KARYA TULIS ILMIAH
“
PANDANGAN ISLAM TERHADAP PLURALISME AGAMA
”
Disusun Oleh :
ISRA SAIFUDIN SALAN
(160301004)
Kelas/Semester : PAI A/ III
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI AMBON
BAB I
PENDAHULUAN
Dewasa ini pluralisme agama merupakan gagasan yang sedang aktual diperbincangkan di kalangan umat, dan merupakan istilah yang masih baru. Namun gagasan baru inilah yang banyak menimbulkan persoalan pro dan kontra dari berbagai pihak, karena perbedaan pemahaman dalam menafsirkan pluralisme itu sendiri. Fenomena yang terjadi di kalangan umat ini akan terus berlanjut sampai akhir kehidupan manusia.
Sehingga untuk menyikapi persoalan pluralisme agama yang begitu maraknya, kita
sebagai umat Islam harus merujuk kembali pada Al-Qur‟an dan As-Sunnah sebagai pedoman
hidup, agar kita dapat memahami bagaimana ajaran islam terhadap pluralisme agama. Karena sejarah mencatat bahwa Muhammad SAW diutus oleh Allah sebagai Nabi dan Rasul yang terakhir dengan membawa risalah islamiyah, dengan misi universal yakni menjadi rahmat bagi seluruh alam sebagaimana tertuang dalam firman Allah dalam Q.S. Al-Anbiya: 107 “Dan kami tidak mengutus engkau (muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
seluruh alam”.
Dengan mengkaji kembali dalam Al-Qur‟an Dan As-Sunnah, kita dapat mengetahui bagaimana ajaran Islam terhadap pluralisme agama?, apakah Islam menerima pluralisme agama? atau sebaliknya Islam melarang bahkan mengharamkan umatnya dalam menerima pluralisme. Semoga tulisan ini menjadi rujukan bagi siapa saja yang ingin mengetahui keberadaan pluralisme dalam ajaran Islam serta dapat menyelasaikan permasalan yang beeredar dikalangan umat beragama.
Terakhir, penulis hanya menginginkan kritik dan saran yang membangun dari siapa saja yang membaca tulisan ini, agar saya dapat merubah kembali di kemudian hari. saya selaku penulis memohon maaf sebesar-besarnya jika terdapat kesalahan dalam penulisan ayat suci Al-Qur‟an atau dalam menafsirkanya. Semoga Allah SWT memberikan jalan terbaik untuk kita, dan menempatkan kita bersama orang-orang beriman lainnya Amin Ya Rabbal „Alamin.
Penulis
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pluralisme
Secara etimologis, pluralisme menurut Martin H. Manser dalam Oxford Learner Pocket Dictionary (1995:318) adalah pemahaman mengenai lebih dari satu atau banyak (for refering to more then one).
Sedangkan secara terminologis, masih menurut Martin, pluralisme adalah paham
kemajemukan atau paham yang berorientasi kepada kemajemukan yang memiliki berbagai
penerapan berbeda dalam berbagai falsafah agama, moral, hukum, dan politik, di mana batas
kolektifnya adalah pengakuan atas kemajemukan di depan ketunggalan.
Sementara itu, menurut Nurcholish Madjid (2000:109) pluralisme tidak dapat
dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita plural, beraneka ragam, terdiri
atas berbagai suku, etnis, ras, golongan, dan agama yang justru hanya menggambarkan kesan
fragmentasi (perbedaan). Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekadar kebaikan negatif
(negative good), yang hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme. Pluralisme harus dipahamai sebagai pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban
(genuine engagment of diversities within the bonds of civility).
Nur Achmad (2001) dalam buku Pluralitas Agama dalam Keragaman menyatakan
bahwa suatu paham atau doktrin metafisika yang memandang bahwa perbedaan itu
meerupakan suatu ketentuan tuhan dan bahwa seluruh eksistensi secara umum bisa
menunjukkan pada jalan keselamtan.
Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pluralisme agama adalah
kondisi hidup bersama-sama antar agama yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan
tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik (ajaran agama masing-masing). Sedangkan Pluralitas
sendiri adalah realitas terhadap keanekaragaman yang ada.1
Pandangan pluralisme tersebut secara filosofis teoritis dapat dijumpai dalam kajan
Ilmu Perbandingan Agama. Dalam hubungan ini Schuon misalnya mengatakan bahwa dalam
kenyataannya tidak ada bukti-bukti yang mendukung pernyataan bahwa kebenaran unik dan
khusus hanya dimiliki agama tenrtentu saja.
1
Dalam pada itu Huston Smith menyatakan bahwa pernyataan keselamatan merupakan
monopoli dari salah satu agama saja sebenarnya sama saja dengan menyatakan bahwa Tuhan
hanya ditemukan dalam ruangan ini saja dan tidak ada diruangan sebelah atau hanya dalam
busana ini saja, dan tidak ada dalam busana lain.
Perbagai pemikiran tersebut merupakan dasar yang dapat digunakan untuk
membangun paham Islam pluralisme. Namun demikian Alwi Shihab mengatajkan bahwa
keberagaman yang pluralisme harus dibedakan (tidak sama) dengan kosmonopolitanisme,
relativisme, dan sinkretisme.
Kosmopolitanisme menunjuk kepada suatu realita di mana aneka ragam agama, ras
dan suku bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Ambil bisa kota New York. Kota ini
adalah kota Kosmonopolitan. Di kota ini terdapat orang Yahudi, Nasrani, Muslim, Hindu,
Budha, bahkan orang-orang yang tanpa agama sekalipun. Seakan seluruh penduduk dunia
berada di kota ini. Namun interaksi positif antar penduduk ini, khususnya di bidang agama
sangat minimal, kalaupun ada.
Sementara itu, relativisme adalah pandangan bahwa hal-hal yang menyangkut “kebenaran” atau “nilai” ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang atau masyarakatnya. Sebagaimana akibatnya maka doktrin agama apa pun harus dinyatakan benar. Tegasnya “semua agama adalah sama”, karena kebenaran agama-agama walaupun berbeda-beda dan bertentangan satu dengan yang lainnya, tetapi harus diterima. Oleh sebab
itu konsep atau paham ini tidak mengenal kebenaran absolut atau kebenaran abadi.
Selanjutnya pluralisme bukan pula sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru
dengan memadukan unsur-unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa
agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut.
Dengan pandangan keberagaman yang pluralisme, maka akan terjadi dialog antara
agama-agama. Baik muslim maupun agama lainnya berkewajiban menegakkan agama
masing-masing. Melibatkan diri dengan keyakinan orang lain berarti memahami dan
mempelajari keyakinan ini. Hal ini pada gilirannya akan membuka dialog antara umat
beragama. Dialog ini tidak lebih dari sebuah pendidikan dalam pengertian yang paling luas
dan paling mulia. Jika kita bukan seorang yang fanatik, maka konsekuensi dialog tersebut
tidak lain akan memperkaya bagi setiap pelakunya. 2
2
B. Sejarah Pluralisme Agama
Mengenai sejarah munculnya Pluralisme Agama, Dr. Anis Malik Toha punya
pendapat sendiri. Beliau mengatakan bahwa Pada awal abad ke-20 ada seorang teolog Kristen
Jerman Ernst Troeltsch. Ernst menyatakan bahwa umat kristiani tidak boleh mengklaim
bahwa mereka benar sendiri. Sehingga perlunya sikap pluralis ditengah-tengah merebaknya
konflik antar aliran-aliran dalam agama Kristen ataupun agama lainnya. Pendapat ini juga
diamini oleh sejumlah pemikir teolog lainnya.3
Menurut versi lainnya, pluralisme agama berawal dari agama kristen yang dimulai
setelah Konsili Vatikan II pada permulaan tahun 60-an yanng mendeklarasikan “keselamatan
umum” bahkan untuk agama-agama diluar kristen. Gagasan pluralisme agama ini sebenarnya merupakan upaya-upaya peletakan landasan teologis kristen untuk berinteraksi dan
bertoleransi dengan agama-agama lain. Namun ada juga yang menyebutkan bahwa
pluralisme agama berasal dari India. Misalnya Rammohan Ray (1773-1833) pencetus
gerakan Brahma Samaj, ia mencetuskan pemikiran Tuhan satu dan persamaan antar agama
(ajaran ini penggabungan antara Hindu-Islam). Serta masih banyak lagi pencetus pluralisme
dari India, pada intinya teori pluralisme di India didasari pada penggabungan ajaran
agama-agama yang berbeda.
