• Tidak ada hasil yang ditemukan

RELASI HUKUM DAN KEDAULATAN EKONOMI STUD

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "RELASI HUKUM DAN KEDAULATAN EKONOMI STUD"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

RELASI HUKUM DAN KEDAULATAN EKONOMI

(STUDI NASIONALISASI PERUSAHAAN MODAL ASING YANG DIATUR PADA UU NO. 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL)

Oleh: Yazwardi

Abstrak: Kehadiran investasi asing di Indonesia sebagai akibat liberalisasi ekonomi, pada dasarnya adalah pisau bermata dua. Mereka dapat menjadi pendorong tumbuhnya sektor-sektor ekonomi tertentu tetapi sekaligus dapat meminggirkan pengusaha lokal. Pengalaman banyak negara menunjukan, terpinggirnya pengusaha lokal bukan disebabkan kehadiran investor asing. Kebijakan pemerintah yang serikali kali menghambat atau paling tidak mempersempit peluang wirausaha lokal untuk mendapatkan akses ke pasar. Akibatnya kecurigaan terhadap investor asing menjadi meningkat. Investor asing dengan kekuatan modal dan keahliannya dapat lebih mudah mengatasi distorsi yang diciptakan pemerintah sehingga terlihat sebagai monster yang memangsa pengusaha lokal. Apabila pemerintah dapat mempermudah akses ke dunia usaha maka diharapkan kehadiran asing dapat dimaksimalkan manfaatnya. Kemungkinan dapat dilakukannya nasionalisasi Perusahaan Modal Asing di Indonesia yang diatur di dalam Undang-Undang boleh jadi sebagai jalan keluar dari persoalan liberalisasi; kedaulatan ekonomi yang hakikatnya untuk kesejahteraan sosial dapat dibangun dan investor asing juga tidak merasa dirugikan. Walaupun terbawa arus liberalisasi, sesungguhnya di sinilah kedaulatan ekonomi Indonesia dimulai.

Kata kunci: perusahaan modal asing, nasionalisasi, kesejahteraan sosial, kedaulatan ekonomi

A. Pendahuluan

Setiap hukum dan peraturan perundangan yang ditetapkan haruslah memenuhi kriteria dan karakter yang ditawarkan ilmu hukum. Dari berbagai teori, hukum dan peraturan yang ditetapkan haruslah memiliki tujuan yang sejalan dengan tujuan universal hukum, yaitu: ketertiban, ketenteraman, kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam tata kehidupan bermasyarakat. Dalam perkembangannya pada masyarakat, fungsi hukum berkembang menjadi alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat, sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin, dan sebagai sarana penggerak pembangunan, dan sebagai fungsi kritis.1

(2)

Di Indonesia, tujuan ditetapkannya setiap produk hukum dan perundangan haruslah sejalan dengan tujuan dan nilai-nilai falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu Pancasila dan UUD NRI 1945. Misalnya, Pada Bab XIV Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial pasal 33 UUD NRI 1945 disebutkan bahwa: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.2

Pemanfaatan sumber daya yang terbatas menyebabkan perlunya suatu perangkat hukum yang dapat mengatur agar semua pihak yang berkepentingan mendapat perlakuan yang adil dan agar tidak terjadi perselisihan di antara pelaku ekonomi. Fungsi hukum salah satunya adalah mengatur kehidupan manusia bermasyarakat di dalam berbagai aspek. Manusia melakukan kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhannya. Manusia tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, oleh karena itu manusia melakukan interaksi dengan manusia lainnya. Interaksi ini sering kali tidak berjalan dengan baik karena adanya benturan kepentingan di antara manusia yang berinteraksi. Agar tidak terjadi perselisihan maka harus ada kesepakatan bersama diantara mereka. Kegiatan ekonomi sebagai salah satu kegiatan sosial manusia juga perlu diatur dengan hukum agar sumber daya ekonomi, pemanfaatan dan kegiatannya dapat berjalan dengan baik dengan mempertimbangkan sisi keadilan bagi para pelaku ekonomi. Hukum atau peraturan perekonomian yang berlaku disetiap kelompok sosial atau suatu bangsa berbeda-beda tergantung kesepakatan yang berlaku pada kelompok sosial atau bangsa tersebut.

2 UUD NRI pasca amandemen, lihat:

(3)

Kegiatan ekonomi manusia sebagai salah satu kegiatan sosial manusia juga perlu diatur dengan hukum agar sumber daya ekonomi, pemanfaatan dan kegiatannya dapat berjalan dengan baik dengan mempertimbangkan sisi keadilan bagi para pelaku ekonomi. Hukum atau peraturan perekonomian yang berlaku di setiap kelompok sosial atau suatu bangsa berbeda-beda tergantung kesepakatan yang berlaku pada kelompok sosial atau bangsa tersebut. Sehingga aspek hukum harus dibuat berdasarkan tingkat kepentingan yang muncul pada suatu masyarakat di suatu wilayah, untuk itulah perlu dibuat aspek hukum yang sejalan dengan kebijakan otonomi daerah dalam kerangka pemerataan kesejahteraan nasional.

Tujuan suatu bangsa salah satunya adalah mensejahterakan rakyatnya. Seperti tujuan Negara Indonesia yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berlandaskan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam tujuan negara tersebut disebutkan memajukan kesejahteraan umum. Jadi perekonomian nasional ini ditujukan bagi kemajuan dan kesejahteraan umum.

Jika tidak demikian, maka akan melahirkan ketidakadilan yang sangat rentan terjadinya perlawanan dan kekacauan. Ketidakadilan ekonomi merupakan problem umiversal yang dihadapi oleh semua sistem kontemporer. Dalam hampir semua bagian dunia, dan dalam seluruh wilayah sejarah, sistem-sistem ekonomi yang dilandaskan pada ketamakan telah mengalami kebuntuan dalam melahirkan keadilan. Sistem-sistem semacam itu biasanya berakar pada ekstrem-ekstrem ideologis yang kurang berhasil mengantarkan kondisi ekonomi yang lebih baik bagi seluruh partisipan. Pada skala global, banyak orang menolak Kapitalisme tanpa regulasi dan Sosialisme ekstrem, serta Neoliberalisme yang telah berjasa melahirkan kemiskinan dan pemiskinan struktural dalam jumlah masif.

(4)

secara serampangan, pendapatan tidak didistribusikan secara merata, sebab ketidakmerataan dalam pewarisan kekayaan berkaitan dengan akses yang tidak adil terhadap fasilitas kredit dan pendidikan, perbedaan bakat, stamina fisik, latar belakang keluarga, dan ambisi pribadi. Ketidakmerataan memungkinkan kelompok berpendapatan tinggi memperoleh bagian pendapatan yang jauh lebih besar dibandingkan kuantitas mereka. Dengan cara ini konfigurasi barang-barang dan jasa yang diproduksi oleh sistem pasar tidak selaras dengan keinginan mayoritas konsumen. Kesenjangan pendapatan yang besar diterima sebagai wajar dan tak terhindarkan. Ini merupakan ketidakadilan yang nyata, namun dirasionalisasi dengan argumen bahwa seseorang yang memikirkan diri sendiri yang telah melahirkan situasi ini merupakan "kekuatan sosial yang perlu dan bermanfaat".3

