• Tidak ada hasil yang ditemukan

M01391

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan " M01391"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Masihkah Media Indonesia Powerful?

Sih Natalia Sukmi1

sih.natalia@staff.uksw.edu

Abstrak

Mass media should become an alteration bearer in the process of democracy in Indonesia. The alteration is hoped since mass media has significant role in understanding and utterring the society’s needs and matters in any level without exception. The role enables media as a bridge between society and electoral community to dialog and negociate about the needs which should be faced and fullfiled as the representatives.

However, the ownership of media , as if, brings media to become powerless agent which submit to the equity owner only. Media, either as the tools or messages in the legislative elections in Indonesia, on April 9th, 2014, gives a description that the mainstream of it is so obedient to the mandate of owner who has politicaly interference on it. The marginal community does not get the place even to utter their aspiration. This research is important since it aims to create an alternative media which partied to marginal society, using citizen theatrical media.

Action research is a method in this research as an effort involving society in the completion of their matters . The result shows that theater can be an alternative media for marginal society to understand and utter their needs which oftenly strucked down. However, in this research, the planning and implementation’s matters are also found, therefore, it is hoped that this research is able to open the opportunity for the next action research.

Keyword : The media’s mainstream, alternative media, marginal community.

1

(2)

Masihkah Media Indonesia Powerfull?

Pendahuluan

Televisi adalah media yang cukup banyak dipilih masyarakat untuk memperoleh

informasi. Bukan hanya Pemilu tahun 2014, Pemilu tahun 2009 pun terungkap bahwa dari

penelitian yang dilakukan di 10 kota besar di Indonesia bulan Januari sampai Juni 2009

dengan populasi 46.719.473 orang, penonton berita 1,7 juta, yang dipantau Nielsen 2.123

rumah tangga,2 menunjukkan bahwa terdapat peningkatan jumlah penonton acara sebanyak 28

persen atau sekitar 23 ribu untuk periode April sampai Juni dari bulan sebelumnya, sekitar 18

ribu orang. Sementara mendekati Pemilu legislatif, jumlah pemirsa menanjak hingga 24 ribu

orang. Angka tersebut lebih bertambah mendekati minggu pengumuman calon presiden dan

wakil presiden hingga 31 ribu orang (centro.or.id).

Data yang diperoleh melalui penelitan yang dilakukan oleh Lembaga Survey di

Indonesia juga mengungkapkan,

Pemilih di Indonesia memanfaatkan berbagai macam sumber informasi yang berkaitan dengan PEMILU. Mayoritas pemilih di Indonesia menggunakan televisi (65%) sebagai sumber informasi mereka. Sedangkan yang lainya menjadikan ketua RT (16%), keluarga dan teman (17%), kepala desa/ lurah (12%), koran dan majalah (10%), dan poster, billboard dan pamflet (10%) sebagai sumber informasi tentang PEMILU. Pemilih di daerah perkotaan lebih banyak menggunakan televisi sebagai sumber informasi pemilu (68%), sedangkan pemilih di daerah pedesaan hanya (52%). Apabila dilihat berdasarkan usia, pemilih yang berusia diatas 54 tahun cenderung menggunakan ketua RT sebagai sumber informasi. Hal yang berbeda di perlihatkan oleh pemilih yang berusia dibawah 25 tahun (8%). Pemanfaatan sumber informasi yang beragam oleh masyarakat juga merefleksikan tingkat kepercayaan mereka pada masing-masing medium di berbagai macam daerah. Lima puluh enam persen responden menyatakan bahwa mereka mempercayai televisi sebagai sumber informasi tentang pemilu, kemudian di ikuti oleh Ketua RT (13%), kepala desa/ lurah (10%) dan teman dan keluarga (8%). Secara umum, televisi dianggap sebagai sumber

2

(3)

informasi yang bisa di percaya bagi pemilih yang berada di daerah perkotaan (63%) dibandingkan dengan mereka yang berada di daerah pedesaan (49%).3

Sebenarnya peran media bagi masyarakat Indonesia tidak terjadi baru saja. Fenomena sosial

menempatkan media berada di posisi yang berbeda-beda. Dalam perkembangan

masyarakatnya kekuatan media juga mengalami perjalanan sesuai dengan kondisi yang ada.

