TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh Gelar Magister dalam Program Dirasah Islamiyah
Oleh:
Maghfirotul Falahah NIM: F02212008 Dosen Pembimbing: Prof. Dr. HM. Roem Rowi, MA
NIP. 194710031977011001
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
Abstraksi
Judul : Fikih Prioritas antara Menikah dan Belajar Ditinjau Dari Segi
Maslahahnya (studi pemuda pemudi desa Wedi kecamatan Gedangan kabupaten Sidoarjo)
Penulis : Maghfirotul Falahah
Pembimbing : Prof. Dr. HM. Roem Rowi, MA.
Kata Kunci : Mas}lah}ah dan Fikih prioritas
Tesis ini mengkaji tentang fikih prioritas, dalam pembahasannya mencakup tentang implementasi dari fikih prioritas yang kemudian dibahas
dengan pendekatan teori Mas}lah}ah, kaidah-kaidah fikih dan dipertimbangkan
dengan kaidah-kaidah fikih prioritas. Dalam tesis ini, penulis membahas tentang realitas sosial sebagai bentuk aplikasi dari fikih prioritas dengan menganalisa fakta yang telah terjadi pada masyarakat desa Wedi kecamatan Gedangan kabupaten Sidoarjo, yaitu pertimbangan prioritas antara menikah dan melanjutkan studi yang kemudian dianalisa dari segi kemaslahatan kedua masalah tersebut.
Untuk memudahkan pemahaman dan pembahasan masalah ini, penulis membuat rumusan masalah yaitu bagaimana fikih menikah dan fikih belajar? Dan bagaimana prioritas antara menikah dan belajar di desa Wedi kecamatan
Gedangan kabupaten Sidoarjo dalam tinjauan mas}lah}ah}.
Tesis ini menggunakan metode kualitatif yang bertujuan agar data yang diperoleh lebih lengkap, lebih mendalam, kredibel dan bermakna sesuai hakikat penelitian kualitatif. Adapun analisis data, penulis menggunakan analisis deskriptif kualitatif karena masalah penelitian belum begitu jelas, sehingga untuk mendapatkan informasi dan data peneliti langsung masuk ke obyek atau subyek penelitian, dengan berhubungan langsung dengan masyarakat sebagai responden.
Adapun aplikasi konsep fikih prioritas dalam masalah pemilihan antara melanjutkan studi atau menikah pada pemuda pemudi masyarakat desa Wedi, sebagai salah satu contoh, adalah dengan mempertimbangkan maslahat dan
mad}arat ketika mendahulukan salah satu dari kedua masalah tersebut. Analisis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv
TRANSLITERASI ... v
MOTTO ... vi
ABSTRAKSI ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... xi
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Kerangka Teoritik ... 6
1. Prioritas dalam Kajian Hukum Islam ... 6
2. Mas}lah}ah ... 9
b. Kriteria Mas}lah}ahyang Valid Secara Syar’i dalam Pandangan
Ulama>’ ... 10
E. Penelitian Terdahulu ... 12
F. Metode Penelitian ... 14
1. Penentuan Subyek, Lokasi, dan Waktu Penelitian ... 14
2. Data yang akan digali ... 16
3. Sumber Data ... 16
4. Populasi dan Sampling ... 17
5. Teknik Pengumpulan Data ... 18
a. Wawancara ... 19
b. Kuesioner (angket) ... 20
c. Kajian Pustaka ... 20
6. Pengolahan dan Analisis Data ... 21
G. Sistematika Pembahasan ... 22
BAB II: KAJIAN TEORI A. Pernikahan Menurut Hukum Islam ... 24
1. Pengertian Pernikahan ... 24
2. Hukum Pernikahan ... 26
3. Dasar Hukum Pernikahan ... 28
B. Urgensi Ilmu ... 38
C. Prioritas dalam Kajian Hukum Islam ... 45
1. Penggagas Fikih Prioritas ... 46
2. Definisi dan Posisi Fikih Prioritas dalam Diskursus Hukum Islam ... 49
3. Landasan Fikih Prioritas Sebagai Metode Penetapan Hukum Islam ... 54
D. Mas}lah}ah ... 63
1. Pengertian Mas}lah}ah secara Bahasa dan Istilah ... 63
2. Pembagian Mas}lah}ah Berdasarkan Tingkatannya ... 64
3. Mas}lah}ah Menurut Pandangan al-Bu>t}i ... 67
4. Syarat Pemakaian Mas}lah}ah al-Mursalah ... 68
5. Peran Mas}lah}ah Ketika Terjadi Pertentangan antara Dua Mas}lah}ah dan Antara Mas}lah}ah dan Mafsadah ... 70
E. Qawa>’id Fiqhiyyah... 76
BAB III: PAPARAN DATA DAN BEBERAPA ARGUMEN A. Pendeskripsian Implementasi Menikah pada Desa Wedi Gedangan ... 86
1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 86
B. Paparan Data Tentang Beberapa Argumen Pemuda Pemudi
Desa Wedi yang Lebih Memilih Menikah ... 92
C. Paparan Data Tentang Beberapa Argumen Pemuda Pemudi
Desa Wedi yang Lebih Memilih Melanjutkan Studi ... 93
BAB IV: ANALISA FIKIH PRIORITAS ANTARA MENIKAH DAN
MELANJUTKAN STUDI DENGAN MENINJAU DARI SEGI
KEMASLAHATANNYA
A. Analisis Tradisi Menikah di Desa Wedi Kecamatan Gedangan
Kabupaten Sidoarjo ... 95
B. Analisis Fikih Prioritas dari tinjauan Mas}lah}ah dengan
Memprioritaskan Satu Masalah ... 97
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ... 108
B. Saran ... 108
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
A. Data Penduduk di Desa Wedi, Kecamatan Gedangan, Kabupaten
Sidoarjo Tahun 2014 ... I
B. Kuesioner di Desa Wedi, Kecamatan Gedangan,
C. Daftar Responden di Desa Wedi, Kecamatan Gedangan,
Kabupaten Sidoarjo ... VI
D. Hasil Jawaban Responden Kuesioner di Desa Wedi,
Kecamatan Gedangan, Kabupaten Sidoarjo ... VII
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap orang yang mengamati kehidupan ini dalam berbagai aspeknya –
baik aspek materil maupun imateril, pemikiran, sosial, ekonomi, politik, atau
lainnya- maka akan menemukan kekacauan yang serius dalam hidupnya,
khususnya dalam hal neraca prioritas. Sering kali kita temukan kenyataan yang
sangat mengherankan, yaitu adanya kecenderungan mendahulukan hal-hal yang
terkait dengan masalah seni atau bahkan kemewahan materi daripada hal-hal yang
terkait dengan masalah ilmu dan pendidikan.
Dalam kaitannya dengan aktivitas masyarakat kita misalnya, khususnya
kaum wanita yang berdomisili di desa kerap kali dihadapkan dengan dua pilihan,
yaitu menikah atau melanjutkan studi setelah menyelesaikan bangku SMA
(Sekolah Menengah Atas). Bahkan yang lebih mengharukan, kaum wanita yang
sudah menyelesaikan studi S1 (strata satu) seakan tidak lagi memiliki hak dalam
memilih, dengan dalih mereka sudah berumur lebih dari dua puluh tahun, sudah
saatnya menikah, dan tidak boleh lagi ada istilah ― jual mahal ‖. Selain itu, masih
banyak lagi dalih yang kami temukan, seperti halnya kaum wanita yang
melanjutkan studinya hanya akan membuang waktu karena gelar apapun yang
didapatkan tidak bisa mengubah kodrat dan tabiat seorang wanita yaitu di ― dapur
Di samping masalah kodrat, masih ada lagi alasan yang kerap kali kami
dengar. Dari pada melanjutkan studi, menghabiskan banyak biaya, lebih baik
menikah dan mencari kerja agar bisa ikut serta membantu menafkahi keluarga,
dan lain sebagainya. Ironis sekali, beberapa masyarakat yang memiliki pemikiran
seperti ini masih meyakini bahwa dengan membuat keputusan menikah lebih awal
dari pada melanjutkan studi, bisa menaikkan derajat atau bisa mempermudah
mereka dalam mendapatkan materi.
