• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi telah membawa bangsa Indonesia pada suatu suasana kehidupan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Reformasi telah membawa bangsa Indonesia pada suatu suasana kehidupan"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Reformasi telah membawa bangsa Indonesia pada suatu suasana kehidupan yang sarat dengan harapan. Pada tingkat pertama, tuntutan reformasi tertuju pada aparatur pemerintah sebagai pelaksanaan pelayanan publik. Masyarakat menginginkan adanya Good Governance dan meningkatnya pemahaman masyarakat tentang pemerintahan yang baik itu adalah dapat terwujudnya kebijakan desentralisasi. Masyarakat juga menginginkan adanya pegawai/aparatur pemerintah yang professional di bidangnya.

Di era reformasi ini, dibutuhkan penataan sumber daya aparatur yang profesional dalam menejemen pemerintahan sehingga akan memberikan dampak pemerintahan yang lebih berkualitas, lebih mampu mengemban fungsi-fungsi pelayanan publik, pemerdayaan masyarakat dan pembangunan sosial ekonomi. Pelaksanaan pembangunan di daerah tidak akan berjalan optimal jika aparatur pemerintah/pegawai tidak professional untuk melakukan visi misi pemerintahan. Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang pokok-pokok Kepegawaian Pasal 3 ayat 1 mendefinisikan pegawai negri sebagai aparatur Negara yang bertugas untuk

(2)

memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugasnya.

Pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan bagi masyarakat dan juga sebagai penanggung jawab dari fungsi pelayanan publik yang akan mengarahkan tujuannya kepada seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali, menjadi suatu kewajiban para aparatur pemerintah untuk tetap mengadakan perbaikan berkaitan dengan kualitas pelayanan publik yang akan dihasilkan. Pelayanan yang berkualitas adalah pelayanan yang mampu memberikan kepuasan terhadap masyarakat yang dapat menyampaikan apa dan bagaimana kebutuhan masyarakat itu sendiri.

Sejak diberlakukannya otonomi daerah, pelayanan publik menjadi ramai diperbincangkan, karena pelayanan publik merupakan suatu variabel yang menjadi ukuran keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah. Apabila pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah daerah baik/berkualitas, maka pelaksanaan otonomi daerah dapat dikatakan berhasil. Setelah satu dasawarsa lebih kebijakan otonomi daerah digulirkan, kata-kata atau istilah pelayanan publik menjadi suatu yang lumrah. Semua orang sudah tidak asing lagi dengan namanya pelayanan publik, bukannya sebatas merubah pola pikir dan orientasi kepada pelayanan publik semata. Setelah berhasil merubah bagaimana orientasi dan paradigma tersebut, yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik atau dengan kata lain mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas.

Sejalan dengan hal tersebut diatas, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi juga menemukan bahwa kualitas pelayanan publik

(3)

pada instansi pemerintah masih lemah dan setengah hati. Hampir semua instansi pemerintah memberikan pelayanan publik kepada masyarakat melalui one stop

service atau biasa disebut pelayanan terpadu satu atap. Namun, implementasinya

masih banyak ditemukan penyimpangan dan terkesan setengah hati. Penyimpangan tersebut seperti mendahulukan orang yang dikenalnya terlebih dahulu daripada orang lain, melihat dari status sosial orang tersebut, dan lainnya. Selain ketidakseriusan dalam memberikan pelayanan, hingga kini masih banyak instansi pemerintah terutama daerah yang belum membentuk pelayanan terpadu.

Rendahnya kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh pegawai menjadi citra buruk pemerintah ditengah masyarakat. Bagi masyarakat yang pernah berurusan dengan birokrasi sering mengeluh dan kecewa terhadap tidak layaknya pegawai dalam memberikan pelayanan. Pelayanan kepada masyarakat tidak akan dapat terlaksana secara optimal tanpa adanya kesiapan aparatur pemerintah yang profesional untuk melaksanakan visi dan misi pemerintahan.

Kantor Badan Pusat Statistik sebagai institusi pelayanan publik merupakan lembaga birokrasi yang mempunyai tugas kewenangan dibidang pelayanan publik antara lain memberikan pelayanan berupa data-data yang akurat diharapkan mampu menerapkan dan memberikan pelayanan publik yang berkualitas. Keberhasilan dan kegagalan dalam pelayanan publik ditentukan oleh gaya bersikap dan bertindak, yang dapat dilihat dari cara melakukan suatu pekerjaan.

Penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintah, kinerjanya masih jauh dari yang diharapkan, ini dapat dilihat dari banyaknya pengaduan dan keluhan dari

(4)

masyarakat , baik dari surat pembaca maupun media pengaduan lainnya, seperti yang berkaitan dengan prosedur dan mekanisme kerja pelayanan yang berbelit-belit, tidak transparan, tidak informatif, tidak akomodatif, terbatasnya fasilitas, sarana dan prasarana sehingga tidak menjamin kepastian hukum, waktu dan biaya serta masih banyak praktek pungli serta tindakan yang mengindikasikan penyimpangan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Profesionalisme kerja sebagai persyaratan dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik, maka setiap aparatur pemerintah dituntut untuk senantiasa meningkatkan profesionalismenya, tapi pada kenyataannya berdasarkan kondisi pengamatan pada pra penelitian terlihat bahwa profesionalisme kerja pegawai belumlah sesuai dengan kondisi yang diharapkan yaitu profesionalisme kerja yang dapat mendukung terciptanya dan terwujudnya kualitas pelayanan yang lebih baik.

Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam dan mengemukakan dalam bentuk sebuah karya tulis ilmiah dengan judul :

“PENGARUH PROFESIONALISME KERJA PEGAWAI TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PUBLIK (studi pada Kantor Badan Pusat Statistik kabupaten Mandailing natal)”.

