• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN STATUS GIZI ANAK USIA 6-24 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BANGUNTAPAN III, BANTUL, YOGYAKARTA TAHUN 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN STATUS GIZI ANAK USIA 6-24 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BANGUNTAPAN III, BANTUL, YOGYAKARTA TAHUN 2013"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN STATUS GIZI

ANAK USIA 6-24 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS

BANGUNTAPAN III, BANTUL, YOGYAKARTA TAHUN 2013

Nonik Ayu Wantini

1 INTISARI

Prevalensi status gizi kurang balita sebesar 17,31% di Puskesmas Banguntapan III. Tujuan dari penelitian ini diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi anak usia 6-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Banguntapan III. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah semua anak usia 6-24 bulan beserta ibunya dengan jumlah 503. Sampel penelitian ini sejumlah 153, dipilih dengan simple random sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner dan pengukuran antropometri. Analisis data yang dilakukan meliputi analisis univariat, bivariat dengan uji chi-square, dan analisis multivariat dengan regresi logistik multinomial. Hasil penelitian didapatkan status gizi kurang adalah 9,2%, kependekan sebesar 30%, dan kurus sebesar 11,7%. Sedangkan berdasarkan kombinasi 3 indeks diketahui gizi kurang 32,7%, gemuk 9,8%. Hasil analisis bivariat menunjukkan ada 3 variabel yang berhubungan dengan status gizi anak usia 6-24 bulan yaitu kejadian diare (p-value=0,000), kejadian ISPA (p-value=0,001), dan berat badan lahir (p-value=0,015). Adapun variabel yang lain tidak menunjukkan adanya hubungan dengan status gizi anak (p-value>0,05). Hasil analisis multivariat, secara statistik didapatkan dua variabel yang berhubungan dengan status gizi kurang yaitu variabel kejadian diare dan kejadian ISPA. Variabel yang paling berhubungan adalah kejadian diare dengan nilai p=0,000 dan odd rasio (OR) sebesar 7,865 yang artinya anak usia 6-24 bulan yang mengalami diare 7,865 kali lebih besar peluangnya mengalami status gizi kurang dibandingkan yang tidak mengalami diare. Saran yang dapat penulis ajukan bagi profesi bidan dan Puskesmas untuk lebih menekankan program upaya pencegahan diare dan ISPA, meningkatkan frekuensi penyuluhan di Posyandu tentang pentingnya kadarsi dan PHBS. Selain itu diharapkan segera memberikan PMT untuk kelompok rentan kurang gizi terutama balita kurus dan ibu hamil risiko KEK dengan LILA <23,5 cm (Targetted Suplementary Feeding).

Kata Kunci : Status gizi, anak usia 6-24 bulan, berat badan lahir, kejadian diare, kejadian ISPA ABSTRACT

Prevalence of underweight among under five children was 17.31% in Banguntapan III Community Health Center. The purpose of this study was identifying factors related to nutritional status of children aged 6-24 months in Banguntapan III. This was an analytic study with cross sectional approach. The population of this study was 503 children aged 6-24 months and their mothers. Sample was 153 respondents, taken by simple random sampling. Data was collected by interviews using structurer questionnaires, and anthropometric measurements. Data was analyzed using univariate, bivariate analysis of chi-square test, and multivariate analysis using multinomial logistic regression. Results showed respondents with underweight was 9.2%, stunting was 30%, and wasting was 11.7%. While based on a combination of three indices, underweight was 32.7% and overweight was 9.8%. Bivariate analysis showed there were 3 variables related to the nutritional status of children aged 6-24 months, diarrhea incidence (p-value = 0.000), acute respiratory infection incidence (p-value = 0.001), and birth weight (p-value = 0.015). Other variables showed no relationship with children nutritional status (p-value> 0,05). Multivariate analysis showed there were two variables that had relationship with malnutrition status, i.e. diarrhea and ARI. The incidence of diarrhea is the most associated with p = 0.000 and odds ratio (OR) of 7.865, which means children aged 6-24 months with diarrhea had 7.865 times greater to experience underweight than those without diarrhea. The findings of this study suggest that midwives and community health centers, emphasizes the prevention program of diarrhea and ARI, increase the frequency of counseling about the importance of Nutrition Conscious Family and Hygienic and Healthy Behavior. Expected to provide Supplementary Feeding for malnutrition vulnerable groups especially underweight children under five and pregnant women at risk of chronic energy deficiency with Upper Arm Circumference <23.5 cm (Targetted Supplementary Feeding).

Keywords: nutritional status, children aged 6-24 months, birth weight, diarrhea incidence, acute respiratory infection incidence

(2)

PENDAHULUAN

Masalah gizi adalah hal yang sangat penting dan mendasar dari kehidupan manusia. Kekurangan gizi selain dapat menimbulkan masalah kesehatan, juga menurunkan kualitas sumber daya manusia (SDM) suatu bangsa. Dalam skala yang lebih luas, kekurangan gizi dapat menjadi ancaman bagi ketahanan dan kelangsungan hidup suatu bangsa. Saat ini Pemerintah bersama organisasi profesi dan organisasi masyarakat, sedang melakukan inisiatif baru dalam bentuk suatu gerakan yang difokuskan pada Percepatan Perbaikan Gizi pada 1000 Hari Pertama Kehidupan atau Scaling Up Nutrition (1).

Masalah kekurangan gizi 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) diawali dengan perlambatan atau retardasi pertumbuhan janin yang dikenal sebagai IUGR (Intra Uterine Growth Retardation). Apabila tidak ada perbaikan terjadinya IUGR dan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) akan terus berlangsung di generasi selanjutnya, sehingga terjadi masalah anak pendek intergenerasi (2).

Masalah gizi merupakan akibat dari berbagai faktor yang saling terkait. Faktor penyebab langsung pertama adalah konsumsi makanan yang tidak memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang memenuhi syarat gizi seimbang yaitu beragam, sesuai kebutuhan, bersih, dan aman, misalnya bayi tidak memperoleh ASI Eksklusif. Faktor penyebab langsung kedua adalah penyakit infeksi yang berkaitan dengan tingginya kejadian penyakit menular terutama diare dan infeksi saluran pernapasan akut atau dikenal ISPA (2).

Selain faktor diatas, terdapat penyebab tidak langsung masalah gizi antara lain ketahanan pangan di keluarga, pola asuh anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Faktor-faktor tersebut sangat terkait dengan tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan keluarga (3).

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2010, secara nasional prevalensi berat kurang pada tahun 2010 adalah 17,9% yang terdiri dari 4,9% gizi buruk dan 13,0% gizi kurang. Prevalensi kependekan secara nasional sebesar 35,6%. Prevalensi kependekan sebesar 35,6% terdiri dari 18,5% sangat pendek dan 17,1% pendek. Prevalensi sangat kurus secara nasional masih cukup tinggi yaitu 6,0% dan prevalensi kurus sebesar 7,3%. Prevalensi kegemukan secara nasional di Indonesia adalah 14,0%. Terjadi peningkatan prevalensi kegemukan yaitu dari 12,2% tahun 2007 menjadi 14,0% tahun 2010 (4).

Keadaan gizi masyarakat Provinsi DIY pada tahun 2011 adalah masih tingginya prevalensi balita KEP total yaitu sebesar 10,28%, walaupun sudah menurun dibandingkan tahun 2010 (11,31%). Prevalensi balita dengan status gizi buruk sebesar 0,68%, status gizi kurang sebesar 9,60%, dan balita dengan status gizi lebih sebesar 2,55%. Untuk persentase status gizi kurang di provinsi DIY berdasarkan peringkat tertinggi kerendah adalah Kabupaten Bantul (10,79%), Kulon Progo (10,58%), Gunung Kidul (10,40%), Sleman (8,27%), dan Kota Yogyakarta (8,14%) (5).

