BAB I BAB I
PENDAHULUAN PENDAHULUAN
A.
A. Latar BelakangLatar Belakang
Negara Republik Indonesia ialah ne
Negara Republik Indonesia ialah negara hukum berdasarkan Pancasilagara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai negara hukum, Indonesia meletakkan sendi-sendi hukum di atas negara hukum, Indonesia meletakkan sendi-sendi hukum di atas segalagalanya. Hal tersebut berarti bukan hanya masyarakat saja yang harus segalagalanya. Hal tersebut berarti bukan hanya masyarakat saja yang harus tunduk pada hukum, tetapi penguasa dan penyelenggara negarapun dalam tunduk pada hukum, tetapi penguasa dan penyelenggara negarapun dalam melaksanakan kekuasaan dan penyelenggaraan negara juga harus didasarkan melaksanakan kekuasaan dan penyelenggaraan negara juga harus didasarkan dan dibatasi oleh hukum.
dan dibatasi oleh hukum.11
Dalam kehidupan bernegara yang demikian, maka persamaan Dalam kehidupan bernegara yang demikian, maka persamaan kedudukan diantara warga negara dalam hukum mutlak harus dijamin. kedudukan diantara warga negara dalam hukum mutlak harus dijamin. Dengan demikian tiap warga negara mempunyai persamaan kedudukan, Dengan demikian tiap warga negara mempunyai persamaan kedudukan, persamaan
persamaan hak hak dan dan persamaan persamaan kewajiban kewajiban dalam dalam hukum. hukum. Guna Guna mewujudkanmewujudkan hal tersebut diperlukan upaya untuk menegakkan ketertiban, keadilan, hal tersebut diperlukan upaya untuk menegakkan ketertiban, keadilan, kebenaran dan kepastian hukum yang mampu memberikan perlindungan kebenaran dan kepastian hukum yang mampu memberikan perlindungan kepada masyarakat khususnya dalam hubungan antara masyarakat dengan kepada masyarakat khususnya dalam hubungan antara masyarakat dengan badan atau pejabat tata usaha negara.
badan atau pejabat tata usaha negara.
Keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara dalam system Keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara dalam system ketatanegaraan suatu negara, dalam tataran teoretis merupakan perwujudan ketatanegaraan suatu negara, dalam tataran teoretis merupakan perwujudan dari salah satu pilar prinsip negara hukum, khususnya dalam prespektif ajaran dari salah satu pilar prinsip negara hukum, khususnya dalam prespektif ajaran negara hukum rechtsstaat. Keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara adala negara hukum rechtsstaat. Keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara adala salah satu unsur mutlak yang harus dipenuhi oleh suatu negara hukum salah satu unsur mutlak yang harus dipenuhi oleh suatu negara hukum Keberadaannya dimaksudkan sebagai penjaga agar setiap kegiatan dan Keberadaannya dimaksudkan sebagai penjaga agar setiap kegiatan dan tindakan pemerintah dalam penyelenggaraan tugasnya selalu berdasarkan tindakan pemerintah dalam penyelenggaraan tugasnya selalu berdasarkan pada
pada ketentuan ketentuan hukum hukum ((rechtmatigheid van het bestuur rechtmatigheid van het bestuur ) dan terlaksananya) dan terlaksananya jaminan serta perlindungan terhadap hak warga neg
jaminan serta perlindungan terhadap hak warga negara.ara.
1
1 Lotulung, Paulus Effendi, Hukum Tata Usaha Negara Dan Kekuasaan, Salemba Humanika, Lotulung, Paulus Effendi, Hukum Tata Usaha Negara Dan Kekuasaan, Salemba Humanika, Jakarta, 2013. Hlm. 58.
Indonesia sebagai negara hukum tengah berusaha meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh warganya dalam segala bidang. Kesejahteraan itu hanya dapat dicapai dengan melakukan aktivitas-aktivitas pembangunan di segala bidang. Dalam melaksanakan pembangunan yang multi kompleks sifatnya tidak dapat dipungkiri bahwa aparatur pemerintah memainkan peranan yang sangat besar. Konsekuensi negatif atas peran pemerintah tersebut adalah munculnya sejumlah penyimpangan. Penyimpangan- penyimpangan yang dilakukan oleh aparat pemerintahan itu tidak mungkin dibiarkan begitu saja. Disamping itu, juga diperlukan sarana hukum untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat.