1.2 Perumusan Masalah

Untuk dapat memudahkan dalam penelitian ini dan agar penelitian ini memiliki arah yang jelas dan terarah dalam menginterpretasikan fakta dan data

(5)

kedalam penulisan skripsi, maka terlebih dahulu dirumuskan permasalahannya. Adapun perumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

“Sejauh mana Pengaruh Profesionalisme Kerja Pegawai Terhadap Kualitas Pelayanan Publik di Kantor Badan Pusat Statistik kabupaten Mandailing natal?”

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah rumusan kalimat yang menunjukkan adanya sesuatu hal uang diperoleh setelah penelitian selesai. Dengan demikian, pada dasarnya tujuan penelitian memberikan informasi mengenai apa yang akan diperoleh setelah selesai melakukan penelitian.

Adapun tujuan penelitian yang dilakukan adalah :

1. Untuk mengetahui Profesionalisme Kerja Pegawai di Kantor BPS Madina. 2. Untuk mengetahui kualitas pelayanan publik di Kantor BPS Madina.

3. Untuk mengetahui pengaruh profesionalisme kerja pegawai terhadap kualitas pelayanan publik di Kantor BPS Madina.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. secara teoritis/akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kepustakaan kependidikan, dan dapat dijadikan bahan masukan

(6)

bagi pihak lain yang akan menindaklanjuti penelitian ini dengan mengambil kancah penelitian yang berbeda dan dengan informan penelitian yang lebih baik lagi.

2. Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat sebagai berikut :

a. Dapat dijadikan sebagai kontribusi terhadap pemecahan permasalahan yang terkait dengan profesionalisme kerja pegawai dan kualitas pelayanan publik.

b. Sebagai masukan baru, bagi penulis maupun literature perpustakaan yang berkaitan dengan masalah-masalah studi administrasi publik.

1.5 Kerangka Teori

Sebelum melakukan penelitian lebih lanjut, perlu mengemukankan teori-teori sebagai kerangka berfikir untuk menggambarkan dari sudut mana penelitian menyoroti masalah yang dipilih.

(7)

1.5.1 Profesionalisme Kerja Pegawai 1.5.1.1 Definisi Profesionalisme Kerja

Menurut Siagian (2009:163) profesionalisme adalah, “Keandalan dan keahlian dalam pelaksanaan tugas sehingga terlaksana dengan mutu tinggi, waktu yang tepat, cermat, dan dengan prosedur yang mudah dipahami dan diikuti oleh pelanggan.” Sedarmayanti (2004:157) mengungkapkan bahwa, “Profesionalisme adalah suatu sikap atau keadaan dalam melaksanakan pekerjaan dengan memerlukan keahlian melalui pendidikan dan pelatihan tertentu dan dilakukan sebagai suatu pekerjaan yang menjadi sumber penghasilan.”

Atmosoeprapto dalam Kurniawan (2005:74), menyatakan bahwa, “Profesionalisme merupakan cermin dari kemampuan (competensi), yaitu memiliki pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), bisa melakukan (ability) ditunjang dengan pengalaman (experience) yang tidak mungkin muncul tiba-tiba tanpa melalui perjalanan waktu.”

Profesionalisme menurut Dwiyanto (2011:157) adalah, “Paham atau keyakinan bahwa sikap dan tindakan aparatur dalam menyelenggarakan kegiatan pemerintahan dan pelayanan selalu didasarkan pada ilmu pengetahuan dan nilai-nilai profesi aparatur yang mengutamakan kepentingan publik.”

(8)

Profesionalisme aparatur dalam hubungannya dengan organisasi publik menurut Kurniawan (2005:79) digambarkan sebagai, “Bentuk kemampuan untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda, memprioritaskan pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat atau disebut dengan istilah resposivitas.”

Seorang professional dianggap memiliki keahlian, akan melakukan kegiatan-kegiatan diantaranya pelayanan publik dengan mempergunakan keahliannya itu sehingga menghasilkan pelayanan publik yang lebih baik mutunya, lebih cepat prosesnya, mungkin lebih bervariasi yang kesemuanya mendatangkan kepuasan pada masyarakat.

Profesional adalah orang yang terampil, handal, dan sangat bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya. Orang yang tidak mempunyai integritas biasanya tidak profesional. Profesionalisme pada intinya adalah kompetensi untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara baik dan benar. Yang dimaksud profesional adalah kemampuan, keahlian atau keterampilan seseorang dalam bidang tertentu yang ditekuninya sedemikian rupa dalam kurun waktu tertentu yang relatif lama sehingga hasil kerjanya bernilai tinggi dan diakui serta diterima masyarakat.

Adapun ukuran profesional tidaknya pekerja yang memberikan pelayanan kepada masyarakat dapat dilihat pada pelayanan yang diberikan. Apabila pelayanan yang diberikan secara umum dapat memberi kepuasan kepada masyarakat yang

(9)

dilayani, maka tidak usah ragu untuk menyatakan bahwa pelayanan telah diberikan secara profesional. Sebaliknya, apabila masyarakat pada umumnya masih mengeluhkan pelayanan yang diberikan berarti perlu dilakukan peningkatkan profesionalitas. Oleh karena itu, akan sangat wajar apabila masyarakatlah yang paling berhak untuk memberikan penilaian. Profesional bukanlah label yang anda berikan kepada diri sendiri, ini adalah suatu diskripsi yang anda harapkan akan diberikan oleh orang lain kepada anda.