Gambaran status gizi balita di Kabupaten Bantul pada Tahun 2011 adalah masih adanya KEP total balita sebesar 11,31%. Kasus gizi buruk balita tertinggi terjadi di wilayah Kecamatan Banguntapan. Kecamatan Banguntapan memiliki 3 Puskesmas yaitu Puskesmas Banguntapan I, Puskesmas Banguntapan II, dan Puskesmas Banguntapan III. Prevalensi permasalahan status gizi balita untuk masing-masing Puskesmas adalah 16,94% untuk Puskesmas Banguntapan I, 14,72% untuk Puskesmas Banguntapan II, dan 17,31% untuk Puskesmas Banguntapan III (6).

(3)

Berdasarkan paparan diatas diketahui bahwa Puskesmas Banguntapan III memiliki permasalahan gizi tertinggi di wilayah Kecamatan Banguntapan. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas Banguntapan III pada tanggal 8 Juni 2013, diketahui bahwa belum diketahuinya secara pasti faktor yang berhubungan dengan status gizi balita terutama anak usia 6-24 bulan, apakah penyebab langsung maupun tidak langsung status gizi kurang juga berlaku di wilayah kerja Puskesmas Banguntapan III.

BAHAN DAN METODE

Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional.

Penelitian ini mengukur faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi anak usia 6-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Banguntapan III, Bantul, Yogyakarta Tahun 2013. Adapun faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi meliputi berat badan lahir, pemberian ASI Eksklusif, kejadian diare, kejadian ISPA, pendidikan ibu, pendidikan ayah, pekerjaan ibu, pendapatan keluarga, pengasuh, pendidikan pengasuh, pengalaman pengasuh, tempat tinggal pengasuh, umur ibu, letak dapur, jumlah anak dalam keluarga, urutan anak, jumlah balita (faktor-faktor risiko) dan status gizi (efek) dikumpulkan sekaligus pada waktu yang bersamaan. Pengambilan data dilaksanakan pada 19 Juni 2013 sampai dengan 13 Juli 2013 di wilayah kerja Puskesmas Banguntapan III, Bantul, Yogyakarta Tahun 2013.

Populasi dalam penelitian ini adalah semua anak usia 6-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Banguntapan III beserta ibunya. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan Confidence Interval (CI) 95%. Jumlah populasi adalah 503 anak usia 6-24 bulan beserta ibunya.

Sampel penelitian ini adalah anak usia 6-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Banguntapan III beserta ibunya dengan kriteria sebagai berikut:

1. Ibu dan anak yang datang ke Posyandu saat penelitian

2. Bersedia menjadi responden

Jumlah sampel diperoleh dengan menggunakan rumus Lameshow et al, 1990 adalah 153 sampel dan dipilih dengan menggunakan teknik simple random

sampling.

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan di Posyandu sesuai dengan jadwal yang ditentukan oleh Puskesmas. Cara pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan wawancara terpimpin dengan menggunakan kuesioner untuk mendapatkan data tentang berat badan lahir, pemberian ASI Eksklusif, kejadian diare, kejadian ISPA, pendidikan ibu, pendidikan ayah, pekerjaan ibu, pendapatan keluarga, pengasuh, pendidikan pengasuh, pengalaman pengasuh, tempat tinggal pengasuh, umur ibu, letak dapur, posisi ruang makan, jumlah anak, urutan anak, jumlah balita. Untuk pengukuran berat badan dengan dacin atau salter

spring balance (timbangan gantung maksimum berat

25 kg dengan ketelitian 100 gr) dan panjang badan dengan baby length board (mengukur crown-heel

lenght dengan ketelitian 0,1 cm) untuk mendapatkan

status gizi anak. Dalam penelitian ini, peneliti dibantu oleh 15 orang ahli madya kebidanan berkaitan dengan waktu pelaksanaan posyandu yang bersamaan. Asisten peneliti telah mendapatkan arahan sebelumnya dari peneliti dan telah dilatih serta dilakukan simulasi berkaitan dengan teknik pengumpulan data.

Setelah data terkumpul kemudian dilakukan pengolahan data dalam beberapa tahap yaitu editing,

coding, data entry dan cleaning. Setelah tahap

pengolahan data dilakukan, dilanjutkan dengan menganalisis data menggunakan komputer meliputi analisis univariat, bivariat dengan uji chi-square, dan analisis multivariat dengan regresi logistik multinomial.

(4)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Univariat

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa status gizi anak berdasarkan indeks BB menurut Umur sebagian besar baik yaitu sebanyak 135 orang (88,2%). Hasil status gizi anak usia 6-24 bulan untuk status gizi berat kurang pada tahun 2013 adalah 9,2% yang terdiri dari 2% buruk dan 7,2% kurang sudah dibawah prevalensi nasional, provinsi DIY, dan di bawah nilai ambang batas universal masalah kesehatan masyarakat “non-public health problem” menurut WHO (10,0 persen).

Berdasarkan indeks PB menurut Umur status gizi anak usia 6-24 bulan diketahui sebagian besar normal yaitu sebanyak 96 orang (62,7%). Prevalensi kependekan pada anak usia 6-24 bulan pada tahun 2013 sebesar 30%, masih dibawah angka nasional, diatas prevalensi provinsi DIY dan diatas nilai ambang batas universal masalah kesehatan “non

public health problem” menurut WHO untuk

masalah kependekan sebesar 20 persen.

Berdasarkan indeks BB menurut PB status gizi anak usia 6-24 bulan sebagian besar normal yaitu sebanyak 120 orang (78,4%). Prevalensi kurus (sangat kurus dan kurus) pada anak usia 6-24 bulan pada tahun 2013 sebesar 11,7%, masih dibawah angka nasional yaitu 13,3% dan menurut Kemenkes RI (2012) termasuk keadaan berisiko (risky

situation).

Hasil penelitian ini menunjukkan status gizi anak usia 6-24 bulan berdasarkan kombinasi ke-3 indeks antropometri ditemukan sebagian besar status gizinya baik yaitu 88 orang (57,5%) sedangkan untuk status gizi gemuk kronis, gemuk, kurang gizi akut, kurang gizi kronis, kurang gizi akut dan kronis masing-masing 7,2%, 2,6%, 9,8%, 20,9%, 2%. Sehingga dapat diketahui bahwa permasalahan gizi kurang (kurang gizi akut, kronis, akut dan kronis) sebesar 32,7% dan untuk permasalahan gizi gemuk (gemuk dan gemuk kronis) sebesar 9,8%.

Bivariat

1. Diare Dengan Status Gizi Anak

Hasil analisis hubungan antara kejadian diare dengan status gizi anak usia 6-24 bulan yang disajikan pada tabel 2. diperoleh bahwa ada sebanyak 82 (63,6%) anak yang tidak diare status gizinya baik. Sedangkan diantara anak yang diare, ada 6 (25%) anak yang status gizinya baik. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,000 maka dapat disimpulkan ada perbedaan proporsi status gizi anak usia 6-24 bulan antara anak yang tidak diare dengan anak yang diare (ada hubungan yang signifikan antara kejadian diare dengan status gizi anak usia 6-24 bulan).

