BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD)2.1.1 Pengertian Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD)
Menurut kamus istilah program keluarga berencana, kehamilan tidak
diinginkan adalah kehamilan yang dialami oleh seorang perempuan yang
sebenarnya belum menginginkan atau sudah tidak menginginkan hamil (BKKBN,
2007). Sedangkan menurut PKBI, kehamilan tidak diinginkan merupakan suatu
kondisi dimana pasangan tidak menghendaki adanya proses kelahiran dari
kehamilan. Kehamilan juga merupakan akibat dari suatu perilaku seksual yang
bisa disengaja maupun tidak disengaja. Banyak kasus yang menunjukkan bahwa
tidak sedikit orang yang tidak bertanggungjawab atas kondisi ini. Kehamilan yang
tidak diinginkan ini dapat dialami, baik oleh pasangan sudah menikah maupun
belum menikah (PKBI, 1998).
Kehamilan tidak diinginkan juga didefinisikan sebagai kehamilan yang
terjadi pada saat tidak menginginkan anak sama sekali atau kehamilan yang
diinginkan tetapi tidak pada saat itu (mistmed pregnancy), sedangkan kehamilan
digambarkan sebagai kehamilan yang diinginkan jika kehamilan tersebut terjadi
pada waktu yang tepat atau setelah berkeinginan untuk hamil (santelli, 2003).
Menurut Barret (2002), seseorang mungkin menginginkan kehamilannya
tetapi tidak menginginkan saat ini atau bukan dengan pasangan yang sekarang,
diinginkannya suatu kehamilan biasanya hanya muncul pada saat kehamilan
tersebut terjadi, yang dikaitkan dengan perasaan tidak senang.
Barret membuat tiga definisi besar terhadap arti kehamilan tidak
diinginkan, yaitu :
1. Terkait dengan perasaan atau tindakan terhadap kehamilan. Artinya
kehamilan tidak diinginkan didefinisikan sebagai kehamilan yang berakhir
dengan tindakan aborsi, tidak menginginkan adanya anak atau bayi, tidak
bahagia dengan kehamilan, serta adanya terhadap perasaan menginginkan
atau tidak menginginkan kehamilan.
2. Terkait dengan respon emosional. Artinya, kehamilan tidak diinginkan
berkaitan dengan istilah paksaan dan ayak yatim piatu.
3. Terkait dengan masalah konsepsi. Kehamilan tidak diinginkan akibat tidak
menggunakan alat kontrasepsi ketika melakukan hubungan seksual, tidak
merencanakan kehamilan tanpa memerdulikan konsekuensinya, dan
kehamilan tidak diinginkan sama dengan kehamilan yang tidak
direncanakan.
Sedangkan pengertian “diinginkan” menurut Barret sama dengan
direncanakan atau merupakan konsekuensi dari perencanaan. Terdapat empat
kriteria jika sebuah kehamilan diinginkan, yaitu:
1) Menyatakan bahwa mereka memiliki tujuan yang jelas untuk hamil.
2) Tidak menggunakan kontrasepsi agar menjadi hamil.
4) Melakukan persiapan gaya hidup dan persiapan waktu yang tepat, seperti
untuk menikah dan atau mendapat pekerjaan.
Kehamilan tidak diinginkan (unwanted pregnancy) merupakan terminologi
yang biasa dipakai untuk memberi istilah adanya kehamilan yang tidak
dikehendaki oleh wanita bersangkutan maupun lingkungannya. Pengertian
kehamilan tidak diinginkan (KTD) adalah suatu kehamilan yang terjadi
dikarenakan suatu sebab sehingga keberadaannya tidak diinginkan oleh salah satu
atau kedua calon orangtua bayi tersebut (Kusmiran, 2011).
Pada umumnya, persepsi masyarakat mengenai kehamilan tidak diinginkan
seringkali hanya terjadi pada pasangan akibat hubungan seksual diluar nikah.
Namun faktanya, beberapa penelitian membuktikan bahwa sebagian besar
permintaan aborsi berasal dari pasangan yang telah menikah. Tingginya kasus
aborsi pada perempuan menikah memberikan pemikiran mengenai rendahnya
pemakaian kontrasepsi dan rendahnya kualitas pelayanan kontrasepsi. Kehamilan
tidak diinginkan dapat terjadi pada pasangan usia subur yang tidak ingin hamil
tetapi tidak memakai kontrasepsi (unmet need) dan pada mereka yang
menggunakan kontrasepsi tetapi mengalami kegagalan, baik karena metode
kontrasepsi maupun karena akseptor yang tidak menggunakan metode kontrasepsi
konsisten atau tepat (Susilo, 2002). Pada akhirnya istilah kehamilan yang tidak
diinginkan merupakan kehamilan yang tidak menginginkan anak sama sekali atau
kehamilan yang diinginkan tetapi tidak pada saat itu.
Kehamilan tidak diinginkan berhubungan dengan meningkatnya risiko
berhubungan dengan efek yang buruk. Sebagai contoh, wanita yang pada
kehamilan tidak diinginkan mungkin menunda ke pelayanan prenatal yang pada
akhirnya akan mempengaruhi kesehatan bayinya (mudzdalifah, 2008).
