• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sastera Lintas Budaya dan Pendidikan sua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sastera Lintas Budaya dan Pendidikan sua"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Sastera Lintas Budaya dan Pendidikan: suatu pembahasan karya sastera Brunei dalam arus global

Naskah ini masih bersifat sementara.

Mohon tidak dikutip sebagai rujukan untuk publikasi resmi.

Dr Mikihiro MORIYAMA Professor of Indonesian Studies Nanzan University, Nagoya, Japan moriyama@nanzan-u.ac.jp

Makalah disampaikan pada Seminar Antarabangsa Kesusasteraan Asia Tenggara (SAKAT) 2011 bertema Sastera Menganyam Fahaman Lintas Budaya

(2)

pengantar

Dalam dekade terakhir ini terasa pengaruh besar arus globalisasi di dunia1. Tidak terkecuali arus itu masuk ke masyarakat Asia Tenggara lewat inovasi teknologi atau penyebaran komputer, telepon genggam dan internet di seluruh lapisan masyarakat. Arus informasi yang dahsyat melalui teknologi baru ini belum pernah dialami masyarakat setempat sebelumnya. Pengaruh informasi dari luar tak terhindarkan sehingga gaya hidup atau lifestyle pun sangat berubah, khususnya di kota-kota besar.

Arus global tersebut didefinisikan oleh Appadurai dengan membagi 5 scapes: yaitu ethnoscapes, mediascapes, technoscapes, financescapes dan ideoscapes (Appadurai 1996:

33-37). Antara 5 unsur tersebut media, tehnologi dan ide yang cukup besar dampaknya dari segi lintas budaya. Arus informasi lewat media yang tak dikenal sebelumnya membanjir dahsyat sampai merasuki benak orang dan menciptakan rangsangan di segala lapisan masyarakat di seluruh dunia. Terutama, di negara-negara berkembang luar biasa dampaknya karena

informasi dari luar negeri tidak mudah diperoleh sebelumnya akibat keterbatasan sarana dan juga biaya. Bertambahnya pengawasan atau sensor oleh pihak pemerintah tidak

memungkinkan akses informasi seperti keadaan sekarang ini. Dengan kata lain pengawasan tak punya arti lagi dan pengontrolan menjadi semakin sulit karena jaringan Internet yang meluas tanpa kenal batas. Pada masa kini orang mudah mendapat informasi tentang gaya hidup atau pemikiran orang di luar negeri asal mereka bisa menguasai bahasa asing yang menjadi bahasa pengantarnya. Tapi, meski orang tidak menguasai bahasa asing pun, ada juga sarana terjemahan cuma-cuma yang tersedia di Internet dan semakin banyak informsi yang dialihkan ke dalam bahasa Inggris. Di depan komputer orang seolah-olah berada di negara lain dan juga dapat bercakap-cakap lewat Skype dengan orang yang belum pernah

dijumpainya atau berkomunikasi secara intens lewat Face Book.

Namun tidak kalah besar dampaknya arus orang yang melintas batas-batas negara. Khususnya, arus orang dari negara berkembang yang meningkat dibantu oleh arus informasi yang dibahas di atas dan perkembangan ekonomi di negara berkembang. Dengan kata lain, orang tidak mudah pergi ke luar negeri tanpa adanya informasi yang cukup dan merangsang bersama kemampuan ekonomi. Kaum menengah di masyarakat negara berkembang

meningkat jumlahnya sehingga orang mampu merealisasikan keinginannya pergi ke luar

1

(3)

negeri baik ke negara maju maupun negara berkembang lainnya. Patut diperhatikan

peningkatan arus orang di wilayah Asia Tenggara dalam dekade terakhir. Pertemuan Mastera ini pun bisa disebut suatu contoh di antaranya.

