• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perilaku Perempuan Dalam Menentukan Pilihan Politik Pada Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Medan 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perilaku Perempuan Dalam Menentukan Pilihan Politik Pada Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Medan 2014"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kesetaraan gender dalam bidang politik diciptakan demi mewujudkan cita-cita demokrasi perwakilan dengan menciptakan keseimbangan komposisi perwakilan antara laki-laki dan perempuan di lembaga parlemen khususnya. Karena apabila mandat diberikan kepada kaum laki-laki saja itu tidak akan mewakili seluruh rakyat yang pada dasarnya masyarakat terdiri dari golongan laki-laki dan perempuan, yang masing-masing di antara laki-laki dan perempuan terdapat kepentingan dan kebutuhan yang tidak selalu sama, sehingga seperti dalam permasalahan perempuan dianggap perempuanlah yang memberikan solusi terhadap permasalahan perempuan tersebut. Hal ini terjadi karena sangat kecil peluang laki-laki yang bisa memperjuangkan hak perempuan karena laki-laki tidak mengalami apa yang di rasakan oleh perempuan.1

Kesetaraan gender di bidang politik khususnya dalam lembaga legislatif dapat diwujudkan melalui prosedur yang demokratis yaitu pemilihan umum. Pemilu terdiri dari beberapa pelaksanaan, yaitu pemilihan legislatif, pemilihan Presiden, pemilihan Gubernur, dll. Dalam penulisan skripsi ini, penulis lebih berfokus pada pemilihan legislatif di tingkat DPRD Kabupaten/Kota, dimana rakyat menentukan para wakil-wakilnya untuk duduk di parlemen/lembaga

1

(2)

legislatif. Kesetaraan gender di lembaga legislatif merupakan hal terpenting yang harus diwujudkan. Melalui pelaksanaan pemilihan umum secara langsung inilah kesempatan untuk mewujudkan kesetaraan gender.

Pelaksanaan pemilu ini tentunya harus menjamin setiap warganya baik perempuan maupun laki-laki untuk bebas berpartisipasi, baik berpartisipasi hanya sebagai pemilih maupun sebagai calon yang juga akan dipilih. Selain itu, di era reformasi juga telah dikeluarkan kebijakan sebagai upaya meningkatkan keterwakilan politik perempuan di lembaga legislatif yaitu dimulai tahun 2003, pasal 65 dengan UU No.12 Ayat (1) dan (2) yang berbunyi:

(1) Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.

(2) Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon sebanyak-banyaknya 120 persen jumlah kursi yang ditetapkan pada setiap daerah pemilihan.

(3)

Tabel 1.1:Perempuan dalam DPR-RI 1955-2004

Periode Perempuan Laki-laki

1955 17 (6,3%) 272 (93,7%)

Konstituante 1956-1959 25 (5,1%) 488 (94,9%)

1971-1977 36 (7,8%) 460 (92,2%)

1977-1982 29 (6,3%) 460 (93,7%)

1982-1987 39 (8,5%) 460 (91,5%)

1987-1992 65 (13%) 500 (87%)

1992-1997 62 (12,5%) 500 (87,5%)

1997-1999 54 (10,8 %) 500 (89,2%)

1999-2004 46 (9%) 500 (91%)

2004-2009 61 (11,09%) 499 (89,9%) 2009-2014 101 (18,03%) 459 (81,97%) Sumber : Data dari website Komisi Pemilihan Umum

(4)

Kabupaten dan Kota. Dari pemilu 2009 lalu, rata-rata keterwakilan perempuan secara nasional di tingkat DPRD Provinsi hanya 16%, begitupun dengan rata-rata DPRD Kabupaten/Kota yang hanya 12%2

Rendahnya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif semata-mata tidak hanya dinilai dari kinerja pemerintah dalam membuat suatu kebijakan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan, hal ini dikarenakan bukan kebijakan yang merupakan bagian terpenting, melainkan pemilih itu sendiri. Jika kebijakan telah banyak dibuat tetapi para pemilih sangat sedikit untuk memilih perempuan tentunya harapan akan jumlah keterwakilan perempuan yang lebih besar, khususnya dalam memenuhi kuota 30% perempuan di lembaga legislatif akan sangat sulit diwujudkan. Hal ini dapat diartikan keterwakilan politik sangat ditentukan oleh pemilih, karena pemilih merupakan wujud dari partisipasi rakyat yang menentukan wakilnya di bidang politik, sehingga rakyat sebagai pemilih yang sangat menentukan keterwakilan politik khususnya di lembaga legislatif.

. Persentase perwakilan perempuan tersebut sangatlah sedikit dari target yang ditetapkan pemerintah yaitu minimal 30%.

Pemilih perempuan dipengaruhi oleh banyak faktor dalam menentukan pilihan seperti adanya pengaruh dari budaya patriarkhi yang ada. Hal ini dapat diartikan, keterwakilan politik perempuan yang rendah bisa dikarenakan pemilih yang sedikit untuk memilih calon perempuan dalam pemilu legislatif. Padahal jika dilihat dari perbandingan jumlah penduduk dan pemilih perempuan secara

(5)

nasional pada tahun 2010 perbedaannya tidak jauh dengan laki-laki, yaitu jumlah penduduk perempuan 118.010.413 dan jumlah penduduk laki-laki 119 630 9133. Akan tetapi banyak provinsi yang memiliki jumlah penduduk perempuan lebih besar, seperti di Sumatera Utara dimana jumlah penduduk perempuan berjumlah 6.498.850 jiwa dan jumlah laki-laki 6.483.354 jiwa4

