• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil konflik kognitif siswa dalam memecahkan masalah ditinjau dari gaya kognitif reflektif dan impulsif.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Profil konflik kognitif siswa dalam memecahkan masalah ditinjau dari gaya kognitif reflektif dan impulsif."

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

PROFIL KONFLIK KOGNITIF SISWA D

MEMECAHKAN MASALAH DITINJAU DA

KOGNITIF REFLEKTIF DAN IMPUL

SKRIPSI

Oleh :

ICHA AMALIA NIM. D04212041

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL S FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMAT

APRIL 2017

DALAM

ARI GAYA

LSIF

SURABAYA URUAN

(2)

PROFIL KONFLIK KOGNITIF SISWA DALAM

MEMECAHKAN MASALAH DITINJAU DARI GAYA

KOGNITIF REFLEKTIF DAN IMPULSIF

SKRIPSI

Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan

Program Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh :

ICHA AMALIA NIM. D04212041

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

PROFIL KONFLIK KOGNITIF SISWA DALAM MEMECAHKAN

MASALAH DITINJAU DARI GAYA KOGNITIF REFLKETIF DAN IMPULSIF

Oleh: ICHA AMALIA

ABSTRAK

Jika ada informasi-informasi yang tidak saling berintegrasi dalam pikiran siswa terkait konsep, maka dapat dikatakan terjadi “gangguan” dalam pemahaman konsep siswa tersebut. Pertentangan atau tidak berintegrasinya pemahaman-pemahaman siswa tentang suatu konsep matematika merupakan suatu keadaan yang disebut sebagai konflik kognitif. Dalam situasi konflik kognitif, siswa menggunakan kemampuan kognitifnya dalam upaya mencari pemecahan masalah matematika. Siswa akan memanfaatkan daya ingat, pengetahuan dan pengalaman untuk membuat suatu keputusan dengan mudah. Dalam mengambil keputusan suatu masalah, siswa memiliki ciri khas dalam menggambarkan ketepatan dugaan penyelesaian masalah dengan waktu yang ditentukan yang disebut dengan gaya kognitif reflektif dan impulsif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan profil konflik kognitif siswa dalam memecahkan masalah ditinjau dari gaya kognitif reflektif dan impulsif.

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini dilaksanakan di SMPN 1 Sidoarjo pada siswa kelas VIII. Subjek dalam penelitian ini adalah 4 siswa yang diambil dari kelas VIII-2, yaitu 2 siswa dengan gaya kognitif reflektif dan 2 siswa dengan gaya kognitif impulsif, dipilihnya 4 subjek penelitian berdasarkan hasil MFFT (Matching Familiar Figure Test). Dalam penelitian ini, triangulasi yang dipakai adalah triangulasi sumber, yaitu data-data jenis dan sifat konflik kognitif dari 2 siswa untuk setiap kelompok gaya kognitif akan dibandingkan untuk ditemukan kekonsistenan (kesamaan). Pengumpulan data konflik kognitif diambil dari hasil tes tulis dan wawancara.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) siswa SMP dengan gaya kognitif reflektif memiliki jenis konflik kognitif antara struktur kognitif dengan lingkungan; (2) siswa SMP dengan gaya kognitif impulsif memiliki jenis konflik kognitif antara struktur kognitif dengan lingkungan dan konflik antar konsepsi dalam struktur kognitif; (3) siswa SMP dengan gaya kognitif reflektif memiliki sifat konflik kognitif konstruktif; (4) siswa SMP dengan gaya kognitif impulsif memiliki sifat konflik kognitif konstruktif dan destruktif.

(8)

DAFTAR ISI

Sampul Dalam ... i

Persetujuan Pembimbing ... ii

Pengesahan Tim Penguji Skripsi ... iii

Pernyataan Keaslian Tulisan ... iv

Motto ... v

Persembahan ... vi

Abstrak ... vii

Kata Pengantar ... viii

Daftar Isi ... x

Daftar Tabel ... xii

Daftar Gambar ... xiii

Daftar Lampiran... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Batasan Penelitian ... 7

F. Definisi Operasional... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Konflik Kognitif... 11

1. Pengertian Konflik Kognitif ... 11

2. Tanda-tanda Ketidakseimbangan Mental pada Konflik Kognitif... 15

B. Pemecahan Masalah Matematika ... 23

C. Gaya Kognitif ... 25

D. Gaya Kognitif Reflektif dan Impulsif ... 26

E. Pengukuran Gaya Kognitif Reflektif dan Impulsif ... 30

F. Hubungan Konflik Kognitif Dengan Gaya Kognitif ... 32

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 41

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 41

(9)

D. Teknik Pengumpulan Data ... 43

E. Instrumen Penelitian... 44

F. Keabsahan Data ... 46

G. Teknik Analisis Data ... 46

H. Prosedur Penelitian ... 48

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi dan Analisis Data Konflik Kognitif Siswa dengan Gaya Kognitif Reflektif pada Materi Lingkaran ... 53

1. Subjek S1... 53

a. Deskripsi Data Subjek S1 ... 53

b. Analisis Data Subjek S1 ... 59

2. Subjek S2... 64

a. Deskripsi Data Subjek S2 ... 64

b. Analisis Data Subjek S2 ... 70

B. Deskripsi dan Analisis Data Konflik Kognitif Siswa dengan Gaya Kognitif Impulsif pada Materi Lingkaran ... 75

1. Subjek S3... 75

a. Deskripsi Data Subjek S3 ... 75

b. Analisis Data Subjek S3 ... 81

2. Subjek S4... 86

a. Deskripsi Data Subjek S4 ... 86

b. Analisis Data Subjek S4 ... 92

BAB V PEMBAHASAN A. Profil Konflik Kognitif Siswa dengan Gaya Kognitif Refleketif pada materi lingkaran ... 97

B. Profil Konflik Kognitif Siswa dengan Gaya Kognitif Impulsif pada materi lingkaran ... 99

C. Diskusi Penelitian ... 101

BAB VI PENUTUP A. Simpulan ... 103

B. Saran ... 103

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Siswa memerlukan matematika untuk memenuhi kebutuhan praktis. Pencapaian tujuan tersebut tidak hanya diperoleh melalui pembelajaran yang monoton, melainkan adanya alternatif yang memungkinkan siswa dapat berkembang dan memanfaatkan potensi diri. Siswa dapat berkembang dan memanfaatkan potensi diri dengan motivasi dan interaksi, baik interaksi antara siswa dengan siswa maupun siswa dengan guru atau sebaliknya. Siswa diharapkan termotivasi untuk segera memecahkan masalah yang dihadapi melalui interaksi tersebut.1 Selain itu, interaksi juga dapat menciptakan kompetensi dan keterampilan siswa dalam memecahkan masalah yang dimiliki melalui pembelajaran matematika di sekolah menengah pertama.

Pemecahan masalah akan terasa mudah apabila siswa telah memahami apa yang diketahui dan ditanyakan pada permasalahan yang dihadapi. Pemecahan masalah matematika biasanya memerlukan beberapa konsep yang telah dipelajari sebelumnya. Siswa perlu memanggil kembali pengetahuan lamanya untuk mendapatkan konsep-konsep yang terkait dalam memecahkan masalah matematika yang sedang dihadapinya. Oleh karena itu, untuk memahami materi matematika yang baru, skema yang telah ada dalam diri siswa sangat dibutuhkan untuk mempengaruhi terjadinya proses asimilasi materi matematika tersebut.

Siswa sering dihadapkan dengan berbagai permasalahan matematika yang sulit ditemukan cara penyelesaiannya. Pemecahan masalah tersebut membutuhkan siswa yang mempunyai kemampuan dalam memformulasikan masalah ke bentuk model matematika dengan menggunakan konsep matematika yang dimiliki. Suatu konsep dalam matematika menjadikan siswa dapat membuat uraian, ilustrasi atau lambang

1

(11)

2

dari konsep yang didefinisikan, sehingga dapat memperjelas apa yang dimaksud dengan konsep tersebut.2

Apabila pengetahuan siswa terkait secara sempurna atau sesuai dengan konsep yang sebenarnya maka siswa tersebut dikatakan memahami konsep. Sebaliknya, apabila pengetahuan siswa tidak terkait dengan konsep yang sebenarnya maka siswa tersebut dikatakan tidak memahami konsep. Kesalahan pemahaman konsep dapat diidentifikasi dengan memberikan pertanyaan pada siswa yang berkaitan dengan konsep tersebut. Apabila siswa memberikan jawaban yang salah, maka siswa tersebut dapat dikatakan mengalami kesalahan pemahaman konsep. Jika ada informasi-informasi yang tidak saling berintegrasi dalam pikiran siswa terkait konsep, maka dapat dikatakan terjadi

“gangguan” dalam pemahaman konsep siswa tersebut.3

Gangguan yang dimaksud merupakan suatu keadaan ketidakseimbangan mental dalam pemahaman konsep matematika yang telah dipelajari siswa. Pertentangan atau tidak berintegrasinya pemahaman-pemahaman siswa tentang suatu konsep matematika seperti ini merupakan suatu keadaan yang disebut sebagai konflik kognitif.