Seperti teks dibawah ini. Kita diwajibkan untuk dalam waktu yang mereka tentukan

Menyerahkan senjata-senjata yang telah kita rebut dari tangannya tentara jepang Mereka telah minta supaya kita datang pada mereka itu dengan mengangkat tangan Mereka telah minta supaya kita semua datang pada mereka itu dengan membawa Bendera putih tanda bahwa kita menyerah kepada mereka

Teks di atas mungkin sepenggal ungkapan yang disuarakan pejuang tanah air untuk

mengobarkan semangat kemerdekaan di negara kita. Bung Tomo, demikian biasa disapa

terkenal dengan retorika yang membangun semangat juang rakyat Indonesia untuk tergerak

melawan penjajah.

Media di era orde lama (1945-1966) dikenal dengan sebutan pers nasional. Pers

berbentuk surat kabar dan radio lahir menjadi alat pergerakan dan merebut kemerdekaan.

Tepatnya 1 Januari 1907, Medan Prijaji mempelopori pergerakan nasional di Bandung. Media

ini mampu menjadi corong untuk membakar semangat nasionalisme melawan penjajah. Surat

kabar itu pula yang lantas memicu lahirnya pergerakan-pergerakan pemuda lainnya seperti

Budi Utomo, Indische Partij, Partai Nasional Indonesia, dan Sarekat Indonesia. Dengan

ideologi masing-masing mereka membangun media untuk melakukan propaganda anti

3

(4)

penjajah. Maka tak heran jika hampir sebagian besar pers dibredel (Persbreidel Ordonnantie)

karena dianggap membahayakan keberadaan pemerintah Belanda.

Di era penjajahan Jepang, pers nasional juga digunakan sebagai alat propaganda.

Namun berbeda dengan pers di era penjajahan Belanda, Jepang cukup cerdik dengan

menggabungkan pers-pers tersebut menjadi satu ideologi pro Jepang. Pers tak ubahnya kaki

tangan atau perpanjangan pemerintah Jepang untuk menyuarakan segala kepentingan mereka.

Pers menjadi mandul, walaupun radio pada akhirnya berjasa besar meneruskan perjuangan

dengan menyebarkan berita kekalahan Jepang di Perang Dunia II (Latief, 1980:9). Indonesia

sedikit bernafas lega karena Jepang yang kalah kemudian mengakui kedaulatan yang diiringi

dengan perebutan semua akses dan sarana prasana media yang sebelumnya dikuasai Jepang.

Belum puas dengan progaganda anti penjajah dilakukan, antara tahun 1945 hingga

tahun 1949, pemerintah Belanda kembali menduduki Indonesia. Belanda dan sekutunya

kembali membuat media tandingan (Soeloeh Rakyat di Semarang, Pelita Rakyat di Surabaya,

harian Fadjar di Jakarta, serta harian Padjadjaran dan Persatoean di Bandung). Namun

tahun 1950 Indonesia mulai menikmati kebebasan bermedia. Pers berubah fungsi menjadi alat

bagi partai politik untuk menyebarkan ideologinya.

Tahun 1959, Dekrit Presiden dikeluarkan Presiden Soekarno. Masa ini dikenal dengan

sebutan demokrasi terpimpin. Pers menjadi lebih otoriter karena dikuasai pemerintah untuk

mendoktrin ideologi manipol. Pers berfungsi sebagai alat penggerak aksi massa dalam

memberikan informasi dan mendorong masyarakat agar mau mendukung pelaksanaan

manipol dan setiap kebijakan pemerintah (Semma, 2008:113).

Demikian pula di era orde baru, media massa seolah menjadi agen yang tak bernyawa.