Sama seperti yang terjadi dalam pelaksanaan pemilu legislatif di kota Medan masih terdapat beberapa daerah pemilihan yang sulit untuk meloloskan calon legislatif perempuan ke kursi anggota dewan dengan target 30% keterwakilan perempuan. Hal tersebut seperti pada daerah pemilihan 2 Kota Medan yang terdiri dari Medan Johor, Medan Maimun, Medan Polonia, Medan Selayang, Medan Sunggal, dan Medan Tuntungan. Bercermin dari pemilu legislatif sebelumnya yaitu di tahun 2009, pada pemilihan anggota DPRD Kota Medan dapil 2 bahkan sama sekali tidak meloloskan calon legislatif perempuan dari jatah 11 kursi anggota parlemen yang artinya tidak sampai memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan. Padahal jumlah pemilih perempuan di kota Medan , sehingga seharusnya apabila mayoritas dari penduduk perempuan tersebut memilih calon legislatif dari kaum perempuan juga tentunya perolehan suara calon perempuan akan lebih besar dan keterwakilan politik perempuan di legislatif akan lebih banyak pula, minimal memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan.

3

Badan Pusat Statistik. Data Penduduk. Wib.

4

(6)

pada tahun 2009 sebesar 929.534 dari 1.838.737 total pemilih di Kota Medan5, dengan jumlah penduduk Kota Medan tahun 2009 berjumlah 2.121.053 jiwa, dimana jumlah penduduk laki-laki berjumlah 1.049.457, dan jumlah penduduk perempuan berjumlah 1.071.5966

Permasalahan kurangnya dukungan terhadap calon legislatif perempuan masih terjadi pada pemilu legislatif 2014, bahkan seperti pada pemilihan anggota DPRD Kab/Kota di Medan terdapat dua daerah pemilihan yang tidak berhasil meloloskan calong anggota DPRD Kab/Kota berjenis kelamin perempuan. Adapun hasil pemilu anggota DPRD Kab/Kota sebagai berikut.

. Banyaknya jumlah pemilih perempuan pada 2009 dapat dinyatakan bahwa pemilih perempuan saat itu lebih besar dibandingkan pemilih laki-laki.

Tabel 1.2. Perbandingan Jumlah Anggota DPRD Kota Medan Terpilih 2014

5

Komunitas Sekolah Sumatera. 18 Oktober 2008. Pukul 07.00 Wib.

6

Data diambil dari Portal Resmi Pemerintah Kota Medan. Agustus 2014, pukul 08.00 Wib.

Daerah Pemilihan

Anggota DPRD Kota Medan

Terpilih JUMLAH

Laki-Laki

Perempuan

(7)

Dari tabel 1.2 di atas terlihat jelas bahwa rendahnya dukungan terhadap calon perempuan yang nantinya akan berdampak pada rendahnya keterwakilan perempuan di lembaga DPRD Kota Medan. Seperti yang juga dapat dilihat pada tabel tersebut, ada 2 dapil yang tidak memiliki anggota DRPD perempuan, yaitu dapil 1 dan dapil 2 Kota Medan. Ketiadaan anggota legislatif perempuan merupakan sebuah permasalahan serius dimana di daerah pemilihan tersebut memiliki jumlah pemilih berjenis kelamin perempuan paling banyak diantara dapil lainnya, akan tetapi kedua dapil tersebut tidak mampu meloloskan calon perempuan. Permasalahan ini yang melatarbelakangi peneliti/penulis dalam mengambil pembahasan mengenai perilaku perempuan dalam menentukan pilihan politiknya. Akan tetapi, penelitian ini akan lebih spesifik membahas perilaku perempuan yang berada di daerah pemilihan 2 sebagai fokus objek penelitian. Alasan peneliti yaitu karena pemilih yang berjenis kelamin perempuan di dapil 2 lebih banyak dari dapil 1 dan bahkan dapil 3,4, dan 5, dengan jumlah 211.258 pemilih (perempuan). Hal ini dapat dilihat dalam data sebagai berikut.

Dapil 2 12 0 12

Dapil 3 6 2 8

Dapil 4 6 2 8

Dapil 5 10 1 11

(8)

Tabel 1.3 Jumlah Pemilih (Perempuan) pada Pemilu Legislatif 2014

Daerah Pemilihan

Jumlah Pemilih Jumlah

(Laki-Laki + Perempuan) Laki-Laki Perempuan

Dapil 1 193.781 198.241 392.022 Dapil 2 202.765 211.258 414.023 Dapil 3 144.970 152.166 297.136 Dapil 4 131.173 138.094 269.267 Dapil 5 180.812 178.631 359.443

Total 853.501 878.390 1.731.891

*Data diperoleh dari Rekapitulasi DPT Kab/Kota Pemilu Anggota DPR,DPRD,DPD

Tahun 2014 Oleh KPU Medan

(9)

calon perempuan), PBB 33,33% (4 calon perempuan), dan PKPI sebanyak 33,33% (4 calon perempuan) keterwakilan perempuan.7

Dari persentase calon legislatif perempuan seperti di atas tidak ada satupun yang terpilih di dapil 2 kota Medan. Padahal setiap partai politik sudah memenuhi dan bahkan melewati minimal kuota 30% pencalonan perempuan. Oleh karena itu, banyaknya jumlah pemilih yang berjenis kelamin perempuan yang jumlahnya lebih banyak dari dapil lainnya dan daerah pemilihan yang paling banyak jatah kursi serta para calon tetap perempuan yang sudah terpenuhi kuotanya disetiap partai politik menjadikan dapil 2 sebagai lokasi yang paling layak dan mewakili untuk mengeksplorasi informasi mengenai perilaku perempuan dalam menentukan pilihan politik pada pemilihan umum DPRD kota Medan tahun 2014.

