• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Persepsi Guru

Definisi persepsi dalam kamus standar dijelaskan sebagai sebuah pengaruh ataupun sebuah kesan oleh benda yang semata-mata menggunakan pengamatan penginderaan (Saleh, 2009: 108). Senada dengan Walgito (2010: 99) yang mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan persepsi adalah suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan, yaitu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera. Dengan demikian berdasarkan kedua pendapat maka persepsi merupakan suatu proses penginderaan, adapun tujuan akhir dari proses persepsi tersebut guna memberikan arti terhadap objek yang dipersepsi. Manusia dengan alat inderanya mampu melihat, mendengar dan mengetahui, namun persepsi tidak sebatas itu ia memaknai dari apa yang dilihat, didengar dan diketahui.

Kedudukan indera manusia dalam proses persepsi yaitu sebagai alat untuk menginterpretasikan maka dari itu mata, telinga termasuk otak manusia adalah bagian dari koordinasi sistem kerja yang saling mendukung agar seseorang dapat mepersepsikan suatu hal. Dengan demikian proses penginderaan melibatkan sistem indera dan sistem otak (proses berfikir/ interpretasi) yang dilandasi atas kesadaran manusia. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Saleh (2009: 108) bahwa persepsi merupakan proses menggabungkan dan mengorganisir data-data indera kita (penginderaan) untuk dikembangkan sedemikian rupa sehingga kita dapat menyadari di sekeliling kita, termasuk sadar diri kita sendiri.

(2)

Persepsi guru merupakan hasil pemikiran berdasarkan kemampuan berpikirnya yang dilatarbelakangi atas bebagai faktor pembentuk persepsi. Peneliti dalam hal ini menggunakan persepsi guru sebagai sumber data utama untuk menjawab rumusan masalah.

a. Faktor yang Mempengaruhi Persepsi

Mulyana (2008: 4) menuturkan bahwa Agama (Islam, Hindu, Kristen, dan sebagainya), jenis profesi (dosen, pejabat, politikus, dokter, dan sebagainya), peran dalam keluarga (ayah, ibu, anak, cucu, kakek, nenek, dan sebagainya) adalah berbagai jenis faktor-faktor yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang. Terdapat atribut-atribut tertentu yang dimiliki oleh seseorang dan hal tersebut dapat mempengaruhi persepsi manusia seperti telah disebutkan, seorang agamis yang satu dengan yang lainnya, antar penyandang profesi yang berbeda, predikat peran yang dimiliki masing-masing mempengaruhi individu dalam menciptakan pandangan, pengalaman, kearifan yang beragam dalam memandang suatu obyek atau fenomena.

Walgito (2010: 100), menjelaskan adanya faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi persepsi seseorang. Faktor internal adalah faktor yang ada dalam individu itu sendiri, seperti perasaan, pengalaman, kemampuan, dan kerangka acuan. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor stimulus itu sendiri dan lingkungan di mana persepsi itu berlangsung.

(3)

b. Proses dan Langkah Terjadinya Persepsi

Langkah atau proses terjadinya persepsi seperti yang dikemukakan oleh Walgito (2010: 102) dijelaskan dengan uraian:

“Proses terjadinya persepsi diawali dari proses kealaman (proses fisik) yaitu manakala objek menimbulkan stimulus, dan stimulus mengenai alat indera. Stimulus yang diterima alat indera kemudian diteruskan oleh syaraf sensoris menuju otak selanjutnya proses ini disebut sebagai proses fisiologis. Stimulus yang telah diterima otak sebagai pusat kesadaran membuat indiviu menyadari apa yang dilihat, didengar atau diraba. Kondisi individu menyadari objek yang diterima disebut sebagai proses psikologis. Proses psikologis merupakan taraf akhir dari proses persepsi. Dari persepsi yang tercipta individu dapat memberikan respon dalam berbagai macam bentuk.”

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa proses terjadinya persepsi terjadi melalui tiga tahapan yaitu proses kealaman, proses fisiologis dan proses psikologis. Pada proses kealaman, suatu objek akan mengirimkan stimulus-stimulus berupa informasi-informasi yang ditangkap oleh indera dan reseptor manusia. Kemudian pada proses selanjutnya yaitu proses fisiologis, informasi yang masuk tidak semua dicatat namun terdapat upaya menyeleksi mana yang menjadi perhatian utama. Informasi yang diperoleh ditambah atau dikurangi dengan apa yang diketahui dan diyakini dari yang semula belum lengkap menjadi lengkap sehingga proses lebih aktif dan kreatif. Hasil penambahan dan pengurangan menghasilkan makna/arti yang lebih teratur sehingga tercapailah tahap interpretasi dari seorang individu.

(4)

Saat interpretasi terjadi maka diperoleh pemahaman pengertian dari informasi yang disampaikan. Meski apa yang sampai belum tentu sama dengan apa yang diterima namun begitulah hasil persepsi, bersifat personal antara individu yang satu dengan yang lain seperti telah disebutkan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal dan terbatas pada kemampuan individu yang bersangkutan. Persepsi dapat dikemukakan karena perasaan, kemampuan berfikir, pengalaman-pengalaman individu tidak sama, maka dalam mepersepsi sesuatu stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda antara individu satu dengan individu lain, Davidoff (Walgito, 2010: 100).