Tampaknya pemikiran seperti ini tidak hanya terjadi pada kalangan
masyarakat awam saja atau mereka yang menjauhkan diri dari ajaran agama
Islam. Namun, hal ini juga terjadi pada penganut agama lain, dan itu semua
disebabkan karena tidak adanya fikih yang berpedoman kepada petunjuk dan ilmu
pengetahuan yang benar.
Ilmu yang dimaksud di sini adalah pengetahuan yang menjelaskan tentang
amal-amal yang ra>jih{ dari yang lain, yang lebih utama dari yang lain, yang s{ah{i>h{
dari pada yang rusak, yang diterima dari pada yang ditolak, yang disunnahkan dari
pada yang bid‟ah.
Suatu amal terkadang menjadi utama dalam suatu kondisi dan menjadi
tidak utama pada kondisi yang lain, atau ra>jih{ pada suatu kondisi marju>h{ pada
kondisi yang lain. Akan tetapi karena keterbatasan ilmu dan pemahaman, mereka
tidak membedakan antara dua waktu yang berbeda atau antara dua kondisi yang
Dengan ini, umat Islam pada umumnya, dan kaum wanita pada khususnya
harus mengetahui dan memahami dengan baik fikih prioritas yang terkandung
dalam ajaran agama Islam berikut dalil-dalilnya, sehingga dapat memahami dan
meluruskan pikiran. Sehingga orang-orang yang membuat perbandingan dapat
memperoleh petunjuk yang kemudian mampu membedakan apa yang seharusnya
didahulukan oleh agama dan apa yang harus diakhirkan. Selain itu, mereka juga
bisa lebih memahami apa makna dan kemaslahatan yang terkandung dalam setiap
hal yang memiliki porsi hukumnya masing-masing tersebut.
Jika dilihat dari kemaslahatannya, melanjutkan studi seharusnya lebih
diprioritaskan dari pada menikah, namun dengan syarat hukum menikah belum
berubah pada tahap wajib maupun fard}u. Seperti yang akan peneliti ulas pada bab
dua nanti tentang teori mas}lah}ah yaitu melihat kemaslahatan sesuai
kepentingannya. Melanjutkan studi lebih diutamakan karena bisa mencakup
seluruh komponen mas}lah}ah dengan menjaga agama, akal maupun harta
seseorang. Sedangkan menikah masuk dalam komponen menjaga agama dan
nasab saja. Adapun urutan dari lima komponen mas}lah}ah lebih mendahulukan
antara menjaga akal dari pada menjaga nasab.
Dengan demikian, tidak akan ada lagi masyarakat muslim, khususnya
yang tinggal di desa Wedi yang berpikir praktis dan melakukan tindakan di luar
batas kewajaran, ataupun yang sama sekali tidak memenuhi syarat dalam ajaran
yang menunda pernikahannya dan lebih memilih untuk melanjutkan studi hingga
strata satu, dua bahkan tiga. Menikah masih tetap memiliki hukum sunnah selama
para gadis desa mampu menahan nafsu dan menjaga diri mereka.1
Begitu juga dengan para pemuda desa Wedi, karena kondisi lingkungan
sekitar dikelilingi dengan berbagai macam industri (pabrik), mereka mengira
dengan umur yang sudah dianggap layaknya orang dewasa, mereka lebih tertarik
bekerja dan menikah. Karena tanpa belajar pun mereka bisa mendapatkan
pekerjaan (buruh pabrik). Seharusnya mereka tidak perlu khawatir dengan
tanggung jawabnya. Karena dengan melanjutkan studi, sama saja dengan mereka
berinvestasi untuk masa depan mereka sendiri. Sebuah instansi tidak akan
menolak sarjana muda yang ulet bekerja, bertanggung jawab, dan berakhlak
mulia. Bukan satu dua orang saja yang sukses ketika mereka kuliah dengan
bekerja untuk memenuhi biaya kuliahnya. Dengan kata lain, pemikiran
masyarakat desa Wedi yang masih meyakini kalau melanjutkan studi hanya akan
menghabiskan banyak biaya, dan mereka tidak akan mendapat balasan apapun
dikemudikan hari bisa ditepis dengan mempelajari dan memahami beberapa
kemaslahatan yang ada di balik masalah ini, tentunya dilihat dari kajian fikih
prioritasnya.
Pada awalnya memang masalah ini sering dianggap remeh oleh banyak
kalangan, namun dengan berjalannya waktu semakin menggelitik penulis dan
dengan penelitian ini penulis berusaha membuka tabir dan meluruskan pola pikir
yang sudah tertanam pada kebanyakan masyarakat desa dengan menggunakan
fikih prioritas. Karena fikih prioritas bisa mendekatkan berbagai macam
pandangan orang yang memahami dan memperjuangkan Islam. Oleh karenanya
dengan ini penulis akan membuat beberapa rumusan masalah tentang fikih
perioritas antara menikah dan belajar yang ditinjau dari segi mas{lah{ahnya
sehingga masalah di atas bisa dibahas secara runtun.
B. Rumusan Masalah
Untuk memudahkan pemahaman dan pembahasan penelitian ini, maka
rumusan masalah akan penulis uraikan sebagai berikut:
1. Bagaimana fikih menikah dan fikih belajar?
2. Bagaimana prioritas antara menikah dan belajar di desa Wedi kec.
Gedangan kab. Sidoarjo dalam tinjauan mas{lah{ah?
C. Tujuan Penelitian
Untuk menyempurnakan penelitian ini, tentunya tidak terlepas dari
beberapa tujuan agar penelitian tentang hukum yang dilihat dari segi fikih
prioritas ini bisa diaplikasikan pada masyarakat khususnya yang berdomisili di
desa Wedi, sehingga bisa sedikit mengubah pola pikir yang sudah membudaya
dan salah kaprah. Adapun tujuan yang ingin dicapai sebagai berikut:
2. Mendeskripsikan implementasi menikah yang ada pada masyarakat desa
Wedi dengan menyertakan beberapa argument yang mempengaruhi pola
pikir dan tindakan mereka.
3. Mendeskripsikan mas{lah{ah dan mad{a>rat dengan terlebih dahulu
melakukan perbandingan dan melakukan analisa menggunakan fikih
prioritas antara masyarakat desa Wedi yang lebih memilih melanjutkan
studi dengan masyarakat yang menikah.
D. Kerangka Teoritik
1. Prioritas dalam Kajian Hukum Islam
Salah satu pakar fikih, Yusuf Qard{a>wi membuat sebuah konsep tentang
fikih yaitu fiqh al-awlawiyya>t atau fikih prioritas. Dalam kitabnya beliau
mengatakan bahwa fikih prioritas dimaksudkan sebagai berikut:
"
لدعلا هتبترم ى ئيش لك عضو
,
لامعأا و مَيِقلا و ماكحأا نم
,
ىوأاف ىوأا مِّدقي ّم
....
اف
مهما ىلع مهما رغ مّدقي
,
م أا ىلع مهما او
,
حجارلا ىلع حوجرما او
,
لضافلا ىلع لوضفما او
,
لضفأ وأ
.