Kehamilan yang tidak diinginkan menimbulkan banyak kecemasan pada
wanita. Meskipun keputusan melakukan aborsi tampak tepat bagi mereka, adanya
penyesalan yang tidak dapat dielakkan. Wanita dapat mengalami berbagai tahap
berduka karena keputusan mereka, menyangkal, marah, depresi dan menerima
(Suzanne, 2012).
2.1.2 Alasan Kehamilan Menjadi Tidak Diinginkan
Beberapa penelitian pernah dilakukan terhadap kejadian kehamilan tidak
diinginkan dari 41% kehamilan yang terjadi merupakan kehamilan yang tidak
diinginkan. Kejadian kehamilan yang tidak diinginkan meningkat sejalan dengan
bertambahnya umur, memiliki pengetahuan yang kurang mengenai KB, buta
huruf, menikah pertama kali pada umur kurang dari 16 tahun, tidak bekerja dan
hidup di pedesaan.
Santelli et al (2003) yang melakukan penelitian di Amerika Serikat tahun
1994 menemukan bahwa 49% wanita yang mengalami kehamilan tidak
diinginkan berakhir dengan tindakan aborsi. Kejadian kehamilan tidak diinginkan
sebagian besar terjadi pada kelompok wanita dengan umur kurang dari 20 tahun
dan lebih dari 40 tahun, tidak menikah, hidup pada garis kemiskinan, dan pada
kulit hitam.
Shaheen et al (2007) di Mesir dalam Syafitri (2012), mengatakan
memiliki riwayat abortus sebelumnya, pernah atau sedang menggunakan alat
kontrasepsi, memiliki pengetahuan kurang mengenai siklus ovulasi dan berumur
kurang dari 18 tahun atau lebih dari 25 tahun pada saat pertama kali hamil.
Abbasi-Shavazi, et al (2004) yang melakukan penelitian kehamilan tidak
diinginkan di Iran menyatakan bahwa terdapat 35% kehamilan tidak diinginkan.
Angka kehamilan tidak diinginkan ini lebih tinggi pada wanita yang umurnya
lebih tua, jumlah kelahiran tinggi, berpendidikan rendah, dan bertempat tinggal di
Desa. Berdasarkan penelitian sebelumnya didapatkan bahwa pendidikan,
pekerjaan, pengetahuan tentang metode kontrasepsi, pengetahahuan tentang
fertilitas, dan penggunaan kontrasepsi ditemukan sebagai variabel yang memiliki
hubungan yang signifikan dengan kehamilan tidak diinginkan.
Di indonesia, syafitri (2012) dari hasil penelitian berdasarkan SDKI 2007
mengatakan kehamilan tidak diinginkan paling banyak terjadi pada kelompok
wanita yang memiliki anak lebih dari 3 orang, berusia dari 35 tahun, berada pada
kelompok sosial ekonomi menengah ke bawah, memiliki pengetahuan yang baik
mengenai alat kontrasepsi, memiliki akses ke pelayanan kesehatan dan menikah
pertama kali pada usia kurang dari 20 tahun.
Alasan kehamilan menjadi tidak diinginkan pada pasangan menikah
diantaranya :
2.1.2.1 Usia Ibu Hamil a. Pengertian
Istilah usia diartikan dengan lamanya keberadaan seseorang diukur dalam
lama waktu hidup atau ada (sejak dilahirkan atau diadakan) (Hoetomo, 2005).
Sedangkan usia ibu hamil adalah usia ibu yang diperoleh melalui wawancara.
Penyebab kematian maternal dari faktor reproduksi diantaranya adalah
maternal age / usia ibu. Dalam kurun reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman
untuk kehamilan dan persalinan adalah 20-30 tahun. Kematian maternal pada
wnita hamil dan melahirkan pada usia di bawah 20 tahun ternyata 2, sampai 5 kali
lebih tinggi dari kematian maternal yang terjadi pada usia 20 sampai 29 tahun.
Kematian maternal meningkat kembali sesudia sampai 35 tahun (Sarwono, 2008).
b. Usia Ibu yang Berisiko Hamil
Usia seorang wanita pada sat hamil sebaiknya tidak terlalu muda dan tidak
terlalu tua. Umur yang kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, berisiko
tinggi melahirkan. Kesiapan seorang perempuan untuk hamil harus siap fisik,
emosi, psikologi, sosial dan ekonomi. Umur yang berisiko untuk hamil di bedakan
menjadi 2 yaitu:
1) Umur kurang dari 20 tahun
Remaja adalah individu antara umur 15-19 tahun. Penyebab utama
kematian pada perempuan berumur 15-19 tahun adalah komplikasi kehamilan,
persalinan, dan komplikasi keguguran. Kehamilan dini mungkin akan
menyebabkan para remaja muda yang sudah menikah merupakan keharusan sosial
(karena mereka diharapkan untuk membuktikan kesuburan mereka), tetapi remaja
tetap menghadapi risiko-risiko kesehatan sehubungan dengan kehamilan dini
Kehamilan yang terjadi pada sebelum remaja berkembang secara penuh,
jika dapat memberikan risiko bermakna pada bayi termasuk cedera pada saat
persalinan, berat badan lahir rendah, dan kemungkunan bertahan hidup yang lebih
rendah untuk bayi tersebut.
