• Tidak ada hasil yang ditemukan

rukun dan syarat istishna (3)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "rukun dan syarat istishna (3)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS INDIVIDU

RUKUN DAN SYARAT ISTISHNA’

Makalah ini disusun guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah: FiqhMu’amalah

Dosen Pengampu: Imam Mustofa, S.H.I., M.SI.

Disusunoleh:

NURUL AYZAH (1502100199)

Kelas: A

PROGRAM STUDI S1-PERBANKAN SYARIAH JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI JURAI SIWO METRO STAIN JURAI SIWO METRO

(2)

RUKUN DAN SYARAT ISTISHNA’

A. PENDAHULUAN

Makalah ini membahas tentang istishna’. Kajian dalam istishna’ sangat penting pada kelas perbankan syariah, khususnya dalam melakukan transaksi jual beli, dan bertujuan untuk lebih memahami apa saja rukun dan syarat istishna serta mengetahui bagaimana cara yang akan dilakukan pada saat akad jual beli, karena istishna itu sendiri berarti pemesanan barang maka sudah pasti didalam pemesanan tersebut harus memiliki akad dan didalam akad tersebut harus ada rukun dan syarat, supaya lebih mudah dalam menjalankan transaksi jual belinya.

Dalam makalah ini terdapat penjelasan tentang bagaimana rukun dan syarat istishna yang harus dipahami kembali, bahwasanya didalam jual beli harus memiliki akad yang benar agar tidak ada terjadinya penipuan, maka dari itu saya menyusun makalah dengan kajian pokok pembahasan dari buku dan jurnal yang berkaitan dengan rukun dan syarat istishna.

Pembahasan makalah ini dimulai dari sedikit definisi tentang istishna dan dilanjutkan dengan rukun dan syarat istishna’.

B. DEFINISI ISTISHNA’

Menurut jumhur ulama, seperti diinformasikan oleh Heri Sudarsono dan Muhammad syafi’i Antonio, al-istishna’ merupakan satu jenis khusus dari bai’ salam.1 Bahkan bagi sebagian ulama, akad al-istishna’ hampir sama dengan akad al-salam, karena sama-sama jual beli yang barangnya belum ada. Dengan demikian secara umum bai’ istishna’ dilakukan antara pembeli dan penjual, dan penjual bias merangkap sebagai pembuat (yang memproduksi) dan atau tidak merangkap, tetapi memesan kepada pihak lain untuk memproduksinya.2

1 Heri Suharsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, dan Muhamad Syafi’i Antonio yang dikutip oleh Atang Abd. Hakim, dalam buku “Fiqih Perbankan Syariah”,

(Bandung:Refika Aditama,2005),h.238

(3)

Sebagian fuqaha kontemporer berpendapat bai’ al-istishna adalah sah atas dasar qiyas dan aturan umum syariah karena itu memang jual beli biasa dan penjual akan mampu mengadakan barang tersebut pada saat penyerahan. Demikian juga kemungkinan terjadi perselisihan atas jenis dan kualitas barang dapat diminimalkan dengan pencantuman spesifikasi dan ukuran-ukuran serta bahan material pembuat barang tersebut.3

C. RUKUN DAN SYARAT ISTISHNA’

Menurut pendapat Ascarya rukun dari akad istishna yang harus dipenuhi dalam transaksi adalah, Pertama pelaku akad yaitu mustashni’ (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan memesan barang dan shani’ (penjual) adalah pihak yang memproduksi barang pesanan. Kedua objek akad yatiu barang atau jasa (mashnu’) dengan spesifikasinya dan harga (tsaman) , dan Ketiga, Shigha yaitu ijab dan qobul.4

1. RUKUN ISTISHNA’

Rukun jual beli istishna’ adalah pemesan (mustasni’) penjual atau pembuat barang (sani’), barang atau objek akad (masnu’) dan sighat (ijab dan Kabul). Ketentuan atau syarat-syarat yang terkait dengan para pihak yang berakad sama dengan ketentuan yang berlaku dalam jual beli.5

Adapun rukun istishna’ sebagai berikut

1. Al-‘aqidin (dua pihak yang melalukan transaksi) harus mempunyai hak membelanjakan harta.

2. Shighat, yaitu segala sesuatu yang menunjukkan aspek suka sama suka dari kedua belah pihak, yaitu penjual dan pembeli.

