FORMULAS1 MINUMAN EMULSI I U U A P-IUROTEN
DARI MINYAIC SAWIT MERAIl
OLEH:
SURFIANA
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRAK
SURFIANA. Formulasi Minuman Emulsi Kaya Beta Karoten dari Minyak Sawit Merah. Dibimbing oleh TIEN R. MUCHTADI dan DEDE ROBIATUZ ADAWIYAH.
Salah satu masalah gizi utama yang di derita oleh anak balita adalah defisiensi vitamin A. Defisiensi pada tingkat berat dapat mengakibatkan kebutaan. Oleh sebab itu diupayakan menghasilkan produk minuman emulsi sebagai produk diversifikasi minyak sawit merah yang mempakan altematif sumber vitamin A dalam rangka membantu memenuhi kecukupan gizi masyarakat terhadap vitamin A.
Penelitian dilaksanakan dengan memfonnulasikan minyak sawit merah sebagai sumber beta karoten dengan air dan dengan penambahan berbagai bahan tambahan makanan lainnya sehingga menghasilkan suatu produk emulsi sejenis
Scott's Emulsion yang memiliki rasa, wama, aroma, dan penampakan yang disukai.
Fonnulasi emulsi yang dipilih dari hasil penelitian ini meliputi rasio minyak terhadap air = 7:3 untuk emulsifier Tween 80 pada konsentrasi 1% dan 6:4 untuk emulsifier sukrosa ester asam lemak tipe S-1570, P-1570, dan emulsifier campuran sukrosa ester asam lemak ber-HLB 15 masing-masing pada konsentrasi 1%. Bahan tambahan makanan yang digunakan yaitu pengawet Benzoat (0,2%), antioksidan BHT (200 ppm), pengkelat EDTA (200 ppm), pemanis simp fruktosa (10--15%), dan flavorjemk (1--1,5%).
Produk emulsi yang terbentuk memiliki viskositas antara 380--2100 cp., bilangan asam 1.340-1.401 mg KOWg emulsi, bilangan peroksida 1.133-2.853 meqllOOOg emulsi, total karoten 299.104--414.408 ppm, kadar beta karoten 211.852-310.870 ppm dan jumlah mikroba 0.10'-3.lb' koloni mikrobalg emulsi.
Hasil uji organoleptik terhadap minuman emulsi memberikan hasil bahwa minuman emulsi yang disukai adalah jenis emulsi dengan emulsifier sukrosa ester asam lemak HLB 15 yang memiliki rasio minyak: air = 6:4. Emulsi ini memiliki nilai viskositasl650 cp., total karoten 364,893 ppm, dan kadar beta karoten 222,285 ppm.
FORMULAS1 MINUMAN EMULSI KAYA P-KAROTEN
DARI MINYAK SAWIT MERAH
SURFIANA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pangan
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Fonnulasi Minuman Emulsi Kaya P-Karoten dari Minyak Sawit Merah
Nama : Surfiana
NFP : 97148
Program Studi : Ilmu Pangan
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
g-A
Prof. Dr. IT. Tien R. Muchtadi. M.S. Ir. Dede Robiatul Adawivah. M.Si.
Ketua Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 13 Januari 1968 dari ayah Sudjadi dan ibu Sanikem. Penulis merupakan anak ketujuh dari sebelas bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung, lulus pada tahun 1992. Kesempatan untuk melanjutkan ke program Magister penulis dapat tahun 1997 pada Program Studi Ilmu Pangan Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan pascasaqana diperoleh dari Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI).
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 1999 sampai dengan bulan Agustus 2000 ini ialah Formulasi Minuman Emulsi Kaya P-Karoten dari Minyak Sawit Merah.
Pada kesempatan ini penuljs mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi. M.S. sebagai dosen pembimbing pertama yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, nasehat dan dorongan semangat kepada penulis. Serta kepada Ir. Dede Robiatul Adawiyah, M.Si. sebagai dosen pembimbing kedua yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama penelitian hingga penulisan tesis ini.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Hibah Bersaing VII yang telah memberikan bantuan dana kepada penulis dan Dr. C. Hanny Wijaya, M.Sc. atas bantuannya dalam perolehan bahan untuk penelitian.
Kepada teman-teman khususnya mbak Rama, mbak Rini, Mbak Ani, UN Susi, Imron, Sri (alm), Tensiska, Leni, Pak Sabariman, Uni Novelina, Udin dan teman- teman IPN 97 atas segala bantuan, dorongan, dan kebersamaannya selama melaksanakan penelitian. Kepada mas Taufik, mbak Ari, mbak Antin, dan Pak Ade terima kasih atas segala bantuannya selama penelitian di laboratorium.
Akhirnya kepada suami tercinta Wan Ruslan Abdul Ghani, SE. M.S. yang dengan segala ketulusan dan kesabarannya mendampingi, mendukmg, d m membantu penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan ini. Serta kepada kedua anak kami tercinta Rian dan Rosa terima kasih atas segala kasih sayangnya.
Kepada Ibunda dan ayahanda (aim) terima kasih atas segala doa, bimbingan, dan kasih sayangnya kepada penulis. Kakak-kakak dan adik-adik atas segala bantuan dan pengertiannya selama ini. Kepada Ibu d m Ayah mertua terima kasih atas segala doa, bimbingan dan bantuannya, juga kepada Kakanda Dr. H. Wan Abbas Zakaria, M.S. sekeluarga atas segala bantuan dan dorongannya, adinda Ir. Wan Umar Nurul Anwar sekeluarga, dan adinda Wan Jamatudin, M.Ag. sekeluarga atas segala bantuannya penulis ucapkan terima kasih.
DAFTAR IS1
Halaman
DAFTAR TABEL
...
vii... DAFTAR GAMBAR
...
VIII DAFTAR LAMPIRAN...
ixPENDAHULUAN
...
1Latar Belakang
. .
...
:. ...
...
Tujuan Penellt~an. .
1Manfaat Penelltlan
...
7 7 TINJAUAN PUSTAKA...
8...
Kelapa Sawit dan Pertumbuhannya Minyak Sawit Kasar (Crude Palm Oil)...
8Minyak Sawit Merah (Red Palm Oil)
...
:
...
9Komponen Minor Minyak Sawit
...
11Sistem Emulsi dan Emulsifier
...
15 Pemmusan Model Umur Simpan...
28 19...
METODOLOGI PENELITIAN 32
...
Waktu dan Tempat Penelitian...
Bahan dan Alat .
.
...
Metode Penelitlan
...
Penentuan Jenis dan Konsentrasi Emulsifier
...
Formulasi Minuman Emulsi Minyak Sawit Merah
...
Penentuan .
.
Umur Simpan Minuman EmulsiPengujlan Sifat Fisik
...
...
Viskositas . . (Metode
.
Haake.
Viscometer)...
Pengullan Sifat I m ~ a
...
Bilangan Asam (Metode Titrasi)...
Bilangan Peroksida (Metode Titrasi)
Kandungan Total Karoten (Metode Spektrofotometri)
...
...
Kadar Beta Karoten (Metode HPLC)
. .
...
Penguj~an Mikrobiologi
...
Total Mikroba (Metode Total Plate Count)
. .
...
Pengujlan Organoleptik
...
Uji Hedonik :
....
...
HASIL DAN PEMBAHASAN 45
...
Penentuan Jenis dan Konsentrasi Emulsifier 45
...
Viskositas
... .
.
......
Total Karoten
...
Kadar Beta Karoten
Bilangan Asam
...
...
Bilangan Peroksida
...
Total Mikroba
. .
...
UJI Organoleptik
...
Penentuan Umur Simpan Minuman Emulsi
...
KESIMPULAN
...
DAFTAR TABEL
Halaman
...
1 Pangsa konsumsi minyak sawit menurut bentnk konsumsi di Indonesia 32 Beda tebal tempurung dari berbagai tipe kelapa sawit
...
83 Komposisi asam lemak dalam minyak sawit Malaysia
...
114 Komponen minor dalam minyak sawit mentah (CPO)
...
16...
5 Klasifikasi emulsifier yang digunakan sebagai bahan tamballan makanan 26
6 Persentase dua jenis emulsifier dengan nilai HLB yang berbeda pada berbagai nilai HLB
...
487 Jenis dan konsentrasi emulsifier yang dipilih dan digunakan pada berbagai
...
rasio minyak dan air 49
8 Komposisi minuman emulsi kaya beta karoten dari minyak sawit merah
...
51...
9 Karakteristik minyak sawit merah 52
10 Hasil uji kesukaan pada 4 (empat) jenis minuman emulsi
...
6411 Kadar beta karoten minuman emulsi selama penyimpanan pada suhu yang berbeda
...
6512 Perubahan kadar beta karoten minuman emulsi selama penyimpanan pada suhu yang berbeda
...
65...
DAFTAR GAMBAR
1 Diagram alir proses pengolahan minyak sawit
...
132 Struktur dasar karotenoid
...
173 Komponen minor dalam minyak sawit
...
184 Tipe grup hidrofilik dan lipofilik
...
215 Skema terjadinya emulsi minyak dalam air
...
236 Struktur kimia ester sukrosa
...
27...
7 Struktur kimia polysorbate (Tween) 27
...
