• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aku adalah refeleksi dari segala interak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Aku adalah refeleksi dari segala interak"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Aku Adalah Refleksi dari Segala Interaksiku

Chairul Anam Bagus Haqqiasmi

Mahasiswa Antropologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik, Universitas Indonesia, Depok 16424

chairul.smada@gmail.com

Abstrak

Tulisan saya ini merupakan tulisan yang didasarkan pada pengalaman pribadi, tentang bagaimana sebuah interaksi dengan berbagai kebudayaan membentuk diri saya. Berbagai budaya yang saya serap dari suatu interaksi telah menciptakan suatu diri. Diri saya adalah refleksi dari interaksi saya dengan ayah saya yang agamis, ibu saya yang kejawen serta berbagai pengalaman hidup.orang – orang yang saya temui berpengaruh besar terhadap diri saya yang sekarang.

Kata kunci : Interaksi, Budaya, Refleksi, Diri, Kejawen

My writing is writing that is based on personal experience, about how an interaction with various culture forms myself. The different cultures that I absorbed from an interaction have created one myself. My self is a reflection of my interaction with my dad who was good religion, my mother who kejawen and various life experiences. people – influential people I met on my self now.

Keyword : Interaction, Culture, Reflection, Self, kejawen

Pengantar

“Aku adalah refeleksi dari segala interaksiku”, itu yang mungkin bisa mendeskripsikan diriku sebagai seorang individu. Aku adalah seorang anak laki – laki dari sebuh keluarga sederhana. Aku hidup di daerah kecil di jawa timur tepatnya di Nganjuk. Mungkin tidak banyak yang mengetahui tentang daerah asalku ini. Tetapi percayalah, tempat itu adalah suatu tempat yang sangat kurindukan. Tempat terbentangnya hamparan sawah yang luas, pohon – pohon yang asri, tanah yang subur dan masyarakat yang masih bergotong royong.

Keluargaku adalah keluarga kecil. Secara silsilah pun keluarga kami tidak mempunyai silsilah bangsawan, atau pun keturunan orang besar. Jika Geertz (1964) mengklasifikasikan masyarakat jawa menjadi 3 golongan. Keluarga kami dalam klasifikasi Geertz mungkin tergolong

(2)

cilik”.kami lebih suka menggunakan istilah tradisional orang jawa seperti priyayi/bangsawan dan wong cilik untuk mengklasifikasikan keluarga kami. Pertama – tama aku akan menceritakan tentang asal - usul singkat keluargaku. Khususnya ayah dan ibu, bagaimana kebudayaan membentuk mereka melalui internalisasi yang ditnamkan oleh keluarganya. Sehingga internalisasi itu melekat ketika mereka mendidiku.

Ayahku adalah seorang keturunan dari keluarga miskin di kediri. Di waktu kecil beliau di didik secara keras oleh orang tuanya. Beliau benar – benar dibekali disiplin oleh orang tuanya. Apabila membantah orang tua, siap – siap untuk dipukul “njalin”(semacam rotan dan lidi). Sering pula ayahku dihukum di “grujuki”(diguyur dengan air di kamar mandi secara paksa)kadang pula beliau dikunci di kamar mandi. Memasuki masa SLTP kakek meninggal. Di situ keluarga benar – benar mengalami masa yang sulit. Keluarga kehilangan sosok pencari nafkah, sekaligus imam keluarga. Sebuah pukulan yang berat bagi ayahku yang ketika itu masih sangat muda. Kondisi ekonomi keluarga yang memang sangat kurang, memaksa ayahku membiayai sekolahnya dengan berjualan jajanan di pasar setiap pulang sekolah, maupun jika ada waktu kosong. Mulai dari masa SLTP ini ayahku mulai mondok. Mulai dari sini beliau menerima enkulturasi dari lingkunganya, yaitu nilai – nilai agama yang kuat pada dirinya.