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan adalah peraturan perundangan yang pertamakali mengatur mengenai penyelenggaraan pemerintahan agar lebih sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat serta sebagai landasan dan pedoman bagi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. Selain itu juga sebagai hukum administrasi materiil dari sistem Peradilan Tata Usaha Negara.
Sistem kontinental yang mempengaruhi sistem hukum Indonesia, menempatkan peradilan administrasi sebagai salah satu unsur penting dalam negara hukum. Dikemukakan oleh Yuslim, bahwa perbedaan pokok antara sistem hukum kontinental dan sistem hukum Anglo Saxon dalam praktek bernegara, adalah dalam negara yang mengikuti sistem hukum continental
mengenal peradilan administrasi sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, sedangkan negara dengan sistem hukum Anglo Saxon tidak mengenal peradilan administrasi. Prinsip equality before the law dalam system hukum Anglo Saxon menghendaki perlakuan yang sama terhadap warga negara dan paneyelenggara negara.2
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) memiliki kewenangan untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara oleh pejabat atau badan tata usaha negara baik di tingkat pusat maupun daerah. Kewenangan ini
berkembang sejalan dengan praktek penyelenggaraan pemerintahan yang juga semakin luas dan timbulnya lembaga negara yang mendukung terlaksananya pemerintahan.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berdasarkan Pasal 144 dapat disebut Undang-undang Peradilan Administrasi Negara, maka dewasa ini perlindungan hukum terhadap warga masyarakat atas perbuatan yang dilakukan oleh penguasa dapat dilakukan melalui 3 badan, yakni sebagai berikut:
1. Badan Tata Usaha Negara, dengan melalui upaya administratif.
2. Peradilan Tata Usaha Negara, berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tara Usaha Negara (PTUN).
3. Peradilan Umum, melaui Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Melihat betapa pentingnya peran Peradilan Tata Usaha negara dalam menciptakan Negara Indonesia yang adil dan sejahtera, pemakalah tertarik untuk membahas lebih dalam mengenai Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia.
Dalam PTUN, seseorang dapat mengajukan gugatan terhadap kebijakan pemerintah yang dipercaya telah merugikan individu dan atau masyarakat. Subjek atau pihak-pihak yang berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara ada 2 yakni, Pihak penggugat, yaitu seseorang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, serta Pihak Tergugat, yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya. Dalam Undang Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Perubahan UU PTUN),
pihak ketiga tidak dapat lagi melakukan intervensi dan masuk ke dalam suatu sengketa TUN.
Kekuasaan kehakiman dilingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dalam UU PTUN dilaksanakan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang berpuncak pada Mahkamah Agung. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara pada dasamya merupakan pengadilan tingkat banding terhadap sengketa yang telah diputus oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, kecuali dalam sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Tata Usaha Negara di daerah hukumnya serta sengketa yang terhadapnya telah digunakan upaya administratif. Adapun hukum acara yang digunakan pada Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai persamaan dengan hukum acara yang digunakan pada Peradilan Umum untuk perkara Perdata, dengan perbedaan dimana Peradilan Tata Usaha Negara
Hakim berperan lebih aktif dalam proses persidangan guna memperoleh kebenaran materiil dan tidak seperti dalam kasus gugatan perdata, gugatan TUN bukan berarti menunda dilaksanakannya suatu KTUN yang disengketakan.
Beradasrkan ur aian diatas maka makalah ini berjudul “Kewenangan PTUN dalam penyelesaian sengketa oleh PTUN berdasarkan Undang-undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang terjadi di
lingkungan TUN”
B. Perumusan Permasalah
Berdasarkan uraian latar belakan diatas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kewenangan PTUN dalam penyelesaian sengketa yang dapat diadili oleh PTUN berdasarkan Undang-undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan?