Wanita hamil kurang dari 20 tahun dapat merugikan kesehatan ibu maupun
pertumbuhan dan perkembangan janin. Karena belum matangnya alat reproduksi
untuk hamil. Penyulit pada kehamilan remaja lebih tinggi dibandingkan kurun
waktu reproduksi sehat antara 20-30 tahun. Keadaan tersebut akan makin
menyulitkan bila ditambah dengan tekanan (stress) psikolog, sosial, ekonomi,
sehingga memudahkan terjadinya keguguan.
Menurut BKKBN tahun 2014 tedapat kerugian bagi wanita yang menikah
atau hamil pada usia yang sangat muda (di bawah 20 tahun) diantaranya adalah: Ibu muda pada waktunya hamil kurang memperhatikan kehamilannya
termasuk kontrol kehamilan. Ini berdampak pada meningkatnya
berbagai risiko kehamilan.
Ibu muda pada waktu hamil sering mengalami ketidakteraturan tekanan darah yang dapat berdampak pada keracunan kehamilan serta
kejang yang berakibat pada kematian.
Penelitian juga memperlihatkan bahwa kehamilan di usia muda (dibawah 20 tahun) seringkali berkaitan dengan munculnya kanker
rahim. Ini erat kaitannya dengan belum sempurnanya perkembangan
Sedangkan Manuaba (2007), menambahkan bahwa kehamilan remaja
dengan usia dibawah 20 tahun mempunyai risiko :
a. Sering mengalami anemia
b. Gangguan tumbuh kembang janin
c. Keguguran, prematuritas, atau BBLLR
d. Gangguan persalinan
e. Preeklamsi
f. Pendarahan antrepartum
Hal diatas sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Kecamatan
Mapanget Kota Manado Sulawesi Utara pada rentang tahun 2011-2013
didapatkan sebanyak 117 remaja melakukan pernikahan dini yaitu pernikahan di
usia rentang <20 tahun. Selain itu pada survei awal penelitian tersebut diambil 20
responden didapatkan data bahwa 11 orang telah mengalami kehamilan dan
persalinan pada usia yang muda, sebanyak tiga orang diantaranya pernah
mengalami keguguran, dan sebanyak empat orang melahirkan bayi dengan berat
badan lahir <2500 g. Kelompok berat badan lahir yang paling banyak ditemukan
pada persalinan <20 tahun yaitu pada kelompok berat 2500-3000 yaitu sebanyak
449 (41,80%). kematian perinatal pada persalinan dengan usia <20 tahun selama
periode 1 Januari 2013 – 31 Desember 2014 yaitu sebanyak 7,44%.
Hasil penelitian lain yang dilakukan Karlin di RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado Periode 1 Januari 2013 – 31 Desember 2014 Kematian perinatal
pada persalinan dengan usia <20 tahun selama periode 1 Januari 2013–31
Proses kehamilan dan kelahiran pada usia remaja turut berkontribusi dalam
meningkatkan angka kematian perinatal di Indonesia. Dalam penelitian ini juga
didapatkan beberapa komplikasi kehamilan yaitu: presentasi sungsang sebanyak
59 kasus (5,54%), ketuban pecah dini 53 kasus (4,97%), preeklamsi-eklamsi 28
kasus (2,63%), oligohidramnion 17 kasus (1,59%), dan anemia sebanyak 11 kasus
(1,03%). Beberapa penelitian menunjukan bahwa komplikasi kehamilan seperti
preeklamsi, abortus, partus lama lebih sering terjadi pada usia dini. Komplikasi
persalinan yang didapatkan pada penelitian ini yaitu pendarahan post partum
sebanyak 8 kasus (0,75%) dan inersia uteri sebanyak 4 kasus (0,38%).
2) Usia Lebih 35 Tahun
Menurut Sarwono, 2008 Usia ibu lebih dari 35 tahun risiko keguguran
spontan. Dengan bertambahnya usia terutama setelah usia 30 tahun, baik
kromosom janin itu normal atau tidak, wanita dengan usia lebih tua lebih besar
kemungkinan keguguran baik janinnya normal ataupun abnormal.
Semakin lanjut usia wanita, semakin tipis cadangan telur yang ada, indung
telur juga semakin kurang peka terhadap angsangan gonadotrpin. Makin lanjut
usia wanita, maka risiko terjadi abortus makin meningkat karena menurunnya
kualitas sel telur atau ovum dan meningkatnya risiko kejadian kelainan
kromosom.