B. Rumusan Masalah

Dari berbagai penjelasan di atas, maka dapat ditarik suatu rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu “Bagaimana perilaku pemilih (perempuan) dalam menentukan pilihan politiknya pada pemilihan anggota DPRD kota Medan tahun 2014?”.

C.Batasan Masalah

Agar penelitian ini tidak melebar, maka penelitian ini perlu membuat pembatasan masalah penelitian, yaitu

7

(10)

1. penelitian ini hanya bersifat mengamati dan mendeskripsikan perilaku perempuan dalam memilih calon legislatif perempuan. Hal yang akan diamati dan dideskripsikan tersebut yaitu mengapa perempuan tidak memilih atau sangat sedikit dalam memilih calon legislatif perempuan dan hal-hal apa yang mempengaruhi perempuan dalam menentukan pilihan politiknya.

2. Di dalam penelitian ini, peneliti hanya meneliti pemilih yang berjenis kelamin perempuan di dapil 2 kota Medan pada pemilihan anggota DPRD kota Medan 2014.

D. Tujuan Penelitian

1. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan profil Kecamatan-Kecamatan yang ada di Daerah Pemilihan (Dapil) 2 kota Medan.

2. Untuk mengetahui bagaimana perilaku perempuan dalam menentukan pilihan politiknya paada pemilu anggota DPRD kota Medan tahun 2014 dan juga untuk mengetahui hal-hal yang mempengaruhi perempuan dalam menentukan pilihan politiknya.

E. Manfaat Penelitian

(11)

melakukan sebuah proses penelitian yang bersifat ilmiah dan memberikan pengetahuan yang baru untuk peneliti sendiri.

2. Penelitian ini merupakan kajian ilmu politik yang mampu memberikan kontribusi pemikiran mengenai perilaku perempuan dalam menentukan pilihan politiknya termasuk dalam memilih calon legislatif perempuan pada pemilu anggota DPRD kota Medan tahun 2014.

3. Hasil penelitian ini nantinya akan mampu memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang ilmu politik dan menambah referensi/kepustakaan bagi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

F. Kerangka Teori

1. Teori Perilaku Pemilih

Perilaku pemilih menjadi bagian yang penting untuk dianalisis sebagai upaya untuk mengetahui pilihan seseorang (pemilih) dalam menentukan pilihan politiknya. Adapun perilaku pemilih menurut Surbakti adalah:

(12)

langsung). Bila voters memutuskan untuk memilih (to vote) maka

voters akan memilih atau mendukung kandidat tertentu.8

Dalam menganalisis perilaku pemilih dapat dipahami dengan tiga pendekatan,yaitu Mahzab “Columbia” yang menggunakan pendekatan sosiologis dan Mahzab Michigan” yang dikenal dengan pendekatan Psikologis, selain itu terdapat juga pendekatan pilihan rasional yang melihat perilaku seseorang melalui kalkulasi untung rugi yang didapat oleh individu tersebut9

Pendekatan sosiologis pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku pemilih seseorang

.

10

. Peranan masyarakat dilihat sebagai sistem yang mempunyai stratifikasi, dan kajian terhadap pekerjaan serta kedudukan seseorang di tengah masyarakat sangat penting dalam memahami perilaku pemilih11

Penjelasan mengenai pendekatan sosiologis ini diperjelas lagi seperti yang diungkapkan P.Anthonius Sitepu dalam bukunya yang berjudul “Teori-Teori

Politik” bahwa pendekatan sosiologis, tampaknya lebih cenderung pada analisis

sistem sosial atau stratifikasi sosial seperti misalnya kelompok muda-mudi ,tua muda, dipercayai berpengaruh terhadap perilku pemilih. Selain itu, beliau juga menambahkan bahwasannya preferensi politik seseorang pemilih dalam pemilihan umum dipengaruhi oleh latar belakang demografis, sosial ekonomi seperti jenis kelamin, tempat tinggal, jenis pekerjaan, pendidikan, kelas sosial, pendapatan dan agama.

.

12

8

Lihat Muhammad Riska Aditama. 2013. Perilaku Memilih Masyarakat pada Pemilu Kepala Daerah Dan

Wakil Kepala Daerah Kabupaten Kendal 2010. Semarang:Jurusan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,Universitas

Dipenogoro. hal.8.

9

Lihat T.Irmayani. 2012. Perilaku Perempuan Pemilih dalam Menetapkan Pilihan pada Pemilu 2009. Medan: POLITEIA,Jurnal Ilmu Politik.Vo.4,Nomor.1. Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unviersitas Sumatera Utara. hal.14.

10

Muhammad Riska Aditama.Op.cit.hal. 9. 11

T.Irmayani.Loc.cit. 12

(13)

Selanjutnya pendekatan kedua yaitu pendekatan psikologis. Pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologi terutama konsep sikap dan sosialisasi untuk menjelaskan perilaku pemilih13

Oleh karena itu, pendekatan psikologis menentukan pada tiga aspek psikologis sebagai kajian utama, yaitu: ikatan emosional pada suatu partai politik, orientasi terhadap isu-isu, dan orientasi terhadap kandidat. Identitfikasi partai atau ikatan emosional pada suatu ikatan partai politik diartikan sebagai keyakinan yang diperoleh dari orang tua dimasa muda dan dalam banyak kasus, keyakinan tersebut tetap membekas sepanjang hidup, walaupun semakin kuat atau memudar selama masa dewasa.

. Faktor psikologis pemilih merupakan obyek yang menjadi sasaran untuk mempengaruhi perilaku pemilih seseorang.