Sementara itu, Sosialisme dan Marxisme sebagai antitesis dari Kapitalisme juga tak dapat diandalkan. Ideologi ini bahkan mengalami kemunduran lebih cepat dari yang diprediksikan. Ini disebabkan kelemahan-kelemahan utama yang inheren di dalamnya. Pertama, ideologi ini mengimplikasikan ketidakpercayaan pada kemampuan manusia untuk mengelola kepemilikan pribadi dalam batasan-batasan kesejahteraan sosial. Kedua, mesin kekuasaan negara dijalankan oleh sekelompok orang yang kepentingannya selaras dengan kepentingan seluruh masyarakat. Dalam praktik yang terjadi sebaliknya, sekelompok orang yang mengendalikan kekuasaan negara memanfaatkan kekayaan dan pendapatan negara untuk kepentingan mereka sendiri. Ketiga, subsidi umum yang besar hanya menguntungkan si kaya dan orang-orang istimewa dibanding si miskin yang daya belinya terbatas.4

Tujuan utama Sosialisme adalah menegakkan keadilan, namun pada praktiknya Sosialisme hanya mengurangi sedikit ketidakmerataan atau menimbulkan ketidakadilan yang lain. Kaum buruh yang tidak mempunyai hak milik tetap menjadi buruh tanpa hak milik, mereka bekerja pada majikan yang lebih bekuasa. Mereka juga tidak mempunyai hak untuk memilih, semua tergantung pada pimpinan. Perjuangan akan hak-hak buruh akan berujung pada penjara atau kematian. Dengan demikian, negara Sosialis jauh lebih mematikan daripada Kapitalisme. Alienasi para pekerja dari sarana-sarana produksi

3 George Soule, Ideas of the Great Economists (New York: Mentor, 1952), hlm. 53; George Dalton, Economic System and Society (Kingsport, Tenn: Kingsport Press, 1974), p. 77.

(5)

masih tetap, karena pusat kendali dipisahkan dari pekerja. Praktik semacam ini bertentangan dengan ajaran Marx sendiri tentang bagaimana alienasi terjadi: yakni ketika pekerjaan terpisah dari pekerjanya dalam arti pekerjaan bukan milik si pekerja sehingga dalam pekerjaannya ia tidak mengafirmasi dirinya sendiri bahkan menolak dirinya sendiri; dan pekerja terasing dari pekerjaannya muncul ketika pekerjaan itu bukan miliknya namun milik orang lain.5 Dengan cara demikian, kemungkinan eksploitasi

sebagaimana terdapat dalam Kapitalisme, yang menjadi sasaran kritik oleh Sosialisme itu sendiri, masih hidup.

Sistem keadilan Negara Sejahtera6 merupakan langkah maju dari Kapitalisme.

Tujuan sistem ini adalah melunakkan ekses Kapitalisme yang berlebihan dan dengan cara ini dapat mengurangi daya tarik Sosialisme. Sistem ini cukup menarik semua lapisan masyarakat, baik pekerja maupun kapitalis. Dari segi filosofinya, Negara Sejahtera meyakini bahwa kesejahteraan individu merupakan tujuan yang sangat penting yang tidak mungkin tergantung hanya pada operasi kekuatan-kekuatan pasar; kemiskinan dan ketidakmampuan seseorang tidak mesti merupakan bukti dari kegagalannya. Karena itu, sistem ini mengakui full employment (sebagaimana juga dipercaya Kapitalisme) dan distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil sebagai bagian dari tujuan pokok kebijakan negara. Meski sistem ini menerapkan strateginya melalui enam perangkat negara – regulasi, nasionalisasi industri pokok, gerakan buruh, kebijakan fiskal, pertumbuhan yang tinggi dan full employment— subsidi umum telah melahirkan kepincangan yang tidak adil antara si kaya dan si miskin.

Setelah krisis Kapitalisme selama 25 tahun terakhir dan semakin berkurangnya tingkat profit yang berakibat jatuhnya akumulasi kapital, meneguhkan tekad korporasi besar untuk kembali ke sistem liberalisme. Melalui corporate globalization mereka merebut kembali ekonomi dan berhasil mengembalikan paham Liberalisme, bahkan dalam skala global. Inilah yang disebut sebagai paham Neoliberalisme. Sejak 1970-an Keynesianisme yang menjadi fondasi Welfare State telah masuk dalam catatan kaki

5 Lihat pembahasan tentang alienasi ini dalam Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1884 (Moscow: Foreign Language Publishing House, 1961), p. 67-83.

(6)

sejarah. Panggung kini menjadi milik dua bapak ekonom Neoliberalisme Friederich August von Hayek7 dan Milton Friedman.8 Mulai dekade 1980-an, aliran kanan baru yang

diwakili oleh Margaret Thatcher dan Ronald Reagan memperjuangkan pasar bebas dan menolak dengan tegas paham negara intervensionis. Satu dekade kemudian, tepatnya pada 1990-an, Kapitalisme Neoliberal pasar bebas dari dua tokoh tersebut telah menjadi ideologi dunia yang dominan.

Keyakinan-keyakinan Neoliberalisme menggarisbawahi bahwa: pasar harus bekerja secara bebas tanpa campur tangan negara, menekan pengeluaran upah dan melenyapkan hak-hak buruh, menghilangkan kontrol atas harga; mengurangi pemborosan anggaran negara dengan memangkas semua subsidi untuk pelayanan sosial seperti pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial, dan pada saat yang sama subsidi besar-besaran diberikan kepada perusahaan transnasional (TNCs) melalui tax holidays; memercayai deregulasi ekonomi; privatisasi adalah jalan menuju persaingan bebas yang dibungkus dengan efisiensi dan mengurangi korupsi, meski kenyataannya terjadi konsentrasi kapital di tangan sedikit orang dan memaksa rakyat kecil membayar lebih mahal kebutuhan dasar mereka; dan mempetieskan paham tentang public goods dan solidaritas sosial dan menggantinya dengan tanggung jawab individual.9

Gambaran di muka menyatakan bahwa kekuatan-kekuatan yang bermain di bawah sistem Kapitalisme, Sosialisme, Negara Sejahtera, dan Neoliberalisme masih menyisakan sejumlah masalah dalam hubungannya dengan keadilan ekonomi – baik dalam soal produksi, konsumsi, dan distribusi – dan ini perlu diatasi secara langsung dan menangani sumber masalahnya bukan hanya dari gejala lahiriah. Perlu ada reformasi struktur sosio-ekonomi dan nilai-nilai keadilan yang membimbingnya.

Pasal 33 UUD 1945 ayat 2 menyebutkan bahwa negara menguasai cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dan juga bumi, air dan

7 Pengaruh besar Hayek terutama pada pendasaran filosofis ekonomi pasar bebas, ia juga menentang keras kolektivisme dan fascisme yang melanda sebagian Eropa saat itu. Lihat B. Herry Priyono,”Dalam Pusaran Neoliberalisme”, dalam I. Wibowo dan Francis Wahono, ed. Neoliberalisme (Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003), p 52-53.

8 Ia dikenal sebagai penentang gagasan John M. Keynes tentang campur tangan negara atau pemerintah dalam kehidupan ekonomi, yang biasanya dilakukan lewat stabilisasi untuk mengontrol inflasi dan pengangguran, dengan kebijakan investasi untuk mengangkat belanja masyarakat.

(7)

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. BUMN (Badan Usaha Milik Negara) adalah salah satu dari pelaksanaan pasal tersebut di mana terdapat PT. Pertamina, PT. Aneka Tambang, PT Pertani, PT Pupuk Kaltim, PT Pertani dan lain-lain. Dalam era privatisasi yang pada mulanya dilakukan untuk efisiensi dan terbukanya modal asing yang masuk ke Indonesia perlu diwaspadai agar jangan sampai cabang- cabang produksi yang penting dan kekayaan alam yang ada di Indonesia menjadi milik asing dan hanya memperoleh sedikit keuntungan atau royalti dan jangan sampai Indonesia hanya sebagai penonton di negeri sendiri. Peranan hukum disini adalah untuk melindungi kepentingan negara perlu dibuat agar dapat terwujud bangsa yang sejahtera dan menjadi tuan di negeri sendiri.