Akhibatnya, muncul perasaan dekat antara bangsa-bangsa. Selama ini orang asing hidup di suatu tempat tanpa bergaul dengan masyarakat di mana mereka tinggal. Tetapi, sekarang orang asing cukup sering bergaul dengan orang setempat. Misalnya saja, orang Indonesia menyekolahkan anaknya di Jepun dan bergaul dengan masyarakat Jepun. Bahkan, mereka bergaul cukup akrab di negara asing. Misalnya, orang Indonesia bergaul dengan orang Jepun di Kanada sama-sama dengan status orang asing. Mereka memakai bahasa Inggris untuk berkomunikasi. Hal ini merupakan salah satu gejala dari ethnoscape dalam definisi Appadurai tersebut.

Kedua unsur globalisasi ini rupanya merangsang pengarang-pengarang di Asia Tenggara dalam hal berkarya. Mungkin saja mereka sendiri melintas batas-batas negara alias pergi ke luar negeri sehingga mendapat ide dan ilham untuk mengarang novel atau cerita pendeknya. Tetapi, ada kemungkinan mereka dapat menghadirkan tokoh orang asing dalam ceritanya dengan informasi yang diperoleh dari Internet atau sarana lainnya. Pengarang Brunei Darussalam Muslim Burmat, misalnya, menghadirkan seorang perempuan Jepun, Yoko, dalam novelnya Permainan Laut. Di Indonesia juga ada novel semacam itu. Misalnya, novel berjudul Kidung Cinga Pohon Kurma yang dikarang oleh Syaiful Alim2. Novel ini berlokasi di Sudan di Afrika dan berprotagonis orang Indonesia bernama Syahrul Ahimsa bersama tokoh perempuan Jepun Sakura. Karya-karya sastera semacam ini dapat disebut hasil dari globalisasi yang telah dibahas di atas. Sangat sulit diandaikan karya-karya sastera

dihasilkan sebelum arus informasi marak dan orang melintas batas-batas negara secara global. Kertas kerja ini akan membahas ciri-ciri lintas budaya dalam sebuah novel sastera Brunei, Permainan Laut, sebagai contoh dengan pengetahuan budaya Jepun yang saya miliki dan kemampuan berbahasa Melayu-Indonesia yang terbatas. Pembahasan dalam kertas kerja ini akan mencakup bagaimana karya-karya sastera yang melintas batas-batas budaya tersebut akan meningkatkan fahaman lintas budaya.

2

(4)

Permainan Laut: Novel Brunei yang melintas batas negara dan budaya

Novel karya Muslim Burmat yang ke-13 ini menceritakan kehidupan sebuah Kampung Kuala Duka yang terletak di Teluk Brunei. Kampung itu kebanyakan penduduknya nelayan. Dapat dikatakan sebuah kampung nelayan biasa saja. Di kampung itu ada satu keluarga nelayan sejati. Tahir adalah salah satu tokoh utama yang berkenalan dengan seorang gadis dari Jepun bernama Hirai Yoko. Yoko datang ke Kampung Kuala Duka sebagai penerjemah untuk rombongan bekas tentara Jepun. Yoko adalah gadis yang cantik dan sudah pandai berbahasa Melayu karena sudah tamat universitas yang mengajar bahasa Melayu di Jepun. Kisah cinta antara orang Brunei dan orang Jepun digambarkan dalam novel ini.

Tahir beradik Husin adalah nelayan setempat. Ayahnya bernama Taha, sudah tidak pergi ke laut lagi sebagai nelayan karena sudah berusia lanjut. Tahir bekerja sebagai nelayan di kampung aslinya setelah 18 tahun bekerja di kapal besar sebagai kelasi.

Pada suatu hari sebuah bom tua Jepun yang tak meletup ditemukan di laut. Bom tua itu dibawa ke dekat rumah Taha dan diletakkan sebagai barang mengenang zaman perang dahulu. Rombongan mantan tentara Jepun yang diantar oleh Yoko datang untuk melihat bekas bom tersebut. Di antara mantan tentara Jepun ada Leftenan Kozo Hakagawa yang sangat terharu melihat bom tua itu mengenang masa lalu. Dia memimpin rombongan pesawat tempur pada masa perang dan pernah mencoba menjatuhkan bom di Kampung Kuala Duka.