1.5.1.2 Ciri-ciri Sikap Profesionalisme Kerja

Ada empat ciri-ciri yang bisa ditengarai sebagai petunjuk atau indikator untuk melihat tingkat profesionalitas seseorang, yaitu :

1. Penguasaan ilmu pengetahuan seseorang dibidang tertentu, dan ketekunan mengikuti perkembangan ilmu yang dikuasai

2. Kemampuan seseorang dalam menerapkan ilmu yang dikuasai, khususnya yang berguna bagi kepentingan sesama

3. Ketaatan dalam melaksanakan dan menjunjung tinggi etika keilmuan, serta kemampuannya untuk memahami dan menghormati nilai-nilai sosial yang berlaku dilingkungannya

4. Besarnya rasa tanggung jawab terhadap Tuhan, bangsa dan negara, masyarakat, keluarga, serta diri sendiri atas segala tindak lanjut dan perilaku

(10)

dalam mengemban tugas berkaitan dengan penugasan dan penerapan bidang ilmu yang dimiliki.

1.5.1.3 Karakteristik Profesionalisme Kerja

Menurut Mertin Jr (dalam Kurniawan, 2005:75) karakteristk profesionalisme aparatur sesuai dengan tuntutan good governance, diantaranya :

1. Equality

Perlakuan yang sama atas pelayanan yang diberikan. Hal ini didasarkan atas tipe prilaku birokrasi rasional yang secara konsisten memberikan pelayanan yang berkualitas kepada semua pihak tanpa memandang afilisasi politik, status sosial dan sebagainya.

2. Equity

Perlakuan yang sama kepada masyarakat tidak cukup, selain itu perlakuan yang adil. Untuk masyarakat yang pluralistik diperlukan perlakuan yang adil dan perlakuan yang sama.

3. Loyality

Kesetiaan diberikan kepada konstitusi, hukum, pimpinan, bawahan dan rekan kerja. Berbagai jenis kesetiaan tersebut terkait satu sama

(11)

lain dan tidak ada kesetiaan yang mutlak diberikan kepada satu jenis kesetiaan tertentu dengan mengabaikan yang lainnya.

4. Accountability

Setiap aparatur pemerintah harus siap menerima tanggung jawab atas apapun yang ia kerjakan.

1.5.1.4 Faktor-faktor yang mendukung profesionalisme kerja

Faktor-faktor yang mendukung profesionalisme kerja pegawai yaitu sebagai berikut :

1. Kompetensi Aparatur

Atmosoeprapto (dalam Kurniawan, 2005:74) menyebutkan bahwa profesionalisme merupakan cermin dari kemampuan (competency) yaitu memiliki pengetahuan(knowledge), keterampilan (skill), bisa melakukan (ability), ditunjang dengan pengalaman (experience) yang tidak mungkin muncul tiba-tiba tanpa melalui perjalanan waktu.

a. Pendidikan dan Pelatihan

Menurut Siagian (2000:126) pendidikan sebagai usaha sadar dan sistematis yang berlangsung seumur hidup dalam rangka

(12)

mengalihkan pengetahuan seseorang kepada orang lain, baik yang bersifat formal dan non formal. Pelatihan menurut Sedarmayanti (2004:143) adalah salah satu bentuk peningkatan produktivitas kerja, yang dapat dilakukan didalam maupun diluar organisasi, yang dilakukan umumnya bersifat khusus, atau pendidikan formal.

Secara umum pendidikan dan pelatihan sangat mempengaruhi personel dalam meningkatkan kecakapan dan ketrampilan, terutama dalam bidang yang berhubungan dengan kepemimpinan, pengelolaan, pengawasan dan teknis yang sangat diperlukan guna menciptakan pelayanan yang lebih professional.

b. Keterampilan

Menurut Moenir (2002:117) keterampilan ialah kemampuan melaksanakan tugas/pekerjaan dengan menggunakan anggota badan dan peralatan kerja yang tersedia. Dengan pengertian ini dapat dijelaskan bahwa keterampilan lebih banyak menggunakan unsur anggota badan daripada unsur lain, seperti otot, saraf, perasaan, dan pikiran.

Dalam hal pengangkatan pegawai menurut kompetensi merupakan salah satu upaya yang dilakukan dalam menempatkan

(13)

pegawai berdasarkan kemampuannya. Menurut UU No.43 Tahun 1999 pasal 17 ayat 2, pengangkatan Pegawai Negri Sipil dalam suatu jabatan dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan kopetensi, prestasi kerja dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu serta objektif lainnya tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras, dan golongan.

c. Pengalaman

Menurut Siagian (2000:128) pengalaman adalah keseluruhan pelajaran yang dipetik oleh seseorang dari peristiwa-peristiwa yang dijalani dalam perjalanan hidupnya.

Pengalaman kerja berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan orang yang mempunyai kematangan dan pengalaman pekerjaan yang tinggi dalam bidang tertentu untuk melakukan tugas-tugas tertentu tanpa arahan dari orang lain, secara kejiwaan pengalaman kerja yang matang dalam suatu bidang tugas aka dapat menimbulkan rasa tanggung jawab dan percaya diri.

2. Loyalitas

Secara teoritis loyalitas berhubungan dengan tingkat kedisiplinan, terutama dalam hal ketaatan terhadap peraturan yang berlaku.

(14)

Kedisiplinan akan terwujud dengan baik jika pegawai mampu mentaati peraturan-peraturan yang ada. Loyalitas juga berkaitan erat dengan kemampuan pertanggungjawaban tugas pekerjaan dan daya tanggap. Selain itu loyalitas tidak membeda-bedakan pemberian pelayanan atas dasar golongan tertentu (Hasibuan, 2002:178).