2. Kebijakan Pendidikan Publik

Secara etimologi (asal kata) kebijakan (policy) diturunkan dari Bahasa Yunani, yaitu kata “Polis” yang berarti kota (city). Abidin (Syafaruddin, 2008: 75) menjelaskan kebijakan adalah keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat. Keputusan pemerintah dikeluarkan dan ditandai dengan adanya sumber hukum yang mengaturnya. Rakhmat (2014: 74) menjelaskan bahwa sumber hukum formal di Indonesia diatur dalam MPRS No.XX/MPR/1966 yang terdiri dari:

1. UUD 1945, Tap MPR,

2. UU dan PP sebagai pengganti UU (Perpu, PP

3. Keppres, Inpres, Permen, beserta instruksi menteri dan Surat Menteri

(5)

Kebijakan merupakan perintah negara tentang apa yang harus dilakukan atau tidak dilakukan. Sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan Pal (Irianto, 2012: 34), public policy is what the government say to do or not to do. Kebijakan dalam bidang pendidikan ditetapkan oleh pemerintah yang mengatur pengelolaan sekolah pemerintah yang diatur tidak hanya kurikulum, pedagogi dan penilainnya, tetapi juga kondisi guru dan pemeliharaan sarana fisik (Fattah, 2013: 132).

a. Tahapan Kebijakan Pendidikan

Putt dan Sppringer (Syafaruddin, 2008: 81) membagi tahapan kebijakan ke dalam tiga fase meliputi: formulasi, implementasi dan evaluasi. Tahap formulasi kebijakan berisi serangkaian tahap yang saling bergantung dan diatur menurut urutan waktu, penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian. Formulasi kebijakan merupakan kerangka berpikir holistis yang menggambarkan bagaimana suatu kebijakan akan dilaksanakan.

Kedua, tahap implementasi yaitu serangkaian aktivitas dan keputusan yang memudahkan pernyataan kebijakan dalam formulasi terwujud ke dalam praktik organisasi. Tahap ketiga yaitu evaluasi kebijakan yaitu suatu langkah untuk mengetahui sejauh mana keefektivan kebijakan pulik telah dilaksanakan guna dipertanggungjawabkan kepada semua pihak terkait.

(6)

b. Rencana Kebijakan Pendidikan

Pentingnya sebuah perencanaan adalah untuk membantu pihak pembuat kebijakan merancang dengan baik ide/ gagasan/ konsep sebuah kebijakan yang dibuat. Dalam Perencanaan kebijakan meliputi proses yang beragam dari mulai analisis situsasi saat ini, keberlanjutan dan penilaian terhadap program, persiapan dan monitoring dari pelaksanaan program hingga akhirnya mengantarkan pada perumusan kembali sebuah kebijakan yang baru (Haddad, 1995: 6-7).

Lebih lanjut, Haddad (1995: 17) menjelaskan pentingnya suatu rencana kebijakan pendidikan adalah untuk memperjelas isu-isu yang bersifat ambigu di lapangan, dapat mendefinisikan kebijakan secara objektif, memunculkan berbagai alternatif pilihan bagi kebijakan, sebab-akibat dari suatu langkah kebijakan dapat diketahui dengan jelas, dapat memprediksi secara rasional dan memungkinkan diperolehnya pengambilan keputusan secara rasional.

Haddad (1995: 24) menyebutkan ketujuh proses dalam merencanakan kebijakan pendidikan, meliputi:

1) Menganalisis situasi

2) Membuat generasi dari pilihan-pilihan kebijakan yang ada 3) Mengevaluasi masing-masing pilihan kebijakan yang ada 4) Menentukan pilihan kebijakan

5) Menilai dampak pelaksanaan kebijakan 6) Keberlanjutan program

(7)

c. Analisis Situasi & Progresivisme Kebijakan Pendidikan Haddad (1995: 24) menyatakan,

“In addition to the analysis of the sector itself, policy analysis should consider a number of aspects of the social context, including political, economic, demographic, cultural and social issues which are likely to affect the decision making and even implementation processess of the education sector”

Berdasarkan pendapat di atas terdapat enam aspek yang perlu dianalisis dalam suatu perencanaan kebijakan sebelum diterapkan diantaranya yaitu aspek sosial, politik, ekonomi, kependudukan, budaya dan isu-isu sosial. Selain analisis situasi, progresivisme masyarakat penting untuk ditumbuhkan sebelum mengimplementasikan suatu kebijakan baru sebagai langkah inovasi dalam dunia pendidikan. Gerakan progresivisme merupakan paham yang menghendaki adanya perubahan-perubahan yang sifatnya membangun dalam dunia pendidikan.

Gerakan progresif di dalam dunia pendidikan yang disebutkan oleh Tilaar (2006: 113) mempunyai tiga agenda besar yaitu: 1) Menolak segala bentuk formalisme, rutinitas dan birokrasi yang menghilangkan gairah belajar di dalam sekolah; 2) Menemukan dan mengimplementasikan metode-metode inovatif dalam proses belajar dan mengajar yang difokuskan kepada minat dan kebutuhan peserta didik; 3) Memprofesionalisasikan proses mengajar serta pengolahan pendidikan.