Tabel 1. Distribusi Responden Menurut Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan

Penelitian ini juga didukung oleh Woge (2007) di Kecamatan Kelimutu, Kabupaten ende, Flores, Provinsi NTT diketahui bahwa ada hubungan yang

Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan Jumlah (n) Persentas e (%) Berdasarkan BB/Umur Buruk 3 2 Kurang 11 7,2 Lebih 4 2,6 Baik 135 88,2 Berdasarkan PB/Umur Sangat Pendek 21 13,7 Pendek 25 16,3 Tinggi 11 7,2 Normal 96 62,7 Berdasarkan BB/PB Sangat Kurus 6 3,9 Kurus 12 7,8 Gemuk 15 9,8 Baik 120 78,4

Berdasarkan Kombinasi ke-3 indeks

Gemuk kronis 11 7,2

Gemuk 4 2,6

Kurang gizi akut dan kronis

3 2,0

Kurang gizi kronis 32 20,9 Kurang gizi akut 15 9,8 Baik 88 57,5

(5)

bermakna antara gejala klinis diare dengan status gizi anak balita (p-value 0,001). Berdasarkan nilai OR dapat disimpulkan anak balita yang pernah

mengalami gejala klinis diare mempunyai risiko berstatus gizi kurus 4,6 kali dibandingkan anak balita yang tidak pernah mengalami gejala klinis diare (7).

2. ISPA Dengan Status Gizi Anak

Hasil analisis hubungan antara kejadian ISPA dengan status gizi anak usia 6-24 bulan yang disajikan pada tabel 3. diperoleh bahwa ada sebanyak 63 (67%) anak yang tidak ISPA status gizinya baik. Sedangkan diantara anak yang ISPA, ada 25 (42,4%) anak yang status gizinya baik. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,001 maka dapat disimpulkan ada perbedaan proporsi status gizi anak usia 6-24 bulan antara anak yang tidak ISPA dengan anak yang ISPA (ada hubungan yang signifikan antara kejadian ISPA dengan status gizi anak usia 6-24 bulan).

Sebagian besar penyakit pada anak-anak adalah infeksi, dan sebagian besar infeksi adalah ISPA. ISPA digunakan untuk mendeskripsikan flu. Gejalanya adalah batuk, anoreksia, pilek dan demam. Pada bayi, obstruksi hidung dapat menyebabkan sulit makan. Jika anak sulit makan, kebutuhan akan zat gizinya tidak terpenuhi sehingga dapat menggangu pertumbuhan anak (8).

3. Pemberian ASI Eksklusif dengan status gizi anak

Hasil analisis hubungan antara pemberian ASI Eksklusif dengan status gizi anak usia 6-24 bulan yang disajikan pada tabel 4. diperoleh bahwa ada sebanyak 57 (64,8%) anak yang diberikan ASI Eksklusif status gizinya baik. Sedangkan diantara anak yang tidak diberikan ASI Eksklusif, ada 31 (47,7%) anak yang status gizinya baik. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,107 maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara pemberian ASI Eksklusif dengan status gizi anak usia 6-24 bulan.

Anak yang tidak diberikan ASI Eksklusif dan status gizinya baik dapat disebabkan karena

permasalahan gizi pada penelitian ini bukan karena masalah ASI Eksklusif tetapi karena sebab lain seperti kejadian ISPA dan kejadian diare. Jika dibuat tabulasi silang antara pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian diare dan kejadian ISPA, dapat dilihat yang tidak diberikan ASI Eksklusif ada sebanyak 49 (75,4%) yang tidak mengalami diare dan 38 (58,5%) yang tidak mengalami ISPA. Karena banyak anak yang tidak diberikan ASI Eksklusif tidak mengalami diare dan ISPA sehingga status gizinya baik. Anak yang diberikan ASI Eksklusif tetapi status gizinya kurang, bisa disebabkan karena penyakit infeksi (diare dan ISPA), sehingga menyebabkan daya tahan tubuh melemah, hilangnya nafsu makan, status gizi menjadi kurang.

4. Berat Badan Lahir Dengan Status Gizi Anak

Hasil analisis hubungan antara berat badan lahir anak dengan status gizi anak usia 6-24 bulan yang disajikan pada tabel 5. diperoleh bahwa ada sebanyak 102 (69,4%) anak yang tidak BBLR status gizinya baik. Sedangkan diantara anak yang BBLR, ada 1 (16,7%) anak yang status gizinya baik. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,015 maka dapat disimpulkan ada perbedaan proporsi status gizi anak usia 6-24 bulan antara anak yang tidak BBLR dengan anak yang BBLR (ada hubungan yang signifikan antara berat badan lahir dengan status gizi anak usia 6-24 bulan).

Selain itu didukung juga oleh hasil penelitian Arnisam (2007) di Kecamatan Ulee Kareng menyebutkan bahwa risiko balita yang lahir dengan BBLR untuk mengalami status gizi kurang meningkat sebesar 3,34 kali dibandingkan dengan balita yang lahir dengan berat badan normal (≥ 2500 gram). Hasil uji statistik menunjukkan ada pengaruh faktor risiko BBLR terhadap status gizi balita (p=0,04; CI 95%=1,12-9,99) (9).

5. Pendidikan Ibu Dengan Status Gizi Anak

Hasil analisis hubungan antara pendidikan ibu dengan status gizi anak usia 6-24 bulan yang

(6)

disajikan pada tabel 6. diperoleh bahwa ada sebanyak 67 (60,4%) anak yang ibunya berpendidikan menengah dan tinggi status gizinya baik. Sedangkan diantara anak yang ibunya pendidikan dasar, ada 21 (50%) anak yang status gizinya baik. Dari hasil tersebut meskipun secara persentase ada perbedaan proporsi status gizi anak usia 6-24 bulan antara anak yang ibunya berpendidikan menengah dan tinggi dengan anak yang ibunya berpendidikan dasar, namun hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,088 maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara pendidikan ibu dengan status gizi anak usia 6-24 bulan.

Anak yang ibunya pendidikan dasar dan status gizinya baik disebabkan oleh lingkungan sosial yang mendukung seperti keaktifan ibu di dalam mengikuti kegiatan Posyandu yang diadakan rutin setiap bulannya sehingga menambah pengetahuan ibu mengenai cara merawat anaknya. Jika pengetahuannya baik mengenai pengasuhan anak, mendorong tindakan mengasuh anak yang baik, sehingga status gizi anak tersebut baik. Anak yang ibunya pendidikan menengah dan tinggi dan status gizinya kurang, dapat disebabkan tindakan pengasuhan yang belum tepat. Artinya pendidikan menengah dan tinggi yang dimiliki oleh ibu bukan pendidikan kesehatan, sehingga memungkinkan ibu tidak mengetahui tentang pengasuhan anak, selain itu juga walaupun ibu memiliki pengetahuan yang cukup belum tentu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

6. Pendidikan Ayah Dengan Status Gizi Anak

Hasil analisis hubungan antara pendidikan ayah dengan status gizi anak usia 6-24 bulan yang disajikan pada tabel 7. diperoleh bahwa ada sebanyak 71 (60,2%) anak yang ayahnya berpendidikan

menengah dan tinggi status gizinya baik. Sedangkan diantara anak yang ayahnya pendidikan dasar, ada 17 (48,6%) anak yang status gizinya baik. Dari hasil tersebut meskipun secara persentase ada perbedaan proporsi status gizi anak usia 6-24 bulan antara anak yang ayahnya berpendidikan menengah dan tinggi dengan anak yang ayahnya berpendidikan dasar, namun hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,343 maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara pendidikan ayah dengan status gizi anak usia 6-24 bulan.

