BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kehidupan pernikahan yang harmonis dan bahagia adalah dambaan semua
insan yang ingin menikah. Oleh sebab itulah, pernikahan menjadi tujuan akhir bagi
sepasang insan manusia yang berpacaran yang ingin mengakhiri masa lajang. Julianto
Simanjuntak mengungkapkan bahwa sebelum memutuskan untuk menjalani
hubungan pernikahan, idealnya sepasang kekasih mengetahui hakikat pernikahan dan
tujuan pernikahan dilakukan, karena dengan memiliki pemahaman yang tepat tentang
hakikat dan tujuan pernikahan dapat membuat pernikahan tersebut bertumbuh.1 Lebih
lanjut ia menegaskan bahwa hakikat pernikahan yang baik adalah komitmen total dari
dua orang di hadapan Tuhan dan sesama dan didasarkan pada kemitraan yang
mutual.2 Selain itu, Simanjuntak menambahkan bahwa tujuan pernikahan (di dalam
Kristen) adalah untuk pertumbuhan dan menciptakan masyarakat baru yang dapat
membagi berkat dan kesejahteraan kepada sesamanya.3 Sementara itu, Weeks dkk.
dalam Stephen T. Fife dkk. menjelaskan bahwa berada pada hubungan yang
berkomitmen dapat menciptakan rasa memiliki dan pengabdian serta loyalitas yang
terkait dengan hubungan tersebut yang cenderung memfasilitasi perasaan tentang
1
Julianto Simanjuntak, Perlengkapan Seorang Konselor (Tangerang: Layanan Konseling Keluarga dan Karir (LK3), 2007), 379-380.
2
Simanjuntak, Perlengkapan Seorang Konselor…….., 380.
3
keseimbangan dan keamanan.4 Dari beberapa pendapat ini, dapat dikatakan bahwa pernikahan itu hendaknya sekali untuk seumur hidup dan dapat diajadikan sebagai
wadah untuk saling berbagi berkat, rasa bahagia, penguatan di dalam suka dan duka
dan tentunya menghadirkan kenyamanan dan keamanan bagi anggota keluarga.
Pada kenyataannya, hal menikah bukanlah perkara yang mudah untuk
dilakukan. Dua pribadi yang berbeda dari latar belakang yang berbeda menjadi satu
dalam ikatan pernikahan, tentunya akan menghadapi berbagai masalah yang mungkin
akan muncul dalam kebersamaan mereka. Persoalan pernikahan dalam rumah tangga
layaknya seperti fenomena gunung es; yang kelihatan di permukaan sering sekali
lebih sedikit (sederhana) dibandingkan dengan apa yang ada di dalamnya. Banyak
persoalan pelik yang terjadi di dalam pernikahan yang membuat pernikahan itu
berjalan rumit dan bahkan berujung pada perceraian. Zandiyeh dan Yousefi
menemukan dalam penelitian di Iran tentang tema utama penyebab terjadinya
perceraian antara lain pengalaman kekerasan, faktor budaya, faktor keluarga,
keuangan, faktor sosial dan juga perselingkuhan.5
Perselingkuhan menurut Hedva dalam Satyadarma menghasilkan luka pada
hubungan perkawinan, dan luka ini menimbulkan rasa sakit terhadap pasangan yang
dikhianati.6 Begitu juga Fife dkk. menjelaskan bahwa perselingkuhan dapat
menyebabkan kerusakan yang signifikan pada pasangan dan mengakibatkan
4
Fife, Stephen T., Gerald R. Weeks, dan Jessica Stellberg-Filbert, “Facilitating Forgiveness in The
Treatment of Infidelity: An Interpersonal Model,”Journal of Family Therapy 35, no. 4, 2013, 343.
5
Zandiyeh, Zahra dan Hojatollah Yousefi, “Woman's experiences of applying for a divorce,”Iranian Journal Of Nursing & Midwifery Research 19, no. 2, 2014, 169.