Sebahagian besar wanita yang berusia diatas 35 tahun mengalami
kehamilan yang sehat dan dapat melahirkan bayi yang sehat pula. Tetapi beberapa
penelitian menyatakan semakin matang usia ibu di hadapkan dengan
tenaga ahli kesehatan sekarang membantu para wanita yang berusia 30-40 tahun
untuk menuju kehamilan yang lebih aman. Risiko terhadap bayi yang lahir pada
ibu yang berusia diatas 35 tahun meningkat, yaitu bisa berupa kelainan kromosom
pada anak. Kelainan yang paling banyak muncul berupa kelainan down syndrome,
yaitu sebuah kelainan kombinasi dari retardasi mental dan abnormalitas bentuk
fisik yang di sebabkan oleh kelainan kromosom. Risiko lain terjadi keguguran
pada ibu hamil berusia 35 tahun atau lebih. Kemungkinan terjadi pada wanita
diusia 35 tahun keatas lebih banyak di bandingkan pada wanita muda. Ditemukan
9% pada kehamilan wanita usia 20-24 tahun. Namun risiko meningkat menjadi
20% pada usia 35 – 39 tahun dan 50% pada wanita usia 42 tahun. Peningkatan
insiden pada kasus abnormalitas kromosom bisa sama kemungkinannnya seperti
risiko keguguran.
Penelitian yang dilakukan di RSU Prof. Dr. R. D. Kandou Manado tahun
2012, didapatkan hasil yang serupa dimana persalinan pada usia ≥ 35 tahun paling
banyak menggunakan jenis persalinan dengan cara spontan, yaitu sebanyak 205
kasus (59,2%) sedangkan jenis persalinan dengan tindakan sebanyak 141 kasus
(40,8%). Berat badan lahir yang paling banyak ditemukan pada persalinan dengan usia ≥ 35 tahun adalah pada bayi dengan kelompok berat 2500 - <4000 gram yaitu
sebanyak 704 kasus (81,39%) sedangkan yang paling sedikit didapatkan pada bayi dengan kelompok berat ≥ 4000 gram 53 kasus (6,13%). Namun, jumlah kasus
berat badan lahir rendah (< 2500 gram) pada penelitian ini juga banyak, yaitu 108
2.1.2.2 Jumlah Anak
Pada dasarnya keinginan seorang wanita untuk mempunyai anak lagi atau
tidak, dilatarbelakangi oleh jumlah anak yang telah mereka punya. Namun,
dirasakan belum mencukupi keinginan untuk memperoleh anak dalam suatu
kelamin tertentu karena junis kelamin tersebut memiliki nilai lebih tinggi
dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya, sesuai dengan adat istiadat dan latar
belakang dari daerah tersebut. Pada kalangan masyarakat tertentu, ditanamkan
budaya keyakinan bahwa memiliki anak laki-laki lebih baik daripada anak
perempuan. Oleh karena itu, mereka akan terus bereproduksi hingga diperoleh
seorang anak laki-laki dalam keluarganya, tanpa mempertimbangkan jumlah anak
yang sudah ada.
Hal ini diukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Paydarfar dan
Malekkafzall (1998) mengenai kebudayaan Iran yang menunjukkan keinginan
memiliki anak dan jelnis kelamin tertentu berhubungan dengan kejadian
kehamilan tidak diinginkan, dan hal ini dipertimbangkan sebagai faktor penyebab
tingginya jumlah kelahiran.
Banyaknya jumlah anak yang dilahirkan seorang perempuan selama
hidupnya sangat mempengaruhi kesehatannya. Pada kelahiran pertama terdapat
bahaya komplikasi yang agak tinggi bilsa dibandingkan pada kelahiran kedua atau
ketiga. Kelahiran kedua atau ketiga umumnya lebih aman, namun pada kelahiran
2.1.2.3 Jarak Kehamilan
Penentuan jarak memiliki anak sama halnya dengan penentuan jarak
kehamilan yang didefinisikan sebagai upaya untuk menetapkan atau memberi
batasan sela antara kehamilan yang lalu dengan kehamilan yang akan
datang.Penentuan jarak kehamilan merupakan salah satu cara untuk menentukan
berapa jarak yang akan direncanakan diantara kehamilan satu dengan yang lain.
Pengaturan jarak kehamilan merupakan salah satu usaha agar pasangan dapat
lebih menerima dan siap untuk memiliki anak. Perencanaan pasangan kapan untuk
memiliki anak kembali, menjadi hal penting untuk dikomunikasikan (Masyhuri,
2007).
Keinginan keluarga memiliki anak sangat erat kaitannya dengan
pandangan masing-masing keluarga tentang nilai anak (value of children).
Semakin tinggi tanggung jawab keluarga terhadap nilai anak maka semakin tinggi
pula dorongan keluarga untuk merencanakan jumlah anak ideal (BKKBN, 2007).
Sejumlah sumber mengatakan bahwa jarak ideal kehamilan
sekurang-kurangnya 2 tahun. Menurut Rofiq (2008) dalam widianti, proporsi kematian
terbanyak terjadi pada ibu dengan prioritas 1-3 anak dan jika dilihat menurut jarak
kehamilan ternyata jarak kurang dari 2 tahun menunjukkan proporsi kematian
maternal lebih banyak. Jarak kehamilan yang terlalu dekat menyebabkan ibu
mempunyai waktu singkat untuk memulihkan kondisi rahimbnya agar bisa
kembali ke kondisi sebelumnya. Pada ibu dengan jarak yang terlalu dekat berisiko
terjadi anemia dalam kehamilan. Karena cadangan zat besi ibu hamil belum pulih.