مدقّتلا هّقح ام مّدقي لب
,
رخأّتلا هّقح ام رّخَؤُ ي و
"....
2― Meletakkan segala sesuatu sesuai dengan skala urutannya secara proporsional (adil), baik dalam segi hukum, nilai, ataupun perbuatan. Langkah berikutnya memberikan prioritas apa yang seharusnya diprioritaskan .... Oleh karena itu, sesuatu yang tidak penting tidak boleh didahulukan dari sesuatu yang penting, sesuatu yang penting tidak boleh didahulukan dari sesuatu yang lebih penting, sesuatu yang kuat dasarnya tidak boleh didahulukan dengan sesuatu yang lebih kuat dasarnya, sesuatu yang utama tidak boleh didahulukan dengan yang lebih utama. Apa yang harus didahulukan hendaknya didahulukan, dan apa yang harus diakhirkan haruslah diakhirkan.‖
Dalam al-Qur’a>n surat al-Rah{ma>n ayat 7-9, Allah SWT berfirman:
― Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.‖3
Dasar pemikiran ini menunjukkan bahwa nilai, hukum, perbuatan, takli>f
(pembebanan) Allah mempunyai peringkat yang tegas dalam pandangan hukum
Islam, dan tidak berada dalam satu tingkatan.
Fikih prioritas ini dimunculkan karena ada beberapa hal yang diamati oleh
Yusuf Qard{a>wi salah satunya adalah karena melihat adanya kemunduran pada
umat Islam, antara lain:4
a. Umat Islam –dalam batas maksimal- telah mengabaikan fardlu kifayah
yang berkaitan dengan persoalan umat, seperti lebih fokus mendalami
ilmu, industri dan perang, sehingga setiap umat bisa menguasainya
dengan benar. Contohnya adalah berijtihad dalam fikih dan menarik
kesimpulan hukum, menyebarkan dakwah Islam.
b. Mereka mengabaikan sebagian fard{u „ain atau mereka kurang
memberikan perhatian seperti terhadap kewajiban amar ma‟ru>f nahi
munkar.
3 Kementrian Agama RI, Alqur’a>n Terjemahan, (Semarang, CV. Toha Putra, 1989), 875.
c. Mereka lebih memperhatikan sebagian rukun-rukun dari sebagian yang
lainnya. Mereka lebih banyak yang memperhatikan puasa dari pada
shalat. Demikian pula banyak orang yang lebih memperhatikan shalat
dari pada menunaikan zakat.
d. Mereka lebih banyak memperhatikan ibadah yang sunnah dari pada
ibadah-ibadah yang wajib. Seperti, lebih banyak berdzikir dari pada
berbuat baik kepada orang tua, mempererat tali persaudaraan, dan
berlaku baik kepada tetangga.
e. Mereka lebih memperhatikan ibadah-ibadah yang bersifat individual
seperti dzikir dari pada ibadah yang bersifat sosial yang mempunyai
manfaat lebih luas, seperti mendamaikan dan merukunkan orang,
bekerja sama dalam hal kebaikan dan ketakwaan.
f. Sebagian besar orang lebih memperhatikan cabang-cabang amal (
al-far‟) dari pada pokoknya (al-us{u>l). pokok yang dimaksud adalah
akidah, iman, tauhid, dan keikhlasan beragama.
g. Kebanyakan umat sibuk dalam hal yang makruh, subhat dibandingkan
dengan masalah yang jelas diharamkan dan yang wajib diabaikan. Ada
juga yang lebih suka menyibukkan diri dengan masalah-masalah
khila>fiyah (masalah yang menjadi perselisihan) dan lalai terhadap
persoalan-persoalan besar.
Banyak kerancuan yang terjadi pada umat Islam saat ini, sehingga
penting diremehkan, yang awal diakhirkan, begitu juga sebaliknya, yang fardlu
diabaikan sedangkan yang sunnah dilestarikan, dosa kecil dianggap besar,
sedangkan dosa besar dianggap ringan. Dengan demikian, umat Islam sangat
membutuhkan ―fikih prioritas‖ untuk kemudian didiskusikan dan diperjelas
sehingga bisa mengarahkan umat terhadap hal dan perbuatan yang terbaik.
Dalam permasalahan yang penulis angkat, kaitannya dengan fikih
prioritas. Kami ingin meneliti dan menganalisa lebih dalam lagi fikih prioritas
antara menikah dan melanjutkan studi. Jika keduanya memiliki mas{lah{ah, hal
mana yang harus diutamakan antara keduanya, dan jika keduanya memiliki
mafsadah, hal mana yang paling sedikit mafsadah –nya.
2. Mas{lah{ah
a. Pengertian Mas}lah}ah
Secara bahasa, al-mas}lah}ah dapat berarti kebaikan, kebermanfaatan,
kepantasan, kelayakan, keselarasan, kepatutan. Kata al-mas{lah{ah adakalanya
dilawankan dengan kata al-mafsadah dan adakalanya dilawankan dengan kata
al-mad{arrah, yang mengandung arti: kerusakan.5
Mas{lah{ah menurut Al-Ghaza>li (w. 505 H), adalah mewujudkan
kemanfaatan atau menghindari kemudaratan (jalb al-manfa„ah atau daf„
al-madarrah). Menurut al-Ghaza>li, yang dimaksud mas{lah{ah, dalam arti
terminologis-syar’i, adalah memelihara dan mewujudkan tujuan hukum Islam
(Shari’ah) yang berupa memelihara agama, jiwa, akal budi, keturunan, dan harta
kekayaan. Ditegaskan oleh al-Ghaza>li bahwa setiap sesuatu yang dapat menjamin
dan melindungi eksistensi salah satu dari kelima hal tersebut dikualifikasikan
sebagai mas{lah{ah. Sebaliknya, setiap sesuatu yang dapat mengganggu dan
merusak salah satu dari kelima hal tersebut dinilai sebagai al-mafsadah, maka
mencegah dan menghilangkan sesuatu yang dapat mengganggu dan merusak salah
satu dari kelima hal tersebut dikualifikasikan sebagai mas}lah}ah.6
b. Kriteria Mas}lah}ah yang Valid Secara Syar’i dalam Pandangan Ulama
Al-Ghaza>li membuat batasan operasional mas}lah}ah untuk dapat diterima
sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam; pertama, mas}lah}ah tersebut harus
sejalan dengan tujuan penetapan hukum Islam yaitu memelihara agama, jiwa,
akal, harta dan keturunan atau kehormatan. Kedua, mas}lah}ah tersebut tidak boleh
bertentangan dengan al-Qur’a>n, al-Sunnah dan ijma>‟. Ketiga, mas}lah}ah tersebut
menempati level d{aru>riyah (primer) atau h}a>jiyah (sekunder) yang setingkat
dengan d{aru>riyah. Keempat, kemaslahatannya harus berstatus qat}‟i atau z}ann
yang mendekati qat}‟i. Kelima, dalam kasus-kasus tertentu diperlukan persyaratan,
harus bersifat qat}‟iyah, d}aru>riyah,dan kulliyah.7
Berbeda dengan Imam al-Ghazali, al-Sha>thibi hanya membuat dua kriteria
agar mas}lah}ah dapat diterima sebagai dasar pembentukan hukum Islam. Pertama,
6Al-Ghaza>li dalam- Muhammad Khalid Mas’ud, Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu Ishaq
mas}lah}ah tersebut harus sejalan dengan jenis tindakan shara‟, karena itu maslahat
yang tidak sejalan dengan jenis tindakan shara‟ atau yang berlawanan dengan
dalil shara‟ (al-Qur’a>n, al-Sunnah dan ijma>‟) tidak dapat diterima sebagai dasar
dalam menetapkan hukum Islam. Kedua, mas}lah}ah seperti kriteria nomor satu di
atas tidak ditunjukkan oleh dalil khusus. Jika ada dalil khusus yang
menunjukkannya maka itu menurut al-Sha>t}ibi termasuk dalam kajian qiya>s.8
Al-Sha>t}ibi dalam kitabnya al-Muwa>faqat fi> > Us{u>l al-Shari>‟ah
mengemukakan bahwa tujuan pokok disyari’atkan hukum Islam adalah untuk
kemaslahatan manusia baik di dunia maupun akhirat.9 Menurut pandangan
al-But}i, kriteria mas}lah}ah yang valid secara syar’i itu mencakup 5 (lima) hal,
pertama, sesuatu yang akan dinilai itu masih berada dalam koridor nas} shara‟.
Kedua, sesuatu tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur’a>n. Ketiga, tidak
bertentangan dengan Sunnah. Keempat, tidak bertentangan dengan al-qiya>s.
Kelima, ia tidak mengorbankan mas}lah}ah lain yang lebih penting.10
Dari beberapa uraian pendapat ulama tentang mas{lah{ah di atas, penulis
lebih cenderung kepada pandangan Sa’i>d Ramad{a>n al-Bu>t{i, karena dalam
permasalahan yang akan penulis teliti nantinya terdapat dua aspek mas{lah{ah yang
akan diuraikan dan dicari kejelasannya, agar tidak ada mas{lah{ah yang lebih
penting yang dikorbankan, seperti konsep mas{lah{ah yang telah dikemukakan
al-Bu>t{i>.
8Muhammad Khalid Mas’ud, Islamic Legal Philosophy, 162.
E. Penelitian Terdahulu
Penelusuran penulis terhadap penelitian terdahulu menemukan bahwa
beberapa peneliti berusaha menyajikan fikih prioritas dengan permasalahan dan
pembahasan yang berbeda. Di antaranya adalah Nasfa Alif Diana, Fikih Prioritas
Antara Umrah dan Kuliah (Tesis-- UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2015). Pada
penelitian ini, menyajikan analisis fikih prioritas dalam permasalahan umrah dan
kuliah. Perbedaan pembahasan yang diangkat saudari Nasfah dengan pembahasan
penulis adalah, penulis akan meneliti fikih prioritas antara menikah dan belajar
dengan ditinjau dari segi mas{lah{ah{nya, sehingga permasalahannya beruntun dan
kesimpulan analisis yang didapat akan menjadi jelas.
Selain itu, ada juga peneliti yang menitikberatkan kajian fikih prioritas
pada segi teorinya seperti yang telah ditulis oleh Nasrun Jauhari, Fikih Prioritas
Sebagai Instrumen Ijtihad Maqa>s{idiy (Tesis-- UIN Sunan Ampel, Surabaya,
2013). Pada penelitian tersebut dia menguraikan tentang adanya beberapa bagian
fikih seperti fikih minoritas dan fikih prioritas yang layak dijadikan sebagai
instrumen dalam berijtihad. Menurutnya, posisi fikih prioritas dalam kajian
hukum Islam adalah menempati bagian dari perkembangan konsep ijtihad hukum
Islam yang berbasis maqa>s}id al-shari>‟ah yang lebih berorientasi pada fikih
dakwah. Dari sini sudah terlihat jelas adanya perbedaan pembahasan yang dibahas
Ditemukan sebuah hasil penelitian yang dilakukan oleh Muh}ammad
al-Waki>li>, (Tesis—Universitas Muh}ammad al-Kha>mis) yang berjudul Fiqh
al-Awlawiyya>t; Dira>sah fi> D}awa>bit (Fikih Prioritas; Sebuah Kajian Metodologis).
Hasil kerja penelitian akademik di bawah bimbingan T}a>ha Ja>bir al-Alwa>ni> ini
telah diterbitkan oleh The International Institute of Islam Thought,
Hendon-Virginia, pada tahun 1997. Objek kajiannya, seperti yang terlihat pada judulnya
yaitu membahas fikih prioritas dari segi metodologi dan landasan shari>’ahnya,
sangat berbeda dengan penelitian yang akan penulis teliti. Walaupun demikian,
tesis tersebut diapresiasi oleh al-Alwa>ni> sebagai satu-satunya kajian terbaik
tentang fikih prioritas pada segi kerangka metodologi dari segi kondisi
sebelumnya yang masih terpencar-pencar.11
Adapun beberapa kitab yang menyuguhkan kajian fikih prioritas secara
aplikatif, salah satunya adalah karangan Yu>suf al-Qard}a>wi> yang berjudul Fi> Fiqh
al-Awlawiyya>t, al-S}ah}wat al-Isla>miyyah baina al-Juh}u>d wa al-Tat}arruf,12 dan
al-S}ah}wat al-Isla>miyyah min al-Mura>haqah ila> al-Rushd.13 Karya Majdi> Hila>li> yang
berjudul Min Fiqh al-Awlawiyya>t fi> al-Isla>m.14
11 Ta>ha Ja>bir al-Alwa>ni>, maqa>s}id al-Shari>’ah (Beirut: Da>r al-Hadi>, 2001), 129.
12 Yu>suf al-Qard}a>wi, al-S}ah}wah al-Isla>miyyah bayna al-Juh}u>d wa al wah -Tat}arruf, (Kairo: Da>r al-Shuru>q, 2001).
13 Yu>suf al-Qard}a>wi, al-S}ah}wah al-Isla>miyyah min al-Mura>haqah ila> al-Rushd, (Kairo: Da>r al-Shuru>q, 2006).
F. Metode Penelitian
Untuk mendapatkan pemahaman yang utuh tentang Fikih Prioritas Antara
menikah Dan Belajar Ditinjau Dari Segi Mas{lah{ahnya (Studi Pemuda Pemudi
Desa Wedi Kecamatan Gedangan Kabupaten Sidoarjo), sesuai dengan rumusan
masalah, maka dalam penelitian ini penulis memilih untuk menggunakan
penelitian kualitatif.
Penggunaan metode kualitatif ini bertujuan agar data yang diperoleh lebih
lengkap, lebih mendalam, kredibel dan bermakna sesuai hakikat penelitian
kualitatif yang menekankan pada pengamatan atas orang dalam lingkungannya,
berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan penafsiran mereka
tentang dunia sekitarnya.15 Demikian halnya dengan penelitian ini yang
bermaksud ingin memahami alasan masyarakat khususnya pemuda pemudi yang
lebih memilih menikah dari pada melanjutkan sekolah atau sebaliknya.
Faktor-faktor apa yang mendorong mereka memilih untuk melakukannya dan bagaimana
pandangan fikih prioritas terhadap permasalahan tersebut dengan
mempertimbangkan mas{lah{ah dan mad{a>rah-nya.
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Penentuan Subyek, Lokasi, dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Wedi Kecamatan Gedangan
Kabupaten Sidoarjo, subyeknya adalah pemuda pemudi di desa tersebut.
penentuan lokasi penelitian ini dilandasi beberapa pertimbangan di antaranya:
Pertama Desa Wedi menurut penulis berbeda dengan desa lainnya, karena
letaknya yang strategis, yaitu dekat dengan area industri. Sehingga banyak
pemuda pemudi masyarakat Desa Wedi yang lebih memilih bekerja di pabrik,
setelah mereka merasa mampu mendapatkan penghasilan maka mereka akan
menikah dan akhirnya tidak melanjutkan pendidikannya. Kedua, masyarakat yang
tinggal di daerah desa Wedi termasuk masyarakat yang heterogen, terdiri dari
masyarakat yang berasal dari berbagai daerah yang ingin bekerja dalam sektor
industri. Hal ini akan membawa pengaruh secara langsung dan tidak langsung
terhadap perkembangan masyarakat di desa Wedi. Ketiga, masih adanya anggapan
bahwa bekerja lebih penting dari pada sekolah terutama bagi kaum perempuan,
hal ini dikarenakan tingkat ekonomi masyarakat desa Wedi yang berada pada
tingkat menengah ke bawah sehingga semakin mendorong pemuda-pemudi desa
Wedi lebih memilih bekerja dan enggan melanjutkan pendidikannya. Keempat,
desa Wedi kecamatan Gedangan Kabupaten Sidoarjo adalah tempat tinggal
penulis sehingga penulis lebih memahami kondisi masyarakat desa Wedi dan
penulis ingin menggali informasi serta memberikan kajian tentang fikih prioritas
antara menikah dan belajar ditinjau dari segi maslahatnya.
Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan, yaitu dari bulan April, Mei, dan
Juni 2014. Pada bulan April dan pertengahan Mei penulis menggali data dari Balai
Desa Wedi Kecamatan Gedangan Kabupaten Sidoarjo, dan pada awal hingga
wawancara kepada subyek penelitian. Pada akhir bulan Juni penulis akan
mengolah dan menganalisa data-data yang sudah didapatkan secara signifikan.
2. Data yang akan digali
a. Informasi tentang kondisi lingkungan dan masyarakat desa Wedi
termasuk jumlah penduduk, tingkat pendidikan dan mata pencaharian
masyarakat.
b. Pendapat dan alasan masyarakat dalam pengambilan keputusan untuk
menikah atau belajar dengan menyertakan faktor-faktor yang
mempengaruhi pola pikir dan tindakan mereka.
3. Sumber Data
Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah dari mana
data dapat diperoleh.16 Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
bersumber pada wawancara, penyebaran angket dan ditunjang dengan
kepustakaan.
Berdasarkan data di atas, maka yang menjadi sumber data adalah:
a. Sumber data primer yaitu:
Masyarakat sebagai pelaku, artinya pemuda pemudi yang memilih
menikah dari pada belajar dan sebaliknya.
b. Sumber data sekunder, yaitu:
1) Kitab yang berkaitan dengan Masalah, yaitu:
a) Yusuf Qard{a>wi, Fiqh al-Awlawiyya>t, penerbit: Maktabah
Wahbah.
b) Abu> Ish{a>q al-Sha>t{ibi>y, al-Muwa>faqa>t fi> Us{u>l al-Syari>‟ah,
penerbit: Da>r al-Ma‟rifah.
c) Muhammad Sai>d Ramad}a>n al-But>}i>, d}awa>bit al-mashlahah fi
Sha>ri>‟ah al-Isla>miyah, penerbit: Muassasah ar-Arisa>lah
d) Sa>lih bin Gha>nim al-Sadla>n, al-Qawa>‟id al-Fiqhiyah al-Kubra>
wa al-Tafarru‟ „anha>,penerbit: Da>r al-Balansiah.
e) Muhammad Zuh{aili, al-Qawa>id al-Fiqhiyyah „ala> Madzhab
al-H{anafi> wa al-Sya>fi‟i penerbit:Majlis al-Nashr al-Ilmi>.
4. Populasi dan Sampling
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Populasi dalam penelitian
ini adalah pemuda-pemudi desa Wedi. Istilah pemuda-pemudi didefinisikan
remaja yang berusia antara 16 – 24 tahun.17 Sedangkan jika mengacu pada
ketentuan dalam Undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 pasal 7 ayat (1)
disebutkan bahwa batas usia minimal menikah adalah 16 tahun untuk perempuan
dan 19 tahun untuk laki-laki.18 Berdasarkan keterangan tersebut maka peneliti
menentukan populasi dalam penelitian ini adalah pemuda-pemudi desa Wedi yang
berusia 19 – 24 tahun baik yang sudah menikah maupun belum menikah yang
diperoleh dari data pemerintahan Desa Wedi Kecamatan Gedangan Kabupaten
17Wikipedia, ―Youth, Terminology and Definitions‖ dalam http://en.m.wikipedia.org/wiki/Youth,
(22 Mei 2014).
18 Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974. Dalam
Sidoarjo yaitu sebanyak 257 orang yang terdiri dari 137 pemuda-pemudi yang
telah menikah atau sebesar 53,3 % dari jumlah populasi dan 120 pemuda-pemudi
yang belum menikah atau sebesar 46,7 % dari jumlah populasi.
Sampel merupakan sebagian atau wakil populasi yang diteliti, dalam
penelitian ini pengambilan sampel berpedoman pada pendapat Suharsimi
Arikunto, yang menyebutkan bahwa untuk sekedar ancer-ancer apabila subjek
kurang dari 100, lebih baik diambil semua, sehingga penelitian merupakan
penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah lebih dari 100, maka dapat diambil
10% sampai 15% atau 20% sampai 25%.19 Oleh karena itu jumlah sampel pada
penelitian ini ditentukan sebesar 10 % dari jumlah populasi, sehingga jumlah
sampel dalam penelitian ini adalah sebesar 25,7 orang yang dibulatkan menjadi 26
orang, terdiri dari 14 orang pemuda-pemudi yang telah menikah atau sebesar 53,3
% dari jumlah sampel dan 12 orang pemuda-pemudi yang belum menikah atau
sebesar 46,7 % dari jumlah sampel.
5. Teknik Pengumpulan Data
Idealnya dalam sebuah penelitian kualitatif terdapat beberapa teknik
pengumpulan data yang lazim digunakan, yaitu observasi berperan serta
(participant observation), wawancara mendalam (in depth interview) dan
dokumentasi.20 Dalam penelitian kali ini penulis mengumpulkan data-data
penelitian dengan menggunakan teknik sebagai berikut:
a. Wawancara
Esterberg mendefinisikan interview/wawancara sebagai berikut:
“Interview is a meeting of two persons to exchange information and idea trough
question and responses, resulting and communication and joint construction of
meaning about of particular topic”. wawancara merupakan pertemuan dua orang
untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat
dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu.21
Nasution mendefinisikan Wawancara adalah suatu bentuk komunikasi atau
percakapan antara dua orang lebih guna memperoleh informasi. Seorang peneliti
bertanya langsung kepada subjek atau responden untuk mendapatkan informasi
yang diinginkan guna mencapai tujuannya dan memperoleh data yang akan
dijadikan sebagai bahan laporan penelitiannya.22 Wawancara berfungsi deskriptif
yaitu melukiskan atau menggambarkan dunia nyata yakni suatu kehidupan seperti
yang dialami oleh orang lain.23
Demikian halnya dalam penelitian ini, wawancara dilakukan untuk
mendapatkan data primer sebagai sumber data pokok. Yakni dengan cara terjun
langsung kelapangan dan bertemu langsung dengan para pemuda pemudi desa
Wedi yang masuk dalam kategori memilih menikah dari pada melanjutkan belajar
dan sebaliknya, Data-data yang dikumpulkan dengan metode wawancara dalam
penelitian ini adalah seputar faktor-faktor penyebab mengapa pemuda pemudi
21Sugiyono, Memahami, 72.
desa Wedi memilih menikah dan tidak melanjutkan belajar, serta mengapa ada
juga dari sebagian mereka yang memilih belajar dan menunda menikah, kemudian
bagaimana efek yang terjadi setelah memutuskan pilihan tersebut, serta
bagaimana hukum Islam dalam arti fikih tentang menikah dan belajar setelah
mempertimbangkannya dengan mas{lah{ah, mana yang lebih diprioritaskan.
b. Kuesioner (Angket)
Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan
cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden
untuk dijawabnya. Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang efisien
bila peneliti tahu dengan pasti variabel yang akan diukur dan tahu apa yang bisa
diharapkan dari responden. Pada penelitian ini penulis menggunakan daftar
pertanyaan yang harus dijawab oleh responden, hal ini dilakukan untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pola pikir memilih menikah dan
memilih belajar.
c. Kajian pustaka
Yaitu dengan mengkaji kitab-kitab tentang fikih menikah Abdul Wahab
Khalaf, Sayyid T{ant{a>wi, dan Amin Abd al-Ma’bu>d Zaghlu>l. Fikih prioritas Yusuf
Qard{a>wi, konsep mas}lah}ah Sai>d Ramada} >n al-Bu>t{i>, Sha>t{ibi, >dan juga mengkaji
tentang qawa>‟id fiqhiyyah Muh{ammad Zuh{ayli untuk mempertimbangkan fikih
6. Pengolahan dan Analisis Data
Setelah data terkumpul, kemudian langkah selanjutnya adalah
menganalisis data. Dengan demikian diharapkan dapat diperoleh gambaran secara
jelas mengapa masyarakat desa Wedi khususnya pemuda pemudi memilih
menikah dan tidak melanjutkan belajar dan yang sebaliknya, kemudian
mengelompokkan dan menganalisanya dengan fikih prioritas dengan meninjau
mas{lah{ahnya.
Adapun alasan-alasan menggunakan analisis data deskriptif kualitatif ini
karena masalah penelitian belum begitu jelas, Sehingga untuk mendapatkan
informasi dan data peneliti langsung masuk ke obyek atau subyek penelitian.
Dengan berhubungan langsung dengan masyarakat sebagai responden. Dengan
kualitatif, kebenaran data yang telah diperoleh akan dapat lebih dipastikan.
Karena peneliti akan langsung berinteraksi dengan subyek penelitian.24
Dengan analisis data kualitatif ini penulis ingin mengetahui, menilai dan
menganalisis dari fikih prioritas segi mas{lah{ahnya di desa Wedi, secara terperinci.
Penarikan kesimpulan dilakukan dalam maksud untuk mengambil hipotesis yang
kemudian akan ditindak lanjuti dengan mengumpulkan data, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan lagi. Proses ini dilakukan secara berulang-ulang hingga titik
kulminasi kejenuhan dan akurasinya kemudian disusun secara naratif sesuai
keseluruhan hasil penelitian yang telah dilakukan.
G. Sistematika Pembahasan
Agar pembahasan ini tidak keluar dari jalur yang telah ditentukan dan
lebih sistematis susunannya, peneliti membaginya dalam lima bab yang
sistematikanya sebagai berikut:
Bab pertama berisi pendahuluan yang mengupas tentang latar belakang
masalah mengenai fikih prioritas antara melanjutkan studi dan menikah, serta
beberapa alasan mengapa masalah ini perlu kami bahas dan kami teliti. Agar
masalah ini tidak melebar ke mana - mana, maka kami buat rumusan masalah
yang berisi hal-hal apa sajakah yang perlu kami bahas dalam masalah ini. Kajian
pustaka tentang hukum asal menikah dan mencari ilmu yang kemudian
dihubungkan dengan kajian fikih prioritas antara keduanya dan mas{lah{ah yang
terkandung dengan memprioritaskan belajar. Tujuan penelitian, kerangka teoritik,
metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua berisi tinjauan umum tentang pernikahan menurut Islam yang
meliputi pengertian pernikahan menurut agama Islam, dasar-dasar hukum
pernikahan, syarat dan rukun dalam pernikahan. Penulis juga akan memaparkan
pengertian ilmu beserta dalil-dalil baik dari al-Qur’an maupun hadith yang
mengarahkan pada urgensi ilmu dan orang-orang yang mempelajarinya, serta
pengertian mas}lah}ah secara bahasa dan istilah, pengertian mas}lah}ah dari berbagai
pandangan ulama, macam-macam mas}lah}ah dan mas}lah}ah yang valid secara
Bab ketiga berisi uraian tentang laporan hasil penelitian meliputi
implementasi menikah pada pemuda pemudi Desa Wedi Kecamatan Gedangan
Kabupaten Sidoarjo dengan menyertakan beberapa argument masyarakat yang
melatarbelakangi pola pikir dan tindakan mereka dalam hal lebih memilih
menikah dari pada melanjutkan belajar dan yang sebaliknya.
Bab keempat berisi analisis terhadap tradisi menikah pada pemuda pemudi
yang berdomisili di Desa Wedi yang menomor duakan atau bahkan tidak sama
sekali memberi prioritas pada masalah keilmuan, dan yang lebih memilih
melanjutkan studinya ditinjau dari fikih prioritas dan mempertimbangkan
kandungan mas{lah{ah dan mafsadah masalah tersebut.
Bab kelima penutup meliputi kesimpulan terhadap pembahasan di atas
beserta analisisnya dan beberapa saran dari penulis kepada para cendekiawan, juru
dakwah, tokoh masyarakat dan kepada masyarakat desa Wedi kecamatan
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pernikahan Menurut Hukum Islam
1. Pengertian Pernikahan
Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “ kawin” yang
menurut bahasa artinya penyatuan dalam bersetuah; melakukan pernikahan,
pertalian antara laki-laki dan perempuan dalam nikah.25
Pernikahan menurut istilah sama dengan perkawinan dalam ilmu fikih
yaitu
جاوزلا
و حاكنلا
. Kata al-nika>h{ memiliki arti yang sama dengan al-zawa>j. Kataal-nika>h lebih sering dipakai di dalam Al-Qur’a>n seperti yang tertulis pada firman
Allah pada surat al-Baqarah ayat 235, sebagai berikut:
“Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”26
Syekh Azhar Muhammad Sayyid Tantawi dalam bukunya menyatakan
bahwa :
ةغللا ى ان م جاوّزلا ظ ل
:
نارقإا و امضنإا و عامت إا
.
27
“Nikah menurut pengertian bahasa adalah berkumpul, bergabung, dan berdekatan”.
Al-Zawa>j secara bahasa berarti mendekatkan satu hal dengan yang lain
dan mengumpulkan keduanya setelah keduanya saling berjauhan.28 Sehingga bisa
disimpulkan bahwa kata al-zawa>j berarti mendekatkan seorang laki-laki dengan
perempuan dan keduanya saling terikat selama-lamanya.
Seperti firman Allah pada surat al-Sa>ffa>t ayat 22, sebagai berikut:
“ Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka dan sembahan-sembahan yang selalu mereka sembah.”29
Bahwa kata
"
جاَوْزَأ
"
di atas dimaksud dengan teman, sahabat karib, atau sahabat dekat.Sayyid Sa>biq dalam Fikih Sunnah mendefinisikan nikah sebagai akad
yang menjadikan halalnya menggapai kenikmatan bagi masing-masing suami istri
atas dasar ketentuan yang disyari‟atkan Allah SWT.30
Sedangkan beberapa ulama fikih masing-masing memiliki pengertian
tentang pernikahan sesuai dengan tujuan menikah itu sendiri, di antaranya:31
27Muhammad Sayyid Tantawi, Al-Fiqh al-Muyassar (Kairo: t.p., 2001), 321. 28Amin Abd Zaghlu>l, Ah{ka>m al-Usrah, 26.