3. Objek yang ditransaksikan, yaitu barang produksi.6

4. Produsen / pembuat barang (shaani’) yang menyediakan bahan bakunya

3 AAOIFI,Accounting and Auditing and Govermance Standars for Islamic Financial Institution (Bahrain: Accounting and Auditing Organization for Islamic financial Institution (AAOIFI) Manama, 1999), h. 315

(4)

5. Pemesan / pembeli barang (Mustashni)

6. Proyek / usaha barang / jasa yang dipesan (mashnu') 7. Harga (saman)

8. Serah terima (shighah) yaitu, Ijab dan Qabul7

Menurut pendapat Imam Syafii Antonio Rukun istishna‟ adalah sebagai berikut :

1. Al-mustashni (pembeli/pemesan)

 Hendaknya menentukan jenis, bentuk dan sifat yang dipesan

 Tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya

 Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan,

pemesan memiliki hak pemilih untuk melanjutkan atau membatalkan akad

2. As-shani (penjual)

 Boleh menjual barang yang dibuat oleh orang lain yang mempunyai

kualitas dan kuantitas yang dikehendaki oleh pemesan.

 Tidak boleh menukar barang kecuali dengan barang yang sejenis sesuai

dengan kesepakatan barang yang dipesan. 3. Al-mashu (barang yang dijual)

 Harus jelas ciri-cirinya

 Barang yang dipesan hendaknya barang yang biasa dijual belikan secara

pesanan oleh banyak orang.

 Harus dapat dijelaskan spesifikasinya

 Penyerahannya dilakukan kemudian

 Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditentukan berdasarkan

kesepakatan

 Bahan-bahan untuk membuat barang hendaknya dari pihak penjual

4. Harga

 Harga barang yang dipesan boleh dibayar semua pada saat akad

 Harga barang yang dipesan boleh dibayar semua pada saat penyerahan

barang

(5)

 Secara angsuran sesuai dengan kesepakatan

 Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang

5. Sighat atau ucapan/ijab kabul.

 Kebanyakan ulama mensyaratkan penyerahan barang harus ditunda

pada suatu waktu kemudian, tetapi mazhab syafi i membolehkan‟

penyerahan segera.

 Boleh menentukan tanggal waktu dimasa yang akan datang untuk

penyerahan barang

 Tempat penyerahan.8

Sedangkan menurut fatwa DSN-MUI tentang jual beli istishna’ yaitu sebagai berikut:

Pertama : Ketentuan tentang Pembayaran:

1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat.

2. Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan. 3. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan

hutang.

Kedua : Ketentuan tentang Barang:

1. Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang. 2. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.

3. Penyerahannya dilakukan kemudian.

4. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.

5. Pembeli (mustashni’ ) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.

(6)

6. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.

7. Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.

Ketiga : Ketentuan Lain:

1. Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya mengikat.

2. Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan di atas berlaku pula pada jual beli istishna’. 3. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya

atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.9

2. SYARAT ISTISHNA’

Syarat istishna adalah pihak yang berakad harus paham hukum, produsen sanggup memenuhi persyaratan pemesanan, objek yang dipesan jelas spesifikasinya, harga jual adalah harga pesanan ditambah keuntungan, harga jua tetap selama jangka waktu pemesanan dan jangka waktu pembuatan disepakati bersama.10

Syarat-syarat jual beli istishna’ adalah sebagai berikut:

a. Pihak yang berakal cakap hukum dan mepunyai kekuasaan untuk melakukan jual beli

b. Ridha/ merelakan dua belah piha dan tidak ingkar janji

9 Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 06/DSN-MUI/IV/2000

(7)

c. Apabila isi akad disyaratkan Shani' hanya bekerja saja, maka akad ini bukan lagi istishna, tetapi berubah menjadi akad ijarah.11

d. Pihak yang membuat barang menyatakan kesanggupan untuk mengadakan / membuat barang itu

e. Mashnu' (barang / obyek pesanan) mempunyai kriteria yang jelas seperti jenis, ukuran (tipe), mutu dan jumlahnya

f. Barang tersebut tidak termasuk dalam kategori yang dilarang syara' (najis, haram, samar/ tidak jelas) atau menimbulkan kemudratan (manimbulkan maksiat).12

Berkaitan dengan syarat istishna’, kalangan hanfiyah mensyaratkan beberapa hal agar istishna’ sah. Dari syarat ini apabila salah satunya tidak terpenuhi, maka akad istshna’ dianggap rusak atau batal.

a. Barang yang menjadi objek istishna’ harus jelas, baik jenis,macam, kadar dan sifatnya. Apabila salah satu unsur ini tidak jelas, maka akad istishna’ rusak. Karena barang tersebut pada dasarnya adalah objek jual beli yang harus diketahui. Apabila seseorang memesan suatu barang, harus dijelaskan spesifikasinya; bahan, jenis, model, ukuran, bentuk, sifat, kualitas serta hal-hal yang terkait dengan barang tersebut.