3. Budaya Organisasi

Kultur organisasi adalah kerangka kerja yang menjadi pedoman tingkah laku sehari-hari dan membuat keputusan untuk karyawan dan mengarahkan tindakan mereka untuk mencapai organisasi (Stoner, 1996:186). Budaya harus sejalan dengan tindakan organisasi pada bagian lain. Seperti merencanakan, mengorganisasikan, memimpin dan mengendalikan bahkan sebenarnya bila budaya tidak sejalan dengan tugas-tugas ini, maka organisasi menghadapi masa sulit.

4. Performansi (performance)

Performansi dapat diartikan sebagai prestasi kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian kerja atau hasil kerja (LAN, 1992). Performansi atau prestasi (kehandalan dan kecakaan) adalah hasil yang diinginkan dari prilaku. Performansi mempunyai hubungan erat dengan produktivitas karena merupakan indikator dalam menentukan bagaimana usaha untuk

(15)

mencapai tingkat produktivitas yang tinggi dalam oganisasi (Kurniawan, 2005:75).

1.5.2 Pelayanan Publik

1.5.2.1 Pengertian Pelayanan Publik

Berdasarkan keputusan Mentri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003, definisi dari pelayanan umum adalah segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah dipusat, didaerah, dan dilingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menurut UU Nomor 25/2009, bab I, pasal 1, ayat (1), pengertian pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga Negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/ atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.

Dalam konteks pelayanan publik, dikemukakan bahwa pelayanan umum adalah mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik, mempersingkat waktu pelaksanaan urusan publik dan memberikan kepuasan terhadap publik ( publik=umum).

Menurut Moenir (2006:26-27) mengemukakan bahwa pelayanan publik adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan

(16)

landasan faktor material melalui sistem, prosedur dan metode tertentu dalam usaha untuk memenuhi kepentingan orang lain sesuai dengan haknya.

Menurut Pamudji (1994:21-22) jasa pelayanan pemerintah yaitu berbagai kegiatan yang bertujuan memenuhi kebutuhan masyarakat akan barang-barang dan jasa-jasa. Jenis pelayanan publik dalam arti jasa-jasa, yaitu seperti pelayanan kesehatan, pelayanan keluarga, pelayanan pendidikan, pelayanan haji, pelayanan pencarian keadilan, dan lain-lain.

Dengan demikian, pelayanan publik adalah segala kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak dasar setiap warga Negara dan penduduk atas suatu barang, jasa dan atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggaraan pelayanan yang terkait dengan kepentingan publik.

Penyelenggaraan pelayanan publik, dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik, yaitu : penyelenggara Negara/pemerintah, penyelenggaraan perekonomian dan pembangunan, lembaga indipenden yang dibentuk oleh pemerintah, badan usaha/badan hukum yang diberi wewenang melaksanakan sebagian tugas dan fungsi pelayanan publik, badan usaha/badan hukum yang bekerjasama dan/ atau dikontrak untuk melaksanakan sebagian tugas dan fungsi pelayanan publik. Dan masyarakat umum atau swasta yang melaksanakan sebagian tugas dan fungsi pelayanan publik yang tidak mampu disediakan oleh pemerintah/pemerintah daerah. Menurut pasal 1 UU No. 25/2009, bahwa penyelenggaraan pelayanan publik adalah setiap institusi penyelenggaraan Negara, korporasi, lembaga indipenden yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang

(17)

dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik. Pada ayat 6 undang-undang yang sama disebutkan bahwa pelaksanaan pelayanan publik adalah pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam organisasi penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik.

Maka dapat dirumuskan yang menjadi unsur yang terkandung dalam pelayanan publik adalah :

1. Pelayanan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh satu badan atau lembaga atau aparat pemerintahan maupun swasta.

2. Objek yang dilayani adalah masyarakat (publik) berdasarkan kebutuhannya.

3. Bentuk pelayanan yang diberikan berupa barang dan jasa.

4. Ada aturan dan sistem dan tata cara yang jelas dalam pelaksanaannya. Agar pelayanan publik berkualitas, sudah seharusnya pemerintah mereformasi paradigma pelayanan publik tersebut. Reformasi paradigma pelayanan publik ini adalah pergeseran pola penyelenggaraan publik dari yang semula berorientasi kepada pemerintah sebagai penyedia menjadi pelayanan yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat sebagai pengguna. Dengan demikian tidak ada pintu masuk alternatif untuk memulai perbaikan pelayanan publik selain sesegera mungkin mendengarkan suara publik itu sendiri. Inilah yang akan menjadi jalan peningkatan partisipasi masyarakat di bidang pelayanan publik.

Secara umum stakeholders menilai bahwa kualitas pelayanan publik mengalami perbaikan setelah dilakukannya otonomi daerah. Namun dilihat dari sisi

(18)

efisiensi dan efektivitas, responsivitas, kesamaan perlakuan (tidak diskriminatif) masih jauh dari yang diharapkan dan masih memiliki berbagai kelemahan.

Berkaitan dengan hal-hal tersebut, memang sangat dirasakan bahwa pelayanan publik masih memiliki berbagai kelemahan, antara lain :

1. Kurang responsive. Kondisi ini terjadi pada hamper semua tingkatan unsur pelayanan, mulai pada tingkatan penanggung jawaban instansi. Respon terhadap berbagai keluhan aspirasi, maupun harapan masyarakat sering kali lambat atau bahkan diabaikan sama sekali.

2. Kurang informative. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat lambat atau bahkan tidak sampai kepada masyarakat.

3. kurang accessible. Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari jangkauan masyarakat, sehingga menyulitkan bagi mereka yang memerlukan pelayanan tersebut.

4. kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan yang lainnya kurang berkoordinasi. Akibatnya sering terjadi tumpang tindih ataupun pertengahan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait.