Kehadiran Yoko sebagai orang asing dalam novel ini memberi suasana yang tidak biasa: kadang segar dan menarik tapi juga menimbulkan ketegangan. Ucapan dan tingkah lakunya tentu agak berlainan dari yang orang tempatan. Tetapi, Yoko mengerti dan selalu mencoba mengerti adat orang Melayu. Misalnya, waktu pertama kali datang ke rumah Taha dan istrinya Minah, dia membuka kasut sebagaimana kebiasaan orang Melayu walau kebiasaan orang Jepun di negerinya juga begitu. Wanita Jepun ini digambarkan sosok yang simpatik.

Kedatangan Yoko ke Teluk Brunei itu ternyata ketiga kalinya. Dia sudah mempunyai keinginan untuk tinggal di Kampung Kuala Duku. Alasannya dijelaskan Yoko waktu mantan tentara Jepun, Leftenan Hakagawa, menanyakan kepadanya:

(5)

kipasan daun nyiur yang melambai. Aduh, bayangkan saya salah seorang daripada penghuni suasana yang demikian”(Burmat 2008: 73).

Lefnenan Hakagawa mengkritik pikiran Yoko, “Kamu seorang gadis yang terlalu romantis”. Yoko menjawab, “Saya bersedia segala-galanya. Kerana di situ bukan sebuah penjara. Di situ terciptakan segala kegembiraan untukku.” Tekad Yoko tinggal di sebuah kampung nelayan begitu kuat. Tetapi ternyata Yoko lama kelamaan merasakan juga duka di kampung yang didiaminya. Perasaan itu tergambar dalam puisi Yoko. Memang dia punya kesenangan membuat puisi dalam bahasa Jepun. Katanya, “Puisi dapat menitipkan perasaan duka seseorang.” Tahir yang menanyakan isi hati Yoko sebagai berikut:.

“Mengapa duka saja, tak suka?”

“Saya selalu melihat hidup ini banyak yang duka.” ...

“Tak apalah, mana tau nasib saya begitu. Jadi, ini persediaan awal.”

“Janganlah berkata begitu. Saya tahu awak benar-benar gembira melihat pantai di sini, bukan?” kata Tahir. “Bukankah kata awak begitu dahulu?” “Pantai pun rasanya terlalu sepi sekarang” (Burmat 2008: 128).

Di sini terdapat nada duka yang mengalir sebagai leitmotif. Kehadiran Yoko di sebuah kampung nelayan di Brunei memang membuat ketegangan antara budaya yang sangat berbeda. Di situlah ada kekhasan novel ini. Yaitu, pembaca akan memikirkan perbedaan budaya dan diharapkan mencoba memahami kepentingan lintas budaya. Di mana ada perbedaan budaya dibutuhkan pemahaman budaya lain sambil merefleksikan budaya diri sendiri dan menyadari identitas diri sendiri. Oleh karena itu pembacaan novel Permainan Laut ini berarti demi peningkatan fahaman lintas budaya.

Terutama hal tersebut terlihat kalau ada kisah cinta antara bangsa yang berbeda. Yoko dan Tahir lama kelamaan menaruh hati satu sama lain. Yoko sudah terbiasa tinggal di rumah Taha membantu istrinya Minah dalam pekerjaan rumah tangga. Sebenarnya tidak banyak terjadi peristiwa di kampung tersebut, Yoko selalu hidup tenang di tengah suatu keluarga nelayan. Pada akhirnya, Yoko dan Tahir nikah dan kelihatannya hidup damai di kampung nelayan tersebut. Namun suasana bahagia dan damai tidak berlanjut lama lagi.

(6)

Sedangkan contoh lain lebih serius. Yoko sadar dia mencintai Tahir tapi tidak mau mengaku. Dia berkata dalam hatinya: Omaewa jibunwo azamuite itanda. Imakoso jibunwo semeruga yoi. Jibunwo azamuku nowa kesshite yoi koto dewanai (Inilah saatnya kau mengutuk dirimu

sendiri kerana cuba berpura-pura! Kerana berpura-pura itu bukanlah sifat yang baik) (ibid.: 55). Bahasa Jepunnya agak kaku dan tidak terlalu cocok dalam alur ceritanya. Apalagi sebagai perkataan perempuan tidak sesuai. Jelas sekali ada orang Jepun yang menolong menerjemahkan bahasa Melayu ke dalam bahasa Jepun. Bagi pembaca Melayu bahasa Jepun mempunyai efek tertentu. Terasa percampuran budaya.