Setamat dari SLTA ayahku berniat untuk kuliah. Pada waktu itu kuliah memang tidak semua orang bisa mengaksesnya. Dikarenakan biaya kuliah yang mahal. Tentu sangat sulit bagi keluarga untuk membiayai biaya kuliah ayahku. Tetapi untungnya pada saat itu sudah ada dari saudara ayahku yang sudah bekerja, yaitu kakaknya. Waktu semasa kuliah ayahku banyak dibantu oleh kakaknya untuk pembiayaan. Tetapi tentu biaya yang ditanggung pun masih sangat berat. Maka dari itu beliau tetap mencari sumber penghasilan untuk menutupi biaya kuliah. Salah satunya dengan menjual lukisan – lukisan.

(3)

pun serba pas – pas an. Beliau kos dengan satu kamar yang sempit dan di’isi empat orang. Beliau pun sering berpuasa, hampir setiap hari. Ini dikarenakan uang saku yang memang pas – pasan. Seluruh kerja keras dan semangat masa mudanya pun berbuah manis. Beliau berhasil menjadi sarjana dan diangkat menjadi PNS(guru) di SMAN 1 Gondang, sebuah daerah yang masih terbelakang di Kabupaten Nganjuk. Dengan perjuangan masa muda beliau yang begitu keras, itu berpengaruh pada cara mendidik beliau kepadaku. Aku diajarkan kerja keras, menghindari sifat manja, dan harus bisa memposisikan diri di kondisi yang tersulit sekalipun.

Ibuku adalah anak ketiga dari 5 bersaudara. Ibuku tinggal di sebuah desa yang kecil dan jauh dari kota, desa Ngluyu namanya. Aku tidak tahu banyak tentang ibuku, karena memang ibuku jarang menceritakan masa kecilnya kepadaku. Tetapi ada beberapa yang pernah diceritakan beliau tentang masa kecilnya yang aku masih ingat. Keluarga ibu adalah keluarga petani di desa yang masih sangat tertinggal, di sini belum ada tembok beton, belum pula ada tembok “cor – coran” (disemen) . rumah disini masih sangat tradisional, terbuat dari kayu, berlantai tanah dan berbagai perabot tradisional yang menghiasi rumah ini. Tetapi dengan keadaan seperti itu bukan berarti keluarga ibu miskin, keluarga ibu termasuk golongan yang “berada” karena memiliki tanah yang cukup luas baik di rumahnya maupun di sawah. Kakek juga bekerja sebagai pegawai negeri di hutan di daerah perbatasan Gondang – Ngluyu. Selain itu nenek juga menggarap sawah milik keluarga, karena itu kebutuhan keluarga pun tercukupi.

(4)

Sedangkan klasifikasi tingkah laku lebih kompleks lagi, misalnya jika bertemu orang tua harus menundukan kepala, sebagai tanda menghormati. Jika bertegur sapa dengan orang lain haruslah memasang senyuman, meskipun perasaan mungkin berbicara lain.

Mungkin inilah yang dikatakan orang di luar budaya jawa, bahwa

“stereotipe” orang jawa itu “munafik”, karena mencoba menyembunyikan perasaaanya dengan keramahan. Padahal tidak juga, orang jawa mencoba menjaga keramahan adalah untuk menjaga keutuhan dan keharmonisan hubungan. Disinilah letak permasalahanya, orang yang tidak mengerti budaya jawa akan menganggap orang jawa munafik, sehingga timbul

“etnosentrisme” (W.G. Sumner). Sedangkan orang yang mengerti mungkin akan menganggap fenomena ini sebagai “relativisme kebudayaan”. Itulah nilai – nilai yang ditanamkan kakekku pada ibuku,

“ibuku perempuan jawa”.