6
hilangnya kepercayaan dan keseimbangan hubungan.7 Sementara itu, Gordon dalam
Fife dkk. menegaskan bahwa perselingkuhan adalah bentuk pengkhianatan terhadap
kesakralan pernikahan sebagai akibat dari kepercayaan pasangan yang telah dirusak
dan rasa keseimbangan dan koneksi yang telah terguncang.8 Sementara, dari sudut
pandang sosiologi, persoalan perselingkuhan dapat dinilai sebagai sebuah bentuk
tindakan kekerasan. Johan Galtung dalam Anshor memahami bahwa kekerasan
sekecil apapun hendaknya tidak dilihat hanya semata-mata berupa kekerasan
langsung, tetapi dibalik kekerasan langsung tersebut perlu dicermati adanya akar
kekerasan kultural dan kekerasan struktural yang menjadi sumber dari kekerasan itu.9
Berdasarkan beberapa pemahaman ini, maka dapat disimpulkan bahwa
perselingkuhan yang dilakukan oleh pasangan merupakan sebuah kekerasan dan
pukulan hebat bagi harga diri pasangannya, dan luka yang ditinggalkan sangat
menyakitkan dan sulit disembuhkan. Terlebih jika perselingkuhan itu terjadi lebih
dari satu kali, maka tidak heran jika banyak orang yang akan mengarahkan persoalan
ini pada proses perceraian.
Berdasarkan Hukum Indonesia Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan yang menyatakan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan atau
alasan-alasan, salah satu diantaranya adalah adanya pihak yang berbuat zinah
(selingkuh) atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar
7
Fife, Weeks, dan Stellberg-Filbert, “Facilitating ……” , 343.
8
Fife, Weeks, dan Stellberg-Filbert, “Facilitating ……”, 347.
9
disembuhkan.10 Berdasarkan peraturan perundang-undangan ini, dengan demikian pasangan yang dikhianati dapat mengambil tindakan perceraian jika diinginkannya
dengan sadar dan tanpa paksaan dalam mengambil keputusan. Data perceraian di
pengadilan mengungkapkan bahwa banyak istri menggugat cerai suaminya, salah
satunya akibat ditinggalkan oleh suami yang berpoligami (tanpa ijin istri).11 Namun,
pada kenyataannya, masih banyak istri memilih bertahan dan memberi maaf atau
pengampunan kepada suaminya demi menyelamatkan keutuhan rumah tangganya.
Pengampunan adalah prososial perubahan emosi individu, pikiran dan
perilaku sebagai hasil dari pelanggaran tertentu. Artinya, pengampunan diberikan
sebagai tindakan memaafkan atas kesalahan atau pelanggaran. Telah ditemukan
beberapa penelitian yang berbicara tentang penggunaan model pengampunan pada
pengobatan perselingkuhan.12 Dari sisi keagamaan dan spritualitas, George
Nedumaruthumchalil menjelaskan bahwa pengampunan adalah sebuah ide konsisten
dalam pengajaran agama-agama ya ada di dunia sama seperti yang dilakukan oleh
penelitian dan praktek dalam bidang kesehatan mental. Lebih lanjut dalam
penelitiannya, ada 3 aspek dalam pengampunan yakni: melepaskan emosi negatif,
membangun kembali hubungan, penyesuaian dengan hubungan.13 Berkaitan dengan
itu, Gordon dkk. dalam Olmstead telah menguji sebuah integratif model yang
dikembangkan untuk pengobatan perselingkuhan. Dalam modelnya disebutkan bahwa
10
Hukum Perkawinan Indonesia, UU RI No. 1 Tahun 1974, (Tangerang Selatan: SL Media), 40-41.
11
Kontributor Bireuen, Desi SafnitaSaifan, Banyak Suami Tinggalkan Istri, Mahkamah Syariah Kebanjiran Kasus Cerai, Harian Kompas, 31 Maret 2015, News Regional (accessed May 23, 2015).
12Taysi, Ebru, “
Summary Forgiveness in Marriage: The Role of Marital Adjustment and Attributions,”
Turkish Journal of Psychology, June 2010, 25 (65), 53.