5. Birokratis. Pelayanan (khususnya pelayanan perizinan) pada umumnya dilakukan dengan melalui proses yang terdiri dari berbagai level, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan terlalu lama.

6. Kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat. Pada umumnya aparat pelayanan kurang memiliki kemauan untuk mendengar

(19)

keluhan/saran/aspirasi dari masyarakat. Akibatnya pelayanan ini dilaksanakan dengan apa adanya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu.

7. Inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam pelayanan perizinan) sering kali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan.

Sementara dari kelembagaan, kelemahan utama terletak pada disain organisasi yang tidak dirancang secara khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien.

1.5.2.2 Bentuk-bentuk Pelayanan Publik

Pemerintah melalui lembaga dan seluruh aparaturnya bertugas menyediakan dan menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat. Adapun kegiatan yang dilakukan oleh aparatur terdiri dari berbagai macam bentuk.

Dalam keputusan Mentri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63 Tahun 2003, pelayanan publik dibagi berdasarkan 3 kelompok, yaitu :

1. Kelompok Pelayanan Administratif, yaitu bentuk pelayanan yang menghasilkan berbagai macam dokumen resmi yang dibutuhkan oleh masyarakat atau publik.

(20)

2. Kelompok Pelayanan Barang, yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang digunakan publik.

3. Kelompok Pelayanan Jasa, yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis jasa yang dibutuhkan publik.

1.5.2.3 Standar Pelayanan Publik

Setiap penyelenggaraan pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan, sebagai jaminan adanya kepastian bagi pemberi didalam pelaksanaan tugas dan fungsinya dan bagi penerimaan pelayanan dalam proses pengajuan permohonannya.

Standar pelayanan merupakan ukuran yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik sebagai pedoman yang wajib ditaati dan dilaksanakan oleh penyelenggaraan pelayanan, dan menjadi pedoman bagi penerimaan pelayanan dalam proses pengajuan permohonan, serta sebagai alat kontrol masyarakat dan/penerima layanan atas kinerja penyelenggaraan pelayanan.

Oleh karena itu perlu disusun dan ditetapkan standar pelayanan sesuai dengan sifat, jenis dan karakteristik layanan yang diselenggarakan, serta memperhatikan kebutuhan dan kondisi lingkungan. Dalam proses perumusan dan penyusunannya melibatkan masyarakat dan/atau stakeholder lainnya (termasuk aparat birokrasi) untuk mendapatkan saran dan masukan, membangun kepedulian dan komitmen meningkatkan kualitas pelayanan.

Standar Pelayanan Publik menurut keputusan menteri PAN No.63/KEP/M.PAN/7/2003, sekurang-kurangnya meliputi :

(21)

2) Waktu Penyelesaian; 3) Biaya Pelayanan; 4) Produk Pelayanan; 5) Sarana dan Prasarana;

6) Kompetensi Petugas Pelayanan;

1.5.2.4 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Pelayanan Publik

Suatu pelayanan yang komprehenshif yang diberikan oleh pegawai pemerintah dapat dilakukan dengan memperhatikan unsur-unsur dari pelayanan tersebut yaitu pada saat terjadinya suatu interaksi antara pegawai pemerintah sebagai pemberi pelayanan dengan masyarakat sebagai konsumen dari pelayanan yang diberikan.

Menurut Moenir (2002:88) faktor-faktor yang mendukung pelayanan, sebagai berikut :

1. Faktor kesadaran yaitu kesadaran para pejabat serta petugas yang berkecimpung dalam kegiatan pelayanan. Kesadaran para pegawai pada tingkatan terhadap tugas yang menjadi tanggung jawabnya dapat membawa dampak yang sangat positif terhadap organisasinya.

2. Faktor aturan yaitu aturan dalam organisasi yang menjadi landasan kerja pelayanan. Aturan ini mutlak kebenarannya agar organisasi dan pekerjaan dapat berjalan teratur dan terarah, oleh karena itu harus dipahami oleh organisasi yang berkepentingan/bersangkutan.

(22)

3. Faktor organisasi merupakan alat serta sistem yang memungkinkan berjalannya mekanisme kegiatan pelayanan dalam usaha pencapaian tujuan. 4. Faktor pendapatan yaitu pendapatan pegawai yang berfungsi sebagai

pendukung pelaksanaannya pelayanan. Pendapatan yang cukup akan memotivasi pegawai dalam melaksanakan pekerjaan dengan baik.

5. Faktor keterampilan tugas yaitu kemampuan dan keterampilan petugas dalam melaksanakan pekerjaan. Ada tiga kemampuan yang harus dimiliki, yaitu kemampuan manajerial, kemampuan teknis, dan kemampuan untuk membuat konsep.

6. Faktor sarana yaitu sarana yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas atau pekerjaan layanan. Sarana ini meliputi peralatan, perlengkapan, alat bantu, dan fasilitas lain yang melengkapi seperti fasilitas komunikasi.

1.5.2.5 Kualitas Pelayanan Publik

Kata “kualitas’ mengandung banyak pengertian, menurut kamus bahasa Indonesia, kalitas berarti : (1) tingkat baik buruknya sesuatu; (2) derajat atau taraf (kepandaian, kecakapan, dsb); atau mutu. Pengertian kualitas menurut Fandy Tjipto (1995:24) adalah : 1) kesesuaian dengan persyaratan; (2) kecocokan untuk pemakaian; (3) perbaikan berkelanjutan; (4) bebas dari kerusakan/cacat; (5) pemenuhan kebutuhan pelanggan sejak awal dan setiap saat; (6) melakukan segala sesuatu secara benar; (7) sesuatu yang bisa membahagiakan pelanggan. Konsep kualitas pelayanan dapat dipahami melalui prilaku konsumen, yaitu suatu prilaku

(23)

yang dimainkan oleh konsumen dalam mencari, membeli,menggunakan, dan mengevaluasi suatu produk maupun pelayanan yang diharapkan dapat memuaskan kebutuhan mereka. Menurut Ibrahim (2008:22), kualitas pelayanan publik merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan dimana penilaian kualitas ditentukan pada saat terjadinya pemberian pelayanan publik tersebut.