Hukum Ekonomi Indonesia juga harus mampu memegang amanat UUD NRI 1945 (amandemen) pasal 27 ayat (2) yang berisi : “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Negara juga memiliki kewajiban untuk mensejahteraan rakyatnya, sehingga perekonomian harus dapat mensejahterakan seluruh rakyat, sementara fakir miskin dan anak yang terlantar juga perlu dipelihara oleh Negara. Negara perlu membuat iklim yang kondusif bagi usaha dan bagi masyarakat yang tidak mampu dapat diberdayakan. Sementara yang memang tidak dapat berdaya seperti orang sakit, cacat perlu diberi jaminan sosial (Pasal 34 UUD NRI 1945). Tugas negara ini dalam kondisi sekarang tidaklah mudah dimana kemampuan keuangan pemerintah sendiri juga terbatas. Konsep perekonomian yang baik perlu dilaksanakan.

Indonesia merupakan bagian dari masyarakat global sehingga Indonesia pun tidak terlepas dari hukum internasional termasuk yang menyangkut ekonomi. Tetapi walaupun demikian, kita juga harus bersikap kritis dan memperjuangkan hak bagi kesejahteraan Negara kita, karena tidak semua kebijakan ekonomi tersebut dapat diterapkan dan kalaupun diterapkan harus ada penyesuaian dengan hukum yang berlaku di Indonesia.

B. Perspektif Nasionalisasi Perusahaan Modal Asing

(8)

demi ketenangan untuk berusaha, dan di lain pihak negara penerima modal dengan dalih adanya kesenjangan ekonomi,dan alasan politis lainnya dapat melakukan tindakan nasionalisasi terhadap perusahaan asing di negaranya. Hal ini menjadikan problematika di seputar kegiatan investasi di suatu negara berkembang termasuk Indoneisa, mengapa perlu diadakan tindakan nasionalisasi terhadap perusahaan asing, dan apakah perbuatan itu tidak menghambat arus investasi ke negara penerima modal asing. Nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia pertama kali dimulai pada saat perjuangan mengembalikan Irian Barat pada tahun 1958. Nasionalisasi kedua pada tahun 1962, pada waktu Indonesia berkonfrontasi dengan Malaysia.

Istilah nasionalisasi paling tidak mencakup tiga pengertian “Konfiskasi”; “Onteigening” dan “Pencabutan Hak”. L. Erades memberikan arti nasionalisasi, yakni suatu peraturan dengan mana pihak penguasa memaksakan semua atau segolongan tertentu untuk menerima (dwingt te godegen), bahwa hak-hak mereka atas semua atau beberapa macam benda tertentu beralih kepada negara10. Dengan demikian nasionalisasi

adalah suatu cara peralihan hak dari pihak partekelir kepada negara secara paksa. Dalam rangka tinjauan tersebut maka nasionalisasi dipandang sebagai “Species” dari “Genus” pencabutan hak (Onteigening). Berkaitan dengan ketentuan di atas berarti setiap ada “onteigening” pada prinsipnya harus diikuti dengan “ganti rugi”. Sementara itu jika tidak disertai dengan ganti rugi maka dia dapat disebut dengan "konfiskasi”. Konfiskasi ini mirip dengan pencabutan hak (semacam onteigening), tetapi dengan corak khusus tanpa ganti rugi. Istilah Konfiskasi ini pertama kali digunakan oleh mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Cordel Hull pada tahun 1940.

Selanjutnya confiscatie biasanya dilakukan dalam permusuhan perang tanpa mempertimbangkan unsur penggantian kerugian. Di Indonesia pada masa kabinet Karya Republik Indonesia ketentuan tentang nasionalisasi diatur dalam UU No. 86 tahun 1958. Dalam istilah nasionalisasi termasuk didalamnya “expropriation” atau “Confiscatie” 11Dengan istilah nasionaliasi ini diartikan bahwa suatu perusahaan menjadi milik negara. Perusahaan bersangkutan menjadi “a nation affair”. Dalam hal nasionalisasi yang menjadikan objeknya perusahaan-perusahaan. Kollewijn mengemukakan pendapatnya

10 Siong, Gouw Giok, 1960. Segi-Segi Hukum Internasional pada Nasionalisasi di Indonesia. Jakarta: Penerbit Universoitas., p. 6 .

(9)

bahwa , “There is said to be nationalisation principally if an expropriation forms part a more or less extensive reform of the social or economie structure of a country”. Sedangkan Gouw Giok Siong dengan mengutip pendapat Wortley menegaskan bahwa “nationalitation is not a term of art”, tetapi digunakan untuk menunjuk pada expropriation in the pursuance of some national enterprises, or to strengthen, a nationally controlled industry. Nationalization differ in its scope and extent rather than in its judicial nature from other types of expropriation.12

Dalam pelaksanaan nasionalisasi oleh suatu negara terhadap hak milik atau benda-benda yang berkaitan dengan suatu perusahaan asing di negara yang hendak melakukan tindakan hukum nasionalisasi harus memperhatikan prinsip “teritorialiteit”. Artinya Objek yang akan dinasionaliasasi berada di dalam batas-batas teritorial negara yang melakukan nasionalisasi. Prinsip tertitorialiteit pada dasarnya telah dilakukan oleh Indonesia ketika menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia. Hal ini dapat kita jumpai dalam ketentuan Pasal 1 UU No. 86 Tahun 1958, bahwa perusahaan-perusahaan milik Belanda yang berada di Republik Indonesia yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dikenakan nasionalisasi dan dinyatakan menjadi milik yang penuh dan bebas Negara Republik Indonesia. (Pasal 1 UU No 86 Tahun 1958).

Sebagai peraturan pelaksanaan dari UU No.86 tahun 1958, pada tahun 1959 dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1959 tentang pokok-pokok pelaksanaan UU No.86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1959 ini, menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan milik Belanda yang dapat dikenakan nasionalisasi adalah: Pertama, Perusahaan yang seluruhnya atau sebagian merupakan milik perseorangan warga negara Belanda dan bertempat kedudukan dalam wilayah republik Indonesia; Kedua, Perusahaan milik sesuatu badan hukum yang seluruhnya atau sebagian modal Perseroannya atau modal pendiriannya berasal dari perseorangan warga negara Belanda dan badan hukum itu bertempat kedudukan dalam wilayah Republik Indonesia; Ketiga, Perusahaan yang letaknya dalam wilayah RI dan merupakan milik sesuatu badan hukum yang bertempat kedudukan dalam wilayah negara kerajaan Belanda. Sementara itu perusahaan-perusahaan yang dikenakan nasionalisasi, termasuk seluruh harta kekayaan dan harta

(10)

cadangan, hak-hak dan tagihan-tagihan. Namun tidak dijelaskan apakah hak-hak ini harus terletak di dalam wilayah Republik Indonesia (Pasal 2 PP No. 2 tahun 1959). Berkaitan dengan tindakan nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia sebagaimana disebutkan di atas, dalam hal ini yang menjadi pokok permasalahan adalah apa yang dapat dijadikan alasan pemerintah melakukan tindakan nasionalisasi terhadap perusahaan asing di Indonesia.

Tulisan ini mencoba menjelaskan substansi UU Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal dari perspektif tujuan hukum dan kedaulatan ekonomi. Fokus kajiannya mengambil pasal 7 ayat 1 dan seterusnya tentang adanya peluang nasionalisasi perusahaan modal asing. Pendekatan kajiannya menggunakan salah satu teori dalam metode penenelitian yaitu metode hermeunatika hukum.13 Permasalahannya adalah

13 Filsafat Hermeneutika, merupakan salah satu aliran dalam Post-modern, yang menghidupkan kembali

(11)

apakah secara empirik (ius operatum) apakah kondisi dan persyaratan hukum di Indonesia yang berkaitan dengan nasionalisasi perusahaan modal asing; dan secara konseptual (ius constituendum) gagasan pengaturan hukum tersebut apakah dapat dilakukan sekarang.

C. UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

Salah satu tujuan pembentukan pemerintahan negara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Amanat tersebut antara lain, telah dijabarkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan merupakan amanat konstitusi yang melandasi pembentukan seluruh peraturan perundang-undangan di bidang perekonomian. Konstitusi mengamanatkan agar pembangunan ekonomi nasional harus berdasarkan prinsip demokrasi yang mampu menciptakan terwujudnya kedaulatan ekonomi Indonesia. Keterkaitan pembangunan ekonomi dengan pelaku ekonomi kerakyatan dimantapkan lagi dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVI Tahun 1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi sebagai sumber hukum materiil.

Berkaitan dengan hal tersebut, penanaman modal harus menjadi bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasional dan ditempatkan sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional, mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan, serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing. Tujuan penyelenggaraan penanaman modal hanya dapat tercapai apabila faktor

(12)

penunjang yang menghambat iklim penanaman modal dapat diatasi, antara lain melalui perbaikan koordinasi antar instansi Pemerintah Pusat dan daerah, penciptaan birokrasi yang efesien, kepastian hukum di bidang penanaman modal, biaya ekonomi yang berdaya saing tinggi, serta iklim usaha yang kondusif di bidang ketenagakerjaan dan keamanan berusaha. pada dasarnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 memberikan kemudahan-kemudahan yang condong berlebihan kepada investor yang menanamkan modalnya di Indonesia.

Secara gamblang memang terkesan adanya upaya untuk menarik minat investor dalam menanamkan modalnya di Indonesia, dengan segala cara, namun tanpa disadari kondisi tersebut akan menjadikan bangsa Indonesia bagaikan dalam penjajahan yang kedua. Disadari atau tidak, dengan fasilitas-fasilitas yang diberikan kepada penanam modal asing sebagaimana telah diuraikan, akan menjadikan bangsa Indonesia semakin kalah bersaing di negerinya sendiri. Bangsa Indonesia akan menjadi pembantu di rumahnya sendiri.

Hal tersebut sangat mungkin terjadi, logikanya dengan pembatasan-pembatasan yang ada pada Undang-Undang PMA lama saja bangsa Indonesia sudah sangat ketat dalam bersaing apalagi dengan diberikannya fasilitas-fasilitas “empuk”. Banyak dijumpai kasus-kasus yang menunjukkan sangat dominannya pengaruh asing dalam bisnis di Indonesia, hal ini semakin dirasakan ketika Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 diberlakukan.

(13)

digantikan dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

Pembentukan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal didasarkan pada semangat untuk menciptakan iklim penanaman modal yang kondusif sehingga Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 mengatur hal-hal yang dinilai penting, antara lain yang terkait dengan cakupan undang-undang, kebijakan dasar penanaman modal, bentuk badan usaha, perlakuan terhadap penanaman modal, bidang usaha, serta keterkaitan pembangunan ekonomi dengan pelaku ekonomi kerakyatan yang diwujudkan dalam pengaturan mengenai pengembangan penanaman modal bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, hak, kewajiban, dan tanggung jawab penanam modal, serta fasilitas penanaman modal, pengesahan dan perizinan, koordinasi dan pelaksanaan kebijakan penanaman modal yang di dalamnya mengatur mengenai kelembagaan, penyelenggaraan urusan penanaman modal, dan ketentuan yang mengatur tentang penyelesaian sengketa.

Sebenarnya, strategi untuk menarik investasi masuk ke Indonesia tidak perlu mengobral semurah-murahnya kekayaan alam. Apabila mencermati yang terjadi dalam praktek, kurangnya minat investastor asing untuk menanamkan modal Indonesia lebih condong disebabkan karena faktor-faktor birokrasi yang njelimet, belum lagi adanya aparat pemerintah yang mata duitan, misalnya birokrasi perizinan baik ijin lokasi, IMB, amdal, ijin lingkungan, domisili, dan lain sebagainya, banyak dijumpai adanya birokrasi yang berbelit-belit dan aparat yang seakan-akan minta jatah.

(14)

Indonesia. Aturan dalam UU tersebut berlaku bagi penanaman modal di semua sektor wilayah Indonesia, dengan ketentuan hanya terbatas pada penanaman modal langsung, dan tidak termasuk penanaman modal tidak langsung atau portfolio sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 UU 25 Tahun 2007 beserta penjelasannya.[3] Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka perlu membentuk Undang-undang tentang Penanaman Modal. Demikianlah dampak-dampak dari adanya kemudahan-kemudahan dan fasilitas-fasilitas yang diberikan kepada penanam modal asing sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.

Dibandingkan dengan beberapa UU sebelumnya tentang investasi, terdapat hal-hal baru yang ada pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, antara lain adalah sebagai berikut:

1. Pengertian penanaman modal asing pada Undang-Undang PMA lama, modal asing didefinisikan sebagai direct investment (Pasal 1). Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, modal asing tidak hanya diartikan directinvestment tetapi juga meliputi pembelian saham (portofolio) Pasal 1 butir 10 jo. Pasal 5 ayat (3). Dengan demikian, pintu masuk PMA lebih diperluas dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.

2. Pihak investor dalam Undang-Undang PMA lama, hanya pihak asing berbentuk badan hukum yang dapat melakukan penanaman modal asing (Pasal 3 ayat (1)). Lain halnya dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, yang membuka kesempatan bagi Negara, perseorangan, badan usaha, badan hukum yang semuanya berasal dari luar negeri dapat menanamkan modalnya di Indonesia (Pasal 1 butir 6).

(15)

4. Pelayanan satu pintu Pasal 12 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 memberikan kemudahan pelayanan satu pintu kepada PMA, yang dalam Undang-Undang PMA lama tidak diatur. Terdapat kepastian hukum dalam kemudahan pelayanan melalui satu pintu.

5. Perizinan dan kemudahan masuknya tenaga kerja asing Undang-Undang PMA lama mengatur tenaga kerja dalam Bab IV. Tenaga kerja asing tidak mudah untuk didatangkan karena tenaga kerja asing boleh didatangkan bagi jabatan-jabatan yang belum dapat diisi dengan tenaga kerja warga Indonesia. Tidak demikian halnya dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 karena tenaga kerja asing lebih mudah masuk ke Indonesia. Memang, tenaga kerja warga Negara Indonesia harus tetap diutamakan, namun, investor tetap memiliki hak menggunakan tenaga ahli WNA untuk jabatan dan keahlian tertentu (Pasal 10).

6. Pajak Undang-Undang PMA lama memberikan fasilitas berupa keringan pajak yaitu tax holiday bagi investor asing. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tidak hanya fasilitas pajak saja namun diberikan fasilitas fiscal, lebih luas cakupannya mengingat pajak hanyalah salah satu bagian dari fiscal. Sehingga, pemberian fasilitas kepada investor asing lebih besar karena tidak hanya pemberian fasilitas pajak namun lebih dari itu yaitu berupa fiscal. Hal ini lebih menguntungkan investor asing.

7. Negative list, Pasal 6 Undang-Undang PMA lama memberikan batasan terhadap usaha mana saja yang tidak dapat diberikan kepada investor asing. Sehingga, jenis usaha yang diatur tersebut mutlak tidak dapat diberikan kepada investor asing (imperative). Kelonggaran dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 karena tidak dicantumkan jenis usaha yang masuk dalam negative list (Pasal 11). Negative list tersebut diatur kemudian dalam peraturan perundang-undangan. Ini berarti, jenis usaha yang dapat diberikan kepada investor asing lebih fleksibel dan lebih terbuka.