13
Nedumaruthumchalil, George, “The Role of Religion and Sprituality in Marriage and Family
proses pengobatan perselingkuhan dibagi menjadi tiga tahapan yang berbeda. Setiap
tahapan meliputi komponen kognitif, afektif, dan perilaku. Tahap pertama terfokus
pada urusan dampak perselingkuhan. Tahap ke dua ditujukan pada eksplorasi konteks
perselingkuhan dan menemukan makna. Tahap ke tiga adalah gabungan dari tahap
pertama dan ke dua dan kemudian "bangkit." Pada tahap ketiga inilah proses
pengampunan menjadi menonjol.14 Dari beberapa penjelasan ahli tentang
pengampunan ini, dapat disimpulkan bahwa pengampunan masih sangat mungkin
diberikan kepada pelaku perselingkuhan, namun kedua pasangan harus bekerja sama
dalam proses pengampunan tersebut. Selain itu, pasangan harus lebih dahulu bekerja
melewati tahapan-tahapan proses untuk dapat benar-benar menyelesaikan persoalan
yang ada dalam hubungan pernikahan mereka. Perubahan kognitif, afektif dan
perilaku kedua pasangan menjadi faktor penting dalam pemberian pengampunan.
Fenomena perselingkuhan dalam hubungan pernikahan sebenarnya tidak
hanya dilakukan oleh suami tetapi juga dilakukan oleh istri, dan tidak sedikit juga
didapati bahwa suami bersedia memberikan pengampunan kepada istri. Namun,
berdasarkan data yang di temukan di masyarakat, istri lebih sering dan lebih cepat
memberikan maaf kepada suami yang berselingkuh. Dalam konteks penelitian ini,
penulis memfokuskan kepada istri sebagai pemberi maaf atau pengampunan tersebut.
Dari perspektif feminis, dalam dunia patriarki, fenomena pengampunan dalam
menyikapi perselingkuhan suami dapat dianggap sebagai akibat dari kontrol sosial
dan budaya patriarki. Namun, dari sisi yang berbeda, pemikiran perempuan dalam
14
memandang persoalan perselingkuhan ini perlu dipertimbangkan. Persoalan
perselingkuhan memang merupakan tindak kekerasan, namun bukan berarti manusia
berhak menghakimi dan memutuskan hubungan pernikahan pasangan suami-istri
yang sedang dalam masalah. Sebaliknya, sebagai makhluk sosial, kita berkewajiban
untuk memediasi mereka dalam menyikapi persoalan yang ada, melihat lebih dalam
duduk permasalahannya dan mempertimbangkan segala bentuk kekuatan yang
mungkin bisa diperbaiki untuk menyelamatkan pernikahan tersebut. Dalam perspektif
feminis, Luce Irigaray, potensi menjadi istri atau ibu harus dilihat sebagai hak dalam
identitas perempuan, bukan prioritas yang menjadi kewajiban. Keunikan dalam
karyanya adalah bahwa baginya yang esensial dalam perjuangan pembebasan
perempuan bukan menuntut kesetaraan, melainkan dengan membangun budaya
perempuan dan laki-laki yang menghargai perbedaan antara kedua jenis kelamin.
Irigaray menjelaskan bahwa perbedaan seksual tereduksi sebagai prinsip sentralnya.
Selain itu, dia mengklaim bahwa perbedaan tersebut ditolak dalam budaya
phallo-sentris sehingga tidak terlambangkan dan tidak terwakili.15 Pemahaman ini
mendorong perempuan untuk mengembangkan potensinya sendiri dan menjadi
unggul dengan kemampuannya sebagai seorang perempuan. Hanya dengan melihat
potensi ini dapat membebaskan kaum istri untuk bebas memilih dalam menjalani
kehidupannya sebagai pribadi, sebagai istri dalam rumah tangga, dan bahkan sebagai
anggota masyarakat. Selain itu Irigaray mengungkapkan bahwa perempuan dapat
menciptakan bahasanya sendiri, baik lisan maupun tulisan, sehingga perempuan
15
Daggers, Jenny, “Luce Irigaray and The Divine Women: A resource of Postmodern Feminis
memiliki cara untuk mengaktualisasikan dirinya, pemikirannya, perasaannya dan
pendapatnya.16
Berangkat dari pemahaman Irigaray tentang potensi sebagai ibu yang
merupakan hak dalam sebuah identitas, maka penulis membangun pemahaman bahwa
pengampunan juga merupakan hak atau sebuah pilihan dari seorang pribadi (istri).