8 Diagram alir pembuatan minuman emulsi...
9 Skema orientasi molekul emulsifier...
10 Kemampuan dispersi dari sukrosa monoester
11 Viskositas berbagai minuman emulsi kaya beta karoten pada minggu ke-0
...
penylmpanan12 Hubungan antara lama penyimpanan dan total karoten pada berbagai jenis
...
minuman emulsi
...
13 Kadar beta karoten pada berbagai jenis minuman emulsi
14 Hubungan antara lama penyimpanan dan bilangan asam pada berbagai jenis
...
minuman emulsi
15 Hubungan
. . .
antara lama penyimpanan dan bilangan peroksida pada berbagai...
jenls mlnuman emulsi16 Hubungan antara lama penyimpanan dan jumlah mikroba pada berbagai jenis
...
minuman emulsi
17 Perubahan kadar beta karoten minuman emulsi selama penyimpanan pada suhu
...
yang berbeda
...
....
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Jenis emulsifier yang sesuai pada berbagai rasio minyak : air
...
772 Data hasil pengamatan viskositas minuman emulsi minyak sawit
...
82...
3 Data hasil pengamatan total karoten minuman emulsi minyak sawit 83...
4 Rumus perhitungan kadar beta karoten minuman emulsi minyak sawit 84 5 Data hasil pengamatan kadar beta karoten minuman emulsi minyak sawit...
846 Data hasil pengamatan bilangrin asam minuman emulsi minyak sawit
...
857 Data hasil pengamatan bilangan peroksida minuman emulsi minyak sawit
...
868 Data hasil pengamatan total mikroba minuman emulsi minyak sawit
...
87...
9 Format pengujian organoleptik minuman emulsi minyak sawit 89
10 Hasil uji kesukaan secara organoleptik terhadap minuman emulsi minyak sawit 89
...
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak pelita N, komoditi sawit telah ditetapkan sebagai komoditi ekspor
non migas untuk meningkatkan devisa dan memenuhi kebutuhan industri minyak
nabati dan industri laimya di dalam negeri. Dalam rangka itu, pemerintah (sub
sektor perkebunan) telah merencanakan peningkatan pioduksi sawit dalam skala
besar melalui program ekstensifikasi, intensifikasi, rehabilitasi, dan diversifikasi
(Muchtadi, 1996).
Menurut Pulungan dkk. (2000), dilihat dari ketersediaan sumber daya yang
ada, Indonesia masih mempunyai peluang yang besar untuk mengembangkan perkebunan dan industri kelapa sawit di masa mendatang. Pengembangan
agroindustri kelapa sawit ini h a m diamhkan untuk meningkatkan produktivitas,
efisiensi dan keberlanjutan usaha sehingga memberikan dampak yang lebih besar
lagi terhadap perekonomian daerah dan pemberdayaan masyarakat terutama
dalam menyongsong otonomi daerah.
Minyak sawit kasar atau yang dikenal dengan istilah crudepalm oil (CPO)
mempakan minyak yang diperoleh dari hasil ekstraksi bagian mesokarp (daging)
buah sawit, sedangkan mjnyak inti sawit yang dikenal dengan istilahpalm kernel
oil (PKO) diperoleh dari hasil ekstraksi inti sawit.
Menunrt data Oil Wodd (1994), dalam dekade terakhir ini pertumbuhan
2
Sementara i t y laju pertumbuhan konsumsi minyak sawit dunia pada periode yang
sama mampu bertumbuh sekitar 9% pertahun. Bahkan konsumsi minyak inti
sawit mampu bertumbuh rata-rata 10% per tahun. Sedangkan minyak kedelai
yang memiliki pangsa konsumsi terbesar dunia hanya mampu bertumbuh sekitar
3% per tahun. Dengan pertumbuhan konsumsi minyak nabati dunia yang
demikian diperkirakan pangsa minyak sawit akan menjadi sekitar 20% pada tahun
1998 ini menggeser kedudukan minyak kedelai yang pangsanya menurun menjadi
sekitar 18%.
Apabila dilihat secara global, kontribusi minyak sawit terhadap
penyediaan minyak nabati dunia adalah sebesar 21,1%. Kontribusi yang besar ini
diperkirakan masih &an naik di tahun-tahun mendatang. Hal ini karena
produhqivitas minyak sawit per satuan luas tanaman adalah yang paling besar
dengan biaya produksi yang rendah sehiigga menyebabkan minyak sawit
mempunyai daya saing yang tinggi dibandiigkan dengan minyak nabati lainnya
(Pulungan dkk, 2000).
Peranan minyak sawit dalam bidang pangan dan gizi adalah sebagai bahan
baku dalam pembuatan berbagai jenis produk pangan antara lain minyak goreng,
margarin, shortening, dan sebagainya Namun selain sebagai bahan baku dalam
pembuatan berbagai jenis produk pangan, minyak sawit digunakan pula dalam
pembuatan produk-produk kosmetika seperti sabun, shampo, lotion, dan lain-lain
Tabel 1. Pangsa konsumsi minyak sawit nlenurut bentuk konsulnsi di Indonesia.
Pangsa Bentuk yang Dikonsumsi
Tahun Minyak Margarinl Sabun Oleokimia Lain-lain
Goreng Shortening
1991 72,5 4,3 16,O
Sumber: Saragih (1998)
Di Indonesia sendiri, konsumsi minyaWlemak per kapita sekitar 10 kg per
tahun. Jika penduduk Indonesia sekitar 200 juta orang maka total konsumsi
minyakllemakper tahun sekitar 2 juta ton (Pulungan dkk., 2000).
Kennggulan minyak sawit bila dibandingkan dengan minyak nabati
lainnya yaitu selain memerlukan biaya produksi yang rendah juga mengandung
komposisi asam lemak yang berimbang dan komponen zat gizi minor yang sangat
penting untuk kesehatan manusia.
Menurut Muhilal (1998), dari sudut pandang penggunaan minyak sawit
sebagai minyak goreng perhatian ditujukan pada komposisi asam lemaknya
karena pengaruhnya terhadap derajat kesehatan konsumen dalam jangka panjang.
Secara alami minyak sawit mempunyai komposisi asam lemak yang berpengaruh
pada profil lipida darah sedemikian mpa sehingga mengurangi peluang terjadinya
atherosklerosis. Minyak sawit mengandung kombinasi asarn lemak tidak jenuh
d m asam lemak jenuh yang berimbang (50%--50%), serta lemak pada minyak
4
Muchtadi (1998) nlenyebutkan pula bahwa nilai tanlball yang dapat
diperoleh dalam minyak sawit dibandingkan dengan minyak nabati lain adalah
pada kandungan sejun~lah komponen aktif seperti karotenoid, tokoferol,
tokotrienol, asam lemak esensial, dan fitosterol. Zat gizi mikro ini sangat
bermanfaat bagi tubuh antara lain untuk penanggulangan kebutaan karena
xeroftalmia, mengurangi peluang te jadinya kanker dan mencegah proses menua
yang terlalu dini. Zat gizi mikro ini juga berperan sebagai antioksidan yang
mampu memusnahkan radikal bebas. disamping meningkatkan imunitas tubuh,
yang selanjutnya mengurangi peluang tejadinya penyakit degeneratif (Muhilal,
1998).
Sayangnya berbagai macam karoten, vitamin E, serta tokoferol tersebut
terbuang atau dengan sengaja dibuang dalam proses pengolahan menjadi minyak
goreng. Oleh karena itu, saat ini telah banyak penelitian yang dilakukan untuk
menghasilkan minyak sawit yang masih memiliki zat gizi mikro tersebut yaitu
minyak sawit merah.
Minyak sawit merah mempakan minyak sawit yang masih benvama merah
karena kandungan karotenoid yang tinggi. Untuk mempertahankan kandungan
karotenoid alami khususnya P-karoten dalam minyak sawit diperlukan suatu
teknik ekstraksi yang dapat mempertahankan zat gizi mikro tersebut antara lain
lnelalui pengendalian proses pemucatan pada metode ekstraksi konvensional,
ekstraksi dengan hydraulic presser, distilasi molekuler, dan yang berkembang
dalam dekade terakhir ini adalah teknik ekstraksi fluida superkritik. Metode-
metode tersebut mampu menghasilkan minyak sawit merah yang kaya komponen
Seluruh komponen karotelioid tersebut merupakan prekursor vitamin A
dan berfungsi sebagai provitan~in A. Dilihat dari besamya aktivitas provitamin A,
kadar karotenoid minyak sawit memiliki aktivitas 10 kali lebih besar
dibandingkan wortel dan 300 kali lebih besar dibandingkan tomat. Shaikh dan
Mikle (1998) menyatakan bahwa minyak sawit dari Indonesia mengandung 500-
700 ppm karotenoid; sekitar 60% adalah P-karoten, 30% a-karoten, dan sisanya
terdiri dari y-karoten, xanthophyl, dan likopen.
Mengkonsumsi P-karoten (provitamin A) jauh lebih aman daripada
. ~ilengkonsumsi vitamin A yang dibuat secara sintetis dan difortifikasikan ke
dalam makanan, sebab dalam tubuh P-karoten alami akan diabsorbsi dan
dimetabolisme. Separuh dari P-karoten yang diabsorbsi akan diubah menjadi
retinol (vitamin A) dalarn mukosa usus dengan bantuan enzim 15,15P-karotenoid
oksigenase (Packer, 1991). Fungsi vitamin A yang utama adalah dalam proses
penglihatan. Menurut Guthrie (1986), vitamin A j'uga diperlukan untuk
pertumbuhan yang normal.