(8)

Guna menempuh gerakan progresif, langkah-langkah pengambilan tindakan perlu berpedoman pada lima prinsip gerakan progresif menurut Tilaar (2008: 116), yaitu: 1) mengindentifikasi masalah-masalah dan menelitinya secara scientific serta terbuka; 2) Memberikan informasi serta pendidikan terhadap publik terlebih melalui mass media (investigate journalism); 3) Mendiskusikan dan mengstrukturalisasikan masalah-masalah yang dihadapi; 4) Mengusulkan dan membuat undang-undang dalam memperbaharui situasi; 5) Menetapkan peraturan-peraturan untuk implementasi serta follow up dari kebijakan publik tersebut.

d. Feasibilitas Program Kebijakan

Feasibiltas program oleh Haddad (1995: 33-34) dapat diketahui atau dinilai berdasarkan tinjauan beberapa topik bahasan, seperti pada penjelasan sebagai berikut:

Another and very different kind of implication is the availability of human recourcerces for implementing the change. Fiscal recources are easy to compute. More difficult is the estimate of what level of training is required of teachers (the more sophisticated the programme and/ or technology involved, the more highly trained the personel need to be) and whether there are enough personnel to implement the policy option. In many developing countries, highly trained personnel may be in short supply. This then raises the question of whether they can be imported or trained and what cost. Equally important is the presence of the institutional culture(norms, procedures, environment) necessary to attract, retain, and effectively utilize trained personnel in transforming policies into plans and implemented programmes. Another element in the calculus of feasibility is time.

(9)

Berdasarkan penjelasan di atas untuk menilai feasibilatas suatu program dapat dilihat dari human recources (sumber daya manusia), fiscal recources (finansial/ pendanaan) trainning programme (pelatihan program), institutional culture (kultur sekolah yang meliputi: norma, cara dan lingkungan), dan waktu.

Kebijakan full day school dalam topik bahasan penelitian ini, merupakan sebuah program baru yang yang berlaku berdasarkan aturan Permendiknas Nomor 23 tahun 2017 tentang hari sekolah. Berdasarkan tinjauan teori, kedudukan program full day school berada pada tahap kebijakan yaitu tahap implementasi. Dalam tahap implementasi awal, program full day school secara bertahap dijalankan sebagai langkah analisis untuk mengetahui respon maupun penilaian dari berbagai pihak terkait yang melaksanakan. Tahapan implementasi merupakan bagian yang tidak bisa terlepas evaluasi nantinya. Saat ini full day school belum secara serempak dilaksanakan hanya pada sekolah tertentu yang menjadi piloting/ percontohan (Manggala: 2016), oleh karenanya peneliti mengambil langkah investigasi guna mengumpulkan persepsi guru berkaitan dengan program full day school sebelum diimplementasikan. 3. Full Day School dan Kaitannya dengan Program 5 Hari Sekolah

Sejarah sekolah full day school berasal dari Amerika Serikat berkembang dari taman kanak-kanak hingga pendidikan dasar (Dalvi: 2013). Kemunculan sistem full day school di Indonesia sendiri diawali dengan menjamurnya istilah sekolah unggulan sekitar tahun 1990-an yang banyak dipelopori oleh sekolah swasta termasuk sekolah-sekolah berlabel islam (Kuswandi: 2012). Konsep sekolah-sekolah unggulan adalah mereka yang mengedepankan kualitas pada proses dan sistem pembelajaran.

(10)

Peter Salim (Utomo, 2016: 62) sistem full day school adalah sebuah sistem pembelajaran yang dilakukan dalam kegiatan belajar mengajar yang dilakukan sehari penuh dengan memadukan sistem pembelajaran secara intensif dengan memberikan tambahan waktu khusus untuk pendalaman selama lima hari dan sabtu diisi dengan relaksasi atau kreativitas. Basuki (Iftiani & Nurhidayati, 2016: 54) menyebutkan bahwa full day school atau sering disebut sekolah terpadu adalah sekolah yang menggunakan waktu belajar dan bermain anak dalam 5 hari kerja namun dengan jam berada di sekolah lebih lama dari sekolah biasanya. Lawan dari full day school adalah half day school atau sekolah seperti yang disebut sebelumnya merupakan sekolah konvensional atau sekolah relatif singkat (reguler), memiliki waktu belajar dari pukul 07.00 – 10.00 (Iftiani & Nurhidayati, 2016: 56). Berdasarkan kedua pendapat diatas dapat diketahui bahwa full day school adalah merupakan sistem pembelajaran yang berlangsung selama lima hari dengan durasi waktu belajar lebih lama dari sekolah reguler yakni berlangsung hingga sore hari.

Utomo (2016) mengutip pendapat Peter Salim, mengungkapkan pendidikan dengan sistem full day school adalah sebuah sistem pembelajaran yang dilakukan dalam kegiatan belajar mengajar yang dilakukan sehari penuh dengan memadukan sistem pembelajaran secara intensif dengan memberikan tambahan waktu khusus untuk pendalaman selama lima hari dan sabtu libur diisi dengan relaksasi atau kreativitas.