Negara adalah entitas yang begitu berkuasa terhadap media. Bukan hanya persoalan

(5)

teringat jelas bagaimana ketika kecil penulis diwajibkan menonton film G30S/PKI yang

selalu diputar setiap tahunnya. Anak sekolah pada masa itu wajib menuliskan kembali isi film

tersebut sebagai pekerjaan rumah. Film yang diputar di televisi tersebut ternyata menjadi alat

propaganda efektif, terbukti hingga kini, penulis masih ingat betapa PKI adalah salah satu

kelompok yang begitu kejam seperti yang tergambar dalam film tersebut.

Selain film, media yang dianggap paling berpengaruh dalam pembentukan opini

publik adalah televisi. Pencitraan Presiden Soeharto kala itu sebagai bapak pembangunan

begitu erat melalui program-program acara yang dibuat. Negara kuat mendominasi isi media,

sehingga media seolah tak lagi menjadi kontrol pemerintah namun justru menjadi corong

yang menyuarakan “prestasi-prestasi” orde baru. Ketika sebuah program sedang runing, acara

bisa saja sewaktu-waktu dihentikan untuk kepentingan pemerintah, misal untuk pidato

kenegaraan oleh menteri penerangan atau kepentingan negara lainnya. Maka tak heran jika

banyak orang kini masih kerap kali bernostalgia dengan romantisme orde baru yang

menganggap bahwa zaman itu kondisi perekonomian lebih baik.

Kekuatan negara ternyata tak hanya mendominasi isi media. Pemerintah juga

menguasai regulasi kepemilikan media. Pembredelan sering diberlakukan bagi media-media

yang tak berpihak pada pemerintah. Bahkan media seolah menjadi entitas yang ekslusif

dibanding badan usaha lainnya, sehingga sangat rumit untuk mendirikannya. Perlu SIUPP,

perlu diskusi hebat tentang kanal frekuensi televisi jika ingin mendirikan media. Namun

ketika mulai dibuka untuk kepentingan komersial akhirnyapun kepemilikannya ada di

lingkaran keluarga Cendana-pendirian dan kepemilikan televisi.

Lantas bagaimana kekuatan media di era reformasi? Apakah media merupakan entitas

yang kuat untuk menjalankan fungsinya secara hakiki? Penelitian ini mencoba melihat media

(6)

karena lahir asumsi tentang adanya polarisasi televisi bagi kepentingan politik kelompok,

yang tentu saja tidak sesuai dengan peran media sesungguhnya.

Media dianggap powerful ketika media memiliki kemampuan untuk mempengaruhi

persepsi khalayaknya supaya sejalan dengan agenda media. Media senantiasa diarahkan untuk

keberhasilan agenda yang telah direncanakan. Media yang kuat adalah media yang melalui

isinya mampu membangun opini publik yang sesuai dengan keinginan media, seperti

komersial, politik atau kepentingan yang lain. Dalam asumsi yang kedua, media dianggap

sebagai entitas yang powerful ketika media mampu dengan independensinya berlaku

seimbang menjalankan porsinya sebagai media massa. Media massa pada dasarnya memiliki

peran edukatif, informatif, hiburan, dan kontrol sosial. Peran tersebut harapannya berjalan

seimbang tanpa ada intervensi dari pihak manapun termasuk pemilik media.

Tinjauan Pustaka

Dalam perkembangan studi tentang efek media memberi gambaran bahwa dalam

perjalanannya media sangat dipengaruhi oleh situasi dan fenomena yang tengah berlangsung.

Kemanfaatan media bagi masyarakat atau sekelompok orang menjadi jelas ketika kita

memahami bahwa kekuatan media sangat dipengaruhi oleh banyak faktor seperti negara dan

pembuat kebijakan, perubahan teknologi atau juga aktivitas-aktivitas pergerakan dari

kelompok penekan bahkan kelompok-kelompok propaganda yang mengarahkan media bagi

kepentingan tertentu.

McQuail (2010: 455-461) mengungkapkan bahwa efek media massa memiliki sejarah

yang dapat dibagi menjadi empat fase, yaitu: (1) Fase pertama, all-powerfull media. Fase ini

berjalan hingga tahun 1930an. Media seperti surat kabar, film, radio begitu kuat untuk

membentuk opini dan keyakinan. Media digunakan sebagai alat propaganda baik oleh para

(7)

Fase kedua, theory of powerful media put to the test. Era ini ditandai dengan seri

penelitian-penelitian Payne Fund tentang pengaruh film-film pada anak-anak dan remaja.