Menurut Muhilal (1998), salah satu masalah gizi utama yang diderita oleh
anak balita adalah defisiensi vitamin A. Defisiensi pada tingkat berat dapat
mengakibatkan kebutaan. Pada tahun 1963-1965 Departemen Kesehatan
RI
melakukan uji coba ditingkat lapangan tentang manfaat penggunaan minyak
kelapa sawit merah untuk mencegah defisiensi vitamin A. Anak-anak balita di
desa Gunung Pati setiap hari diberi 4 g rninyak kelapa sawit merah, sedangkan
anak balita lain di desa Kedung Pane hanya diberi decolorized paln~ oil (DPO)
6
setelah 15 bulan (Maret 1965). Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa
ininyak sawit merah dapat meningkatkan status vitamin A yang sangat bermakna,
ha1 ini dapat dilihat dari kenaikan vitamin A dalam serum.
Kebutuhan akan vitamin A adalah 200.000 IU/gram/bulan/orang.
Kebutuhan Indonesia untuk menanggulangi kekurangan vitamin A yang terjadi
pada f 7% x 180 juta
x
200.000 IU = 5 x 10" IU (5,l triliun IU). Padahal padasaat lalu 80% dari kebutuhan vitamin A tersebut masih tergantung pada suplai dari
UNICEF dan sejak tahun 1997 bantuan tersebut sudah dihentikan (Direktorat
Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, 1998). Pada saat ini suplai vitamin A
diperoleh dari Departemen Kesehatan.
Menurut Haryati dkk. (1995), apabila pada proses pengolalian minyak
sawit kandungan P-karotemya masih dapat dipertahankan hingga 375 ppm, maka
hanya dengan mengkonsumsi sekitar 12,s ml sampai 16 ml minyak sawit perhari
kebutuhan vitamin A untuk wanita dan laki-laki dewasa sesuai dengan standar
yang ditetapkan oleh Amerika dan Kanada dapat terpenuhi.
Untuk memenuhi kebutuhan vitamin A, dirasakan perlu dilakukan
diversifikasi produk olahan minyak sawit merah. Beberapa penelitian yang telah
dilakukan antara lain pembuatan produk emulsi (sejenis Scott's Emulsion)
(Saputra, 1996 dan Wulandari 2000), pembuatan margarin, dan pembuatan
mikroenkapsulasi minyak sawit kaya beta karoten (Wardayanie, 2000) dengan
menggunakan CPO dan minyak sawit merah hasil pemumian 'dari CPO.
Sedangkan untuk mengetahui dan mempelajari ketersediaan hayati beta karoten
Hasil penelitian Saputra (1996) tentang formulasi produk elllulsi kaya
13-
karoten dari minyak sawit merah dengan bahan baku minyak sawit yang masih
berupa minyak sawit kasar (CPO) menghasilkan produk yang cukup kental
sehingga pada saat penilaian secara organoleptik, panelis (konsumen)
menunjukkan respon kurang menyukainya. Sedangkan penelitian Wulandari
(2000) dengan menggunakan bahan baku minyak sawit merah hasil pemurnian
CPO dengan optimasi suhu dan waktu proses menunjukkan respon penerimaan
secara umum terhadap minuman emulsi antara agak suka sampai suka dengan
kandungan beta karoten 153 ppm. Untuk itu, dicoba kembali melakukan
formulasi dalam bentuk minuman emulsi dengan menggunakan minyak sawit
merah yang telah dideodorisasi sehingga memiliki aroma yang lebih disukai serta
masih tetap memiliki kandungan beta karoten yang cukup tinggi.
1.2 Tujuan Penelitian
Untuk mendapatkan formula produk diversifikasi minyak sawit merah
berupa minuman emulsi yang memiliki kandungan P-karoten tinggi, sifat fisik,
kimia, dan organoleptik (rasa, aroma, wama, kekentalan, dan penampakan) yang
disukai oleh konsumen. Selain itu juga, untuk mengetahui umur simpan minuman
emulsi yang masih tetap memiliki kandungan P-karoten tinggi.
1.3 Manfaat Peuelitian
Menghasilkan suatu produk yang merupakan altematif sumber vitamin A
dalam rangka membantu memenuhi kecukupan gizi masyarakat terhadap vitamin
11. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kelapa Sawit dan Pertumbuhannya
Perkebunan kelapa sawit komersial di Asia bermula dari penanaman 2000
bibit kelapa sawit di Pulau Raja, Asahan dan Sungai Liput, Aceh oIeh M. Adrien
Hallet pada tahun I91 1. Sejak itu sampai sekarang, luas areal kebun kelapa sawit
di Indonesia terus berkembang hingga mencapai 2,9 juta ha pada tahun 1999
dengan produksinya bempa minyak sawit kasar (CPO) sebesar 5,9 juta ton
(Pulungan, dkk., 2000). Kelapa sawit (Elaeis guineensis JACQ) adalah tanaman
berkeping satu yang termasuk dalam famili Palmae dan merupakan salah satu dari
beberapa tanaman golongan palm yang dapat menghasilkan minyak dan
mempakan tanaman penghasil minyak yang paling produlrtif dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak nabati lainnya.
Kelapa sawit yang dikenal terdiri dari beberapa varietas yang dapat
dibedakan berdasarkan tebal tempurung dan daging buah atau berdasarkan wama
kulit buahnya. Ada empat tipe atau varietas yang dikenal berdasarkan tebal
tempurungnya, yaitu tipe Macrocarya, Dura, Tenera, dan Pisifera (Muchtadi,
1992).
Tabel 2. Beda tebal tempurung dari berbagai tipe kelapa sawit
Macrocarya Dura Tenera Pisifera
Tebal sekali : 5 Tebal : 2 - 8 Sedang : 0,5
-
4Tempumng varietas dura cukup tebal antara 2 - 4 mm dan tidak terdapat
lingkaran sabut pada bagian luar tempumng. Daging buah relatif tipis dengan
persentase daging buah terhadap buah bervariasi antara 3 5 4 0 % . Kernel (daging
buah) biasanya besar dengan kandungan minyak yang rendah.
Varietas Pisifera memiliki tempumng sangat tipis, bahkan hampir tidak ada
tetapi daging buahnya tebal. Persentase daging buah terhadap buah cukup tinggi,
sedangkan daging biji sangat tipis. Jenis Pisifera tidak dapat diperbanyak tanpa
menyilangkan dengan jenis yang lain. Varietas ini dikenal sebagai tanaman betina
yang steril sebab bunga betina gugur pada fase dini.
Varietas tenera mempunyai sifat-sifat yang berasal dari kedua induknya
yaitu Dura dan Pisifera. Varietas inilah yang banyak ditanam di perkebunan-
perkebunan pada saat ini. Tempurung sudah menipis,' ketebalannya berkisar
antara 0,5--4 mrn dan terdapat lingkaran serabut disekelilingnya. Persentase
daging buah sangat tinggi antara 60--96%. Tandan buah yang dihasilkan oleh
Tenera lebih banyak daripada Dura, tetapi tandannya relatif lebih kecil.
2.2 Minyak Sawit Kasar (Crude Palrtz Oit)
Sampai saat ini Indonesia masih tercatat sebagai negara penghasil kelapa
sawit terbesar di dunia setelah Malaysia. Diperkirakan pada tahun 2012 produksi
CPO di Indonesia mencapai 15 juta ton dan ini mempakan yang terbesar di dunia.
Saat ini produktivitas tanaman kelapa sawit rata-rata telah mencapai 4--5 ton
minyak per hektar per tahun. Produksi yang tinggi ini menyebabkan biaya
produksi minyak sawit termasuk paling rendah di antara minyak nabati lainnya
10
Menun~t Saragih (1998), dimasa lalu perhatian pengembangan agribisuis
minyak sawit di Indonesia, umumnya masih tertuju pada industri minyak sawit
mentah (CPO). Dimasa yang akan datang, Indonesia hams me~nberikan perhatian
yang serius pada percepatan pengembangan industri hilir CPO. Percepatan
pengembangan industri hilir ini selain bertujuan untuk merebut nilai tambah yang
besar, juga memperkuat daya saing agribisnis minyak sawit Indonesia di pasar
intemasional.
Selain itu dinyatakan oleh Saragih (1998) bahwa sebagian besar (71%)
dari konsumsi total minyak sawit nasional dikonsumsi dalam bentuk minyak
goreng sawit. Bila digabung dengan bentuk margarin dan shortening, maka
sekitar 75% dari minyak sawit dikonsumsi dalam bentuk oleo pangan. Sedangkan
sisanya (sekitar 25%) dikonsumsi dalam bentuk sabun, oleo kimia @tty acid, fatty
alcohol, fatty nitrogen, nzetyl ester, glyserol) dan bentuk-bentuk lainnya.
Minyak sawit kasar (CPO) mengandung gliserida yang merupakan
komponen mayor terdiri dari 90% trigliserida, 2--7% digliserida, 1%
monogliserida, 3--5% asam lemak bebas, dan lebih kurang 1% komponen minor
(May dkk., 1996). Komponen kimia tersebut menentukan sifat fisikokimia dari
minyak sawit. Sedangkan sifat fisik dari minyak sawit meliputi densitas, panas
jenis, panas fusi, viskositas, titik leleh, dan titik beku merupakan suatu kriteria
yang penting di dalam menentukan proses pengolahan dan penggunaan minyak
sawit tersebut (Ong dkk., 1989).