Contoh lain lagi, Yoko berkata kepada teman orang Jepunnya mengenai kecantikan ketika Yoko pulang sementara mengunjungi orang tuanya setelah beberapa lama tinggal di Kampung Kuala Duka. Yoko berkata, “Utsukushii toiunowa shukantekina kotoyo” (Sebab kecantikan itu suatu yang subjektif) (ibid.: 142). Uraian ini memberi kesan bahwa tokoh Jepun di novel ini seorang wanita yang punya pendirian yang kuat. Kontras sikap Yoko juga memberi pemahaman yang lebih dalam bagi pembaca karena sikap dan sifat seorang wanita Jepun agak berbeda dibandingkan dengan wanita orang Melayu. Menyatakan pendapatnya secara jelas itu sudah lazim di budaya Jepun. Tidak hanya merupakan sikap dan sifat wanita Barat saja.

Ada pernyataan lain yang menarik yakni tentang pemahaman bahasa Melayu. Tahir menyatakan kepada Yoko mengenai bahasa Melayu yang dituturkan Yoko yang sudah cukup lancar, tidak canggung lagi. Katanya, “Apa canggungnya, kerana bahasa itu bukan milik satu tempat. Penutur bahasa Melayu luas.” Di sini terlihat pandangan dari pengarang Muslim Burmat. Yaitu dunia Melayu dan pemakaian bahasa Melayu sangat luas adanya.

Terdapat suatu pandangan dari generasi tua yang ikut berperang mengenai negara dan bangsa Jepun yang terungkap melalui mulut mantan Leftenan tua Hakagawa. Misalnya, dia berkata kepada seorang pemuda Jepun sebagai berikut:

(7)

lagi yang tidak akan kamu sanggah selepas ini? Nyatalah kamu mengikut arahan telunjuk orang lain! Jikalau kamu lupa dengan bangsa kamu sendiri dan terlalu fanatik dengan pemimpin lain yang kamu puja itu maka pergilah ke tempat mereka. Ayuh, tinggalkan bumi Jepun ini, jika kamu berani!” (Burmat 2008: 156).

Pandangan yang mengindahkan peranan perwira-perwira pada masa Perang Dunia Kedua terdapat sepanjang novel ini. Pandangan ini boleh disebut suatu nasionalism yang

membenarkan tindakan negara Jepun dalam Perang Dunia Kedua. Sedangkan tidak terdapat pandangan yang mengkritik tindakan negara Jepun pada masa itu. Dilihat dari segi ini, novel ini ada kecenderungan atau tendensius memihak suatu pandangan nasionalism Jepun. Tetapi, ini pun dapat diangkat sebagai suatu bahan untuk meningkatkan fahaman mengenai budaya Jepun.

Peristiwa puncak adalah tindak bunuh diri Leftenan tua itu dengan cara hara kiri atau menusuk perut dengan katana cara tradisional samurai dahulu. Hakagawa menulis naskah buku kenang-kenangan perang berjudul Hitotsu No Kenkyuu To Jijitsu No Teisei (Sebuah Penelitian dan Pembetulan Fakta) (ibid.: 262) yang membongkar rahasia waktu dia mencoba menyerang sebuah kapal perang di dekat pantai Kampung Kuala Duka. Leftenan itu sebagai kepala tim pesawat tempur memerintah tidak membom kapal perang karena takut

memusnahkan sebuah kampung bersama orang yang tidak berdosa. Dia ingin menyelamatkan kampung dan penghuninya. Namun, tindakan itu suatu tindakan durhaka terhadap kaisar atau maharaja yang disanjung. Oleh karenanya, Hakagawa merasa malu atas tindakan pada masa perang itu sepanjang hidup walaupun sudah lama selesai perang. Kejadian tragis yaitu bunuh diri sangat mempengaruhi pikiran Yoko dan perkataan Leftenan tua senantiasa bergema di benak Yoko yang memilih hidup di kampung Melayu. Yoko dan Tahir berdebat mengenai kematian Hakagawa dan juga tradisi bunuh diri sebagai berikut:

“Di Jepun ada selalu berlaku begitu,” kata Yoko. “Kadang-kadang orang lebih rendah umurnya pun melakukannya. Mungkin itu suatu kepuasan. Saya tidak tahu. Kira-kira ia adalah campuran separuh perasaan dan yang separuh lagi tradisi yang melihat dengan rasa berani lalu memilihnya”

“Itu kufur,” kata Tahir. “Apa kata abang?” “Kufur.”