2. Bagaimana Pengadilan Tata Usaha negara (PTUN) menyelesaikan sengketa yang terjadi di lingkungan TUN?
BAB II PEMBAHASAN
A. Kewenangan PTUN dalam perluasan obyek sengketa yang dapat diadili oleh PTUN berdasarkan Undang-undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
Kewenangan yang dimiliki oleh PTUN adalah kewenangan berdasarkan UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang sekaligus merupakan landasan operasional. Rochmat Soemitro menyebutkan, sengketa timbul antara dua pihak yang mengganggu serta menimbulkan gangguan dalam tata kehidupan bermasyarakat, dan untuk menyelesaikan sengketa perlu ada suatu bantuan dari pihak ketiga yang bersikap netral dan tidak memihak. Pengadilan harus dapat mengatasi dan
menyelesaikan sengketa secara adil, untuk itu masyarakat atau pihak yang bersengketa harus memiliki kepercayaan bahwa Pengadilan akan
menyelesaikan sengketa secara adil.3
Pasal 47 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan bahwa pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara. Pembahasan mengenai kewenangan yang dimiliki berkaitan erat dengan obyek sengketa yang harus diperiksa, diputus dan diselesaikan. Obyek sengketa yang diperiksa adalah, penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang bersifat konkrit, individual, final dan menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata.
Sengketa tata usaha negara dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), pertama sengketa intern menurut Wicipto Setiadi, menyangkut persoalan kewenangan pejabat Tata Usaha Negara dalam satu instansi atau kewenangan antar departemen / instansi lainnya, yang disebabkan tumpang tindihnya
kewenangan, sehingga menimbulkan kekaburan kewenangan.4 Kedua, sengketa ekstern menurut Sjachran Basah dalam Victor Yaved Neno adalah sengketa antara administrasi negara dan rakyat adalah perkara administrasi yang menimbulkan sengketa antara administrasi negara dengan rakyat dengan unsur yang bersumber dari unsur peradilan administrasi murni.5
Merujuk pada isi Pasal 47 dan Pasal 1 huruf c UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, secara jelas telah ditegaskan bahwa kewenangan yang dimiliki adalah untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa di bidang tata usaha negara. Di dalam Pasal 21 ayat (1) UU Nomor 30 memeriksa, dan memutuskan ada atau tidak unsur penyalahgunaan wewenang oleh Pejabat Pemerintahan. Badan atau Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan. Hal ini berbeda dengan isi Pasal 47 UU No. 5 Tahun 1986, sebagaimana dikemukakan sebelumnya, dalam Pasal 21 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2014 disebutkan PTUN menerima, memeriksa dan memutus ada atau tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang, yang secara jelas hal tersebut bukan sengketa tata usaha negara.
Rumusan isi kedua pasal tersebut berbeda, yang dapat timbul pemikiran bahwa : satu, kewenangan PTUN menjadi lebih luas, tidak sekedar memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara, tetapi juga menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan. Kedua, bahwa terhadap putusan Pengadilan mengenai ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang tersebut, dapat diajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang putusannya bersifat final dan mengikat.
Kedua hal tersebut merupakan perluasan terhadap kewenangan PTUN, yaitu tidak menyelesaikan sengketa tata usaha negara saja, tetapi cakupan
4 Wicipto Setiadi, 1994, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Suatu Perbandingan, . Jakarta, RajaGrafindo Persada, hlm. 93.
5 Victor Yaved Neno, 2006, Implikasi Pembatasan Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm. 56
kewenangan yang lebih luas. Bertambah luasnya kewenangan PTUN ini menimbulkan pertanyaan, mengapa untuk menilai ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang oleh Pejabat Pemerintahan, memerlukan keputusan dari lembaga Peradilan dan juga dapat diajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Perlu dilihat sejarah pembentukan UU tentang PTUN, yang berkaitan dengan ruang lingkup kewenangan. Ruang lingkup kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara yang dicantumkan pada Draft RUU Peratun versi LPHN (RUU II Tahun 1976), disebutkan bahwa lingkup kewenangan Peratun tidak hanya terbatas pada keputusan tertulis yang bersifat konkret, indivdual, final tetapi juga mencakup semua tindakan pemerintah yang dianggap melawan hukum (onrechtmatige overheidsdaad).6
Pada Draft RUU Peratun versi LPHN atau RUU II Tahun 1976, Pemerintah sudah memasukkan semua tindakan pemerintah yang dianggap melawan hukum sebagai obyek sengketa yang dapat diperiksa, diputus dan diselesaikan oleh PTUN. Namun yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1986 adalah “sengketa tata usaha negara” artinya berbeda dengan yang diusulkan dalam Draft RUU Peratun versi LPHN. Ternyata apa yang pernah dicantumkan dalam Draft RUU Peraturan versi LPHN justru di muat dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan merupakan kewenangan PTUN.