Menurut Zeithaml dkk (boediono,2003:114) ada lima dimensi yang dapat digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan, yaitu :

1. Bukti langsung (tangibles). Yang meliputi aktifitas fisik, pegawai, perlengkapan dan sarana komunikasi. Fasilitas fisik yang dimaksud disini adalah seperti gedung perkantoran, ruang tunggu untuk customer, telepon dan komputer.

2. Daya tanggap (responsiveness). Suatu karakteristik kecocokan dalam pelayanan manusia, mampu yaitu keinginan para staf untuk membantu masyarakat dalam memberikan pelayanan dengan tanggapan. Keinginan itu seperti kemauan aparat birokrasi untuk memberikan informasi-informasi yang terkait dengan waktu pelayanan, syarat-syarat program langsung.

3. Keandalan (reability), yaitu kemampuan memberikan pelayanan yang menyajikan dengan segera dan memuaskan. Hal ini dapat dilihat dari kemampuan dan kecakapan aparat dalam mengerjakan tugas-tugas yang

(24)

dibebankan dan menjadi kewajibannya dengan cepat sesuai dengan waktu yang dijanjikan.

4. Jaminan (assurance), yaitu mencakup kemampuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki ileh para staf, bebas dari bahaya, resiko atau keraguan. Yaitu seperti kepastian yang diberikan oleh aparat untuk membuat masyarakat pengguna jasa merasa yakin bahwa tugas yang dilaksanakannya akan bebas dari kesalahn.

5. Empati (emphaty) yaitu meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik dalam memahami kebutuhan para pelanggan. Hal ini seperti bagaimana aparat menciptakan komunikasi yang eksternal untuk meningkatkan kualitas pelayanannya.

Pada prinsipnya pengertian-pengertian tersebut diatas dapat diterima. Yang menjadi pertanyaan adalah ciri-ciri atau atribut-atribut apakah yang ikut menentukan kualitas pelayanan publik tersebut. Ciri-ciri atribut-atribut tersebut menurut tjiptono (1995:25) antara lain adalah :

1. Ketepatan waktu pelayanan, yang meliputi waktu tunggu dan waktu proses.

2. Akurasi pelayanan, yang meliputi bebas dari kesalahan. 3. Kesopanan dan keramahan dalam memberikan pelayanan.

4. Kemudahan dalam mendapatkan pelayanan, misalnya banyaknya petugas yang melayani dan banyaknya fasilitas pendukung seperti komputer.

(25)

5. Kenyamanan dalam memperoleh pelayanan, berkaitan dengan lokasi, ruang tempat pelayanan, tempat parkir, kesediaan informasi dan lain-lain. 6. Atribut pendukung pelayanan lainnya seperti ruang tunggu ber- AC,

kebersihan dan lain-lain.

Untuk dapat menilai sejauh mana kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh aparatur pemerintah, perlu ada kriteria yang menunjukkan apakah suatu pelayanan publik yang diberikan dapat dikatakan baik atau buruk, berkualitas atau tidak.

Menurut Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1995 tentang perbaikan dan peningkatan mutu pelayanan, dinyatakan bahwa hakekat pelayanan umum adalah :

1. Meningkatkan mutu produktivitas pelaksanaan tugas dan fungsi instansi pemerintah di bidang pelayanan umum.

2. Mendorong upaya mengefektifkan sistem dan tata laksana pelayanan umum dapat dilaksanakan secara berdaya guna dan berhasil guna.

3. Mendorong tumbuhnya kreativitas, prakarsa dan peran serta masyarakat dalam pembangunan serta dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas.

Oleh karena itu dalam pelayanan publik harus mengandung unsur-unsur dasar sebagai berikut :

1. Hak dan kewajiban bagi pemberi maupun pelayanan umum harus jelas dan diktahui secara pasti oleh masing-masing pihak.

(26)

2. Pengaturan setiap bentuk pelayanan umum harus disesuaikan dengan kondisi kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk membayar berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dengan tetap berpegang teguh pada efisiensi dan efektifitas.

3. Kualitas, proses dan hasil pelayanan umum harus diupayakan agar dapat memberi keamanan, kenyamanan, kepastian hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.

Apabila pelayanan umum yang diselenggarakan oleh pemerintah terpaksa harus mahal, maka instansi pemerintah yang bersangkutan berkewajiban memberi peluang kepada masyarakat untuk ikut menyelenggarakannya. Selain itu Zeithaml et,al. (1990:36) mengatakan bahwa ada 4 (empat) jurang pemisah yang menjadi kendala dalam pelayanan publik, yaitu sebagai berikut :

a. Tidak tahu apa yang sebenarnya diharapkan oleh masyarakat; b. Pemberian ukuran yang salah dalam pelayanan masyarakat; c. Keliru penampilan diri dalam pelayanan publik itu sendiri; d. Ketika membuat perjanjian terlalu berlebihan atau pengobralan.

Terciptanya kepuasan pelanggan dapat memberikan berbagai manfaat, diantaranya hubungan antara pelanggan dan pemberi layanan menjadi harmonis, sehingga memberikan dasar yang baik bagi terciptanya loyalitas pelanggan, membentuk suatu rekomendasi dari mulut ke mulut (word of mounth) yang menguntungkan bagi pemberi layanan, reputasi yang semakin baik di mata

(27)

pelanggan, serta laba (PAD) yang diperoleh akan semakin meningkat ( Tjiptono,1995:42).