(11)

Permendiknas Nomor 23 tahun 2017 mengeluarkan aturan tentang hari sekolah, pada pasal 2 mengenai hari sekolah dijelaskan waktu 8 (delapan) jam dalam 1 (satu) hari atau 40 (empat puluh) jam selama 5 (lima) hari dalam satu minggu ditambah dengan waktu istirahat selama 0,5 (nol koma lima) jam dalam 1 (satu) hari atau 2,5 (dua koma lima) jam selama 5 (lima) hari dalam 1 (satu) minggu. Berdasarkan Permendiknas Nomor 23 tahun 2017 sebagaimana telah disebutkan, jika dikaitkaan dengan istilah full day school maka keduanya memliki hubungan yang erat bahwasanya full day school merupakan sistem sekolah yang berlangsung selama 5 hari. Hal tersebut pula yang menjadi alasan logis bahwa penyebutan Permendiknas Nomor 23 tahun 20017 tersebut tentang 5 hari sekolah disamakan istilahnya dengan full day school di kalangan masyarakat. Sejalan dengan pendapat Baharuddin (Khusnaya: 2016) menyatakan bahwa proses belajar mengajar full day school dilakukan mulai pukul 06.45-15.00 dengan durasi istirahat setiap dua jam sekali. full day school adalah sistem belajar yang berlangsung kurang lebih 8 jam sehari (Hawi, 2015: 76)

Implementasi program full day school sebagaimana yang dijelaskan oleh Astuti (2013) yaitu: 1) Pembelajaran hingga sore hari; 2) Menggunakan lima hari efektif; 3) Pembelajaran menggunakan pendekatan joyfull learning. Lebih lanjut Astuti (2017: 134) menyebutkan alasan didirikannya sekolah full day school dikarenakan: 1) Minimnya waktu orang tua di rumah karena tuntutan kerja; 2) Perlunya pengawasan terhadap kebutuhan dan keselamatan anak terutama bagi anak usia dini selama orang tuanya bekerja; 3) Perlunya formalisasi jam-jam tambahan keagamaan yang minim; 4) Perlunya peningkatan kualitas pendidikan sebagai solusi berbagai permasalahan bangsa saat ini.

(12)

a. Tujuan dan Manfaat Full Day School

Menurut Hawi (2015: 80) tujuan dari sistem full day school ini, antara lain:

1) Membangun sikap disiplin dalam belajar

2) Menghasilkan pribadi yang unggul secara intelektual dan moral 3) Anak mendapatkan pendidikan umum yang antisipatif terhadap

perkembangan ilmu pengetahuan.

4) Anak memperoleh pendidikan keislaman secara layak dan proporsional

5) Menginginkan anak-anak memiliki sains, teknologi dan agama agar hidupnya seimbang.

Sementara dari sumber lain, Utomo (2016: 64) menjelaskan beberapa tujuan yang ingin dicapai melalui program full day school, sebagai berikut:

1) Mengurangi pengaruh negatif dari luar pada anak usai sekolah 2) Membuat belajar siswa menjadi efektif dan efisien dengan

mengajarkan lebih banyak IPTEK dan IMTAQ

3) Membantu orang tua siswa yang bekerja sehari penuh sehingga dapat membantu memantau terhadap anak-anak dan menjamin mereka mendapatkan pendidikan di rumah secara ekslusif.

Sedangkan manfaat dari sistem full day school (Hawi, 2015: 80), antara lain:

1) Pengaruh negatif dari luar sekolah dapat diminimalisir

2) Anak-anak jelas akan mendapatkan metode pembelajaran yang bervariasi dan lain daripada sekolah dengan program reguler. 3) Orang tua tidak merasa khawatir, karena anak-anak mereka berada

seharian di sekolah yang berarti ada mengawasi mereka para guru dan sebagian waktu anak untuk belajar.

(13)

Kauerz (2005: 2) Sistem full day school yang dilakukan oleh sekolah di Amerika telah memberikan dampak positif sebagai berikut:

1) For children, full-day kindergarten is important, provides continuity for children who are accustomed to full-day experiences outside

2) For families, full-day kindergarten is important. An overwhelming number of American families need someone to carefor their children while parents and other caregivers work. 3) For teacher, full-day kindergarten is important. Full-day

program allow teachers more time for both formal an informal instruction that provides meaningfull learning opportunities and encourage not only cognitive development but also physical and socio-emotional development.

Berdasarkan pendapat di atas dapat diketahui bahwa sistem full day school dapat bermanfaat bagi anak/ siswa yaitu dapat memberikan pengalaman yang berkesinambungan; bagi keluarga program full day school dapat membantu orang tua dalam menjaga anak-anak mereka selama bekerja; dan bagi guru, program full day school dapat memberikan kesempatan untuk menciptakan sebuah pembelajaran yang bermakna guna mengembangkan aspek fisik, sosial dan perkembangan emosi siswa.

b. Kurikulum Full Day School

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional menyatakan bahwa:

Pasal 36:

Ayat (1) Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”, dan ayat (2) menyebutkan bahwa “kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.

(14)

Pasal 38:

Ayat (2) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah.

Undang-undang tersebut merupakan dasar bagi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia melatarbelakangi inovasi berdirinya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Fattah (Syafaruddin, 2008: 155) menjelaskan manajemen berbasis sekolah diartikan sebagai pengalihan dalam pengambilan keputusan dari tingkat pusat sampai tingkat sekolah. Pemberian kewenangan dalam pengambilan keputusan dipandang sebagai otonomi di tingkat sekolah dalam pemanfaatan sumber daya sehingga sekolah mampu secara mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, memanfaatkan, mengendalikan, dan mempertanggungjawabkan (accountability) kepada setiap orang yang berkepentingan (stakeholders).