Sedangkan dalam dunia Islam sendiri pemikiran pluralisme agama muncul setalah
perang dunia kedua. Diantara pencetus pemikiran pluralisme agama dalam Islam yaitu Rene
Guenon (Abdul Wahid Yahya) dan Frithjof Schuon (Isa Nuruddin Ahmad). Karya-karya
mereka ini sarat dengan pemikiran dan gagasan yang menjadi inspirasi dasar bagi tumbuh
kembangnya wacana pluralisme agama.selain kedua orang tersebut juga ada Seyyed Hossein Nasr, seorang tokoh muslim Syi‟ah moderat, merupakan tokoh yang bisa dianggap paling bertanggung jawab dalam mempopulerkan pluralisme agama di kalangan Islam tradisional.
Pemikiran-pemikiran Nasr tentang plurlaisme agama tertuang pada tesisnya yang membahas
tentang sophia perennis atauperennial wisdom (al-hikmat al-kholidah atau kebenaran abadi) yaitu sebuah wacana menghidupkan kembali kesatuan metefisika yang tersembunyi
dalam tiap ajaran-ajaran agama semenjak Nabi Adam as. hingga sekarang.4
3
https://www.academia.edu/11067389/Sejarah_dan_Ideologi_Pluralisme
4
C. Pandangan Islam Terhadap Pluralisme Agama
Mengenai pandangan Islam terhadap pluralisme agama, Nurcholish Madjid
meberikan pendapatnya dalam buku Al-Qur‟an dan kerukunan Hidup Umat Beragama, Cak
Nur menjelaskan bahwa Islam merupakan agama terbuka (open religion), di mana ia menolak
eksklusivisme dan absolutisme, serta memberikan apresiasi yang tinggi terhadap pluralisme. Ia mengatakan:
“Islam adalah agama terbuka, dan umat islam harus menjadi golongan yang terbuka.
Umat Islam harus tampil dengan penuh percaya pada diri sendiri, bijaksana, dan arif serta menyadari fungsinya sebagai saksi dan juru atas manusia. Mereka adalah pemimpin karena itu harus bersikap sebagai pemimpin, mereka adalah pamong karena itu harus bertindak ngemong. Mereka itu golongan yang paling unggul karena itu harus mencerminkan keunggulan itu dalamsikap-sikap yang dewasa dan penuh semangat leadership, tidak egois tapi altruis. Jadi, kemenangan Islam itu akhirnya akan berarti kemenangan semua orang, kemenangan perikemanusiaan berasaskan ketuhanan dan takwa. Kemenangan Islam tidak boleh mewujudkan diri dalam bentuk mengancam golongan lain. Jadi, kemenangan itu juga
kemenangan semua golongan yang bukan Islam.” (Nurcholish Madjid, 2000:231)5
Dari uraian tersebut, tampak dengan jelas bahwa Cak Nur memiliki perhatian yang tinggi terhadap pluralisme agama. Ia juga berharap agar umat Islam bersikap yang sama dengan pluralisme tersebut. Oleh karena itu, yang terpenting adalah bagaimana umat Islam mampu mengembangkan dimensi pulralitas sehingga menerima pluralisme, yakni sistem nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri. Bahkan Cak Nur menganggap pluralisme adalah suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme perawatan, pengawasan, dan pengimbangan yang dihasilkannya (Budhy Munawar Rachman, 2004:39)
Dalam Al-Qur‟an Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah/2: 251
ل ۡضف ۡذ هّ نکـهل ض ۡر َۡا تدسفل ض ۡعبب ۡ ض ۡعب سانلا هّ ع ۡفد َ ۡل
ن ۡيم هعۡلا ى ع
“Dan kalau Allah tidak melindungi sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan-Nya) atas seluruh alam.