Di dalam sebuah studi yang dilakukan tahun 2006 ditemukan bahwa jarak
kehamilan yang masih kurang dari 18 bulan erat kaitannya dengan berat badan
bayi yang rendah, persalinan yang masih kurang bulan dan juga ukuran bayi tidak
sesuai dengan usia kehamilannya. Bukan hanya itu, seorang ibu yang hamil lagi
dalam waktu kurun dari enam bulan setelah kelahiran sebelumnya mempunyai
risiko 40% melahirkan bayi prematur dan 61% risiko melahirkan dengan berat
badan lahir yang rendah, apabila dibandingkan dengan seorang wanita yang hamil
dengan jarak 18 bulan kemudian. Risiko lainnya dari kehamilan yang jaraknya
terlalu dekat adalah ibu akan mengalami anemia pada masa kehamilan berikutnya.
Kehamilan kedua dengan jarak yang terlalu dekat akan menyulitkan
seorang ibu dalam proses pemberian ASI kepada bayinya. Bukan hanya gagal
dalam pemberian ASI tetapi juga kedekatan antara ibu dan bayi juga semakin
renggang padahal di usianya yang masih membutuhkan kasih sayang ibu.
Bukan hanya jarak kehamilan yang terlalu dekat yang menjadi masalah,
tetapi kehamilan dengan jarak yang terlalu jauh juga menjadi masalah.
Berdasarkan penelitian selanjutnya oleh siti 2013 di RSU PKU Muhammadiyah
Yogyakarta bahwa jarak kehamilan merupakan salah satu pencetus terjadinya
kejadian abortus yaitu termasuk kedalam kategori jarak kehamilan jauh (>4 tahun)
sebanyak 23 orang (57,5%) dan minoritas ibu yang mengalami abortus spontan
termasuk dalam kategori jarak kehamilan sedang 1 orang (2,5%). Karakteristik
responden dengan jarak jauh dengan usia 31-35 tahun sebanyak 12 orang (30%).
Hal ini terjadi karena pada jarak kehamilan jauh mulai menuju penurunan organ
Sedangkan menurut Mohammad, 1998 yang menyatakan banyak alasan
bagi seorang perempuan untuk tidak menginginkan kehadiran seorang anak
tertentu dalam hidupnya. Ada beberapa alasan yang membuat kehamilan itu
menjadi tidak diinginkan, yaitu:
1) Kehamilan yang terjadi akibat perkosaan.
2) Kehamilan yang datang pada saat yang belum diharapkan.
3) Bayi dalam kandungan ternyata menderita cacat majemuk yang berat.
4) Kehamilan yang terjadi akibat hubungan seksual diluar nikah.
Menurut Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) (1998) yang
dikup oleh muzdalifah, banyak alasan yang dikemukakan mengapa kehamilan
tidak diinginkan sebagai berikut;
1) Penundaan dan peningkatan jarak usia perkawinan, dan semakin dininya usia
menstruasi pertama (menarche). Usia menstruasi yang semakin dini kawin
yang semakin tinggi menyebabkan “masa-masa rawan” semakin panjang. Hal
ini terbukti dengan banyaknya kasus hamil diluar nikah.
2) Ketidaktahuan atau minimnya pengetahuan tentang perilaku seksual yang
dapat mengakibatkan kehamilan.
3) Kehamilan yang diakibatkan oleh pemerkosaan.
4) Kondisi kesehatan ibu yang tidak mengizinkan kehamilan.
5) Persoalan ekonomi (biaya untuk melahirkan dan membesarkan anak).
6) Alasan karir atau masih sekolah (karena kehamilan dan konsekuensi lainnya
yang dianggap dapat menghambat karir atau kegiatan belajar).
8) Kondisi janin yang dianggap cacat berat atau berjenis kelamin yang tidak
diharapkan.
2.1.3 Penyebab Kehamilan Tidak Diinginkan
Kehamilan tidak diinginkan bisa terjadi karena ada yang mendasari
penyebabnya. Menurut Kusmiran (2011), terdapat faktor yang menyebabkan
terjadinya kehamilan tidak diinginkan diantaranya adalah:
2.1.3.1 Kegagalan Kontrasepsi
Penggunaan kontrasepsi dengan kejadian kehamilan tidak diinginkan
mempunyai kaitan yang cukup signifikan di Indonesia. Hal ini sejalan dengan
penelitian di India yang melaporkan bahwa ada pasangan yang menggunakan
kontrasepsi kemungkinan terjadinya kehamilan tidak diinginkan lebih tinggi
dibandingkan pada pasangan yang tidak menggunakan kontrasepsi. Kegagalan
kontrasepsi adalah kasus terjadinya kehamilan pada akseptor aktif yang pada saat
tersebut menggunakan metode kontrasepsi. Kegagalan kontrasepsi itu sendiri atau
karena ketidak patuhan dan ketidaksempurnaan akseptor dalam memakai
kontrasepsi.