Atas dasar kebijakan pemerintah tersebut, banyak diantara sekolah-sekolah yang memaksimalkan potensi sekolahnya dengan mengonsep bentuk aktivitas dan program belajar sebagai bentuk mengembangkan kurikulum. Sekolah full day school merupakan salah satu produk dari pengembangan kurikulum sekolah yang dirumuskan. Sekolah full day school lahir dari konsep integrated curriculum berbentuk integrated day atau keterpaduan hari.

(15)

Banyaknya waktu di sekolah bersistem full day school memungkinkan para staf guru untuk merancang kurikulum yang dikembangkan. Hal ini dimaksudkan selain materi yang menjadi kewajiban untuk diajarkan sesuai peraturan pemerintah, terbuka juga kesempatan utnuk menambahkan materi lain yang dipandang sesuai dan relevan dengan visi-misi lembaga penelitian tersebut. Full day school merupakan program pendidikan dimana seluruh aktivitasnya berada di sekolah dengan memiliki ciri-ciri integrated activity dan integrated curriculum (Utomo, 2016: 63).

Konsep integrated-curriculum intergrated-day tergambar dengan berbagai program belajar dan aktivitas sekolah dimulai dari kegiatan bermain, belajar, makan, muatan kegiatan keagamaan, ekstrakurikuler dan lain-lain yang berlangsung dalam suatu sistem pendidikan (Sulistyaningsih, 2008: 61). Fogart (Widyowati: 74) mengemukakan bahwa kurikulum terpadu (integrated curriculum) sebagai model kurikulum yang dapat mengintegrasikan skills, themes, conceptand topics secara inter dan antar disiplin atau penggabungan keduanya. Konsep 5 hari sekolah sebagaimana dimuat dalam Permendiknas Nomor 23 tahun 2017 memiliki kesamaan kurikulum sebagaimana telah dijelaskan pada kurikulum full day school yaitu meliputi kegiatan intrakurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler.

(16)

Kegiatan intrakurikuler adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk pemenuhan kurikulum sesuai aturan undang-undang, kegiatan kokurikuler dalam bentuk kegiatan penguatan atau pendalaman kompetensi dasar atau indikator pada mata pelajaran/ bidang sesuai dengan kurikulum dan kegiatan ekstrakurikuler yaitu berupa kegiatan pengembangan bakat, minat, kemapuan, kerjasama dan kemandirian peserta didik secara optimal. Ketiga komponen tersebut secara terpadu termuat dalam konsep full day school. Full day school merupakan sistem pembelajaran yang intensif yakni dengan menambah jam pelajaran untuk pendalaman materi pelajaran untuk pendalaman materi pelajaran serta pengembangan diri dan kreativitas (Dalvi, 2013: 80).

Annisa (Khusnya: 2016) menjelaskan bahwa melalui full day school anak akan memperoleh pendidikan kepribadian yang antisipatif terhadap perkembangan sosial budaya, dan pengetahuan umum. Potensi, bakat serta minat anak full day school juga dapat tersalurkan melalui kegiatan ekstrakurikuler dan program bimbingan dan konseling di sekolah. Sistem full day school dapat pula membentuk akidah dan akhlak mulia untuk menanamkan nilai-nilai positif. Permendikas Nomor 23 tahun 2017 telah menjabarkan diantara bentuk kegiatan kokurikuler ialah kegiatan ilmiah, pembimbingan seni dan budaya serta untuk penguatan karakter. Pada bentuk kegiatan ekstrakurikuler termasuk diantaranya kegiatan krida, karya ilmiah, latihan olah bakat/minat dan keagamaan seperti diniyyah, pesantren kilat, ceramah keagamaan dan baca tulis Al Qur‟an dan kitab lainnya.

(17)

Terdapat beberapa faktor yang dapat menghambat pelaksanaan full day school sebagaimana yang dipaparkan oleh Astuti (2013) dalam penelitiannya berjudul “Implementasi Program Fullday School Sebagai Usaha Mendorong Perkembangan Sosial Peserta Didik TK Unggulan Al-Ya‟lu Kota Malang”, diantaranya: 1) Kurangnya kepercayaan dari pihak orang tua; 2) Minimnya keberadaan sarana dan prasarana; 3) Heterogenitas peserta didik. Sementara faktor yang dapat mendorong pelaksanaan program full day school, yaitu: 1) Pendanaan yang cukup; 2) Aktivitas belajar yang disukai anak-anak; 3) partisipasi penuh dari orang tua.

4. Psikologi Perkembangan dan Psikologi Belajar Anak Sekolah Dasar Anak-anak usia sekolah dasar dengan rentang usia 6-12 tahun memiliki karakteristik yang berbeda dengan anak-anak yang usianya lebih muda yaitu senang bermain, senang bekerja, senang bekerja dalam kelompok, dan senang melakukan sesuatu secara langsung (Desmita, 2009: 35). Lebih lanjut Desmita (2009: 4) mengemukakan, psikologi perkembangan merupakan salah satu cabang psikologi khusus yang mengkaji perkembangan tingkah laku dan aktivitas mental manusia sepanjang rentetan kehidupannya, mulai dari masa konsepsi hingga meninggal dunia. Dalam konteks pendidikan, pembahasan psikologi perkembangan menjadi topik bahasan yang erat dikaitkan dengan psikologi belajar. Djamarah (2008: 3) mendefinisikan, bahwa yang dimaksud dengan psikologi belajar adalah sebuah displin psikologi yang berisi teori-teori psikologi mengenai belajar, terutama mengupas bagaimana cara individu belajar atau melakukan pembelajaran.