“Jangan, jangan melihat cara begitu, kepada bangsa lain itu mungkin suatu yang terhormat.”

(8)

“Apabila seseorang telah menyiapkan suatu tugas dan dia tidak akan menambah lagi, ini suatu pilihan, atau merasa dirinya terhina kerana menyalahi suatu etika yang telah dianutinya.”

“Siapa yang menghargai cara mati begitu?”

“Semua orang, kerana itu tanda yang terbaik menyembahkan rasa taat setia yang tidak berbelah bahagi.”

“Taat setia yang tidak berbelah bahagi kepada siapa?”

“Kepada maharaja,” kata Yoko. “Kerana maharaja pun menyanjung semangat kepahlawanan samurai. Bukankah orang-orang berbuat begitu terbukti bukan untuk keuntungan dirinya sendiri tetapi dia memikul untuk keuntungan bangsa” (Burmat 2008: 264-265).

Dialog ini mencerminkan perbedaan budaya antara bangsa secara nyata. Bagi Tahir sebagai orang Melayu sulit memahami budaya Jepun yang menitikberatkan rasa malu. Perasaan malu itu jelas ada pada orang Melayu. Tetapi, cara menanggung perasaan malu berbeda dari bangsa Jepun. Tahir menyatakan hal itu kepada Yoko dengan kiasan seorang kapten kapal yang gagal:

“Adalah lebih baik meninggalkan segala-galanya daripada menyimpan malu yang terlalu lama,” kata Tahir menyambung terus cerita tentang seorang kapten kapal yang meninggalkan kapalnya. Lalu dengan suara di dalam dia menyambung, “Malu itu suatu yang melemahkan segala semangat.”

“Ah, seorang kapten yang baik saya kira tidak bertindak begitu.” “Itulah tindakan yang baik!”

“Tetapi abang tidak akan bertindak begitu jikalau abang masih jadi kelasi. Katakan sebagai Penolong Kapten.”

“Jikalau saya seorang kapten dan gagal mungkin saya akan berbuat perkara yang sama.”

“Itu tidak bertanggungjawab namanya.” “Jikalau hati sudah luruh, apa pun biarlah ...” “Kapten yang marana itu lalu pergi ke mana?”

“Dia akan merayau-rayau dari pelabuhan ke pelabuhan, dari pantai ke pantai melihat laut, atau ke mana-mana membawa hatinya” (Burmat 2008: 309-310).

Percakapan antara Yoko dan Tahir ini seolah-olah cerminan pandangan Tahir yang akan menanggung perasaan malu. Mereka menyadari tidak dapat mempunyai anak antara mereka karena Tahir ternyata impoten. Yoko selalu merenung dan kelihatan sedih dan berubah sikapnya setelah menikah, sehingga kedua mertua pun ikut khawatir. Akhirnya setelah lebih dari 1 tahun berlalu, Yoko menyampaikan hal itu kepada mereka dan Tahir meninggalkan Yoko seperti kapten kapal yang gagal.

(9)

tercinta dan mertua yang tercinta Taha dan Minah setelah ditinggalkan Tahir yang menjadi kelasi kapal lagi, tetapi dikias dengan pemberian fotonya dalam baju kimono kepada sahabatnya Tikah pada suatu hari di pantai.