Tidak ada hubungan antara pendidikan ayah dengan status gizi anak usia 6-24 bulan dalam penelitian ini karena memang faktor pendidikan bukan merupakan faktor penyebab langsung terjadinya gizi kurang pada anak, sehingga walaupun anak yang ayahnya pendidikan dasar dapat status gizinya baik. Jika kita tabulasi silang antara pendidikan ayah dengan pengasuh dapat dilihat bahwa ayah yang pendidikan dasar, anaknya diasuh sebagian besar oleh ibu balita sendiri yaitu 31 orang (88,6%) dan nenek yaitu 4 orang (11,4%). Karena yang terlibat langsung di dalam pengasuhan anak adalah ibu dan nenek, karena faktor lingkungan sosial misalnya keaktifan pengasuh mengikuti kegiatan Posyandu sehingga memperoleh informasi tentang pengasuhan anak yang baik dan tindakan tersebut dilakukan secara nyata oleh pengasuh, status gizi anaknya menjadi baik. Anak yang ayahnya berpendidikan menengah dan tinggi, ada yang status gizinya kurang dapat disebabkan oleh tidak terlibatnya ayah dalam pengasuhan anak secara langsung. Dalam penelitian ini yang mengasuh anak adalah ibu, nenek, tetangga, pembantu, dan TPA. Walaupun ayah pendidikannya menengah dan tinggi, belum tentu mengetahui tentang pengasuhan anak.

(7)

Tabel 6. Distribusi Responden Menurut Pendidikan Ibu dan Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan

Tabel 2. Distribusi Responden Menurut Kejadian Diare dan Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan

Kejadian Diare

Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan

Total p-valu e OR (95% CI) gizi gemuk OR (95% CI) gizi kurang

Gemuk Kurang Baik

n % n % n % n % Diare 1 4,2 17 70,8 6 25 24 100 0,00 0 0,976 (0,109-8,736) 7,040 (2,552-19,420) Tidak Diare 14 10,8 33 25,6 82 63,6 129 100 Total 15 9,8 50 32,7 88 57,5 153 100

Tabel 3. Distribusi Responden Menurut Kejadian ISPA dan Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan

Kejadian ISPA

Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan

Total p-value OR (95% CI) gizi gemuk OR (95% CI) gizi kurang

Gemuk Kurang Baik

n % n % n % n % ISPA 4 6,8 30 50,8 25 42,4 59 100 0,001 0,916 (0,267-3,150) 3,780 (1,819-7,854) Tidak ISPA 11 11,7 20 21,3 63 67 94 100 Total 15 9,8 50 32,7 88 57,5 153 100

Tabel 4. Distribusi Responden Menurut Pemberian ASI Eksklusif dan Status Gizi Anak Usia 6-24

Bulan

Pemberian ASI Eksklusif

Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan

Total

p-value

Gemuk Kurang Baik

n % n % n % n %

Tidak ASI Eksklusif 8 12,3 26 40 31 47,7 65 100

0,107

ASI Eksklusif 7 8 24 27,3 57 64,8 88 100

Total 15 9,8 50 32,7 88 57,5 153 100

Tabel 5. Distribusi Responden Menurut Berat Badan Lahir dan Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan

Berat Badan Lahir

Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan

Total p-value OR (95% CI) Kurang Baik n % n % n % BBLR 5 83,3 1 16,7 6 100 0,015 11,333 (1,287-99,807) Tidak BBLR 45 30,6 102 69,4 147 100 Total 50 32,7 103 67,3 153 100 Pendidikan Ibu

Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan

Total

p-value

Gemuk Kurang Baik

n % n % n % n %

Dasar 2 4,8 19 45,2 21 50 42 100

0,088

Menengah dan Tinggi 13 11,7 31 27,9 67 60,4 111 100

(8)

7. Pekerjaan Ibu Dengan Status Gizi Anak

Hasil penelitian diketahui bahwa ibu anak usia 6-24 bulan yang disajikan pada tabel 8. sebagian besar tidak bekerja yaitu 110 orang (71,9%) sedangkan untuk ibu yang bekerja yaitu 43 orang (28,1%). Hasil analisis hubungan antara pekerjaan ibu dengan status gizi anak usia 6-24 bulan diperoleh bahwa ada sebanyak 63 (57,3%) anak yang ibunya tidak bekerja status gizinya baik. Sedangkan diantara anak yang ibunya bekerja, ada 25 (58,1%) anak yang status gizinya baik. Perbedaan proporsi status gizi anak usia 6-24 bulan antara anak yang ibunya tidak bekerja dengan anak yang ibunya bekerja kecil, dan hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,854 maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara pekerjaan ibu dengan status gizi anak usia 6-24 bulan.

Tidak adanya hubungan antara pekerjaan ibu dengan status gizi anak usia 6-24 bulan dapat disebabkan karena meskipun ibu bekerja, pengasuhan

dan perawatan anak dapat didelegasikan kepada orang lain yang dapat dipercaya sehingga kebutuhan anak dapat terpenuhi. Jika dilakukan tabulasi silang antara pengasuh dengan pekerjaan ibu dapat diketahui bahwa ibu yang bekerja 58,1% anaknya diasuh oleh nenek. Nenek cenderung berpengalaman mengasuh anak, jika nenek aktif dalam kegiatan masyarakat seperti PKK, Posyandu, kemungkinan untuk mendapatkan informasi yang lebih tentang pengasuhan anak semakin bertambah sehingga status gizi anak menjadi baik. Selain itu juga dalam penelitian ini, ibu rumah tangga yang digolongkan tidak bekerja tidak berarti tidak melakukan pekerjaan apapun karena semua pekerjaan rumah dari memasak, mencuci, membersihkan rumah juga dilakukan ibu rumah tangga, sehingga memungkinkan walaupun ibu tidak bekerja dapat memiliki anak dengan status gizi kurang.

8. Pendapatan Keluarga Dengan Status Gizi Anak

Hasil analisis hubungan antara pendapatan keluarga dengan status gizi anak usia 6-24 bulan yang disajikan pada tabel 9. diperoleh bahwa ada sebanyak 51 (66,2%) anak yang pendapatan keluarganya cukup status gizinya baik. Sedangkan diantara anak yang pendapatan keluarganya kurang, ada 37 (48,7%) anak yang status gizinya baik. Secara persentase ada perbedaan proporsi status gizi anak usia 6-24 bulan antara anak yang pendapatan keluarganya cukup dengan anak yang pendapatan keluarganya kurang, namun hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,090 maka dapat disimpulkan

tidak ada hubungan antara pendapatan keluarga dengan status gizi anak usia 6-24 bulan.

Tidak adanya hubungan antara pendapatan keluarga dengan status gizi anak dapat disebabkan karena walaupun pendapatan keluarga kurang tetapi jika pengasuh mampu memilih makanan yang baik, bergizi dengan biaya yang murah, selalu berperilaku hidup bersih dan sehat, maka anak tidak mudah sakit, status gizi anak menjadi baik. Hal ini dibuktikan jika kita tabulasi silang antara pendapatan keluarga dengan kejadian ISPA dan diare, maka dapat diketahui anak 82,9% tidak diare dan 56,6% tidak Tabel 7. Distribusi Responden Menurut Pendidikan Ayah dan Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan

Pendidikan Ayah

Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan

Total

p-value

Gemuk Kurang Baik

n % n % n % n % Dasar 3 8,6 15 42,9 17 48,6 35 100 0,343 Menengah dan Tinggi 12 10,2 35 29,7 71 60,2 118 100 Total 15 9,8 50 32,7 88 57,5 153 100

(9)

ISPA pada keluarga dengan pendapatan kurang. Anak yang pendapatan keluarganya cukup juga ada yang status gizinya kurang dapat disebabkan karena belum tentu anak tersebut mendapatkan makanan

yang bergizi. Pendapatan keluarga cukup lebih cenderung memberikan makanan cepat saji kepada anak, yang tentunya dapat mempengaruhi status gizi anak tersebut.