(18)

a. Karakteristik Anak Usia Sekolah Dasar

Havighurst (Desmita, 2009: 35) mengaitkan antara karakteristik anak usia SD dengan tugas perkembangannya ialah sebagai berikut:

1) Menguasai keterampilan fisik yang diperlukan dalam permainan dan aktivitas fisik

2) Membina hidup sehat

3) Belajar bergaul dan bekerja dalam kelompok

4) Belajar menjalankan peranan sosial sesuai dengan jenis kelamin 5) Belajar membaca, menulis, dan berhitung agar dapat

berpartisipasi dalam masyarakat

6) Memperoleh sejumlah konsep yang diperlukan untuk berpikir efektif

7) Mengembangkan kata hati, moral, dan nilai-nilai 8) Mencapai kemandirian.

b. Kebutuhan peserta didik dan implikasinya dalam pendidikan

Desmita (2009: 68-71) menyebutkan jenis-jenis kebutuhan siswa implikasinya dengan pendidikan, yaitu:

1) Kebutuhan jasmaniah diantaranya seperti makan, minum, pakaian, oksigen, istirahat, kesehatan jasmani, gerak-gerak jasmani, serta terhindar dari berbagai ancaman.

2) Kebutuhan akan rasa aman merupakan kebutuhan akan suasana sekolah yang aman, nyaman, dan teratur, serta terhindar dari kebisingan dan berbagai situasi yang mengancam.

3) Kebutuhan akan rasa kasih sayang

4) Kebutuhan akan penghargaan menimbang dari kecenderungan peserta didik untuk diakui dan diperlakukan sebagai orang yang berharga diri.

5) Kebutuhan akan rasa bebas ialah menjamin bahwa peserta didik terhindar dari perasaan frustasi, tertekan, konflik, dan sebagainya. 6) Kebutuhan akan rasa suskes.

c. Faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar

Menurut Djamarah (2008: 176-205), Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil belajar terdiri dari dua aspek yaitu faktor lingkungan, instrumental, kondisi fisiologis, kondisi psikologis dan

(19)

1) Faktor lingkungan terdiri dari lingkungan alami dan lingkungan buatan

2) Faktor instrumental merupakan seperangkat alat kelengkapan dalam berbagai bentuk dan jenisnya yag mendukung tujuan sekolah. Faktor isntrumental terdiri dari:

a) Kurikulum, merupakan a plan for learning, dengan adanya kurikulum arah/ tujuan pembelajaran menjadi jelas, alokasi waktu tertata sehingga siswa memiliki kegiatan belajar yang jelas.

b) Program adalah suatu rancangan yang dibuat oleh masing-masing sekolah dijalankan untuk memajukan pendidikan. Satu sekolah dengan sekolah lainnya akan berlainan jenis.

c) Sarana dan fasilitas adalah segala hal yang dapat mendukung pembelajaran seperti gedung, ruang kelas, buku pelajaran, alat peraga, dan lain lain. Sarana dan prasarana sangat berpengaruh terhadap kegiatan belajar terutama untuk menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan bervariasi bagi anak.

d) Guru

3) Kondisi fisiologis seperti disebutkan oleh Noehi Nasution (Djamarah, 2008: 189) amat mempengaruhi kemampuan belajar seseorang. Seseorang dalam keadaan segar jasmaninya akan berlainan belajarnya dari orang yang kelelahan.

4) Kondisi psikologis yang mempengaruhi proses belajar seperti: a) Minat menurut Slameto (Djamarah, 2008: 191) adalah suatu

rasa lebih suka dan rasa keterikatan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh.

b) Kecerdasan

c) Bakat adalah kemampuan bawaan yang merupakan potensi yang masih perlu dikembangkan atau latihan (Djamarah, 2008: 196)

d) Motivasi menurut Noehi Nasution (Djamarah, 2008: 200) adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu

e) Kemampuan kognitif

d. Stress Sekolah dalam Perkembangan Peserta Didik

Desmita (2009: 291) mendefinisikan, stress sekolah (school stress) adalah ketegangan emosional yang muncul dari peristiwa-peristiwa kehidupan di sekolah dan perasaan terancamnya keselamatan atau harga diri siswa.

(20)

Diantara bentuk-bentuk ketegangan akibat aktivitas di sekolah yang terjadi pada akhirnya dapat memunculkan reaksi-reaksi fisik, psikologis, dan tingkah laku yang berdampak pada penyesuaian psikologis dan prestasi akademis. Penyebab stres siswa adalah akibat tuntutan sekolah. Desmita (2009: 293-298), menyebutkan beberapa macam tuntutan sekolah yang menjadi pemicu stres siswa sebagai berikut:

1) Phisical demands adalah stres siswa yang bersumber dari lingkungan fisik.