Satu hal yang sangat sulit disini adalah akses pendidikan, bagaimana tidak, disini hanya ada sekolah dasar, sedangkan sekolah menegah pertama dan sekolah menengah atas hanya ada di daerah Gondang yang berjarak kurang lebih 15 kilometer. Karena keadaan ini, ibuku di waktu kecil sudah diajari hidup merantau, kakek dan nenekku

“tidak mau anak – anaknya bodoh”. Meskipun jauh mereka tetap menyekolahkan. Terkadang ibu harus naik angkutan desa penuh sesak dengan barang – barang pertanian dan ternak untuk pulang pergi ke sekolah. Sering pula beliau menginap di rumah saudara yang ada di Gondang, karena jarak 15 kilometer memang cukup jauh, angkutan masih cukup mahal. Sedangkan jika bersepeda mungkin akan sangat melelahkan.

(5)

“agamis” dan ibuku yang “kejawen”. Dan memang benar ternyata nilai – nilai itulah yang di’internalisasikan kepadaku sejak kecil. Masa kecilku sangat dididik dengan agama dan budaya jawa.

Waktu aku kecil umur tiga tahun aku sudah dititipkan di “langgar”

(surau) dekat rumah untuk beajar mengaji. Ayahku benar – benar menginginkan aku menjadi manusia yang baik. Seperti yang tertulis dalam namaku, yaitu “Chairul Anam Bagus Haqqiasmi”. Chairul Anam artinya sebaik – baiknya manusia. Sedangkan Bagus dalam budaya jawa berarti baik, Haqqiasmi, Haqqi artinya adalah ahli hukum (mungkin maksud ayahku ahli syariat dan fiqih), sedangkan asmi adalah nama keluarga. Dengan nama itu mungkin sudah terlihat harapan kedua orang tuaku memang menginginkan Islam dan jawa melekat pada diriku.

Masa Pra – Sekolah, Penanaman Nilai - Nilai

Pada masa ini orang tuaku sangat memperhatikanku, bagaimana aku harus bertingkah laku, bagaimana aku harus bergaul, dan bagaimana aku harus belajar. Aku sering disebut sebagai anak durhaka ketka aku kecil, hal ini dikarenakan aku yang selalu membangkang perintah orang tua, selalu ingin menangnya sendiri, tidak mau kalah dan “sak deg sak nyet” (jika meminta sesuatu harus dipenuhi saat itu juga). Tetapi sifat inilah di kemudian hari yang menolongku.

Orang tuaku sangat membatasiku dalam bergaul, mereka selalu memilihkan teman yang dirasa baik untukku, dan tidak jarang pula mereka melarang aku berteman dengan seseorang karena perbedaan cara mendidik.

(6)

mungkin menganggap hal itu sebagai sesuatu yang musyrik (mempersekutukan tuhan) . Ayahku memang tidak pernah belajar sosiologi maupun antropologi, tetapi beliau spertinya tahu anak – anak seumuranku cenderung melakukan “imitative learning”.

Suatu hari aku memasuki taman kanak – kanak, disitu aku diajarkan berbagai macam hal oleh guruku. Salah satu pelajaran yang masih aku ingat adalah, guruku menerangkan tentang macam – macam hewan yang ada di dunia. Pada waktu itu, aku sangat kagum degan hewan singa, hewan yang menurutku paling ideal, yang juga dijuluki “si raja hutan”.

Aku sangat terobsesi dengan seekor singa, bagaimana dia tidak terkalahkan di habitatnya. Kebetulan juga aku lahir 9 agustus, menurut ilmu astrologi, tanggal kelahiranku digambarkan dengan simbol “leo” . Itu semakin mensugesti diriku sebagai penguasa, sebagai pemimpin dan sebagai orang yang kuat. Memang kelihatanya konyol, tetapi itulah pikiran seorang anak – anak.