9. Pengasuh Dengan Status Gizi Anak

Hasil analisis hubungan antara pengasuh dengan status gizi anak usia 6-24 bulan yang disajikan pada tabel 10. diperoleh bahwa ada sebanyak 65 (56%) anak yang diasuh oleh ibunya sendiri status gizinya baik. Sedangkan diantara anak yang diasuh oleh bukan ibunya, ada 23 (62,6%) anak yang status gizinya baik. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,132 maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara pengasuh dengan status gizi anak usia 6-24 bulan.

Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian Yamin (2009), yang menunjukkan bahwa secara persentase tidak ada perbedaan yang signifikan antara yang pengasuhan anaknya kurang baik (tidak dilakukan sepenuhnya oleh ibu) dengan yang pengasuhan anaknya baik (dilakukan oleh ibu balita) untuk mempunyai baduta dengan gizi baik, hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,594 yang artinya tidak ada hubungan antara yang pengasuhan anaknya kurang baik dengan yang pengasuhan anaknya baik untuk mempunyai baduta dengan gizi baik (10).

Anak yang diasuh oleh bukan ibunya, ada yang status gizinya baik. Hal ini dapat disebabkan karena

walaupun anak tidak sepenuhnya diasuh oleh ibunya sendiri melainkan didelegasikan kepada orang lain namun pola pengasuhan yang dilakukan oleh orang lain tersebut sama baiknya dengan yang dilakukan oleh ibu terhadap anaknya. Pada penelitian ini yang diasuh oleh bukan ibunya sebagian besar oleh nenek, nenek memiliki pengalaman yang lebih di dalam mengasuh anak. Semakin berpengalaman, semakin luas pengetahuan tentang pengasuhan anak sehingga status gizi anak menjadi baik. Jika dilihat dari usia ibu yang rata 29 tahun, maka diperkirakan rata-rata usia nenek sekitar 49-50 tahun. Kemungkinan pada masa sekitar tahun 80-an dimana pembentukan kegiatan posyandu sedang gencarnya dibentuk, usia nenek pada saat itu berkisar antara 17-20 tahun. Sehingga banyak yang mendapatkan pengalaman lebih mengenai pengasuhan anak melalui kegiatan tersebut. Anak yang diasuh oleh ibunya sendiri, juga ada yang status gizinya kurang. Ibu belum tentu mengetahui tentang pengasuhan anak dengan baik, sehingga dapat mempengaruhi tindakan pengasuhannya yang berefek pada status gizi anak tersebut.\

Tabel 8. Distribusi Responden Menurut Pekerjaaan Ibu dan Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan

Pendapatan Keluarga

Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan

Total

p-value

Gemuk Kurang Baik

n % n % n % n %

Kurang 9 11,8 30 39,5 37 48,7 76 100

0,090

Cukup 6 7,8 20 26 51 66,2 77 100

(10)

Tabel 9. Distribusi Responden Menurut Pendapatan keluarga dan Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan

10. Pendidikan Pengasuh Dengan Status Gizi Anak

Hasil analisis hubungan antara pendidikan pengasuh dengan status gizi anak usia 6-24 bulan yang disajikan pada tabel 11. diperoleh bahwa ada sebanyak 56 (61,5%) anak yang pendidikan pengasuhnya cukup status gizinya baik. Sedangkan diantara anak yang pendidikan pengasuhnya kurang, ada 32 (51,6%) anak yang status gizinya baik. Meskipun secara persentase ada perbedaan proporsi status gizi anak usia 6-24 bulan antara anak yang pendidikan pengasuhnya cukup dengan anak yang pendidikan pengasuhnya kurang, namun hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,408 maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara pendidikan pengasuh dengan status gizi anak usia 6-24 bulan.

Anak yang pendidikan pengasuhnya kurang, ada yang status gizinya baik. Hal ini disebabkan bahwa pengetahuan tidak hanya diperoleh dari pendidikan formal saja, tetapi bisa diperoleh dari pendidikan informal. Misalnya, pengasuh yang aktif

di kegiatan sosial masyarakat seperti posyandu, PKK, sehingga mendapatkan informasi yang lebih berkaitan dengan pengasuhan anak. Jika pengasuh mampu melakukan tindakan pengasuhan anak dengan baik, walaupun pendidikannya kurang dapat mencegah anak sakit sehingga status gizinya menjadi baik. Selain itu, anak yang pendidikan pengasuhnya cukup, juga belum status gizinya baik. Hal ini dapat disebabkan oleh pendidikan cukup tersebut bukan pendidikan kesehatan, jadi memungkinkan untuk kurangnya pengetahuan tentang pengasuhan anak, sehingga berdampak pada pola pengasuhan. Walaupun ibu memiliki pengetahuan yang cukup tentang pola pengasuhan, belum menjamin ibu mengaplikasikannya dengan benar di dalam pengasuhan anak. Hal tersebut berpengaruh terhadap status gizi anak.

Pekerjaan ibu

Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan

Total

p-value

Gemuk Kurang Baik

n % n % n % n %

Bekerja 5 11,6 13 30,2 25 58,1 43 100

0,854

Tidak bekerja 10 9,1 37 33,6 63 57,3 110 100

Total 15 9,8 50 32,7 88 57,5 153 100

Tabel 10. Distribusi Responden Menurut Pengasuh dan Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan

Pengasuh

Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan

Total

p-value

Gemuk Kurang Baik

n % n % n % n %

Bukan ibu balita 6 16,2 8 21,6 23 62,2 37 100

0,132

Ibu balita 9 7,8 42 36,2 65 56 116 100

(11)

11. Pengalaman Pengasuh Dengan Status Gizi Anak

Hasil analisis hubungan antara pengalaman pengasuh dengan status gizi anak usia 6-24 bulan yang disaikan pada tabel 12. diperoleh bahwa ada sebanyak 55 (58,5%) anak yang pengalaman pengasuhnya cukup status gizinya baik. Sedangkan diantara anak yang pengalaman pengasuhnya kurang, ada 33 (55,9%) anak yang status gizinya baik. Dari hasil tersebut meskipun secara persentase ada perbedaan proporsi status gizi anak usia 6-24 bulan antara anak yang pengalaman pengasuhnya cukup dengan anak yang pengalaman pengasuhnya kurang, namun hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,458 maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara pengalaman pengasuh dengan status gizi anak usia 6-24 bulan.

Perilaku terjadi diawali dengan adanya pengalaman-pengalaman seseorang serta faktor-faktor di luar orang tersebut (lingkungan) baik fisik maupun non fisik. Kemudian pengalaman dan lingkungan tersebut diketahui, dipersepsikan,

diyakini dan sebagainya sehingga menimbulkan motivasi, niat untuk bertindak, dan akhirnya terjadilah niat tersebut yang berupa perilaku (11).