14

Pendekatan psikologis ini merujuk kepada persepsi pemilih atau partai-partai politik yang ada atau adanya korelasi atau keterikatan emosional pemilih terhadap partai-partai politik tertentu. Konkritnya, partai-partai politik yang secara emosional dirasakan sangat dekat dengannya merupakan partai yang selalu dipilih tanpa terpengaruh oleh faktor-faktor lainnya. Antara diri dan keadaan seseorang dengan partai politik yang hendak dipilihnya (seperti identifikasi seseorang calon pemilih dari kalangan pedagang kecil misalnya dengan citra Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai partai politik wong cilik). Dalam hal ini para

13

T.Irmayani.Loc.cit. 14

(14)

pemilih dilihat sebagai orang yang mengidentifikasikan dirinya dengan satu partai politik tertentu.15

Pendekatan ketiga yaitu pendekatan pilihan rasional. Dalam konteks pilihan rasional ada analogi antara pasar (ekonomi) dan perilaku pemilih (politik). Ketika pemilih merasa tidak mendapatkan keuntungan dengan memilih partai atau calon yang sedang berkompetisi, maka ia tidak akan memilih ketika pemilu dilaksanakan. Hal tersebut dilandaskan pada kalkulasi ekonomi, apabila perhitungan biaya yang dikeluarkan lebih besar dengan apa yang akan didapatkannya kelak maka jalan terbaik bagi pemilih tersebut adalah melakukan aktivitas sehari-harinya16. Dengan kata lain, pemilih benar-benar rasional dan sangat memiliki pertimbangan-pertimbangan khusus dalam menggunakan hak pilihnya, pertimbangan-pertimbangan tersebut berupa apa untung dan ruginya apabila pemilih mempergunakan hak pilihnya untuk memilih partai tertentu atau kandidat tertentu. Hal ini dikarenakan pemilih rasional memiliki motivasi, prinsip, pegetahuan dan informasi yang cukup, tindakan mereka bukanlah karena kebetulan atau pun.17

2. Teori Gender

Konsep gender pertama kali diperkenalkan oleh para ilmuwan sosial dengan memberikan perbedaan antara perempuan dan laki-laki yang bersifat lahiriah dan yang merupakan hasil dari konstruksi budaya. Pembedaan antara

15

P.Anthonius Sitepu.Loc.cit. 16

T.Irmayani.Loc.cit. 17

(15)

laki dan perempuan ini bermaksud untuk membedakan ciri-ciri manusia yang sudah tidak bisa diubah (kodrati) dan ciri-ciri manusia yang sewaktu-waktu dapat berubah (gender). Hal yang tidak bisa diubah ini sering dianggap sebagai seks, bagian dari manusia yang bersifat permanen, tidak dapat diubah ataupun ditukar. Pembedaan tersebut bermaksud agar dalam memahami konsep/defenisi mengenai gender harus terlebih dulu membedakan antara seks dan gender.

Secara historis, konsep gender pertama sekali dibedakan oleh sosiolog asal Inggris yaitu Ann Oakley yaitu ia membedakan antara gender dan seks18

Dari pemahaman mengenai gender secara historis, maka dapat ditarik sebuah pengertian mengenai gender tersebut. Gender adalah perbedaan peran, perilaku, perangai laki-laki dan perempuan oleh budaya / masyarakat melalui interpretasi terhadap perbedaan biologis laki-laki dan perempuan

. Seks dimaknai sebagai perbedaan secara biologis yaitu yang berkaitan dengan perbedaan jenis kelamin yang dimiliki oleh jenis kelamin tertentu (anatomi biologis). Seks inilah yang merupakan karakteristik manusia yang bersifat kodrati, permanen dan tidak dapat diubah. Sedangkan perbedaan secara gender identik dengan peranan, kemampuan, dunia pekerjaan diantara perempuan dan lak-laki dan semua itu bersifat tidak permanen, serta peranan, kemampuan, dan dunia pekerjaan tersebut tidak bisa dipastikan dimiliki/melekat oleh salah satu jenis kelamin, karena ini bisa dimiliki oleh perempuan dan laki-laki.

19

18

Harmona Daulay. Op.Cit. hal.3

. Gender juga

19

(16)

dapat diartikan sebagai perbedaan peran, fungsi, status dan tanggungjawab pada laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari bentukan (konstruksi) sosial budaya yang tertanam lewat proses sosialisasi dari satu generasi ke generasi berikutnya.20

Sedangkan defenisi konsep gender menurut Mansour Fakih adalah :

“Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat yang lainnya, maupun berbeda dari suatu klas ke klas yang lainnya”21

Berdasarkan defenisi mengenai gender tersebut dapat dimaknai bahwasannya gender bersifat fleksibel. Kemudian konstruksi sosial dan budaya terhadap penciptaan perbedaan antara laki-laki dan perempuan nantinya akan dapat dikatakan sebagai identitas gender. Identitas gender ini biasa dikenal oleh manusia dimulai dari lingkungan keluarga, proses belajar, dan dari lingkungan masyarakat melalui kebudayaannya.

.

Teori gender ini membentuk ideologi gender yang membentuk

Mind Set masyarakat atau terjadinya Streotipe yang membenarkan adanya

perbedaan antara perempuan dan laki-laki yang akan menimbulkan rasa ketidakadilan bagi kaum perempuan. Meluasnya ideologi gender ini seperti tidak ada yang bisa menghalangi, hal ini didukung oleh adanya faktor budaya patriarkhi yang dianut oleh masyarakat pada umumnya, kerena budaya patriarkhi dianggap sebagai budaya yang didukung oleh

20

Herien Puspitawati. 2012. Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia. Bogor: ITB Press. hal.1.