Isi Pasal 21 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebagai upaya Pemerintah untuk memperluas kewenangan PTUN sehingga tidak hanya sebagai peradilan tata usaha negara tetapi juga sebagai peradilan administrasi. Untuk mengetahui pemikiran atau latar belakang kemungkinan upaya Pemerintah memperluas kewenangan PTUN, dapat dilihat pendapat para ahli hukum terkait hal tersebut terutama pada saat penyusun RUU PERATUN. Mengenai hal tersebut Wicipto Setiadi mengemukakan pendapat pertama, adanya kekhawatiran Pemerintah terhadap
6 Paulus Effendi Lotulung, 2013, Lintasan Sejarah dan Gerak Dinamika Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN), Jakarta, Salemba Humanika, hlm. 24.
kinerja aparat pemerintahan atau, kedua ada kesengajaan oleh Pemerintah untuk membatasi diri pada lingkup sempit, dengan tidak menutup kemungkinan terjadi perluasan kewenangan PTUN di masa mendatang. Sehingga tidak sekedar PTUN tetapi sebagai peradilan administrasi yang berarti menjangkau setiap perbuatan atau tindakan hukum publik oleh
Pemerintah.7
Berawal dari pendapat Wicipto Setiadi di atas, dan adanya UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebagai undang-undang pertama dalam bidang hukum administrasi negara sekaligus sebagai hukum formil terhadap PTUN, bahwa memang ada kemungkinan untuk memperluas kewenangan PTUN yang diikuti dengan pelbagai bentuk tindakan hukum Pemerintah serta syarat dan akibat hukumnya. Perluasan kewenangan PTUN dapat dilihat sebagai salah satu bentuk pengawasan oleh Pemerintah terhadap Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara. Pengawasan terkait dengan hak perlindungan bagi rakyat dari tindakan hukum Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara. Selain itu pengawasan juga sebagai upaya kontrol yang dilakukan Pemerintah. Dikemukakan oleh Paulus Effendi Lotulung, bahwa kontrol yang dilakukan peradilan mempunyai ciri-ciri : pertama, bersifat ekstern karena dilakukan oleh badan atau lembaga diluar pemerintahan, kedua, a-posteriori yaitu selalu dilakukan setelah terjadinya perbuatan yang di kontrol, ketiga, kontrol dari segi hukum karena menilai dari segi hukumnya saja.
B. Pengadilan Tata Usaha negara (PTUN) Menyelesaikan Sengketa yang Terjadi di Lingkungan TUN
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan digunakan terhadap gugatan dengan objeknya berupa Keputusan Tata Usaha Negara yang dalam peraturan dasarnya tidak mengisyaratkan adanya penyelesaian sengketa
melalui upaya administratif terlebih dahulu, maka dapat digunakan prosedur gugatan langsung ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Dalam hal digunakan
upaya peradilan, maka segi penilaian Hakim terhadap Keputusan TUN didasarkan aspek rechtmatigheid (aspek legalitasnya) saja.
Tahapan menggugat melalui Peradilan Tata Usaha Negara diawali pada saat penggugat berniat memasukkan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara. Sudah dari awal harus dipikirkan bahwa sebelum secara resmi gugatan tersebut akan diperiksa di persidangan akan ada tiga tahap pemeriksaan pendahuluan atau tahap pra pemeriksaan persidangan yang semuanya saling berkaitan yang harus dilalui, yaitu pemeriksaan administratif oleh kepaniteraan, Rapat Permusyawaratan (prosedur dismisal), dan Pemeriksaan Persiapan dengan spesifikasi kewenangan dan prosedur untuk masing-masing tahap tersebut berbeda-beda.