Konflik kognitif muncul dari hasil penelitian Piaget sekitar tahun 1970an.4 Hasil penelitian Piaget menyatakan bahwa konflik kognitif dapat mendukung perkembangan kognitif melalui proses equilibrasi. Piaget mengklaim bahwa sumber pertama dalam pengembangan pengetahuan adalah munculnya ketidakseimbangan (imbalance) yang mendorong seseorang untuk mencoba

equilibrium baru memulai proses asimilasi dan akomodasi. Klaim Piaget tersebut dijadikan acuan dalam merumuskan pengertian konflik kognitif. Salah satu contoh konflik kognitif dapat terjadi ketika seorang siswa sedang mempelajari materi persaman kuadrat, siswa tersebut diberi pertanyaan mengenai kemungkinan persamaan kuadrat yang dapat dibentuk dari akar-akarnya 4 dan -4,

2

Edy S., “Upaya Pembelajaran Matematika Berbasis Masalah Dengan Strategi Konflik Kognitif”. http://documents.tips/documents/ungan-kimed-article-28356-upaya-pembelajaran-matematika-berbasis-masalah-denonflik.html. Diakses tanggal 30 Maret 2016

(12)

3

apakah terdapat tepat satu atau lebih persamaan kuadarat yang dapat dibentuk. Saat siswa bingung untuk menjawabnya, maka dapat dikatakan siswa tersebut mengalami konflik kognitif.5

Pengertian yang sederhana, konflik kognitif antara dua kelompok bisa terjadi jika tidak adanya kesamaan persepsi (pendapat atau paham) yang menimbulkan pertentangan antara dua kelompok tersebut. Konflik kognitif juga muncul dalam lingkungan sosial ketika ada pertentangan pendapat atau pemikiran antara individu dengan individu lainnya pada lingkungan individu yang bersangkutan.6 Demikian juga jika pada diri seorang individu terjadi kebimbangan dalam memilih dari banyak pilihan yang tersedia maka pada diri seseorang tersebut terjadi konflik. Apabila individu tidak mampu menyesuaikan struktur kognitifnya dengan situasi yang dihadapi, maka dikatakan ada konflik kognitif dalam diri individu tersebut.

Konflik kognitif dapat muncul dari berbagai faktor yang mempengaruhinya, seperti faktor internal, eksternal, sosial dan lain sebagainya. Faktor-faktor konflik kognitif tersebut terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara struktur kognitif dengan lingkungan, dan ketidaksesuaian antara konsepsi dalam struktur kognitif. Kwon & Lee menyebutkan bahwa pada dasarnya konflik kognitif terdiri dari dua jenis yaitu: konflik antara struktur kognitif dengan lingkungan dan konflik antara konsepsi dalam struktur kognitif.7 Membangkitkan konflik kognitif sering dianggap sebagai strategi mengajar yang dapat berkontribusi untuk belajar. Beberapa peneliti menggunakan pendekatan pengajaran konflik sebagai sarana untuk membantu siswa merekonstruksi pengetahuan mereka. Sebagian besar penelitian dalam pendidikan matematika juga menggunakan konflik kognitif sebagai strategi untuk mengatasi kesalahpahaman siswa, artinya perbaikan konsep dilakukan dengan cara menciptakan konflik.

5 Damon, W.,& Killen, M., “Peer Interaction and The Process Of Change In Children’s Moral Reasoning. Merrill-Palmer Quartely”, 347-367.

6 Ibid.

(13)

4

Menurut Piaget suatu struktur kognitif selalu berintegrasi dengan lingkungannya melalui asimilasi dan akomodasi.8 Jika asimilasi dan akomodasi terjadi secara bebas dengan lingkungannya (bebas konflik), maka struktur kognitif dalam keadaan equilibrium dengan lingkungannya. Namun, jika hal ini tidak terjadi pada seseorang, maka seseorang tersebut dikatakan dalam keadaan tidak seimbang atau disequilibrium.

Reequilibrium dapat terjadi akibat adanya rekonseptualisasi terhadap informasi, sehingga terjadi keseimbangan baru dari apa yang sebelumnya bertentangan (konflik). Keseimbangan terjadi akibat adanya pengaruh yang dilakukan oleh guru atau sumber lain, sehingga proses asimilasi dan akomodasi berlangsung dengan lancar. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ketidakseimbangan kognitif atau konflik kognitif perlu dikondisikan agar terjadi keseimbangan pada tingkat yang lebih tinggi daripada keseimbangan sebelumnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Posner yang menyatakan bahwa siswa mengalami asimilasi dan akomodasi pada strategi konflik kognitif.9

Kesalahan siswa dalam memecahkan masalah merupakan proses biasa dalam perkembangan pengetahuan dan untuk mengurangi kesalahan tersebut perlu diketahui bagaimana konsep siswa itu terbentuk. Dibutuhkan guru yang menguasai materi, memahami kesulitan dan kesalahan siswa, serta tekun membantu siswa. Kesalahan tidak dapat diselesaikan secara kilat, akan tetapi dibutuhkan kesabaran dalam mendampingi siswa. Perbaikan konsep bisa dilakukan dengan menggunakan kesalahan ketika memecahkan masalah itu sendiri yaitu dengan cara menciptakan konflik.

Guru menciptakan konflik agar mengetahui bagaimana cara setiap siswa memecahkan masalah. Setiap siswa memiliki cara sendiri dalam memecahkan masalah atau konflik kognitif. Kwon & Lee mengkategorikan tiga macam sifat siswa saat mengalami

8 Dasa Ismaimuza., Pembelajaran Matematika dengan Konflik Kognitif”. (Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, Universitas Tdulako Palu Sulawesi Tengah, 2008),.

9

(14)

5

konflik kognitif, yaitu: konstruktif, destruktif, dan tak berarti.10 Konflik kognitif konstruktif adalah siswa yang mampu merefleksikan keadaan konflik, dan dapat mengatasi konflik tersebut sehingga menghasilkan pemahaman yang bermakna. Konflik kognitif destruktif adalah siswa yang berusaha mengatasi konflik, namun belum memperoleh pemecahan masalah tersebut. Konflik kognitif yang tidak berarti adalah siswa yang mengalami konflik kognitif namun tidak menyadari keadaan tersebut.

Setiap siswa mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam memecahkan masalah. Hal ini disebabkan karena setiap siswa mempunyai cara berpikir yang berbeda. Dalam memecahkan masalah matematika, perbedaan karakteristik siswa perlu mendapat perhatian guru. Setiap siswa di kelas sebenarnya merupakan pribadi yang unik. Sedekat apapun hubungan keluarganya tetap memiliki berbagai perbedaan, baik dalam hal minat, sikap, motivasi, kemampuan dalam menyerap suatu informasi, gaya belajar, dan sebagainya.11 Semua faktor siswa tersebut idealnya turut menjadi perhatian guru dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Salah satu faktor siswa yang juga penting untuk diperhatikan guru adalah gaya kognitif.

Gaya kognitif adalah cara siswa yang khas dalam belajar, baik yang berkaitan dengan cara penerimaan dan pengolahan informasi, sikap tehadap informasi, maupun kebiasaan yang berkaitan dengan lingkungan belajar.12 Gaya kognitif yang telah ditemukan para ahli cukup banyak macamnya, pada penelitian ini memfokuskan gaya kognitif reflektif dan impulsif yang ditemukan oleh Jerome Kagan. Kagan dan Kogan mendefinisikan reflektif dan impulsif adalah derajat atau tingkat subjek dalam menggambarkan ketepatan dugaan penyelesaian masalah yang mengandung ketidakpastian jawaban.13 Gaya kognitif reflektif adalah siswa yang mempunyai

10 Lee G, Kwon J, “What Do We Know About Students Cognitive Conflict In Science Classroom”. 2001, 13.

11

Tanwey, G R, “Pengaruh Model Pembelajaran dan Gaya Kognitif Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa SLTP di Kota Ambon”, Jurnal Pendidikan Dasar, 5:1, (2003), 1-10.

12 H. B, Uno, “Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran”, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006), 185.

13

(15)

6

karakteristik lambat dalam menjawab masalah dan cermat atau teliti sehingga banyak jawaban yang benar. Sedangkan, gaya kognitif impulsif adalah siswa yang mempunyai karakteristik cepat dalam menjawab masalah tetapi kurang cermat atau kurang teliti sehingga banyak jawaban yang salah.

Konflik kognitif diciptakan sebagai upaya membiasakan siswa dalam menghadapi tantangan, situasi yang menyimpang, dan memberi kesempatan untuk memantapkan pengetahuan. Dalam situasi konflik kognitif, siswa menggunakan kemampuan kognitifnya dalam upaya mencari pemecahan masalah matematika. Siswa akan memanfaatkan daya ingat, pengetahuan dan pengalaman untuk membuat suatu keputusan dengan mudah. Dalam mengambil keputusan suatu masalah, siswa memiliki ciri khas dalam menggambarkan ketepatan dugaan penyelesaian masalah yang disebut dengan gaya kognitif reflektif dan impulsif. Sehingga dalam menyelesaikan suatu konflik dengan waktu yang ditentukan, siswa dapat tergambar melalui gaya kognitif reflektif dan impulsif.