Jangan sampai ada hal yang tidak jelas, karena hal tersebut dapat menimbulkan perselisihan di antara para pihak yang bertransaksi.

b. Barang yang dipesan merupakan barang yang biasa digunakan untuk keperluan dan sudah umum digunakan, seperti pakaian, perabotan rumah, furniture dan sebagainya.

c. Tidak diperbolehkan menetakan dan memastikan waktu tertentu untuk menyerahkan barang pesanan. Apabila waktu penyerahan telah ditetapkan, maka dikategorikan sebagai akad salam.13

d. Produsen dan pemesanan (shani’ dan mustashni’) cakap hukum, tidak dalam keadaan terpaksa, dan tidak ingkar janji.

e. Produsen (shani’) memiliki kapasitas dan kesanggupan untuk membuat atau mengadakan barang yang dipesan.

11 Siti Mujiatun, ibid.,h.215

12 Nurul huda dan mohamad heykal,lembaga keuangan islam: tinjauan teoritis dan praktis,(Jakarta:kencana prenada media group,2010),h.53

(8)

f. Barang yang dipesan (mashnu’) harus jelas spesifikasinya dan tidak termasuk yang dilarang syari’ah sedangkan waktu penyerahannya sesuai kesepakatan.

g. Harga barang (tsaman’) harus dinyatakan secara jelas dan pembayarannya dilakukan sesuai dengan kesepakatan.14

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa dikalangan hanafiyah barang yang sudah dipesan sebaiknya harus jelas apa barangnya, fungsi barang tersebut dan tidak diperbolehkan untuk menetapkan kapan waktu barang tersebut diserahkan.

Meskipun waktu dan penyerahan tidak harus ditentukan dalam akad istishna’, pembeli dapat menetapkan waktu penyerahan maksimum yang berarti bahwa jika perusahaan terlambat memenuhinya, pembeli tidak terikat untuk menerima barang dan membayar harganya. Namun demikian, harga dalam istishna’ dapat dikaitkan dengan waktu penyerahan. Jadi, boleh disepakati bahwa apabila terjadi keterlambatan penyerahan harga dapat dipotong sejumlah tertentu perhari keterlambatan. Dalam aplikasinya bank syariah melakukan istishna’ paralel, yaitu bank menerima pesanan barang dari nasabah, kemudian bank memesankan permintaan barang nasabah kepada produsen penjual (shani’) dengan pembayaran di muka, cicil, atau di belakang, dengan jangka waktu penyerahan yang disepakati bersama.15

14 Veithzal Rival, Islamic Financial Management Teori, (Jakarta:Rajagrafindo Persada,2008), h.175

(9)

a. Tentang syarat para pihak

Tidak ubahnya dengan syarat-syarat bagi para pihak yang melakukan akad ba’i, pada pihak pada akad bai’ istishna’ juga harus terdiri atas orang-orang yang memenuhi syarat-syarat untuk dapat melakukan transaksi muamalah. Lihat syarat-syarat tentang para pihak tersebut para uraian tersebut bai’ yang berlaku juga bagi akad bai’ istishna’.

b. Akad istishna’

1. Dalam akad istishna’ seperti akad muamalah lainnya, tidak boleh mengandung syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang berisi kewajiban melakukan hal-hal yang dilarang oleh syariah atau berisi larangan yang harus dilakukan menurut syariah.

2. Akad istishna’ mirip dengan jual bei salam dari sisi keberadaanya sebagai bai’ al-ma’dum (jual-beli yang belum ada barang ketika para pihak membuat akad istishna’).

3. Dalam praktik perbankan, prinsip istishna’ ini dapat dilakukan dengan cara dimana pihak bank melakukan pesanan barang kepada produsen sesuai kebutuhan nasabah.

c. Barang yang diperjanjikan

1. Sebagaimana yang merupakan syarat bagi sahnya transaksi bai’ juga pada istishna’ (yang merupakan salah satu jenis bai’), barang yang diperjanjikan dalam transaksi istishna’ harus secara jelas diketahui diawal sebelum para pihak membuat akad istishna’ mengenai karakteristiknya, baik berupa jenis, spesifikasi teknis, kualitas,dan kuantitasnya.