Fungsi hukum ialah menegakkan kebenaran untuk mencapai keadilan. Keadilan adalah merupakan hal yang pokok bagi manusiadalam hidup bermasyarakat, maka dibutuhkan adanya lembaga-lembaga yang bertugas
menyelenggarakan keadilan ini. Keadilan ini dituntutkan untuk semua hubungan masyarakat, hubungan-hubungan yang diadakan oleh manusia dengan menusia lainnya, oleh karena itu berbicara tentang keadilan meliputi segala kehidupan manusia dalam hubungannya dengan manusia lain.
Keadilan ini erat hubungannya dengan kebenaran, karena sesuatu yang tidak benar tidaklah mungkin adil. Sesuatu itu benar menurut norma-norma yang berlaku akan tercapailah keadilan itu. Juniarto mengemukakan ada 4 macam kebenaran untuk mencapai keadilan:8
1) Kebenaran di dalam menentukan norma-norma hukum yang berlaku agar sesuai dengan rasa kebenaran yang hidup dalam masyarakat.
2) Kebenaran berupa tindakan-tindakan dari setiap anggota masyarakat dalam melakukan hubungan agar sesuai dengan norma-norma hukumya berlaku.
3) Kebenaran dalam mengetahui fakata-fakta tentang hubungan-hubungan yang sesungguhnya terjadi sehingga tidak ada penambahan atau pengurangan maupun penggelapan daripadanya.
4) Kebenaran di dalam memberikan penilaian terhadap fakta-faktanya terhdap norma-norma hukum yang berlaku.
Demikian empat kebenaran yang harus diperhatikan dalam rangka mencapai keadilan. Kepada lembaga-lembaga yang bertugas untuk menetapkan keadilannya atau dengan perkataan lain bertugas memberi kontrol, meminta pertanggungjawaban dan memberikan sanksi-sanksinya, maka tindakan pertama yang harus diperhatikan ialah mencari kebenaran tentang fakta-fakta.
Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu lembaga yang bertugas menyelenggarakan keadilan ini juga harus memperhatikan kebenaran-kebenaran tersebut untuk mencapai keadilan. Demikian pula para anggota yang duduk dalam lembaga ini harus mempunyai keadilan khusu untuk itu dan terutama sekali mempunyai pengetahuan hukum yang cukup luas. Prajudi Atmosudirdjo, mengatakan bahwa tujuan daripada Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk mengenbangkan dan memelihara Administrasi Negara yang tepat menurut hukum (rechtmating) atau tepat menurut undang-undang (wetmatig ).9
Pemakalah sendiri berpendapat bahwa Peradilan Tata Usaha Negara dibentuk untuk menyelesaikan sengketa yang timbul antara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga masyarakat oleh akibat pelaksanaan atau penggunaan wewenang pemerintah yang dilakukan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang menimbulkan benturan kepentingan, perselisihan, atau sengketa dengan warga masyarakat.
Ciri khas hukum acara Peradilan tata usaha negara terletak pada asas-asas hukum yang melandasinya. Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa barangkali tidak berlebihan apabila dikatakan, bahwa asas hukum ini merupakan jantungnya peraturan hukum.10 Kita menyebutnya demikian oleh karena; pertama, ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum, bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa
9 Atmosudirdjo, Prajudi. 1983. Hukum Administrasi Negara. Jakarta : Ghalia. Indonesia. Hlm 59. 10 Satjipto Rahardjo, 2009, Penegakan Hukum suatu tinjauan sosiologis, Genta. Publishing, Yogyakarta. Hlm. 23.
dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Kecuali disebut landasan, asas hukum ini layak disebut sebagai alasan lahirnya peraturan hukum, atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum. Selanjutnya Satjipto Rahardjo menambahkan bahwa dengan adanya asas hukum, hukum itu bukan sekedar kumpulan peraturan-peraturan, maka hal itu disebabkan oleh karena asas itu mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis.
Paul Scholten sebagaimana dikutip oleh Bruggink memberikan definisi asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim, yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.