Dengan sugesti itu aku selalu terpacu untuk menjadi seorang pemimpin di taman kanak – kanak. Aku mulai sering diberi kesempatan oleh guruku sebagai petugas upacara. Kadang sebagai pengibar bendera, kadang sebagai komandan regu, sering pula menjadi pemimpin upacara. Dari situ aku juga menyimpulkan bahwa budaya bisa masuk lewat mana saja, tidak hanya dengan belajar dari nilai – nilai yang ditanamkan orang, tetapi dapat juga melalui sesuatu yang kita memiliki minat disana. Memang hewan, termasuk singa tidak memiliki kebudayaan, tetapi doktrin singa sebagai raja hutan dan pemimpin itu memberikan suatu gambaran “role model” kepemimpinan. Dan kurasa semua budaya itu ada karena belajar tingkah laku, seperti yang diungkapkan oleh C. Kluckhohn, A. Davis atau A. Hobel tentang teori “Learned Behaviour”nya.

(7)

tank – tank dan pesawat Jaman penjajahan dulu dipamerkan disini. Aku selalu bersemangat untuk menaiki tank – tank yang dipamerkan itu. Bagiku para pahlawan dulu yang bertempur adalah superhero, dan tank – tank, serta pesawat Indonesia adalah sesuatu yang langka, sebab sebagian besar alat tempur adalah milik penjajah. Aku tak pernah bosan berkunjung kesini, meskipun hanya saat – saat aku meraih pencapaian tertentu aku bisa kesini. Orang tuaku memang menerapkan sistem “reward” dan “punishement”. Yaitu memberi aku hukuman jika aku melakukan kesalahan, dan memberikan imbalan ketika aku mencapai pencapaian tertentu. Cara ini membuatku belajar untuk berdisiplin dan mencoba mencapai suatu prestasi tertentu.

Seperti yang kukatakan diatas, keluargaku adalah sebuah keluarga yang sederhana, keluarga kami tidak memiliki mobil, ayahku mempunyai prinsip, haram baginya membeli mobil sebelum bisa haji ke tanah suci. Mrnurut agama Islam memang tidak diperkenankan bagi seseorang yang secara materi sudah mampu melaksanakan haji, tetapi materi yang diperoleh di hibahkan untuk sesuatu yang lain, yang bahkan harganya lebih mahal daripada naik haji, contohnya mobil. Selain tidak mempunyai mobil, keluarga kami juga sangat berhemat dari pengeluaran apapun. Bahkan makan pun, keluarga kami sangat hemat dalam membelanjakan lauk yang kira – kira murah untuk di beli. Karena latar belakang yang sangat sederhana itulah aku menjadi seseorang yang sangat benci terhadap kehidupan bermewah – mewahan, hedonisme dan pemborosan. Dari situ aku sangat beruntung merasa menjadi seorang yang “pernah miskin”, sehingga konsep “grass-root understanding” (pemahaman terhadap akar rumput/rakyat kecil) memang benar – benar tertanam di dalam diriku.

Masa Sekolah, Masa Mempelajari Interaksi di Sekitar Lingkungan

(8)

mangundikaran I. Bersekolah di sekolah favorit tentu mempunyai persaingan yang lebih berat, tetapi dengan persaingan yang lebih berat itulah aku dapat terus mengejar para pesaingku. Masa – masa SD, aku tidak terlalu menonjol, ranking kelas pun paling tinggi hanya bertengger di peringkat 5, itupun cuma dua kali. Tetapi pada masa ini adalah masa yang sangat menyenangkan

Kehidupan anak SD, adalah kehidupan yang sangat menyenangkan. Disitulah masa – masa bermain, mulai mengenal banyak teman, mulai belajar bertanggung jawab. Di masa ini kehidupanku sangat berbeda dengan anak – anak jaman sekarang. Ada beberapa yang membuatku sangat terkenang pada masa ini, yaitu ialah ketika bermain berbagai permainan tradisional. Hampir setiap hari aku dan teman – teman menghabiskan waktu untuk bermain “pathok lele”, “sarimbi”, “sokdor”

dan masih banyak lainya. Permainan pada masa kecilku dulu disitu sangat dituntut untuk berinteraksi dengan orang lain, bagaimana belajajar berinteraksi, bagaimana memaknai suatu kolktivitas dan bagai mana memaknai suatu kebersamaan. Hal ini tentu berbeda dengan anak – anak jaman sekarang yang lebih memilih bermain game. Secara tak langsung hal itu membuat anak lebih individual karena tidak berinteraksi langsung dengan teman – temannya yang lain. Memang globalisasi adalah suatu proses yang tidak dapat ditolak, hal ini juga yang telah menyebabkan

“transformasi kebudayaan” .