Berkaitan dengan itu, maka fenomena pengampunan istri bagi suami yang
berselingkuh ini juga dapat ditinjau dari perspektif konseling feminis. Konseling
feminis berfokus kepada pemberdayaan perempuan dan laki-laki dengan menyoroti
persoalan sosialisasi gender dan sejauh mana peranan gender yang kaku itu
menghalangi pertumbuhan klien dalam dunia pribadi dan professional.17 Konseling
feminis berupaya untuk mengenal dan merekonsiliasi perbedaan-perbedaan mengenai
gender yang bersinggungan dengan ras, kelas, orientasi seksual, dan konsep
sosiologis lainnya di dalam konteks konseling dengan maksud untuk memberdayakan
klien dan meningkatkan kemampuan mereka untuk membuat keputusan yang dapat
memperkokoh kehidupan.18
Dari beberapa pemikiran ini, penulis berpendapat bahwa konseling feminis
berfokus pada kekuatan klien serta memberdayakan klien untuk dapat bertumbuh
menjadi seseorang yang mampu menyikapi perbedaan dan persoalan yang ada, serta
mampu mengambil keputusan sesuai dengan keinginan sendiri untuk kebaikan
hidupnya. Berkaitan dengan topik penelitian, penulis melihat bahwa setiap keputusan
16
Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought (e-book: Colorado: Westview Press), 2009, 156-157.
17
Rader, Jill, dan Lucia Albino Gilbert, “The Egalitarian Relationship In Feminis Therapy,”
Psychology Of Women Quarterly 29, no. 4, 2005, 427.
18
Degges-White, Suzanne E., Bonnie R. Colon, dan Christine Borzumato-Gainey, “Counseling
Supervision Within a Feminis Framework: Guidelines for Intervention,”Journal Of Humanistic
yang diambil oleh para perempuan yang memberi pengampunan kepada suaminya
yang berselingkuh adalah merupakan bukti dari kekuatan perempuan sebagai seorang
istri dan ibu dalam rumah tangga.
Secara konseptual maupun empirikal, hal ini ditemukan dalam kehidupan para
istri yang dikhianati oleh suami. Pada konteks penelitian ini, penulis meneliti di
GKPM Jemaat Sikakap dengan mengambil 2 kasus. Kedua istri ini dikhianati oleh
suaminya berkali-kali, namun sampai saat ini masih memilih bertahan meskipun
keluarga atau tetangga telah menyarankan untuk bercerai. Mereka adalah Anna, dan
Helena (nama disamarkan). Anna19 adalah seorang Pegawai Negeri Sipil dan penatua,
memiliki suami yang juga seorang Pegawai Negeri Sipil; dan Helena20 adalah seorang
ibu RT (pedagang), memiliki suami seorang pedagang (dan saat ini sedang menjabat
sebagai anggota DPRD). Kedua reponden mengatakan bahwa perselingkuhaan yang
dilakukan suaminya sangat menyakiti perasaan dan pemikirannya. Sudah banyak
usaha yang ditempuh oleh keluarga, namun tidak serta merta mendatangkan
ketenangan batin bagi mereka. Mereka juga tidak mendapat pelayanan pastoral dari
gereja. Cacian dari jemaat menambah rasa sakit dan membebani pikiran. Namun
dengan melewati berbagai proses yang berliku, pada akhirnya mereka memberikan
pengampunan untuk tetap menjaga keutuhan keluarga.