2) Task demands adalah tugas-tugas pelajaran yang harus dikerjakan atau dihadapi yang dapat menimbulkan perasaan tertekan atau stres.

3) Role demands adalah peran yang dipikul siswa di sekolah. 4) Interpersonal demands adalah kemampuan berinteraksi sosial

atau menjalin hubungan yang baik dengan orang lain. e. Kesehatan Anak

Rosso (2010: 8) menyatakan bahwa anak-anak usia sekolah (5-18) mewakili sebuah kelompok target yang penting dan beragam untuk intervensi kesehatan dan gizi. Anak yang telah merayakan ulang tahun kelimanya telah melewati periode resiko tinggi kematian anak. Selain itu masalah kesehatan dan gizi yang pernah diderita sebelum ulang tahun kelimanya, khususnya dalam dua tahun pertama hidupnya, dapat menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki. Kerusakan tersebut dapat mempengaruhi kapasitas anak tadi dalam mencapai potensi sepenuhnya dalam hal pertumbuhan dan perkembangan fisik serta mentalnya.

(21)

Usia 5-18 merupakan usia yang tergolong ke dalam masa kanak-kanak tengah hingga akhir dan merupakan usia anak dapat terhindar dari resiko penyakit bawaan pada usia sebelumnya. Demikian memperkuat apa yang disampaikan oleh Rosso, Santrock (2007: 182) menyatakan, masa kanak-kanak tengah dan akhir merupakan masa kesehatan yang prima. Namun demikian, setelah mencapai usia yang prima perhatian terhadap kesehatan sebaiknya tidak luput dari perhatian, masalah gizi dan kesehatan penting untuk dijaga guna mendukung masa pertumbuhan dan perkembangan anak. Pertumbuhan dan perkembangan anak usia sekolah mencakup fisik maupun kognitif sangat dipengaruhi oleh status kesehatan dan gizi anak. Hal ini dijelaskan oleh Rosso (2010: 11) bahwa status kesehatan dan gizi adalah faktor penentu yang kuat akan kapasitas belajar dan seberapa baik seorang anak berfungsi di sekolah. Guna mencapai status kesehatan dan gizi yang baik, diantaranya hal yang dapat dilakukan ialah dengan membiasakan anak berperilaku sehat. Hal tersebut dijelaskan oleh Santrock (2007: 181) diantara pembentukan kebiasaan yang sehat sejak masa kana-kanak dapat dilaukan dengan cara seperti memakan makanan yang rendah kolestrol dan melakukan olahraga secara teratur. Lebih lanjut Rosso (2010: 10) menyatakan keterkaitan antara kesehatan anak dan gizi sekolah, hal tersebut disajikan pada tabel 2. 1 berikut:

(22)

Tabel 2. 1 Kesehatan dan Gizi Sekolah

Sehat untuk Belajar Belajar untuk Sehat

Bergizi baik Tingkah laku yang baik yang berhubungan dengan kesehatan, gizi, sanitasi, dll untuk mempertahankan kesehatan yang ada pada saat ini dan di masa depan.

Tidak lapar

Bebas dari penyakit

Lingkungan sekolah yang aman Tingkah laku yang baik untuk menghindari tingkah laku yang beresiko (rokok, HIV/AIDS, lainnya)

Tidak adanya gangguan

pancaindera yang tidak teratasi Dukungan untuk kebutuhan khusus

Berdasarkan tabel di atas diantara perilaku sehat untuk belajar adalah terpenuhinya kebutuhan makan anak. Asupan makanan merupakan bekal bagi anak untuk menyuplai energi agar dapat beraktivitas, tumbuh dan sebagai anti kekebalan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Brom (Santrock, 2007: 189) menyatakan apa yang dimakan anak mempengaruhi pertumbuhan kerangka tubuh, bentuk tubuh, dan kerentanan mereka terhadap penyakit. Berdasarkan hal tersebut maka perlu diperhatikan kebutuhan asupan makan anak agar tidak mengalami kelaparan.

(23)

Rosso (2010: 16) menyatkan bahayanya kelaparan jangka pendek telah dipelajari secara luas di negara maju dan berkembang dengan melihat efek dari tidak makan pagi terhadap kognisi dan kinerja. Mengurangi kelaparan jangka pendek di sekolah dapat menolong anak-anak untuk menjadi lebih memperhatikan pelajaran dan untuk meningkatkan kemampuan kognitif mereka. Memperbaiki kognisi anak dapat membantu meningkatkan hasil pendidikan lainnya termasuk prestasi sekolah (hasil tes) dan kemajuan sekolah (kemajuan secara teratur), kenaikan dari satu kelas ke kelas lainnya sampai penyelesaian pendidikan dasar.

B. Penelitian yang Relevan

Beberapa penelitian yang mengkaji tentang full day school telah dilaksanakan. Baik di dalam negeri maupun luar negeri pembahasan megenai topik tersebut beragam fokus pembahasannya. Namun secara keseluruhan adanya penelitian yang membahas full day school tersebut bertujuan guna menggali kelebihan dan kelemahan, efektivitas, hingga pengaruh program tersebut terhadap aspek yang lain seperti perkembangan bahasa, perkembangan siswa, kecakapan bahasa ataupun matematika dan sebagainya.