Dengan didasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka secara garis besarnya kita dapat menggali beberapa asas hukum yang terdapat dalam Hukum Acara Peradilan tata Usaha Negara:
1. Asas Praduga rechtmatig. (Pasal 67 ayat (1) UU PTUN)
2. Asas gugatan pada dasarnya tidak dapat menunda pelaksanaan keputusan tata usaha negara (KTUN) yang dipersengketakan. (Pasal 67 ayat 1 dan ayat 4 huruf a)
3. Asas para pihak harus didengar .
4. Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka (Pasal 24 UUD 1945 jo Pasal 4 UU 14/1970)
5. Asas peradilan dilakukan dengan sederahana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 4 UU 14/ 1970)
6. Asas hakim aktif. Sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap pokok sengketa hakim mengadakan rapat permusyawaratan untuk menetapkan apakah gugatan dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar yang dilengakapi dengan pertimbangan-pertimbangan (Pasal 62 UU PTUN), dan pemeriksaan persiapan untuk mengetahui apakah gugatan penggugat kurang jelas, sehingga penggugat perlu untuk melengkapinya (Pasal 63 UU PTUN). Dengan demikian asas ini memberikan peran kepada hakim
dalam proses persidangan guna memperoleh suatu kebenaran materil dan untuk itu UU PTUN mengarah kepada pembuktian bebas .Bahkan, jika dianggap perlu untuk mengatasi kesulitan penggugat memperoleh informasi atau data yang diperlukan, maka hakim dapat memerintahkan badan atau pejatan TUN sebagai pihak tergugat itu untuk memberikan
informasi atau yang diperlukan itu (Pasal 85 UU PTUN).
7. Asas sidang terbuka untuk umum. (Pasal 17 dan Pasal 18 UU 14/1970 jo Pasal 70 UU PTUN).
8. Asas peradilan berjenjang. Jenjang peradilan dimulai dari tingkat yang terbawah yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), kemudian Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN), dan puncaknya adalah Mahkamah Agung (MA). Dengan dianutnya asas ini, maka kesalahan dalam keputusan pengadilan yang lebih rendah dapat dikoreksi oleh Pengadilan yang lebih tinggi. Terhadap putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan upaya hukum banding kepada PT TUN dan kasasi kepada MA. Sedangkan terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan upaya hukum permohonan peninjuan kembali kepada MA.
9. Asas pengadilan sebagai upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan. (Pasal 78 dan pasal 79 UU PTUN).
10. Asas Obyektivitas.
Kompetensi (kewenangan) suatu badan pengadilan untuk mengadili suatu perkara dapat dibedakan atas kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Kompetensi relatif berhubungan dengan kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara sesuai dengan wilayah hukumnya. Sedangkan kompetensi absolut adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa.
1. Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif suatu badan pengadilan ditentukan oleh batas daerah hukum yang menjadi kewenangannya. Suatu badan pengadilan dinyatakan berwenang untuk memeriksa suatu sengketa apabila salah
satu pihak sedang bersengketa (Penggugat/Tergugat) berkediaman di salah satu daerah hukum yang menjadi wilayah hukum pengadilan itu. 2. Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara untuk mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa. Kompetensi absolut PTUN adalah sengketa tata usaha negara yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat ta ta usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun
1986 jo UU No. 9 Tahun 2004).
Perbuatan administrasi Negara (TUN) dapat dikelompokkan kepada 3 macam perbuatan yakni: mengeluarkan keputusan, mengeluarkan peraturan perundang-undangan, dan melaukan perbuatan materil. Dalam melakukan perbuatan tersebut, badan atau pejabat tata usaha Negara tidak jarang terjadi tindakan-tindakan yang menyimpang, dan melawan hukum, sehingga dapat menimbulkan berbagai kerugian, bagi yang terkena tindakan tersebut.
Sengketa dalam tata usaha Negara menurut pasal 1 angka 4 UU PTUN, yang menyebutkan sebagai berikut:
“Sengeketa tata usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata, dengan badan atau pejabat tata usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dari dikeluarkannya keputusan tata usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Adapun yang menjadi pangkal sengketa TUN adalah akibat dari dikeluarkannya KTUN. Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU PTUN yang dimaksud dengan KTUN adalah:
“Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
bersifat konkret, individual, final, yang menimbulkan akibat hukum bagi Seseorang atau Badan Hukum Perdata.