(9)

Mereka menerangkan dengan sangat jelas mata pelajaran yang sedang diajarakannya. Menurut pandanganku, guru –guru SD jaman dahulu mempunyai bhakti pengabdian yang sangat luhur, mereka tidak hanya mengajarkan intelektualitas, tetapi mereka mengajarkan bagaimana ber akhlak ynag baik, berdisiplin, bertanggung jawab dan berbagai hal mendasar lainnya.

Aku lulus SD dengan nilai ujian nasional yag sangat memuaskan ketika itu. Aku tak menyangka bahwa nem ku adalah salah satu yang tertinggi di sekolah. Berbekal ijazah aku mulai berpikir untuk malenjutkan sekolah di SMP idamanku, SMPN 1 Nganjuk, SMP ini adalah SMP favorit satu – satunya di kotaku. Sebenarnya orang tuaku ingin mengirimku ke pondok pesantren seperti kakakku, tetapi lagi – lagi aku menolak. Aku berpikir sekolah umum lebih menjanjikan daripada sekolah agama, karena banyak diantara sekolah agama dan pesantren yang sudah

“disalahgunakan”. Dalam artian begini, seolah agama sekarang ini kualitasnya sudah tidak sebagus dulu, dikarenakan banyak siswa yang masuk disitu bukan karena ingin belajar agama, tetapi karena tidak diterima di sekolah umum. Hal ini yang menjadi ironi. Itu kenapa aku menolak saat akan didaftarkan ke pesantren oleh orang tuaku. Aku berpikir di sekolah umum juga ada majelis ta’lim yang bisa sebagai wadah untuk menimba ilmu agama.

(10)

Di masa SMP ini aku mulai mengenal apa yang disebut organisasi. Aku mulai mengenal Pramuka, Pmr dan OSIS. Aku mengikuti Pramuka dan PMR. Bekal organisasi memberikan dmpak yang besar dalam hidupku. Dari situ aku tahu ternyata organisasi merupakan sebuah sistem di dalam masyarakat. Tanpa organisasi suatu masa tidak akan bisa menjalankan sistem. Dengan belajar organisasi ini aku tahu apa makna memimpin dan dipimpin. Melalui organisasi aku diajarkan banyak hal tentang komunikasi interpersonal, tentang bagaimana memimpin sebuah sistem dan bagaimana sebuah sistem organisasi itu bergerak.

Aku melanjutkan sekolahku di SMAN 2 Nganjuk, SMA yang memiliki reputasi besar di kotaku, SMA ini jika disaingkan dengan SMA – SMA di kota besar misalnya Kediri, Malang dan Surabaya tidak akan kalah. SMA ini dikenal memiliki lulusan – lulusan yang banyak diterima di perguruan tinggi. Aka masuk di SMA ini dengan terseok – seok di urutan 303 karena memang nilai nemku yang pas – pasan. Dari nilai nemku yang pas – pasan itu aku mulai bertekad untuk mengubah cara belajarku, dan benar – benar bersungguh – sungguh untuk menuntut ilmu.