Menurut WHO, 1998 Kehamilan tidak diinginkan berpengaruh dari
kegagalan kontrasepsi, hasil penelitian menemukan bahwa sedikitnya 8 juta kasus
per tahunnya terjadi kegagalan metode kontrasepsi yang digunakan. Selanjutnya
menurut Pertiwi yang melakukan penelitian pada ibu hamil di Puskesmas Dinoyo
Malang pada pertengahan bulan Mei 2016 menyatakan dari 100% subyek
penelitian yang menggunakan Non MKJP, 76% diantaranya mengalami KTD.
mengalami KTD. Artinya dari tipe pemilihan alat kontrasepsi akan menunjukkan
tingkat kegagalannya disebabkan pengguna alat kontrasepsi tidak disiplin maupun
lupa jadwal penggunaan alat kontrasepsi. Misalnya Non MKJP yaitu pil yang
harus di minum setiap hari, karena sudah terlalu lelah beraktivitas ibu lupa untuk
meminumnya. Hal tersebut bukan hanya sekali terjadi tetapi berulang kali.
Dikarenakan tingginya angka kegagalan ini, maka perlu diketahui alasan
utama kegagalan kontrasepsi yang menjadi salah satu faktor risiko terjadinya
kehamilan tidak diinginkan. Berikut merupakan alasan mengenai kegagalan
kontrasepsi yang sering terjadi:
1. Tidak mengikuti petunjuk penggunaan kontrasepsi secara benar. Jika
menngunakan pil, konsumsi diwaktu yang sama setiap hari dan pastikan
mengikuti petunjuk yang ada. Jika menggunakan kondom, pastikan
menggunakan secara tepat dan kondom yang digunakan dalam kondisi
yang baik sebelum digunakan. Jika menggunakan diafragma atau cervical
cap, pastikan terpasang dengan baik. Sedangkan wanita yang
menggunakan IUD sebaiknya mengikuti petunjuk petugas kesehatan.
2. Penggunaan kontrasepsi yang tidak konsisten
Kontrasepsi harus digunakan secara teratur dan sesuai dengan petunjuk
untuk mencapai keefektivitasan yang maksimum. Jika menggunakan
kontrasepsi oral dan lupa meminum pil meskipun hanya satu kali, risiko
mengalami kehamilan akan meningkat. Metode penghalang kontrasepsi
seperti kondom, cervical cap, dan diafragma harus digunakan secara
menggunakannya secara tepat dan konsisten unrtuk mencegah kehamilan
yang efektif. Satu tindakan yang tidak terlindungi dalam berhubungan seks
dapat mengakibatkan terjadinya kehamilan.
3. Kondom bocor saat berhubungan seks
Diperkirakan 2-5% kondom yang bocor atau saat digunakan. Hal ini lebih
sering dikarenakan penyalahgunaan; selain itu robekan kecil dapat terjadi
karena kuku maupun perhiasan. Kondom yang dipakai kadaluwarsa, salah
penyimpanan, kerusakan selama atau setelah pembuatan secara
besar-besaran oleh pabrik.
4. Menggunakan antibiotik atau obat-obatan lain atau jamu bersamaan
dengan pil kontrasepsi. Antibiotik yang ditemukan memiliki sifat yang
berkebalikan dengan keefektivitasan Pil kombinasi kontrasepsi dengan
cara kerja menurunkan konsentrasi steroid hormone plasma. Wanita yang
menggunakan pil kombinasi kontrasepsi sebaiknya menggunakan metode
alternatif kontrasepsi selama beberapa bulan mereka menggunakan
antibiotik.
5. Mempercayai bahwa pada periode ketidaksuburan tidak bisa hamil atau
tidak merasa berisiko karena hanya melakukan hubungan seks satu kali
tanpa menggunakan jenis kontrasepsi apapun. Kehamilan normal terjadi
pada pertengahan siklus, bagaimanapun banyak wanita yang mengalami
2.1.3.2 Tidak Menggunakan Kontrasepsi
Di seluruh dunia, antara 120-150 juta perempuan yang menikah ingin
membatasi atau menjarangkan kehamilan tidak menggunakan kontrasepsi.
Meskipun metode KB tersedia, masih banyak para perempuan yang belum
menggunakannya. Hal ini dikarenakan kendala keuangan, kepercayaan/agama
tertentu, dilarang oleh anggota keluarga atau perhatian tentang efek buruk yang
dirasakan mengganggu kesehatan (WHO, 2011).
Kendala ekonomi merupakan kendala tersering menjadi alasan seseorang
tidak menggunakan KB. Tingkat ekonomi berpengaruh terhadap pencarian
pelayanan kesehatan, dimana keluarga dengan tingkat ekonomi kurang memiliki
keterbatasan dalam pemilihan alat kontrasepsi, karena penghasilan yang didapat
keluarga hanya cukup untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari hari.