1.5.3. Pengaruh Profesionalisme Kerja Pegawai Terhadap Kualitas Pelayanan Publik.

Dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa, prioritas pembangunan bidang penyelenggaraan Negara diarahkan pada upaya peningkatan kinerja birokrasi agar birokrasi mampu menciptakan kondisi yang kondusif bagi terpenuhinya kebutuhan masyarakat, meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik, dan menekan tingkat penyalahgunaan wewenang di lingkungan pemerintahan.

Kebijakan untuk mewujudkan birokrasi yang “netral” dalam penyelenggaraan administrasi dan pemerintahan, ternyata dalam praktik banyak mengalami tantangan. Dimana publik sangat mengharapkan adanya pelayanan publik yang baik, yang proporsional dengan kepentingan publik, yaitu birokrasi yang berorientasi kepada pengadaan keseimbangan antara kekuasaan (power) yang dimiliki dengan tanggung jawab (accountability) yang seharusnya diberikan kepada publik yang dilayani.

Pemerintahan akan berjalan dengan baik apabila dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan politik atau organisasi massa. Namun, jika kekuatan-kekuatan-kekuatan-kekuatan politik dan organisasi massa tersebut kurang mampu menjalankan fungsi-fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan masyarakat, apabila jika tidak didukung dengan adanya proses pengambilan keputusan (rule making) dan pengontrolan keputusan yang baik, maka

(28)

hal ini dapat mengakibatkan kekuasaan birokrasi menjadi semakin besar, yang memungkinkan aparat birokrasi dapat dengan leluasa mengendalikan lingkungan luar birokrasi, sehingga dapat mengokohkan kedudukannya dalam tatanan organisasi pemerintahan. Penyalahgunaan kekuasaan tersebut dapat mengakibatkan kegagalan dalam memberikan pelayanan kepada publik, dan kegagalan dalam merealisasikan program-program yang telah diputuskan.

Masalah tersebut bisa saja terjadi karena paradigma pemerintahan yang masih belum mengalami perubahan mendasar.paradigma lama tersebut ditandai dengan prilaku aparatur Negara di lingkungan pemerintahan yang masih menempatkan dirinya untuk dilayani bukannya untuk melayani, padahal seharusnya pemerintah melayani publik bukan dilayani oleh publik. Seharusnya dalam era demokrasi desentralisasi saat ini, seluruh perangkat birokrasi menyadari bahwa pelayanan berarti semangat pengabdian yang mengutamakan efisiensi dan keberhasilan bangsa dalam pembangunan, yang dimanifestasikan kedalam prilaku “melayani,bukan dilayani”,”mendorong, bukan menghambat”,”mempermudah, bukan mempersulit”,”sederhana, bukan berbelit-belit”, “terbuka untuk setiap orang, bukan hanya untuk segelintir orang”.

Dalam mewujudkan visi dan misi organisasi birokrasi publik, profesionalisme aparatur dibutuhkan, karena dengan kondisi kualitas layanan yang prima, maka secara otomatis tujuan organisasi akan mudah tercapai. Profesionalisme menunjukan pada kemampuan petugas atau aparat yang bekerja secara maksimal sesuai dengan kemampuannya dan mampu mengatasi bidang pekerjaannya secara efektif dan

(29)

efisien. Profesionalisme diukur melalui keahlian yang dimiliki oleh seseorang, yang sesuai dengan kebutuhan tugas yang dibebankan oleh organisasi kepada seseorang. Ini berarti aparat yang bertugas harus menguasai secara tepat semua mekanisme kerja dan metode kerja yang ada, sehingga tujuan organisasi dapat tercapai melalui peningkatan kualitas pelayanan kepada para pengguna jasa atau masyarakat yang ada ketika melakukan pengurusan terhadap masalah yang dialami.

Bagi para penyelenggara pemerintah Negara yang berkehendak menyatukan tindakan dan kebijaksanaan dengan tatanan nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat, maka aparat birokrasi haruslah sensitive, responsive dan akuntabel. Sensitivitas dan responsibilitas pada dasarnya merupakan wujud sikap tanggung jawab aparat birokrasi terhadap kepentingan masyarakat. Kualitas pelayanan publik dari pemerintah sebenarnya tidak hanya ditentukan oleh faktor intern, seperti prilaku pegawai, kepemimpinan, birokrasi, rangsangan yang memadai, kejelasan tugas dan prosedur kerja, kejelasan peran dan kelengkapan sarana dan prasarana kerja dan sejenisnya. Akan tetapi jika karena faktor ekstern, yang antara lain berupa norma sosial dan sistem budaya, seperti persepsi, sikap, nilai-nilai organisasi dan sentimen masyarakat terhadap kinerja aparat birokrasi. Dengan demikian masalah tanggung jawab publik dan pelayanan aparat birokrasi sebenarnya bukan semata-mata masalah aparat birokrasi, tetapi menjadi masalah dari semua pihak yang terlibat dalam urusan pemerintahan, sehingga perlu perhatian dari setiap komponen penyelenggaraan Negara.

(30)

1.6 Hipotesis

Hipotesis merupakan dugaan sementara didalam penelitian dan harus diuji kebebarannya sehingga dengan demikian suatu hipotesis diterima atau ditolak hasilnya. Suatu hipotesis dapat diterima apabila disertai dengan pembuktian yang nyata.

Menurut Sugiono (2005:70), hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, oleh sebab itu rumusan masalah penelitian biasanya disusun dalam bentuk kalimat pertanyaan. Maka dari rumusan masalah dan kerangka teori yang dikemukakan diatas, penulis menurunkan hipotesa penelitian sebagai berikut :

Hipotesis Alternatif (Ha) : ada hubungan positif antara profesionalisme kerja pegawai dengan kualitas pelayanan publik.