21

(17)

agama yang memang dalam agama terdapat perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan.

Secara umum, patriarkhi dapat didefenisikan sebagai suatu sistem yang bercirikan laki-laki (ayah). Dalam sistem ini, laki-laki yang berkuasa untuk menentukan22

Ketidakadilan gender sering terjadi akibat kesalahpahaman memaknai gender, sehingga relasi antara perempuan dan laki-laki menjadi rusak. Relasi yang terbentuk dianggap menjadikan laki-laki sebagai subjek dan perempuan menjadi objek, yang artinya perempuan ditempatkan sebagai manusia kelas kedua. Hal ini berimplikasi pada adanya masalah-masalah terkait isu gender yang mengakibatkan ketidakadilan gender. Masalah ketidakadilan gender bentuknya adalah pandangan posisi subordinat terhadap perempuan, pandangan streotipe terhadap perempuan

. Adanya budaya patriarkhi ini seakan menjadi penyebab terjadinya disparitas gender. Padahal, gender bersifat netral terhadap perempuan dan laki-laki. Hanya saja, budaya patriarkhi ini yang selama ini membentuk kondisi sosial yang lebih menunjukkan peran laki-laki. Maksud dari konsep gender disini adalah untuk menimbulkan kesadaran kepada kaum perempuan bahwa kaum perempuan harus bangkit, sehingga apa yang disebut dengan kesetaraan dan keadilan gender dapat terwujud berkat perjuangan dari kaum perempuan itu sendiri.

22

(18)

dan laki-laki, beban ganda dari perempuan, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan.23

Dalam permasalahan yang sering muncul terkait gender yaitu munculnya anggapan publik bahwa perempuan merupakan makhluk yang tercipta hanya sebagai pendamping dan pelengkap dari laki-laki dengan lingkup bagian kerja diranah domestik. Oleh karenanya masalah gender ini secara lebih luas pada bidang politik dapat berdampak pada partisipasi perempuan yang tidak lagi independen, melainkan sudah dimobilisasi kaum laki-laki yang dianggap lebih mengetahui apa yang terbaik untuknya. Partisipasi perempuan yang dipengaruhi oleh kaum laki-laki ini sangat berpengaruh terhadap pilihan politiknya, karena perempuan cenderung memilih untuk bergantung pada perempuan, termasuk dalam mengikuti pilihan politik laki-laki.

Pembahasan mengenai gender, melahirkan tiga teori yaitu:

1. Teori Nurture

Menurut teori ini perbedaan laki-laki dan perempuan pada hakekatnya adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Konstruksi sosial budaya selama ini menempatkan perempuan dan laki-laki dalam kelas yang berbeda. Laki-laki selalu lebih superior dibandingkan perempuan.

23

(19)

2. Teori Nature

Menurut teori nature, perbedaan laki-laki dan perempuan adalah kodrat yang harus diterima. Perbedaan biologis memberikan dampak berupa perbedaan peran dan tugas diantara keduanya. Terdapat peran dan tugas yang dapat dipertukarkan, tetapi ada pula yang tidak dapat dipertukarkan karena memang berbeda secara kodrat alamiah.

3. Teori Keseimbangan

Selain dua teori yang bertolak belakang tersebut, terdapat teori yang berusaha memberikan kompromi yang menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan laki-laki dan perempuan namun menuntut perlunya kerjasama yang harmonis antara keduanya.24

Di Indonesia, gender memiliki sejarah yang panjang dengan melalui perjuangan pergerakan perempuan di Indonesia. Perjuangan perempuan di Indonesia mengalami fase pasang-surut seiring perubahan rezim yang selalu berganti. Tokoh yang sangat terkenal dalam memperjuangkan gerakan perempuan adalah R.A Kartini. Beliau merupakan tokoh yang memperjuangkan kemerdekaan perempuan, bahkan bukan hanya ingin menjadikan perempuan sebagai sosok yang

24

Nur Heffina. 2011. Perempuan dan Politik.: Studi Tentang Kelompok Pendukung dan Penentang

Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi di Sumatera Utara..

(20)

mandiri, melainkan sebagai sosok yang bisa ikut serta bagi kemajuan bangsanya/masyarakatnya. Seperti apa yang ditulis oleh Kartini seperti berikut.

“Kecerdasan pikiran penduduk bumiputera tidak akan maju pesat bila perempuan ketinggalan dalam usaha itu, (yaitu) perempuan jadi pembawa peradaban”25

Dengan perjuangannya, R.A Kartini menjadi titik tolak yang menumbuhkan semangat kaum perempuan dalam menuntut keadilan dan kesetaraannya. Kesetaraan dan keadilan ini termasuk dalam bidang politik. Di dalam bidang politik, khususnya pada pelaksanaan pemilihan umum perempuan sudah mendapat pengakuan terkait hak pilihnya di bidang politik. Pengakuan terhadap hak pilih perempuan ini dimulai dari adanya Kongres perempuan pertamadi Yogyakarta pada tahun 1928 dan dilanjutkan dengan konvensi mengenai hak-hak politik perempuan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 20 Desember 1952. Hal ini merupakan awal kesadaran bagi perempuan d Indonesia dalam bidang politik, sehingga pada tahun 1955 Indonesia melaksanakan pemilu yang untuk pertama kali memberikan hak pilih kepada perempuan.

.

Selanjutnya, pemerintah memberikan perbaikan-perbaikan dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan dengan maksud untuk memberikan hak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum, salah satu kebijakan pemerintah yaitu kebijakan affirmative action dengan memberikan batasan minimal kuota

25

(21)

30% keterwakilan perempuan untuk ikut serta sebagai kandidat dalam pemilihan umum.