Hasil yang ditemukan menunjukkan gagasan tentang efek media terhadap emosi dan perilaku

anak muda. Perkembangan riset berikutnya menyasar pada televisi yang dijadikan sebagai

obyek kajian. Efek televisi dikaji pada kondisi di era paska perang. Bagaimana televisi dan

film digunakan dalam aksi-aksi persuasif atau informatif. Di antara beberapa kajian yang

dilakukan Hovland et al.(1949), Star and Hughes (1950), lahir pula riset investigatif yang

dilakukan oleh Lazarsfeld et.al (1944) tentang efektivitas kampanye pemilu yang demokrasi;

Fase ketiga, powerful media rediscovered. Pada fase ini, efek media dipertanyakan

kekuatannya. Riset Lang and Lang (1981) dapat disimpulkan bahwa media memiliki ‘minimal

effect’ dalam hubungannya dengan pembentukan opini publik, termasuk pula di dalamnya

studi tentang televisi. Perkembangan studi efek kemudian bergeser kepada pertanyaan tentang

“what people learn from the media directly or indirectly than direct effects on attitudes and

opinions”. For instance, there were changes in political communication following the arrival

of television and further changes as a result of newer communication media. Dan juga yang

tak kalah pentingnya bahwa studi yang dilakukan mengarah pada kesadaran akan cara

memilih dan memilah konten media sesuai dengan tujuan mereka dapat menimbulkan

pengaruh kuat atas bagaimana pesan diterima dan diintepretasi(direct-effect models).

Fase keempat, negotiated media influence. Fase ini dimulai akhir tahun 1970.

Pendekatan yang tepat digunakan pada era ini adalah ‘social constructivist’ (Gamson and

Modigliani, 1989 dalam McQuail, 2010: 459). Efek media dalam fase ini dianggap memiliki

signifikansi dengan konstruksi makna. Media cenderung menampilkan realitas sosial. Namun

demikian, media tidak dengan serta merta secara langsung memberikan pemaknaan kepada

khalayak, ada proses pemaknaan dan negosiasi pula atas apa yang disuguhkan media dengan

(8)

media’ paradigm and is also marked by shift from quantitative and behaviourist methods

towards qualitative, deeper and etnographic methods”. Dalam fase ini ada dua paradigma

yang terbentuk yaitu media memiliki kekuatan untuk mengkonstruksi realitas sosial dengan

menggunakan framing media, yang kedua bahwa khalayak juga memiliki kemampuan untuk

mengkonstruksi realitas sosial dari realitas bentukan media. Ada proses negosiasi pemaknaan

yang terjadi (McQuail, 2010:459).

Metodologi

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif eksploratif. Deskriptif adalah

sebuah metode yang digunakan untuk memaparkan sebuah fenomena yang ada dan bukan

bertujuan untuk mencari atau menjelaskan hubungan, mengkaji hipotesis atau bahkan

membuat prediksi. Deskripsi eksploratif mencoba untuk menggali data dari berbagai sumber

dan mendiskusikannya untuk menjawab rumusan masalah yang ada.

Penelitian deskriptif bertujuan untuk (Rakhmat, 2001:25): (1) mengumpulkan

informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada, (2) mengidentifikasi masalah

atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku, (3) membuat perbandingan atau

evaluasi, (4) menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang

sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada

waktu yang akan datang. Penelitian deskriptif bukan saja menjabarkan (analitis), tetapi juga

memadukan (sintesis). Bukan saja melakukan klasifikasi, tetapi juga organisasi. (Rakhmat,

2001:26).

Analisis

Kajian ini terfokus pada pemberitaan yang disiarkan di media massa khususnya

televisi di Indonesia selama Pemilu 2014 berlangsung. Hampir setiap hari sejak memasuki

(9)

berpihak kepada siapa. Televisi di era ini erat kaitannya dengan kegiatan politik yang

mewarnai Indonesia yaitu, pemilu legislatif serta pemilihan presiden dan wakil presiden.