Diantara anak yang pengalaman pengasuhnya kurang, ada yang status gizinya baik. Walaupun pengalaman mengasuh anak kurang, tetapi jika pengasuh berusaha untuk mencari informasi tentang pengasuhan anak dan dilakukannya tindakan pengasuhan yang benar dapat membuat status gizi anak menjadi baik. Begitu pula sebaliknya, walaupun pengasuh memiliki pengalaman yang cukup berkaitan dengan pengasuhan anak, ada yang status gizi anaknya kurang. Seseorang yang berpengalaman di dalam pengasuhan anak, tetapi jika pengalaman tersebut kurang tepat dan diaplikasikan di dalam pengasuhan, jelas dapat menyebabkan status gizi anak kurang. Sebaliknya, walaupun berpengalaman tetapi jika tidak diaplikasikan di dalam kehidupan sehari-hari dapat mempengaruhi status gizi anak.

12. Tempat Tinggal Pengasuh

Hasil analisis hubungan antara tempat tinggal pengasuh dengan status gizi anak usia 6-24 bulan yang disajikan pada tabel 13. diperoleh bahwa ada sebanyak 91 (65,5%) anak yang pengasuhnya menginap status gizinya baik. Sedangkan diantara anak yang pengasuhnya tidak menginap, ada 12 (85,7%) anak yang status gizinya baik. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,147 maka tidak ada hubungan yang signifikan antara tempat tinggal pengasuh dengan status gizi anak usia 6-24 bulan.

Tempat tinggal pengasuh berhubungan dengan lamanya berinteraksi atau intensitas waktu pengasuh untuk mengasuh anak. Interaksi tidak hanya ditentukan oleh seberapa lama kita bersama anak. Tetapi lebih ditentukan oleh kualitas interaksi tersebut yaitu pemahaman terhadap kebutuhan masing-masing dan upaya optimal untuk memenuhi kebutuhan tersebut yang dilandasi oleh rasa saling menyayangi (12).

Tabel 11. Distribusi Responden Menurut Pendidikan Pengasuh dan Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan

Pendidikan Pengasuh

Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan

Total

p-value

Gemuk Kurang Baik

n % n % n % n %

Kurang 6 9,7 24 38,7 32 51,6 62 100

0,408

Cukup 9 9,9 26 28,6 56 61,5 91 100

(12)

Anak yang pengasuhnya tidak menginap, ada yang status gizinya baik. Dari yang pengasuhnya tidak menginap jika dilakukan tabulasi silang antara tempat tinggal pengasuh dengan pengasuh diketahui bahwa yang tidak menginap sebagian besar nenek balita (50%). Hasil pengamatan peneliti rata-rata

rumah nenek balita berdekatan dengan rumah balita sehingga untuk fokus di dalam mengasuh anak masih memungkinkan. Selain itu pengasuhan anak tidak ditentukan oleh seberapa lama waktu bersama anak, tetapi jika kualitas pengasuhan yang diberikan baik, status gizi anak menjadi baik pula.

13. Umur Ibu Dengan Status Gizi Anak

Hasil analisis hubungan antara umur ibu dengan status gizi anak usia 6-24 bulan yang disajikan pada tabel 14. diperoleh bahwa ada sebanyak 77 (57,9%) anak yang ibunya usia reproduktif status gizinya baik. Sedangkan diantara anak yang ibunya usia berisiko, ada 11 (55%) anak yang status gizinya baik. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,624 maka tidak ada hubungan yang signifikan antara usia ibu dengan status gizi anak usia 6-24 bulan.

Anak yang ibunya usia berisiko, ada 11 yang status gizinya baik. Meskipun ibu usia berisiko, namun jika ibu cukup memperhatikan kesehatan anaknya, merawat anaknya dengan baik, maka memungkinkan untuk anaknya status gizi baik. Sebaliknya, walaupun ibu usia reproduktif, tetapi jika tidak memperhatikan kesehatan anaknya, tidak merawat anaknya dengan baik, memungkinkan anaknya status gizi kurang.

Tabel 13. Distribusi Responden Menurut Tempat Tinggal Pengasuh dan Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan

14. Letak Dapur

Hasil analisis hubungan antara letak dapur dengan status gizi anak usia 6-24 bulan yang disajikan pada tabel 15. diperoleh bahwa ada sebanyak 10 (58,8%) anak yang letak dapurnya di luar rumah status gizinya baik. Sedangkan diantara anak yang letak dapurnya di dalam rumah, ada 78 (57,4%) anak yang status gizinya baik. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,841 maka tidak ada hubungan yang signifikan

antara letak dapur dengan status gizi anak usia 6-24 bulan.

Dalam penelitian ini tidak ada hubungan antara letak dapur dengan status gizi anak dikarenakan walaupun letak dapur di dalam rumah jika kebersihan dapur dijaga dengan baik sehingga tidak ada vektor seperti lalat, kecoak, tikus di dapur memungkinkan makanan yang dimasak tidak terkontaminasi oleh vektor tersebut sehingga anak tetap sehat dan status gizinya baik.

Tabel 12. Distribusi Responden Menurut Pengalaman Pengasuh dan Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan

Pengalaman Pengasuh

Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan

Total

p-value

Gemuk Kurang Baik

n % n % n % n % Kurang 4 6,8 22 37,3 33 55,9 59 100 0,458 Cukup 11 11,7 28 29,8 55 58,5 94 100 Total 15 9,8 50 32,7 88 57,5 153 100 Tempat Tinggal Pengasuh

Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan

Total p-value Kurang Baik n % n % n % Tidak Menginap 2 14,3 12 85,7 14 100 0,147 Menginap 48 34,5 91 65,5 139 100 Total 50 32,7 103 67,3 153 100

(13)

Jika dilakukan tabulasi silang antara letak dapur dengan kejadian diare, dan kejadian ISPA maka dapat diketahui bahwa 84,6% tidak diare, 60,3% tidak ISPA pada anak yang letak dapurnya di dalam rumah. Selain itu, posisi dapur di luar rumah, dapat

juga memungkinkan status gizi anak kurang. Dapur di luar rumah yang tidak dijaga kebersihannya, dapat menyebabkan kontaminasi terhadap makanan yang dimasak sehingga mempengaruhi status gizi anaknya.

Tabel 14. Distribusi Responden Menurut Umur Ibu dan Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan

15. Posisi Ruang Makan

Hasil analisis hubungan antara posisi ruang makan dengan status gizi anak usia 6-24 bulan yang disajikan dalam tabel 16. diperoleh bahwa ada sebanyak 50 (59,5%) anak yang posisi ruang makannya terpisah dengan dapur status gizinya baik. Sedangkan diantara anak yang posisi ruang makannya gabung dengan dapur, ada 38 (55,1%) anak yang status gizinya baik. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,757 maka tidak ada hubungan yang signifikan antara posisi ruang makan dengan status gizi anak usia 6-24 bulan.

Anak yang posisi ruang makannya gabung dengan dapur, ada yang status gizinya baik. Hal ini dapat disebabkan karena meskipun bergabung

dengan dapur, karena sebagian besar masyarakat sudah banyak menggunakan kompor gas untuk memasak jadi asapnya tidak terlalu mempengaruhi pernafasan anak. Kemudian jika dapur selalu bersih, bebas vektor, makanan yang disiapkan bersih dan bergizi dapat mendukung kesehatan anak sehingga status gizinya baik. Anak yang posisi ruang makannya terpisah dengan dapur, ada yang status gizinya kurang. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai sebab, walaupun ruang makan terpisah, asap dapur tidak lagi menjadi kendala, tetapi jika pengasuh kurang tepat di dalam memilih makanan yang bergizi bagi anak, tindakan di dalam pengasuhan juga belum tepat dapat mempengaruhi status gizi anak.

