membantu memulihkan dari kehilangan cairan.

Untuk mempercepat kesembuhan penderita, usahakan lingkungan rumah

bersih dan kondusif. Ventilasi rumah yang cukup dan hindari asap dalam rumah.

Jika penderita demam tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang

tebal dan rapat. Jika penderita pilek, hidungnya harus sering dibersihkan untuk

mempercepat kesembuhan dan menghindari komplikasi. Jika selama perawatan di

rumah keadaan penderita semakin memburuk, maka dianjurkan untuk dibawa ke

dokter (Rasmaliah, 2004).

2.5 Hubungan NO2, SO2, dan PM10 dengan Kejadian ISPA

Hasil penelitian efek polutan PM10, SO2, dan NO2 di Beijing adalah SO2

memiliki efek sama besar pada penyakit pernapasan dan kardiovaskuler,

sedangkan NO2 memiliki efek terbesar pada penyakit pernapasan daripada

kardiovaskuler (Zhang, et.al, 2011).

Dari penelitian yang dilakukan di Salamanca, Meksiko diketahui bahwa

terdapat hubungan yang signifikan antara SO2 dengan gejala penyakit pernapasan

yaitu wheezing (OR = 1,0213) dan ISPA (OR = 1,0521) setiap kenaikan

konsentrasi sebanyak 10 µg/m3. Sedangkan NO

2 terlihat signifikan pengaruhnya

(22)

Penelitian di Palermo, Italia juga membuktikan bahwa polutan

meningkatkan resiko kesehatan terutama pada saluran pernapasan, sebesar 2,2%

(95% CI: 1,3-3,1) pada PM10, 4,4% (95%CI: 0,3-8,6) pada SO2, 2,3% (95% CI:

0,1-4,7) pada CO, dan 1,5% (95% CI: 0,4-2,6) pada NO2 (Tramuto et.al, 2011).

Penelitian yang dilakukan di 10 kota besar di Italia membuktikan bahwa

setiap kenaikan 10 µg/m3 NO2 berhubungan signifikan (α = 0,05) dengan

kematian biasa, kematian yang disebabkan penyakit jantung, dan terutama

kematian yang disebabkan oleh penyakit pernapasan. Selama musim panas

(April-September) juga terlihat hubungan signifikan antara NO2 dengan penyakit

cerebrovaskuler (Chiusolo, et.al, 2011).

Efek NO2 sehingga menyebabkan kematian terlepas dari pengaruh PM10.

Partikulat merupakan senyawa campuran yang terdiri dari partikel karbon

termasuk partikel yang sangat halus yang mana dihasilkan oleh mesin diesel.

Kenyataannya, mesin diesel juga menghasilkan NO2 dan partikulat yang sangat

halus sehingga terdapat korelasi antara PM, NO2, dan SO2 (Chiusolo et.al, 2011).

Kondisi di Montreal, Kanada terdapat peningkatan jumlah penderita asma

pada anak-anak akibat pajanan SO2 dari emisi kilang minyak (Smargiassi, et.al,

2009).

Studi yang dilakukan di Inggris menunjukkan hubungan yang signifikan

antara konsentrasi black smoke (BS) dan SO2 dengan jumlah kematian. Efek

konsentrasi kedua polutan ini sangat kuat pada penyakit pernapasan. Hasil analisis

menunjukkan pada tahun 1982-1998 relative risk kematian adalah 3,6% (95% CI

(23)

setiap kenaikan 10 ppb SO2 sedangkan pada periode sekarang relative risk

kematian adalah 19,3% (95% CI 5,1% to 35,7%) pada BS dan 21,7% (95% CI

2,9% to 38,5%) pada SO2 (Elliot, et al, 2007).

Konsentrasi rata-rata harian PM10, SO2, dan NO2 di Shanghai pada tahun

2008 adalah 102,0 µg/m3, 44,7 µg/m3, dan 66,6 µg/m3. Pada dasarnya ketiga

polutan ini saling terkait satu sama lain. Pada penelitian single pollutant model,

terdapat hubungan yang signifikan antara ketiga polutan tersebut terhadap

peningkatan angka kematian per hari terutama yang disebabkan oleh penyakit

pernapasan (Chen, et al, 2008).

Penelitian di Hongkong menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan

antara kunjungan penderita penyakit saluran pernapasan atas/upper respiratory

tract diseases (URTI) dengan peningkatan konsentrasi NO2, O3, PM10, dan PM2,5.

Polutan yang paling beresiko adalah NO2 (3,0%), O3 (2,5%), PM2,5 (2,1%), dan

PM10 (2,0%) (Wong, et al, 2005).

2.6 Kerangka Konsep

Gambar 2.4 Kerangka Konsep

Variabel Independen

Konsentrasi NO2, SO2,

dan PM10 dalam udara

ambien

Mikroorganisme (Bakteri, Virus, Jamur)

Variabel Dependen

Gambar

Tabel 2.1 Sumber Pencemaran Gas NO
Gambar 2.1 Universitas Sumatera Utara
 Gambar 2.3 Efek Pajanan PM10 terhadap Saluran Pernapasan
Tabel 2.3

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) perbedaan hasil belajar IPS antara siswa yang belajar menggunakanmodel pembelajaran ARCSdan siswa yang belajar

Beranjak dari teori Hagerman, nilai kecepatan arus di lokasi penelitian berada pada bagian II dimana daya yang akan dihasilkan sesuai dengan nilai kecepatan

[r]

Tanah didefinisikan sebagai material yang terdiri dari aggregat (butiran) mineral-.. mineral padat yang tidak tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain

Pengembangan Peta Digital Kota Salatiga Berbasis Animasi.. Laporan

Gambar 4.8 Grafik Hubungan antara Nilai Indeks Plastisitas (IP) dengan Variasi Campuran Abu Vulkanik dan Abu Sekam Padi. Gambar 4.8memperlihatkan bahwa dengan penambahan

Dari data pasang surut lapangan yang telah diolah dengan menggunakan metode Admiralty, dapat digunakan untuk peralaman pasang surut, yang merupakan lanjutan

Faktor utama yang mempengaruhi produksi telur adalah jumlah pakan yang dikonsumsi dan kandungan zat makanan dalam pakan (Lengkong dkk., 2015).. Menurut Risnajati (2014)