Berangkat dari hasil observasi ini, penulis memahami bahwa banyak istri
yang tangguh dalam menjalani hubungan pernikahan meski keadaan yang
dihadapinya sangat rumit. Di sisi lain, yang sangat memprihatinkan adalah
19
Anna, 46 tahun, Wawancara (Mentawai, tgl 17 April 2015, pukul 16.30 WIB)
20
perempuan seperti mereka ini seakan bekerja sendiri dalam menyikapi persoalan yang
ada. Proses pengampunan bukanlah perkara yang mudah untuk dilakukan tetapi
mereka memilih untuk memberikan pengampunan untuk menyelamatkan kehidupan
pernikahan dan keutuhan keluarganya. Oleh sebab itu, untuk memahami lebih dalam
mengenai fenomena pengampunan kedua istri dalam menyikapi persoalan
perselingkuhan suami, penulis merumuskan tesis ini dengan judul:
PENGAMPUNAN DALAM MENYIKAPI PERSELINGKUHAN SUAMI DARI
PERSPEKTIF KONSELING FEMINIS.
1.2. Rumusan Masalah
Masalah yang ingin diteliti adalah bagaimana memahami pengampunan istri
dalam menyikapi perselingkuhan suami dari perspektif konseling feminis.
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisa
pengampunan istri dalam menyikapi perselingkuhan suami dari perspektif konseling
feminis.
1.4. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian, maka penulisan ini diharapkan dapat
1. Pada tataran akademis, dapat menjadi sumbangan bagi pengembangan
studi konseling feminis, khususnya untuk studi tentang pernikahan,
perselingkuhan dan pengampunan.
2. Pada tataran praksis, penulisan ini diharapkan dapat memberikan
sumbangsih pemikiran berdasarkan perspektif feminis bagi gereja dan
masyarakat dalam praktek pemberdayaan bagi pasangan suami-istri
dalam menjalani pernikahan.
1.5. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode studi kasus.
Penelitian studi kasus merupakan salah satu jenis penelitian dalam penelitian
kualitatif yang memiliki kedudukan yang sama seperti halnya dengan jenis strategi
atau metode penelitian kualitatif yang lain, seperti penelitian ethnografi,
phenomenologi, grounded theory, dan biografi atau narasi. Studi Kasus merupakan
strategi atau metode penelitian yang mana di dalamnya peneliti menyelidiki secara
cermat suatu program, peristiwa, aktivitas, proses, atau sekelompok individu.21
Teknik pengumpulan data berupa wawancara dan observasi. Responden yang
akan diwawancarai untuk mendukung penelitian ini adalah dua orang perempuan
(istri) yang memberikan pengmpunan kepada suami yang berselingkuh. Lokasi
penelitian adalah Dusun Sikakap Tengah Desa Sikakap Kecamatan Sikakap
Kabupaten Kepulauan Mentawai. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan
21
wawancara, dan observasi. Sementara prosedur dasar dalam melaporkan hasil
penelitian ini adalah dengan penulisan deskriptif dan hasil penelitian akan
diinterpretasi dan dianalisis dari perspektif konseling feminis.
1.6. Sistematika Penulisan
Tulisan ini terdiri dari lima bab, antara lain: bab satu yakni pendahuluan yang
berisi tentang uraian latar belakang dari penulisan ini, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab dua
adalah teori pengampunan dari perspektif konseling feminis, yang meliputi: definisi
tentang pernikahan, perselingkuhan dan pengampunan, alasan-alasan dan
tahapan-tahapan dalam pemberian pengampunan, stereotipe Gender dan nilai budaya yang
mempengaruhi proses pengampunan, konseling feminis dan pengampunan dari
perspektif konseling feminis. Bab tiga merupakan hasil penelitian mengenai
pengampunan dalam menyikapi perselingkuhan suami. Bab empat berisi pembahasan
yang meliputi deskripsi, interpretasi dan analisis tentang pengampunan dalam
menyikapi perselingkuhan suami dari perspektif konseling feminis. Bab lima adalah
penutup meliputi kesimpulan yang berisi temuan-temuan dan saran-saran yang berupa