Tabel 15. Distribusi Responden Menurut Letak dapur dan Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan

16. Jumlah Anak

Hasil analisis hubungan antara jumlah anak dengan status gizi anak usia 6-24 bulan yang disajikan dalam tabel 17. diperoleh bahwa ada sebanyak 46 (59,7%) ibu dengan jumlah anak sedikit dan anaknya status gizi baik. Sedangkan diantara ibu yang jumlah anaknya banyak, ada 14 (60,9%) anak yang status

gizinya baik. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,853 maka tidak ada hubungan yang signifikan antara jumlah anak dengan status gizi anak usia 6-24 bulan.

Tidak adanya hubungan antara jumlah anak dengan status gizi anak karena walaupun anak

Umur Ibu

Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan

Total

p-value

Gemuk Kurang Baik

n % n % n % n % Usia berisiko 1 5 8 40 11 55 20 100 0,624 Usia reproduktif 14 10,5 42 31,6 77 57,9 133 100 Total 15 9,8 50 32,7 88 57,5 153 100 Letak dapur

Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan

Total

p-value

Gemuk Kurang Baik

n % n % n % n %

Dalam rumah 14 10,3 44 32,4 78 57,4 136 100

0,841

Luar rumah 1 5,9 6 35,3 10 58,8 17 100

(14)

banyak tetapi jika pengasuh mampu memberikan yang terbaik di dalam merawat anak maka anak balita menjadi sehat dan status gizinya baik. Begitupula sebaliknya, meskipun ibu mempunyai

anak dengan jumlah sedikit tetapi jika tindakan pengasuhan ibu terhadap anaknya dinilai kurang dapat mengakibatkan status gizi anak kurang.

17. Urutan Anak

Hasil analisis hubungan antara urutan anak dengan status gizi anak usia 6-24 bulan yang disajikan pada tabel 18. diperoleh bahwa ada sebanyak 74 (56,9%) anak pertama atau kedua status gizinya baik. Sedangkan diantara anak lebih dari dua, ada 14 (60,9%) anak yang status gizinya baik. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,938 maka tidak ada hubungan yang signifikan antara urutan anak dengan status gizi anak usia 6-24 bulan.

Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian Anwar (2006) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara urutan anak dengan kejadian gizi buruk (p-value=0,27) (13). Tidak adanya hubungan antara urutan anak dengan status gizi anak dapat disebabkan karena walaupun anak pertama, kedua, ketiga dan seterusnya, jika tidak mengetahui tentang perawatan anak, tidak melakukan pengasuhan dengan baik, pola makan anak tidak baik, dapat menyebabkan status gizi anak kurang . Tabel 17. Distribusi Responden Menurut Jumlah Anak dan Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan

18. Jumlah Balita

Hasil analisis hubungan antara jumlah balita dengan status gizi anak usia 6-24 bulan yang disajikan pada tabel 19. diperoleh bahwa ada sebanyak 71 (56,8%) anak yang ibunya memiliki balita satu status gizinya baik. Sedangkan diantara anak yang ibunya memiliki jumlah balita lebih dari satu, ada 17 (60,7%) anak yang status gizinya baik. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,161 maka tidak ada hubungan yang signifikan antara jumlah balita dengan status gizi anak usia 6-24 bulan.

Hasil penelitian ini didukung juga oleh penelitian Arnisam (2007) yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan proporsi antara jumlah balita dalam keluarga dengan status gizi kurang dan status gizi baik. Jumlah balita dalam keluarga subjek penelitian pada umumnya (75,8%) adalah satu orang dan 24,2% jumlah balita lebih dari satu orang. Keluarga yang mempunyai balita hanya satu orang, sebagian besar (54,9%) balitanya mempunyai status gizi baik, sedangkan yang mempunyai balita lebih Tabel 16. Distribusi Responden Menurut Posisi Ruang Makan dan Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan

Posisi ruang makan

Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan

Total

p-value

Gemuk Kurang Baik

n % n % n % n % Gabung dengan dapur 8 11,6 23 33,3 38 55,1 69 100 0,757 Terpisah dengan dapur 7 8,3 27 32,1 50 59,5 84 100 Total 15 9,8 50 32,7 88 57,5 153 100 Jumlah Anak

Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan

Total

p-value

Gemuk Kurang Baik

n % n % n % n % Banyak 2 8,7 7 30,4 14 60,9 23 100 0,853 Cukup 7 13,2 18 34 28 52,8 53 100 Sedikit 6 7,8 25 32,5 46 59,7 77 100 Total 15 9,8 50 32,7 88 57,5 153 100

(15)

dari 1 orang dalam keluarga balitanya lebih banyak (65,5%) yang gizi kurang.

Tidak ada hubungan antara jumlah balita dengan status gizi anak dapat dipengaruhi oleh tindakan pengasuhan, pola makan anak. Walaupun jumlah balita lebih dari 1 dalam keluarga, jika

keluarga mampu melakukan tindakan pengasuhan dengan baik, pola makan anak baik maka anak akan tetap sehat, status gizi anak menjadi baik. Jumlah balita 1 saja, memungkinkan untuk status gizi anaknya kurang. Hal tersebut disebabkan oleh tindakan pengasuhan yang kurang tepat.

Multivariat

Dalam penelitian ini secara bivariat faktor yang memiliki hubungan bermakna dengan status gizi anak usia 6-24 bulan adalah kejadian diare, kejadian ISPA dan Berat Badan Lahir dengan nilai p-value < 0,05.

Dari analisis multivariat pada tabel 20. diketahui faktor dominan untuk terjadinya kasus gizi kurang adalah kejadian diare dengan nilai p_value = 0,000 dan OR = 7,865 (95% CI : 2,552-24,241) dimana OR > 1 artinya anak usia 6-24 bulan yang

mengalami diare dalam 1 bulan terakhir 7,865 kali mengalami gizi kurang dibandingkan dengan anak yang tidak diare setelah dikontrol dengan variabel kejadian ISPA, pendapatan keluarga, jumlah balita, pendidikan ibu, dan berat badan lahir.

Hasil tersebut diatas didukung oleh penelitian Yamin (2009), dimana faktor yang paling dominan mempengaruhi status gizi anak yaitu variabel riwayat penyakit anak dengan nilai p=0,000 (OR29,539).

Tabel 19. Distribusi Responden Menurut Jumlah Balita dan Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan

Tabel 18. Distribusi Responden Menurut Urutan Anak dan Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan

Urutan Anak

Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan

Total

p-value

Gemuk Kurang Baik

n % n % n % n %

Lebih dari dua 2 8,7 7 30,4 14 60,9 23 100

0,938

Pertama dan kedua 13 10 43 33,1 74 56,9 130 100

Total 15 9,8 50 32,7 88 57,5 153 100

Jumlah balita

Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan

Total

p-value

Gemuk Kurang Baik

n % n % n % n %

Lebih dari satu 5 17,9 6 21,4 17 60,7 28 100

0,161

Satu 10 8 44 35,2 71 56,8 125 100

(16)

Tabel 20. Model Akhir Analisis Multivariat

Parameter Estimates

Status Gizi Anak Usia 6-24

Bulana B Std. Error Wald df Sig. Exp(B)

95% Confidence Interval for Exp(B)

Lower

Bound Upper Bound

Gemuk Intercept -2.222 .504 19.413 1 .000

Diare -.305 1.162 .069 1 .793 .737 .076 7.184

Tidak diare 0b . . 0 . . . .

ISPA -.045 .656 .005 1 .945 .956 .264 3.455

Tidak ISPA 0b . . 0 . . . .