Komposisi komponen temtama asam lemak pada minyak sawit tergantung
pada beberapa faktor antara lain jenis varietas, tempat tumbuh, dan waktu
varietas Tenera menghasilkan asam lemak tidak jenuh yang lebili tinggi (dmgan
bilangan iodium sampai 72) dan asam palmitat lebih kurang 26%.
Tabel 3. Komposisi asam lemak dalam minyak sawit Malaysia.
Laurat (C12
,
o) Miristat (~14 : 0)Palmitat (C16 : 0)
Stearat (Clg: 0)
Oleat (C18 : I)
Linoleat (CIS: 2). ., Linolenat (CIS : 3)
Sumber : Zaizi, dkk. (1996)
Jenis Asam Lemak
Menurut Haryati dkk. (1995) minyak sawit mengandung kombinasi asam % Asam lemak
lemak tidak jenuh yang berimbang (50%-50%) sehingga lemak pada minyak
sawit (margarin dan shortening) berkonfigurasi cis yang aman bagi kesehatan
manusia.
2.3 Minyak Sawit Merah (Red Palrtz
Oil)
Minyak sawit merah adalah minyak sawit yang masih benvama merah.
Muchtadi (1992) menyatakan bahwa sesungguhnya penyebab wama merah
tersebut adalah pigmen karotenoid yang sebagian besar terdiri dari P-karoten.
Menurut Naibaho (1990), minyak sawit merah mengandung karoten sebesar 600--
1000 ppm. Karotenoid yang terdapat dalam minyak sawit merah ferdiri dari
a-karoten lebih kurang 36,2%, P-karoten lebih kurang 54,4%, y-karoten lebih
I 2
Pada masa perkembangan dimana masyarakat dengan kecerdasan dan
seleranya menghendaki tampilan produk-produk yang lebih baik, maka
berkembang pula teknologi proses untuk membuat minyak goreng yang tidak
benvama, tidak berbau; dan tidak berasa. Sehingga pada proses pembuatan
minyak goreng, wama merah yang mengandung zat gizi mikro penangkal
penyakit kronik degeneratif yang terdapat pada minyak sawit justru dengan
sengaja dibuang dan sebagian lagi terbuang dengan tidak sengaja (Muchtadi,
1998; Muhilal, 1998).
Selain itn, untuk mendapatkan produk-produk akhir minyak sawit
diperlukan adanya teknologi kimia dan fisika yang secara tidak langsung dapat
merusak komponen-komponen aktif yang terdapat di dalarnnya tenhama
komponen karotenoid.
Dalam proses pengolahan buah sawit menjadi crude palm oil (CPO) yang
selarjutnya menjadi minyak goreng, selalu diawali dengan pemanasan, yang
kemudian dilanjutkan dengan perontokan, perebusan, pengadukan dan
pengempaan, penyaringar, dan pemurnian. Secara ringkas dapat dilihat pada
Gambar 1.
Mengingat sifat karotenoid yang sensitif terhadap panas, cahaya, maupun
udara dan juga proses oksidasi, maka dalam proses pengolahannya perlu
diperhatikan dan dikendalikan parameter-parameter proses yang dapat merusak
komponen tersebut.
Berbagai metode ekstraksi untuk memperoleh minyak sawit merah yang
masih memiliki kandungan karotenoid tinggi telah banyak dikembangkan antara
ekstraksi dengan izydraulic presser, pemilihan solvent yang tepat pada ekstraksi
solvent (pelarut), distilasi molekuler, dan ekstraksi fluida superkritik.
Pada proses ekstraksi minyak sawit secara konvensional umumnya
ditujukan untuk pembuatan minyak goreng. Proses diawali dengan pemanasan,
kemudian dilanjutkan dengan perontokan, perebusan, pengempaan, penyaringan,
penjemihan, dan penyimpanan.
Tandan Buah Segar (TBS) (100%)
Pemanasan
1
TBS+
dehidrasi buah (10%) PembrondolanBuah
+
tandan kosong (23%)Pengadukan dan Pengempaan
Biji (1 1%)
+
Serat (13%) minyak mentahPemisahan
Padatan (5%)+
1
Pengendapan, Sentrifusi,Air (17%) Pengeringan Harnpa
cyo
Pemurnian
Degumming, netralisasilrafinasi, Pemucatan, deodorisasi
Minyak Makan
14
Proses pemucatan (bleaclzing) adalah salah satu tingkat pengolahan minyak
atau lemak yang bertujuan untuk memisahkan zat wama dalam minyak atau
lemak. Menurut Naibaho (1979), proses pemucatan biasanya dilakukan dalam
tangki hampa udara, adsorben ditambahkan sebanyak 0,5--5,O persen dari berat
minyak. Suhu diatur sekitar 250°F atau 121°C, setelah itu suhu minyak
diturunkan sekitar 71--81DC kemudian minyak dipompakan melalui saringan
untuk memisahkan adsorber.
Untuk mendapatkan minyak sawit yang masih memiliki warna merah
dikendalikan beberapa parameter proses terutama penggunaan suhu tinggi,
sehingga saat pemurnian masih diperoleh minyak sawit yang benvarna merah.
Cara pengolahan yang relatif murah dan sering digunakan dalam industri
minyak sawit adalah dengan cara mekanik yang berprinsip pada
penekanan/pengepresan pada buah. Alat yang biasa digunakan untuk tujuan ini
adalah hydraulic press. Dengan alat tersebut, buah sawit yang telah' dipisahkan
dari bijinya dimasukkan ke dalam suatu wadah yang kemudian mendapat tekanan
sehingga buah pecah dan terperas minyaknya. Dengan cara ini bahan atau buah
sawit tersebut tidak mendapat perlakuan dengan panas yang tinggi sehingga
kehilangan karotenoid dapat diminimalkan.
Dari h a i l penelitian yang telah dilakukan oleh Muchtadi dan Andi (1996),
dengan tekanan optimal yang diperoleh yaitu 175 kg/cm2 (2489,l psi) dapat
dinyatakan bahwa dengan pengepresan hidraulik diperoleh minyak sawit merah
yang memiliki kadar P-karotennya masih bertahan sejumlah 95%.
Proses ekstraksi minyak menggunakan pelarut-pelarut lemak seperti heksan,
diperoleh ininyak yang lebih n ~ u m i dengan rendemen yang lebih tinggi
dibandingkan dengan cara mekanik lain. Selain itu kadar P-karoten dalam minyak
dapat diperoleh dalam jumlah yang banyak karena P-karoten juga mempunyai
sifat larut dalam lemak sehingga akan terbawa bersama-sama fase minyak dan
pelarut, kemudian pelarutnya diuapkan kembali untuk memperoleh minyak sawit
merah (Muchtadi, 1992).
Ekstraksi fluida superkritik dengan C02 merupakan metode yang
berkembang dalam dekade terakhir ini. Menurut S z v i (1986) dan Choo dkk.
(1996), teknologi fluida superkritik adalah sebuah proses pemisahan baru yang
.
.
menggunakan sifat-sifat unik dari gas di bawah temperatur dan tekanan kritis
untuk mengekstrak campuran dari komponen.
Prinsip teknologi ekstraksi fluida superkritik sesungguhnya sama dingan
ekstraksi biasa dengan menggunakan pelamt. Pada ekstraksi ini pelarut yang
digunakan berbentuk gas, dimana temperatur dan tekanan merupakan parameter
kondisi proses yang dikendalikddikondisikan sehingga gas tidak sarnpai
terkondensasi menjadi fasa cair (Toledo, 1991).
Menurut Rizvi dkk. (1986), untuk ekstraksi suatu komponen secara
sempuma perlu pengaturan tekanan dan suhu operasi maksimum yang sangat
tergantung pada sifat fisik kimia substrat di mana komponen tersebut berada,
sedangkan tekanan maksimum sangat ditentukan oleh perancangan peralatan.
2.4 Komponen Rlinor Minyak Sawit
Komponen aktif yang terkandung dalam minyak sawit biasanya dikenal juga
16
kuantitatif jumlahnya sangat sedikit sehingga satuan yang digunakan adalah ppm
(part per r~zillion) atau bagian per sejuta. Tetapi apabila dihitung secara kualitatif, peranannya sangat penting bagi kesehatan tubuh meskipun dalam jumlah kecil
terutama untuk pencegahan penyakit degeneratif, peningkatan imunitas tubuh,
ataupun untuk digunakan sebagai oleokimia atau produk-produk farmasi
(Muchtadi, 1998).
Disebutkan oleh May dkk. (1996) bahwa komponen minor yang dikandung
dalam minyak sawit lebih kurang 1%. Tabel 4 menunjukkan komponen minor
yang terkandung dalam minyak sawit mentah (CPO).