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka peneliti ingin mengetahui konflik kognitif siswa dalam memecahkan masalah matematika ditinjau dari gaya kognitif reflektif dan impulsif. Oleh karena itu, peneliti mengangkat judul

“PROFIL KONFLIK KOGNITIF SISWA DALAM

MEMECAHKAN MASALAH DITINJAU DARI GAYA KOGNITIF REFLEKTIF DAN IMPULSIF”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalahnya sebagai berikut:

1. Bagaimana jenis konflik kognitif siswa dalam memecahkan masalah matematika berdasarkan gaya kognitif reflektif? 2. Bagaimana sifat konflik kognitif siswa dalam memecahkan

masalah matematika berdasarkan gaya kognitif reflektif? 3. Bagaimana jenis konflik kognitif siswa dalam memecahkan

masalah matematika berdasarkan gaya kognitif impulsif? 4. Bagaimana sifat konflik kognitif siswa dalam memecahkan

(16)

7

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mendeskripsikan jenis konflik kognitif siswa dalam memecahkan masalah matematika berdasarkan gaya kognitif reflektif.

2. Untuk mendeskripsikan sifat konflik kognitif siswa dalam memecahkan masalah matematika berdasarkan gaya kognitif reflektif.

3. Untuk mendeskripsikan jenis konflik kognitif siswa dalam memecahkan masalah matematika berdasarkan gaya kognitif impulsif.

4. Untuk mendeskripsikan sifat konflik kognitif siswa dalam memecahkan masalah matematika berdasarkan gaya kognitif impulsif.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan di atas, maka manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi Guru

Sebagai informasi mengenai gambaran tentang konflik kognitif siswa sehingga dapat digunakan guru dalam mendesain pembelajaran berdasarkan gaya kognitif reflektif dan impulsif dalam upaya perbaikan pengajaran di sekolah. 2. Bagi Peneliti Lain

Sebagai referensi dalam melakukan penelitian serupa mengenai konflik kognitif siswa ditinjau dari gaya kognitif reflektif dan impulsif.

E. Batasan Penelitian

Agar penelitian ini tidak menyimpang dari tujuan penelitian maka perlu batasan masalah dalam penelitian ini. Batasan penelitian ini adalah:

1. Masalah matematika yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masalah tentang materi lingkaran.

(17)

8

F. Definisi Operasional

Beberapa istilah dalam penelitian ini didefinisikan sebagai berikut:

1. Profil adalah gambaran tentang sesuatu yang diungkap oleh siswa baik dengan gambar atau dengan deskripsi berupa kata-kata mengenai konflik kognitif siswa dalam memecahkan masalah matematika.

2. Konflik kognitif adalah suatu keadaan dimana terdapat ketidakcocokan antara struktur kognitif (skema) yang dimiliki oleh siswa dengan informasi yang baru diterima dari luar. 3. Profil konflik kognitif adalah gambaran terkait jenis dan sifat

konflik kognitif.

4. Jenis konflik kognitif adalah penyebab konflik kognitif yang terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara struktur kognitif dengan lingkungan, dan ketidaksesuaian antar konsepsi dalam struktur kognitif.

5. Sifat konflik kognitif adalah keadaan siswa saat mengalami konflik kognitif, yaitu: konstrukstif, destruktif, dan tak berarti.

6. Masalah matematika adalah suatu soal matematika yang tidak dapat diselesaikan dengan prosedur rutin yang sudah diketahui oleh siswa. Dalam penelitian ini masalah yang digunakan adalah masalah untuk menemukan konflik kognitif. Adapun materi yang dipilih adalah lingkaran. 7. Pemecahan masalah matematika adalah proses yang ditempuh

siswa untuk menentukan jawaban dari suatu masalah matematika.

8. Profil konflik kognitif siswa dalam memecahkan masalah matematika adalah gambaran yang diungkapkan oleh siswa jika siswa dihadapkan pada sebuah situasi dimana adanya perbedaan antara hasil yang didapatkan siswa saat menghitung dengan rumus dan percobaan untuk memecahkan masalah yang sama.

(18)

9

a. Gaya kognitif reflektif adalah siswa yang memiliki karakteristik lambat dalam menyelesaikan masalah dan jawaban banyak benar.

(19)

10

(20)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Konflik Kognitif

1. Pengertian Konflik Kognitif

Menurut Lee & Kwon, konflik kognitif adalah suatu keadaan yang membentuk ketidakcocokan atau ketidaksesuaian antara struktur kognitif dengan lingkungan (informasi dari luar) atau antara perbedaan komponen (seperti: konsep, keyakinan, substruktur, dll) pada suatu struktur kognitif.1 Ketidaksesuaian yang terjadi dalam sistem skemata karena adanya konflik dalam pemikiran. Menyadari ketidaksesuaian tersebut bersifat individu, hanya yang bersangkutan menyadari terjadinya konflik kognitif yang dialami. Namun konflik kognitif bisa dibentuk atau dimunculkan oleh orang lain, khususnya guru apabila siswa dihadapkan pada informasi-informasi yang berbeda dengan apa yang telah dipahami.

Bodrakova mengatakan bahwa ketidakseimbangan kognitif atau konflik kognitif disebabkan oleh kesadaran tentang informasi tak logis yang kontradiktif atau saling bertentangan.2 Sedangkan menurut Wadsworth, ketidakseimbangan mental terjadi apabila harapan dan prediksi seseorang yang berdasarkan pada penalaran saat ini saling tidak bersesuaian. Batasan konflik kognitif yang dijelaskan oleh para ahli di atas merujuk pada keadaan ketidakseimbangan mental (disequlibrium) pada saat terjadinya konflik kognitif. Keadaan disequlibrium menjadi hal yang esensial dalam pembelajaran, maka banyak peneliti mengembangkan strategi pembelajaran berbasis konflik kognitif untuk membentuk atau memodifikasi struktur kognitif.

1Lee G, Kwon J., “What Do We Know About Students Cognitive Conflict In Science Classroom”. 2001, 5.

2

(21)

12

Zaskis & Chernof menjelaskan terjadinya konflik kognitif: “A cognitive conflict is invoked when a learner is faced with contradiction or inconsistency in his or her

ideas”.3 Menurut Zaskis & Chernof, konflik kognitif terjadi ketika siswa dihadapkan pada ide yang bertentangan atau berbeda dengan ide yang dimilikinya. Konflik kognitif bisa terjadi ketika terdapat konflik antara dua skemata yaitu terjadinya inkonsistensi atau pertentangan. Pertentangan yang dimaksud adalah adanya pemahaman yang saling bertentangan, tidak bersesuaian, atau tidak berintegrasi dengan suatu konsep terkait. Sebagai contoh, saat siswa menyelesaikan persamaan 10 �+ 2 = 5(2�+ 4). Secara prosedural siswa akan sampai pada hasil 0=0, kebanyakan siswa akan bingung, karena variabel � hilang atau tidak mendapatkan tanda berhenti, misalnya �=�. Persoalan tersebut rumit bagi siswa biasa sehingga memungkinkan mengalami konflik kognitif, akan tetapi siswa yang memiliki pemahaman yang mendalam tidak akan terjebak dengan perangkap prosedural ini. Siswa akan menyebutkan bahwa � dapat menjadi bilangan apapun.

Menurut kwon mendefinisikan konflik kognitif, yaitu:4 “Cognitive conflict is defined as a conflict

between cognitive structure (i.e., anorganized knowledge structure in the brain) and environment (i.e., a experiment, demonstration, peer's opinion, book, or something like that), or a conflict between conceptions in cognitive structure”.

Sesuai kutipan definisi konflik kognitif yang disebutkan oleh Kwon & Lee tersebut, menjelaskan bahwa pada dasarnya konflik kognitif terdiri dari dua hal pokok, yaitu:

3 Rina Zazkis & Egan Chernoff, Cognitive Conflict And Its Resolution Via

Privotal/Bridging Example”, (Internasional Group For The Psychology Of Mathematics

Education: Simon Fraser University, 2006), 466.

(22)

13

a. Konflik antara struktur kognitif (struktur pengetahuan yang terorganisasikan di dalam otak) dengan lingkungan (eksperimen, demonstrasi, pendapat ilmiah, buku, dll). Kwon & Lee menyebutkan bahwa konsepsi terdiri atas:

i. Prakonsepsi merupakan pemahaman awal tentang suatu konsep terbentuk dalam struktur kognitif (C1) yang diperoleh dari lingkungan eksternal tertentu, misalnya pengalaman sehari-hari atau informasi yang diperoleh dari teman atau orang lain (R1). Pemahaman atau konsep awal yang dimiliki siswa (C1), bisa terjadi miskonsepsi pada siswa. R1 merupakan lingkungan yang dapat dijelaskan oleh C1. ii. Scientific Conception yaitu pemahaman yang

terbentuk dalam struktur kognitif (C2) yang diperoleh dari pengetahuan ilmiah, eksperimen atau demonstrasi (R2). C2 merupakan pemahaman konsep yang akan dipelajari. R2 adalah lingkungan yang dapat dijelaskan oleh C2. b. Konflik antar konsepsi dalam struktur kognitif (C1 dan C2). Konsepsi adalah representasi mental atau pemahaman tentang suatu konsep dalam struktur kognitif. Struktur kognitif adalah struktur pengetahuan yang diorganisasikan di dalam otak.