(16)

Nomor 25 Tahun 2007, Pemerintah daerah diberikan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan penyelenggaraan penanaman modal, berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

Uraian di atas menggambarkan citra baru penanaman modal asing di Indonesia melalui pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 yang diharapkan dapat meningkatkan investasi di Indonesia. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 nampak lebih terbuka baik dari cara penanaman modal asing masuk, subyek investor asing yang semakin beragam maupun bidang usaha yang dapat diusahakan penanaman modal asing, serta peranan daerah dalam mengundang penanaman modal asing secara langsung. Di samping itu, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 juga meningkatkan kepastian hukum terutama dalam pelayanan dan pemberian perijinan.

Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 memang akan banyak mengundang investor, namun dalam jangka panjangnya para investor tersebut akan menguasai obyek-obyek vital perekonomian Indonesia. Di sini, kekhawatiran akan runtuhnya kedaulatan ekonomi Indonesia semakin dirasakan, sehingga bangsa Indonesia boleh jadi akan menjadi “pembantu” di rumahnya atau bahkan menjadi “pengemis” di negerinya sendiri.

Namun lebih dari itu, dalam UU yang terbaru tersebut sesungguhnya juga terdapat peluang ekonomi yang terbuka, yaitu nasionalisasi Perusahaan Modal Asing. Upaya nasionalisasi sebagai upaya menegakkan kedaulatan ekonomi nasional merupakan “pintu masuk” untuk meningkatkan kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan ekonomi. Kemungkinan-kemungkinan tersebut terdapat pasal 7 dan seterusnya.

D. Perspektif Ius Constituendum dan Ius Operatum Nasionalisasi Perusahaan Modal Asing

(17)

Tambahan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.

Kelahiran UU ini sudah lama dinanti-nanti oleh seluruh pihak yang berkepentingan dengan penanaman modal di Indonesia. Terlebih setelah diberlakukannya UU Otonomi Daerah (UU No. 22 dan 25 Tahun 1999, yang juga direvisi dengan UU No. 32 dan 34 Tahun 2004). UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, pada dasarnya membuka ruang yang cukup bagi dunia usaha. Tuhan menciptakan alam semesta ini untuk dikelola dan diusahakan demi kemaslahatan umat manusia, sehingga banyak sekali atau pada umumnya bidang usaha terbuka bagi penanam modal.

Pembentukan Undang-Undang tentang Penanaman Modal didasarkan pada semangat untuk menciptakan iklim penanaman modal yang kondusif sehingga Undang-Undang tentang Penanaman Modal mengatur hal-hal yang dinilai penting, antara lain yang terkait dengan cakupan undang-undang, kebijakan dasar penanaman modal, bentuk badan usaha, perlakuan terhadap penanaman modal, bidang usaha, serta keterkaitan pembangunan ekonomi dengan pelaku ekonomi kerakyatan yang diwujudkan dalam pengaturan mengenai pengembangan penanaman modal bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, hak, kewajiban, dan tanggung jawab penanam modal, serta fasilitas penanaman modal, pengesahan dan perizinan, koordinasi dan pelaksanaan kebijakan penanaman modal yang di dalamnya mengatur mengenai kelembagaan, penyelenggaraan urusan penanaman modal, dan ketentuan yang mengatur tentang penyelesaian sengketa.

(18)

Pemerintah, harus lebih diberdayakan lagi, baik dalam pengembangan peluang potensi daerah maupun dalam koordinasi promosi dan pelayanan penanaman modal.

Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan penyelenggaraan penanaman modal berdasarkan asas otonomi daerah dan tugas pembantuan atau dekonsentrasi. Oleh karena itu, peningkatan koordinasi kelembagaan tersebut harus dapat diukur dari kecepatan pemberian perizinan dan fasilitas penanaman modal dengan biaya yang berdaya saing. Agar memenuhi prinsip demokrasi ekonomi, Undang-Undang ini juga memerintahkan penyusunan peraturan perundang-undangan mengenai bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan, termasuk bidang usaha yang harus dimitrakan atau dicadangkan bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.

Undang-Undang Penanaman Modal itu memang sengaja membuka dan memberi kesempatan berusaha dengan kepastian hukum yang lebih kuat. Justru di sinilah letak filosofi dasar dari undang-undang ini yang diharapkan bersifat instrumental bagi penanaman modal, bukan sebaliknya justru menjadi penghambat dunia usaha. Tentu harapannya kemudian adalah tambahan investasi yang lebih besar agar perekonomian bertambah baik. Pada gilirannya, pertambahan investasi dan dinamika ekonomi tersebut dapat menyelesaikan masalah pengangguran dan kemiskinan, karena anggaran pemerintah tidak cukup untuk mengatasi dua hal tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, secara sederhana kebijakan di pada UU penanaman modal ini dapat dianalisis sebagai berikut:

1. Finding out what governments do (mengetahui apa yang dikerjakan pemerintah) Melalui UU Penanaman Modal ini pemerintah dalam melakukan percepatan pembangunan ekonomi nasional dan mewujudkan kedaulatan politik dan ekonomi Indonesia memerlukan peningkatan penanaman modal untuk mengolah potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan modal yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.

(19)

iklim penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan dan efisien dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi nasional. Melalui UU Penanaman Modal inilah iklim penanaman modal yang kondusif tersebut diharapkan dapat terwujud.

3. What difference it makes (hasil perubahan apa yang akan dicapai) UU Penanaman Modal sengaja membuka dan memberi kesempatan berusaha dengan kepastian hukum yang lebih kuat. Justru di sinilah letak filosofi dasar dari undang-undang ini yang diharapkan bersifat instrumental bagi penanaman modal, bukan sebaliknya justru menjadi penghambat dunia usaha. Tentu harapannya kemudian adalah tambahan investasi yang lebih besar agar perekonomian bertambah baik. Pada gilirannya, pertambahan investasi dan dinamika ekonomi tersebut dapat menyelesaikan masalah pengangguran dan kemiskinan, karena anggaran pemerintah tidak cukup untuk mengatasi dua hal tersebut.

Sejak disahkan pada tanggal 26 April 2007 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, UU ini telah menuai banyak kritikan dari berbagai kalangan. Ada yang curiga UU ini pro kepada pemegang modal besar. Ada pula yang curiga bahwa UU ini akan merusak tatanan kepemilikan tanah rakyat, karena ada pasal (Pasal 22) yang sangat krusial mengarah kepada penguasaan tanah untuk berusaha dengan batas waktu yang sangat lama. Pasal ini pun kemudian direvisi melalui Perppu.

Secara konseptual, UU ini tidak memiliki permasalahan karena memang kebutuhan akan peraturan tata cara penanaman modal di Indonesia sangat penting keberadaannya, hanya saja UU ini belum dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan pelaksanaannya. Akibat dari belum banyaknya PP yang dilahirkan dari UU ini maka banyak pemerintah daerah menangguhkan pembuatan Peraturan Daerah (Perda) Penanaman Modal yang mengacu kepada UU ini.

Tentang nasionalisasi Perusahaan Modal asing seperti yang dilakukan di beberapa negara Amerika Latin14 adalah sesuatu yang tidak mustahil dilakukan di Indonesia yang

(20)

telah merdeka selama lebih dari 70 tahun. Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal disebutkan pada Pasal 7 dan seterusnya sebagai berikut:

(1).Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal, kecuali dengan undang-undang.