Tabel 4. Komponen minor dalam minyak sawit mentah (CPO)
Komponen intrinsik yang sangat berperan dalam rninyak sawit adalah
karotenoid. Karotenoid pada buah kelapa sawit akan makin jelas terlihat apabila
buah tersebut telah matang yaitu pada saat buah memberondol. Karotenoid adalah
suatu pigmen alami berupa warna kuning sampai merah yang mempunyai struktur Karotenoid
Tokoferol dan Tokotrienol Sterol
Pospolipid Triterpen akohol
Metil-sterol
Sequalen Alifatik alkohol Alifatik hidrokarbon
500-700 600-1000
326-527 5-130 40-80 (est) 40-80 (est) 200-500 .loo-200
alifatik atau alisiklik yang tersusun oleh delapan unit isoprena dan 4 gugus n~etil
dan selalu terdapat ikatan ganda terkonyugasi di antara gugus metil tersebut.
Kedua gugus metil yang dekat pada molekul pusat terletak pada posisi C-1 dan
C-6, sedangkan gugus metil lainnya terletak pada posisi C-1 dan C-5 (Lehninger,
1990). Struktur dasar karotenoid dapat dilihat pada Gambar 2.
CH3 CS3 CH3 CH3
1 5 . molekul pusat 1 5
1 . 6
Gambar 2. Struktur dasar karotenoid (Lehninger, 1990)
Meyer (1973) menjelaskan bahwa karotenoid dapat dikelompokkan menjadi
empat golongan, yaitu (1) karoten merupakan karotenoid hidrokarbon C40H56
yang termasuk di dalam goiongan ini adalah a,
P,
dan y karoten serta likopen; (2) xantophil dan derivat-derivat karoten yang mengandung oksigen din hidroksilmisalnya kriptoxantin dan lutein; (3) ester xantophil yaitu ester asam lemak,
misalnya zeaxantin; (4) asam karotenoid yaitu derivat karoten yang mengandung
gugusan karboksil.
Nielsen (1994) menyatakan bahwa pigmen karotenoid terdiri dari dua
golongan utama yaitu hydrocarboll carotetles dan oxygenated xanthophylls.
Karotenoid termasuk senyawa lipida yang tidak tersabunkan, larut dengan baik
dalam pelarut-pelarut organik seperti karbon disulfida, benzena, khloroform,
aseton, metanol, etanol, eter, dan petroleum eter, tetapi tidak larut dalam air
1s
Suradikusumah (1989) menyebutkan bahwa karotenoid adalah pigmen yang
tidak stabil, mudah teroksidasi temtama bila berhubungan dengan udara. Selain
itu karotenoid sebagian besar mengalami dekolorisasi baik oleh panas, cahaya,
maupun perlakuan oksidatif Vollet, 1992).
Hasil seleksi yang dilakukan oleh Goh (1998) terhadap komponen minor
dalam minyak sawit dapat dilihat pada Gambar 3.
Lycopene
Squalene
a-Tocopherol quinone
H
dolichols
HO /
&
Champesterol(3-karoten dalam ekstrak ~ninyak sawit dapat digunakan dalam pencegallan
penyakit kanker (Goh, 1998) dan untuk menghambat pertumbuhan in vitro sel
tumor payudara (Muchtadi, 1998). Nalnun beberapa studi menunjukkan bahwa a-
karoten memiliki potensi 10 kali lebih baik daripada bentuk P-karoten sebagai
penghambat kanker (Murakoshi, 1992).
Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Chong dan hasil
penelitian yang teIah dilakukan di Indonesia memberi gambaran yang jelas bahwa
minyak kelapa sawit mengandung zat gizi yang dapat menekan perkembangan
kanker. Zat yang bersifat antioksidan tersebut bukan hanya karoten saja tetapi
juga zat-zat lain yang terdapat pada minyak sawit, seperti tokoferol dan
tokotrienol (Muhilal, 1998).
2.5 Sistem Emulsi dan Emulsifier
Emulsi adalah sistem yang terdiri dari dua fasa cair yang tidak saling
bercampur, dimana fasa yang satu terdispersi pada fasa lainnya dalam bentuk
droplet berdiameter antara 0,l-10 pm. Fasa yang berbentuk droplet disebut fasa
intemavfasa terdispersgfasa diskontinyu, fasa dimana droplet terdispersi disebut
fasa ekstemallfasa pendispersilfasa kontinyu (Nawar, 1985).
Winarno (1984) menyebutkan bahwa pada suatu sistim emulsi biasanya
/
terdapat tiga bagian utama yaitu: (1) bagian yang terdispersi yang terdiri dari
butir-butir yang biasanya terdiri dari minyak, (2) bagian yang disebut media pendispersi yang juga dikenal sebagai fase kontinyu (pendispersi) yang biasanya
20
En~ulsi sebagai salah satu bentuk dispersi koloid banyak digunakan dalam
kehidupan sehari-hari dan rnempunyai peranan yang besar dalanl beberapa bahan
pangan. Ernulsi makanan digunakan secara luas dalam kehidupan sehari-hari .
seperti mentega, es krim, sosis, mayonaise, dan sebagainya.
Sudah menjadi sifatnya bahwa bentuk ernulsi bersifat tidak stabil, karena
masing-masing fasa cenderung bergabung dengan fasa sesarnanya membentuk
suatu agregat yang akhirnya dapat mengakibatkan emulsi tersebut pecah. Menurut
Bergenstahl dan Claesson (1990), diperlukan dua ha1 untuk dapat membentuk
suatu sistern ernulsi yaitu adanya energi rnelalui alat kirnia yang berfungsi
mendispersikan sistern dan penambahan emulsifier untuk menjaga sistem tetap
terdispersi. Ditambahkan oleh Kurnar (2000) bahwa produk emulsi komersial
membutuhkan adanya penstabillemulsifier.
Nawar (1985) menyatakan bahwa kerusakan atau destabilisasi emulsi te jadi
melalui tiga mekanisme utama yaitu kriming, flokulasi, dan koalesen. Kriming
merupakan proses pemisahan yang terjadi karena gerakan-gerakan ke ataske
bawah, ha1 ini tejadi karena gaya gravitasi terhadap fasa-fasa yang berbeda
densitasnya. Flokulasi merupakan agregasi dari droplet. Pada flokulasi tidak
terjadi pernutusan film antar permukaan sehingga jumlah dan ukuran globula
tetap, terjadinya flokulasi akan mempercepat terjadinya laiming. Koalesen adalah
penggabungan globula-globula menjadi globula yang lebih besar. Pada tahap ini
tejadi pemutusan film antar permukaan sehingga jumlah dan ukuran globula berubah.
Emulsifier bahan pangan dapat dikatagorikan berdasarkan pada beberapa
nonionik vs ionik; HLB; dan kehadiran grup fungsional. Katagori emulsifier
makanan menurut William (1990), terdiri dari: lecitin dan derivat lecitin; gliserol
ester asam lemak; asam hidroksikarboksilat dan ester asam lenak; laktilat ester
asam lemak; poligliserol ester asam lemak; etilen atau propilen glikol, ester asam
lemak; derivat ethoksilat atau monogliserida; sorbitan ester asam lemak; dan
derivat miscellaneous.
Noerono (1990) menyatakan bahwa salah satu fasa di dalam sistim emulsi
mempunyai karakter lipofilik dan fasa lainnya mempunyai karakter hidrofilik.
Disebutkan pula oleh Wijnans dan Baal (1997), setiap emulsifier mengandung dua
grup hngsional yaitu hidrofilik dan lipofilik.
Akhir Lipofilik Akhir Hidrofilik
Saturated; palmitat atau stearat
Unsaturated; oleat
Unsaturated; linoleat
Gambar 4. Tipe grup hidrofilik dan Lipofilik (Hasenhuettl, 1997)
Kedua , p p hngsional tersebut mempertemukan dua fasa minyak-air, air-
minyak, dan air-udara dengan mengurangi ketegangan antar permukaan. Karena
22
minyak dan air untuk me~nbentuk kestabilan atau emulsi yang hotnogen (Wijnans
dan Baal, 1997).
Terdapat dua tipe emulsi yaitu emulsi minyak dalam air (olw) dan emulsi air
dalam minyak (wlo). Jika fasa lipofilik mempakan fasa terdispersi maka emulsi
yang terbentuk adalah emulsi minyak dalam air dan sebaliknya jika fasa hidrofilik
mempakan fasa terdispersi maka disebut emulsi air dalam minyak (Noerono,
1990). Dispersibilitas atau daya larut suatu emulsi ditentukan oleh medium
dispersinya. Bila medium dispersinya air, maka emulsinya dapat 'diencerkan
dengan air, dan sebaliknya bila medium dispersinya lemak maka emulsinya dapat
diencerkan dengan minyak atau lemak.
Daya kerja emulsifier terutama disebabkan oleh bentuk molekulnya yang
dapat terikat baik pada minyak maupun air. Bila emulsifier tersebut lebih teiikat
pada air atau lebih larut dalam air (polar) maka dapat lebih membantu terjadinya
dispersi minyak dalam air sehingga terjadilah emulsi minyak dalam air (olw).
Sebagai contoh adalah susu. Sebaliknya bila emulsifier lebih larut dalarn minyak
(nonpolar) terjadilah emulsi air dalam minyak (wlo). Contohnya mentega dan
margarin.