(23)

14

kognitif ini digambarkan Kwon & Lee dalam model konflik kognitif sebagaimana berikut ini:

Gambar 2.1.

Model Konflik Kognitif dari Kwon

Berdasarkan gambar model konflik kognitif dari Kwon terdapat 3 tipe konflik yaitu: Tipe I (konflik antara C1 dan R2) merupakan ketidakseimbangan antara struktur kognitif seseorang dengan informasi yang berasal dari lingkungannya, dengan kata lain terjadi ketidakseimbangan antara struktur-struktur internal dengan masukan-masukan eksternal; Tipe II (konflik antara C2 dan R1) merupakan konflik antara struktur kognitif yang baru (menyangkut materi baru dipelajari) dengan lingkungan yang dapat dijelaskan tetapi penjelasan itu mengacu pada struktur kognitif awal yang dimiliki oleh individu; Tipe III (konflik antara C1 dan C2) merupakan konflik metakognitif, yaitu: konflik diantara skemata-skemata dimana terjadi pertentangan antara struktur kognitif yang lama dengan struktur kognitif yang baru (yang sedang dipelajari atau yang dihadapi).5

Beberapa pendapat yang dikemukakan para ahli maka dapat disimpulkan bahwa konflik kognitif adalah suatu

5

(24)

15

keadaan terjadi karena adanya ketidakseimbangan, tidak berintegrasi, kontradiktif antara struktur kognitif yang sudah dimiliki seseorang dengan informasi yang baru dipelajari atau diterimanya.

2. Tanda-tanda Ketidakseimbangan Mental pada Konflik Kognitif

(25)

16

Gambar 2.2 Model Konflik Kognitif6

Model konflik kognitif Lee, at al yang mengasumsikan empat konstruksi psikologis dalam konflik kognitif, yaitu: 1.

(26)

17

Recognition of anomalous (menyadari keadaan menyimpang); 2. Interest (merasa ingin

tahu, berminat); 3. Anxiety (kecemasan); 4. Cognitive reappraisal of situation (upaya menentukan solusi konflik dan permasalahannya).7

Konflik kognitif mengharuskan siswa memiliki prakonsepsi dan mengalami situasi yang menyimpang (anomali). Jika tidak mengalami keanehan, maka tidak ada konflik kognitif. Konflik kognitif dianggap sebagai keadaan psikologis yang dihasilkan ketika siswa dihadapkan pada situasi menyimpang. Dalam keadaan ini, siswa menyadari adanya kontradiksi, mengungkapkan ketertarikan atau kecemasan dalam memecahkan masalah, serta memikirkan kembali untuk memecahkan masalah.

Tanda-tanda konflik kognitif telah diamati oleh banyak peneliti merupakan tanda-tanda yang pada dasarnya lebih berorientasi pada aspek psikologi konflik kognitif. Tanda-tanda tersebut dapat berupa pernyataan-pernyataan seseorang yang bersifat ketidakpastian, keraguan, kebingungan, kontradiksi, ketidaklengkapan pemahaman konsep, dan ketidakrelevanan.

Seiring perkembangan teori konflik kognitif, Lee, et.al mengembangkan instrumen untuk mengidentifikasi karakteristik ketidakseimbangan mental sebagai berikut:

(27)

18

Tabel 2.1

Karakteristik Ketidakseimbangan Mental8

8Lee G, Kwon J, “Development of an Instrument for Measuring Cognitive Conflict in Secondary-Level Science Classes”. 2003, 8.

No

Karakteristik Ketidakseimb angan Mental

Pengertian Indikator

Contoh respon-respon yang

Nampak 1 Recognition of

Contradiction (Menyadari adanya kontradiksi) Pengenalan konsepsi seseorang yang tidak konsisten dengan hasil suatu eksperimen atau wacana, buku teks, dan lain-lain.  Merasa ragu-ragu dengan jawaban yang diperole h (doubt)

 Merasa terkejut dengan jawaban yang diperole h (surprise )  Merasa aneh dengan perbedaa n antara hasil yang diperole h dengan harapan (strange

(28)

19

ness) 2 Interest

(Tertarik) Seseorang yang mengalami konflik kognitif namun terjadi ketertarikkan terhadap situasi konflik yang dihadapinya.  Tertarik dengan keaneha n jawaban (interest)

 Bermina t untuk memeca hkan keaneha n jawaban (curiosit y)  Hasil eksperimen ini sangat menarik  Sejak melihat hasilnya saya merasa ingin mengetahui nya lebih jauh lagi  Hasil ekperimen atau wacana ini menarik perhatian saya 3 Anxiety

(Mengalami kecemasan) Seseorang yang menjadi cemas terhadap situasi konflik yang sedang dihadapinya.  Merasa bingung (confusi on)  Adanya keingina n untuk berusaha (agony)  Merasa tertekan atau depresi terhadap ketidakta uan alasan jawaban yang  Hasil ekperimen atau wacana ini membingun gkan saya

 Jika saya tidak dapat menyelesaik an masalah ini, saya berusaha untuk mengetahui nya

(29)

20

Penjelasan Lee, et.al tentang pengukuran dan investigasi konflik kognitif adalah berdasarkan respon-respon tampak pada situasi konflik yang mencirikan konstruksi psikologis seseorang yang mengalami konflik kognitif.

Model konflik kognitif adalah perkembangan untuk menjelaskan konflik kognitif ketika siswa menghadapi keadaan anomali yang bertentangan dengan konsep yang dimiliki pada pembelajaran. Model ini ada tiga tahapan yaitu: tahap permulaan, tahap konflik, dan tahap pemecahan konflik.

diperole h (depressi on) saya merasa tertekan

4 Cognitive Reapprasial of situasion (Upaya menentukan solusi konflik dan permasalahann ya) Menilai kembali dan berusaha mengatasi konflik  Memasti kan adanya kesalaha n ide (suspend attention )  Berpikir sedikit lebih panjang (think a little longer)  Mencari alasan yang lebih rasional (seek more reasona ble base)

 Saya akan lebih memastikan apakah ide saya benar atau tidak

 Saya ingin memikir lebih jauh tentang alasan yang sedikit lebih rasional pada hasil ini

(30)

21

Tahapan permulaan adalah tahap sebelum menuju konflik kognitif. Tahap ini merupakan proses meyakinkan konsep yang dimiliki sebelum ada konsep yang baru pada keadaan menyimpang sebenarnya. Pada tahap permulaan, proses konflik kognitif merupakan gambaran seseorang sebelum belajar, yaitu: 1. Menyadari keadaan menyimpang; 2. Ekspresi tertarik atau kecemasan atau khawatir pada penyelesaian konflik kognitif; dan 3. Meninjau kembali kognitif pada keadaan tersebut. Contohnya, ketika mengenali pembelajaran yang keadaannya sesuai dengan konsepnya, siswa seharusnya tertarik atau khawatir dengan keadaan tersebut.

Tahap konflik merupakan tahap seseorang memikirkan keadaan konflik kognitifnya untuk memecahkan masalah yang dihadapinya atau hanya berhenti pada konflik tersebut. Berbagai macam cara memproses konflik kognitif seperti: 1. Siswa yang menyadari keadaan menyimpang, merasa tertarik, dan ada rasa kecemasan secara bersamaan terhadap situasi ini (dalam keadaan konflik kognitif); 2. Siswa merasakan kecemasan, kemudian melihat kembali masalah yang diberikan, sehingga segera memecahkan masalah; 3. Siswa melepaskan konflik kognitifnya dengan memberikan pemecahan masalah.

Beberapa contoh proses konflik kognitif tersebut, kita dapat memahami mengapa konflik kognitif mempunyai potensi untuk menghasilkan konstruksi yang lebih tinggi atau hasil destruktif yang lebih tinggi. Jika siswa tidak menyadari keadaan yang menyimpang, mengabaikan konflik, atau tidak suka dengan konfliknya, maka konflik kognitif ini disebut dengan keadaan yang tak berarti. Jika siswa merasa kesulitan, kemudian menjadi tertarik, maka konflik kognitifnya menjadi terganggu. Konstruksi konflik kognitif dapat tergugah ketika konflik kognitifnya terganggu, dan siswa menyadari keadaan menyimpang dengan jelas, pengalaman yang menarik, merasa cemas, dan semakin mendalami konflik kognitifnya.