Novel ini penuh dengan perbedaan budaya antara bangsa Melayu dan bangsa Jepun. Yoko berusaha keras mengerti dan menghargai budaya Melayu dan menyesuaikan diri di lingkungan orang Melayu dengan catatan sekali saja dia melangar kebiasaan yaitu Yoko dan Tikah mandi di laut dengan pakaian yang tidak sepatutnya di depan orang ramai. Secara garis besar Yoko berhasil menyesuaikan diri dan diterima di kampung nelayan. Sedangkan, ahli keluarga Taha dan Minah pun mencoba memahami tabiat Yoko dan kebiasaan orang asing dengan sungguh-sungguh. Mereka menghormati satu sama lain. Novel ini menceritakan banyak perbedaan budaya antara bangsa dan budaya, sekaligus mengajak pembaca untuk melintas budaya dan menitikberatkan signifikansi untuk memahami lintas budaya.

Peranan Pendidikan Sastera dalam Peningkatan Fahaman Lintas Budaya

Pendidikan di sekolah-sekolah mempunyai peranan penting dalam hal mengajar pemahaman lintas budaya karena masyarakat berada di tengah arus globalisasi yang memerlukan

pengetahuan mengenai budaya luar. Menyesal benar karena pengetahuan dan pengalaman saya mengenai praktek pendidikan di Brunei sangat kurang. Oleh karenanya, pembahasan di sini tidak konkrit dan tidak ada unsur perbandingan, sekedar pembahasan umum saja.

Yang dapat dikatakan di sini ialah bahwa pengajaran bahasa asing mengandung berbagai unsur lintas budaya. Biasanya sebuah buku pelajaran bahasa asing memberi

(10)

otouto (adik laki-laki) dan imouto (adik peempuan). Kita dapat melihat bagaimana bahasa

mencerminkan unsur budaya dalam contoh ini. Pendeknya, pengajaran bahasa asing akan memperluas wawasan siswa dan cukup berarti dalam peningkatan fahaman lintas budaya.

Sangat mungkin pengajaran bahasa asing berperan relatif lebih besar dalam pemahaman lintas budaya pada zaman sebelum Internet masuk ke kehidupan sehari-hari. Tidak bisa disangkal pembelajaran tata bahasa bahasa asing pun memberi informasi budaya, misalnya cara pikir. Misalnya, orang tidak akan mengetahui positif atau negatif suatu kalimat atau uraian dalam bahasa Jepun. Namun demikian pembelajaran tata bahasa tidak begitu banyak mengandung unsur lintas budaya yang nyata.

Sedangkan pembelajaran sastera yang ditulis dalam bahasa asing ataupun terjemahan mengandung banyak informasi dari segi lintas budaya. Misalnya, cara bergaul antara pemuda, hubungan dengan orang tua, adat-istiadat, cara pemikiran yang sudah kita lihat dalam novel Permainan Laut di atas. Terutama, karya sastera adalah suatu media yang dapat

menyampaikan perasaan manusia: rasa sakit hati, kepedihan ketika patah hati, atau rasa gembira dan bahagia, rasa terharu. Tidak hanya membawa fakta dalam wacana sastera. Novel Permainan Laut ini suatu contoh yang baik karena karya sastera ini merupakan bahan

pelajaran budaya Brunei secara dalam bagi orang yang mau belajar budaya Brunei.

Sedangkan bagi orang Brunei sendiri pun karya sastera ini akan sangat berarti. Novel ini akan meningkatkan pemahaman tentang budaya Jepun bersama pengetahuan sejarah dan pemikiran orang Jepun. Boleh dikatakan karya ini suatu media atau sarana yang sangat efektif untuk mengajarkan budaya Jepun sambil menikmati seni bercerita. Sebagaimana diuraikan di atas, adalah kemungkinan bahwa karya sastera semacam itu akan lebih banyak lagi diciptakan karena adanya sarana teknologi yang memberi lebih banyak informasi mengenai luar negeri dan peningkatan arus lintas orang dan pergaulan antara bangsa. Oleh karena itu, kalau karya-karya sastera semacam ini dijadikan bahan pelajaran di sekolah-sekolah di Brunei khususnya dan di Asia Tenggara pada umumnya, maka pemahaman lintas budaya dari para siswa dan mahasiswa akan meningkat secara efektif.