Untuk lebih menjelaskan bagaimana ke rja emulsifier akan diberikan ilustrasi
sebagai berikut: bila butir-butir lemak telah terpisah karena adanya tenaga
mekanik (pengocokan), maka butir-butir lemak yang terdispersi tersebut segera
terselubungi oleh selaput tipis emulsifier (Gambar 5). Bagian molekul emulsifier
yang nonpolar larut dalam lapisan luar butir-butir lemak, sedangkan bagian' yang
Minyak
+
Sabun 0-I
Gambar 5. Skema terjadinya emulsi minyak dalam air (Neal, 1971)
Dengan kata lain, adanya emulsifier maka molekulnya akan terorientasi pada
batas antarpermukaan dan menurunkan tegangan antarpermukaan minyak-air
sehingga memudahkan pembentukan emulsi. Hal ini terjadi karena emulsifier
memiliki afinitas baik terhadap fasa air maupun fasa minyak. Jika terhadap
emulsifier yang cukup maka molekul emulsifier akan terabsorbsi pada setiap batas
antarpermukaan globula-globula yang terbentuk dan membentuk lapisan film
yang utuh, dengan demikian memberikan perlindungan yang cukup kepada
globula-globula terhadap penggabungan antarglobula.
Seleksi sistematis dari tipe emulsifier untuk emulsi khusus seringkali
didasarkan pada konsep HLB yang dikemukakan pertama kali oleh Griffin pada
24
Griffin (1979) mengembangkan suatu skala yang didasarkan atas
keseimbangan antara kedua gugus yang berlawana~l tersebut. Skala tersebut
dinyatakan dalam angka berkisar antara 0 sampai 20 untuk masing-masing
pengemulsi untuk memberikan informasi kelarutannya dalanl air dan Ininyak.
Angka antara 0 dan 9 menunjukkan pengemulsi bersifat larut d a l m minyak
(lipofilik), sedangkan angka antara 11 dan 20 menunjukkan pengemulsi bersifat
lamt dalam air (hidrofilik). Keseimbangan hidrofilik-lipofilik yang dikenal
dengan HLB terletak pada angka 10 yang merupakan tengah dari skala.
Dijelaskan pula oleh Wijnans dan Baal (1997) bahwa nilai HLB (hidrofilik-
lipofilik balance) dari emulsifier m e ~ p a k a n suatu karakteristik yang
mendefinisikan afinitas relatif untuk minyak dan air. Hal ini menentukan
kestabilan sistem emulsi minyak dalam air atau air dalak minyak. Nilai HLB
memberikan indikasi dari kelarutan emulsifier dalam air atau dalam minyak.
Friberg dkk. (1990) juga menyebutkan bahwa nilai HLB menunjuMtan rasio
relatif antara gmp hidrofilik dan lipofilik. Emulsifier dengan nilai HLB 3-6 cocok
untuk emulsi air dalam minyak (wlo) dan emulsifier dengan nilai HLB 8-18 baik
untuk emulsi minyak dalam air (olw).
Lebih lanjut Noerono (1990) menyatakan bahwa melalui penggunaan energi
yang amat besar dapat dicapai pendispersian lebih jauh sebuah fasa ke dalam fasa
lainnya, narnun keadaan ini hanya dapat dipertahankan dalanl waktu singkat.
Noerono (1990) juga mengemukakan bahwa terdapat faktor-faktor yang
mempengaruhi kestabilan emulsi yaitu ukuran fasa terdispersi, perbedaan densitas
antar dua fasa, viskositas fasa pendispersi, jenis dan jumlah emulsifier, besar
Emulsifier yang banyak terdapat di alam adalah fosfolipida, lesitin (fosfatidil
kolina) dan fosfatidil etanolamina yang dikenal sebagai emulsifier alami. Selain
itu gelatin dan albumin (putih telur) adalah protein yang bersifat sebagai
emulsifier dengan kekuatan biasa dan kuning telur sebagai emulsifier yang kuat.
Di samping emulsifier alami telah dibuat orang emulsifier buatan yang
terdiri dari monogliserida, misalnya gliseril monostearat. Emulsifier biasanya
dibuat dengan cara alkoholisis atau esterifikasi secara langsung. Beberapa contoh
emulsifier buatan lainnya antara lain misalnya ester.dari asam lemak sorbitan yang
dikenal dengan SPANS yang dapat membentuk emulsi air dalam minyak (wlo),
dan ester dari polioksietilena sorbitan dengan asam lemak yang dikenal sebagai
TWEEN yang dapat membentuk emulsi minyak dalam air (ol~v).
Emulsifier makanan adalah ester atau bagian ester dari turunan asam lemak
yang dapat dimakan bersumber dari hewan atau tumbuhan dan polyols seperti
gliserol, propilen glikol dan sorbitol (Krog, 1977).
Asam lemak dapat diesterifikasi menjadi polietilen atau propilen glikol
secara langsung atau dengan preparasi secara enzimatik. Poliglikol ester asam
lemak adalah emulsifier yang baik untuk bentuk emulsi minyak dalam air (OIW).
Polioksietilen sorbitan ester umumnya disebut dengan nama polisorbat
dibuat dari reaksi antara ester sorbitan dengan etilen oksida melalui polimerisasi
menjadi sorbitan ester asam lemak. Terdapat tiga tipe dari polisorbat yang
diizinkan digunakan dalam jumlah yang terbatas dalam makanan yaitu polisorbat
6 0 , polisorbat 65 dan polisorbat 80. Polisorbat 60 ditambahkan dalam gula yang
digunakan sebagai pelapis pada produk confectionaiy, shortening, edible oil untuk
produk-produk yang mengalami pembakaran dan sebagainya. polisorbat 65
Sedangkan polisorbat 80 penggunaannya lebih Iuas lagi yaitu dalam produk yang menggunakan es krim, ice milk dan froze11 ciistard. Selain itu juga digunakan sebagai emulsifier untuk edible fat dan edible oil. Masing-masing tipe memiliki nilai HLB, polisorbat 60 (14.4), polisorbat 65 (10.5) dan polisorbat 80 (15.4) (Dziezak, 1988).
Tabel 5. Klasifikasi emulsifier yang digunakan sebagai bahan tambahan makanan
Monogliserida 172.850 Emulsifier, plasticizer, agen Produk panggang,
1
lakilatI
(
surface-aktif whipped toppingsI
Jenis Emulsifier
I
Monogliserida 172.828 Membentuk film, pembawa acetilatI
I
kandungan airI
Monogliserida 172.830 Emulsifier,memberi kekuatan Shortening, rotisuccinilat
I
I
pada adonanI
I I I
21 CFR No.
Monogliserida 172.834 Emulsifier, penstabil
I
etohiiatI
I
I
Sorbitan 172.842 Emulsifier, agen rehidrasimonostearat
I
I
Fungsi Aplikasi
Sukrosa ester 172.859 Emulsifier,pemberi tekstur, asam lemak
I
I
pembentuk filmPolysorbat Polyglycerol ester 172.836 172.838 172.840 172.854 Kalsium dan sodium Laktilatstearol
Kue, whipped toppings, fiozen, dessert
Emulsifier,opacifier, solubilizer, wetting agent
Emulsifier, aerator, cloud inhibitor
Propilen glikol ester
Confectionary, pelapis, ragi, kue, icings
172.844 172.846
Salad dressings, coffe whiteners, gelatin, es
kIim
Emulsifier, conditioner adonan, whiiping agent
Sumber: Hasenhuettl(l997) 172.858
Icings, minyak salad, peanut butter, pengisi
Emulsifier, aerator
Produk panggang, pela- pis buah, confectionary Roti, coffe whiteners, icings, kentang kering
Campuran kue, whipped toppings
Salah satu jenis emulsifier terbaru yang mendapat persetujuan d a ~ i FDA
dagang Ryoto sugar ester yang dibuat ole11 Mitsubishi Chemical Industries Ltd.
Ester sukrosa asam lemak merupakan surfaktan yang bersifat nonionik yang
terdiri dari sukrosa sebagai grup hidrofilik dan asam lemak sebagai grup lipofilik.
Metode utama pembuatan sukrosa monoester adalah proses interesterifikasi antara
sukrosa dan metil ester dari asam lemak (Zielinski, 1997).
Menurut Wijnans dan Baal (1997), ester sukrosa asam lemak umurnnya
dikenal sebagai ester sukrosa. Ester sukrosa adalah emulsifier yang selain bersifat
nonionik dan juga stabil sampai suhu 180°C pada nilai pH antara 4-8. Struktur
ester sukrosa dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 . Struktur kimia dari ester sukrosa (Wijnans dan Baal, 1997)
I Keterangan:
R,= CH3(CH2), dari asam lemak,
CH- 0- CH2- C H r OH contoh: asam stearaf untuk
I 0 polysorbate 60
asam oleat, untuk polysorbate 80
28
2.6 Perurnusan Model Urnur Sirnpan
Penentuan umur simpan produk pangan dapat dilakukan dengan metode
Extended Storage Studies (ESS) dan Accelerated Storage Studies (ASS). ESS
adalah penentuan tanggal kadaluarsa dengan jalan menyimpan suatu seri produk
pads
kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunanmutunya hingga mencapai mutu kadaluarsa. Metode ini sangat akurat dan tepat,
namun pelaksanaannya memerlukan waktu yang panjang dan analisa karakteristik
mutu yang dilakukan relatif banyak. Sedangkan ASS adalah penentuan waktu
kadaluarsa dengan penerapan kondisi lingkungan yang memungkinkan reaksi
penurunan mutu produk pangan berlangsung lebih cepat. Keuntungan dari
metode ini adalah waktu pengujian yang relatif singkat.