Hampir setiap hari kita dapat menyaksikan bahwa televisi senantiasa menggulirkan

informasi-informasi yang terkait dengan Pemilu. Namun keberpihakan media dianggap melebihi batas.

Berbeda dengan pemilu tahun 2009, pada pemilu 2014 ini beberapa pemilik media

televisi berhasrat untuk terjun di bidang politik. Hary Tanoesoedibjo yang bergabung dengan

Partai Hanura adalah pemilik MNC Group, yaitu RCTI, Global TV, MNC TV, dan Indovision

network. Selain itu kepemilikannya juga termasuk stasiun radio Trijaya FM, Harian Seputar

Indonesia, majalah ekonomi dan bisnis Trust, dan Tabloid remaja Genie. Demikian pula

Aburizal Bakrie, ketua umum Partai Golkar, adalah pengusaha pemilik media TV One,

ANTV, dan Vivanews.Sementara Surya Dharma Paloh atau yang lebih dikenal dengan Surya

Paloh adalah pemimpin Partai Nasdem sekaligus penguasa Media Group. Media yang

tergabung di dalamnya adalah Media Indonesia, Lampung Post, dan Metro TV.

Maka tak heran jika media kemudian menjadi kendaraan politik bagi kemenangan

partai politik yang mengusungnya. Setelah Pemilu Presiden dan Wakil Presiden polarisasi

media tampak mengerucut menjadi dua kubu yang berbeda. Polarisasi media terjadi sesuai

dengan kubu politik yang terbentuk. Dalam perjalanannya Hary Tanoesoedibjo atau HT,

demikian biasa dipanggil dan Aburizal Bakrie lebih berkubu pada pasangan capres-cawapres

Prabowo-Hatta. Sedangkan Nasdem kemudian berpihak kepada pasangan Jokowi-JK. Hal

tersebut tampak dari pemberitaan yang diunggah oleh tempo.co dalam tulisannya yang

berjudul Prabowo: Salah Apa Saya Sama Metro TV dan Tempo?4 Dalam pemberitaan

tersebut terpapar bahwa Prabowo sebagai salah satu kandidat Presiden pada waktu itu merasa

disudutkan dengan pemberitaan tentang dirinya di Metro TV dan juga di Tempo. Sebaliknya

4

(10)

kubu Jokowi-JK juga merasa dirugikan dengan media yang memberi dukungan kepada

Prabowo. Kampanye hitam dianggap seringkali dilakukan untuk membangun opini publik

melawan Jokowi-JK. Pemberitaan yang tidak berimbang tampak dari program-program yang

disuguhkan, sehingga muncul pelanggaran-pelanggaran yang membuahkan teguran dari KPI.

Data Komisi Penyiaran menunjukkan, Metro TV menayangkan berita soal Jokowi sebanyak 62 kali pada 6-15 Mei. Metro TV cukup banyak memberitakan keberhasilan Jokowi selama menjadi Gubernur DKI Jakarta. Pada periode yang sama, iklan kampanye Jokowi di Metro TV mencapai 96 kali.Sebaliknya, pemberitaan soal Prabowo di Metro TV hanya 22 kali. Adapun iklan kampanye Ketua Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya tersebut nihil. Metro TV pada 8 dan 10 Mei lalu menayangkan soal pelanggaran hak asasi manusia dan penculikan aktivis 1998. Ini cenderung menjelekkan Prabowo yang dipecat dari TNI karena terlibat penculikan aktivis.TV One lebih banyak menayangkan berita Prabowo-Hatta. Berdasarkan data Komisi Penyiaran, TV One pada 10 Mei lalu juga menayangkan berita negatif soal kasus korupsi bus Transjakarta dan mengaitkannya dengan Jokowi.5

Pelanggaran juga terjadi dari frekuensi penayangan partai politik. Pada waktu kampanye

pileg, parpol diberi jatah 10 kali dalam sehari dalam satu media. Namun realitanya ditemukan

tayangan hingga lebih dari 20 kali. Dan menurut Hamdani Masil, Ketua KPID Provinsi DKI

Jakarta, pelanggaran seringkali dilakukan oleh media yang mempunyai keterkaitan dengan

partai yang disiarkan. Pelanggaran dalam pemberitaan media di tahun 2014 jauh lebih banyak

dibanding Pemilu 2009, yang tercatat jumlah perkara sebanyak735 perkara dari 14 parpol dan

32 perkara dari calon anggota DPD.