Hipotesa Nol (Ho) : tidak ada hubungan positif antara profesionalisme kerja pegawai dengan kualitas pelayanan publik.

1.7 Definisi Konsep

Konsep adalah mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari sejumlah karakteristik kejadian, keadaan, kelompok atau individu tertentu yang menjadi pusat perhatian, (Singarimbun,1997:33). Untuk memberikan batas-batas yang jelas dari masing-masing konsep, guna menghindari adanya salah pengertian, maka definisi beberapa konsep yang dipaki dalam penelitian ini sesuai

(31)

dengan kerangka teoritis yang telah dikemukakan diatas. Adapun yang menjasi definisi konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Profesionalisme kerja pegawai adalah suatu kemampuan dan ketrampilan seorang pegawai dalam melakukan pekerjaan menurut bidang dan tingkatan masing-masing. Profesionalisme menyangkut kecocokan, antara kemampuan yang dimilikioleh birikrasi dengan kebutuhan tugas pegawai.

2. Kualitas pelayanan publik adalah mutu/kualitas pelayanan birokrat terhadap masyarakat yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan/masyarakat. Kualitas pelayanan berhubungan erat dengan pelayanan yang sistematis dan komprehensif yang dikenal dengan konsep pelayanan prima.

1.8 Definisi Operasional

Menurut Singarimbun (1995:46), definisi operasional adalah unsur-unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana mengukur suatu variable sehingga dengan pengukuran tersebut dapat diketahui indikator-indikator apa saja sebagai pendukung untuk dianalisa kedalam variable-variabbel tersebut.

Definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Variabel bebas (X), profesionalisme kerja pegawai diukur dengan indicator, sebgai berikut :

a. Equality pegawai

(32)

2) Konsistensi dalam memberikan pelayanan

b. Equity pegawai

1) Tidak adanya pengaruh pangkat/jabatan terhadap kebebasan pegawai jika ingin menyampaikan pendapat.

2) Tidak adanya pengaruh perbedaan jenis kelamin dalam penempatan posisi kerja.

c. Loyality pegawai

1) Kesetiaan kepada institusi 2) Kesetiaan kepada pimpinan 3) Kesetiaan kepada sesama d. Akuntanbilitas Pegawai

1) Akuntanbilitas kinerja pelayanan publik : integritas (selalu memegang teguh kode etik dan prinsip-prinsip moral yang ditetapkan), tingkat ketelitian, kelengkapan sarana dan prasarana, kejelasan peraturan dan kedisiplinan.

2) Akuntanbilitas biaya pelayanan publik harus sesuai dengan ketentuan dengan perundang-undangan.

(33)

2. Variabel terikat (Y), kualitas pelayanan public diukur dengan indikator, sebagai berikut :

a. Bukti langsung. Tersedianya ruang tunggu, seragam, perlengkapan, dan sarana komunikasi.

b. Daya tanggap. Dapat diakses, tidak lama menunggu, respon terhadap permintaan.

c. Keandalan. Penyelesaian pelayanan dengan cepat dan selesai pada waktu yang dijanjikan.

d. Jaminan. Terpercaya, reputasi yang baik dalam hal pelayanan, pegawai yang kompeten.

e. Empati. Mengenal pelanggan, pendengar yang baik dan sabar.

1.9. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, definisi konsep, dan sistematika penulisan.

BAB II METODE PENELITIAN

Bab ini terdiri dari bentuk penelitian, lokasi dan waktu penelitian, informan penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisa data. BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

(34)

Bab ini berisi gambaran umum tentang objek atau lokasi penelitian yang relevan dengan topik penelitian.

BAB IV PENYAJIAN DATA DAN ANALISA DATA

Bab ini berisi hasil data yang diperoleh dari lapangan dan atau berupa dokumen yang akan dianalisis serta tentang uraian data-data yang diperoleh setelah melakukan penelitian.

BAB V PENUTUP

Bab ini memuat kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang dilakukan.

Referensi

Dokumen terkait

Sri Masita Laluhang, menulis sebuah jurnal yang berjudul „‟Implementasi Program Keluarga Harapan‟‟ Hasil penelitian menunjukan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh

Hambatan tersebut dapat berupa stress psikologis yang disebabkan oleh waktu bekerja, berkurangnya waktu untuk pelekatan menyusui dengan bayi, tidak tersedia tempat

Jika Yesus adalah Illahi dan Roh adalah suatu pribadi, maka monoteisme Yudaisme (lih. Ul 6:4-6 tapi perhatikan Yes 63:9-10) harus ditafsirkan kembali dalam terang dari satu

Kondisi tersebut sesuai dengan penelitian terdahulu yang menyebutkan bahwa pelaksanaan program PKPR di Puskesmas Kabupaten Tegal belum memenuhi kriteria

Penelitian mengenai keterkaitan antara penggunaan bahasa dalam keluarga dengan kebiasaan anak dalam bertutur digunakan sebagai upaya untuk mengetahui seberapa besar

Penelitian ini menggunakan data berformat .openssl, dimana proses pengambilan data dilakukan melalui situs resmi pencatatan gempa yaitu webdc.eu. Data ini nantinya akan

Pada penelitian ini akan dikaji bagaimana aplikasi metode Fuzzy Autoregressive (FAR) untuk memprediksi interval harga penutupan saham harian dari Jakarta Composite

Penggunaan tipografi yang dilakukan oleh surat kabar Thairath tidak sesuai, karena huruf yang digunakan pada subhead di halaman muka surat kabar tersebut ukuran hurufnya hampir