BBLR -17.131 .000 . 1 . 3.630E-8 3.630E-8 3.630E-8

Tidak BBLR 0b . . 0 . . . . Pendidikan ibu dasar -1.138 .843 1.824 1 .177 .320 .061 1.672 Pendidikan ibu menengah dan tinggi 0b . . 0 . . . . Pendapatan keluarga kurang 1.013 .600 2.853 1 .091 2.754 .850 8.925 Pendapatan keluarga cukup 0 b . . 0 . . . .

Jumlah balita lebih

dari satu .751 .627 1.432 1 .232 2.118 .619 7.245

Jumlah balita satu 0b . . 0 . . . .

Kurang Intercept -1.659 .368 20.304 1 .000 Diare 2.062 .574 12.895 1 .000 7.865 2.552 24.241 Tidak diare 0b . . 0 . . . . ISPA .971 .412 5.572 1 .018 2.642 1.179 5.918 Tidak ISPA 0b . . 0 . . . . BBLR 2.010 1.219 2.720 1 .099 7.460 .685 81.273 Tidak BBLR 0b . . 0 . . . . Pendidikan ibu dasar .709 .472 2.256 1 .133 2.031 .806 5.121 Pendidikan ibu menengah dan tinggi 0b . . 0 . . . . Pendapatan keluarga kurang .249 .441 .320 1 .571 1.283 .541 3.045 Pendapatan keluarga cukup 0 b . . 0 . . . .

Jumlah balita lebih

dari satu -.803 .597 1.810 1 .178 .448 .139 1.443

(17)

KESIMPULAN DAN SARAN

Status gizi kurus anak usia 6-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Banguntapan III sebesar 11,7% termasuk dalam keadaan berisiko (risky

situation). Permasalahan gizi kronis diatas nilai

ambang batas universal masalah kesehatan

dibuktikan dengan prevalensi kependekan sebesar 30%. Hasil analisis bivariat, secara statistik variabel yang berhubungan dengan status gizi anak usia 6-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Banguntapan III tahun 2013 adalah kejadian diare, kejadian ISPA, dan

(18)

berat badan lahir. Sedangkan variabel yang lainnya tidak berhubungan dengan status gizi anak usia 6-24 bulan. Hasil analisis multivariat, secara statistik didapatkan dua variabel yang berhubungan dengan status gizi kurang yaitu variabel kejadian diare dan kejadian ISPA. Namun yang paling berhubungan adalah kejadian diare dengan nilai p=0,000 dan odd rasio (OR) sebesar 7,865. Anak usia 6-24 bulan yang mengalami diare 7,865 kali lebih besar peluangnya mengalami status gizi kurang dibandingkan yang tidak mengalami diare setelah dikontrol dengan variabel kejadian ISPA, pendapatan keluarga, jumlah balita, pendidikan ibu, dan berat badan lahir.

Bagi profesi bidan untuk ikut berperan serta di dalam memberikan Komunikasi, Edukasi, Informasi (KIE) kepada ibu sejak merencanakan kehamilan dengan menekankan pentingnya 1000 HPK. Selain itu juga lebih menekankan upaya promotif dan preventif untuk kasus diare dan ISPA pada anak usia

6-24 bulan sehingga diharapkan dapat mengurangi permasalahan gizi anak.

Pihak Puskesmas diharapkan lebih menekankan program upaya pencegahan diare dan ISPA yang menjadi penyebab langsung terjadinya gizi kurang. Bagi pengelola program gizi, KIA, promkes untuk lebih meningkatkan frekuensi penyuluhan di Posyandu tentang pentingnya keluarga sadar gizi dan perilaku hidup bersih dan sehat. Selain itu diharapkan pihak Puskesmas Banguntapan III segera memberikan PMT untuk kelompok rentan kurang gizi terutama balita kurus dan ibu hamil risiko KEK dengan LILA <23,5 cm (Targetted Suplementary

Feeding) mengingat prevalensi gizi kurus sebesar

11,7%.

Diharapkan peneliti selanjutnya di dalam meneliti faktor risiko diare dan ISPA hubungannya dengan status gizi untuk menanyakan lebih rinci berkaitan dengan waktu terjadinya dan episode penyakit infeksi (diare dan ISPA) tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Kementerian Kesehatan RI. 2013. Gizi Seimbang Atasi Masalah Gizi Ganda. Internet:

http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press- release/2239-gizi-seimbang-atasi-masalah-gizi-ganda.html

2.

Bappenas. 2012. Kerangka Kebijakan Gerakan

Sadar Gizi Dalam Rangka 1000 HPK. Jakarta:

Bappenas

3.

Waryana. 2010. Gizi Reproduksi. Yogyakarta : Pustaka Rihama

4.

Kementerian Kesehatan RI. 2010. Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI

5.

Dinkes Provinsi DIY. 2012. Profil Kesehatan

Propinsi DIY Tahun 2011. Yogyakarta : Dinkes

Provinsi DIY.

6.

Dinkes Kabupaten Bantul. 2012. Profil Kesehatan Kabupaten Bantul Tahun 2011.

Yogyakarta: Dinkes Kabupaten Bantul

7.

Woge, Y. 2007. Tesis. Faktor-Faktor Yang

Berhubungan Dengan Status Gizi Anak Balita Di Kecamatan Kelimutu Kabupaten Ende Flores Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Yogyakarta: Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada

8.

Meadow, R dan Newell, S. 2005. Lecture Notes

Pediatrika. Jakarta: Penerbit Erlangga

9.

Arnisam. 2007. Tesis. Hubungan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dengan Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan. Yogyakarta: Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada

10.

Yamin, M. 2009. Tesis. Hubungan Pola Asuh

dengan Status Gizi Baduta di Puskesmas Se-Kota Serang Tahun 2009. Jakarta: Program

Pascasarjana, Prodi IKM, Universitas Respati Indonesia

11.

Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku

Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

12.

Soetjiningsih. 2012. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

13.

Anwar, K. 2006. Faktor Risiko Kejadian Gizi

Buruk di Kabupaten Lombok Timur, Propinsi Nusa Tenggara Barat. Jurnal Gizi Klinik

Indonesia Volume 2, No.3, Maret 2006: 108-116

(19)

Gambar

Tabel 6. Distribusi Responden Menurut Pendidikan Ibu dan Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan
Tabel 8. Distribusi Responden Menurut Pekerjaaan Ibu dan Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan   Pendapatan
Tabel 9. Distribusi Responden Menurut Pendapatan keluarga dan Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan
Tabel 20. Model Akhir Analisis Multivariat

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pemberian asupan glikosida flavonoid terong belanda ( Solanum betaceum Cav.) dari fraksi n-butanol

Studi yang dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran secara mendetail dari suatu status mengenai jumlah produksi hasil tangkapan ikan

Syarikat 54 ★ Nanyang Technological University Singapura 55 ► University of Manchester Britain 56 University of North Carolina at Chapel Hill A. Syarikat 57

kanker, dapat distimulir oleh vaksin BCG terutama untuk kanker kandung kemih, terbukti telah memberikan respon pada 60% dr penderita. - digunakan sbg terapi tambahan

• MOLEKUL LAKTOSA YANG TIDAK DAPAT DISERAP TUBUH KEMUDIAN MASUK KE DALAM USUS BESAR DAN. DIHIDROLISIS OLEH BAKTERI YANG MEMPRODUKSI

[r]

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sumarni (2014) menyatakan bahwa wanita memiliki kecenderungan mudah mengalami kelelahan, perubahan mood dan masalah

Untuk mencapai harapan yang diinginkan dengan tujuan mempermudah calon konsumen yang akan melakukan transaksi pembelian atau sekedar penginformasian stok smartphone agar