5

(11)

Gambar 1. Alat Bukti Pelanggaran6

Sumber: http://pemilu.tempo.co

Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi tentu berbanding terbalik dengan fakta bahwa

kebutuhan informasi masyarakat, dalam hal ini informasi tentang Pemilu, diperoleh dari

televisi. Namun ironis, ketika di satu sisi televisi adalah media yang paling banyak digunakan

untuk memperoleh informasi, realitasnya masyarakat tidak paham tentang hal-hal mendasar

yang mereka butuhkan untuk menyalurkan hak pilihnya melalui pemilu. Hasil penelitian dari

Lembaga Survey Indonesia menemukan bahwa,

Pada saat yang sama, sebagian besar pemilih di Indonesia menyatakan ketertarikan untuk mengikuti PEMILU 2014 nanti, namun disisi lain masih banyak dari para pemilih tersebut yang mengakui bahwa mereka masih belum memiliki informasi yang cukup atau tidak mempunyai informasi sama sekali tentang PEMILU Legislatif dan Presiden tahun 2014 nanti. Hanya 22% dari responden yang menyatakan bahwa mereka mempunyai banyak informasi atau cukup banyak informasi tentang hal yang berkaitan dengan PEMILU 2014. Dalam survei ini juga di temukan bahwa sebagian besar pemilih masih sangat membutuhkan informasi tentang isu-isu kunci PEMILU seperti pendaftaran pemilih, dimana dan kapan memilih, dan bagaimana cara menandai kertas suara. Dari data survei ini terlihat bahwa televisi merupakan sumber informasi utama dari semua segmen pemilih (LSI, 2013: 2).

Kebutuhan masyarakat tersebut tampaknya berusaha dipenuhi Komisi Pemilihan

Umum dengan diadakannya program debat capres dan cawapres melalui program televisi.

Debat capres-cawapres peserta Pemilu 2014 dijadwalkan 4 kali putaran. Debat pertama

dilakukan pada tanggal 9 Juni, debat antara Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK mengusung tema

6

(12)

"Pembangunan Demokrasi, Pemerintahan yang Bersih dan Kepastian Hukum". Debat ini

disiarkan oleh SCTV, Indosiar dan Berita Satu TV. Debat kedua dilakukan pada tanggal 15

Juni. Debat ini menghadirkan Prabowo Subianto dan Joko Widodo dengan tema

“Pembangunan Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial” yang disiarkan oleh Metro TV. Debat

ketiga dilakukan pada tanggal 22 Juni antara Prabowo Subianto dan Joko Widodo, dengan

mengusung tema “Politik Internal dan Ketahanan Nasional” yang disiarkan oleh TV One dan

ANTV. Debat keempat diselenggarakan tanggal 29 Juni, menghadirkan Hatta Rajasa dan

Jusuf Kalla dengan tema “Pembangunan Sumber Daya Manusia dan IPTEK” yang disiarkan

oleh RCTI, MNCTV dan Global TV. Dan yang terakhir adalah debat yang dilakukan tanggal

5 Juli antara Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK dengan mengusung tema “Pangan, Energi, dan

Lingkungan” yang disiarkan TVRI dan Kompas TV.

Dari jadwal yang direncanakan, hampir semua media kemudian mencoba untuk

menyiarkan program ini untuk kebutuhan khalayak mereka. Tetapi hal yang menarik adalah

ketika tayangan ini disiarkan, baik Metro TV maupun TV One membungkus program ini

dengan talkshow yang lain, bukan program dari KPU anscih. Diskusi yang dilakukanpun

menghadirkan narasumber-narasumber yang disesuaikan kepentingan media. Narasumber

yang mengarahkan keberpihakan kepada pasangan capres-cawapres kubu mereka

masing-masing.