(31)

22

bahwa kebiasaan merespon yaitu: mengabaikan, penolakan, ketidaktentuan, pengeluaran, penundaan, mengintepretasikan kembali, sekeliling perubahan teori, dan perubahan teori. Pada jurnal Chan, Burtis, dan Bereiter proses aktivitas pengetahuan yaitu sub asimilasi, asimilasi langsung, muncul konstruktif, secara tidak langsung membangun pengetahuan dan secara langsung pengetahuan terbangun.

Penelitian Lee, et.al telah menginvestigasi hubungan antara konflik kognitif dan tipe-tipe siswa pada demonstrasi dan tes prakonsepsi mengenai konsep mekanik dan sirkuit elektrik dalam ilmu Fisika.9 Hasil interview 1 siswa dari 4 siswa kelas 10 di sekolah tinggi korea yaitu, siswa menyadari demonstrasi adalah keadaan yang menyimpang. Siswa tersebut mengalami kegagalan dengan menunjukkan keingintahuan untuk mengetahui alasan suatu jawaban sampai wawancara berakhir. Siswa tersebut kelelahan untuk memecahkan konflik kognitifnya, sehingga belum menemukan pemecahan konflik kognitif yang dihadapinya. Sehingga dapat disimpulkan Kwon & Lee menjelaskan kaitannya cara siswa mengalami tiga sifat atau keadaan dalam konflik kognitif yaitu konstruktif, destruktif, atau keadaan yang tidak berarti. Konflik kognitif yang bersifat konstruktif apabila seseorang merefleksi suatu keadaan konflik dan dapat mengatasi konflik tersebut sehingga menghasilkan pemahaman secara bermakna, konflik kognitif yang bersifat destruktif apabila seseorang berusaha mengatasi konflik yang dialami namun tidak memperoleh penyelesaian atas konfliknya sehingga menghasilkan suatu keadaan kacau atau frustasi dalam pikirannya. Sedangkan konflik kognitif sebagai keadaan yang tidak berarti menunjukkan bahwa seseorang yang mengalami konflik kognitif namun tidak menyadari keadaan tersebut sebagai suatu konflik atau tidak merefleksi sehingga mempertahankan konflik tersebut.10

9 Lee G, Kwon J, “What Do We Know About Students Cognitive Conflict In Science Classroom”. 2001, 13.

10

(32)

23

Penelitian ini konflik kognitif adalah suatu keadaan di mana terdapat ketidakcocokan antara struktur kognitif (skemata) yang dimiliki oleh siswa dengan informasi yang baru diterima dari luar. Selanjutnya, peneliti menggunakan karakteristik ketidakseimbangan mental tersebut untuk menunjukkan konstruksi psikologi mengetahui jenis, dan sifat konflik kognitif siswa ketika mengalami konflik kognitif dalam memecahkan masalah.

B. Pemecahan Masalah Matematika

Masalah dapat bersumber dari dalam diri seseorang atau dari lingkungannya. Menurut Anderson “Problem is a gap or discrepancy between present state and future state or desired

goal”.11 Masalah adalah suatu kesenjangan antara situasi sekarang dengan situasi yang akan datang atau tujuan yang dinginkan. Menurut Sudjana menyatakan bahwa masalah adalah persoalan yang mengganggu pikiran kita dan menantang untuk mencari pemecahannya.12 Masalah akan lebih jelas apabila dirumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang kemudian dikaji apa jawabannya dan bagaimana cara memperoleh jawaban. Dengan demikian dituntut adanya analisis dengan penalaran dan informasi yang diperlukan untuk menjawab masalah. Suatu persoalan yang merupakan masalah bagi siswa yang satu belum tentu menjadi masalah bagi siswa yang lain.

Menurut Ruseffendi menyatakan bahwa masalah dalam matematika adalah suatu persoalan yang bisa diselesaikan tanpa menggunakan cara atau algoritma rutin.13 Persoalan merupakan masalah bagi siswa jika siswa tidak bisa mengerjakan tetapi berminat untuk menyelesaikannya. Dengan kata lain, siswa belum memiliki prosedur atau algoritma tertentu untuk memecahkan

11 Suharna P, “Psikologi Kognitif”. (Jombang: Srikandi. 2005), 283.

12Sudjana, N, “ Penelitian dan Penilaian Pendidikan”. (Bandung: Sinar Baru Algensido, 2001), 9.

13 Ruseffendi, E. T. “ Pengantar Kepada Membantu Gur

(33)

24

masalah. Masalah matematika yang dikemukakan oleh Hudojo sebagai berikut:14

Masalah matematika adalah masalah yang berkaitan dengan matematika sekolah. Suatu masalah matematika dikatakan masalah jika memenuhi tiga syarat yaitu: 1) menantang untuk diselesaikan dan dapat dipahami siswa, 2) tidak dapat diselesaikan dengan prosedur rutin yang telah dikuasai siswa, dan 3) melibatkan ide-ide matematika.

Dengan demikian, suatu pertanyaan akan menjadi masalah bagi siswa apabila pertanyaan yang dihadapkan pada siswa dapat dimengerti oleh siswa tersebut, namun pertanyaan itu harus merupakan tantangan baginya untuk menjawab dan tidak dapat dijawab dengan prosedur rutin yang telah diketahui siswa-siswa yang melibatkan ide-ide matematika.

Menurut Zulkarnain mengatakan bahwa tiga jenis soal yang berpotensi memunculkan konflik kognitif, yaitu: 1. Soal yang apabila diselesaikan dengan prosedur rutin akan menghasilkan jawaban yang aneh, misalnya dengan hilangnya peubah � dalam menyelesaikan soal 6 �+ 3 = 2(3�+ 9); 2. Soal yang menantang prosedural, artinya jawaban yang dihasilkan siswa melalui prosedur umum akan memberikan hasil yang kurang tepat atau melakukan kesalahan sehingga diperlukan metode atau pendekatan lain untuk mendapatkan solusi yang benar; 3. Soal yang disertai solusi sebagai pembanding.15

Pemecahan masalah merupakan hal yang sangat penting, bahkan di Indonesia menjadi tujuan pembelajaran matematika dan termasuk dalam kurikulum matematika. Menurut Siswono mengatakan bahwa pemecahan masalah adalah suatu proses atau upaya individu untuk merespon atau mengatasi halangan atau kendala ketika suatu jawaban belum tampak jelas.16 Siswa yang memiliki kemampuan pemecahan masalah yang baik, akan dapat

14 Hudojo, H. “Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika”. (Malang Uiversitas Negeri Malang, 2001), 164.

15 I. Zulkarnain, “Perangkat Soal Berbasis Konflik Kognitif”, (Jurnal JPM IAIN Antasari, 2013), 9.

(34)

25

menyelesaikan masalah-masalah matematika yang dihadapinya dengan menggunakan konsep atau pengetahuan yang dimilikinya.

Hal ini selaras dengan yang diungkapkan oleh Polya mendefinisikan pemecahan masalah sebagai usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan guna mencapai suatu tujuan yang tidak dengan segera dapat dicapai.17 Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, maka yang dimaksudkan pemecahan masalah matematika dalam penelitian ini adalah upaya yang dilakukan siswa untuk memperoleh pemecahan masalah matematika yang berbasis konflik kognitif dengan menggunakan pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan yang dimiliki. Dalam pemecahan masalah ini, siswa menunjukkan konstruksi psikologis saat terjadi konflik kognitif, yaitu: menyadari keadaan menyimpang, merasa ingin tahu, berminat, kecemasan, menentukan solusi konflik dan permasalahannya.

C. Gaya Kognitif

Setiap individu mempunyai ciri khas masing-masing, sehingga setiap individu memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lainnya. Perbedaan tersebut merupakan hasil dari perilaku kognitif dan kemampuan motorik tidak hanya berasal dari perbedaan individu dan usia, tetapi juga dari gaya kognitifnya. Gaya kognitif ditandai sebagai suatu sifat kognitif yang mungkin untuk menyatakan perbedaan kemampuan individu dalam kualitas pemecahan masalah.

Cognitive style is understood to be an individual’s preferred

and habitual approach to organizing and representing information.18 Gaya kognitif dipahami sebagai pendekatan kecenderungan individu dan kebiasaan untuk menggorganisasi dan menyajikan informasi. Selanjutnya Uno mengatakan bahwa gaya kognitif adalah cara siswa yang khas dalam belajar, baik yang berkaitan dengan cara penerimaan dan pengolahan informasi, sikap tehadap informasi, maupun kebiasaan yang berkaitan dengan lingkungan belajar.19 Kemudian Putra mengatakan bahwa gaya

17Polya, G., “How to Solve It (Second edition)”. New Yersey: Princeton University Press. 18Michael, J., dkk.. “Multiple Perspectives on Problem Solving and Learning in the digital age”. Springer Science + Business media, (New York, 2010).

(35)

26

kognitif adalah cara pandang individu terhadap suatu stimulus atau informasi dari luar.20

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, gaya kognitif menggambarkan bagaimana cara individu dalam menerima, merespon, serta mengolah informasi dan menyusunnya dari pengalaman-pengalaman yang dialami serta kebiasaan seseorang dalam memproses informasi yang diperoleh (stimulus) dalam menafsirkan mengidentifikasi, dan mengorganisasikan kembali informasi-informasi yang pada akhirnya memandu perilaku seseorang tersebut dalam menghadapi masalah.