Ayat di atas menerangkan bahwa Allah SWT., menciptakan manusia dengan beragam
bentuk golongan dengan tujuan untuk memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan yang melimpah kepada umat manusia. Dengan demikian, perbedaan atau pluralisme merupakan salah satu sunatullah yang keberadaanya tidak mungkin ditolak oleh siapapun.
5
Mengenai perbedaan di antara manusia ini, Allah SWT., berfirman :
نإ ۚ ا فراعتل لئابق اب عش كان عج هىثنأ ركذ نم كانق خ انإ سانلا ا يأ اي
دنع كمركأ
ريبخ ي ع ّ نإ ۚ كاقتأ ّ
“Wahai manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa -bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sis Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat/49: 13)
Menurut tafsir ibnu katsir ayat di atas menjelaskan bahwasannya, Allah SWT., menceritakan kepada manusia bahwa Dia telah menciptakan mereka dari diri yang satu dan darinya Allah menciptakan istrinya, Adam dan Hawa, kemudian Dia menjadikan mereka berbangsa-bangsa. Pada garis besarnya semua manusia bila ditinjau dari unsur kejadiannya – yaitu tanah liat- sampai dengan Adam dan Hawa as. Sama saja. Sesungguhnya perbedaan keutamaan di antara mereka karena perkara agama, yaitu ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya.6
Ayat tersebut menunjukan bahwa pluralisme merupakan perwujudan dari kehendak Allah SWT., hanya saja perbedaan itu dalam kerangka yang lebih baik. Islam mengajarkan persamaan di antara sesama manusia. Islam juga sangat mengutuk perlakuan diskriminatif di antara sesama manusia dan mereka yang merasa dirinya lebih tinggi dibanding orang lain sehingga merendahkan martabat orang lain. Perbedaan warna kulit, bahasa, budaya, jenis kelamin, dan lain sebagainya bukan merupakan alasan manusia yang satu memiliki derajat yang lebih tinggi di antara yang lainnya. Pada kenyataannya yang membedakan manusia di
hadapan Tuhan adalah ketakwaannya.7
D. Pengakuan Al-Qur‟an terahadap Pluralisme Agama
Kedatangan Al-Qur‟an di tengah-tengah pluralitas agama tidak serta merta
mendiskriditkan agama-agama yang berkembang saat itu, tapi Al-Qur‟an yang sangat aspiratif, akomodatif, mengakui dan membenarkan agama-agama yang datang sebelum Al-Qur‟an diturunkan. Bahkan lebih jauh dari itu Al-Qur‟an juga mengakui akan keutamaan umat-umat terdahulu sebagaimana firman Allah SWT., :
ْ عْ ا ع ْم ْ َ ف ْ ِ أ ْم ْ ع ْ عْ أ ْ َ ا ْع اْ كْ ا ْ ئا ْسإ ْ ب
“Wahai Bani Israil! Ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku berikan kepadamu, dan Aku telah Melebihkan kamu dari semua umat yang lain di alam ini (pada masa itu). (QS. Al-Baqarah/2: 47)
6
Syekh Imam Al-Hafiz, Imaduddin Abul Fida Ismail ibnul Khatib Abu Hafs Umar ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir.