Selain itu, permasalahan gender yang menjadi isu hangat lainnya yaitu di India, dimana India merupakan salah satu negara yang memiliki sejarah panjang dalam perjuangan pergerakan perempuan. Awal perjuangan gerakan perempuan di India dimulai setelah India meraih kemerdekaannya pada 1947 yang pada saat itu pemerintahan Congres yang pada saat itu merupakan partai yang sedang berkuasa akan mengupayakan memenuhi janji-janjinya yang salah satunya yaitu mendeklarasikan UUD India mengenai kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, memberikan jalan bagi kaum perempuan untuk masuk ke dalam pemerintahan dan membentuk badan-badan administrasi yang membuka kesempatan pada perempuan.

(22)

apa yang seharusnya kaum perempuan dapatkan, yaitu kedudukan yang sama dengan laki-laki sebagai sesama makhluk Tuhan yang tidak perlu dibedakan kedudukannya.

Alasan penulis memakai teori gender ini sebagai landasan untuk menjawab permasalahan dalam tema perilaku perempuan dalam pemilu legislatif 2014 yaitu teori gender sangat penting untuk dideskripsikan. Karena di dalam melakukan pembahasan mengenai kaitannya gender dengan politik, perlu adanya pemahaman mengenai konsep dasar gender itu, karena kata gender merupakan kata yang sudah sering didengarkan, tetapi mengenai pemahaman akan gender itu sendiri masih belum banyak dimengerti.

Oleh karena itu dapat diambil kesimpulan bahwasannya gender merupakan konsepsi yang mengharapkan kesetaraan status dan peranan antara laki-lai dan perempuan26. Kesetaraan dan keadilan gender penting untuk diperjuangkan agar tidak terjadi bias gender, karena masih sering perempuan dianggap sebagai kaum marjinal padahal perempuan bukan merupakan kaum yang sedikit jumlahnya. Streotipe dan mind set yang selama ini terbentuk juga seharusnya dijawab oleh kaum perempuan dengan kesadaran dan perjuangan mereka serta mampu membuktikan bahwasannya perempuan mampu bekerja di dunia politik, sehingga perempuan dan laki-laki memiliki kesetaraan peranan dan kemampuan.

26

(23)

3. Teori Psikologi Politik

Dalam memahami perilaku politik, penulis menekankan pentingnya teori psikologi politik sebagai upaya untuk memahami tingkah laku manusia sebagai makhluk politik. Dapat dikatakan bahwasannya perilaku politik merupakan kajian yang termasuk dalam ranah psikologi politik, ini dikarenakan salah satu tujuan psikologi politik adalah untuk menyusun dalil-dalil umum tentang perilaku yang dapat membantu menjelaskan dan memprediksi peristiwa-peristiwa yang terjadi di sejumlah situasi yang berbeda-beda27

Psikologi politik pada dasarnya memiliki cakupan yang cukup luas, ini dapat dilihat mulai dari psikologi politik dalam melihat perilaku politik dalam memilih/memberikan suara pada pemilihan umum hingga psikologi politik yang berkaitan dengan adanya konflik-konflik baik nasional maupun internasional. Dalam penulisan skripsi ini, psikologi politik dalam melihat perilaku pemilih merupakan fokus utama yang dipilih penulis. Perilaku pemilih yang dimaksud adalah pemilih yang berjenis kelamin perempuan. Bagi penulis, perilaku pemilih perempuan dapat dilihat dengan bantuan teori psikologi politik.

.

Dalam teori psikologi politik, fenomena politik dilihat dari sudut pandang psikologi seperti halnya dalam melihat perilaku pemilih, faktor internal merupakan faktor utama yang harus diperhatikan. Seperti apa yang dikemukakan oleh Martha L.Cottam dkk dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Psikologi

Politik Edisi 2” mengatakan bahwasannya orang-orang bertindak terdorong oleh

27

(24)

faktor – faktor internal seperti kepribadian, sikap, dan identitas diri; mereka mengevaluasi lingkungan mereka dan lingkungan orang lain melalui proses kognitif yang menghasilkan citra-citra tentang orang lain; dan mereka memutuskan bagaimana cara bertindak ketika faktor-faktor ini digabungkan28

Faktor-faktor internal tersebut saling memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Kepribadian merupakan unsur utama yang dianggap akan mencerminkan perilaku pemilih. Kepribadian adalah sebuah faktor psikologis pokok yang memengaruhi perilaku politik

.

29

Adanya penilaian terhadap seseorang atau sekelompok orang ini nantinya akan menimbulkan adanya kategorisasi sosial, yaitu adanya pengelompokan-pengelompokan secara sosial seperti kewarganegaraan, ras, agama, dan gender. Penciptaan kategorisasi sosial nantinya dapat membentuk stereotip di tengah lingkungan masyarakat. Stereotip adalah keyakinan tentang atribut orang-orang yang berada di dalam kelompok atau kategori sosial tertentu, dan seharusnya

. Kepribadian ini akan memengaruhi unsur-unsur lain dalam faktor internal manusia seperti pemikiran yang pada akhirnya membentuk perilaku, baik perilaku sehari-hari maupun perilaku yang berhubungan dengan politik, khususnya perilaku dalam menentukan pilihan politiknya/memberikan suara(voting). Akan tetapi, kepribadian tersebut juga sangat dipengaruhi oleh adanya identitas sosial. Identitas sosial yang dimaksud bagaimana seseorang mengkonsepsikan dirinya dengan melalui diri sendiri ataupun orang lain yang menilainya.