Gaya kognitif diterapkan oleh individu untuk menyelesaikan masalah maupun dalam mengajukan masalah yang berkaitan dengan bagaimana dan strategi apa yang digunakannya. Gaya kognitif berbeda dengan kecerdasaan individu tetapi mereka dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian dan bagaimana individu belajar serta menerapkan informasi. Pengetahuan tentang gaya kognitif dapat digunakan untuk membantu guru, konselor, dan semua profesional yang terlibat dalam pengalaman belajar anak. Sehingga penelitian di bidang ini sangat penting dalam melatih para profesional pendidikan untuk mengatasi perbedaan-perbedaan dalam kelas.

Gaya kognitif siswa merupakan hal penting yang harus diperhatikan guru waktu pembelajaran di kelas, karena mempengaruhi prestasi akademik. Berdasarkan beberapa pengertian gaya kognitif yang dikemukakan oleh para ahli, sehingga pada penelitian ini dapat dikatakan bahwa gaya kognitif adalah cara seseorang dalam memproses, berpikir, dan memecahkan masalah terhadap informasi dari luar yang bersifat konsisten.

D. Gaya Kognitif Reflektif dan Impulsif

“The RI style is defined as a property of the

cognitive system that combines individuals’s

decision-makin time and their performance in

(36)

27

problem-solving situations, which involve a high degree of uncertainty”.21

Hal tersebut yang apabila diartikan yaitu gaya kognitif RI (Reflektif Impulsif) didefinisikan sebagai sifat sistem kognitif yang mengkombinasi waktu pengambilan keputusan seseorang dan kinerja (performance) nya dalam situasi pemecahan masalah yang mengandung ketidakpastian (uncertainty) tingkat tinggi. Disisi lain Rozencwajg dan Corroyer mengatakan anak yang bergaya kognitif reflektif adalah anak yang memiliki karakteristik menggunakan waktu yang lama dalam menjawab masalah, tetapi cermat/teliti sehingga jawaban yang diberikan cenderung benar. Anak yang bergaya kognitif impulsif adalah anak yang memiliki karakteristik menggunakan waktu yang singkat dalam menjawab masalah, tetapi tidak atau kurang cermat sehingga jawaban cenderung salah.22 Philip mendefinisikan siswa impulsif adalah siswa yang dengan cepat merespon situasi, namun respon pertama yang diberikan sering salah. Sedangkan siswa reflektif mempertimbangkan banyak alternatif sebelum merespon sehingga tinggi kemungkinan bahwa respon yang diberikan adalah benar.23

“One group of children made decisions after briefly looking at the figures, thus they were cognitively impulsive, while the order group carefully deliberated the choices before coming to a decision, thus they were cognitively reflective”.24

Satu kelompok anak yang membuat keputusan secara singkat setelah melihat gambar, sehingga mereka bergaya kognitif

21 Rozencwajg, Paulette & Dennis Corroyer. “Cognitive Processes in the

Reflective-Impulsive Cognitive Style”, The Journal of Ge”netic Psycology, (2005), 451.

22 Puji Rahayu Ningsih, “ Profil Berpikir Kritis Siswa SMP Dalam Menyelesaikan Masalah Matematika Berdasarkan Gaya Kognitif”. Gramatika, Vol 2 No. 2, hal 123. 23 Siti Rahmatina, “Tingkat Berpikir Kreatif Siswa Dalam Menyelesaikan Masalah Matematika Berdasarkan Gaya Kognitif Reflektif dan Impulsif “, Jurnal Didatik Matematika, 1:1, (April 2014),63-65.

24 Froehlich,. Cognitive Styles: A Review of the Major Theories and Their Application to Infornation Seeking in Virtual Environments”. (2003), 3. (online).

(37)

28

impulsif, sedangkan kelompok lainnya dengan hati-hati memilih sebelum membuat keputusan, mereka bergaya kognitif reflektif. Abdurrahman pun mengatakan bahwa “anak yang impulsif cenderung menjawab persoalan secara cepat tetapi membuat banyak kesalahan sedangkan anak reflektif cenderung menjawab persoalan secara lebih lambat tetapi hanya membuat sedikit kesalahan.25

Berdasarkan definisi yang dinyatakan di atas, maka terdapat dua aspek penting yang harus diperhatikan dalam mengukur reflektif-impulsif, yaitu:

a. Waktu membuat keputusan dalam memecahkan masalah. b. Mengandung ketidakpastian jawaban yang berarti bahwa anak

akan memberikan jawaban ragu-ragu atau kurang cermat, sehingga pengukuran reflektif impulsif dapat dilihat dari frekuensi siswa dalam memberikan jawaban sampai mendapatkan jawaban betul.

Dari kedua aspek tersebut maka dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok siswa sebagai berikut:

a. Kelompok siswa yang menggunakan waktu lama dalam menjawab dan jawaban yang diberikan tidak cermat.

b. Kelompok siswa yang menggunakan waktu lama dalam menjawab tetapi jawaban yang diberikan cermat (reflektif). c. Kelompok siswa yang menggunakan waktu singkat dalam

menjawab dan jawaban yang diberikan cermat atau benar. d. Kelompok siswa yang menggunakan waktu singkat dalam

menjawab namun tidak cermat (impulsif).

(38)

29

Gambar 2.3

Tempat Siswa Bergaya Kognitif Reflektif dan Impulsif Berdasarkan Waktu Menjawab (�) Dan Banyaknya Jawaban

Salah (�)

Adapun dipilihnya anak reflektif dan impulsif sebagai subjek penelitian karena beberapa hal yaitu: 1. Frekuensi anak reflektif dam impulsif lebih banyak dari dua kelompok lain. Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian Rozencwajg & Corroyer menemukan frekuensi anak reflektif dan impulsif sebesar 76,2%. Hasil penelitian Warli juga menemukan frekuensi anak reflektif-impulsif sebesar 73%; 2. Mendukung temuan Jerome Kagan yaitu gaya kognitif reflektif dan impulsif; 3. Efisiensi waktu.

Pengertian gaya kognitif reflektif dan impulsif yang dikemukakan di atas, maka yang dimaksud dengan gaya kognitif reflektif dalam penelitian ini adalah gaya kognitif individu yang

Siswa Cepat &

Tidak Cermat

(Impulsif)

Siswa Lambat

&

Tidak Cermat

Siswa Lambat

& Cermat

(Reflektif) Siswa Cepat

&

Cermat

(waktu) (banyaknya jawaban salah)

[image:38.420.74.375.90.437.2]
(39)

30

memiliki karakteristik dalam menjawab secara lambat, tetapi akurat sehingga jawaban cenderung betul. Sedangkan gaya kognitif impulsif adalah gaya kognitif individu yang memiliki karakteristik dalam menjawab masalah secara cepat tetapi tidak akurat sehingga jawaban cenderung salah.

E. Pengukuran Gaya Kognitif Reflektif dan Impulsif

Instrumen untuk mengukur gaya kognitif reflektif dan impulsif telah diperkenalkan oleh kumpulan peneliti, yaitu Kagan, Rosman, Day, dan Philip yang disebut Matching Familiar Figure Test (MFFT).26 MFFT merupakan instrumen yang sering digunakan untuk mengukur kecepatan kognitif. Pada MFFT, siswa ditunjukkan sebuah gambar standar (gambar asli) dan beberapa gambar variasi yang serupa dimana hanya salah satu gambar variasi tersebut sama dengan standar. Tugas siswa adalah memilih salah satu gambar dari gambar variasi tersebut yang sama dengan gambar standar. Gambar yang sama dengan yang standar inilah yang bernilai benar dan harus dicari siswa. MFFT dapat disesuaikan dengan usia siswa.

Berikut ciri instrumen MFFT yang dikembangkan oleh Warli yang sudah teruji kevalidannya:

a. MFFT terdiri dari gambar satu standar (asli) dan delapan gambar variasi, sedangkan banyak soal adalah 13 soal. b. Pada gambar variasi hanya ada satu gambar yang sama

dengan gambar standar.

c. Perbedaan antara gambar standar dan gambar variasi tidak terlalu mencolok.

d. Gambar standar terletak pada lembar yang berbeda dengan gambar variasi.

Dalam menggunakan MFFT, data yang harus dicatat meliputi banyaknya waktu yang digunakan siswa untuk menjawab seluruh soal yang diberikan, disimbolkan dengan (�) dan frekuensi kebenaran jawaban yang diberikan, disimbolkan dengan (�). Karena penelitian yang dilakukan Warli pada anak SMP yakni dengan usia antara 12-15 tahun maka waktu yang dipakai Warli dalam penelitiannya bisa langsung digunakan dalam penelitian ini

(40)

31

yang juga mengambil siswa SMP sebagai subjek penelitian yang usianya antara 12-15 tahun.

