• Tidak ada hasil yang ditemukan

Modernisme Islam dan Konflik Peradaban (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Modernisme Islam dan Konflik Peradaban (1)"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

Modernisme Islam dan Konflik Peradaban

FAJAR KURNIANTO

Wacana modernisme Islam saat ini tampaknya semakin meredup dan sayup-sayup, seiring munculnya wacana lain yang lebih aktual dan kontemporer dalam bidang ekonomi, sosial, maupun politik, yang jauh lebih menarik. Kalau pun masih eksis, wacana ini dinilai sudah tidak relevan lagi diperbincangkan karena konteks zaman telah lari kencang ke depan dan berubah drastis secara revolusioner.

Kalangan ini, setidaknya, memberikan beberapa catatan penting. Pertama, gerakan modernisme Islam lahir dalam konteks keterpurukan, ketertinggalan, dan sikap inferioritas kaum muslim di berbagai belahan dunia dalam menghadapi cengkeraman kolonialis-imperialisme Barat abad ke-20. Saat ini, negara Islam yang dulunya terjajah telah merdeka dan mulai bangkit dari keterpurukan. Bahkan, di beberapa negara, peradaban Islam semakin menguat.

Kedua, gerakan modernisme Islam, harus diakui, pada satu sisi identik dengan puritanisme. Sebut saja misalnya tokoh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab dengan gerakan Wahhabiyah-nya di Arab Saudi yang kental dengan puritanismenya. Menurut mereka, apa pun yang tidak sesuai dengan ajaran otentik Al-Qur’an dan sunah Nabi, ia dianggap bid’ah dan harus dilenyapkan. Jauh sebelum ini, ada Ibnu Taimiyyah yang mendobrak kebekuan pintu ijtihad.

Pada sisi lain, modernisme Islam, menampilkan sosok seperti Muhammad ‘Abduh, Jamaludin al-Afghani, dan Rasyid Ridha, yang berpemikiran modernis. Ketiga tokoh ini bertarung dalam ranah pemikiran berbeda. Muhammad ‘Abduh lebih cenderung dalam teologi, al-Afghani dalam politik, dan Ridha dalam pendidikan. Tokoh-tokoh ini sama-sama berangkat dari persoalan keterpurukan umat yang harus diangkat. ‘Abduh menawarkan teologi rasional ala Muktazilah, al-Afghani menawarkan politik pan-Islamisme, dan Ridha dengan peningkatan mutu pendidikan umat lebih modern mengadopsi model pendidikan Barat.

Ketiga, modernisme, selain identik dengan puritanisme, juga banyak dicurigai sebagai agen Barat yang disusupkan ke dunia Islam. Kita kenal, misalnya, jargon modernisme adalah westernisasi (pembaratan). Domain yang berbeda jauh.

(2)

Islam dan Barat adalah dua domain yang, diyakini banyak orang, berbeda. Barat dengan ideologi sekuler, sementara Islam sebagai ideologi wahyu Tuhan. Maka, modernisme, apa pun bentuknya, tidak relevan masuk dalam Islam. Islam memiliki modernismenya sendiri, bukan modernisme ala Barat.

Dalam salah satu artikelnya berjudul Roots of Islamic Neo-Fundamentalism, Fazlur Rahman menyebutkan dua kelemahan modernisme Islam. Pertama, kaum modernis, dalam pendekatan mereka terhadap Al-Qur’an, bersifat pilih-pilih. Mereka tidak dengan jelas mengusahakan adanya metodologi untuk interpretasi sistematis dan komprehensif terhadap Al-Qur’an dan sunah guna melandasi konsep Islam tentang moral dan hukum, dan untuk mengoreksi beberapa kekurangan dari ekses sistem klasik Islam.

Kedua, banyak kaum modernis yang menunjukkan kecenderungan yang berbahaya karena sikap apologetik berkenaan dengan beberapa hal penting tertentu, khususnya bila memberi tafsiran pada sejarah Islam.

Tiga alasan plus dua kelemahan yang dikemukakan Fazlur Rahman makin meneguhkan modernisme Islam sebagai hal yang tidak layak lagi diadopsi. Berhentikah modernisme Islam di sini?

Atau, saat ini, justru modernisme Islam mengambil bentuk lain yang lebih elastis, terutama dalam menyikapi perkembangan wacana-wacana kontemporer? Atau, memang modernisme Islam telah benar-benar mati?

Wacana modernisme Islam belum mati, tetapi tetap eksis tampil dalam wajah yang lain. Kolonialisme dan imperialisme Barat memang telah banyak berakhir sejak lama. Tetapi, konflik antar-Islam dan Barat, dua peradaban dominan saat ini di dunia, masih terus berlangsung. Tesis Samuel P Huntington, The Clash of Civilization, layak dikemukakan di sini.