Pada saat SMA ini sangat banyak kegiatan yang ku ikuti dari membuka usaha percetakan sampai mengikuti berbagai organisasi di sekolah. kesibukanku ini membuatku sering di tegur oleh orang tuaku, karena aku mulai sering melalaikan untuk membaca al – qur’an. Pelanggaran yang ku buat ini mungkin termasuk folkways (kebiasaan) menurut W.G. Sumner. Dimana sebuah kebiasaan norma keluarga yang aku langgar. Dan snksi yang diberikan memang tidak cukup tegas, yaitu hanya berupa teguran. Aku sangat sering dimarahi ayahku gara – gara hal ini. Ayahku memang seseorang yang berwatak keras, mungkin ini yang dimaksudkan oleh Ruth Bennedict (1934) tentang “ethos” yaitu watak khas yang dimiliki oleh seseorang. Seperti watak keras ayahku.

(11)

grafis lewat berbagai buku, sampai sangat banyak koleksi bukuku tentang desain grafis ini. Bisnis yang kujalani bersama temanku ini tanpa disangka –sangka sangat cepat berkembang. Berawal dari temanku yang berhasil membuat stiker dan kaus, bisnis kami mulai laris. Bahkan dalam waktu satu minggu, pernah kami meraup keuntungan sampai satu juta. Tetapi karena kalkulasi bisnis kami yang cukup lemah ada beberapa masalah disini, seperti rusaknya alat pencetak stiker, terbenturnya kegiatan bisnis dengan jadwal kegiatan sekolah dan lain – lain.

Kelas II kami mulai menutup usaha kami dikarenakan aku terpilih sebagai ketua OSIS di sekolah dan temanku terpilih menjadi sekretarisnya. Pengalaman menjadi ketua OSIS inilah yang akan benar – benar merubah hidupku.

Sekolah kami adalah sekolah yang terkenal organisasinya (OSIS) luar biasa. Bagaimana tidak, waktu dies natalis sekolah saja sekolah kami dapat mengadakan 8 kegiatan tingkat kabupaten dan propinsi, dengan dan hanya sepuluh juta. Bahkan salah satu acara kami “The Real of Festifal Music Smada” menghabiskan dana sampai 30 juta untuk melaksanakanya. Dikarenakan festival musik ini selain memiliki biaya operasional yang besar, juga mengundang bintang tamu artis yang harga sewanya sampai dua puluh juta, antara lain Andi AFI, Flanella, NTR dan Steven Jam. Sekolah kami adalah satu – satunya lembaga yang bisa mendatangkan artis – artis. Bahkan Even Organizer pun belum mampu. Dan hebatnya, semua kegiatan ini tidak terlalu besar campur tangan guru di dalamnya, itu kenapa saya berani berkata bahwa OSIS sekolah kami memang luar biasa. Dapat melakukan sesuatu yang “imposible” menjadi

“posible”. Memang pemuda disini luar biasa, idealisme mereka begitu tinggi, sehingga kami dapat melaksanakan acara dengan sukses.

(12)

rasional. Tetapi kami tidak kehabisan akal. Kami mencari sponsor, kami mengajukan proposal dari toko – ke toko. Di Kabupaten Nganjuk memang sangat sulit mencari sponsor, dikarenakan industri belum berkembang disini. Tetapi kami tidak menyerah, kami mencoba mencari bantuan ke luar kota, semua pengurus OSIS kami turunkan di berbagi kota besar sekitar, seperti Kediri dan Surabaya. Tetapi usaha kami itupun belum cukup berhasil. Maka kami harus merelakan acara sepeda santai untu diganti acara jalan santai.

Tetapi uang yang kami kumpulkan ternyata cukup untuk mengadakan festival musik. Tak di duga – duga pembina kami tidak menyetujui kegiatan kami. Beliau mengangga kami tidak bisa melaksanakan acara tersebut. Alhasil kami mengumpulkan masa seluruh pengurus OSIS untuk berbicara dengan beliau di kediaman beliau. Warga sekitar panik, karena kami membawa masa yang sangat banyak. Setelah kami bernegosiasi, ternyata hasilnya tetap buntu. Maka kami putuskan untuk menghadap kepala sekolah secara langsung. Bernegosiasi dengan kepala sekolah ternyata acara kami disetujui alhasil bergembiralah kami semua.