Umur simpan adalah jangka waktu hingga suatu produk mengalami suatu
tingkat penyimpangan mutu dari mutu awalnya. Reaksi penyimpangan mutu ini
dimulai dengan kontak antara produk dengan udara, oksigen, uap air, cahaya atau
karena akibat perubahan suhu. Tingkat penyimpangan mutu produk dipengaruhi
oleh lamanya penyimpanan, sedangkan laju penyimpangannya dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan penyimpanan.
Menurut Institute of Food Technology (IFT, 1974), umur simpan produk pangan adalah selang wakctu antara saat produk diproduksi hingga saat
dikonsumsi, dimana produk berada dalanl kondisi yang memuaskan terkama pada
sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi. Dalam bentuk
persamaan umum, penurunan mutu suatu produk pangan dapat dituliskan sebagai
berikut:
Dimana -dQ/dt adalah laju penurunan lnutu persatuan waktu, RH adalah
kelenlbaban relatif, T = ten~peratur lingkungan penyimpanan, p 0 2 = tekanan
oksigen lingkungan pengemas dan K = faktor pengemas atau faktor komposisi.
Semua model pendugaan umur simpan yang menggunakan metode ASS
menggunakan persamaan 1 sebagai acuan dalam memformulasikan model
prediktif, meskipun demikian terdapat variasi di dalam proses perhitungannya.
Dalam mengkuantifikasi pengaruh temperatur terhadap reaksi kerusakan
yang terjadi dapat dilakukan dengan 2 jenis pendekatan yaitu pendekatan model
Arrhenius dan pendekatan model linear. Pendekatan Arrhenius dilakukan dengan
jalan menunjukkan ketergantungan konstanta laju reaksi terhadap temperatur
dalam kisaran temperatur yang cukup lebar. Pendekatan model linear dilakukan
bilamana tidak tersedia cukup data untuk kisaran temperatur yang besar atau
bilamana pengaruh temperatur hanya akan dilihat pada suatu kisaran yang sempit
(yaitu sekitar 20°C).
Persamaan Arrhenius menunjukkan ketergantungan laju reaksi kerusakan
terhadap temperatur yang dirumuskan sebagai berikut:
k = ko em WRT
...
(2)In k = In ko - (Ea/RT)
In k = In ko - I\(E~/R).(I/T)\L
...
(3)Keterangan:
KO = konstanta pre-eksponensial atau konstanta laju absolut k = konstanta laju reaksi pada temperatur T
Ea = Energi aktivasi (kaYmol)
R = konstanta gas ideal (l.9SG kaVmol°K)
T = suhu absolut (OK)
Interpretasi Ea (energi aktivasi) dapat memberikan gambaran mengenai
30
grafik garis lurus hubungan In k dengan (l/T). Dengan demikian energi aktivasi
yang besar mempunyai arti bahwa nilai In k berubah cukup besar dengan hanya
perubahan beberapa derajat dari temperatur dengan demikian slope akan besar.
Energi aktivasi dari beberapa reaksi kimia dapat dikelompokkan ke dalam
tiga golongan. Pertama adalah golongan reaksi yang memiliki energi aktivasi
rendah (2-15 kkal/mol), seperti reaksi-reaksi kerusakan pigmen karotenoid,
klorofil dan oksidasi lemak. Kedua adalah golongan reaksi dengan energi aktivasi
sedang (15-30 kkal/mol) seperti kerusakan vitamin, kemsakan pigmen larut air
pada umumnya serta reaksi maillard. Ketiga adalah golongan reaksi dengan
energi aktivasi tinggi (50-100 kkal/mol) seperti reaksi denaturasi enzim,
inaktivasi mikroorganisme dan inaktivasi spora m k o b a (Sadler, 1987).
Persamaan Anhenius dalam penggunaannya untuk menetapkan umur
simpan menggunakan asumsi sebagai berikut:
1) hanya ada satu jenis reaksi yang dihubungkan dengan penurunan mutu produk.
Asumsi pertama ini berkepentingan dalam melihar pengaruh temperatur
karena bilamana temperatur meningkat, maka reaksi-reaksi yang memiliki
energi aktivasi lebih tinggi dari reaksi yang diamati dapat mulai berlangsung
dan mempengaruhi mutu produk.
2) Tidak tejadi perubahan fase selama reaksi berlangsung sehingga tidak
mempengaruhi konsentrasi reaktan.
3) Pengaruh fase lain, misalnya jika tejadi proses partisi dari komponen reaktan ke dalam fase minyak atau lemak tidak dipengaruhi oleh temperatur.
4) Tidak ada pengaruh pengolahan dan penanganan terhadap reaksi. Dalam ha1
dishpan pada temperatur yang nlemungkinkan untuk terjadinya reaksi, nlaka
reaksi akan berlangsung.
5) Analisis penurunan konsentrasi komponen dan penentu& nilai k tidak
didasarkan pada analisa hedonik.
Pendekatan yang kedua terhadap penganrh temperatur dilakukan dengan
menggunakan model linear. Pendekatan ini khususnya sangat penting jika hanya
tersedia data yang jumlahnya terbatas (Labuza, 1983; dan Robertson, 1993).
Pendekatan model linear diturunkan sebagai berikut untuk semua jenis ordo reaksi
berlaku:
Keterangan:
k = laju reaksi penyimpangan
AA = perubahan konsentrasi/mutu dari mutu awal hingga kadaluarsa ts = umur simpan
Nilai AA untuk reaksi-reaksi ordo no1 akan sama dengan:
sedangkan untuk reaksi ordo satu:
Apabila disubstitusikan ke dalam persamaan Anhenius, maka diperoleh:
In k = In ko - (EaJRT)
111. . METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di laboratorium Kimia Pangan, Rekayasa dan Gizi
Masyarakat Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor, serta laboratorium
yang ada di lingkungan Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Fateta IPB.
Penelitian dilaksanakan dari bulan Juli 1999 sampai dengan bulan Agustus 2000.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak sawit merah
dengan merk "Carotino" yang diperoleh dari Malaysia. Bahan lain yang
digunakan meliputi emulsifier Sukrosa ester asam lemak dengan nama dagang
Ryoto Sugar Ester tipe S-1670 (HLB 16), S-1570 (HLB 15), S-370 (HLB 3), dan tipe P-1570 (HLB 15) dari Mitsubishi-Kasei Food Corporation (MFC) Japan,
Tween 80, Gum Arabik, CMC (Carboxymethyl Cellulose), beberapa jenis flavor
(Flavor jemk dan nanas) dari International Flavors & Fragrances-PT Essence Indonesia, pemanis (aspartam dan high fiuktosa simp), pengawet Sodium
Benzoat, pengkelat Etilen Diamin Tetra Asetat (EDTA), antioksidan Butil
Hidroksi Toluen (BHT), Air mineral "Aqua", Standar P-karoten dari Sigma, dan
bahan-bahan kimia lain untuk keperluan analisa kimia pada minyak dan minuman
emulsi.
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini meliputi satu unit peralatan
emulsi, satu unit peralatan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (HPLC) merk
Shimadzu, Spektrofotometri, Haake Viscometer RC-20, Vorteks, Stopwatcll,
peralatan titrasi dan peralatan gelas lainnya yang diperlukan untuk analisa kimia
dan analisa sifat fisik produk emulsi.
3.3 Metode Penelitian
Metode Penelitian ini terdiri dari tiga tahapan:
(1) Penentuan Jenis dan Konsentrasi Emulsifier
Tujuan:
a. Mendapatkan nilai HLB yang tepat yang mampu membentuk emulsi dari
kombinasi dua jenis emulsifier sukrosa ester asam lemak dengan nilai HLB
yang berbeda yaitu S-1670 (nilai HLB 16) dan S-370 (nilai HLB 3).
b. Mendapatkan jenis emulsifier yang tepat dengan konsentrasi tertentu yang
mampu membentuk emulsi secara baik pada berbagai rasio minyak dan air.
Emulsifier yang digunakan meliputi emulsifier campuran dari sukrosa ester
asam lemak dengan nilai HLB 8,9, 10, 11, 12, 13, 14, 15 dan 16, sukrosa ester
asam lemak tipe S-1570 (HLB 15), sukrosa ester asam lemak tipe P-1570
(HLB 15), Tween 80, CMC, dan Gum Arabik.