28

Matha L.Cottam,dkk. Ibid. hal. 11. 29

(25)

merupakan sebuah konsep yang dikenal30

Oleh karena itu, dalam psikologi politik adanya faktor internal seperti yang dijelaskan pada paragraf sebelumnya merupakan faktor utama bagi teori psikologi politik dalam membentuk perilaku pemilih. Seperti halnya dalam membahas perilaku pemilih perempuan, faktor internal dari pemilih perempuan merupakan bagian yang paling berperan penting dalam membentuk perilaku perempuan dalam menentukan pilihan politiknya. Kepribadian dan sikap perempuan tentu berbeda dengan laki-laki ditambah lagi dengan adanya pengaruh identitas sosial yang sering membentuk streotip di tengah masyarakat. Pembentukan stereotip dalam hal perilaku perempuan sebagai pemilih yaitu adanya anggapan bahwasannya perempuan tidak cocok untuk berpolitik, karena politik adalah bagian dari dunia laki-laki (budaya patriarkhi).

. Munculnya stereotip ini dikarenakan adanya kesalahan dari persepsi seseorang terhadap orang lain, atau suatu kelompok terhadap kelompok lain, hal ini merupakan bagian dari konsekuensi mengkategorikan orang-orang ke dalam kelompok yang karakteristiknya tidak dimiliki oleh orang tersebut.

Menurut penulis, perilaku perempuan dalam menentukan pilihan politik dapat diketahui dengan menggunakan teori psikologi politik yang melihat perilaku perempuan berdasarkan faktor internal dari perempuan secara individu. Terkait dengan permasalahan dalam skripsi ini yaitu permasalahan mengenai keterwakilan perempuan yang selalu memperoleh suara yang sangat minim di

30

(26)

setiap periodenya, maka penulis beranggapan bahwasannya perolehan suara dn jumlah keterwakilan perempuan di legislatif yang sangat minim bukanlah dikarenakan dari kebijakan pemerintah, akan tetapi yang jauh lebih vital yaitu faktor dari pemilih perempuannya itu sendiri yang mana jumlah penduduk dan pemilih perempuan sangatlah mendominasi, akan tetapi calon legislatif perempuan masih juga belum memperoleh suara yang banyak. Hal ini mengindikasikan bahwasannya perempuan lebih cenderung untuk memilih perempuan, oleh karenanya psikologi politik sangat berguna untuk membantu menjawab permasalahan ini.

(27)

melihat sosok sang Ayah sebagai pemimpin keluarga dan sosok Ibu sebagai pengurus rumh tangga yang selalu menuruti perkataan Ayah.

Selain itu, ada satu faktor yang sangat menarik dalam melihat perilaku perempuan sebagai pemilih yang bisa dijadikan alasan untuk menjawab permasalahan perilaku perempuan yang cenderung tidak memilih perempuan yaitu adanya faktor “Perempuan vs Perempuan”. Faktor mengenai “perempuan vs perempuan” ini merupakan hal yang perlu menjadi pertimbangan dalam mengamati perilaku pemilih perempuan. Faktor ini seperti menggambarkan adanya konflik di antara perempuan ini yang sudah lama terjadi. Pemikiran ini dimulai sejak terbitnya buku klasik berjudul Woman vs Woman karya Tara Roth Madden (1987), seorang pakar dan pengamat masalah perempuan AS, Madden menyimpulkan fenomena kehidupan konflik perempuan sebagai berikut.

Ternyata di dalam diri perempuan selama ini selalu terjadi konflik yang kritis dengan sesama jenis. Karena, perempuan seringkali merasa belum bisa menganggap perempuan sebagai makhluk yang dapat memberikan rasa aman di lingkungannya (privat dan publik). Lebih jelasnya, perempuan masih menganggap bahwa perempuan lain adalah ancaman yang membahayakan dirinya dalam karier, rumah tangga, dan pribadi. Hal tersebut yang menyebabkan perempuan lebih memilih berteman dengan laki-laki daripada dengan perempuan.31

31

Ellys Lestari Pembayun. 2009. Perempuan vs Perempuan: Realitas Gender, Tayangan Gosip, dan Dunia

(28)

Berangkat dari pemikiran besar ini, Madden menegaskan bahwa konflik di antara perempuan ini bagaikan “fenomena gunung es”, artinya konflik yang selama ini tampak ke permukaan hanyalah bagian kecil dari “pertempuran di antara pertempuran”, sementara bagian kedalamnya merupakan lautan konflik yang terselami32

Oleh karena itu, dalam melakukan penulisan ilmiah mengenai perilaku perempuan dalam menentukan pilihan politiknya, penulis memandang permasalahan kurangnya perolehan suara perempuan itu disebabkan oleh pemilih perempuan itu sendiri, dan ini berarti adanya permasalahan menyangkut faktor internal dari perempuan sebagai pemilih, inilah yang menjadikan teori psikologi politik lebih dipilih penulis sebagai landasan teori dalam penulisan ilmiah ini.

. Artinya konflik antara perempuan ini masih sangat banyak jika ditelusuri lebih mendalam, konflik ini berakibat pada timbulnya persaingan dan rasa tidak senang antara satu perempuan dengan perempuan yang lain. Konflik ini tentunya sangat menguntungkan bagi kaum laki-laki terutama di ranah politik.

G. Metodologi Penelitian

G.1 Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan bagian dari ilmu pengetahuan yang mempelajari bagaimana prosedur kerja mencari kebenaran33

32

Ellys Lestari Pembayun. Ibid.

. Penelitian ini

33

(29)

menggunakan metode deskriptif dengan jenis kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia34

G.2 Lokasi Penelitian

. Alasan peneliti memakai metode deskriptif adalah dikarenakan peneliti menginginkan hasil yang mendalam mengenai perilaku perempuan dalam menentukan pilihan politiknya khususnya dalam memilih caleg perempuan pada pemilu anggota DPRD Kota Medan.