Instrumen MFFT ini telah diuji oleh Warli kepada siswa SMP dengan tiga sekolah yang berbeda. Hasil tes instrumen MFFT yang dilaksanakan di SMPN 5 Tuban diperoleh informasi bahwa rata-rata waktu maksimal yang dibutuhkan siswa dalam menyelesaikan satu butir soal MFFT adalah 0.80 menit. Kemudian di SMPN 3 Tuban hasil tes MFFT menginformasikan bahwa rata-rata maksimal yang dibutuhkan siswa dalam menyelesaikan satu butir soal MFFT adalah 1.48 menit. Hasil MFFT pada SMPN 6 Tuban menginformasikan bahwa rata-rata waktu maksimal yang dibutuhkan siswa dalam menyelesaikan satu butir soal MFFT adalah 1.08 menit. Berdasarkan catatan waktu pada ketiga sekolah tersebut maka dapat diambil rata-rata waktu maksimal yang dibutuhkan siswa dalam menjawab satu butir soal MFFT adalah 1.12 menit. Waktu pembeda yang digunakan dalam instrumen Warli ini adalah 7 menit 28 detik. Hal ini didapat dari mengalikan 1.12 menit dengan 13 yaitu jumlah semua butir soal MFFT Warli, kemudian membagi dua waktu maksimal seluruh butir soal. Sehingga, didapat waktu tengah-tengah atau waktu pembeda 7.28 menit. Makna dari waktu pembeda disini adalah untuk memisahkan anak yang mengerjakan semua soal dengan cepat dengan anak yang mengerjakan MFFT dengan lambat.

Selain waktu pengerjaan, frekuensi benar dan salah dalam menjawab MFFT juga harus diperhatikan. Jumlah semua butir soal MFFT ada 13 soal, maka untuk mencari frekuensi pembeda adalah dengan membagi dua jumlah semua butir soal yang didapatkan nilai 6.5 soal yang bisa dibulatkan menjadi tujuh. Tujuh soal ini yang akan menjadi frekuensi pembeda.

(41)

[image:41.420.70.365.97.494.2]

32

Tabel 2.2

Kriteria Siswa Bergaya Kognitif Reflektif dan Impulsif Ditinjau dari Waktu dan Jawaban Benar

Siswa begaya kognitif reflektif

Siswa bergaya kognitif impulsif Waktu pengerjaan > 7,28 menit ≤ 7,28 menit Jawaban soal benar

(dari 13 soal) ≥ 7 soal < 7 soal

F. Hubungan Konflik Kognitif dengan Gaya Kognitif

Tujuan pembelajaran matematika antara lain untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika. Dalam menyelesaikan masalah matematika, tentu ada perbedaan kecakapan yang luas antara siswa satu dengan yang lainnya untuk memecahkan masalah tersebut. Hal ini disebabkan karena tingkat kecakapan memecahkan masalah atau taraf kecerdasaan, dalam cara memperoleh, menyimpan, serta menerapkan pengetahuan siswa tidaklah sama.

Perbedaan-perbedaan antar pribadi yang menetap dalam cara menyusun dan mengolah informasi serta pengalaman-pengalaman ini dikenal sebagai gaya kognitif. Gaya kognitif merupakan variabel penting yang mempengaruhi pilihan-pilihan siswa dalam bidang akademik, kelanjutan perkembangan akademik, bagaimana siswa belajar serta bagaimana siswa dan guru berinteraksi di dalam kelas. Setiap siswa memiliki karakteristik yang khas, yang tidak dimiliki oleh siswa lainnya. Selain berbeda dalam tingkat kecerdasan menyelesaikan masalah, taraf kecerdasan atau kemampuan berpikir, siswa dapat juga berbeda dalam cara memperoleh, menyimpan, serta menerapkan pengetahuan. Slameto mengatakan perbedaan-perbedaan antar pribadi yang menetap dalam cara menyusun dan mengolah informasi serta pengalaman-pengalaman dikenal sebagai gaya kognitif.27

Gaya kognitif siswa merupakan hal penting yang harus diperhatikan oleh guru pada saat pembelajaran, karena gaya tersebut mempengaruhi prestasi akademik. Secara umum gaya

(42)

33

kognitif mempunyai kontribusi pada pencapaian hasil belajar. Siswa yang memiliki gaya kognitif reflektif cenderung menyelesaikan masalah lebih efisien dibanding siswa yang memiliki gaya kognitif impulsif dan mengerjakan lebih sistematis atau mengedepankan strategi. Hal ini memungkinkan bahwa anak yang mempunyai gaya kognitif berbeda akan mempunyai profil konflik kognitif yang berbeda pula dalam memecahkan masalah.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa gaya kognitif reflektif dan impulsif dengan pemecahan masalah matematika memiliki keterkaitan. Sebab, pada saat memecahkan masalah matematika siswa dipengaruhi oleh kecenderungan mereka dalam melakukan proses informasi (menerima, mengingat, berpikir, dan memecahkan masalah) atau yang lebih dikenal dengan gaya kognitif.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa gaya kognitif reflektif adalah gaya kognitif yang dimiliki siswa dalam memecahkan masalah dengan waktu yang lama tetapi akurat sehingga jawaban yang diberikan cenderung benar. Sedangkan gaya kognitif impulsif adalah gaya kognitif yang dimiliki siswa dalam memecahkan masalah dengan waktu yang singkat tetapi kurang akurat sehingga jawaban yang diberikan cenderung salah.

Konflik kognitif sering dijumpai oleh seseorang yang sedang belajar. Konflik kognitif terjadi dengan tanda-tanda ketidakseimbangan mental yang berupa pernyataan-pernyataan atau ekpresi ketidakyakinan, keraguan, keganjalan, tidak berintegrasi, keanehan suatu konsep. Setiap siswa dalam memecahkan masalah mempunyai cara memproses dan mengorganisir kegiatannya berbeda-beda, hal ini disebut dengan gaya kognitif. Berdasarkan waktu pemahaman konsep, gaya kognitif dibagi menjadi dua yakni gaya reflektif dan impulsif. Dimensi reflektif dan impulsif yakni kecenderungan anak yang tetap untuk menunjukkan singkat atau lamanya waktu dalam menjawab suatu masalah dengan ketidakpastian yang tinggi. Sehingga dalam menyelesaikan suatu konflik dengan waktu yang ditentukan, siswa dapat tergambar melalui gaya kognitif reflektif dan impulsif.

(43)

34

[image:43.420.73.348.129.526.2]

yaitu: konstruktif, destruktif, dan tak berarti. Jenis konflik kognitif tersebut menjadi acuan dalam penelitian ini untuk mengetahui profil konflik kognitif siswa yang ditinjau dari gaya kognitif reflektif dan impulsif, yang dirangkum pada tabel berikut ini.

Tabel 2.3

Jenis-jenis Konflik Kognitif

No Jenis Konflik

Kognitif Deskripsi Indikator

1 Konflik antara struktur kognitif dengan lingkunganny a.

Ketidakseimba ngan antara struktur kognitif seseorang dengan informasi yang berasal dari

lingkungannya .

 Siswa tidak menyadari adanya kesalahan prosedural dalam

menyelesaikan masalah matematika

 Siswa menyadari adanya kontradiksi seperti tampak ragu-ragu, terkejut, merasa aneh antara hasil perhitungan menggunakan rumus dengan hasil

pengukuran media

(44)

35 mengalami kebingungan seperti tampak cemas, merasa tertekan, antara hasil perhitungan menggunakan rumus dengan hasil pengukuran media 2 Konflik antar
(45)

36

dengan pengetahuan baru mengenai rumus keliling

3

4 lingkaran dan 5

6 lingkaran  Siswa

mengalami kebingungan seperti tampak cemas, merasa tertekan antara pengetahuan lama mengenai rumus keliling satu lingkaran dengan pengetahuan baru mengenai rumus keliling

3

4 lingkaran dan 5

6 lingkaran

[image:45.420.76.350.67.373.2]

Sifat konflik kognitif di atas menjadi acuan dalam penelitian ini untuk mengetahui profil konflik kognitif siswa yang ditinjau dari gaya kognitif reflektif dan impulsif, yang dirangkum pada tabel berikut ini:

Tabel 2.4

Sifat-sifat Konflik Kognitif

No

Sifat konflik kognitif

Deskripsi Indikator

1 Konflik kognitif konstruktif

Seseorang merefleksi suatu keadaan konflik dan

[image:45.420.91.362.430.523.2]
(46)

37

dapat mengatasi konflik tersebut sehingga menghasilkan pemahaman secara bermakna

terkejut, merasa aneh terhadap masalah yang sedang dihadapi

 Siswa tertarik dan berminat untuk memecahkan masalah tersebut

 Siswa dapat menjelaskan keterkaitan masalah yang dihadapi dengan pengetahuan atau konsep yang telah dimiliki sebelumnya

 Siswa berusaha memecahkan masalah yang dihadapi

 Siswa dapat memecahkan masalah yang telah dihadapi dengan tepat

 Siswa dapat menyimpulkan keterkaitan konsep yang dimiliki terhadap konflik yang diberikan menggunakan bahasa sendiri dengan benar

(47)