Sejak berakhirnya era perang dingin dengan runtuhnya imperium komunis Soviet, Barat praktis tidak mendapatkan target politik yang mengkhawatirkan selain Islam. Islam yang tidak dipahami sebagai keyakinan teologis semata, tetapi Islam yang mampu melahirkan peradaban tandingan jauh lebih kuat dan dahsyat dibandingkan dengan komunisme. Suatu peradaban yang diikat oleh kultur solidaritas religius yang sangat kuat, melintasi batas-batas geografis, demografis, ras, suku, dan kebangsaan.

(3)

Peradaban Islam, secara geografis, memang identik terpusat di Timur Tengah, belakangan di Asia Tenggara. Tetapi secara kultural keterpusatan itu bukan di sana, tetapi di jantung keyakinan religius terdalam umatnya di mana pun berada. Dunia Islam bergolak saat Afghanistan diserbu Amerika Serikat (AS) dan sekutunya. Pergolakan itu semakin memuncak saat Irak kembali luluh lantak dibombardir AS setelah Afghanistan.

Sebelum dua negara ini, konflik Israel-Palestina menjadi isu internasional yang, tampaknya, akan abadi, menyulut rasa solidaritas keagamaan dunia, bahkan hingga saat ini. Belakangan, isu nuklir Iran menjadi wacana dunia yang juga memunculkan sentimen keagamaan. Iran sebagai peradaban Islam yang mampu memproduksi senjata terhebat abad ini, sekaligus berani melawan hegemoni Barat.

Sementara itu Barat, dengan wajah barunya, diyakini mewarisi watak imperialisme kolonialisme masa lalu. Jika dua model ini pada masa lalu lebih pada upaya mendapatkan kejayaan, kekayaan, dan kemenangan tuhan Kristen, saat ini Barat coba mendekonstruksi kultur peradaban Islam dengan isu demokratisasi, HAM, dan jender. Suara pan-Islamisme model Jamaluddin al-Afghani, pelan tapi pasti mewujud, misalnya dalam bentuk gerakan yang menyerukan perlunya penegakan syariat Islam dan khilafah untuk menyelamatkan peradaban Islam dari intervensi Barat yang hegemonistik.

Sementara itu suara teologi rasional ala Muhammad ‘Abduh terus mewabah dan mewujud dalam bentuk pemikiran Islam neo-modernis. Dan, suara peningkatan mutu pendidikan umat mewujud dalam gerakan Islam progresif-emansipatoris. Modernisme Islam, dilihat dari fenomena kekinian seperti di atas, tampaknya memang belum surut apalagi mati. Selama Barat meyakini dogma Clash of Civilization ala Huntington dan menjadikan dunia Islam sebagai target politiknya, gerakan Islam akan terus memberikan reaksi perlawanannya. Genre-nya memang berbeda, tetapi substansi perlawanannya identik.

Bagaimana ini berakhir? Pintu dialog antara Islam dan Barat diyakini jadi senjata ampuh yang mengakhiri konflik. Jika tidak, tepian damai dan saling pengertian antara dua peradaban ini hanya isapan jempol dan mimpi di siang bolong. Kita tentu tidak berharap demikian.

Referensi

Dokumen terkait

Varian ekonomi yang dimiliki oleh masyarakat Upang merupakan hasil adaptasi budaya mereka dengan kondisi lingkungan yang mereka hadapi serta kemampuan mereka menyerap

PELAKSANAAN PEND ID IKAN INKLUSIF BAGI SISWA TUNALARASB. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Metode angket dan dokumentasi tersebut digunakan untuk mengukur indikator-indikator yang dikembangkan dari aspek-aspek Kesiapan Sekolah dalam implementasi pendidikan

Apabila terjadi perubahan ketentuan Polis mengenai tapi tidak terbatas pada ketentuan manfaat, biaya, dan risiko akan diberitahukan kepada Pemegang Polis melalui nomor atau

Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) merupakan kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa praktikan, sebagai bentuk pelatihan untuk menerapkan teori yang

(3) Terdapat perbedaan yang signifikan setelah diterapkannya linear note taking style dan non linear note taking style bersetting saintifik ditinjau dari prestasi

Hasil statistik setelah dilakukan uji Mann Whiteney menunjukkan bahwa frekuensi tingkah laku agonistic pada kandang alas tanah berbeda nyata (P<0,05) yaitu

Prospek Agro-Industri Aren di Minahasa, Sulawesi Utara, menghasilkan , Produksi nira 10-20 liter nira per pohon per hari, Rendemen gula 10 %, Kemampuan petani menyadap aren