Dari data di atas tampak bahwa media adalah alat politik bagi pemiliknya. Kekuatan

media untuk bersikap netral terganjal dengan kepentingan politik. Media mungkin menjadi

agen yang digunakan masyarakat untuk meraup informasi tentang Pemilu. Namun kekuatan

media tidaklah benar-benar ada karena konten yang seharusnya independen luluh dengan

arogansi pemilik media. Media menjadi lemah karena dia tak ubahnya bisnis usaha informasi

yang disetir untuk kepentingan kelompok. Dalam UU Penyiaran No 32 tahun2002 disebutkan

(13)

faktanya tidak demikian. Khalayak adalah sasaran empuk bagi penguasa untuk

melanggengkan statusquo, seperti yang dikemukakan Althusser bahwa media massa adalah

bagian dari aparatus ideologis negara. Media pada pemilu 2014 justru digunakan sebagai alat

pengepul kekuasaan.

Media pada dasarnya adalah subyek yang kuat. Media berkekuatan untuk

memproduksi atau mereproduksi realitas. Melalui wartawan dan redaktur, media dapat

mengkonstruksi kebenaran yang juga didasarkan untuk membangun kebenaran khalayak.

Media bukanlah sekedar saluran bebas, ia juga subyek yang mengkonstruksi realitas, lengkap

dengan pandangan, bias, dan pemihakannya (Eriyanto, 2002:26).

Teori jarum suntik menjelaskan bagaimana media mampu membombardir

khalayaknya dengan realitas yang diciptakannya. Aksi propaganda dalam historisnya

menceritakan bagaimana media mampu membangun opini publik untuk sepakat dengan

agenda media. Namun mungkin kini berbeda ketika premis dasar teori ini bahwa masyarakat

adalah pihak pasif tak terpenuhi. Kini khalayak adalah sekelompok orang aktif yang memiliki

kemampuan untuk menilai kebenaran media. Walau faktanya televisi tetapnya sumber

informasi yang dibutuhkan.

Teori agenda setting mungkin dapat menjelaskan kondisi sekarang dimana media

senantiasa memiliki kepentingan yang sudah dirancang sedemikian rupa. Seperti halnya di era

Pemilu 2014, televisi mempunyai agenda untuk memenangkan kontestasi politik kelompok

yang sekubu dengan pemilik media. Sekuat tenaga dan strategi diluncurkan melalui

propaganda-propaganda politik bagi khalayaknya. Media memang kuat sebagai sarana

penyebarluasan ideologi politik yang dalam praktiknya dibumbui dengan

pelanggaran-pelanggaran. Namun benarkah media kuat? Ketika media hanyalah sebuah obyek yang disetir

(14)

orang-orang idealis dalam menjalankan perannya, tapi lebih seperti boneka yang harus

menuruti kemauan pemilik media. Dapatkah media dianggap kuat jika dia tidak dapat dengan

leluasa menjalankan fungsinya. Tampaknya media di era reformasi dalam konteks Pemilu

2014 hanya powerful di luar namun powerless di dalamnya.

Pesimisitas terhadap netralitas media massa membawa angin segar bagi lahirnya

media-media non mainstream. Masyarakat yang lelah mendengarkan televisi tak lagi diam

menggantungkan informasi dari media yang berpihak. New media menjadi kanal baru bagi

lahirnya kreativitas masyarakat yang bosan untuk menjadi pendengar. Internet memberi ruang

kebebasan berekspresi bagi siapa saja yang ingin menjadi komunikator. Masyarakat membuat

informasi sendiri, masyarakat membangun realitas mereka sendiri. Saling bertukar materi,

menguatkan ideologi hingga membuat gerakan sosial yang mampu merubah

kebijakan-kebijakan penguasa.