2. Apabila barang yang dipesan tersebut mengandung cacat atau salah ketika diserahkan kepada pemesan /bank, maka pihak produsen/penjual bertanggung jawab atas kelalaiannya.

d. Posisi/status bank dalam akad istishna’

1. Dalam praktiknya, dalam suatu trasaksi istishna’ dan dapat bertindak sebagai pembeli dan penjual.

(10)

maka istishna yang demikian ini disebut dengan istishna’ bertingkat (istishna” al-muza’)

3. Cara ini dibenarkan, selama akad kedua, yaitu akad antara bank dan sub kontraktor terpisah dari akad pertama, yaitu akad antara bank dan pembeli. Akad kedua harus dilakukan setelah akad pertama sah. 4. Dalam perjanjian istishna’ antara bank dengan nasabah, apabila bank

sebagai penjual, bank tidak diharuskan untuk menyediakan penunjang produksi barang yang di pesan. Dengan perkataan lain, penjual (bank) tidak diharuskan untuk memproduksi sendiri barang yang dipesan tersebut, melainkan dapat memesan dar pihak lain (outsource)

e. Pembayaran

Dalam stishna’ pembayarannya dapat dilakukan oleh bank kepada pemasok barang dalam beberapa kali (termin) pebayaran sesuai dengan tahap kemajuan produksi atau pembuaan barang yang dipesan (production progress)

f. Aplikasi akad istishna’

1. Skim istishna’ pada bank syariah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan kontruksi

2. Oleh karena istishna’ merupakan kontrak pemesanan antara pembeli dengan produsen yang barangnya harus diproses terlebih dahulu untuk pengadaannya karena barangnya belum ada. Maka transaksi ini dalam perbankan biasanya dilakukan antara lain utuk pembiayaan kontruksi dimana pada saat penyelesaian kontruksi tersebut bank menjualnya kepada nasabah pada harga jual yang besarnya terdiri atas biaya kontruksi ditambah dengan margin atau keuntungan.16

Syarat istshna’ menurut Pasal 104 s/d Pasal 108 Komplikasi Hukum Ekonomi Syariah adalah sebagai berikut :

1. Bai’ istishna’ mengikat setelah masing-masing pihak sepakat atas barang yang dipesan.

2. Bai’ istishna’ dapat dilakukan pada barang yang bias dipesan.

3. dalam bai’ istishna’, identifikasi dan deskripsi barang yang dijual harus sesuai permintaan pemesanan

(11)

4. pembayaran dalam bai’ istishna’ dilakukan pada waktu dan tempat yang disepakati.

5. Setelah akad jual beli pesanan mengikat, tidak satupun boleh tawar-menawar kembali terhadap isi akad yang sudah disepakati.

6. Jika objek dari barang pesanan tidak sesuai dengan spesifikasi, maka pemesanan dapat menggunakan hak pilihan (khiyar) untuk melanjutkan atau membatalkan pemesanan.17

3. ISTISHNA’ PARALEL

Dalam sebuah kontrak bai’ istishna’,bias saja pembeli mengizinkan pembuat menggunakan subkontraktor untuk melakukan kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat dapat membuat kontrak istishna’ kedua untuk memenuhi kewajibannya pada kontrak pertama. Kontrak baru ini dikenal dengan istishna’ parallel.

Ada beberapa konsekuensi saat bank syariah menggunaan kontrak istishna’ parallel. Di antaranya sebagai berikut:

a. Bank syariah sebagai pembuat pada kotrak pertama tetap merupakan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab tehadap pelaksanaan kewajibannya. Isthisna’ parallel atau subkontrak untuk sementara harus dianggap tidak ada. Dengan demikian, sebagai shani’ pada kontrak pertama, ban tetap bertanggung jawab atas setiap kesalahan, kelalaian, atau pelanggaran kontrak yang berasal dari kontrak parallel.

b. Penerima subkontrak pembuatan pada istishna’ parallel bertanggung jawab kepada bank syariah sebagai pemesan. Dia tidak mempunyai hubungan hukum secara langsung dengan nasabah pada kontrak parallel, akan tetapi bukan merupakan bagian atau syarat untuk kontrak pertama. Dengan demikian, kedua kotrak tersebut tidak mempunyai kaitan hukum sama sekali.