Jalur Penyelesaian Sengketa TUN menurut Pasal 48 UU No 5 Tahun 1986 tentang UU PTUN menyebutkan:
1) Dalam suatu badan atau pejabat tata usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa tata usaha Negara tertentu, maka sengketa tata usaha Negara tersebut harus
diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia.
2) Pengadila baru berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan sengketa tata usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, jika selutuh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan.
Dengan demikian upaya administatif itu merupakan prosedur yang digunakan dalam suatu peraturan perundang-undangan untuk menyelesaiakan sengketa TUN yang dilakssanakan di lingkungan pemerintah sendiri (bukan oleh peradilan yang bebas).yang terdiri dari prosedur keberatan dan prosedur banding administratif.
Dalam Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 disebutkan bahwa gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat tata usaha negara yang digugat. Tenggang waktu untuk mengajukan gugatan 90 hari tersebut dihitung secara bervarisasi: 1) Sejak hari diterimanya KTUN yang digugat itu memuat nama
penggugat.
2) Setelah lewatnya tenggang waktu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang memberikan kesempatan kepada administrasi Negara ntuk memberikan keputusan, namun ia tidak berbuat apa-apa.
3) Setelah lewat empat bulan, apabila peraturan perundang-undangan tidak memberikan kesempatan kepada administrasi Negara untuk memberikan keputusan dan ternyata ia tidak berbuat apa-apa.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat simpulkan bahwa:
1. Adanya UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, kewenangan PTUN mengalami perluasan dibandingkan dengan UU Nomor 5 Tahun 1986. Perluasan kewenangan yang dimaksud adalah pertama, menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang
yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan. Kedua, bahwa terhadap putusan Pengadilan mengenai ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang tersebut, dapat diajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang putusannya bersifat final dan mengikat. 2. Sengketa tata usaha Negara yang terjadi di lingkungan administrasi, baik
itu sengketa intern, yang menyangkut persoalan kewenangan pejabat TUN yang disengketakan dalam satu departemen atau suatu departemen dengan departemen yang lain dan sengketa ekstern yakni perkara administrasi yang menimbulkan sengketa antara administrasi Negara dengan rakyat. Maka, sengketa ini diselesaikan melalui upaya administrative, yang mana upaya administratif in berdasarkan penjelasan Pasal 48 disebutkan bahwa itu merupakan suatu prosedur yang ditempuh oleh seseorang atau badan hokum yang merasa tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara.
B. Saran
Untuk menciptakan Negara Indonesia yang dapat menjamin kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya, hendaknya kinerja dari Pengadilan Tata Usaha Negara ini lebih ditingkatkan. Mengingat saat ini, keberadaan Pengadilan Tata Usaha Negara kurang begitu menjadi sorotan masyarakat, padahal penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh aparat
pemerintahan sering terjadi, yang tentunya penyelewengan-penyelewengan itu merugikan masyarakat luas.
Dan diharapkan pula pada pemerintah, agar dalam melaksanakan kewajibannya dalam hal administrasi Negara agar lebih jujur dan bersih, sehingga Negara Indonesia ini menjadi Negara yang mendapat ancungan jempol dari Negara-negara berkembang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Atmosudirdjo , Prajudi. 1983. Hukum Administrasi Negara. Jakarta : Ghalia. Indonesia. http://belajarhukum27.blogspot.co.id/2014/ diakses pada 12 Agustus 2017.
Lotulung, Paulus Effendi, Hukum Tata Usaha Negara Dan Kekuasaan, Salemba Humanika, Jakarta, 2013.
Paulus Effendi Lotulung, 2013, Lintasan Sejarah dan Gerak Dinamika Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN), Jakarta, Salemba Humanika.
Rochmat Soemitro,1998, Peradilan Tata Usaha Negara Bandung,, Refika Aditama.
Satjipto Rahardjo, 2009, Penegakan Hukum suatu tinjauan sosiologis, Genta. Publishing, Yogyakarta.
Victor Yaved Neno, 2006, Implikasi Pembatasan Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara, Bandung, Citra Aditya Bakti.
Wicipto Setiadi, 1994, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Suatu Perbandingan, Jakarta, RajaGrafindo Persada, hlm.