Demikian halnya akhir-akhir ini isu tentang wacana kebijakan penerapan full day school secara nasional berkembang meluas di Indonesia. Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini antara lain:

(24)

1. Penelitian oleh Junanah (2002) tentang “Persepsi Orangtua terhadap Penerapan Sistem Terpadu Sekolah Dasar Islam (SDIT) Luqman Al Hakim”. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui bagaimana persepsi orang tua terhadap SDIT Luqman Al Hakim dan penerapan sistem terpadi di SDIT Luqman Al Hakim. Penelitian ini menggunakan metode survey deskriptif. Pengambilan data dilakukan melalui angket tertutup, hasil dari analisis angket tersebut kemudian diinterpretasikan dan dipaparkan dalam bentuk kata-kata atau kualitatif. Penelitian tersebut terdiri dari 75 responden. Hasil penelitian tersebut memaparkan tentang 3 (tiga) poin pokok yang menjadi perhatian orang tua yaitu: (1) Persepsi positif maupun negatif terhadap sistem full day school; (2) Harapan orang tua terhadap terhadap sistem full day dipandang dari ketiga aspek yaitu secara akademik, psikologis dan sosiologis; (3) Penilaian Orang tua secara positif maupun negatif terhadap SDIT.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Koran “Sinar Indonesia” terdiri atas 400 orang responden. Hasil jajak pendapat tersebut memberikan hasil yaitu empat poin alasan penolakan terhadap program full day school diantaranya 88% responden menyatakan full day school dapat membebani anak secara fisik dan psikologis, 7% responden menilai full day school belum diperlukan, 3% responden menyatakan sarana dan prasarana antar-daerah tidak sama dan 2% responden sisanya memandang adanya perbedaan latar belakang ekonomi yang dapat menghambat pelaksanan program full day school diterapkan. (sumber: Puslitbang Sindo)

(25)

Kedua penelitian tersebut menjadi acuan bagi peneliti untuk mengadakan peneltian sejenis yaitu menggali persepsi partisipan terhadap suatu topik permasalahan. Penelitian oleh Junanah (2002) berupaya menggali persepsi orang tua terhadap implementasi SDIT Luqman Al Hakim yang di dalamnya menerapkan sistem full day school. Peneliti memandang belum banyaknya penelitian yang dilakukan untuk menggali persepsi guru mengenai kebijakan full day school.

Penelitian oleh Puslitbang Sindo menjadi acuan yang mendasar bagi peneliti untuk mengadakan investigasi lebih lanjut dan mendalam mengenai kebijakan full day school melalui penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian oleh Puslitbang Sindo belum berupaya menggali persepsi dari partisipan yang erat berkaitan dengan sasaran kebijakan full day school. Oleh karenanya peneliti memilih guru untuk dijadikan sebagai partisipan penelitian agar diperoleh data mengenai gambaran persepsi seputar kebijakan full day school kepada khalayak sehingga dapat diketahui terkait kesiapan dan faktor penghambat yang mungkin dihadapi ketika program tersebut dilaksanakan.

C. Kerangka Berpikir

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui persepsi guru terhadap kebijakan full day school terkait bagaiamana cara pandang, pikiran dan perasaan guru dalam menanggapinya. Kerangka berpikir tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:

(26)

Wacana kebijakan full day school telah disiarkan oleh pemerintah dan menjadi topik umum dalam dunia pendidikan. Kebijakan tersebut dirumuskan dan digagas agar dapat berlaku secara nasional di seluruh unit pendidikan dasar dan menengah. Peneliti mengadakan penelitian ini berdasar atas wacana yang beredar kemudian berupaya untuk mengumpulkan persepsi dari guru/ partisipan. Persepsi guru didasarkan atas banyaknya faktor pembentuk persepsi dari individu itu sendiri sehingga dapat dihasilkan pengetahuan seputar full day school. Selanjutnya kerangka pikir yang telah dipaparkan dapat disajikan pada gambar 2.1 berikut:

Gambar

Tabel 2. 1 Kesehatan dan Gizi Sekolah  Sehat untuk Belajar  Belajar untuk Sehat
Gambar 2. 1: Kerangka Berpikir Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Layanan Dial-Up merupakan jasa akses internet yang memanfaatkan jaringan telepon biasa dan modem dial up, pelanggan diharuskan berlangganan ke Internet Service Provider

Menurut Indra Lesmana Karim, upaya penanggulangan terhadap pengulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika oleh anak adalah melalui lingkungan yang terkecil

pelatihan pembuatan kerajinan tangan berupa kalung dari manik-manik untuk anak-anak dusun loputihc. Diana Rahayu

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Pengaruh Terapi Rendam

Di dalam penelitan (Hidayanti, 2008), Terdapat hubungan yang sangat signifikan antara kecerdasan emosional dan stres kerja terhadap kinerja karyawan, maka di kerangka

Pengaruh Kualitas Pelayanan Pajak, Pemahaman Peraturan Perpajakan Serta Sanksi Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Membayar Pajak Tahun

Berdasarkan hasil penelitian di atas yang menjadi faktor utama sehingga tidak ada pembagian harta waris di Desa Paduran Mulya adalah lemahnya Ilmu

Berdasarkan hasil analisis Location Quotient (LQ) dan Shift Share Esteban Marquillas (SSEM) wilayah tertinggal di Provinsi Jawa Timur diperoleh simpulan