Guru-guru dapat mengajak diskusi antara mereka mengenai cara pemikiran, adat istiadat lain setelah mengapresiasi bersama karya-karya sastera yang memberi perbagai informasi budaya. Walaupun kertas kerja ini tidak membahas secara rinci, novel Indonesia Kidung Cinta Pohon Kurma yang bersetting di Sudan sangat baik demi pemahaman

(11)

Jepun lewat mulut tokoh perempuan Jepun bernama Sakura. Menarik juga tokoh utama Syahrul menerangkan perbedaan syariat antara Arab Saudi, Afganistan, Iran dan Sudan. Boleh dikatakan Kidung Cinta Pohon Kurma pun dapat dianggap salah satu karya sastera yang sangat efektif dalam peningkatan fahaman lintas budaya. Oleh karenanya, patut ditawarkan kepada masyarakat sebagai suatu bacaan yang baik.

Penutup

Akhirnya, sangat diharapkan agar karya-karya sastera yang mengandung unsur budaya asing dan nilai lain dimanfaatkan untuk meningkatkan pemahaman lintas budaya sebagaimana dilihat dalam pembacaan Permainan Laut dalam kertas kerja ini. Sebaiknya lebih banyak lagi karya sastera semacam itu dijadikan bahan pengajaran di berbagai sektor pendidikan. Sebagai contoh ialah praktek saya memakai karya-karya sastera dari Indonesia sebagai bahan pokok untuk memahami sejarah dan masyarakat Indonesia dalam kuliah budaya Indonesia di Universitas Nanzan di Nagoya, Jepun. Setiap mahasiswa harus memilih satu novel Indonesia dan membacanya secara intensif. Diharapkan untuk membaca buku aslinya, tetapi boleh juga membaca terjemahannya kalau kemampuan mahasiswa belum sampai pada level membaca aslinya. Mereka belajar perbedaan norma, nilai dan perasaan manusia dalam pembacaan novel pilihannya dibandingkan dengan hal-hal yang ada di Jepun. Pengetahuan tentang sejarah dan masyarakat Indonesia pun harus dipelajari oleh mahasiswa secara otomatis karena mereka tidak dapat memahami novel yang dipilihnya tanpa konteks. Rupanya, metode ini disukai mahasiswa dan diskusi antara mahasiswa di kelas pun cukup ramai dan menyenangkan.

(12)

References

Appadurai, Arjun, 1996. Modernity at large: cultural dimensions of globalization, Minneapolis: University of Minnesota Press.

Alim, Syaiful, 2010. Kidung Cinta Pohon Kurma, Jakarta: Kata Kita.

Burmat, Muslim, 2008. Permainan Laut, Bandar Seri Begawan: Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei.

Referensi

Dokumen terkait

dari keinginan untuk memperoleh jawaban terhadap penerapan hukum yang bersifat implikatif dalam artian penerapan yang menimbulkan efek atau tidak. Kemudian apakah pengaturannya

g) Keputusan Presiden RI tentang pengangkatan menjadi Perwira (Untuk proses penetapan gaji/inpassing). DIREKTORAT AJUDAN JENDERAL ANGKATAN DARAT SUBDITBINMINPERSPRA.. a)

,dalam manual mutu ini berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 75 tahun 2014, tentang Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) sehingga

Upaya bioremediasi lahan basah yang tercemar oleh limbah industri (polutan organik, sedimen  pH tinggi atau rendah pada jalur aliran maupun kolam pengendapan) juga dapat

Dari 176 spesimen yang memenuhi kriteria inklusi, 55 spesimen diekslusi antara lain karena hasil MAC ELISA CSS pada fase akut negatif tetapi positif pada

Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah data rekapitulasi pasien keluar rawat inap bangsal kelas III di RSUD Kota Semarang pada tahun 2010 sampai dengan tahun 2012

Abstrak: KKN (Kuliah Kerja Nyata )Mandiri merupakan salah satu mata kuliah wajib bagi mahasiswa Universitas Muhammadiyah Kotabumi untuk mengabdikan diri kepada

Sumber Elvinaro 2010:115.. Komunitas merupakan istilah yang biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari pada berbagai kalangan. Dalam memaknakan komunitas pun berbagai