Proses penelitian dalam rangka mencari informasi/data yang berkaitan dengan penelitian dilakukan di daerah pemilihan (Dapil) 2 kota Medan yang meliputi Kecamatan Medan Johor, Kecamatan Medan Maimun, Kecamatan Medan Sunggal, Kecamatan Medan Tuntungan, dan Medan Selayang.

G.5 Teknik Pengumpulan Data

Data yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan (1) data primer dan (2) data skunder. (1) Data primer dalam penelitian sering diartikan sebagai data yang diperoleh secara langsung dari responden ataupun narasumber/informan. Adapun informan-informan yang dimaksud adalah sebagai berikut:

34

(30)

Tabel.1.4 Daftar Nama Informan

No. Nama Informan

(31)

7 Sarah 23 Mahasiswi S-1 Kecamatan Medan Johor

8 Silvia 23 Mahasiswi D-3 Kecamatan Medan Maimun

Sedangkan (2) data skunder sering diartikan sebagai data/informasi tambahan yang diperoleh dari data yang bersifat kepustakaan, seperti buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan penelitian, dokumen-dokumen penting yang berkaitan dengan masalah penelitian, seperti misalnya dokumen yang berisi data mengenai perolehan suara calon legislatif perempuan di periode sebelumnya, dan data keterwakilan perempuan di legislatif (DPRD Kota Medan) baik di periode 2014 (sekarang) maupun periode sebelumnya, dan lain-lain. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu melalui wawancara.

G.6 Teknik Analisa Data

Teknik analisa data merupakan cara menganalisis data penelitian, termasuk alat-alat statistik yang relevan untuk digunakan dalam penelitian35

35 Dr.Juliansyah Noor, S.E., M.M. Op.Cit. hal. 163.

(32)

menggunakan teknik analisa kualitatif. Data kualitatif adalah data yang berhubungan dengan kategorisasi dan tidak berbentuk angka36. Analisa data kualitatif memberikan hasil penelitian untuk memperoleh gambaran terhadap proses yang diteliti dan juga menganalisis makna yang ada dibalik informasi, data dan proses tersebut37

H. Sistematika Penulisan

. Data yang akan dianalisis dalam penelitian ini yaitu data primer dan skunder, setelah data diperoleh kemudian diambil kesimpulan terhadap data tersebut.

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih terperinci mengenai penulisan penelitian yang nantinya penelitian ini menjadi sebuah skripsi, maka penelitian in dapat ditinjau ke dalam 4 bab, yaitu :

BAB 1 : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan tentang latar belakang masalah

dimana peneliti mendeskripsikan seputar topik permasalah yang diangkat disertai dengan alasan ketertarikan peneliti dalam permasalahan penelitian ini. Kemudia setelah latar belakang masalah, dilanjutkan dengan rumusan masalah, pertanyaan penelitian, batasan masalah, tujuan penelitian,

36

Dr.Tavi Supriana. 2012. Modul Metode Penelitian Sosial. Medan: Fakultas Pertanian Program Studi Agribisnis USU. hal.44.

37

Burhan Bungin. 2009. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial

(33)

manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : PROFIL DAPIL 2 KOTA MEDAN

Pada bagian ini, peneliti memberikan deskripsi umum mengenai lokasi dapil 2 kota Medan yang meliputi Kecamatan Medan Johor, Kec.Medan Sunggal

BAB III :PERILAKU PEREMPUAN DALAM

MENENTUKAN PILIHAN POLITIK PADA

PEMILIHAN ANGGOTA DPRD KOTA

MEDAN 2014

(34)

BAB IV : PENUTUP

Gambar

Tabel 1.1:Perempuan dalam DPR-RI 1955-2004
Tabel 1.2. Perbandingan Jumlah Anggota DPRD Kota Medan Terpilih
tabel tersebut, ada 2 dapil yang tidak memiliki anggota DRPD perempuan, yaitu
Tabel 1.3 Jumlah Pemilih (Perempuan) pada Pemilu Legislatif 2014

Referensi

Dokumen terkait

Menyelenggarakan Konsinyering bagi Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di lingkungan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan mengundang PPID Pelaksana

Suatu gen tanaman yang memberikan resistensi terhadap satu jenis penyakit, namun mungkin juga menyebabkan kepekaan untuk suatu penyakit yang berbeda, ketika ditemukan oleh para

Implementasi program League of Change yang dilakukan oleh Rumah Cemara menurut teori interaksi simbolik yang diungkapkan oleh Mead dimulai dengan pikiran (mind) bahwa program

Tujuan yang dicapai dalam praktik kerja lapangan ini adalah: (1) untuk mengetahui peran dan tanggung jawab bagian kantor depan dalam meningkatkan kenyamanan dan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi dan kondisi ekologis Situ Kedaung yang meliputi sumberdaya alam dan manusia yang berada si sekitar kawasan Situ

Berdasarkan pengujian ini dapat disimpulkan bahwa cara yang paling ampuh untuk melindungi lontar dari pengaruh radiasi cahaya bukan menggunakan bahan konservasi, tetapi dengan

Tujuan Pembelajaran Umum : Mahasiswa mampu menjelaskan metoda dan teknik pembuatan bahan dekorasi patiseri Jumlah Pertemuaan : 2 (satu) kali. Pertemuan Tujuan Pembelajaran

Setiap elemen mesin yang berputar, seperti cakra tali, puli sabuk mesin, piringan kabel, tromol kabel, roda jalan, dan roda gigi, dipasang berputar terhadap poros dukung yang