7
Dalam ayat ini, tergambar suatu sikap pengakuan Al-Qur‟an akan keunggulan dan keutamaan umat-umat terdahulu sebelum umat Islam. Al-Qur‟an sebagai sumber normatif bagi satu teologi pluralisme. Bagi kaum muslimin, tidak teks lain yang mempunyai posisi otoritas mutlak dan tak terbantahkan selain Al-Qur‟an. Maka, Al-Qur‟an merupakan kunci
untuk menemukan dan memahami konsep pluralisme agama dalam Al-Qur‟an8
Dalam surah lainnya, Allah SWT., berfirman: menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan diturunkan-Nya bersama mereka kitab yang mengandung kebenaran, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Dan yang berselisih hanyalah orang-orang yang telah diberi (kitab), setelah bukti-bukti yang nyata sampai kepada mereka, karena kedengkian di antara mereka sendiri. Maka dengan Kehendak-Nya, Allah memberi petunjuk kepada mereka yang beriman tentang kebenaran yang mereka perselisihkan. Allah Memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus.(QS. Al-Baqarah/2: 213)
Dalam pemahaman ayat tersebut muncul tiga fakta, khususnya yang berkaitan dengan pluralisme agama, yaitu pertama, kesatuan umat manusia di bawah satu Tuhan (Ketuhanan
Yang Maha Esa), kedua, kekhususan agama-agama yang dibawa oleh para nabi; dan ketiga,
peran wahyu dalam mendamaikan perselisihan dan perbedaan di antara berbagai umat beragama.
Ketiganya merupakan konsep fundamental Al-Qur‟an tentang pluralisme, khususnya
pluralisme agama. Pada satu sisi, konsepsi tersebut tidak mengingkari kekhususan berbagai agama dan kontradiksi-kontradiksi yang mungkin ada di dalamnya. Sedangkan di sisi lain, konsepsi tersebut menekankan kebutuhan untuk mengakui kesatuan manusia dalam
penciptaan dan kebutuhan pemahaman yang lebih baik antar umat beragama.9
8
Penyunting: P. Dr. Bertolomeus Bolong, OCD., Pdt. Dr. Fredrik Y. A. Doeka, Mencintai Perbedaan Renungan Lintas Iman Pluralisme dan Kerukunan, (Kupang: Bunet Pinggupir, 2013), hlm: 78
99
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
pluralisme agama adalah kondisi hidup bersama-sama antar agama yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik (ajaran agama masing-masing). Sedangkan Pluralitas sendiri adalah realitas terhadap keanekaragaman yang ada.
sejarah munculnya Pluralisme Agama, Dr. Anis Malik Toha punya pendapat sendiri. Beliau mengatakan bahwa Pada awal abad ke-20 ada seorang teolog Kristen Jerman Ernst Troeltsch. Ernst menyatakan bahwa umat kristiani tidak boleh mengklaim bahwa mereka benar sendiri. Sehingga perlunya sikap pluralis ditengah-tengah merebaknya konflik antar aliran-aliran dalam agama Kristen ataupun agama lainnya. Pendapat ini juga diamini oleh sejumlah pemikir teolog lainnya.
Islam adalah agama terbuka, dan umat islam harus menjadi golongan yang terbuka. Jadi, pada dasarnya Islam menerima perbedaan antara umat beragama atau yang dimaksud yakni pluralisme agama. Dan pluralisme juga merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan yang melimpah kepada umat manusia. Dengan demikian, perbedaan atau pluralisme merupakan salah satu sunatullah yang keberadaanya tidak mungkin ditolak oleh siapapun.
Pada dasarnya Al-Qur‟an yang sangat aspiratif, akomodatif, mengakui dan
membenarkan agama-agama yang datang sebelum Al-Qur‟an diturunkan. Bahkan lebih jauh
dari itu Al-Qur‟an juga mengakui akan keutamaan umat-umat terdahulu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, cet. Ke-2. 2001.
2. Amirulloh Syarbini, dkk. Al-Qur’an & Kerukunan Hidup Umat Beragama,
Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2011.
3. Bertolomeus Bolong & Fredrik Y. A. Doeka, Mencintai Perbedaan Renungan
Lintas Iman Pluralisme dan Kerukunan, Kupang: Bonet Pinggupir, 2013
4. Syekh Imam Al-Hafiz, Imaduddin Abul Fida Ismail ibnul Khatib Abu Hafs Umar
ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir.