DAFTAR ISI
Membangun Kemampuan Komunikasi Matematis dalam Pembelajaran Matematika
1-9
Wahid Umar
Menumbuhkan Daya Nalar ( Power Of Reason ) Siswa Melalui Pembelajaran Analogi Matematika
10-18
Rahayu Kariadinata
Hubungan Antara Self-Concept Terhadap Matematika dengan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik Siswa
19-30
Risqi Rahman
Penerapan Teori Perkembangan Mental Piaget pada Konsep Kekekalan Panjang 31-44 Idrus Alhaddad
Pembelajaran Matematika Berbasis-Masalah yang Menghadirkan Kecerdasan Emosional
45-61
Ibrahim
Membangun Keaktifan Mahasiswa pada Proses Pembelajaran Mata Kuliah Perencanaan dan Pengembangan Program Pembelajaran Matematika melalui Pendekatan Konstrutivisme dalam Kegiatan Lesson Study
62-78
Farida Nurhasanah
Peningkatan Kemampuan Berpikir Statistis Mahasiswa S1 Melalui Pembelajaran MEAs yang Dimodifikasi
79-89
Bambang Avip Priatna Martadiputra Didi Suryadi
Pembelajaran Matematika Humanis dengan Metaphorical Thinking untuk Meningkatkan Kepercayaan Diri Siswa
90-103
Heris Hendriana
Penerapan Metode Besaran Pivot dalam Penurunan Rumus Taksiran Interval dari Koefisien Regresi Linear Sederhana
104-125
Dengan senantiasa mengharap rahmat dan ridho Allah SWT, Jurnal Infinity, Program Studi Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung dapat hadir kehadapan pembaca. Untuk itu Dewan Redaksi menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada para penulis yang telah mengirimkan artikelnya untuk dimuat pada Volume 1 ini.
Dalam Jurnal Infinity Volume 1 No. 1 Tahun 2012 ini disajikan sembilan artikel yang terdiri dari lima artikel tentang hasil kajian penelitian bidang pendidikan Matematika, dan empat artikel tentang kajian teoritik pembelajaran bidang Pendidikan matematika. Mudah-mudahan artikel yang dimuat dalam jurnal ini menjadi masukan dan inspirasi bagi para peneliti dalam bidang pendidikan sejenis ataupun bagi para peneliti lain. Disamping itu mudah-mudahan artikel yang dimuat dapat memberikan sumbangan pada pengembangan pembelajaran matematika.
Akhir kata Dewan Redaksi mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang terlibat dalam penyusunan jurnal ini.
MEMBANGUN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS DALAM
PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Disusun oleh :
Wahid Umar
Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Khairun Ternate
Abstrak:
Sampai saat ini peran guru dalam membangun kemampuan komunikasi matematis siswa khususnya dalam pembelajaran matematika masih sangat terbatas. Kemampuan komunikasi merupakan aspek yang sangat penting yang perlu dimiliki oleh siswa yang ingin berhasil dalam studinya. Senada dengan itu, menurut Kist (Clark, 2005) kemampuan komunikasi yang efektif merupakan kemampuan yang perlu dimiliki oleh siswa untuk semua mata pelajaran.
Kemampuan komunikasi matematis (mathematical communication) dalam
pembelajaran matematika sangat perlu untuk dikembangkan. Hal ini karena melalui komunikasi matematis siswa dapat mengorganisasikan berpikir matematisnya baik secara lisan maupun tulisan. Di samping itu, siswa juga dapat memberikan respon yang tepat antar siswa dan media dalam proses pembelajaran. Bahkan dalam pergaulan bermasyarakat, seseorang yang mempunyai kemampuan komunikasi yang baik akan cenderung lebih mudah beradaptasi dengan siapa pun dimana dia berada dalam suatu komunitas, yang pada gilirannya akan menjadi seorang yang berhasil dalam hidupnya. Dalam tulisan ini, penulis menyajikan tentang pengertian kemampuan komunikasi matematis, dengan cakupan dua hal yakni kemampuan siswa menggunakan matematika
sebagai alat komunikasi (bahasa matematika), dan kemampuan siswa
mengkomunikasikan matematika yang dipelajari sebagai isi pesan yang harus
disampaikan. Bagaimana dan mengapa komunikasi penting untuk membangun suatu
komunitas matematis melalui jalur komunikasi terbuka di dalam kelas.
Kata kunci : komunikasi matematis, matematika sebagai bahasa, aktivitas sosial
Pandangan kedua ahli Silver dan Smith ternyata kemampuan komunikasi matematis memang perlu ditumbuhkembangkan di kalangan siswa. Hal ini diperkuat oleh Baroody (1993: 107), bahwa pembelajaran harus dapat membantu siswa mengkomunikasikan ide matematika melalui lima aspek komunikasi yaitu representing, listening, reading, discussing dan writing. Selanjutnya disebutkan sedikitnya ada dua alasan penting, mengapa komunikasi dalam pembelajaran matematika perlu ditumbuhkembangkan di kalangan siswa. Pertama, mathematics as language, artinya matematika tidak hanya sekedar alat bantu berpikir ( a tool to aid thinking), alat untuk menemukan pola, menyelesaikan masalah atau mengambil kesimpulan, tetapi matematika juga "an invaluable tool for communicating a variety of ideas clearly, precisely, and succinctly. Kedua, mathematics learning as social activity: artinya, sebagai aktivitas sosial dalam pembelajaran matematika, sebagai wahana interaksi antar siswa, serta sebagai alat komunikasi antara guru dan siswa.
Di sisi lain, Greenes dan Schulman (1996: 168) yang mengatakan bahwa komunikasi matematik merupakan: (I) kekuatan sentral bagi siswa dalam merumuskan konsep dan strategi matematik, (2) modal keberhasilan bagi siswa terhadap pendekatan dan penyelesaian dalam eksplorasi dan investigasi matematik, (3) wadah bagi siswa dalam berkomunikasi dengan temannya untuk memperoleh informasi, membagi pikiran dan penemuan, curah pendapat, menilai dan mempertajam ide untuk meyakinkan orang lain.
Dengan demikian, kemampuan komunikasi matematis sebagai salah satu aktivitas sosial (talking) maupun sebagai alat bantu berpikir (writing) yang direkomendasi para pakar agar terus ditumbuhkembangkan di kalangan siswa.
Komunikasi memainkan peranan sentral dalam Professional Teaching Standards NCTM, karena mengajar adalah mengkomunikasikan. (Jacob, 2003:2). Gagasan dokumen itu merupakan contoh bagaimana kita mengkomunikasikan apa yang kita ketahui tentang belajar siswa dengan berbagai audiens. Ini merupakan hubungan antara tujuan assessmen dengan apa dan bagaimana kita berkomunikasi. Komunikasi merupakan esensi dari mengajar, assessing, dan belajar matematika. Apabila mengajar, kita membutuhkan aktivitas-aktivitas, a.l. misalnya, kita perlu untuk mendengarkan. Kita perlu mendengarkan untuk apa siswa mengerti, untuk apa mereka mengetahui, dan untuk apa mereka berpikir tentang matematika dan belajar matematika.
Komunikasi Matematika: Aspek Penting Yang Perlu Perhatian
Berbagai sumber juga menyebutkan tentang peran penting komunikasi dalam pembelajaran matematika (NCTM, 1996, 2000b; Cai, 1996; Baroody, 1993; Miriam, dkk, 2000; Karen, dkk, 2000; Sandra, 1999, David, 2000, Pugalee, 2001, Knuth, 2001)
Pengungkapan pentingnya komunikasi dalam pembelajaran matematika, dapat ditemukan pula dalam berbagai buku pelajaran matematika di Amerika Serikat. Misalnya, dalam buku Connected Mathematics dituliskan bahwa The Overarching Goal of Connected Mathematics adalah All students should be able
to reason and communicate proficiently in mathematics (Lappan, 2002).
Sedangkan dalam buku Mathematics: Applications and Connections disebutkan salah satu tujuan yang ingin dicapai adalah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada para siswa untuk mengembangkan dan mengintegrasikan keterampilan berkomunikasi melalui modeling, speaking, writing, talking, drawing, serta mempresentasikan apa yang telah dipelajari (Collins, dkk, 1995).
Kurikulum Nasional 2006 yang berbasiskan sesuai tingkat satuan pendidikan baik untuk tingkat SD, SMP maupun SMA juga mengedepankan kemampuan komunikasi matematika sebagai salah satu kemampuan dasar yang perlu dimiliki siswa.
Menurut Baroody (1993), pada pembelajaran matematika dengan pendekatan tradisional, komunikasi (lisan) siswa masih sangat terbatas hanya pada jawaban verbal yang pendek atas berbagai pertanyaan yang diajukan oleh guru. Bahkan menurut Cai (1996) it is so rare for students to provide explanation in mathematics class, so strage to talk about mathematics, and so surprising to
justify answer.
Komunikasi matematika perlu menjadi fokus perhatian dalam pembelajaran matematika, sebab melalui komunikasi, siswa dapat mengorganisasi dan mengkonsolidasi berpikir matematisnya (NCTM, 2000a), dan siswa dapat
mengexplore ide-ide matematika (NCTM, 2000b). Selain itu menurut Atkins (1999) komunikasi matematika secara verbal (mathematical conversation)
merupakan a tool for measuring growth in understanding, allow participants to learn about the mathematical constructions from others, and give participants opportunities to reflect on their own mathematical understandings.
Menurut Baroody (1993) sedikitnya ada 2 alasan penting yang menjadikan komunikasi dalam pembelajaran matematika perlu menjadi fokus perhatian yaitu (1) mathematics as language; matematika tidak hanya sekedar alat bantu berpikir (a tool to aid thinking), alat untuk menemukan pola, atau
menyelesaikan masalah namun matematika juga an invaluable tool for communicating a variety of ideas clearly, precisely, and succintly, dan mathematics learning as social activity; sebagai aktivitas sosial, dalam pembelajaran matematika, interaksi antar siswa, seperti juga komunikasi
guru-siswa merupakan bagian penting untuk nurturing children s mathematical
potential . Bahkan menurut Cai communication is considered as the means by which teachers and students can share the process of learning, understanding, dan doing mathematics.
Peran Guru Dalam Meningkatkan Komunikasi Matematika di Kelas
Menurut Cobb dalam (Sandra, 1999), dengan mengkomunikasikan pengetahuan yang dimiliki siswa, dapat terjadi renegosiasi respon antar siswa,
guru hanya berperan sebagai filter . Cai dan Patricia berpendapat
bahwa guru dapat mempercepat peningkatan komunikasi matematika dan penalaran siswa dengan cara memberikan tugas matematika dalam berbagai variasi. Menurut Susan (1996) komunikasi matematika akan berperan efektif
manakala guru juga mengkondisikan siswa agar mendengarkan secara aktif -listen actively sebaik mereka mempercakapkannya.
Peran guru untuk menciptakan komunitas matematika di kelas juga sangat strategis, dalam arti bahwa porsi peran guru sebagai pengajar harus proporsional dengan peran lain sebagai fasilitator, partisipan atau bahkan sebagai seorang sahabat di kelas. Dalam Prinsip dan Standar Matematika Sekolah (NCTM, 2000a) ditegaskan bahwa untuk mensupport pembelajaran agar efektif, guru harus membangun komunitas di kelas sehingga para siswa merasa bebas untuk mengekspresikan pemikirannya.
Upaya menciptakan komunitas matematika yang kondusif bagi tumbuh kembangnya kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan matematika, dapat dilakukan dengan berbagai jenis aktivitas, antara lain: (i) pemberian tugas yang bersifat open – ended task,yang memungkinkan siswa menunjukkan proses dan menjelaskan alasan pengerjaannya (Cai,1996), (ii) melalui cooperative learning (Nodding dalam Baroody, 1993; Artzt, 1996), (iii) penggunaan metode proyek (Wanda, 1997), (iv) pengajuan masalah oleh siswa (Riedesel, 1990), (v) dengan menerapkan strategi pembelajaran think
-talk-write (Huinker, 1996), dan (vi) dengan menerapkan strategi explain-build-go
Komunikasi Matematika, Pemahaman Matematika dan Pemecahan Masalah
Dikemukakan dalam NCTM (2000a) bahwa pemahaman matematika secara konseptual dapat dibangun melalui pemecahan masalah, penalaran dan argumentasi. Pemaknaan argumentasi dalam hal ini tentu melibatkan kemampuan berkomunikasi baik lisan maupun tertulis. Dengan menggunakan istilah multiple eksplanasi, untuk menyebut berbagai cara berkomunikasi, Whitin (2000b) mengemukakan bahwa dengan mendorong siswa untuk dapat
menjelaskan dengan berbagai cara, seorang guru tidak hanya memvalidasi the invidual voices siswa tetapi membangun a rich fabric dari pemahaman matematika siswa.
Penegasan Within di atas memberikan pengertian bahwa komunikasi baik lisan, tertulis, demonstrasi maupun representasi dapat membawa siswa pada pemahaman yang mendalam tentang matematika. Secara lebih luas dapat pula
disimak satu pertanyaan yang diungkapkan dalam NCTM yakni The ability to read, listen, think creatively, and communicate about problem situations, mathematical representations, and the validation of solution will help students to develop and deepen their understanding of mathematics
Komunikasi matematika tidak hanya dapat dikaitkan dengan pemahaman matematika, namun juga sangat terkait dengan kemampuan pemecahan masalah. Hal ini dapat dicermati antara lain dari pendapat Riedesel (1990) yang mengemukakan bahwa untuk meningkatkan kemampuan dalam pemecahan masalah ada beberapa cara pengungkapan masalah yang dapat dilakukan seperti: masalah dengan jawaban terbuka, masalah dinyatakan dengan menggunakan oral, masalah nonverbal, menggunakan diagram, grafik dan gambar, mengangkat masalah yang tidak menggunakan bilangan, menggunakan analogi, dan menggunakan perumusan masalah siswa.
Variasi dalam pengungkapan masalah, yang implementasinya nampak dalam berbagai tugas yang disiapkan siswa sejalan dengan tujuan aktivitas pemecahan masalah sebagaimana pendapat Annete (1999) yaitu bahwa guru dapat menggunakan aktivitas pemecahan masalah untuk tujuan ganda seperti mengembangkan keterampilan berpikir kritis, keterampilan pengorganisasian data, dan keterampilan komunikasi.
Komunikasi dan Komunitas Matematika Dalam Pembelajaran
Sebagaimana pengalaman penulis mencermati karakteristik setiap peserta didik dilapangan, terlihat bahwa perhatian terhadap komunikasi matematika
kemampuan siswa dalam berkomunikasi. Bagaimana siswa mengkomunikasikan ide-idenya dalam upaya menjawab masalah kontekstual yang diberikan guru, bagaimana siswa berpartisipasi aktif dalam diskusi,
negosiasi serta bagaimana siswa mempertanggung-jawabkan perolehan jawaban mereka atas pertanyaan terbuka maupun tugas-tugas yang diberikan guru, jelas memerlukan kemampuan untuk mengkomunikasikannya.
Komunitas matematika yang dalam tulisan ini dimaknai sebagai suatu komunitas (dalam kelas) yang menggunakan matematika sebagai bahan/isi
percakapan – mathematical discourse communties atau disebut pula sebagai discourse communities in mathematics classroom, menurut Silver dan Smith (1996) merupakan tantangan khusus yang menarik bagi para guru.
Banyak diungkapkan (antara lain oleh Heaton, 1994; Wood, Cobb dan Yackel, 1991 dalam Sherin, 1996) bahwa percakapan siswa tentang matematika yang dipelajari di kelas akan membawa pengaruh pula pada cara mengajar guru dan
memberi kesempatan guru untuk rethink terhadap pemahaman matematika yang mereka miliki. Sejalan dengan hal tersebut, Sherin (2000) mengatakan bahwa untuk meningkatkan kualitas belajar siswa serta untuk membantu guru membuat berbagai perubahan dalam mengajarnya, pengembangan komunitas matematika menjadi sangat penting. Di pihak lain, Baroody (1993) mengemukakan bahwa untuk membangun komunitas matematika di dalam kelas, perlu upaya (i) mengembangkan bahasa komunal – development of communal language, (ii) menerapkan pembelajaran kooperatif, (iii) menggalakkan penjustifikasian matematika –mathematical justifications.
Untuk mengenalkan dan menggunakan matematika sebagai bahasa komunikasi pada siswa di sekolah, perlu dilakukan secara hati-hati dan bertahap (sesuai tingkat intelektual peserta didik). Ada 4 saran yang diberikan Baroody dalam kaitannya dengan hal tersebut, yakni (i) gunakan language-experience approach, yakni pendekatan yang didasarkan pada realitas yang meliputi aktivitas: mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis; dalam aktivitas tersebut siswa dipandu untuk mengekspresikan reaksi, ide, dan perasaan berkenaan dengan situasi yang ada di kelas, (ii) definisi dan notasi formal harus dibangun melalui situasi informal, (iii) kaitkan istilah-istilah matematika dengan ekspresi yang dijumpai sehari-hari, (iv) penting bagi siswa untuk dapat membandingkan dan membedakan bahasa matematika dengan bahasa sehari-hari.
dalam pemecahan masalah yang dihadapi. Sedangkan upaya menggalakkan justifikasi matematika berkaitan dengan perlunya guru secara rutin menanyakan pada siswa untuk menjustifikasi jawaban dan dugaan yang diperoleh. Hal ini akan membawa siswa pada suatu kebiasaan agar dapat mengkomunikasikan setiap hasil pemikirannya.
Upaya untuk membangun komunitas matematika di kelas juga dilakukan oleh Sherin (2000) dengan menawarkan sebuah model yang disebut sebagai strategi
explain-build-go beyond yakni suatu strategi yang didesain untuk membantu
siswa lebih dari hanya sekedar berbicara tentang matematika tapi percakapan yang produktif tentang matematika. Esensi dari strategi tersebut adalah bagaimana siswa mengkomunikasikan perolehan jawaban terhadap problem yang diberikan guru, kemudian diikuti bagaimana siswa membangun pemahaman berdasarkan berbagai masukan dari siswa lain, dan akhirnya bagaimana siswa dapat mengembangkan jawaban untuk permasalahan yang lebih komplek di seputar masalah tersebut. Selain itu, strategi yang diberikan oleh Huinker (1996) yaitu think – talk - write juga menekankan perlunya siswa untuk mengkomunikasikan hasil pemikiran matematikanya.
Kalau dicermati pendapat Sherin dan Huinker tersebut adalah dalam rangkah mengembangkan kemampuan komunikasi merupakan sebuah model sebagai strategi explain-build-go beyond yang perlu ditumbuhkembangkan dalam pembelajaran matematika.
Dalam setiap upaya untuk menjawab permasalahan kontekstual yang diberikan guru, setiap siswa tentu akan memulai dengan memikirkan (to think) cara selesaian dengan strategi-strategi informal mereka sendiri. Strategi informal ini merupakan bahan kajian penting karena itu pengarsipan secara tertulis (to write) harus dilakukan sebelum dipercakapkan/ dijelaskan (to explain/ to talk) di kelas. Untuk membangun (to build) pemahaman lebih lanjut, hasil pemikiran siswa tersebut perlu dikonfrontasikan dengan hasil dari siswa lain melalui diskusi, negosiasi, dan sebagainya. Hasil pertukaran pemikiran ini juga perlu diarsipkan secara tertulis. Hal ini dapat digunakan untuk melihat
perkembangan pemikiran siswa setelah melalui uji pertukaran gagasan .
proses komunikasi yang terjadi akan membantu siswa untuk mulai berfikir
secara matematis, membangun secara benar keterkaitan matematis, dan go beyond memorizing rules that have little or no meaning for them .
Berkomunikasi secara cermat, tepat, sistematis dan efisien yang dilatih
melalui pelajaran matematika, diharapkan dapat menjadi sebuah kebiasaan yang dimiliki siswa dalam kehidupan keseharian mereka. Hal inilah sebenarnya salah satu sumbangan penting komunikasi matematika. Karena itu, berdasarkan uraian di atas, diharapkan para pendidik untuk menumbuhkembangkan kemampuan komunikasi matematika siswa, bukan hanya terjadi di dalam kelas, namun memungkinkan dapat terjadi di luar kelas.
Penutup
Uraian di atas, penulis memberikan gambaran bahwa komunikasi matematis merupakan salah satu jantung dalam pembelajaran, sehingga perlu menumbuhkembangkan dalam aktivitas pembelajaran matematika. Hal ini di perkuat oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (2006) menyebutkan kemampuan dasar SD sampai dengan SMA, bahwa komunikasi matematis merupakan salah satu kemampuan dasar yang perlu diupayakan peningkatannya sebagaimana kemampuan dasar lainnya, seperti kemampuan bernalar, kemampuan pemahaman matematis, kemampuan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi matematis dan koneksi, serta kemampuan representasi matematis.
Dengan demikian, makna membangun kemampuan komunikasi bagi guru adalah sebagai teaching how to learn mathematics , sedangkan bagi siswa bermakna sebagai learning how to learn mathematics (Jacob, 2003 : 4).
Daftar Rujukan
Artzt, A.F. (1996).«Developing Problem Solving Behaviors by Assessing Communication In Cooperative Learning". In P.C Elliott, and M.J. Kenney (Eds.). 1996 Yearbook.
Communication in lvlathematics, K-12 and Beyond. USA: NCTM.
Baroody. A.J. 1993. Problem Solving, Reasoning, and Communicating. New York: Macmillan Publishing.
Cai, Jinfa. 1996. Assesing Students Mathematical Communication. Official Journal of the Science and Mathematics Volume 96 No 5 Mei 1996. Hal: 238-246.
Cai Jinfa & Patricia. 2000. Fostering Mathematical Thinking through Multiple Solutions. Mathematics Teaching in the Middle School Vol 5 No 8 April
Greenes, C. & Schulman, L. (1996). "Communication Processes in Mathematical Explorations and Investigations". In P. C. Elliott and M. J. Kenney (Eds.). 1996 Yearbook. Communication in Mathematics. K-12 and Be.vond. USA: NCTM.
Huggins, B., & Maiste, T.(1999). Communication in Mathematics. Master s Action
Research Project, St. Xavier University & IRI/Skylight.
Jacob, C. (2003). Matematika Sebagai komunikasi. Makalah pada Seminar Tingkat Nasional. FPMIPA UPI Bandung. Tidak dipublikasikan
Kramarski, B. (2000). "The effects of different instructional methods on the ability to communicate mathematical reasoning". Proceedings of the 24th conference of the international group for the psychology of mathematics education. Japan.
Lauren & Hunting. 1999. Relating fraction and Decimals: Listening to Students Talk.
Mathematics Teaching in The Middle School. Vol 4 No 5 Februari 1999. Hal: 318-321
Marson, J. (2000). Researching Your Own Practice,. The Discipline of Noticing.: Noticing and Professional Development: Hal:139-148. London and New York
National Council of Teachers of Mathematics. 1989. Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Reston, Virginia: NCTM.
National Council of Teachers of Mathematics. 2000a. Principles and Standards for School Mathematics. NCTM: Reston VA.
National Council of Teachers of Mathematics. 2000b. learning Mathematics for A New Century. 2000 Yearbook NCTM: Reston VA.
National Science Foundation (NSF). 1998. Mathematics in Context: Teachers Resource and Implementation Guide. Chicago: Encyclopedia Britanica Ed.
NCTM (2000). Principles and Standards for School Mathematics, Reston, Virginia. Patricia. C. Alcaro, dkk. 2000. Fractions Attack! Children Thinking and Talking
Mathematically. Teaching Children Mathematics Vol 6 No 9 Mei 2000. Hal: 562-567
Pugalee, K David. 2001. Using Communication to Develop Students Mathematical
Literacy. Mathematics Teaching in The Middle School Vol 6 No 5 Januari. Hal: 296-299
Sandra L Atkins. 1999. Listening to Students. Teaching Children Mathematics. Vol 5 No 5 Januari. Hal: 289-295
Silver, E.A. & Smith, M.S. (1996). "Building Discourse Communities in Mathematics Classrooms: A Worthwhile but Challenging Journey". In P.c. Elliott, dan M.J. Kenney. (Eds.). 1996 Yearbook. Communication in Mathematics. K-12 and Beyond. Reston, V A: NCTM
MENUMBUHKAN DAYA NALAR
( POWER OF REASON )
SISWA
MELALUI PEMBELAJARAN ANALOGI MATEMATIKA
Oleh :
Rahayu Kariadinata
Pengajar pada Program Studi Pendidikan Matematika
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) - Bandung E-mail : rahayu61@yahoo.com,
Abstrak
Pembelajaran analogi matematika merupakan salah satu alternatif pembelajaran yang dapat diterapkan dalam rangka menumbuhkan daya nalar (power of reason) siswa. Melalui analogi matematika siswa dituntut untuk dapat mencari keserupaan atau keterkaitan sifat dari dua konsep yang sama atau berbeda melalui perbandingan, selanjutnya menarik suatu kesimpulan dari keserupaan tersebut. Dengan demikian analogi dapat digunakan sebagai penjelasan atau sebagai dasar penalaran. Sebelum memulai pembelajaran analogi matematika, sebaiknya guru memeriksa kemampuan pemahaman konsep matematika siswa, karena tingkat pemahaman siswa akan berpengaruh kepada daya nalarnya. Tugas (soal-soal) analogi matematika termasuk soal non rutin, oleh karenanya diperlukan kesiapan guru dalam membuatnya. Pada setiap soal analogi matematika termuat konsep yang sama atau berbeda, sehingga dibutuhkan materi yang cukup banyak. Langkah-langkah membuat soal analogi matematika, adalah : a) susunlah semua konsep dalam matematika yang telah dipelajari siswa ; b) susun pula sifat-sifat / hubungan yang terdapat dalam setiap konsep, dan c) pilih materi-materi yang mempunyai sifat / hubungan yang dapat dianalogikan. Dalam tulisan ini diberikan dua bentuk soal analogi matematika yaitu analogi matematika model 1 dan analogi matematika model 2. Pembelajaran analogi matematika sebaiknya dilaksanakan setelah sejumlah konsep dipelajari. Ada baiknya diberikan di kelas-kelas akhir karena banyak konsep yang telah dipelajari oleh siswa. Daya nalar (power of reason) siswa menjadi bagian penting dalam proses pembelajaran untuk mengantarkan mereka menuju masa depannya sebagai warga negara yang cerdas, yang akan dipimpin oleh daya nalar (otak) dan bukan dengan kekuatan (otot) saja. Sebagaimana dikemukakan oleh mantan Presiden AS Thomas Jefferson dalam Copi,1 :vii yang menyatakan : )n a republican nation, whose citizens are to be led by reason and persuasion and not by force, the art of
reasoning becomes of first importance
Kata kunci : Daya nalar, analogi matematika
A. Pendahuluan
kemampuan berpikir. Kemampuan manusia beradaptasi dilandasi oleh kemampuan berpikirnya yang melahirkan teknologi dan bentuk kehidupan sosial budayanya (Rustaman, 1990:1).
Dengan demikian pengembangan SDM saat ini harus di titik beratkan pada kemampuan berpikir, yang melibatkan pemikiran krirtis, sistematis, logis, dan kreatif. Dalam suatu proses kegiatan berpikir memerlukan pemahaman terhadap masalah yang berhubungan dengan materi yang sedang dipikirkan, kemampuan dalam bernalar (reason), kemampuan intelektual , imajinasi, dan keluwesan (fleksibilitas) dari pikiran yang merentang kedalam hasil pemikiran (Gosev dan Safuanov, dalam Dahlan , 2004: 2)
Penalaran (reasoning) merupakan salah satu aspek dari kemampuan berpikir matematik tingkat tinggi dalam kurikulum terbaru, yang dikategorikan sebagai kompetensi dasar yang harus dikuasai para siswa. Dalam kegiatan pembelajaran, aktivitas matematika merupakan sarana bagi siswa untuk dapat memecahkan suatu permasalahan melalui logika nalar mereka. Melalui aktivitas bernalar siswa dilatih untuk menarik suatu kesimpulan atau membuat suatu pernyataan baru berdasarkan pada beberapa fakta. Sehingga pada saat belajar matematika, para siswa akan selalu berhadapan dengan proses penalaran.
Daya nalar dan logika merupakan salah satu kemampuan penting dan keterampilan yang perlu dimiliki dan merupakan fitrah dari manusia. dengan logika ini, manusia berpikir dan membedakan mana yang benar dan salah. Dengan daya nalar manusia mampu berpikir untuk terus mempertahankan kelangsungan hidupnya dan keturunannya. Dengan daya nalar ini manusia dapat berkreasi dan menciptakan teknologi yang dapat mempermudah kehidupannya. Dengan daya nalar ini manusia terus berkembang dan meningkatkan kemampuannya dalam beradaptasi dengan lingkungan yang dinamis dan berubah secara kontinu.
Berdasarkan uraian di atas, muncul suatu pertanyaan : Bagaimana
menumbuhkan daya nalar (power of reason) siswa ? Berbagai upaya telah dilakukan, diantaranya dengan digelarnya berbagai kompetisi matematika yang bertujuan untuk menguji kemampuan dan daya nalar siswa. Daya nalar merupakan modal utama dalam mempersiapkan mereka menghadapi persaingan yang sangat ketat di masa datang. Semakin tajam daya nalar seseorang maka ia akan semakin mampu menghadapi tantangan hidup. Daya nalar siswa juga terkait dengan tujuan formal, yaitu penataan nalar siswa untuk diterapkan dalam kehidupannya (Depdiknas, 2001: 8)
sesuatu secara kritis dan objektif, serta dapat mengemukakan pendapat maupun ideanya secara runtut dan logis (Shadiq,2007). Daya nalar (power of reason) siswa menjadi bagian penting dalam proses pembelajaran untuk mengantarkan mereka menuju masa depannya sebagai warga negara yang cerdas, yang akan dipimpin oleh daya nalar (otak) dan bukan dengan kekuatan (otot) saja. Dengan demikian tak dapat dipungkiri lagi bahwa pentingnya penalaran bagi setiap warga negara, baik bagi pemimpin, ilmuwan, birokrat, sampai ke rakyat biasa. Sebagaimana dikemukakan oleh mantan Presiden AS Thomam s Jefferson (dalam Copi,1978:vii) yang menyatakan : )n a republican nation, whose citizens are to be led by reason and persuasion and not by force, the
art of reasoning becomes of first importance
Pelajaran matematika diyakini mampu meningkatkan daya nalar. Dengan mempelajari matematika siswa akan terbiasa berpikir secara sistematis dan terstruktur karena siswa akan selalu dihadapkan pada pemecahan masalah, hubungan sebab akibat, pertanyaan dan jawaban yang logis, ilmiah, dan masuk akal. Pemecahan masalah dalam matematika biasa dilakukan secara terpola dan sistematis dengan mengikuti satu pola tertentu. Pentingnya daya nalar bagi siswa tertuang pula dalam Permendiknas 2006 yang menyebutkan bahwa siswa belajar matematika agar memiliki kemampuan menggunakan penalaran pada pola dan sifat. Namun kenyataannya banyak siswa yang kurang menggunakan penalaran dalam mempelajari pola dan sifat yang terdapat pada materi matematika,
Salah satu upaya menumbuhkan daya nalar (power of reason) siswa, dengan memberikan suatu bentuk pembelajaran yang lebih menekankan pada analogi matematika. Analogi merupakan salah satu bagian dari penalaran induktif. Melalui analogi, siswa dituntut untuk dapat mencari keserupaan atau keterkaitan sifat dari suatu konsep tertentu ke konsep lain melalui perbandingan.
B. Kajian Pustaka
1. Daya Nalar (Power of Reason)
Nalar atau penalaran (reasoning) adalah suatu proses berpikir pencapaian kesimpulan logis berdasarkan fakta dan sumber yang relevan ( Shurter dan Pierce dalam Utari,1987:31). Penalaran dapat juga diartikan sebagai proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi-proposisi yang sejenis.
Selanjutnya, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut menalar. Dalam penalaran, proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut premis (antesedens) dan hasil kesimpulannya disebut dengan konklusi (consequence). Sebagaimana dikemukakan oleh Copi (1978:5), Reasoning is a special kind of thinking in
which inference take place, in which conclusions are drawn from premises
Daya nalar (power of reason) merupakan kekuatan memahami dan menarik suatu kesimpulan. Daya nalar juga merupakan pembentuk (cara berpikir) bukan sebagai bentukan (hasil pemikiran) , sehingga dominasinya terletak pada kekuatan pengetahuan , teori dan sejumlah pengetahuan lain
2. Pengertian Analogi
Analogi dalam bahasa )ndonesia ialah kias dalam bahasa Arab, qasa = mengukur, membandingkan). Berbicara tentang analogi menurut Soekadijo (1997:139) adalah berbicara tentang dua hal yang berlainan , yang satu bukan yang lain, dan dua hal yang berlainan itu dibandingkan. Dalam mengadakan perbandingan kita mencari persamaan dan perbedaan antara keduanya. Jika dalam perbandingan itu orang hanya memperhatikan persamaannya saja tanpa melihat perbedaannya maka timbullah analogi persamaan (keserupaan) diantara dua hal yang berbeda, dan selanjutnya akan ditarik suatu kesimpulan atas dasar keserupaan tadi. Dengan demikian analogi dapat dimanfaatkan sebagai penjelasan atau sebagai dasar penalaran.
Dalam istilah peribahasa, kita sering menemukan kalimat rambutnya indah
bagaikan bunga mayang . Disini kita membandingkan dua hal yang berlainan
contoh ini dinamakan analogi non argumentatif,yaitu analogi yang tidak memerlukan alasan.
Analogi sering digunakan dalam tes potensi akademik, psikotes dan sejenisnya. Berikut contoh soal analogi
Hubungan antara Nani Hubungan antara Budi dengan Islam dengan ...
A. Pria B. Jawa C. Mahasiswa D. Hindu
Alasan : ...
Disini kita membandingkan dua pernyataan (sebelah kiri dan kanan), kemudian mencari keserupaannya. Melalui suatu proses berpikir/pengamatan pada pernyataan sebelah kiri, didapat bahwa hubungan antara Nani dengan Islam merupakan hubungan antara manusia dengan keyakinannya (agama), hal ini analog (serupa) dengan hubungan antara Budi dengan Hindu (jawaban D). Sebagai alasan memilih jawaban D, karena analogi yang terjadi adalah analogi hubungan keyakinan (agama). Contoh ini dinamakan analogi argumentatif, yaitu analogi yang memerlukan alasan
Sedangkan dalam matematika, kita dapat membuat soal-soal analogi matematika, yang memuat konsep-konsep matematika yang memiliki keterkaitan sifat. Berikut contoh soal analogi matematika (dimodifikasi dari tes dalam Utari,1987)
Hubungan antara bilangan Hubungan antara p -2 dengan barisan dengan barisan ... 8, 6, 4, 2 , ... A. p+1, p+2, p+3, p+4, ... B. p, p2, p3, p4, ... C. p, 2p, 3p, 4p, ... D. p-1, p-2, p-3, p-4, ...
Alasan : ...
Melalui suatu proses berpikir pada pernyataan sebelah kiri, diperoleh bahwa hubungan antara -2 dengan barisan 8,6,4,2,...adalah hubungan sifat beda pada barisan aritmatika, analog (serupa dengan) hubungan antara p dengan barisan p,2p,3p,4p,...(jawaban C), alasannya karena analogi yang terjadi adalah analogi sifat beda pada barisan aritmatika.
Analogi matematika, dapat membantu siswa untuk memahami suatu materi lain dengan mencari keserupaan sifat diantara materi yang dibandingkan.
Analog dengan
Untuk dapat menyelesaikan soal analogi matematika diperlukan pemahaman konsep yang baik.
3. Pembelajaran Analogi Matematika
Salah satu alternatif pembelajaran yang dapat diterapkan dalam upaya mengembangkan daya nalar (power of reason) siswa adalah pembelajaran analogi matematika. Pembelajaran ini lebih menekankan pada teknik analogi dalam matematika. Dengan bimbingan guru siswa dilatih daya nalarnya melalui proses berpikir untuk menemukan hubungan sifat suatu konsep dan mencari analoginya berdasarkan sifat tersebut.
Sebelum memulai pembelajaran analogi, sebaiknya guru memeriksa kemampuan pemahaman konsep matematika siswa, dan dilaksanakan setelah sejumlah konsep dipelajari. Ada baiknya diberikan di kelas-kelas akhir karena banyak konsep yang telah dipelajari oleh siswa. Berikut gambaran pembelajaran analogi matematika
Pertama-tama guru memberikan contoh soal analogi matematika, selanjutnya melalui dialog, siswa dibimbing untuk mengembangkan daya nalarnya.
Analogi Matematika Model 1
Hubungan antara bilangan Hubungan antara p 1/3 dengan barisan dengan barisan... 243, 81,27, 9,... A. p+1, p+3, p+9, p+27, ...
B. p, p2, p3, p4, ... C. 3p, 9p, 27p, 81p, ... D. p-3, p-9, p-27, p-81, ....
Alasan : ...
Guru : Coba kalian perhatikan pernyataan sebelah kiri, dinamakan apakah barisan tersebut ?
Siswa : Barisan geometri
Guru : Baik, nah sekarang coba kalian cari rasionya !
Siswa : Saya bu, rasionya adalah 81/243 = 27/81 = 9/27 = ... = 1/3 Guru : Baik, sekarang bagaimana kaitan (hubungan) antara 1/3 dengan
barisan 243, 81, 27, 9, ...
Siswa : Kaitan (hubungan) antara 1/3 dengan barisan 243, 81, 27, 9, ... adalah hubungan rasio
Guru : Baik, jadi hubungan yang terjadi pada pernyataan sebelah kiri adalah Analog
hubungan rasio, dengan demikian analog dengan hubungan antara p dengan barisan p, p2, p3, p4, ... (jawaban B) yang juga memiliki hubungan rasio.
Analogi Matematika Model 2
Selain bentuk soal analogi matematika model 1, kita dapat pula membuat soal analogi yang berbeda yang lebih menuntut daya nalar yang tinggi, seperti bentuk analogi matematika berikut ini.
Hubungan antara bilangan 3 dengan barisan...
Hubungan antara 1/p dengan barisan...
Pilihan jawaban
2, 6, 18, 54, ... .... 1/p, 2/p, 3/p, 4/p,... A 1, 3, 9, 27, ... p, p+3, p+6, p+9,... B 4, 12, 36, 108, ... p4, p3, p2, p, ... C 7, 10, 13,16,... p, p-3, p-6, p-9, .... D
Pembelajaran dapat dilakukan melalui dialog sebagai berikut :
Guru : Perhatikan barisan-barisan bilangan pada pernyataan sebelah kiri, sebutkan masing-masing jenis barisan tersebut !
Siswa : Pada pernyataan sebelah kiri A, B, dan C merupakan barisan geometri, dan D barisan aritmatika
Guru : Baik, selanjutnya carilah jenis barisan yang sama antara pernyataan sebelah kiri dan pernyataan kanan
Siswa : Saya bu !, C merupakan barisan geometri pada pernyataan sebelah kiri dan kanan serta D merupakan barisan aritmatika pada pernyataan sebelah kiri dan kanan
Guru : Baik, nah sekarang tentukan analogi yang terjadi antara pernyataan sebelah kiri dan kanan dengan mencari hubungan antara bilangan 3 dan 1/p dengan barisan di C dan D
Siswa : C. Bilangan 3 sebagai rasio pada barisan 4, 12, 36, 108, ... dan 1/p juga sebagai rasio pada barisan p4, p3, p2, p, ...
D. Bilangan 3 sebagai beda pada barisan 7, 10, 13, 16, ... dan 1/p bukan merupakan beda pada barisan p, p-3, p-6, p-9,.... sehingga pilihan jawaban yang benar adalah C, karena analogi yang terjadi adalah analogi sifat rasio pada barisan geometri
Aspek kognitif yang diukur dalam pembelajaran analogi matematika adalah kemampuan mencari sifat-sifat hubungan yang terjadi pada suatu konsep dan selanjutnya mencari keserupaan (analogi) diantara dua konsep yang sama atau berbeda.
Duit et.al. (1989) mengemukakan bahwa melalui pembelajaran analogi siswa memperoleh beberapa keuntungan, diantaranya, valuable (bernilai) dalam mempelajari konsep, siswa termotivasi karena menarik perhatian mereka, dan mendorong guru untuk mengetahui pengetahuan prasyarat siswa sehingga miskonsepsi pada siswa dapat terungkap.
4. Cara /Teknik Membuat Soal Analogi Matematika
Dalam membuat soal-soal analogi matematika diperlukan kesiapan guru, karena berbeda dengan membuat soal matematika yang rutin. Pada setiap soal analogi matematika termuat konsep yang sama atau berbeda, sehingga dibutuhkan materi yang cukup banyak. Berikut langkah-langkah dalam membuat soal-soal analogi matematika
a. Susunlah semua konsep dalam matematika yang telah dipelajari siswa b. Susun pula sifat-sifat/hubungan yang terdapat dalam setiap konsep
c. Pilih materi-materi yang mempunyai sifat/hubungan yang dapat dianalogikan.
C. Penutup
Penerapan pembelajaran analogi matematika dalam rangka menumbuhkan daya nalar (power of reason)) siswa, memerlukan kesiapan baik dari guru maupun siswa. Bagi guru, sebelumnya perlu mengetahui tingkat kemampuan pemahaman siswa, karena tanpa pemahaman konsep yang baik akan sulit bagi siswa menyelesaikan soal analogi matematika.
Daftar Pustaka
Alamsyah (2000). Suatu Pembelajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran Analogi Matematika. Tesis UPI Bandung : Tidak dipublikasikan
Copi, I.M. (1978). Introduction to Logic. New York : Macmillan
Dahlan, J.A. (2004). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Pemahaman Matematik Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Melalui Pendekatan Pembelajaran Open-Ended. Disertasi UPI Bandung : Tidak dipublikasikan.
Depdiknas (2001). Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Matematika, Sekolah Menengah Umum. Jakarta : Depdiknas
Duit. et.al. (1989). Teacher Use of Analogies in Their Reguler Teaching Routnes . Research in Science Education 19. 291-299
Kariadinata, R.(2001). Peningkatan Pemahaman dan Kemampuan Analogi Matematika Siswa SMU melalui Pembelajaran Kooperatif. Tesis UPI Bandung : Tidak dipublikasikan
Rustaman, N. (1990). Kemampuan Klasifikasi Logis Anak (Studi Tentang Kemampuan Abstraksi dan Inferensi Anak Usia Sekolah Dasar pada Kelompok Bahasa Sunda). Disertasi PPS IKIP Bandung : Tidak dipublikasikan
Shadiq, F. (2007) Penalaran (Reasoning) : Perlu dipelajari Para Siswa di Sekolah. Mengutamakan Daya Nalar dalam Pendidikan. Yogyakarta : Bagi Prabu
Soekadijo, R.G. (1997). Logika Dasar. Jakarta : Gramedia
Utari,S. (1987). Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa SMA Dikaitkan dengan Kemampuan Penalaran Logic Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar Mengajar. Disertasi FPS IKIP Bandung : Tidak
HUBUNGAN ANTARA
SELF-CONCEPT
TERHADAP MATEMATIKA DENGAN
KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIK SISWA
Oleh :
Risqi Rahman
Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka, Indonesia
risqirahman@yahoo.co.id
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menelaah dan mendeskripsikan hubungan berpikir kreatif dengan self-concept Desain penelitian ini adalah survey. Untuk mendapatkan data hasil penelitian digunakan instrumen berupa tes kemampuan berpikir kreatif dan skala self-concept siswa. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa SMP Negeri 13 Jakarta dengan sampel penelitian siswa kelas VII sebanyak dua kelas yang dipilih secara cluster random sampling. Analisis data dilakukan secara kuantitatif. Analisis kuantitatif dilakukan terhadap data kemampuan berpikir kreatif dan data self-concept. Instrumen yang digunakan sebanyak 12 soal tes kemampuan berpikir kreatif dan 31 pernyataan mengenai self-concept. Dalam perhitungan ujicoba intrumen menggunakan program Anates dan perhitungan statistik menggunakan SPSS 18. Hasil penelitian menunjukkan bahwa self-concept mempengaruhi kemampuan berpikir kreatif siswa.
Kata kunci: Kemampuan Berpikir kreatif dan Self-concept
A. Latar Belakang
Menurut Harris (Mina, 2005) banyak pemikiran yang dilakukan dalam pendidikan matematika formal hanya menekankan pada keterampilan analisis mengajarkan bagaimana siswa memaham iklaim-klaim, mengikuti atau menciptakan suatu argument logis, menggambarkan jawaban, mengeliminasi jalur yang tak benar dan focus pada jalur yang benar. Sedangkan jenis berpikir lain yaitu berpikir kreatif yang fokus pada penggalian ide-ide, memunculkan kemungkinan-kemungkinan, mencari banyak jawaban benar dari pada satu jawaban kurang diperhatikan.
anak-anak Indonesia adalah lingkungan yang kurang menunjang anak-anak-anak-anak tersebut mengekspresikan kreativitasnya, khususnya lingkungan keluarga dan sekolah.
Rendahnya kemampuan berpikir kreatif juga dapat berimplikasi pada rendahnya prestasi siswa. Menurut Wahyudin (2000: 223) di antara penyebab rendahnya pencapaian siswa dalam pelajaran matematika adalah proses pembelajaran yang belum optimal. Dalam proses pembelajaran umumnya guru sibuk sendiri menjelaskan apa-apa yang telah dipersiapkannya. Demikian juga siswa sibuk sendiri menjadi penerima informasi yang baik. Akibatnya siswa hanya mencontoh apa yang dikerjakan guru, tanpa makna dan pengertian sehingga dalam menyelesaikan soal siswa beranggapan cukup dikerjakan seperti apa yang dicontohkan. Hal tersebut menyebabkan siswa kurang memiliki kemampuan menyelesaikan masalah dengan alternatif lain dapat disebabkan karena siswa kurang memiliki kemampuan fleksibilitas yang merupakan komponen utama kemampuan berpikir kreatif.Fakta menunjukkan kurangnya perhatian terhadap kemampuan berpikir kreatif dalam matematika beserta implikasinya, dengan demikian adalah perlu untuk memberikan perhatian lebih pada kemampuan ini dalam pembelajaran matematika saat ini.
Pentingnya pengembangan kreativitas bagi siswa sekolah telah tertulis dalam tujuan pendidikan nasional Indonesia dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor. 22 tahun 2006 tentang standar isi khususnya untuk pembelajaran matematika. Akan tetapi pada praktek di lapangan pengembangan kreativitas masih terabaikan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Munandar (1996) bahwa pada beberapa kasus sekolah cenderung menghambat kreativitas, antara lain dengan mengembangkan kekakuan imajinasi. Kasus tersebut sampai saat ini masih terjadi dalam sistem belajar di Indonesia dikarenakan kurangnya perhatian terhadap masalah kreativitas dan penggaliannya khususnya dalam matematika.
Selain kemampuan berpikir kreatif, terdapat aspek psikologi yang turut memberikan kontribusi terhadap keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan tugas dengan baik. Aspek psikologis tersebut adalah self-concept. Ritandiyono dan Retnaningsih (Leonard, 2008) menyatakan Self-concept bukan merupakan faktor yang dibawa sejak lahir, melainkan faktor yang dipelajari dan terbentuk melalui pengalaman individu dalamberhubungan dengan orang lain. Oleh karena pandangan individu tentang dirinya dipengaruhi oleh bagaimana individu mengartikan pandangan orang lain tentang dirinya.Sudah menjadi suatu kondisi yang alami bahwa setiap manusia memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Hal ini dapat terjadi karena manusia memiliki kemampuan
merefleksi dirinya sendiri yang disebut self-concept R. B. Burns, . Oleh
B. Tujuan penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui terdapat atau tidaknya hubungan antara self-concept siswa dan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa?
C. Definisi operasional
Kemampuan berpikir kreatif matematik adalah kemampuan dalam matematika yang meliputi empat kemampuan yaitu: kelancaran, keluwesan, keaslian dan elaborasi. Kelancaran adalah kemampuan menjawab masalah matematika secara tepat. Keluwesan adalah kemampuan menjawab masalah matematika, melalui cara yang tidak baku. Keaslian adalah kemampuan menjawab masalah matematika dengan menggunakan bahasa, cara, atau idenya sendiri. Elaborasi adalah kemampuan memperluas jawaban masalah, memunculkan masalah baru atau gagasan baru
Dalam penelitian ini self-concept memiliki dimensi yang hendak diukur, yaitu: Pengetahuan, Harapan, dan Penilaian. Dimensi pengetahuan mengenai apa yang siswa ketahui tentang matematika, indikatornya yaitu pandangan siswa terhadap matematika dan pandangan siswa terhadap kemampuan matematika yang dimilikinya. Dimensi harapan mengenai pandangan siswa tentang pembelajaran matematika yang ideal, indikatornya yaitu manfaat dari matematika dan pandangan siswa terhadap pembelajaran matematika. Dimensi penilaian mengenai seberapa besar siswa menyukai matematika, indikatornya yaitu ketertarikan siswa terhadap matematika dan ketertarikan siswa terhadap soal-soal berpikir kreatif.
D. Hipotesis penelitian
Hipotesis penelitian untuk diajukan dalam penelitian ini dengan rumusan hipotesis yaitu: Self-concept siswa tentang matematika mempengaruhi kemampuan berpikir kreatif siswa.
E. Kajian Pustaka
1. Self-concept
a. Pengertian Self-Concept
Menurut Hurlock (1978:6), self-concept merupakan gambaran seseorang mengenai dirinya sendiri yang meliputi fisik, psikologis, sosial, emosional, aspirasi dan prestasi yang telah dicapainya. Segi fisik meliputi penampilan fisik, daya tarik dan kelayakan.Sedang segi psikologis meliputi pikiran, perasaan, penyesuaian keberanian, kejujuran, kemandirian, kepercayaan serta aspirasi.
Welsh dan Blosch (1978:104), seperti yang dikutip oleh Hall, berpendapat bahwa: The self concept is defined as the set of perceptions and feelings that and individual holds about himself. It also includes self esteem with all of its parts
considered as a whole . Titik berat pada definisi ini adalah pada serangkaian
persepsi-persepsi dan perasaan-perasaan tentang dirinya. Persepsi-persepsi ini mencakup pengetahuan, pengertian, interpretasi dan penilaian. Namun, masih ditegaskan lagi dalam evaluasi diri terhadap bagian-bagian, tingkatan yang dipertimbangkan sebagai suatu keseluruhan.
Pada dasarnya, manusia mempunyai banyak self, yaitu real self , ideal self dan social self Hurlock, 1978:8) . Real self adalah sesuatu yang diyakini seseorang sebagai dirinya. Social self merupakan apa yang dianggap orang ada pada dirinya, sedangkan ideal self adalah harapan seseorang terhadap dirinya. Jadi, self-concept sebagai inti kepribadian merupakan aspek yang paling penting terhadap mudah tidaknya individu mengembangkan kepribadian.Dari kedua pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa self-concept merupakan perasaan seseorang mengenai diri sendiri.Self-concept ini menjadi fokus pembentukan kepribadian dan sekaligus menjadi inti kepribadian yang selanjutnya akan menentukan pengembangan kepribadiannya.
Pendapat ahli lain yaitu Shavelson, seperti yang dikutip Cronbach, mengemukakan bahwa pengertian self-concept bukan hanya persepsi individu tentang dirinya, tetapi juga persepsi individu tentang persepsi orang lain mengenai individu tersebut. Menurutnya, bahwa terbentuknya self-concept itu melalui pengalaman, interpretasi terhadap lingkungan, dan diperkuat oleh penilaian orang lain terutama orang yang berarti bagi diri individu tersebut bahwa self-concept itu bersegi banyak (multi facet) (Lee J. Cronbach. 1964:45).
Batasan yang diberikan oleh Carl R. Rogers pada buku Burns (1979:39) antara lain dinyatakan sebagai berikut :
Self-concept may be thought of as an organized configuration of perceptions of the self . It is composed of such elements as the
perceptions of one s characteristics and abilities; the percepts and
concepts of self in relation to others and to the environment; the value qualities which are perceived as associated with experiences and objects and goals and ideals which are perceived as having positive or negative valence .
Burns berpendapat, self-concept merupakan suatu bentuk atau susunan yang teratur tentang persepsi-persepsi diri.Self-concept atau self-concept mengandung unsur-unsur seperti persepsi seorang individu mengenai karakteristik-karakteristik serta kemampuannya; persepsi dan pengertian individu tentang dirinya dalam kaitannya dengan orang lain dan lingkungannya; persepsi individu tentang kualitas nilai yang berkaitan dengan pengalaman-pengalaman dirinya dan obyek yang dihadapi; dan tujuan-tujuan serta cita-cita yang dipersepsi sebagai sesuatu yang memiliki nilai positif atau negatif.
Self-concept itu meliputi suatu kognisi seseorang mengenai tanggapan penilaian yang dilakukannya tentang persepsi aspek-aspek dirinya, suatu pemahaman tentang gambaran orang lain mengenai dirinya, dan kesadaran penilaian dirinya yaitu gagasannya tentang bagaimana seharusnya dirinya dan bagaimana cara seharusnya yang dilakukannya.
b. Dimensi Self-concept
Konsep diri adalah pandangan individu tentang dirinya sendiri. Adapun dimensi-dimensi konsep diri ialah:
i. Pengetahuan
Dimensi pertama dari konsep diri adalah apa yang kita ketahui tentang diri sendiri. Dalam benak kita ada satu daftar julukan yang menggambarkan diri kita yaitu usia, jenis kelamin, kebangsaan, suku, pekerjaan, dan lain
ii. Harapan
Pada saat individu mempunyai pandangan tentang siapa dirinya, individu juga mempunyai seperangkat pandangan yang lain yaitutentang kemungkinan individu akan menjadi apa di masa yang akan datang dan pengharapan ini merupakan gambaran diri yang ideal dari individu tersebut. iii.Penilaian
Dalam hal penilaian terhadap diri sendiri, individu berkedudukansebagai penilai tentang dirinya dalam hal pencapaian pengharapan,pertentangan dalam dirinya, standar kehidupan yang sesuai dengandirinya yang pada akhirnya menentukan dalam pencapaian hargadirinya yang pada dasarnya berarti seberapa besar individu dalammenyukai dirinya sendiri, (James F. Calhoun dan Joan Acocella,1995).
2. Kemampuan Berpikir kreatif Matematik
Secara singkat berpikir kreatif dapat dikatakan sebagai pola berpikir yang didasarkan pada suatu cara yang mendorong kita untuk menghasilkan produk yang kreatif. Masih banyak definisi yang berkaitan dengan kreativitas, namun pada intinya ada persamaan antara definisi-definisi tersebut, yaitu kemampuan berpikir kreatif merupakan kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata yang relatif berbeda dengan yang telah ada sebelumnya. Sesuatu yang baru disini tidak harus berupa hasil/ciptaan yang benarbenar baru walaupun hasil akhirnya mungkin akan tampak sebagai sesuatu yang baru, tetapi dapat berupa hasil penggabungan dua atau lebih konsep-konsep yang sudah ada.
Berbagai definisi terkandung dalam pengertian yang berakaitan dengan istilah kreativitas atau cara berpikir kreatif. Istilah kreativitas terkadang tidak dibedakan dengan istilah berpikir kreatif. Menurut Munandar (2004:37) menyatakan bahwa berpikir kreatif disebut juga berpikir divergen atau kebalikan dari berpikir konvergen. Berpikir divergen yaitu berpikir untuk memberikan macam-macam kemungkinan jawaban benar ataupun cara terhadap suatu masalah berdasarkan informasi yang diberikan dengan penekanan pada jumlah dan kesesuaian. Sedangkan, berpikir konvergen yaitu berpikir untuk memberikan satu jawaban terhadap suatu masalah berdasarkan informasi yang diberikan.
diam saja menunggu. Evans (1991:98) mengemukakan bahwa berpikir kreatif terdeteksi dalam empat unsur yaitu: Kepakaan (Sensitivity), Kelancaran (Fluency), Keluwesan (Flexibility), dan Keaslian (Originality).
Berkaitan dengan kepekaan, kelancaran, keluwesan, dan keaslian dalam proses berpikir yang melahirkan gagasan (kreatif) dipandang perlu adanya suatu tindakan lanjut untuk membenahi serta menata dengan baik, teratur, dan rinci apa yang telah dihasikan. Hal ini perlu dilaksanakan agar siswa tidak kehilangan kesempatan dalam suasana belajar, terutama sebelum siswa sempat lupa akan ide-ide yang baik. Penataan yang teratur dan rinci ini membuka kesempatan padanya untuk sewaktu-waktu dapat mengulangi atau membaca serta menkaji kembali apa yang siswa pelajaran dan hasilkan. Guilford menemukan sifat-sifat yang menjadi ciri kemampuan berpikir kreatif, yaitu kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility), keaslian (originality), penguraian (elaboration) dan perumusan kembali (redefinition). (Supriadi,1997: 7).
Menurut Utami Munandar redefinisi memerlukan kemampuan untuk menghentikan interpretasi lama dari obyek-obyek yang telah dikenal dalam rangka menggunakannya atau bagian-bagiannya dalam beberapa cara baru. Sementara itu, menurut Williams bahwa kemampuan yang berkaitan dengan berpikir kreatif ini ada delapan kemampuan, empat dari ranah kognitif dan empat dari ranah afektif. Berikut ini empat kemampuan dari ranah kognitif disebutkan secara lengkap oleh Williams yaitu sebagai berikut yaitu Berpikir lancar, Berpikir luwes, Orisinal, dan Terperinci
Masih terdapat beberapa ciri kemampuan berpikir kreatif yang dikemukakan oleh para ahli di bidang tersebut. Namun, dari beberapa ciri-ciri yang dikemukakan pada intinya lebih banyak perasamaan. Dari beberapa ciri-ciri kemampuan berpikir kreatif yang telah diungkapkan menurut Williams tampak jelas dan terperinci. Oleh karena itu, penulis menggunakan ciri-ciri kemampuan berpikir kreatif yang dikemukakan oleh Williams sebagai ciri-ciri kemampuan berpikir kreatif yang dikembangakan dalam penelitian ini.
F. Metode Penelitian
1. Metode
2. Subjek Punelitian
Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa SMP Negeri 13 Jakarta semester genap tahun pelajaran 2009/2010. Dipilih dua kelas secara acak dari populasi sebanyak 68 siswa untuk dijadikan sampel penelitian.
3. Instrumen Penelitian
Pengembangan instrumen variabel self-concept siswa tentang matematika diawali dengan penyusunan 31 butir pernyataan yang dilengkapi dengan 4 pilihan jawaban yaitu SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak Setuju), STS (Sangat Tidak Setuju), Setiap pilihan jawaban yang diajukan memiliki skor antara 1 sampai 4. Skor variabel dapat diperoleh dengan cara menjumlahkan seluruh skor butir. Proses kalibrasi instrumen dilaksanakan dengan melakukan ujicoba kepada 60 responden. Pada tahap ujicoba instrumen dilakukan pengujian validitas butir soal dan perhitungan koefisien reliabilitas. Pada penelitian ini, pengujian validitas skala self-concept juga dilakukan oleh dosen pembimbing dan pakar self-concept di UHAMKA. Berorientasi pada validitas konstruk dan validitas isi, berupa dimensi dan indikator yang hendak diukur, redaksi setiap butir pernyataan, keefektifan susunan kalimat dan koreksi terhadap bentuk format yang digunakan.
Data self-concept yang awalnya merupakan data ordinal di konversi menjadi data interval Menurut Al-Rasyid (1994), menaikkan data dari skala ordinal menjadi skala interval dinamakan transformasi data. Transformasi data ini, dilakukan diantaranya adalah dengan menggunakan Metode Sucsesive Interval. Pada umumnya jawaban responden yang diukur dengan menggunakan skala likert (Lykert scale) diadakan scoring yakni pemberian nilai numerikal 1, 2, 3, dan 4, setiap skor yang diperoleh akan memiliki tingkat pengukuran ordinal. Nilai numerikal tersebutdianggap sebagai objek dan selanjutnya melalui proses transformasiditempatkan ke dalam interval.
G. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Untuk melihat seberapa kuat hubungan antara self-concept dan kemampuan berpikir kreatif, maka dilakukan uji korelasi Pearson dengan = , 5 dan hipotesisnya adalah
�0∶ �= 0
keterangan
[image:31.516.90.423.232.340.2]� : korelasi antara self-concept dengan kemampuan berpikir kreatif
Tabel 1.
Hasil Uji Korelasi self-concept dan kemampuan berpikir kreatif
Self-concept Postes Self-concept Pearson Correlation 1 0,619
Sig. (1-tailed) 0,000
N 68 68
Kreatif Pearson Correlation 0,619 1 Sig. (1-tailed) 0,000
N 68 68
Dari Tabel 1, diperoleh hasil korelasi antara self-concept dan kemampuan berpikir kreatif siswa adalah 0,619 dan nilai signifikansi (sig) sebesar 0,000. Harga korelasi (�) yang diperoleh adalah 0,619 yang artinya tingkat hubungannya tergolong kuat. Karena nilai signifikansi0,000 lebih kecil dari = 0,05 maka terdapat hubungan yang signifikan antara self-concept dan kemampuan berpikir kreatif siswa. Harga koefisien determinannya dihitung dengan rumus KD = r2 × 100% (Riduwan, 2004), dan diperoleh harganya sebesar 38,32% yang artinya bahwa 38,32% variasi di dalam berpikir kreatif dapat dijelaskan oleh variasi dalam self-concept.