Gambar 2. Game politik

Sumber: news.bisnis.com

Gambar di atas adalah satu hasil kreativitas masyarakat untuk keluar dari media

mainstream seperti televisi. Media baru pada Pemilu 2014 dihiasi dengan kebebasan

berekspesi masyarakat. Video klip yang mengandung unsur politik, gambar-gambar dan

kata-kata satir, interaksi melalui media sosial hingga games politik dibuat untuk memuaskan

informasi yang masyarakat butuhkan. Interaktivitas membuat netizen terhubung tak terbatas

(15)

Kesimpulan

Media adalah entitas yang seharusnya powerful. Kuat karena media pada dasarnya

mampu menyusun realitas media yang diyakini khalayaknya sebagai realitas yang

sesungguhnya. Media dapat menjadi subyek yang kuat karena melaluinya opini publik dapat

terbentuk sesuai dengan agenda yang diharapkan. Namun apakah media di era reformasi

dalam konteks pemilu 2014 menunjukkan demikian, mungkin tidak, apabila media ternyata

tak dapat berbuat apa-apa. Media tidak dapat berdiri sebagai subyek yang independen. Konten

yang seharusnya sakral menjadi kekuatan media justru dipermainkan untuk kepentingan

kelompok, golongan atau seorang pemilik media. Namun disisi lain, media baru menjadi

ruang diskursus politik yang melengkapi kebutuhan khalayak atas informasi.

Daftar Pustaka

Eriyanto, (2002). Analisis Framing Konstruksi, Ideologi, dan Politik, Yogyakarta: Lkis.

Lembaga Survey Indonesia dan IFES. (2014). Survey Nasional Menjelang Pemilu Temuan Utama, Indonesia.

McQuail, Denis, (2010). Mass Communication Theory 6Th Edition. London: Sage Publication.

Rakhmat, Jalaluddin, (2001). Metode Penelitian Komunikasi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Semma, Mansyur, (2008). Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis atas Negara, Manusia Indonesia dan Perilaku Politik, Jakarta: Yayasan Obor Rakyat.

http://ditpolkom.bappenas.go.id/?page=news&id=233. Tayangan Pemilu Menyedot Perhatian.

http://www.rumahpemilu.org/in/read/5940/KPI-Rekam-Keberpihakan-Media-Penyiaran-Melalui-Berita-dan-Iklan. KPI Rekam Keberpihakan Media Penyiaran Melalui Berita dan Iklan.Senin, 26 Mei 2014 07:29:00

http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/07/09/269591774/Prabowo-Salah-Apa-Saya-Sama-Metro-TV-dan-Tempo

(16)

Lampiran

Gambar

Gambar 1. Alat Bukti Pelanggaran6
Gambar 2. Game politik

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Selain penambang dari daerah luar, beberapa bekas pegawai di PT A yang berasal dari masyarakat Pongkor juga memiliki informasi penambangan emas sehingga tidak jarang

Quality of Service (QoS) merupakan metode pengukuran tentang seberapa baik jaringan dan merupakan suatu usaha untuk mendefinisikan karakteristik dan sifat dari

NAMA ALAT MERK/TYPE JUMLAH TAHUN PEMBUATAN KONDISI ALAT STATUS

kinerja nasabah. 2) Kompensasi, hubungan kerja, dan lingkungan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja secara parsial. Hal tersebut dapat dilihat dari

Telah berhasil dibuat penelitian Pemanfaatan, Implementasi Dan Pelatihan Dalam Penggunaan Media Sosial Untuk Guru Dan Peserta Didik Smk Yastrif 1 Parungpanjang

Dalam kontinyuitas yang setia dengan visi hidup religius Krosier yang sungguh di dalam Komunitas, yang dikembangkan selama 15 tahun terakhir, kapitel general 2015 selanjutnya

Penipuan berasal dari kata tipu yang artinya menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah perbuatan atau perkataan yang tidak jujur (bohong, palsu, dsb) dengan

Hasil penelitian Gusmawartati dan Wardati (2012) bahwa pemberian mikroorganisme selulolitik mampu memperbaiki kesuburan tanah gambut sebagai media pembibitan kelapa sawit