29 Kementrian Agama RI, Alqur’a>n Terjemahan, 709.
a. H{anafiyah
Sebuah akad yang sengaja dibuat agar orang laki-laki bisa mengambil
kesenangan dari seorang perempuan.
b. Selain ulama>‟ H{anafiyah
Sebuah akad yang sengaja dibuat oleh syari‟at yang bertujuan untuk
menghalalkan suami istri “ bersenang-senang” sesuai dengan syari‟at.32
Adapun beberapa hikmah menikah menurut Amin Zaghlu>l antara lain:
1) Menghibur diri setelah mengalami kebosanan hidup sendiri.
2) Dengan menikah, suami istri bisa mempelajari beberapa sifat
terpuji di antaranya; menyayangi orang lain, mengetahui mana hak
dan mana kewajibannya.
3) Menjaga keturunan.
4) Suami dan istri bisa saling menenangkan dan menenteramkan hati.
5) Suami istri halal mengambil “ kesenangan” satu sama lain.
2. Hukum pernikahan
Terlepas dari beberapa pandangan ulama fikih mengenai definisi dan
tujuan menikah, menikah hukumnya adalah sunnah menurut jumhu>r al-„ulama>‟,
sedangkan menurut al-Dza>hiriyyah, menikah hukumnya wajib.33
32Amin Abd Zaghlu>l, Ah{ka>m al-Usrah, 27.
33 Ibn Rushd al-Qurt{u>by, Bida>yah al-Mujtahid, juz II, (Beirut: Da>r al-Kutub al-„Ilmiyah, t.th.),
Perbedaan pendapat para ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum
menikah dapat berubah sesuai dengan „illah34 hukumnya. Adapun lima tingkatan
hukum tersebut yaitu:35
a. Wajib
Jika seorang mukallaf sudah terhitung mampu menafkahi istri dan
keluarganya kelak dan khawatir bahwa dirinya akan terjerumus dalam perzinaan
jika tidak menikah.
b. Fard{lu
Jika seorang mukallaf sudah terhitung mampu menafkahi istri dan
keluarganya kelak dan yakin bahwa dirinya akan terjerumus dalam perzinaan jika
tidak menikah.
c. Sunnah
Jika seorang mukallaf sudah terhitung mampu menafkahi istri dan
keluarganya kelak, tidak khawatir dan bahkan meyakini bahwa dirinya tidak akan
terjerumus dalam perzinaan meskipun tidak menikah.
d. Haram
Jika sudah dipastikan dan meyakini bahwa jika dia menikah, tidak bisa
menafkahi dan akan menzalimi pasangannya.
34 Illat adalah sesuatu yang ditetapkan pada hukum ashal (pokok) dan dihubungkan atau
disamakan hukum tersebut dengan furu‟ (cabang). Lihat Alaiddin Kotto, Ilmu Fikih dan Ushul Fikih (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), 91.
35 Abdul Wahab Khalaf, Ah{ka>m al-Ah{wali al-Shakhs> {iyyah fi> Shari>‟ah al-Isla>miyyah (Kuwait: Da>r
e. Makruh
Jika khawatir jika dia menikah, akan menzalimi pasangannya.
3. Dasar hukum pernikahan
Pernikahan mempunyai peranan penting bagi manusia dalam hidup dan
perkembangannya, untuk itu Allah melalui utusan-Nya memberikan suatu
tuntutan mengenai pernikahan ini sebagai dasar hukum. Adapun dasar pernikahan
dalam Islam adalah firman Allah dalam al-Qur‟a>n diantaranya :
Firman Allah dalam surat an-Nu>r ayat 32 :
“kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.”36
Dan firman Allah pada surat al-Nisa>‟ ayat 3 :
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”37
Firman Allah dalam surat al-Ru>m ayat 21 :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”38
Dalam hadith Nabi telah menyebutkan bahwa anjuran menikah berlaku
bagi siapapun yang sudah mampu, dengan menikah umat Islam diharapkan dapat
menyempurnakan separuh dari agamanya dan dapat menjauhkan diri dari
perbuatan maksiat. Dengan melaksanakan pernikahan, maka seseorang diharapkan
agar lebih menjaga diri dan kehormatannya.
َيِضَر َِا ِدْبَع َعَم يِشْمَأ َََأ اَنْ يَ ب َلاَق َةَمَقْلَع ْنَع َميِاَرْ بِإ ْنَع ِشَمْعَْْا ْنَع َةَزََْ َِِأ ْنَع ُناَدْبَع اَنَ ثدَح
ِرَصَبْلِل ضَغَأ ُهنِإَف ْجوَزَ تَ يْلَ ف َةَءاَبْلا َعاَطَتْسا ْنَم َلاَقَ ف َملَسَو ِهْيَلَع َُا ىلَص ِِّبنلا َعَم انُك َلاَقَ ف ُهْنَع َُا
ٌءاَ ِو ُهَل ُهنِإَف ِ ْ صلِ ِهْيَلَ َ ف ْعِطَتْ َ َْ ْنَمَو ِجْرَ ْلِل ُنَصْحَأَو
39“
Telah menceritakan kepada kami 'Abdan dari Abu Hamzah dari Al A'masy dari Ibrahim dari 'Alqamah berkata; Ketika aku sedang berjalan bersama 'Abdullah radliallahu 'anhu, dia berkata: Kami pernah bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang ketika itu Beliau bersabda: "Barangsiapa yang sudah mampu (menafkahi keluarga), hendaklah dia
37Kementrian Agama RI, Alqur’a>n Terjemahan, 111. 38Ibid., 234.
39 Muh{ammad ibn „Isa> ibn Saurah ibn Mu>sa> ibn al-D{ah{a>k al-Tirmidhi, Al-Ja>mi‟ al-S{ah{i>h{Sunan
kawin (menikah) karena menikah itu lebih bisa menundukkan pandangan dan lebih bisa menjaga kemaluan. Barangsiapa yang tidak sanggup (menikah) maka hendaklah dia berpuasa karena puasa itu akan menjadi benteng baginya”.
َِِأ ْنَع ِلاَمِّشلا َِِأ ْنَع ٍل ُحْكَم ْنَع ِجاجَْْا ْنَع ٍثاَيِغ ُنْب ُصْ َح اَنَ ثدَح ٍعيِكَو ُنْب ُناَيْ ُس اَنَ ثدَح
ُكاَ ِّ لاَو ُرطَ تلاَو ُءاَيَْْا َنِلَسْرُمْلا ِنَنُس ْنِم ٌعَبْرَأ َملَسَو ِهْيَلَع َُا ىلَص َِا ُل ُسَر َلاَق َلاَق َب َأ
ُحاَكِّنلاَو
40“Telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Waki', telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyats dari Al Hajjaj dari Mahkul dari Abu Asy Syimal dari Abu Ayyub berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Empat hal yang termasuk sunnah para rasul: malu, memakai wewangian, siwak, dan nikah.”
4. Syarat dan Rukun Nikah
Menurut UU perkawinan bab 1 pasal 2 ayat 1 dinyatakan bahwa,
perkawinan itu dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan masing-masing kepercayaannya itu.41
Bagi umat Islam, perkawinan itu sah apabila dilakukan menurut hukum
perkawinan Islam, suatu akad perkawinan dipandang sah apabila telah memenuhi
segala rukun dan syaratnya sehingga keadaan akad itu diakui oleh hukum Shar‟.