Untuk mengetahui besarnya pengaruh antara self-concept dengan kemampuan berpikir kreatif maka dilakukan pengujian koefisien regresi dengan menggunakan analisis regresi linier. Analisis ini dilakukan untuk melihat pengaruh langsung dari self-concept siswa terhadap kemampuan berpikir kreatif siswa. Hipotesis yang diuji adalah:
Rumusan hipotesis uji perbedaan rerata Self-Concept adalah
H0 : Self-concept siswa tentang matematika dalam pembelajaran berbantuan Geogebra tidak mempengaruhi kemampuan berpikir kreatif siswa
H1 : Self-concept siswa tentang matematika dalam pembelajaran berbantuan Geogebra mempengaruhi kemampuan berpikir kreatif siswa.
Hasil analisis dapat dilihat pada tabel 2
Tabel 2.
Hasil Analisis Regresi Self-Concept dengan Kemampuan Berpikir Kreatif
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) -1,875 4,689 -0,400 0,690
Self-concept 0,313 0,049 0,619 6,410 0,000
a. Dependent Variable: POSTES
Dari tabel diatas dapat diketahui persamaan regresinya adalah �=−1,875 +
0,313� yang artinya, semakin besar nilai self-concept siswa maka semakin besar
kemampuan berpikir kreatif siswa, begitu juga sebaliknya.
Karena nilai signifikansi 0,000 < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak artinya secara signifikan Self-concept siswa tentang matematika dalam pembelajaran berbantuan Geogebra mempengaruhi kemampuan berpikir kreatif siswa.
H. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data untuk pengujian hipotesisnya, kesimpulan dari temuan yang diperoleh adalah Self-concept siswa tentang matematika dalam pembelajaran berbantuan Geogebra secara umum mempengaruhi kemampuan berpikir kreatif siswa.
I. Saran
J. Daftar Pustaka
Burns, R. B. 1979. The Self Concept in Theory Measurement, Development and Behavior. London. Longman Group UK Ltd.
. 1993. Konsep Diri, Teori, pengukuran dan perilaku, Alih Bahasa : Eddy. Jakarta: Arcan.
Cronbach, L. J. 1964. Educational Psychology. New York: Harcourt, Brace & Company.
Calhoun J. F danAcocella, J. R. 1995. Psikologi tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan (EdisiTerjemahan): Semarang: IKIP Semarang Press.
Crow, L. D. and Crow,A. 1984.Psikologi Pendidikan. Terjemahan Kasjan. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Dennis K.F. 2008. Menguak Rahasia Berpikir Kritis dan Kreatif. Jakarta: PT. Prestasi pustaka raya
Dewanto, S. P. 2007. Meningkatkan Kemampuan Representasi Multiple Matematis Melalui Belajar Berbasis-Masalah. Disertasi. UPI: Tidak diterbitkan
Evans, J.R. 1991. Creative Thinking in the Decision and Management Sciences.USA: South-Western Publishing Co.
Hall, C.S. and Lindzey,G.. 1978. Theories of Personality.Third Edition. New York: John Willey and Sons, Inc.
Hays, W. L, 1976.Quantification in Psychology.Prentice Hall.New Delhi.
Hurlock, E. B. 1978. Developmental Psychology. Edisi 4. New Delhi: Tata McGraw Hill.
Nasution, A. H. 1978. LandasanMatematika. Jakarta: Bharata.
Nasution, S. 2000. Didaktik Asas-asas Mengajar. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Munandar, U. 2004. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta.
Pudjijogyanti.1988. Konsep Diri dan Pendidikan. Jakarta : Arcan.
Roestiyah. 1999. Masalah-masalah Ilmu Keguruan.Jakarta: PT. Bina Aksara.
Sarwono, S.W. 1974. Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang.
Silvernail, David. 1985. Developing Positive Student Self-Concept. 2nd Ed. Washington DC: National Education Associatess.
Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, R & D. Bandung : CV Alfabeta
Supriadi, D. (1994). Kreativitas, Kebudayaan & Perkembangan IPTEK. Bandung: Alfabeta.
Suriasumantri, J. S. 1982. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan.
Supriadi, D. 1997. Kreatifitas Kebudayaan dan Perkembangan IPTEK. Bandung: Alfabeta
Syah, M. 1995. Psikologi Pendidikan suatu Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya.
To, Karno (1996).MengenalAnalisisTes (Pengantarke Program Komputer ANATES). Bandung: FIP IKIP Bandung
Wahyudin. (1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematik, dan Siswa dalam Mata Pelajaran Matematika. Bandung: Disertasi PPS IKIP Bandung: Tidak diterbitkan.
PENERAPAN TEORI PERKEMBANGAN MENTAL PIAGET
PADA KONSEP KEKEKALAN PANJANG
Oleh :
Idrus Alhaddad
Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Khairun Ternate e-mail: Idrus_ekal@yahoo.co.id
Abstrak
Menurut teori perkembangan mental dari Piaget, ada 4 tahapan perkembangan kognitif pada anak, yaitu: 1) Tahap sensori motor, yaitu dari lahir sampai usia sekitar 2 tahun; 2) Tahap pre operasi, yaitu dari usia sekitar 2 tahun sampai sekitar 7 tahun; 3) Tahap operasi konkrit, yaitu dari usia sekitar 7 tahun sampai sekitar 11-12 tahun; dan 4) Tahap operasi formal, yaitu dari usia dari sekitar 11 tahun sampai dewasa.
Setiap tahapan perkembangan mental mempunyai sifat atau ciri khas masing-masing. Salah satu ciri yang dimunculkan pada tahap operasi kongkrit diantaranya yaitu bahwa pada tahap ini anak sudah mulai memahami konsep kekekalan. Diantaranya konsep kekekalan panjang (7 – 8 tahun). Tentu saja hal itu ditujukan untuk anak-anak luar negeri dimana Jean Piaget melakukan penelitian, yaitu di Negara Swiss.
Pertanyaannya adalah apakah tahapan perkembangan anak berlaku juga pada anak di negara kita. Hasil penelitian yang kami lakukan menunjukkan bahwa, ada anak yang sesuai dengan usianya berada pada tahapan operasi kongkrit ternyata belum memahami konsep kekekalan panjang.
Kata kunci : Teori perkembangan mental, Konsep kekekalan Panjang
Pendahuluan
Dalam proses pembelajaran matematika, siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bekerja dengan ide-ide.Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan pada siswa. Siswa harus dapat mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri. Ini sesuai dengan esensi dari teori konstruktivisme bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri.
perkembangan intelektual manusia dari lahir sampai dewasa serta ciri-cirinya dari setiap tahap itu.
Menurut teori perkembangan mental Piaget, ada 4 tahapan perkembangan kognitif pada anak, yaitu: 1) Tahap sensori motor (sensori-motor stage), yaitu dari lahir sampai usia sekitar 2 tahun; 2) Tahap pre operasi (pre operational stage), yaitu dari usia sekitar 2 tahun sampai sekitar 7 tahun; 3) Tahap operasi konkrit (concrete operational stage), yaitu dari usia sekitar 7 tahun sampai sekitar 11-12 tahun; dan 4) Tahap operasi formal (formal operational stage), yaitu dari usia dari sekitar 11 tahun sampai dewasa.
Setiap tahapan perkembangan mental mempunyai sifat atau ciri khas masing-masing yang dimunculkan anak yang berbeda-beda. Salah satu ciri yang dimunculkan pada tahap operasi kongkrit (concrete operational stage) diantaranya yaitu pada tahap ini anak sudah mulai memahami konsep kekekalan. Sebagaimana yang diungkapkan Ruseffendi (2006:147) pada tahap operasi kongkrit anak mulai memahami konsep kekekalan bilangan (6 – 7 tahun), konsep kekekalan materi atau zat (7 – 8 tahun), konsep kekekalan panjang (7 – 8 tahun), konsep kekekalan luas (8 – 9 tahun), konsep kekekalan berat (9 – 10 tahun), bahkan pada akhir tahap ini, anak sudah dapat memahami konsep kekekalan isi (14 – 15 tahun). Tentu saja hal itu ditujukan untuk anak-anak luar negeri dimana Jean Piaget melakukan penelitian, yaitu di Negara Swiss.
Pertanyaannya adalah bagaimana teori tahapan perkembangan anak yang disusun oleh Piaget itu berlaku juga pada anak yang ada di negara kita, terutama di lingkungan tempat tinggal kita. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dilakukan suatu penelitian. Penelitian ini memfokuskan pada pemahaman konsep kekekalan panjang yang dimiliki anak-anak yang ada di sekitar kita khususnya, dan anak-anak Indonesia pada umumnya.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka pertanyaan penelitian yang
diajukan dalam penelitian ini adalah: Bagaimana kondisi perkembangan
mental anak terkait pemahaman konsep kekekalan panjang, apakah anak-anak pada usia 7 – 8 tahun sudah memahami konsep kekekalan panjang?
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui kondisi perkembangan mental anak terkait pemahaman konsep kekekalan p