Masa OSIS adalah masa yang luar biasa menurutku, disitu aku benar – benar mendapatkan pengalaman yang berharga. Seperti pengalaman bekerja hingga pagi, pengalaman mengerjakan mobil karnaval hingga satu minggu aku tidur di sekolah, dan pulang hanya untuk mengambil seragam. Benar – benar masa yang member pelajaran untukku, terutama pelajaran untuk bekerja keras, yang menjadi pola pikirku sampai sekarang. Itulah “ethos” yang kudapat dari pengalaman selama menjabat Ketua OSIS. Sampai saat ini pun aku sangat mensyukuri penglaman yang kudapat dari OSIS. Ini adalah suatu bentuk “learned behavioural” yang baik.

Tanpa terasa aku sudah beranjak kelas III SMA. Waktu begitu cepat berlalu, tibalah saatnya untuk menatap masa depan yang lebih baik. Yaitu mencari perguruan tinggi. Kelurgaku adalah termasuk keluarga yang

(13)

bagaimana. Ini salah satu yang membuatku kesulitan. Aku benar – benar buta perkuliahan. Mataku benar – benar terbuka ketika aku beranjak kelas 3 dan banyak mencari tahu tantang perkuliahan. Aku banyak mencari literatur dari ruang Bimbingan dan Konseling. Disana aku meminjam buku – buku tentang profil universitas. Dari sana aku baru tahu yang sebenarnya tentang apa itu Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Brawijaya dan lainnya.

Awal ketertarikanku pertama adalah dengan UGM, aku berpikir UGM adalah tempat yang ideal untuk aku meneruskan kuliah. Tetapi pikiranku berubah jatuh ke UI ketika aku mendengar cerita tentang guruku yang anaknya ketiga – tiganya sukses setelah merantau di UI. Menurut prinsip guruku orang yang merantau jauh akan mendapatkan suatu ilmu yang jauh lebih banyak dan lebih baik daripada orang yang merantau dekat dengan daerah asal. Terbukti dua anak dari guruku itu menjadi dokter dan yang satunya menjadi diplomat. Mulai saat itu aku mulai memantapkan target untuk kuliah di UI.

Aku mulai belajar hingga larut malam hampir setiap hari. Aku merasa sudah terbiasa untuk “high workload” karena pada masa saat aku menjabat ketua OSIS dulu juga dituntut seperti itu, dan sifat ini sudah menjadi suatu ethos. Aku berkomitmen akan terus belajar sampai minimal jam 12 malam. Aku tidak boleh tidur di bawah jam 12 malam. Dan saat bangun pagi pun begitu, setelah sholat shubuh aku selalu belajar. Aku belajar lebih keras karena ternyata jurusan yang kudamba – dambakan ada di rumpun ilmu sosial, sedagakan aku mengambil jurusan ilmu alam ketika SMA. Mulai saat itu aku mulai membuka buku – buku IPS sebagai modalku menghadapi SNMPTN nanti.

(14)

Awal kepindahanku merantau ke Depok diwarnai berbagai hal. Pertama yang kurasakan saat awal kepindahanku ke depok adalah

“cultural shock”. Aku merasakan cultural shock setelah benar – benar maninggalkan daerah jawa. Kebudayaan yang berlaku disini bukan kebudayaan jawa maupun sunda, meskipunletaknya di jawa barat, budaya yang berlaku di sini adalah pluralitas dari berbagai budaya indonesia yang ber “diffusi” di Jabodetabek. Antara budaya yang ditanamkan oleh orang tuaku degan budaya – budaya orang yang dimiliki disini sangat berbeda.

Bahkan orang jawa yang kutemui di sini pun ada sedikit perbedaan degan ketika aku di Nganjuk. bila di daerah Nganjuk, Kediri , madiun dan sekitarnya bahasa yang digunakan adalah warisan mataram. Sementara di jombang, lamongan, dan Surabaya menggunakan bahasa jawa yang lain yang istilahnya bahasa pesisir. Di daerah purwokerto dan sekiternya pun berbeda, mereka memakai bahasa jawa banyumas. Secara garis besar bahasa jawa sama, tapi agak berbeda di “kata – kata khusus, dialek dan idiolek”.