(2).Dalam hal Pemerintah melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah akan memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar. (3).Jika di antara kedua belah pihak tidak tercapai kesepakatan tentang kompensasi

atau ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelesaiannya dilakukan melalui arbitrase.

Pasal 8

(1).Penanam modal dapat mengalihkan aset yang dimilikinya kepada pihak yang diinginkan oleh penanam modal sesuai dengan ketentuan peraturan

perundangundangan.

(2).Aset yang tidak termasuk aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan aset yang ditetapkan oleh undang-undang sebagai aset yang dikuasai oleh negara. (3).Penanam modal diberi hak untuk melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta

asing, antara lain terhadap, dan seterusnya…

Pasal-pasal di atas memang membuka peluang adanya “nasionalisasi” bagi Perusahaan Modal Asing yang beroperasi di Indonesia. Walaupun dengan aturan yang

Selatan, dan pemerintah eks negara jajahan mereka yang ingin mengendalikan sumber daya energi masing-masing. Nasionalisasi di Bolivia ini terjadi hanya dua pekan setelah Argentina mengungkapkan rencana mengambil alih perusahaan minyak nomor satu negara itu, YPF, dari pemegang saham mayoritas Repsol, yang berbasis di Madrid, Spanyol. Baca:

http://internasional.kompas.com/read/Bolivia.Nasionalisasi.Listrik (diakses 20 April 2012). Argentina juga telah mengambil langkah berani melakukukan nasionalisasi dalam bidang migas. Rencana Argentina untuk merebut perusahaan minyak YPF dari tangan raksasa minyak Spanyol, Repsol akan segera terwujud. Ini menyusul persetujuan parlemen Argentina atas usulan pemerintah untuk membeli saham perusahaan itu dari Repsol. Parlemen rendah nyaris bulat menyepakati rencana pembelian itu dengan dukungan 207 suara. Hanya 32 suara menolak usulan kontroversial Presiden Christina Fernandez. Minggu lalu, usulan itu juga mendapat kemenangan mutlak di tingkat senat. Selanjutnya, rencana nasionalisasi ini tinggal menunggu pengesahan dari presiden. Dua minggu lalu Presiden Fernandez mengumumkan rencana nasionalisasi perusahaan minyak YPF. Fernandez menilai, pembelian perusahaan itu berguna untuk kedaulatan energi Argentina. Pasalnya, Argentina menderita defisit senilai Rp 91 triliun dalam perdagangan energi. Padahal, 40% pasokan raksasa minyak Repsol berasal dari YPF. Kunjungi:

(21)

sangat berhati-hati agar investor asing tidak merasa dirugikan. Nasionalisasi harus diatur dalam suatu Undang-Undang yang sejatinya harus menyelamatkan dan memperkuat perekonomian nasional. Adalah ironi dan sesuatu yang mengherankan ketika Indonesia misalnya sebagai salah satu negara penghasil migas terbesar di dunia, namun tidak memiliki kedaulatan penuh di dalam mengelolanya.15

Kenyataan ini jika kita hubungkan dengan UUD NRI 1945, sesungguhnya bertentangan dengan apa yang dijabarkan dalam Pasal 33 dan merupakan amanat konstitusi yang melandasi pembentukan seluruh peraturan perundang-undangan di bidang perekonomian. Konstitusi mengamanatkan agar pembangunan ekonomi nasional harus berdasarkan prinsip demokrasi yang mampu menciptakan terwujudnya kedaulatan ekonomi Indonesia. Keterkaitan pembangunan ekonomi dengan pelaku ekonomi kerakyatan dimantapkan lagi dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVI Tahun 1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi sebagai sumber hukum materiil.

Peluang nasionalisasi kemudian muncul juga Bab XV tentang Penyelesaian Sengketa Pasal 32 dan seterusnya:

(22)

(1).Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah dan mufakat.

(2).Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai,penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase atau alternative penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3).Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal dalam negeri, para pihak dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak, dan jika penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak disepakati, penyelesaian sengketa tersebut akan dilakukan di pengadilan.

(4) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak.

BAB XVI SANKSI Pasal 33

(1) Penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseoran terbatas dilarang membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan

atas nama orang lain.

(2) Dalam hal penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing membuat

perjanjian dan/atau pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian dan/atau pernyataan itu dinyatakan batal demi hukum.

(23)

berdasarkan temuan atau pemeriksaan oleh pihak pejabat yang berwenang dan telah mendapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, Pemerintah mengakhiri perjanjian atau kontrak kerja sama dengan penanam modal yang bersangkutan. Pasal 34

(1) Badan usaha atau usaha perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 dapat dikenai sanksi administratif berupa:

a. peringatan tertulis;

b. pembatasan kegiatan usaha;

c. pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau d. pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh instansi atau lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

(3) Selain dikenai sanksi administratif, badan usaha atau usaha perseorangan dapat dikenai sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XVII

KETENTUAN PERALIHAN Pasal 35

Perjanjian internasional, baik bilateral, regional, maupun multilateral, dalam bidang penanaman modal yang telah disetujui oleh Pemerintah Indonesia sebelum Undang-Undang ini berlaku, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian tersebut. Pasal 36

Rancangan perjanjian internasional, baik bilateral, regional, maupun multilateral, dalam bidang penanaman modal yang belum disetujui oleh Pemerintah Indonesia pada saat Undang-Undang ini berlaku wajib disesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini. Pasal 37

(1) Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 1

(24)

Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang

Penanaman Modal Dalam Negeri dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan

Undang-Undang ini.

(2) Persetujuan penanaman modal dan izin pelaksanaan yang telah diberikan oleh Pemerintah berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang

Penanamana Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya persetujuan penanaman modal dan izin pelaksanaan tersebut. (3) Permohonan penanaman modal dan permohonan lainnya yang berkaitan dengan penanaman modal yang telah disampaikan kepada instansi yang berwenang dan pada tanggal disahkannya Undang-Undang ini belum memperoleh persetujuan Pemerintah wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

(4) Perusahaan penanaman modal yang telah diberi izin usaha oleh Pemerintah berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang

Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri dan, apabila izin usaha

tetapnya telah berakhir, dapat diperpanjang berdasarkan Undang-Undang ini. BAB XVIII . . .

(25)

KETENTUAN PENUTUP Pasal 38

Dengan berlakunya Undang-Undang ini:

a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 1, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 2818) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2943); dan

b. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2853) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2944), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 39 Semua Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara langsung dengan penanaman modal wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya pada Undang-Undang ini.

Pasal 40

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 26 April 2007

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta

(26)

Untuk Indonesia, Undang-undang No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang kemudian diperbaharui dengan Undang-undang No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal dapat dikatakan tonggak sejarah pengintegrasian ekonomi Indonesia ke dalam perekonomian dunia. Tonggak sejarah ini diperkuat dengan diterbitkannya Undang-Undang No 7 tahun 1994 yang meratifikasi Perjanjian Pendirian WTO pada Nopember 1994. Ketiga undang-undang tersebut secara bertahap meliberalkan ekonomi Indonesia. Liberalisasi merupakan kata yang banyak disanjung sekaligus dihujat oleh berbagai kelompok masyarakat. Disanjung karena liberalisasi dipercaya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan dihujat sebab liberalisasi juga yang meminggirkan sebagian anggota masyarakat khususnya masyarakat ekonomi lemah. Di Indonesia, investasi asing meski sudah ada sejak beberapa dekade tetap merupakan salah satu yang kontroversial. Jarang ada kritik tentang pembangunan yang tidak dikaitkan dengan investasi asing. Ada tuduhan yang mengatakan bahwa investasi asing telah menciptakan “koloni Jepang” dan memperparah status ketergantungan Indonesia terhadap asing. Investasi asing telah menekan pengusaha pribumi, tidak menempatkan tenaga kerja pada tempatnya dan hanya sedikit memberikan kontribusi dalam teknologi baru dan modal.