38

2 Konflik kognitif destruktif Seseorang berusaha mengatasi konflik yang dialami namun tidak memperoleh penyelesaian atas konfliknya sehingga menghasilkan suatu keadaan kacau atau frustasi dalam pikirannya

 Siswa mengalami kebingungan atau keanehan seperti tampak ragu-ragu, terkejut, merasa aneh terhadap masalah yang sedang dihadapi

 Siswa tertarik dan berminat untuk memecahkan masalah tersebut

 Siswa dapat menjelaskan keterkaitan masalah dengan pengetahuan atau konsep yang telah dimiliki sebelumnya

 Siswa berusaha, tidak menyerah untuk menemukan pemecahan masalah yang dihadapi

 Siswa merasa frustasi, tertekan atau depresi karena tidak menemukan pemecahan konflik dengan benar 3 Konflik

kognitif tak berarti Seseorang yang mengalami konflik kognitif namun tidak menyadari keadaan tersebut sebagai suatu konflik

(48)

39

atau tidak merefleksi sehingga mempertahanka n konflik tersebut.

yang sedang dihadapi

 Siswa tidak tertarik dan tidak berminat untuk memecahkan konflik yang dihadapi

 Siswa tidak berusaha untuk memecahkan konflik yang dihadapi

(49)

40

(50)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan profil konflik kognitif dalam memecahkan masalah lingkaran ditinjau dari gaya kognitif reflektif dan impulsif. Berdasarkan tujuan tersebut, maka penelitian ini dapat dikatakan sebagai penelitian deskriptif kualitatif, karena mendeskripsikan konflik kognitif berdasarkan hasil tes dan wawancara. Data yang dihasilkan dari penelitian ini berupa deskripsi tentang jenis dan sifat konflik kognitif siswa yang bergaya kognitif reflektif, dan impulsif dalam memecahkan masalah lingkaran.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

[image:50.420.71.365.128.444.2]

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November semester ganjil tahun ajaran 2016/2017 dan bertempat di SMPN 1 Sidoarjo. Berikut adalah jadwal pelaksanaan penelitian yang dilakukan di SMPN 1 Sidoarjo.

Tabel 3.1

Jadwal Pelaksanaan Penelitian

No

Hari/Tanggal

Waktu Kegiatan

1

Kamis, 3 November

2016

07.30-10.00

Tes gaya kognitif reflektif dan

impulsif 2

Kamis, 8 November

2016

07.30-Selesai

Tes dan wawancara konflik kognitif subjek penelitian C. Subjek Penelitian

(51)

42

sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling atau memilih subjek sesuai tujuan penelitian.

Proses pemilihan subjek penelitian diambil dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan matematika yang sama berdasarkan nilai ulangan tengah semester, kelancaran dalam berkomunikasi, dan menggunakan instrumen tes gaya kognitif MFFT (Matching Familiar Figure Test) milik Jerome Kagan yang dirancang dan diadopsi oleh Warli. MFFT merupakan instrumen yang secara luas banyak digunakan untuk mengukur kecepatan kognitif yang terdiri dari 13 soal. Pada MFFT, siswa ditunjukkan sebuah gambar standar dan beberapa gambar variasi yang serupa dimana hanya salah satu dari gambar variasi tersebut sama dengan gambar standar. Kemudian siswa diminta memilih salah satu gambar dari gambar variasi tersebut yang sama dengan gambar standar. Gambar yang sama dengan yang asli standar inilah yang bernilai benar dan harus dicari siswa.

Adapun teknik pengerjaan MFFT, yaitu dengan meminta satu persatu siswa mengerjakan MFFT dihadapan peneliti kemudian peneliti mencatat waktu pengerjaan tiap siswa, begitu seterusnya sampai seluruh siswa dalam kelas VIII-2 telah mengerjakan MFFT. Pengelompokan gaya kognitif reflektif dan impulsif tersebut mengacu pada skala penilaian yang ditetapkan sebagai berikut: (1) siswa reflektif diambil dari kelompok siswa yang menggunakan waktu (�) 7.28 menit, dan banyaknya soal MFFT jawaban benar (�) 7 soal; (2) Siswa impulsif diambil dari kelompok siswa yang menggunakan waktu (�) 7.28 menit, dan banyaknya soal MFFT jawaban salah (�) 7 soal.1

Kemudian dari hasil ulangan tengah semester dan tes gaya kognitif MFFT serta bantuan guru matematika peneliti memilih empat siswa yang dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu dua siswa dengan gaya kognitif reflektif dan dua siswa dengan gaya kognitif impulsif. Sehingga diperoleh subjek penelitian sebagai berikut:

(52)

43

Tabel 3.2

Daftar Subjek Penelitian

No Inisial

Subjek Kode Kelompok Gaya Kognitif 1 C. A. F. P. S1 Reflektif 2 R. S. R. S2 Reflektif

3 M. G. I. S3 Impulsif

4 O. N. S. M. S4 Impulsif

Peneliti memilih siswa reflektif dan impulsif berkemampuan matematika yang relatif sama serta komunikatif berdasarkan pertimbangan dari guru. Hal ini dilakukan karena subjek diharapkan mengalami konflik kognitif ketika memecahkan masalah, sehingga memudahkan peneliti dalam mendeskripsikan jenis dan sifat konflik kognitif pada subjek penelitian tersebut melalui wawancara. Peneliti memilih masing-masing dua siswa reflektif dan impulsif yang mengerjakan soal secara prosedural pada TPM. Peneliti memilih masing-masing dua siswa reflektif dan impulsif karena untuk pembanding mencari persamaan pemecahan masalah siswa reflektif dan siswa impulsif.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tes Konflik Kognitif

[image:52.420.71.364.60.403.2]
(53)

44

2. Wawancara

Wawancara dilakukan untuk memperjelas data kualitatif tentang proses konflik kognitif siswa kelas VIII dalam memecahkan masalah pada materi lingkaran. Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara berbasis tugas karena wawancara dilaksanakan setelah siswa mengerjakan soal tes konflik kognitif. Metode wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semi terstruktur. Wawancara semi terstruktur adalah peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaaan secara lebih bebas dan leluasa tanpa terikat oleh suatu susunan pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya.2 Dengan menggunakan metode ini diharapkan wawancara berlangsung luwes, arahnya bisa lebih terbuka, percakapan tidak membuat jenuh kedua belah pihak sehingga diperoleh informasi yang lebih kaya.3

Adapun langkah-langkah untuk melakukan wawancara, yaitu: 1. Peneliti memberikan pertanyaan kepada subjek berdasarkan pedoman wawancara yang telah dibuat dan divalidasi; 2. Siswa menjawab pertanyaan yang diberikan peneliti sesuai dengan apa yang dikerjakan dan dipikirkan dalam mengerjakan tes konflik kognitif; 3. Peneliti mencatat hal-hal penting untuk data tentang profil konflik kognitif siswa; 4. Peneliti merekam proses wawancara menggunakan

recorder.

E. Instrumen Penelitian

Adapun instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tes Konflik Kognitif

Tes konflik kognitif terdapat pada lampiran A yang diberikan berupa soal cerita dengan 7 pertanyaan pada materi lingkaran. Untuk menghasilkan soal yang valid, peneliti melakukan prosedur sebagai berikut:

(54)

45

a. Menyusun kisi-kisi soal tes konflik kognitif pada materi lingkaran untuk

Gambar

Gambar 2.1.
Model Konflik KognitifGambar 2.2 6
  Tabel 2.1 Karakteristik Ketidakseimbangan Mental
Gambar 2.3  Tempat Siswa Bergaya Kognitif Reflektif dan Impulsif
+7

Referensi

Dokumen terkait

Enzim yang digunakan untuk mengubah pati menjadi dekstrin yaitu enzim α-amilase yang bekerja optimum pada pH 5-6,2.. Untuk menjaga pH berada pada kisaran 5-6,2 dilakukan

Untuk merancang Concept Art Karakter Film Animasi 2D “Smaradhana” yang diadaptasi dari cerita Panji Asmarabangun pada Wayang Topeng Malang secara menarik, sehingga dapat

Disiplin Kerja dan Motivasi Kerja secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap Kepuasan Kerja karyawan, sedangkan pengembangan karir tidak berpengaruh

Dilihat dari hasil analisa tersebut nilai pH yang didapat telah sesuai dengan baku mutu limbah cair rumah sakit yang telah ditetapkan oleh pemerintah yaitu sebesar 6 – 9..

Pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh limbah rumah sakit yang mengandung fosfat tinggi yang melebihi baku mutu yang akan menyebabkan masalah lingkungan hidup sehingga

Penelitian ini menggunakan 3 (tiga) variabel yang telah dimodifikasi dari model penelitian TAM sebelumnya yaitu: Kebermanfaatan (Perceived Usefulness) sebagai variabel bebas

Termasuk penggunaan cat sebagai bahan pelapis permukaan batu apung (pumice) untuk mengurangi penyerapan air pada agregat tersebut. Pada penelitian ini objek yang diamati

Mengingat masih banyaknya keterbatasan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi di Indonesia, pekerja sosial memegang salah satu peranan penting dalam