Penutup

Di depok dengan budaya yang plural ini, aku menemukan suatu pola yang khas seperti yang diungkapkan C. Kluckhohn dengan teorinya

“universal categories of culture”. Meskipun budaya itu berbeda – beda. Tetapi budaya pasti memiliki unsur yang universal, yang semua budaya di dunia mempunyainya. Hal ini yang diungkapkan Kluckhohn bahwa unsur universal ituada tujuh, yaitu “bahasa,sistem pengetahuan, organisasi sosial,sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup,sistem religi dan kesenian”.dan aku menemukannya pada budaya plural yang ada di Depok.

(15)

ada nilai yang dianggap benar oleh semua kelompok. Yang ada adalah nilai kebenaran dari suatu kelompok budaya tertentu. Misalnya dalam kelompok pencuri, tentulah mencuri itu dianggap perbuatan baik dan benar. Karena nilai yang ada di kelompok itu memang begitu adanya. Berbede lagi misalnya perbuatan mencuri menurut perspektif para kelompok ulama.pasti kelompok ulama itu menilai mencuri adalah perbuatan yang tercela.

Setelah mendengar jawaban temanku tadi, aku mengajukan pertanyaan lagi “apa sifat baik yang dimiliki orang ambon?”. Dia menjawab “orang ambon itu singkat dalam penggunaan kata –kata, tetapi padat makna, tidak seperti orang jawa yang terlalu basa – basi dan bertele –tele”. Dari jawaban yang kedua ini aku juga melihat bahwa ada kesalahan persepsi, orang jawa sebenarnya tidak bertele – tele, tetapi dalam berkomunikasi orang jawa itu sangat menghargai kesopanan, sehingga memiliki kesan basa – basi. Dari sini aku melihat bahwa yang dikatakan (Ralp linton) benar bahwa ternyata budaya memang memiliki

“cultural interest” yang berbeda – beda. Sesuatu yang ditonjolkan budaya jawa adalah kesopanan dan tata krama, sedangkan budaya ambon adalah efektifitas dan kejujuran.

(16)

Referensi

Koentjaraningrat.

2009 “Pengantar Ilmu Antropologi”

Kottak, Conrad Phillip

2011 “Cultural Anthropology” : Appreciating Cultural Diversity

Keterangan :

 Tahun buku referensi adalah tahun buku revisi diedarkan

Referensi

Dokumen terkait

Mientras que en poblaciones bajas, el largo periodo reproductor hace que las ranas dispongan de un importante margen temporal para la reproducción y el desarrollo de las larvas,

Perhitungan kebutuhan bahan dan biaya koagulan feri klorida liquid, kaustik soda 48%, dan polimer anion dengan dosis yang paling efektif yaitu 610 ppm dengan pengadukan cepat 150 rpm

Ijan Poltak Sinambela (2006:5) mengartikan pelayanan publik sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu

Tulisan sini akan membahas secara lebih lanjut tahapan radikalisme politik kelas menengah Muslim yang terjadi di Indonesia mulai dari munculnya godly nationalism, konteks

Hasil analisis statistik terhadap bobot badan akhir yang diperoleh pada akhir penelitian menunjukkan bahwa bobot badan akhir pada perlakuan R2 nyata (P<0,05) lebih

Pulley secondary berfungsi yang berkesinambungan dengan puli primer mengatur kecepatan berdasarkan besar gaya tarik sabuk yang diperoleh dari pulley primary. Adapun prinsip

Meskipun pemupukan NPK nyata mempengaruhi bobot kering polong dibanding kontrol, namun penambahan pupuk hayati pada dosis N yang lebih rendah (1/4–1/2 N), meningkatkan hasil