(27)

Pengalaman Jepang dan negara-negara Asia lain seperti Korea, Singapura dan Malaysia menunjukan bahwa liberalisasi haruslah diikuti dengan peningkatan kapasitas individu dan kemudahan berusaha. Peningkatan kapasitas individu dan mempermudah iklim berusaha akan meningkatkan kemampuan masyarakat memanfaat pasar yang sudah terbuka karena liberalisasi. Pemanfaatan akses pasar tentunya akan meningkatkan produktifitas masyarakat. Oleh karena itu, peningkatan produktivas sebagai sarana mengurangi kemiskinan tidak sama dengan menuangkan sumber daya pada sumber masalah, yang lebih penting adalah bagaimana sumber daya tersebut digunakan dengan benar. Dengan kata lain suatu negara keluar dari kemiskinan tidak hanya apabila mereka dapat mengelola kebijakan fiskal dan moneter dengan baik tetapi negara tersebut hanya dapat mengatasi kemiskinan apabila juga mampu menciptakan iklim yang memudahkan masyarakatnya memulai kegiatan usaha, memperoleh modal dan menjadai wirausahawan serta membolehkan terjadinya kompetisi dengan usahawan asing. Perusahaan dan negara yang memiliki pesaing selalu lebih inovatif dan tumbuh lebih cepat.

Dalam kaitan dengan kemudhan berusaha perlu disimak proyek Doing Business 2008 yang dilaksanakan oleh Word Bank. Proyek ini mengukur secara objektif regulasi bisnis dan penegakannya di 178 negara. Hasilnya menunjukan gambaran yang tidak menggembirakan bagi Indonesia khususnya dalam hal kemudahan berusaha. Indeks yang disusun mulai peringkat 1 sampai dengan 178 memperlihatkan mengukur kemudahaan berusaha di masing-masing negara. Indeks tersebut dihitung secara rata-rata dan memperlihatkan peringkat masing-masing indikator. Ada 10 indikator yang digunakan yaitu ease of doing business; starting a business; dealing with license; employing workers; regestering property; getting credit; protecting investor; paying taxes; trading across border; enforcing contract dan closing a business.

(28)

Indonesia mendapat angka ke 25 atau paling buruk dari seluruh negara ASEAN. Di Bidang perijinan posisi Indonesia relatif lebih baik yaitu pada peringkat ke 17 dibandingkan dengan Malaysia peringkat ke19. Namun Thailand mendapat peringkat ke 4 dan Vietnam ke13. Akan tetapi untuk indikator pelaksanaan kontrak (contract enforcement) posisi Indonesia terburuk dibandingkan seluruh negara ASEAN lainnya yaitu ke 20 dibandingkan dengan Vietnam ke 6, Thailand ke4, Philipina ke 17 Kamboja ke 18 dan Lao PDR ke 16.

Iklim usaha seperti di atas dapat diperjelas dengan ilustrasi sebagai berikut. Teuku, wirausaha di Jakarta, berencana membangun pabrik tekstil. Teuku mempunyai pelanggan yang telah mengajukan pesanan dan sudah memiliki mesin impor serta rencana bisnis yang menjanjikan. Dia kemudian mengambil formulir standar di salah satu instansi pemerintah melengkapi dan memformalkannya pada notaries. Teuku dapat membuktikan bahwa dia adalah penduduk lokal dan memiliki surat keterangan berkelakuan baik serta memiliki NPWP. Mengajukan ijin usaha dan menyetor sejumlah uang sebagai modal minimal perusahaan. Kemudian mengumumkan anggaran dasar perusahaan pada Tambahan Berita Negara, membayar bea materai dan mengurus persyaratan lainnya yang diwajibkan untuk memulai suatu usaha. Keseluruhan proses tersebut membutuhkan waktu seratus enam puluh delapan hari. Pada saat Teuku secara sah boleh memulai usaha, pelanggannya telah menandatangi kontrak pembelian dengan pengusaha lain.

Ilustrasi yang diberikan oleh Thomas Friedman diatas menyebabkan orang yang memiliki kewirausahaan akan keluar dari sistem formal. Mereka keluar bukan karena hukum telah mengasingkan atau menguasai mereka tetapi karena hukum tidak menjawab keinginan mereka. Bila hukum tidak dapat menolong maka mereka akan membantu dirinya sendiri tanpa hukum. Untuk jelasnya Hernando de Soto mengajukan tesis sebagai berikut.

(29)

meninggalkan emperan toko atau meninggalkan bahu jalan. Diperlukan waktu 21 tahun untuk mendapatkan ijin mendirikan bangunan pada tanah terlantar; duapuluh enam bulan untuk mendapat ijin route bus baru; dan hampir setahun, bekerja enam jam sehari, untuk mendapatkan ijin menggunakan mesin jahit untuk bisnis. Dengan hambatan seperti itu, wirausahawan baru pasti akan menempatkan asetnya diluar jangkauan hokum. Berada di luar hukum menyebabkan tidak mendapat akses pada fasilitas yang disediakan hukum formal untuk membantu mereka memanfaatkan sumber daya (resources). Tidak memiliki properti yang diakui hukum menyebabkan tidak dapat menerbitkan saham sehingga sulit memanfaatkan kesempatan berinvestasi. Tidak memiliki hak paten dan royalty maka tidak ada dorongan melakukan inovasi atau memproteksi inovasi. Tidak memiliki akses terhadap kontrak dan keadilan dalam arti yang diorganisasikan secara luas maka tidak dapat mengembangkan proyek jangka panjang; karena tidak dapat mengagunkan aset secara sah maka tidak dapat menggunakan rumah dan usaha sebagai jaminan kredit.

Bila kondisi tersebut dialami oleh wirausahawan Amerika dan Eropa sehingga mereka tidak punya akses terhadap sistem tanggung jawab terbatas suatu perusahaan dan tidak memiliki akses terhadapat penjaminan yang disediakan hukum, berapa besar risiko yang akan mereka hadapi. Berapa besar modal yang dapat mereka kumpulkan menerbitkan tanpa surat berharga. Berapa banyak sumber daya yang dapat dimanfaatkan tanpa memiliki badan usaha yang diakui oleh hukum sehingga mereka dapat menerbitkan saham. Berapa sering usahawan Amerika dan Eropa harus memilih media pailit dan berupaya memulai kembali usaha dari awal bila hukum tidak mengijinkan utang dikonversi menjadi saham?

(30)

Agreement on Trade Related Investment (TRIMs), timbul dari pemikiran perusahaan multinasional yang menilai banyaknya tindakan negara anggota World Trade Organization (WTO), dalam proses penanaman modal yang mengakibatkan berkurangnya keuntungan.[1] Tujuan di aturnya masalah penanaman modal di dalam WTO disebutkan dalam bagian konsideran dari TRIMs yang meliputi[2]: 1) kebijakan penanaman modal yang diterapkan oleh negara anggota WTO yang dapat menimbulkan distorsi dalam perdagangan; 2) Penyesuaian dengan pengaturan tentang pembatasan perdaganganyang terdapat didalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) 1994; 3) Meningkatkan kebijakan penanaman modal asing yang mendukung perdagangan bebas, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dari negara anggota.