c. Bank sebagai shani’ atau pihak yang siap untuk membuat atau mengadakan barang, bertanggung jawab epada nasabah atas kesalahan pelaksanaan subkontraktor dan jaminan yang timbul darinya. Kewajiba

(12)

inilah yang membenarkan keabsahan istishna’ parallel, juga menjadi dasar bahwa bank boleh memungut keuntungan kalau ada.18

Istishna paralel dalam teknis perbankan Aplikasi:

1. Pembiayaan modal kerja misalnya, untuk modal kerja industry barang-barang konsumsi, termasuk garmen, sepatu dan sebagainya. 2. Pembiayaan investasi misalnya untuk mengadakan barang-barang

modal seperti mesin-mesin.

3. Pembiayaan kontruksi (construction financing).19

18 M.Syafi’i Antonio Sebagaimana dikutip oleh Mardani, “Fiqh Ekonomi Syariah”, (Jakarta:Kencana,2012),h.127-128

(13)

D. PENUTUP

Dari pembahasan yang sudah saya buat dalam makalah ini yang bekenaan dengan rukun dan syarat istishna’, saya dapat menyimpulkan bahwa di dalam jual beli harus ada akad yang sah untuk mengurangi kerugian ataupun penipuan. Karena di dalam rukun dan syarat istishna’ terdapat pemesan dan penjual, di mana pemesan di haruskan untuk menyebutkan spesifikasi barang yang akan dipesan dan si penjual tidak diperbolehkan untuk menentukan kapan barang pesanan itu di serahkan.

Maka dari itu dengan adanya makalah ini, semoga pembaca dapat memahami bagaimana rukun dan syarat yang terdapat dalam istishna’ dan dapat menerapkannya di kehidupan sehari-hari.

(14)

DAFTAR PUSTAKA 1999.AAOFI. Mahama:Bahrian

2007.Ascarya Akad dan Produk Bank Syari’ah.Jakarta:Raja Grafindo Persada

Ascarya.2011.akad dan produk bank syariah.jakarta:rajawali pers.

Fatwa MUI: Fatwa DSN MUI NO.06/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Jual Beli Istishna’.

Gita Danupranata,”Resiko Pembiayaan dalam Akad Istishna’ pada Bank Umum Syari’ah. Jurnal Adzkiya,(STAIN Jurai Siwo,Volume 02.Nomor 1,2014.

Heri Sudarsono.2005.Bank dan Lembaga Keuangan Keuangan Syari’ah:Deskripsi dan Ilustrasi.Yogyakarta: Ekonosia

Imam Mustofa, 2016. Fiqih Muamaah Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers.

Mardani,2012. Fiqh Ekonomi Syariah. Jakarta: Kencana.

Nurul huda dan mohamad heykal.2010.lembaga keuangan islam: tinjauan teoritis dan praktis.jakarta:kencana prenada media grup.

Syutan Remy Sjahdeini.2014.Perbankan Syrai’ah.Jakarta:Kencana

Siti Mujiatun.”Jual Beli dalam Perspektif Islam:Salam dan Istishna’,Jurnal Riset

Akuntansi dan Bisnis.(Fakultas Ekonomi,Universitas

Muhammadiyah.Sumatera Utara,Volume 13 Nomor 2,2013)

Referensi

Dokumen terkait

sumber daya manusia terhadap efektivitas organisasi pada pegawai PT. Perkebunan

Bapak Rudy, S.Kom, MM, selaku dosen Pembimbing Sistem Informasi atas waktu, pikiran, pengarahan serta kesabarannya dalam membimbing penulis selama proses penyusunan dan

 Agar terhindar dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh lingkungan atau kondisi kerja.  Agar setiap pegawai/tenaga kerja merasa aman dan terlindungi

Adapun solusi yang dapat diberikan untuk mengurangi factor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :.. Memastikan alat yang akan digunakan berfungsi dengan baik. Memastikan

Graph (b), since this is the only graph that represents a differentiable function at a and b and has negative slope at

Adapun lembaga pondok pesantren masa depan dan mencerahkan minimal mempunyai lima fungsi, pertama sebagai lembaga keagamaan yang mengajarkan ilmu-ilmu agama: kedua, sebagai

(1) The Regional Office works with WHO headquarters, country offices and implementing partners, including patient communities and CSOs, to provide technical support

Setelah didapat kerja alat wheel loader , kemudian dengan perhitungan rata-rata kerja wheel loader dari material yang ditinjau serta akan dihitung waktu siklus yang