Hasil penelitian di wilayah Puskesmas Sekampung Lampung Timur 2012
didapatkan bahwa dari 210 responden yang memiliki penghasilan < Rp. 980.000,-,
48 responden (22,9%) menggunakan alat kontrasepsi. Sedangkan dari 165 responden yang memiliki penghasilan ≥ Rp. 980.000,-, 121 responden (73,3%)
menggunakan alat kontrasepsi.
BKKBN (1998), menyatakan bahwa dari beberapa penelitian dan indepth
interview dapat disimpulkan penyebab utama yang berekembang mengapa
sebagian besar wanita yang umumnya berkeinginan menghindari kehamilan,
namun mereka tidak menggunakan kontrasepsi. Hal itu ditandai dengan
1. Kesenjangan terhadap akses dan kualitas keluarga berencana berupa
penyediaan kontrasepsi dan fasilitas pelayanan yang memadai
2. Alasan kesehatan, alasan kecemasan karena takut efek samping yang
dilibatkan karena pengaruh kontrasepsi.
3. Kesenjangan informasi / KIE (komuniasi, Informasi dan Edukasi)
4. Oposisi dari suami, keluarga, dan masyarakat.
5. Kurang peduli terhadap risiko kehamilan
Penelitian Andria (2013) Di Dusun II Desa Tanjung Anom Kecamatan
Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang. Berdasarkan karakteristik responden
sebagian besar responden yang tidak menggunakan alat kontrasepsi yakni 12
orang (48%) pada rentang usia 26-30 tahun, berdasarkan pekerjaan sebagian besar
responden 15 orang (60%) bekerja, berdasarkan agama 21 orang (84%) beragama
Islam dan berdasarkan paritas sebagian besar responden 16 orang (64%)
melahirkan 3 kali, sampel pada penelitian saya adalah responden yang seharusnya
menggunakan alat kontrasepsi yaitu responden dengan paritas >2. Berdasarkan
pengetahuan responden bahwa mayoritas responden tidak menggunakan alat
kontrasepsi berada dalam klasifikasi pengetahuan cukup yaitu 17 responden
(68%) dan minoritas responden tidak menggunakan alat kontrasepsi berada dalam
klasifikasi kurang sebanyak 1 responden (4%). Berdasarkan efek samping bahwa
dari 25 orang yang tidak menggunakan alat kontrasepsi ternyata ada 20 orang
(80%) yang menyatakan bahwa ada efek samping sebagai akibat berKB.
Berdasarkan pendapatan keluarga bahwa tanggapan responden dari segi
tidak menggunakan alat kontrasepsi, walaupun pemerintah sudah menggalakkan
KB secara gratis, tetapi di Dusun II kebanyakan masyarakatnya melakukan KB di
tempat bidan praktek swasta. Berdasarkan agama bahwa dari 25 responden yang
diteliti yakni 21 responden beragama islam dan 4 responden beragama kristen,
ternyata mayoritas 20 responden (80%) dari segi agamanya mendukung untuk
menggunakan alat kontrasepsi, tetapi yang menjadi responden tidak menggunakan
alat kontrasepsi.
Muzdalifah, 2008 juga menyebutkan bahwa sekitar 85% pasangan aktif
seksual yang tidak menggunakan kontrasepsi dalam 3 bulan terakhir mengalami
kejadian kehamilan tidak diinginkan. Meskipun metode KB sudah tersedia,
namun masih ada para ibu yang tetap tidak ingin menggunakan metode
kontrasepsi untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan. Hal ini
dikarenakan kurangnya akses informasi dan pelayanan KB, incest atau perkosaan,
kepercayaan akibat hubungan seks yang tidak aman, alasan ekonomi, dilarang
anggota keluarga, takut akan efek samping yang dirasakan terhadap kesehatan,
dan terbatasnya kemampuan perempuan untuk mengambil keputusan dengan
melihat dari hubungan seksual dan kontrasepsi yang digunakan. Begitu pula
dengan metode kontrasepsi, meskipun terdapat metode yang paling efektif,
kemungkinan gagal selalu ada karena berbagai alasan yang berhubungan dengan
teknologi dan cara menggunakannnya (BKKBN, 2007).
2.1.4 Akibat yang Ditimbulkan oleh Kehamilan Tidak Diinginkan
Berbagai akibat yang mungkin dapat ditimbulkan oleh kehamilan yang tidak
a. Kehamilan yang tidak diinginkan dapat mengakibatkan lahirnya seorang anak
yang tidak diinginkan (unwanted child). Masa depan anak yang tidak
diinginkan ini sering tidak mendapat kasih sayang dan pengasuhan yang
semestinya dari orang tuanya membuatanak lebih rewel dari biasanya.
b. Terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan dapat memicu terjadinya
pengguguran kandungan (aborsi) karena sebagian besar perempuan
mengalami kehamilan yang tidak diinginkan mengambil keputusan atau jalan
keluar dengan mengalami aborsi, terlebih lagi aborsi yang tidak aman.
Hal yang sama juga disebutkan oleh Kost (2008), wanita dengan
kehamilan tidak diinginkan memiliki kecenderungan untuk tidak mengenali
tanda-tanda awal kehamilan dibandingkan wanita dengan kehamilan yang diinginkan,
yang menyebabkan mereka tidak melakukan pemeriksaan sejak awal kehamilan.