Secara umum TRIMs, melarang kebijakan penanaman modal yang dilakukan tidak sesuai dengan GATT 1994 khususnya yang di atur didalam Pasal III dan XI GATT 1994.16 Dalam lampiran TRIMs terdapat daftar yang memuat kebijakan penanaman

modal yang dilarang dilakukan yang antara lain mencakup yang memaksakan agar penanam modal asing menggunakan barang lokal dalam persentase tertentu, atau memaksakan untuk mengekspor sebagian barang tertentu dari barang produksinya.17

Melalui Undang – Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU Penanaman Modal), Indonesia selaku anggota WTO, mengatur kebijakan penanaman modal yang lebih terbuka yang didasarkan pada kewajiban Indonesia sebagai anggota WTO untuk melaksanakan TRIMs. Di dalam Undang – Undang Nomor 25 tahun 2007, Pasal 3 ayat (1)d, salah satu asas penanaman modal Indonesia adalah perlakuan yang sama terhadap penanam modal baik asing dan dalam negeri. Kebijakan utama yang harus disesuaikan adalah tentang penerapan fasilitas penanaman modal, yang wajib sesuai dengan aturan – aturan tentang Performance Requirement yang disebutkan dalam lampiran TRIMs.

Berdasarkan atas hal tersebut maka akan dianalisa kesesuaian UU Penanaman Modal dengan TRIMs. Analisa tentang kesesuaian dua peraturan tersebut dilakukan

16 H.S. Kartadjoemena, GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round, cet. II, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1998), P. 226.

(31)

terbatas pada pengaturan tentang fasilitas penanaman modal yang diatur didalam UU Penanaman modal dan kesesuaiannnya dengan Performance Requirement yang terdapat didalam TRIMs.

Pengaturan tentang Performance Requirement atau kewajiban pembatasan tindakan dalam penanaman modal berdasarkan TRIMs merupakan pelaksanaan dari prinsip dasar WTO sebagaimana di atur di dalam Pasal III dan Pasal XI GATT 1994[7] yang meliputi prinsip National Treatment dan Most Favored Nation. UU Penanaman Modal disebutkan memiliki salah satu asas utama yaitu prinsip kesamaan (National Treatment), hal mana mengartikan kewajiban penghilangan diskriminasi perlakuan kepada penanam modal asing. Berdasarkan atas hal tersebut maka selayaknya kesemuanya hak dan kewajiban penanam modal asing berlaku juga bagi penanam modal dalam negeri, akan tetapi bilamana menelaah Pasal 12 ayat (2), UU Penanaman Modal, secara khusus, di atur bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal asing yaitu 1) produksi senjata, mesiu, alat peledak dan peralatan perang; 2) bidang – bidang yang secara eksplisit di atur tertutup untuk penanaman modal asing. Tertutupnya produksi senjata, mesiu, alat peledak dan peralatan perang berdasarkan Pasal XXI huruf b.(ii) GATT merupakan pengecualian untuk melindungi keamanan negara, akan tetapi untuk pengaturan tentang produksi hal lain sesuai peraturan perundangan, dapat dianggap suatu perlakuan diskriminasi mengingat pengaturan tersebut di atur secara terbuka, dengan digantungkan pada kebijakan yang belum ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia.

(32)

Pasal 18 ayat (3) huruf j, UU Penanaman Modal secara eksplisit merupakan pelanggaran dari pengaturan Performance Requirement yang di atur di dalam TRIMs. Larangan pengaturan kebijakan diskriminasi terkait dengan penggunaan produksi lokal dalam TRIMs, di atur sebagai suatu kegiatan yang diwajibkan[9], sedangkan didalam UU Penanaman Modal, tindakan tersebut lebih kepada suatu pilihan yang tidak mempengaruhi pada keberadaan dari penanam modal. Ketentuan tentang larangan penggunaan komponen lokal dalam TRIMs juga mensyaratkan bahwa secara spesifik negara anggota mengatur tentang jumlah, nilai dan presentase khusus, sedangkan didalam UU Penanaman Modal hanya mengatur secara umum.

Berdasarkan penelaahan di atas maka UU Penanaman Modal telah memiliki kesesuaian dengan TRIMs, akan tetapi terdapat pengaturan yang secara khusus melakukan diskriminasi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 12 ayat (2)b ataupun Pasal 18 ayat (3) j, UU Penanaman Modal. Kedua Pasal tersebut akan menjadi perhatian mengingat keduanya menciptakan perlakuan yang berbeda. Pasal 18 (3)j, UU Penanaman Modal dalam hal ini dapat dikecualikan mengingat syarat diskriminasi tersebut dilakukan tidak secara spesifik dan hanya merupakan suatu pilihan bukan suatu keharusan yang memaksa untuk dilakukan.

E. Penutup

Nasionalisasi Perusahaan Modal Asing sebagai upaya menegakkan kedaulatan ekonomi di Indonesia sudah saatnya dilakukan. Di negara-negara berkembang seperti di kawasan Amerika Latin (Bolivia, Argentina, Venezuela) dan negara-negara lain di Asia, telah melakukan nasionalisasi terhadap beberapa perusahaan asing. Secara Ius constituendum dan iusoperatum, Indonesia seharusnya sudah melakukan hal yang sama.

Kedaulatan ekonomi yang seutuhnya di Indonesia harus segera dilakukan dan seharusnya pula dapat dijadikan sebagai sarana menyejahterakan bangsa Indonesia.

(33)

Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi dan HKI, Sekilas WTO (World Trade Organization), ed. 4, Jakarta: Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi dan HKI.

George Soule, Ideas of the Great Economists .New York: Mentor, 1952.

George Dalton, Economic System and Society, Kingsport, Tenn: Kingsport Press, 1974.

Mahmul Siregar. 2005. Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal - Studi Kesiapan Indonesia Dalam Perjanjian Investasi Multilateral, cet. 1, (Medan: Universitas Sumatera Utara.

Munir Fuady, Hukum Dagang Internasional (Aspek Hukum dari WTO), cet. I, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Mansour Fakih, Bebas dari Neoliberalisme. Yogyakarta: Insist Press, 2003.

Undang - Undang Penanaman Modal, UU No. 25 tahun 2007, LN No. 67 tahun 2007.

H.S. Kartadjoemena, GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round, cet. II. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1998.

Norman Furniss dan Timothy Tilton, The Case of Welfare State: From Social Security to Social Equality (Bloomington, Indiana: International Union Press, 1977

Maurice Bruce, The Coming of the Welfare State. London: Batsford, 1968.

Herry Priyono, B. ”Dalam Pusaran Neoliberalisme”, dalam I. Wibowo dan Francis Wahono, ed. Neoliberalisme. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003).

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan secara umum dapat diambil kesimpulan bahwa tindak tutur ilokusi pada aktor dalam pementasan drama

Hal ini ditunjukkan dengan nilai signifikansi sebesar 0.031< 0.05 adanya perbedaan signifikan ini menunjukan bahwa Bank Asing memiliki kemampuan yang lebih baik

Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal, penanaman modal asing didefinisikan sebagai kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha

Merupakan faktor paling penting dalam kepemimpinan. Jelasnya, pada diri seorang pemimpin harus terdapat kematangan emosional yang berdasarkan kesadaran yang mendalam

Untuk memudahkan dalam menganalisis data, maka variabel yang digunakan diukur dengan mempergunakan model skala 5 tingkat (likert) yang memungkinkan pemegang polis dapat

Nilai optimum kekasaran permukaan untuk pahat karbida yang dilapisi dicapai pada kondisi pemotongan kecepatan potong 250 m/min dan kadar pemakanan 0.05

Calon Presiden Republik Indonesia kelak haruslah mampu mengartikan politik secara bijak untuk mempersatukan perbedaan dan membereskan masalah, bukan malah sibuk membanting

Salah satu aspek kepemimpinan yang penting terus dipelajari adalah gaya kepemimpinan yang diterapkan atasan terhadap bawahan (karyawan) yang dapat memotivasi karyawan