Metode:
a. Untuk mendapatkan emulsifier campuran dengan nilai HLB tertentu,
dilakukan pencampuran dua jenis emulsifier dengan nilai HLB yang berbeda
yaitu emulsifier Sukrosa Ester Asam lemak tipe S-1670 (HLB 16) dan
emulsifier Sukrosa Ester Asam Lemak tipe S-370 (HLB 3) sehingga di
dan 16. Persentase berat tiap jenis emulsifier yang dibutuhkan untuk lnembuat
campuran emulsifier tersebut dihitung dengan menggunakan rumus sebagai
berikut:
100% (X - HLB B) %A =
HLB A
-
HLB B Sumber: Dziezak (1988)Keterangan:
A = Emulsifier A (Sukrosa Ester Asam Lemak tipe S-1670 dengan nilai HLB 16)
B = Emulsifier B (Sukrosa Ester Asam Lemak tipe S-370 dengan nilai HLB 3)
X = Nilai HLB emulsifier yang diinginkan
b. Untuk mengetahui kemampuan emulsifier membentuk emulsi dilakukan
pembuatan emulsi. Mula-mula fase air d m emulsifier dicampurkan dengan
konsentrasi tertentu (0,25%; 0,5%; 0,75%, 1,0%) dalam homogenizer dan
dihomogenisasi selama lebih kurang 1 (satu) menit. Selanjutnya ditambahkan
fase minyak s e d i i t demi sedikit sambil diiomogenisasi sehingga diperoleh
emulsi yang homogen (lebih kurang 3 menit). Rasio minyak dan air yang
digunakan yaitu 46; 5:5; 6:4; 7:3 d m 8:2. Pada tahapan ini diperoleh rasio minyak dan air serta jenis dan konsentrasi emulsifier yang mampu membentuk
emulsi yang stabil.
Pengamatan:
Pengamatan dilalrukan setiap hari terhadap kestabilan emulsi yang dihasilkan
melalui pengamatan secara visual (secara langsung). ' ~ m u l s i dianggap stabil
(2) Formulasi Minuman Emulsi Minyak Sawit Merah
Tujuan:
Memperoleh formula emulsi dengan penambahan bahan tambahan makanan
lainnya (pemanis, pengawet, pengkelat, dan flavor) dengan tujuan bahwa
penambahan tersebut tidak mempengamhi kestabilan emulsi yang terbentuk.
Metode:
Metode pembuatan minuman emulsi dengan penambahan bahan tambahan
lainnya (pemanis, pengawet, pengkelat dan flavor) dapat dilihat pada Gambar 8.
Bahan tambahan yang digunakan antara lain simp fiuktosa, BHT, EDTA,
Benzoat, serta flavor jernk. Banyaknya bahan tambahan yang digunakan bernpa
pengawet Benzoat 0,2%; antioksidan BHT 200 ppm; dan pengkelat EDTA 200
ppm mengikuti penelitian Saputra (1996). Sedangkan pemanis h k t o s a
dicobakan pada konsentrasi 10-15% dan flavor 1-1,5%.
Pengamatan:
Pengamatan yang dilakukan terhadap minuman emulsi meliputi pengujian
terhadap sifat fisik, sifat kimia, dan pengujian secara organoleptik. Pengujian
terhadap sifat fisik meliputi viskositas (Metode Haake Viscometer). Pengujian
terhadap sifat kimia meliputi bilangan asam (metode titrasi; AOAC, 1990),
bilangan peroksida (metode titrasi; AOAC, 1990), kandungan karoten total
(Metode Spektrofotometri; Packer, 1992), dan kadar beta karoten (Metode HPLC;
Packer, 1992). Pengujian mikrobiologi yaitu total mikroba (metode TPC, Fardiaz,
1987). Pengujian organoleptik meliputi rasa, aroma, wama, kekentalaJi, dan
36
Air Minyak
1
+-- El~lulsifier (1%)1
+--
BHT (200 ppm)+--
Benzoat (0,2%) EDTA (200 ppm)Homogenisasi
-
(rf: 1 menit, 8000 rpm) Homogenisasi (+ 1 menit,8000 rpm)Ditarnbahkan perlahan-lahan sambil dihomogenisasi
Homogenisasi (+ 3 menit, 8000 rpm)
I
'
Sirup ~ u ~ o s a ( l ~ - - i ~ % )+---
Flavor (1-1,5%)Homogenisasi (zk 4 menit, 8000 rpm)
1
Emulsi O N
Pengemasan
Gambar 8. Diagram alir pembuatan minuman emulsi
(3) Penentuan Umur Simpan Minuman Emulsi
Tujnan:
Pada tahapan ini dilahwkan percobaan untuk menentukan umur simpan
(percepatan) sehingga diketahui pada saat kapan minuman emulsi masih dapat
dikatagorikan sebagai minuman emulsi yang kaya kandungan beta karoten.
Metode:
Penentuan karakteristik mutu minuman emulsi kaya beta karoten adalah
pada kandungan beta karoten dari produk tersebut yang nlerupakan kondisi
kritisnya untuk dapat dikatakan sebagai produk yang kaya kandungan beta karoten
atau tidak. Kondisi kritis ini dinyatakan apabila produk minuman emulsi kaya
beta karoten tersebut masih memiliki kadar beta karoten lebih kurang 100 ppm.
Pengamatan terhadap perubahan karakteristik mutu minuman emulsi adalah
perubahan kandungan beta karoten produk selama waktu penyimpanan, dalain ha1
ini adalah penurunannya. Metode akselerasi dilakukan terhadap minuman emulsi
yang dihasilkan dengan cara dipanaskan pada suhu 60°C . d m 90°C, selanjutnya
pada setiap 0 jam, 1 jam, 2 jam, 3 jam, 4 jam, 5 jam dan 6 jam dilakukan analisa kandungan beta karoten dengan metode HPLC (Packer, 1992). Penentuan umur
simpan dengan metode akselerasi dilakukan dengan menggunakan model
Anhenius.
Data hasil pengamatan selanla penyimpanan ditabulasikan, selanjutnya
dilahkan tahap-tahap penentuan umur simpan produk dengan menggunakan
bantuan persamaan Arrheius yaitu sebagai berikut:
1. Data hasil analisa karakteristik beta karoten pada berbagai waktu
penyimpanan/pemanasan pada berbagai suhu diplotkan sehingga didapatkan
persamaan regresi liniernya. Dari regresi ini diperoleh dua persamaan regresi
untuk dua kondisi suhu (T) penyimpanan produk yaitu Y = a
+
bX, dimanaini lan~anya pemanasan, dalam jam), a = nilai karakteristik minuman en~ulsi
pada waktu penyimpanan, b = laju perubahan nilai karakteristik.
2. Dari masing-masing persamaan tersebut akan diperoleh nilai slope (b) yang mempakan konstanta laju reaksi pembahan karakteristik minuman emulsi.
3. Nilai Ink dan 1/T yang merupakan parameter persamaan Arrhenius
ditabulasikan, selanjutnya nilai Ink diplotkan terhadap nilai 1/T (PK) dan
didapatkan nilai intersep dan slope dari persamaan regresi linier
Ink = lnko - (EalR)(IIT), di mana Ink0 = intersep, EalR = slope, Ea = energi
aktivasi dan R = konstanta gas ideal = 1,986 ka!./mol°K.
4. Dengan persamaan yang diperoleh pada tahap (3) didapatkan nilai konstanta ko yang mempakan faktor preeksponensial dan nilai energi aktivasi reaksi
perubahan karakteristik minuman emulsi (Ea). Lebih lanjut ditentukan model
persamaan kecepatan reaksi (k) p e ~ b a h a n karakteristik minuman ernulsi
k = ko.emT. Persamaan ini disebut persamaan Arrhenius.
5. Dengan persamaan Arrhenius dapat dihitung nilai kecepatan reaksi (k)
pembahan karakteristik minuman emulsi pada suhu (T) penyimpanan yang
ditentukan.
6. Umur simpan minuman emulsi dihitung dengan menggunakm persamaan
kinetika reaksi ordo satu: A, = &.e-" (di mana ts = umur simpan produk). Perhitungan menggunakan data karakteristik mutu awal minuman emulsi
Peneuiian Sifat Fisik
(1) Viskositas (Metode Haake)
Pengukuran viskositas minuman emulsi dilakukan dengan menggunakan alat
Haake Viskometer RC-20. Sejumlah sampel (lebih kurang 40 ml) dimasukkan
kedalam wadah khusus pada alat Haake viskometer. Pengukuran viskositas
dilakukan pada suhu 25'C. Nilai viskositas yang temkur dalam satuan Pascal-
detik (Pas). Nilai yang diperoleh dikonversi menjadi satuan centipoises (cp).
Nilai viskositas terukur Perhitungan (cp) =
1000
Peneuiian Sifat Kimia
(1) Bilangan Asam, Metode Titrasi (AOAC, 1990)
Bilangan
asam
adalah jumlah miligram KOH yang dibutuhkan untukmenetralkan asam-asam lemak bebas dari satu gram minyak atau lemak. Bilangan
asam dipergunakan untuk mengukur jumlah asam lemak bebas yang terdapat
dalam minyak atau lemak. Sampel minuman emulsi yang akan dianaIisa
ditimbang sejumlah 20 gram dalam erlenrneyer 250 ml, lalu ditambah 50 ml
alkohol netral 95%, dipanaskan sampai mendidih dalam penangas air s h b i l
diaduk (lebih kurang 10 menit). Larutan ini kemudian dititrasi dengan larutan
KOH 0,OlN dengan indikator fenolftalein 1% dalam alkohol sampai terbentuk
wama merah jambu persisten selama 10 detik.
Perhitungan bilangan asanl:
ml KOH
x
N KOH x 56,l Bilangan asam (mg KOWg sampel) =Berat sampel (g)
(2) Bilax~gan Peroksida, Metode Titrasi (AOAC, 1990)
Bilangan peroksida adalah nilai terpenting untuk menentukan derajat
kerusakan pada minyak atau lemak. Contoh sebanyak 5 gram dimasukkan
kedalam erlenmeyer 250 ml. Ditambahkan 30 ml larutan carnpuran asam asetat