Masalah kunjungan pemeriksaan kehamilan yang dilakukan secara rutin
bermanfaat untuk mendeteksi dan menangani secara dini beberapa masalah/
penyakit yang dapat mempengaruhi kehamilan, pertumbuhan janin dan bahkan
dapat menimbulkan komplikasi kehamilan dan persalinan yang kelak dapat
mengancam kehidupan ibu dan bayi serta mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan bayi yang dilahirkan maka program 1000 hari kelahiran tidak akan
berjalan.
Program 1000 hari pertama kehidupan (HPK) adalah upaya untuk
memastikan bahwa janin sejak dari paska konsepsi sampai usia dua tahun
mendapatkan asupan yang baik dengan gizi yang adequate agar mencetak sumber
yang baik karena pada periode trimester pertama merupakan periode proses
pembentukan otak sehingga kebutuhan nutrisi yang terpenuhi dengan baik akan
mendukung perkembangan otak janin yang baik. Demikian pula pada saat janin
telah lahir memerlukan ASI Eksklusif sebagai nutrisi terbaik untuk bayi selama 6
bulan dan menjadi nutrisi yang tetap baik sampai usia dua tahun. Pada kondisi ibu
dengan status kehamilan yang tidak diinginkan berdasarkan uraian berbagai hasil
penelitian di atas secara psikologi ibu cenderung kurang memperhatikan
kehamilannya.
Akibat yang ditimbulkan dari kehamilan tidak diinginkan juga terlihat
pada psikologis ibu yang mengandung yaitu perasaan malu karena hamil pada saat
yang tidak tepat sehingga ingin untuk menggugurkannya, perasaan tertekan
karena selalu melahirkan anak, ini juga dikarenakan suamti atau keluarga yang
tidak menginginkan seorang anak maka seorang ibu akan tertekan dan berpikir
apakah kehamilan ini di beri tahu keluarga atau menyembunyikan atau juga
menggugurkannya saja. Tidak sedikit juga para pasangan yang mengalami
kejadian kehamilan tidak diinginkan akan mengalami kecemasan dan depresi
yang berkelebihan sebab mereka tak tahu harus melakukan apa untuk bayi yang
ada didalam kandungannya. Motivasi untuk mengonsumsi nutrisi yang baik pun
terganggu. Perhatian yang kurang terhadap kehamilan dan janin dimanifestasikan
sebagai keengganan kontrol secara teratur. Dampak faktor psikologi juga
berdampak pada pasca persalinan yaitu keengganan merawat dan memberikan air
susu kepada bayinya. Produksi air susu juga menurun. Kesemuanya akan
Menurut BKKBN (2007), Kehamilan tidak diinginkan (KTD) dengan 4
terlalu akan meningkatkan resiko terjadinya komplikasi dan kematian pada ibu
hamil, disamping dapat menyebabkan terjadinya aborsi tidak aman, berkontribusi
dalam meningkatkan jumlah penduduk. Kehamilan tidak diinginkan dapat
berakibat buruk terhadap kesehatan, kehidupan sosial dan psikologis ibu dan bayi,
sehingga menghasilkan janin maupun bayi yang berisiko tinggi, misalnya
mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan.
2.2 Kerangka Berpikir
Semua pasangan menikah akan berpeluang merasakan kejadian
kehamilan tidak diinginkan. Kehamilan itu menjadi tidak diinginkan karena ada
faktor yang mendasarinya. Setiap pasangan mempunyai faktor penyebab yang
berbeda – beda. Misalnya kegagalan KB dikarenakan pengetahuan tentang KB
yang kurang dan dilatar belakangi pendidikan yang rendah, serta discontinue
penggunaan alat kontrasepsi 3 bulan padahal aktif melakukan hubungan seksual
dikarenakan ketidakmampuan pasangan untuk membayar pemasangan alat
kontrasepsi di pelayanan terdekat, tempat pelayanan yang memfasilitasi pelayanan
KB gratis mempunyai jarak yang cukup jauh. Setelah kehamilan terjadi ada rasa
tidak menginginkan, karena alasan usia yang tidak pas untuk hamil, jumlah anak
yang sudah banyak, jarak anak yang terlalu dekat, Dari ketidak inginan pasangan
tersebut maka akan memberikan dampak terhadap kesehatan ibu maupun bayinya
seperti paparan di atas. Untuk mengetahui jelasnya dapat dilihat pada kerangka
Gambar 2.1 Kerangka Pikir
Sistematika kerangka berpikir di atas menjelaskan bahwa kehamilan tidak
diinginkan terjadi pada pasangan menikah di Desa Pekan Tanjung Beringin
disebabkan oleh faktor-faktor yang melatar belakangi masalah tersebut. Penelitian
ini akan dilakukan untuk menganalisis tentang masalah kehamilan tidak
diinginkan yang menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan reproduksi ibu dan
anak. PASANGAN MENIKAH Kehamilan Tidak Diinginkan Dampak Kehamilan Tidak Diinginkan Penyebab