40Muh{ammad ibn „Isa> ibn Saurah ibn Mu>sa> ibn al-D{ah{a>k al-Tirmidhi, Al-Ja>mi‟ al-S{ah{i>h{Sunan
al-Tirmidhi, Vol III. (Mesir: Maktabah wa Mat}ba‟ah Must}afa> al Babi al H}alabi>, 1975), 383. (Abu Isa At Tirmidzi) berkata; "Hadits semakna diriwayatkan dari 'Utsman, Tsauban, Ibnu Mas'ud, Aisyah, Abdullah bin 'Amr, Abu Najih, Jabir dan 'Akkaf." Abu Isa berkata; "Hadits Abu Ayyub merupakan hadits hasan gharib. Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khidays Al Baghdad telah menceritakan kepada kami 'Abbad bin Al Awwam dari Al Hajjaj dari Makhul dari Abu Asy Syimal dari Abu Ayyub dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seperti hadits Hafs." Abu Isa berkata; Husyaim, Muhammad bin Yazid Al Wasithi, Abu Mu'awiyah dan yang lainnya meriwayatkan hadits ini dari Al Hajjaj dari Makhul dari Abu Ayyub dan mereka tidak menyebutkan di dalamnya dari Abu Asy Syimal. Hadits Hafs bin Ghiyats dan 'Abbad bin Al Awam yang lebih sahih."
41 Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974. Dalam
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang
menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua
kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan
sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara pernikahan rukun dan syaratnya
tidak boleh tertinggal. Dalam arti pernikahan tidak sah bila keduanya tidak ada
atau tidak lengkap. Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa
rukun itu adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau
unsur yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada di
luarnya dan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan dengan
rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun.
Rukun akad perkawinan ada lima, yaitu :42
a. Adanya mempelai putra (suami), syarat-syaratnya :
1) Beragama Islam
2) Jelas laki-laki
3) Tertentu orangnya.
4) Tidak sedang berihram haji/umrah.
5) Tidak mempunyai istri empat, termasuk istri yang masih dalam
menjalani iddah talak raj'iy.
6) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan mempelai
perempuan, termasuk istri yang masih dalam menjalani iddah thalak
raj'iy.
7) Tidak dipaksa
8) Calon istri bukan mahramnya sendiri
b. Adanya mempelai putri (istri), dengan syarat :
1) Calon suami bukan mahramnya sendiri
2) Suaminya jelas (tertentu)
3) Terbebas dari larangan menikah
c. Adanya wali nikah dengan syarat :
1) Tidak karena dipaksa
2) Laki-laki
3) Baligh
4) Berakal
5) Harus yang adil dan bukan seorang yang fasiq
6) Bukan yang mah}ju>r „alaih (dilarang bertransaksi) karena
kebodohan atau atau ketidaktahuannya
7) Bukan yang kehilangan penglihatan
8) Bukan yang menyimpang dari agama Islam
9) Bukan juga seorang budak
d. Adanya dua orang saksi dengan syarat :
1) Merdeka
2) Laki-laki
3) Adil
e. S}i>ghah dengan syarat :
1) Pembicaraan (Khit}a>b) ditujukan kepada kedua belah pihak yang
sedang melakukan akad
2) Khit}a>b harus dengan kalimat sedang mengajak orang lain bicara
( بطاخ لا ل ج)
3) Harus menyebutkan jumlah harga atau mahar (wali)
4) Al-„A>qida>ni (wali dan suami) harus sama-sama memiliki niat
(maksud) memiliki dan mengambil alih kepemilikan
5) Saat ijab kabul tidak boleh diselahi dengan perkataan orang lain
6) Saat ijab kabul tidak boleh diselahi dengan diam yang lama, karena
hal tersebut seolah menunjukkan bahwa suami enggan untuk
menerima ijabnya
7) Ijab tidak boleh berubah hingga suami menerima ijabnya
8) Perkataan kedua belah pihak harus bisa didengar oleh para tamu
yang hadir, di sekitar tempat ijab kabul
9) Antara ijab dan kabul harus sesuai
10)Tidak menghubung-hubungkan antara s}i>ghah dengan sesuatu yang
tidak ada hubungannya dengan beberapa syarat sebelumnya
11)Tidak boleh membatasi dengan waktu
12)Perkataan “qabu>l” harus diucapkan oleh orang yang diajak bicara
13)Antara ijab dan kabul harus saling bersambung (terus menerus dan
tidak terputus)
Syarat akad pernikahan :
Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita
dengan memberi hak atau menerima mahar (maskawin). Mahar hanya diberikan
oleh calon suami kepada calon istri, bukan kepada wanita lainnya atau siapapun
walau sangat dekat dengannya.
Calon mempelai laki-laki berkewajiban untuk menyerahkan sejumlah
mahar kepada calon mempelai perempuan. Namun, jumlah, bentuk, dan jenisnya
diatur berdasarkan kesepakatan antara pihak mempelai laki-laki dan pihak
mempelai perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada ketentuan hukum di
dalam al-Qur‟a>n maupun hadith, mengenai jumlah maksimal dan jumlah minimal
pemberian mahar dari calon mempelai.
Mahar bukanlah rukun dalam pelaksanaan pernikahan melainkan salah
satu syarat sahnya suatu hubungan dalam pernikahan.
Menurut Sayyid Sa>biq43, mahar adalah harta atau manfaat yang wajib
diberikan oleh seorang mempelai pria dengan sebab nikah atau watha‟.
Penyebutan mahar hukumnya sunnat, baik dari segi jumlah maupun bentuk
barangnya dalam suatu akad perkawinan. Apapun barang yang bernilai adalah sah
untuk dijadikan mahar.
Dasar hukum adanya mahar dalam perkawinan, terdiri atas dasar hukum
yang diambil dari al-Qur‟a>n dan dasar hukum dari As-Sunnah dilengkapi oleh
pendapat ulama tentang kewajiban membayar mahar oleh mempelai laki-laki
kepada mempelai perempuan.
Dalam al-Qur‟a>n, surat An-Nisa ayat 4, Allah SW. berfirman :
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”44
Ayat di atas menyebutkan “Mahar” dengan istilah “s}ida>q” yang
dimaknakan sebagai pemberian yang penuh keikhlasan.
Dalam surat an-Nisa>’ ayat 25, Allah SWT. berfirman sebagai berikut :
……
…….“Oleh Karena itu, kawinilah mereka dengan seizin tuan meraka dan berikanlah maskawin mereka menurut yang patut”.45
Dalam ayat di atas digunakan istilah ajrun atau ujurahun. Istilah tersebut
yang makna asalnya upah, dalam konteks ayat itu bermakna mahar atau
maskawin bagi hamba sahaya perempuan yang hendak dinikahi, yang di samping
harus atas izin tuannya, juga harus dibayar maharnya. Dengan semikian, dalam
konteks hak atas mahar, tidak ada perbedaan antara perempuan hamba sahaya dan
perempuan tersebut dapat pula dipahami bahwa dari sisi kesetaraan gender, Islam
telah melakukannya secara adil, terutama dalam upaya membebaskan kaum
perempuan dari ketertindasan sosial budaya.
Demikian pula, dalam surat an-Nisa>’ ayat 20-21, Allah SWT berfirman :
ِۡ
ُ ܆د َ
َ
ٱ
َا َ ۡ ِ ۡ
ٖ ۡ َ
َِ َ ܅
ٖ ۡ َ
ۡ ُ ۡ َا َ َ
܅ ُ ٰ َ ۡ ِ
اٗ ا َطنِق
َ َ
ْ
ُ ُ
ۡ
َا
ُ ۡنِ
ۡ َ
ًت ۚ
ُ َو ُ ُ
ۡ
َا
َ
ۥ
اٗنٰ َ ۡ ُب
اٗمۡث
اٗن ِ ܆
َ ۡ َ َ
ُ َو ُ ُ
ۡ
َا
ۥ
ۡ َقَ
ٰ َ ۡ
َ
ۡ ُ ُ ۡ َب
ٰ
َ
ِ
ٖ ۡ َب
َِۡ َ
َ
َ
ُ نِ
اًقٰ َ ِ
ا ٗظ ِلَغ
Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain , sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata. Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) deng